SELF CONSTRUAL DAN KONTAK SEBAGAI PREDIKTOR
UNIVERSAL-DIVERSE ORIENTATION
(STUDI PADA PERGURUAN TINGGI DI KOTA MEDAN)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
081301063
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
i
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan
sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :
Self Construal dan Kontak sebagai Prediktor Universal-Diverse Orientation
(Studi pada Perguruan Tinggi Kota Medan)
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari
hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi
ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, 28 Oktober 2013
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
ii
Self Construal dan Kontak sebagai Prediktor Universal-Diverse Orientation (Studi pada Perguruan Tinggi di Kota Medan)
Moyang Kasih Dewimerdeka dan Meutia Nauly
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi faktor prediktor universal-diverse orientation (UDO) pada mahasiswa kota Medan. UDO adalah suatu kesadaran dan penerimaan bahwa setiap manusia memiliki persamaan sekaligus perbedaan yang penting sebagai kompetensi multikultural. Self contsrual dan kontak diprediksi berkontribusi pada UDO. Pendekatan penelitian kuantitatif dilakukan dengan partisipan 197 mahasiswa yang direkrut secara incidental. Analisis terhadap hasil penelitian mendukung hipotesis bahwa interdependent self construal dan kontak menjadi prediktor yang signifikan dari UDO. Program intervensi atau kurikulum pendidikan yang mampu meningkatkan UDO pada mahasiswa perlu dirancang sebagai upaya merawat keharmonisan dalam keberagaman Indonesia.
iii
Self Construal and Contact as Predictors of Universal-Diverse Orientation (Study at Universities in Medan)
Moyang Kasih Dewimerdeka and Meutia Nauly
ABSTRACT
This study aims to explore any predictors of universal-diverse orientation (UDO) within individual. UDO is an awareness and acceptance of both similarities and differences that exist among people which is important as multicultural competence. It is predicted that self contsrual and contact will contribute to UDO. By using quantitative approach, a research was conducted with 197 students who were recruited incidentally. Results of the study support the hypothesis that interdependent self construal and contact are significant predictors of UDO. Intervention programs or additional curriculum should be designed to increase UDO within university student and therefore could contribute in creating harmony in diversity of Indonesia.
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang tak pernah alpa memberi nikmat tak
peduli seberapa jauh penulis berpaling dan abai. Berkat nikmat kecerahan pikir,
kesempatan, dan keteguhan hati yang dilimpahkanNya, penulis dapat
merampungkan karya skripsi yang berjudul “Self Construal dan Kontak sebagai
Prediktor Universal-Diverse Orientation (Studi pada Perguruan Tinggi di Kota
Medan)” ini. Semoga penelitian ini tak berakhir sekedar sebagai persyaratan gelar
namun dapat bermanfaat bagi sebanyak-banyak orang.
Karya kecil ini penulis persembahkan untuk menggenapi kepercayaan yang
diberikan wanita perkasa panutan dan sumber kekuatan, Ibunda Luzi Diamanda.
Ini juga menjadi hadiah sederhana bagi Papi Asraferi Sabri dan saudara-saudara
yang tak pernah bosan mengirim doa: Rara Paramitha, Sagita Widuri, Ichsan
Saputra, Rinai Bening Kasih, Serai Wangi Bumi, dan Titah Siti Bungsu.
Proses penulisan skripsi ini merupakan jalan panjang yang terbuat dari
kontemplasi berlebihan, kekhawatiran tak beralasan, dan hasrat akan
kesempurnaan. Tanpa bantuan, bimbingan, dan cambukan dari pihak-pihak
berikut, penulis akan tersesat di jalan panjang tersebut. Maka, kasih
sebesar-besarnya penulis berikan pada:
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi atas ilmu
yang telah beliau bagi dan kepemimpinan yang menginspirasi.
2. Ibu Meutia Nauly, M.Si, psikolog, dosen pembimbing yang kesabaran dan
keyakinannya kepada penulis tiada tara. Terima kasih telah membagi
v
3. Bapak Ari Widiyanta, M.Si, psikolog, dosen pembimbing akademik yang
selalu memberikan masukan bermakna bagi penulis sepanjang berproses di
Fakultas Psikologi.
4. Seluruh jajaran staf pengajar dan staf Fakultas Psikologi USU untuk ilmu,
kesempatan berdiskusi, dan kesediaan memfasilitasi kelancaran proses
penelitian ini.
5. Keluarga besar Pers Mahasiswa SUARA USU, kampus kedua yang tak hanya
sekedar memberi ilmu jurnalistik namun juga keteguhan akan idealisme dan
keluarga yang tak tergantikan.
6. Keluarga besar program Study in US Institute on Religious Pluralism and
Democracy di Temple University yang mengajarkan penulis logika sederhana
“You don’t have to be wrong in order for me to be right.”
7. Keluarga besar Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, Kompak Medan, dan
Formasi Al Qalb, batu pijakan penulis belajar berorganisasi, mengaplikasikan
ilmu, dan terlebih lagi memanajemen diri.
8. Sahabat berbagi kegilaan sekaligus penjaga kewarasan: Kemala Hayati, Dini
Arini, Filisia Ayunani, Tania Arfiani, Mutia Karmila, dan Nana Ade Suryana.
Tetaplah merawat dan memperjuangkan mimpi.
9. Para redaktur tampan dan mamang yang bisa diandalkan: Januar, Febrian,
Andika Bakti, dan Harry Yassir Elhadidy Siregar. Semoga jalan kita ke depan
tetap bersilangan.
10. Mereka yang di tanah jauh dari rumah ini telah penulis anggap dan bersedia
vi
Akhmad Nurdin, Artika Novriyana, Wan Ulfa, Kartini Zalukhu, dan Viki
Aprilita serta segenap penghuni Sarmin 23 dan Teratai 18 B.
11. Teman-teman seangkatan 2008 yang dalam anggapan penulis tentunya adalah
angkatan terbaik yang pernah ada. Semoga kita bisa menjadi yang selalu kita
nyanyikan itu yakni untuk “berperan serta dalam pembangunan bangsa dalam
mengemban tugas yang mulia”
Seberapapun penulis berusaha, karya ini tak bisa tidak luput dari kesalahan
dan kekurangan. Kritik akan penulis terima dengan lapang dada dan saran akan
penulis jadikan masukan untuk melakukan perbaikan ke depannya. Semoga
penelitian ini dapat bernilai dalam upaya merawat keberagaman negeri ini.
Medan, 28 Oktober 2013
vii
A. Universal-Diverse Orientation ... 13
1. Multikulturalisme ... 13
2. Definisi Universal-Diverse Orientation ... 17
3. Aspek-aspek Universal-Diverse Orientation ... 20
4. Faktor yang Mempengaruhi Universal-Diverse Orientation 21 B. Self Construal ... 23
1. Definisi Self Construal ... 23
2. Interdependent dan Independent Self Construal ... 24
C. Kontak ... 26
1. Definisi Kontak ... 26
2. Kondisi Kunci Kontak Antar Kelompok ... 28
3. Proses Perubahan Melalui Kontak Antar Kelompok ... 29
4. Kontak dan Perguruan Tinggi ... 30
D. Self Construal dan Kontak sebagai prediktor UDO ... 33
E. Hipotesis Penelitian ... 37
viii
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 38
B. Definisi Operasional ... 38
1. Universal-Diverse Orientation ... 39
2. Self Construal ... 40
3. Kontak ... 41
C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 41
1. Populasi dan Sampel ... 41
G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 51
1. Tahap Persiapan Penelitian ... 51
A.Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 57
ix
2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Suku Bangsa ... 58
3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Agama... 59
4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Keterlibatan ... 59
Organisasi B.Hasil Penelitian ... 60
1. Uji Normalitas ... 60
2. Uji Linearitas ... 60
3. Uji Multikolinearitas ... 61
4. Uji Heteroskedastisitas ... 62
C. Hasil Utama Penelitian ... 62
D. Hasil Analisa Tambahan ... 64
1. Perbandingan Nilai Mean Empirik dan Hipotetik UDO ... 64
2. Kategorisasi Skor UDO ... 65
3. Perbandingan Nilai Mean Empirik dan Hipotetik ... 66
Self Construal 4. Kategorisasi Skor Self Construal ... 67
E. Pembahasan ... 68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 73
A. Kesimpulan ... 73
B. Saran ... 74
1. Saran Metodologis... 74
2. Saran Praktis ... 74
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blue Print UDO Sebelum Uji Coba ... 44
Tabel 2. Blue Print Self Construal Sebelum Uji Coba ... 45
Tabel 3. Hasil Uji Daya Beda Aitem UDO ... 49
Tabel 4. Blue Print UDO Setelah Uji Coba ... 49
Tabel 5. Hasil Uji Daya Beda Aitem Self Construal ... 50
Tabel 6. Blue Print Self Construal Setelah Uji Coba ... 50
Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 57
Tabel 8. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Suku Bangsa/Etnis... 58
Tabel 9. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Agama ... 59
Tabel 10. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Keterlibatan Organisasi 59 Tabel 11. Hasil Uji Normalitas ... 60
Tabel 12. Hasil Uji Linearitas ... 61
Tabel 13. Hasil Uji Multikolinearitas ... 61
Tabel 14. Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 62
Tabel 15. Deskripsi Skor Empirik dan Hipotetik UDO ... 65
Tabel 16. Uji Beda Mean Empirik UDO ... 65
Tabel 17.Kategorisasi Subjek pada Variabel UDO... 66
Tabel 18. Deskripsi Mean Empirik dan Hipotetik Self Construal ... 66
Tabel 19. Uji Beda Mean Empirik Self Construal ... 67
xi
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN AI. Hasil Uji Reliabilitas dan Daya Diskriminasi Aitem Skala Universal-Diverse Orientation
II. Hasil Uji Reliabilitas dan Daya Diskriminasi Aitem Skala Self Construal
LAMPIRAN B
I. Data Subjek Penelitian
II. Kategori Subjek pada Self Construal dan Universal-Diverse Orientation
III. Sebaran Data pada Skala Universal-Diverse Orientation
IV. Kategori Subjek pada Skala Self Construal
LAMPIRAN C
I. Hasil Uji Asumsi Penelitian
II. Hasil Uji Hipotesis Penelitian
ii
Self Construal dan Kontak sebagai Prediktor Universal-Diverse Orientation (Studi pada Perguruan Tinggi di Kota Medan)
Moyang Kasih Dewimerdeka dan Meutia Nauly
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi faktor prediktor universal-diverse orientation (UDO) pada mahasiswa kota Medan. UDO adalah suatu kesadaran dan penerimaan bahwa setiap manusia memiliki persamaan sekaligus perbedaan yang penting sebagai kompetensi multikultural. Self contsrual dan kontak diprediksi berkontribusi pada UDO. Pendekatan penelitian kuantitatif dilakukan dengan partisipan 197 mahasiswa yang direkrut secara incidental. Analisis terhadap hasil penelitian mendukung hipotesis bahwa interdependent self construal dan kontak menjadi prediktor yang signifikan dari UDO. Program intervensi atau kurikulum pendidikan yang mampu meningkatkan UDO pada mahasiswa perlu dirancang sebagai upaya merawat keharmonisan dalam keberagaman Indonesia.
iii
Self Construal and Contact as Predictors of Universal-Diverse Orientation (Study at Universities in Medan)
Moyang Kasih Dewimerdeka and Meutia Nauly
ABSTRACT
This study aims to explore any predictors of universal-diverse orientation (UDO) within individual. UDO is an awareness and acceptance of both similarities and differences that exist among people which is important as multicultural competence. It is predicted that self contsrual and contact will contribute to UDO. By using quantitative approach, a research was conducted with 197 students who were recruited incidentally. Results of the study support the hypothesis that interdependent self construal and contact are significant predictors of UDO. Intervention programs or additional curriculum should be designed to increase UDO within university student and therefore could contribute in creating harmony in diversity of Indonesia.
1
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Lembaga internasional yang mengawasi penegakan hak asasi manusia di
dunia, Human Rights Watch, pada awal 2013 menyebut Indonesia berada pada
kondisi gawat darurat yang butuh segera ditangani dalam hal intoleransi beragama
(Kine, 2013). Pernyataan ini dipublikasikan Human Rights Watch setelah laporan
tentang kebebasan beragama di Indonesia yang dirilis lembaga ini pada Februari
2013 ditolak pemerintah Indonesia. Laporan berjudul Atas Nama Agama ini
mengungkap data dan fakta tentang kasus kekerasan terhadap kelompok agama
minoritas yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2011-2013.
Berdasarkan temuan Human Rights Watch (2013), sepanjang tahun 2012
kasus kekerasan pada kelompok minoritas agama di Indonesia terjadi secara rutin
dan cenderung memakan korban. Kekerasan dilakukan baik oleh kelompok
masyarakat, organisasi masyarakat, hingga pemerintah Indonesia sendiri. Setara
Institute (2013), lembaga independen yang mengawasi kebebasan beragama,
mencatat terjadi peningkatan kasus kekerasan atas nama agama di Indonesia dari
216 kasus di tahun 2010 menjadi 244 kasus di tahun 2011. Selanjutnya, tercatat
ada 214 kasus kekerasan sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2012.
Selain kekerasan pada kelompok agama minoritas, konflik antar kelompok
etnis pun berulang kali terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, pecahnya konflik
etnik di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah antara etnik Madura dengan
itu, reformasi 1998 juga menandai salah satu sejarah kelam Indonesia di mana
sekelompok masyarakat melakukan tindakan agresif terhadap etnis Tionghoa.
Tercatat ada 1.300 orang yang menjadi korban serta kerugian material mencapai
milyaran rupiah (Tyas, 2011).
Kondisi demografis Indonesia yang sangat beragam memang mustahil
tidak mengundang konflik. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki lebih
dari 13.000 pulau besar maupun kecil. Tiap-tiap pulau dihuni oleh kelompok
masyarakat yang memiliki budaya dan ciri khasnya sendiri. Masing-masing
kelompok masyarakat juga berbicara dalam dialek bahkan bahasa yang berbeda
sama sekali dengan bahasa Indonesia. Selain keberagaman suku dan bahasa,
terdapat pula keragaman agama, etnis, dan adat kebiasaan yang telah berbeda
sejak dulu kala (Hadiluwih, 2008). Arifinsyah (dalam Anto, 2013) juga
menyebutkan bahwa di Indonesia dewasa ini terdapat tidak kurang dari 100 suku
dengan 726 ragam bahasa suku.
Keberagaman budaya, suku, dan agama yang ada di Indonesia dapat
menjadi modal sosial dalam membangun bangsa (Suyono, 2005). Akan tetapi, di
sisi lain, pluralitas kultural juga menyimpan potensi sebagai pemicu disintegrasi
bangsa. Pluralitas kultural seringkali dijadikan alat untuk menyulut konflik suku,
agama, ras dan antara golongan (SARA), meskipun sebenarnya faktor–faktor
penyebab dari pertikaian tersebut lebih pada persoalan-persoalan ketimpangan
ekonomi, ketidakadilan sosial dan politik (Suyono, 2005).
Salah satu wilayah yang dianggap mampu mengelola keberagaman dan
3
disebut sebagai miniatur Indonesia karena kondisinya yang sangat multikultur.
Delapan suku asli hidup bersama di kota Medan, ditambah dengan beberapa suku
pendatang seperti Tionghoa dan India (atau dikenal juga dengan sebutan Tamil).
Pola imigrasi berlangsung sangat dinamis di kota Medan karena sejak dulu Medan
dikenal sebagai lintas perdagangan sehingga menarik banyak pendatang. Hal ini
membuat ruang-ruang di kota Medan hampir mustahil ada yang homogen
(Arifinsyah dalam Anto, 2013).
Hadiluwih (2008) mengatakan bahwa konflik etnik secara terbuka belum
pernah terjadi di Medan, apalagi hingga menggunakan kekerasan. Kelompok etnis
dengan komposisi paling besar di Medan adalah Jawa diikuti oleh Batak Toba,
Tionghoa, dan Mandailing. Meskipun jumlah populasinya paling banyak, suku
Jawa tidak dipandang sebagai ancaman oleh suku-suku asli yang berdiam di kota
Medan seperti suku Melayu. Oleh karenanya, suku-suku yang tinggal di Medan
dapat hidup berdampingan dengan damai.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa konflik, menurut Sarapung (2002)
merupakan salah satu konsekuensi logis dari kemajemukan SARA, baik yang
positif-konstruktif, maupun negatif-destruktif. Konflik merupakan satu kesatuan
dengan pluralisme. Tidak ada pluralisme tanpa konflik kecuali bila direkayasa
sedemikian rupa sehingga konflik bisa ditutup-tutupi. Konflik merupakan salah
satu bentuk dinamika dalam pluralitas. Ketika masyarakat yang berbeda-beda
agama atau suku berinteraksi, pada saat itu, kemungkinan terjadinya konflik
Sayangnya, konflik bagi masyarakat Indonesia umumnya merupakan
sesuatu yang tabu, karena selama ini dianggap sebagai hal yang negatif dan perlu
dihindari. Keadaan ini sudah menjadi kebiasaan di Indonesia yang tidak
mempersiapkan masyarakat untuk terbuka pada konflik yang dikarenakan oleh
adanya perbedaan. Masyarakat tidak dididik untuk bisa menghadapi dan
mengelola konflik serta menerima pluralitas secara objektif dan terbuka
(Sarapung, 2002).
Hal ini terbukti dari sikap pemerintah yang terkesan menutup mata pada
konflik-konflik yang terjadi di negara ini. Sebagaimana dilaporkan Human Rights
Watch, Presiden Indonesia melalui juru bicaranya, Julian Adrian Pasha,
mengkritik laporan Human Rights Watch tentang kekerasan atas nama agama
yang terjadi di Indonesia karena dianggap memprovokasi dan tidak objektif (Kine,
2013). Terlebih lagi, kasus-kasus kekerasan yang dilakukan pada kelompok
minoritas agama di Indonesia tidak dipandang sebagai kasus intoleran melainkan
ekspresi perselisihan kelompok semata. Sikap pemimpin bangsa yang tidak
mengakui adanya konflik dan karenanya tidak melakukan tindakan apa-apa untuk
menangani konflik ini dapat mencoreng reputasi Indonesia sebagai negara yang
mampu menyeimbangkan keberagaman dan toleransi (Kine, 2013).
Begitu pun di kota Medan. Julukan Medan sebagai kota multikuluralisme
barangkali membuat kita menjadi menutup mata pada konflik maupun potensi
konflik yang ada di tengah kota Medan. Padahal, keberagaman kota Medan sangat
5
Aliansi Sumut Bersatu pada 2011 mengeluarkan laporan berjudul Potret
Kehidupan Beragam/Berkeyakinan di Sumatera Utara. Laporan tersebut memuat
data kasus-kasus kekerasan yang terjadi sepanjang 2011 di Sumatera Utara,
khususnya kota Medan. Tercatat ada 63 kasus kekerasan dengan perincian 24
kasus (38%) adalah tuntutan/seruan diskriminatif dari organisasi masyarakat atau
ormas, 13 kasus (21%) terkait kebijakan pemerintah daerah yang diskriminatif, 11
kasus (17%) sweeping, 4 kasus (6%) pernyataan diskriminatif, 3 kasus (5%)
penistaan/pelecehan terhadap agama, masing-masing 3 kasus (5%) izin pendirian
rumah ibadah dan tindakan yang diskriminatif, serta 2 kasus (2%) permasalahan
simbol keagamaan dan penolakan rumah ibadah.
Potensi konflik antaretnis pun tidak dapat dipungkiri ada di kota Medan.
Stereotype negatif dan prasangka masih melekat pada kelompok etnis tertentu.
Kelompok Tamil di Medan masih dijuluki orang Keling dan suka menipu.
Kelompok Tamil menghadapi diskriminasi dalam kesempatan kerja dan tidak bisa
duduk di parlemen daerah (Kholil, 2011). Begitu pula dengan kelompok
Tionghoa. Etnis Tionghoa di kota Medan belum dianggap sebagai suku asli dan
ada julukan „cina eksklusif‟ dari etnis pribumi terhadap mereka (Achmad, 2011).
Sikap dan perilaku mengabaikan adanya konflik maupun potensi konflik
di tengah keberagaman Indonesia hanya akan menjadi bom waktu untuk
terjadinya perpecahan dan ketidaksetaraan antara kelompok-kelompok yang ada.
Pada kondisi ini, yang diperlukan adalah sebuah kompetensi yang mampu
menjadikan individu arif dalam menerima keberagaman dan mampu memaknai
Universal-diverse orientation, selanjutnya akan disebut dengan UDO,
yang dikemukakan Miville, Romans, Johnson, dan Lone (1999) dapat menjadi
jawaban atas kebutuhan ini. Miville dkk (1999) mendefinisikan UDO sebagai
berikut:
“Universal-diverse orientation is thus defined as an attitude toward all other persons that is inclusive yet differentiating in that similarities and differences are both recognized and accepted; the shared experience of being human results in a sense of connectedness with people and is associated with a plurality or diversity of interactions with others.”
Definisi ini merefleksikan interrelasi antara komponen kognitif, perilaku
dan afektif dari UDO. Lebih jauh, definisi ini dapat dimaknai bahwa individu
yang menempatkan dirinya pada suatu lingkungan yang beragam berperilaku
demikian karena didorong oleh penghargaan mereka atas persamaan dan
perbedaan yang ada antara manusia. Oleh karena itu, individu tersebut akan
merasa terhubung dengan individu lainnya secara emosional sehingga
meningkatkan penerimaan mereka atas keberagaman. Faktor-faktor ini berdampak
pada kemampuan individu untuk berinteraksi secara efektif di dalam kelompok
maupun antar kelompok (Strauss & Connerley, 2003).
UDO tidak hanya sekedar bicara tentang menghindari prasangka atau
konflik pada masyarakat multikultural dengan cara menghargai perbedaan. Sesuai
namanya, UDO menyeimbangkan antara nilai universal sekaligus nilai
keberagaman yang ada pada manusia. Menurut Miville (2001) kesadaran akan
adanya persamaan dan perbedaan di antara manusia dapat membuat individu
7
bersamaan mampu menerima, mengapresiasi, dan memahami orang lain yang
memiliki perbedaan.
Sejumlah penelitian membuktikan, UDO bermanfaat dalam
mengembangkan kesadaran berbudaya pada seorang individu. Brummet, Wade,
Ponterotto, dan Lewis (2007) menemukan bahwa nilai positif pada UDO
berkorelasi dengan kesejahteraan psikososial seorang individu. UDO juga menjadi
prediktor kepribadian sehat yang dimiliki individu. Meski demikian, kebanyakan
riset masih berfokus pada manfaat UDO bagi individu, kelompok, maupun level
organisasi sedangkan apa-apa saja faktor prediktor munculnya UDO masih belum
terlalu luas diteliti (Miville, 2002).
Penelitian ini mencoba untuk mengeksplorasi faktor-faktor apa saja yang
dapat menjadi prediktor melemah atau menguatnya UDO pada individu.
Melakukan penelitian yang dapat mengungkap tentang UDO di kota Medan
diharapkan dapat menghasilkan sebuah temuan yang kaya mengingat kondisi kota
Medan yang sangat multikultural. Terlebih lagi, penelitian ini dilakukan pada
perguruan tinggi dengan mahasiswa sebagai partisipan yang diharapkan memiliki
kompetensi multikultural sebagai kaum terdidik yang nantinya akan terjun ke
masyarakat dan membuat perubahan (Hammer, 2011).
Perguruan tinggi merupakan salah satu tempat membangun dan
mengembangkan karakter mahasiswa. Mahasiswa hendaknya dipersiapkan untuk
menjadi agen-agen dengan kompetensi dan karakater yang baik sehingga mampu
membuat perubahan positif dalam masyarakat. (Asyanti, 2012). Kompetensi
diajarkan dan didorong untuk tumbuh dalam diri mahasiswa, terutama dengan
beragamnya latar belakang kelompok-kelompok mahasiswa yang belajar di
perguruan tinggi. Menemukan variabel apa yang dapat memprediksi UDO pada
mahasiswa dan bagaimana meningkatkannya dapat menjadi masukan bagi
perguruan tinggi dalam mengembangkan kurikulum pendidikan atau program
intervensi untuk meningkatkan kompetensi multikultural mahasiswa.
Sejumlah variabel telah diajukan sebagai variabel yang berhubungan
dengan UDO. Faktor demografis menjadi isu utama. Ras, etnis, dan gender
ditemukan berkorelasi dengan UDO (Singley, 2009). Dalam penelitian Singley
(2009) tersebut ditemukan bahwa wanita menunjukkan nilai UDO yang lebih
tinggi dibanding responden pria. Selanjutnya, ras berwarna juga memiliki UDO
lebih tinggi dibanding ras kulit putih di Amerika Serikat.
Mengetahui hanya faktor demografis yang menjadi prediktor UDO pada
mahasiswa tentu tak cukup. Tinggi rendahnya kesadaran seorang mahasiswa
dalam menyikapi keberagaman yang ada di sekitarnya akan berdampak pada
individu, organisasi, dan masyarakat tempat mahasiswa tersebut nantinya akan
mengamalkan ilmunya. Tsui dan Gutek (1999) menyebutkan bahwa mahasiswa
kurang dipersiapkan untuk menaklukkan tantangan keberagaman demografis di
masyarakat. Untuk itu, perlu digali variabel-variabel lain yang dapat menjadi
prediktor UDO sehingga dapat diketahui langkah apa yang perlu dilakukan agar
mahasiswa memiliki level UDO yang baik.
Penelitian ini akan mencoba mengeksplorasi faktor individual dan
9
terhadap keberagaman di kota multikultur ini. Faktor individual yang akan
dikaitkan dengan UDO dalam penelitian ini adalah self construal. Selanjutnya,
kontak akan menjadi faktor situasional yang berkaitan dengan tinggi rendahnya
UDO pada mahasiswa kota Medan.
Self construal merupakan orientasi kultural individu yang dibedakan
menjadi independent dan interdependent (Markus & Kitayama, 1998; Singelis,
1994; Yeh & Hwang, 2000). Perbedaan self construal pada individu
mempengaruhi perkembangan hubungannya dengan orang lain (Cross, 2000).
Oleh karena itu, self construal diprediksikan akan menjadi variabel yang
menghubungkan antara keragaman budaya dan perilaku (Markus & Kitayama,
1998).
Faktor situasional yang diprediksi akan menjadi prediktor UDO adalah
kontak. Tinggi rendahnya keterlibatan seorang individu, atau dengan kata lain
melakukan kontak, dalam masyarakat dengan anggota kelompok yang beragam
akan berdampak pada sikap yang lebih positif terhadap kelompok-kelompok
tersebut (Allport, 1954; Amir, 1969). Lebih jauh lagi, Liebkind, Haaramo, dan
Jasinskaja-Lahti (2000) menyatakan bahwa cara terbaik untuk mengurangi
prasangka negatif antara anggota kelompok yang berbeda adalah dengan membuat
mereka saling berinteraksi satu sama lain. Oleh karena itu, diperkirakan tinggi
rendahnya kontak mahasiswa dengan kelompok-kelompok yang berbeda di
lingkungan perguruan tinggi akan berkaitan dengan tinggi rendahnya level UDO
Perbedaan kontak ini akan dilihat pada dua perguruan tinggi di kota
Medan yang memiliki perbedaan dalam hal komposisi kelompok mahasiswa.
Selanjutnya, penelitian ini akan mencoba mengeksplorasi faktor individual dan
situasional tersebut dan kaitannya dengan level UDO pada mahasiswa kedua
perguruan tinggi tersebut.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang dikemukakan maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah apakah self construal dan kontak dapat menjadi
prediktor dari universal-diverse orientation?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkap kontribusi variabel self
construal dan kontak sebagai prediktor universal-diverse orientation pada
mahasiswa kota Medan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan
bidang ilmu psikologi, yaitu dalam bidang Psikologi Sosial terutama dalam
bidang multikulturalisme berupa variabel UDO dan variabel-variabel apa saja
11
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam merancang
kurikulum pendidikan atau program intervensi sebagai upaya meningkatkan
kompetensi multikultural mahasiswa.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Bab ini berisi uraian singkat tentang latar belakang permasalahan, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan di
dalam penelitian ini, diantaranya teori tentang UDO, self construal, dan
kontak. Bab ini juga mengemukakan hipotesis penelitian sebagai dugaan
sementara terhadap masalah penelitian.
Bab III : Metode Penelitian
Bab ini menjelaskan mengenai identifikasi variabel, metode
pengumpulan data, subjek/partisipan penelitian, desain penelitian, tehnik
pengambilan sampel, prosedur penelitian, dan teknik analisa data.
Bab IV : Hasil dan Pembahasan
Bab ini berisi uraian mengenai hasil utama penelitian serta pembahasan.
Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian dan saran
13
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Universal-Diverse Orientation
1. Multikulturalisme
Seiring dengan perubahan demografis budaya di masyarakat, rasanya
wajar bila mengasumsikan akan ada individu yang mampu beradaptasi dengan
lebih cepat dan lebih efektif terhadap masyarakat multikultur dibanding beberapa
individu lainnya. Misalkan saja, pada masyarakat yang beragam, seorang individu
diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan perbedaan budaya melalui cara
berkomunikasi dan penghargaan atas nilai-nilai budaya sendiri maupun budaya
orang lain. Dengan demikian, memahami bagaimana proses adaptasi individu
serta atribut personal apa yang berperan dalam keefektivan berada di lingkungan
multikultur menjadi suatu topik yang menarik untuk dibahas oleh peneliti,
pendidik, maupun penyedia jasa profesional (Ponterotto, Utsey, & Pedersen,
2006).
Multikulturalisme perlu dikembangkan di masyarakat karena
menunjukkan peran yang amat penting sebagai alternatif mencegah konflik sosial.
Berry, Poortinga, Segall, dan Dasen (1997) menjelaskan multikulturalisme
sebagai kompetensi yang menjadikan individu mampu mengembangkan
kesehatan jati diri sekaligus mengembangkan sikap antar kelompok yang positif.
Beberapa model konseptual telah diajukan untuk menjelaskan mengenai
karakteristik individu yang efektif dalam lingkungan multikultur. Model-model
mengembangkan keterampilan bikultural dan orientasi multikultural dalam
kehidupan (Ramirez, 1999), membantu siswa menjadi „masyarakat multikultural‟
ataupun „individu multikultural‟ (Banks, 2001; Nieto, 2000), dan memahami
karakteristik personal individu yang berhasil mengatasi lingkungan kerja yang
beragam latar belakang budaya, khususnya dalam setting internasional (Van Der
Zee, Atsma, dan Brodbeck, 2004; Van Der Zee dan Van Oudenhoven, 2000).
Dalam rentang dekade terakhir, penelitian mengenai multikulturalisme
telah dilakukan dengan berbagai pendekatan. Istilah-istilah yang digunakan yang
mengacu pada konsep ini berbeda-beda tergantung disiplin ilmu dan pendekatan
yang digunakan. Misalnya saja, praktisi kerja sosial menggunakan istilah cultural
competence sementara pakar teknik lebih memilih istilah global competence. Ada
juga istilah-istilah lain yang digunakan seperti multicultural competence dan
intercultural maturity.
Fantini (2009) menemukan beragam istilah yang digunakan dalam
literatur maupun alat ukur yang memiliki definisi kurang lebih sama seperti
multiculturalism, cross-cultural adaptation, intercultural sensitivity, cultural
intelligence, cross-cultural awareness, dan sebagainya. Model yang saat ini
sedang menjadi fokus utama dalam riset multikultural adalah universal-diverse
orientation atau UDO (Vargas, 2010).
Sebelum membahas lebih dalam mengenai UDO, penulis akan mencoba
merinci dimensi apa saja yang ada dalam masyarakat yang menjadikan
masyarakat tersebut disebut multikultur atau beragam. Istilah kultur di masa
15
budaya tertentu, melainkan juga termasuk kelompok bangsa-negara, kelompok
agama, kelompok ras, serta perusahaan (Betancourt & Lopez, 1993). Dalton
(2007) menjelaskan mengenai dimensi-dimensi kunci dari keberagaman manusia
dalam perspektif psikologi komunitas sebagai berikut:
a. Budaya
Perdebatan panjang para ilmuwan sosial belum bisa mendefinisikan
secara tepat apa yang dimaksud dengan budaya, namun ada beberapa elemen
budaya yang dapat diidentifikasi. Elemen tersebut antara lain adanya seperangkat
norma perilaku yang disepakati bersama, adanya persamaan bahasa, serta adanya
tradisi yang diwariskan secara turun temurun.
b. Ras
Ras didefinisikan sebagai pengelompokan sosial yang didasarkan pada
kriteria fisik. Manusia membedakan ras berdasarkan asumsi atas kualitas fisik
yang dapat diobservasi seperti warna kulit. Perbedaan ras pada manusia
sebenarnya tak berarti apa-apa. Sejumlah penelitian menemukan bahwa tingkat IQ
ataupun atribut lain pada seseorang tidak ditentukan oleh ras melainkan variasi
pada variabel sosial dan ekonomi. Meski demikian, perbedaan ras menjadi
perbincangan karena konstruksi manusia yang menjadikan ras satu lebih superior
dibanding ras lainnya.
c. Etnis
Etnis dapat didefinisikan sebagai identitas sosial yang didasarkan pada
asal-usul nenek moyang yang dimodifikasi dengan budaya setempat. Istilah ini
kebangsaan. Namun, kebangsaan tak selamanya berarti etnis. Sebagai contoh,
bangsa Jepang terdiri atas beragam etnis, begitu pula Indonesia. Etnis ditentukan
oleh bahasa, kebiasaan, adat-istiadat, nilai, dan aspek lain dari budaya subjektif.
d. Spiritualitas dan agama
Spiritualitas dan agama mengacu pada tradisi ketuhanan dan segala
perspektif yang berkaitan dengan aspek transenden. Spiritualitas dan agama saling
berkaitan dengan budaya dan etnis. Mustahil untuk memahami budaya tanpa
memahami terlebih dahulu institusi agama dan praktek spiritual yang ada dalam
budaya tersebut. Di sisi lain, agama dan spiritualitas tak juga semata soal budaya.
Banyak agama yang multikultural, sebaliknya ada pula budaya yang di dalamnya
terdapat banyak agama.
e. Gender
Perbedaan lelaki dan perempuan menjadi dasar konstruksi sosial akan
konsep dan makna perbedaan seksual. Gender mengacu pada bagaimana
perbedaan tersebut diinterpretasi dan direfleksikan dalam sikap, peran sosial, dan
institusi sosial, termasuk pembagian sumber daya dan kekuasaan. Gender
merupakan aspek yang penting dalam identitas diri seseorang.
f. Orientasi seksual
Orientasi seksual mengacu pada kecenderungan dalam ketertarikan
secara seksual, kedekatan romantis, seta emosi terkait lainnya. Orientasi seksual
berbeda dengan identitas gender.
17
Aspek ini terutama ditentukan oleh seberapa besar pendapatan atau aset
material yang dimiliki serta status pekerjaan dan level pendidikan. Kelas sosial
tidak hanya sekedar faktor demografis namun juga menentukan perbedaan dalam
hal kekuasaan, khususnya kuasa atas sumber daya ekonomi dan peluang.
h. Ability/disability
Orang-orang dengan keterbatasan sering mengalami stigma, pengucilan,
dan ketidakadilan karena keterbatasan mereka. Keterbatasan ini membuat mereka
harus menjalani hidup dengan cara berbeda dengan orang „normal‟.
i. Usia
Anak-anak, remaja, orang dewasa berbeda secara psikologis, tahap
perkembangan, serta keterlibatan dalam komunitas. Menuanya usia juga
membawa perubahan pada hal pemegang kekuasaan dalam keluarga, komunitas,
dan masyarakat.
Selanjutnya, istilah keberagaman atau multikulturalisme dalam
masyarakat yang disebutkan dalam penelitian ini akan mengacu pada beragamnya
aspek-aspek yang disebutkan di atas dalam masyarakat tersebut.
2. Definisi Universal-Diverse Orientation
Miville (1999) mengajukan bahwa kepekaan dan penerimaan atas
perbedaan dan persamaan lah yang krusial dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungan multikultur. UDO kemudian muncul dengan berlandaskan pada
Lebih spesifik, Vontress (1996) mengajukan bahwa kemampuan untuk
secara terus-menerus menerima dan mengapresiasi perbedaan dan persamaan
budaya dengan orang lain merupakan hal yang penting dalam membangun
hubungan antara orang-orang yang berbeda kebudayaan sama halnya dengan
adaptasi individu dalam lingkungan multikultur.
UDO dikembangkan oleh Miville, Gelso, Pannu, Liu, Touradji,
Holloway, dan Fuertes (1999) yang didefinisikan sebagai,
“Sikap inklusif sekaligus menganggap unik setiap manusia dengan cara menyadari dan menerima bahwa setiap manusia memiliki kesamaan serta perbedaan; pengalaman serupa sebagai manusia menciptakan rasa keterhubungan antar satu sama lain sekaligus memberikan kesadaran bahwa terdapat keberagaman di antara manusia.”
Definisi ini merefleksikan interrelasi antara komponen kognitif, perilaku
dan afektif dari UDO. UDO didefinisikan sebagai kesadaran dan penerimaan
terhadap persamaan maupun perbedaan yang ada di antara setiap manusia.
Kesadaran atas persamaan (universal), atau aspek yang dimiliki bersama oleh
setiap manusia, dapat menyatukan orang-orang. Sementara itu, perbedaan
(diverse) merupakan aspek unik yang dimiliki manusia tergantung pada budaya
maupun faktor individual lainnya (ras, jenis kelamin, agama, orientasi seksual,
nasionalisme, kepribadian). Faktor-faktor ini berdampak pada kemampuan
individu untuk berinteraksi secara efektif di dalam kelompok maupun antar
kelompok (Strauss & Connerley, 2003).
UDO muncul untuk memberi penjelasan lebih lanjut atas kompetensi
multikultural yang mencakup kemampuan umum untuk menerima dan memahami
19
menempatkan diri sendiri pada beragam situasi merupakan individu yang mampu
mengapresiasi perbedaan dan persamaan sehingga memiliki keterikatan emosi
yang dapat memperkuat UDO mereka.
Konsep UDO dapat memberi arah baru yang penting dalam asesmen
pada konseling multikultural maupun perancangan program diversitas (Fuertes
dkk 2000; Miville dkk, 1999). Tak hanya sekedar ada tidaknya prasangka, UDO
juga melihat apakah individu cenderung mendekati atau menghindari situasi
keberagaman. Dengan mengetahui tingkat UDO, praktisi dan peneliti bisa
menetapkan dasar dalam merancang program multikultural (Singley & Sedlacek,
2009).
UDO merefleksikan sikap kesadaran dan penerimaan pada adanya
kesamaan maupun perbedaan di antara manusia (Miville dkk, 1999). Menyadari
adanya persamaan universal di antara setiap manusia membuat individu mampu
melihat adanya koneksi dengan setiap manusia yang ada di dunia. Sebaliknya,
secara sadar mengakui bahwa masing-masing manusia juga memiliki perbedaan
membuat individu mampu melihat sisi unik dari setiap manusia. Penerimaan akan
kesamaan dan perbedaan ini membuat individu menjadi lebih menghargai
keunikan yang ada pada masing-masing manusia karena perbedaan latar belakang
namun di sisi lain tahu bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki persamaan
(Yeh & Arora, 2003).
Miville (1999) mengartikan persamaan atau universalitas sebagai
aspek-aspek dalam diri manusia yang dianggap sama antara satu orang dengan orang
unik dalam diri manusia yang muncul karena adanya perbedaan budaya dan
perbedaan individual. Menurut Miville, kesadaran akan adanya persamaan dan
perbedaan di antara manusia dapat membuat individu memiliki ikatan dengan
orang lain yang memiliki kesamaan namun juga secara bersamaan mampu
menerima, mengapresiasi, dan memahami orang lain yang memiliki perbedaan
(dalam Yeh & Arora, 2003).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka definisi UDO yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah kesadaran bahwa pada satu sisi setiap manusia
memiliki persamaan sehingga muncul perasaan terhubung antar sesama manusia
dan di sisi lain tiap-tiap manusia juga memiliki perbedaan yang memunculkan
penerimaan dan penghargaan atas keunikan yang dimiliki masing-masing orang.
3. Aspek-aspek Universal-Diverse Orientation
UDO terdiri dari tiga aspek yang merepresentasikan dimensi kognitif,
perilaku, dan afektif dari persepsi atas keberagaman. Dimensi kognitif disebut
sebagai Relativistic Appreciation, dimensi perilaku disebut Diversity of Contact,
dan dimensi afektif disebut Comfort with Differences (Miville dkk, 2000).
Strauss & Connerley (2003) menjelaskan lebih terperinci mengenai
ketiga aspek tersebut sebagai berikut:
a. Diversity of Contacts
Aspek perilaku dari UDO yang menjelaskan tentang tingkat ketertarikan
atau kecenderungan individu untuk berinteraksi dalam lingkungan sosial yang
21
ini melihat bagaimana individu secara aktif bersedia untuk berinteraksi dalam
lingkungan yang plural.
b. Relativistic Appreciation
Aspek kognitif dari UDO yang melihat sejauh mana individu mampu
merekognisi, memberi nilai, dan menerima persamaan dan perbedaan yang ada
antara manusia. Aspek ini menjelaskan tingkat apresiasi individu akan pentingnya
menyadari persamaan dan perbedaan yang ada di antara kelompok-kelompok
yang beragam serta menyadari bahwa hal tersebut akan memberi dampak positif
pada perkembangan dirinya.
c. Comfort with Difference
Aspek afektif dari UDO ini menjelaskan bagaimana individu merasa
terhubung dengan manusia lain karena adanya pengalaman yang sama sebagai
manusia. Individu mampu merasa nyaman dengan ide untuk berinteraksi dalam
lingkungan sosial yang memiliki keragaman.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Universal-Diverse Orientation
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk merumuskan faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi tinggi rendahnya level UDO pada individu.
Faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Faktor demografis
Faktor yang paling banyak dikaitkan dengan UDO adalah faktor
demografis seperti usia, jenis kelamin, dan ras. Ras minoritas seperti ras
(Strauss & Connerley, 2003; Singley & Sedlacek, 2009). Begitu pula dalam hal
gender. Wanita ditemukan memiliki level UDO yang lebih tinggi dibanding kaum
pria (Singley & Sedlacek, 2009). Hal ini dikarenakan baik ras minoritas maupun
wanita, secara umum mendapat perlakuan diskriminatif dari masyarakat sehingga
membuat mereka lebih peka pada pentingnya bersikap menghargai keberagaman.
b. Faktor kepribadian
Penelitian Thompson dkk (2002) menemukan bahwa terdapat hubungan
kepribadian yang ditinjau dari Five Factor Model dengan level UDO seseorang.
Individu dengan tipe kepribadian opennes to experience ditemukan memiliki level
UDO yang lebih tinggi dibanding tipe kepribadian lainnya.
c. Faktor pengetahuan
Pengetahuan tentang multikulturalisme dan multicultural competence
yang didapat melalui seminar, pelatihan, maupun pelajaran di kelas terbukti
berperan dalam meningkatkan level UDO individu (Yeh & Arora, 2003).
d. Faktor interaksi
Pendidikan inklusi dikatakan Allenby (2009) berperan dalam mengubah
sikap terhadap keberagaman para siswa menjadi lebih positif. Hal ini dikarenakan
siswa dapat berinteraksi secara langsung dengan siswa lain yang memiliki
disability. Keterlibatan siswa dalam organisasi dan aktivitas yang memungkinkan
mereka bertemu dan bekerjasama dengan kelompok-kelompok berbeda latar
23
B.Self Construal
1. Definisi Self Construal
Dalam sejarahnya, psikolog sosial memiliki kecenderungan untuk
berpikir bahwa konstruk diri merupakan suatu entitas yang independen dan
terpisah dari orang lain. Akan tetapi, bukti-bukti terkini, terutama dari perspektif
lintas budaya, menunjukkan bahwa konstruk diri sangat bergantung pada variabel
sosial seperti hubungan dengan orang lain atau keanggotaan dalam suatu
kelompok (Brewer & Gardner, 1996; Markus & Kitayama, 1991).
Individu sering kali mencari makna akan dirinya melalui afiliasi dengan
kelompok tertentu yang disebut social self (Brewer & Gardner, 1996). Faktanya,
teori motivasi terkini menunjukkan bahwa keterkaitan dan perasaan memiliki
dengan orang lain merupakan hal fundamental yang terus menerus dicari oleh
manusia (Baumeister & Leary, 1995). Hal ini lah yang memunculkan konsep self
construal.
Self construal berbicara tentang cara individu memandang diri mereka
dalam relasi dengan orang lain (Markus & Kitayama, 1991). Cara pandang yang
dimaksud adalah apakah individu memandang diri mereka sebagai bagian yang
otonom dari orang lain atau sebaliknya memiliki koneksi dan kelekatan dengan
orang lain. Self construal merupakan pikiran dan perasaan individu terkait
hubungannya dengan orang lain dan keunikannya dari orang lain (Singelis, 1994).
Teori self construal melihat bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh cara
individu itu sendiri dalam memandang dirinya, memandang orang lain, dan
Self construal sangat terkait dengan budaya dan merupakan hal yang
paling banyak dikaji pada penelitian lintas budaya (Kam, Zhou, Zhang, & Ho,
2012). Budaya timur yang kolektivis dan budaya barat yang lebih individualistis
dipercaya berkontribusi pada tipe self construal seperti apa yang dimiliki individu
dari budaya tersebut.
Dengan demikian, definisi self construal yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah cara pandang individu terhadap dirinya dalam relasi dengan orang lain.
2. Interdependent dan Independent Self Construal
Riset mengenai self construal membedakan variabel ini menjadi dua tipe
yakni independent dan interdependent self construal yang didasarkan pada riset
lintas budaya. Pada awalnya, peneliti mengajukan konsep bahwa interdependent
dan independent self construal merupakan kutub yang berlawanan dari sebuah
variabel kontinuum self construal (Schimmack, Oishi, & Diener, 2005). Akan
tetapi, faktor analisis yang dilakukan terhadap aitem-aitem self construal
menunjukkan hasil bahwa interdependent dan independent self construal
merupakan konstruk yang terpisah. Seorang individu dapat memiliki kedua tipe
self construal secara simultan. Tipe self construal mana yang lebih dominan pada
individu tergantung pada tipe mana yang lebih sering diaktifkan dan menjadi
norma perilaku pada budaya tempat individu berada (Miramontes, 2011).
Penelitian Markus dan Kitayama (1991) menemukan bahwa orang-orang
dari budaya barat (seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa) yang
25
yang lebih dominan. Sementara itu, budaya kolektivis di timur (seperti
negara-negara di Asia) memunculkan individu yang lebih dominan pada interdependent
self construal.
Independent self construal ditandai dengan sifat stabil, unik, dan berbeda
dari yang lain. Konsep diri seperti ini membutuhkan perasaan terindividuasi dari
orang lain dan hasrat untuk menemukan keunikan dalam diri yang berbeda dari
orang lain. Perilaku interdependent self construal dicirikan dengan selalu berfokus
pada atribut internal dan unik dari diri. Diri dipandang sebagai sesuatu yang
otonom dan independen. Tujuan utama adalah tujuan diri sendiri. Independent self
construal cenderung menghasilkan self esteem yang tinggi (Singelis, 1994).
Sementara itu, interdependent self construal ditandai dengan individu
yang memandang dirinya tidak terpisah dari konteks sosial. Ia bersifat fleksibel
dan dapat berubah-ubah. Keterikatan dengan orang lain dan hubungan sosial
merupakan hal utama. Dalam hal pengambilan keputusan, hubungan sosial, peran
diri, dan konteks menjadi pertimbangan yang penting. Individu dengan tipe ini
memaknai hidupnya melalui hubungan dengan orang lain. Atribut internal diri
sendiri ditempatkan setelah relasi. Gaya komunikasi tipe ini cenderung tidak
langsung dan memikirkan perasaan lawan bicaranya (Markus & Kitayama, 1991;
Singelis, 1994).
Menurut Markus & Kitayama (1991), budaya memungkinkan tumbuhnya
salah satu tipe self construal pada masyarakatnya. Budaya yang menekankan
pentingnya relasi sosial sebagaimana terlihat pada budaya Jepang dan kebanyakan
Sebaliknya, budaya yang lebih mengutamakan prestasi personal seperti budaya
Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropa Barat, memungkinkan
munculnya independent self construal. Budaya yang dimaksud Markus &
Kitayama terdiri dari nilai dan norma dalam masyarakat.
Meskipun demikian, Triandis (2001) menyatakan tidak benar bila
interdependent dan independent self construal hanya dilihat semata dari
kecenderungan individualis atau kolektivis pada suatu budaya. Proses kognitif
individu dan situasi juga berpengaruh pada tipe self construal mana yang lebih
dominan pada individu tersebut. Terlebih, globalisasi semakin mengaburkan batas
antar negara sehingga budaya semata tidak dapat digeneralisasikan dalam
memprediksi self construal.
C.Kontak
1. Definisi Kontak
Teori kontak menyatakan bahwa menyatukan anggota-anggota dari
kelompak yang berbeda dan mendorong mereka untuk saling bekerjasama,
memiliki status yang setara, dan memiliki ikatan personal dapat meningkatkan
sikap positif kepada out-group dan mampu menciptakan harmoni antar kelompok
(Allport 1954; Janowski, 2000).
Kontak yang dimaksud tidak hanya sekedar perjumpaan secara fisik
karena pertemuan semata belum cukup untuk mempererat hubungan atau
mengubah suatu sikap (Nisbet, 1992). Kontak yang berperan dalam mengurangi
27
seperti pertemuan terstruktur antar kelompok dimana setiap anggota kelompok
dapat saling bekerjasama atau kontak yang terjadi dalam pertemanan (Pettigrew,
1998).
Ada beberapa kunci penting yang menjadikan suatu kontak antar
kelompok dapat merangsang perubahan perilaku dan sikap. Interaksi yang paling
mungkin dapat memberikan dampak positif dalam perubahan sikap adalah
interaksi dimana tiap individu memiliki status yang setara, individu-individu
tersebut terlibat dalam kegiatan untuk mencapai tujuan yang sama, dan interaksi
yang memberikan waktu bagi semua partisipan untuk saling mengenal satu sama
lain (Devine & O‟Brien, 2007).
Brickson (2000) menemukan bahwa banyak literatur menunjukkan
dampak positif dari kontak paling sering terjadi dalam setting sekolah atau
pendidikan. Hal ini dikarenakan syarat-syarat efektifnya kontak terpenuhi dalam
setting pendidikan seperti status yang setara antar murid dan peluang terjadinya
kerjasama untuk mencapai suatu tujuan.
Sejumlah penelitian mendukung teori kontak yang menyatakan bahwa
perubahan sikap yang positif dapat didorong ketika individu memiliki kontak
langsung dan positif dengan kelompok-kelompok yang berbeda dari kelompoknya
(Allenby, 2009). Teori kontak merumuskan bahwa kontak positif antara
kelompok-kelompok berbeda dapat mengurangi bias negatif, stereotype,
ekspektasi, dan perilaku diskriminatif (Allport, 1954; Roper, 1990).
Pada penelitian ini, kontak akan dimaknai sebagai interaksi langsung
yang melibatkan kerjasama untuk mencapai suatu tujuan serta aktivitas bersama
untuk dapat saling mengenal satu sama lain.
2. Kondisi Kunci Kontak Antarkelompok
Allport (dalam Pettigrew, 1998) berkeyakinan bahwa efek positif dari
kontak antarkelompok hanya dapat terjadi apabila empat kondisi kunci di bawah
ini terpenuhi, yakni:
a. Status yang setara
Allport menekankan pentingnya status yang setara dalam situasi kontak
antarkelompok. Tiap kelompok yang berinteraksi haruslah merasa memiliki status
yang setara satu sama lain. Ketika kelompok yang berinteraksi memiliki
perbedaan status, kontak justru dapat menghasilkan efek negatif (Jackman &
Crane, 1986). Ruang kelas adalah salah satu tempat dimana setiap kelompok yang
berinteraksi dapat merasakan status yang setara (Allenby, 2009).
b. Tujuan yang sama
Menghilangkan prasangka melalui kontak membutuhkan usaha yang
aktif dan berorientasi pada tujuan. Ketika kelompok-kelompok yang saling
berinteraksi memiliki tujuan yang sama, akan tercipta kondisi saling
membutuhkan antara kelompok tersebut agar tujuan dapat tercapai (Pettigrew,
1998).
29
Tercapainya tujuan yang sama pada kelompok harus terjadi dengan
adanya saling kerjasama antara kelompok yang terlibat dalam kontak
(Bettencourt, 1992).
d. Adanya dukungan dari otoritas yang lebih tinggi
Kondisi terakhir membutuhkan keterlibatan dari pihak-pihak lain yang
terkait dengan kelompok-kelompok yang saling berinteraksi. Sebagai contoh,
adanya aturan atau sanksi sosial akan membuat kontak antarkelompok diterima
lebih luas dan memberikan dampak positif yang lebih besar (Pettigrew, 1998)
3. Proses Perubahan Melalui Kontak Antarkelompok
Studi terkini dari Pettigrew (1998) merumuskan empat langkah yang
saling berkaitan dalam proses perubahan sikap melalui kontak. Langkah-langkah
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Mempelajari kelompok lain
Teori awal menyatakan bahwa langkah pertama ini merupakan cara yang
paling utama agar kontak antarkelompok membuahkan hasil. Saat proses belajar
mampu mengoreksi pandangan negatif yang keliru pada kelompok tertentu, maka
kontak akan mampu mengurangi prasangka. Memberikan informasi-informasi
baru tentang kelompok yang lain akan mampu mendorong terjadinya perubahan
sikap menjadi lebih positif.
b. Mengubah perilaku
Kontak antarkelompok yang optimal merupakan salah satu bentuk awal
perubahan sikap. Menciptakan situasi baru dimana individu dituntut mengubah
perilakunya untuk semakin sering berinteraksi dengan anggota kelompok lain
akan semakin memudahkan terjadinya perubahan sikap.
c. Generalisasi ikatan afektif
Emosi merupakan hal yang sangat penting dalam kontak antarkelompok.
Kecemasan pada saat pertama kali berinteraksi dengan kelompok berbeda
merupakan hal yang biasa terjadi dan dapat memicu reaksi negatif (Islam &
Hewstone, 1993). Kecemasan ini akan semakin berkurang dengan semakin
seringnya interaksi. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan emosi-emosi
yang muncul dari individu pada saat melakukan kontak dengan
kelompok-kelompok lain.
d. Ingroup reappraisal
Kontak antarkelompok yang optimal memberikan pemahaman lebih baik
tentang kondisi ingroup sekaligus juga outgroup. Kontak tak hanya membuat
individu semakin mengenal kelompok lain namun juga semakin memahami
kelompoknya sendiri dengan bercermin pada pengetahuan barunya tentang
kelompok lain.
4. Kontak dan Perguruan Tinggi
Flexner (dalam Syukri 2009) menyatakan bahwa perguruan tinggi
merupakan sebuah tempat untuk mencari ilmu pengetahuan, memecahkan
berbagai masalah, mengkritisi karya-karya yang dihasilkan, dan sebagai pusat
pelatihan manusia. Lingkungan perguruan tinggi merupakan lingkungan untuk
31
kemampuan analisa yang tajam dan luas (Syukri, 2009). Misi perguruan tinggi
adalah pengajaran, penelitian dan aplikasi ilmu pengetahuan (Arthur, dalam
Syukri 2009) yang tercermin dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni
pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Terkait dengan kontak antar kelompok, perguruan tinggi merupakan
salah satu tempat ideal untuk berlangsungnya kontak yang positif sebagaimana
halnya setting sekolah (Brickson, 2000). Interaksi mahasiswa di lingkungan
perguruan tinggi memenuhi kondisi-kondisi kunci terciptanya kontak antar
kelompok (Pettigrew, 1998). Peran perguruan tinggi dalam mendorong
mahasiswanya memiliki kompetensi multikultural yang baik sangatlah besar.
Masyarakat Indonesia pada umumnya mempunyai harapan yang tinggi bahwa
perguruan tinggi akan menjadi tempat latihan dan pendidikan putra-putrinya
untuk menjadi bagian dari kaum intelektual yang berilmu tinggi dan berperilaku
terpuji (Syukri, 2009).
Sayangnya, harapan besar masyarakat ini masih belum maksimal
diterapkan dalam perguruan tinggi. Sebagaimana dinyatakan Asyanti (2012),
perguruan tinggi kurang memberikan porsi pada pendidikan karakter mahasiswa.
Kurikulum pendidikan tinggi masih menitikberatkan pada kompetensi akademis.
Melihat bagaimana perbedaan kontak di perguruan tinggi dapat berperan
dalam memprediksi munculnya komptensi multikultural perlu dilakukan sebagai
salah satu dasar perancangan kurikulum pembentukan karakter mahasiswa.
maupun yang sekuler, dapat menggunakan kekuatan kurikulum untuk membentuk
pemikiran sekaligus karakter mahasiswa.
Perguruan tinggi pada umumnya menarik mahasiswa dari berbagai latar
belakang yang berbeda. Kondisi kunci kontak antar kelompok yang terpenuhi
dalam interaksi perguruan tinggi akan semakin maksimal dampaknya bila
perguruan tinggi tersebut juga memiliki kelompok-kelompok mahasiswa dari
berbagai etnis, agama, jenis kelamin, ras, dan budaya. Akan tetapi, tidak semua
perguruan tinggi memiliki komposisi mahasiswa yang sangat beragam.
Sejumlah perguruan tinggi, terutama yang berafiliasi pada agama, tentu
hanya akan memiliki kelompok mahasiswa dari satu agama tertentu. Selain itu,
keterkaitan budaya dan agama menjadikan perguruan tinggi yang berafiliasi pada
agama tertentu cenderung memiliki kelompok mahasiswa dari budaya tertentu
pula. Hal ini bukanlah suatu hal yang buruk mengingat tujuan didirikannya
perguruan tinggi berafiliasi agama memang lah untuk memperdalam ilmu
mengenai agama itu sendiri. Schwartz (2000) bahkan menyatakan biasanya
institusi kecil yang berafiliasi agama lah yang memiliki komitmen luas dan
komprehensif terhadap perkembangan karakter dalam semua dimensi kehidupan
perguruan tinggi.
Namun, pengembangan kompetensi multikultural pada mahasiswa di
perguruan tinggi tetap perlu menjadi perhatian. Mendorong terjadinya
kontak-kontak positif antar kelompok mahasiswa perlu dilakukan agar mahasiswa
nantinya tak canggung saat masuk ke masyarakat yang multikultur. Oleh karena
33
perguruan tinggi dapat mendorong terjadinya kontak yang positif dan karenanya
turut memicu berkurangnya prasangka antar kelompok. Penelitian ini akan
mencoba melihat bagaimana dua level kontak yang berbeda pada perguruan tinggi
umum dan perguruan tinggi yang berafiliasi agama akan berinteraksi dengan level
UDO mahasiswa di kedua perguruan tinggi tersebut.
D.Self Construal dan Kontak sebagai Prediktor UDO
Individu dengan interdependent self construal adalah individu yang
terhubung, memberi perhatian, dan responsif terhadap orang di sekitarnya
(Kondo, 1990). Mereka dengan gaya interdependent selalu mampu menemukan
cara untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekitarnya, mampu
memenuhi tuntutan peran yang diberikan masyarakat padanya, serta menjadi
bagian dalam berbagai relasi interpersonal (Yeh & Hwang, 2000). Kemampuan
mengendalikan perilaku, pikiran, emosi dan motivasi untuk mengakomodir orang
lain pada individu dengan interdependent self construal merupakan sumber dari
self-esteem mereka yang cenderung mendahulukan kepentingan orang lain di atas
kepentingannya sendiri (Markus & Kitayama, 1991).
Pada sisi lain, individu dengan independent self construal seringkali
dikarakteristikkan sebagai individu yang terpisah, unik, dan memiliki sense of self
yang di luar konteks (Sampson, 1989). Mereka dengan tipe self construal ini
terbiasa mengekspresikan pikiran, perasaan, dan perilaku mereka dengan bebas.
Lebih jauh, diri sendiri merupakan aktor utama yang mengendalikan perilaku dan
muncul dari sikap asertif, terang-terangan, dan menjadi diri yang unik (Markus
dkk, 1997).
Cross (2000) menyatakan bahwa perbedaan self construal pada individu
mempengaruhi perkembangan hubungannya dengan orang lain. Baik
interdependent maupun independent self construal berperan dalam membentuk
norma sosial dan kultural pada saat berinteraksi dalam sebuah hubungan (Markus,
1997). Pada masyarakat yang multikultural, kecenderungan memaknai hubungan
sosial akan berdampak pada bagaimana individu bersikap dan berperilaku di
tengah keberagaman tersebut. Oleh karena itu, perbedaan tipe self construal yang
dominan pada masing-masing individu diprediksi akan mempengaruhi bagaimana
ia memberi makna dan memperlakukan keberagaman yang ada di sekitarnya.
Pemberian makna dan perlakuan terhadap keberagaman ini yang dicirikan dengan
UDO.
Individu dengan interdependent self construal dan independent self
construal akan bereaksi berbeda dalam berinteraksi dan menjalin hubungan di
masyarakat. Melihat perbedaan karakteristik kedua tipe ini, interdependent self
construal diprediksi akan lebih berperan terhadap UDO.
Sebagai contoh, Cross (2000) menemukan bahwa individu dengan
interdependent self construal cenderung lebih mempertimbangkan konsekuensi
keputusan mereka atas orang lain dan mau mendengarkan opini serta kebutuhan
orang lain. Mereka membangun hubungan baru dengan membuka diri dan peka
terhadap kebutuhan orang lain. Sebagai hasilnya, cara interdependent dipandang
35
Memiliki interdependent self contrual membuat individu secara konstan
menyadari keberadaan orang lain dan fokus pada kebutuhan, hasrat, dan tujuan
orang lain (Markus & Kitayama, 1991). Menyadari keberadaan orang lain dan
mau menerima orang lain apa adanya merupakan salah satu ciri dari UDO.
Temuan Yeh & Arora (2003) menunjukkan individu dengan interdependent self
construal lebih sadar dan lebih mau menerima persamaan dan perbedaan mereka
dengan orang lain. Menyadari persamaan dan perbedaan dengan orang lain akan
mampu membantu individu dalam menjalin ikatan dengan mereka yang memiliki
kesamaan sekaligus mampu menghargai keunikan pada mereka yang berbeda.
Selanjutnya, variabel lain yang diprediksi akan berkontribusi pada level
UDO adalah faktor situasional berupa level kontak dengan kelompok-kelompok
yang beragam. Liebkind (2000) menyatakan bahwa cara terbaik untuk
mengurangi sikap antarkelompok yang negatif adalah dengan membiarkan
anggota-anggota dari masing-masing kelompok berinteraksi satu sama lain.
Perguruan tinggi bisa menjadi salah satu tempat ideal dimana kontak
positif dapat terjadi. Sebagaimana yang dikemukakan Allport (dalam Pettigrew,
1998) kondisi kunci yang harus dipenuhi agar kontak berdampak positif adalah
status yang setara, memiliki tujuan yang sama, terdapat kerjasama antarkelompok,
dan adanya dukungan dari otoritas yang lebih tinggi.
Mahasiswa di perguruan tinggi memiliki status yang setara sebagai
pelajar. Interaksi di ruang kelas yang dibuat oleh otoritas seperti dosen sering kali
menempatkan mahasiswa pada kondisi dimana mereka dituntut untuk saling