• Tidak ada hasil yang ditemukan

Self Construal Dan Kontak Sebagai Prediktor Universal-Diverse Orientation (Studi Pada Perguruan Tinggi Di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Self Construal Dan Kontak Sebagai Prediktor Universal-Diverse Orientation (Studi Pada Perguruan Tinggi Di Kota Medan)"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

SELF CONSTRUAL DAN KONTAK SEBAGAI PREDIKTOR

UNIVERSAL-DIVERSE ORIENTATION

(STUDI PADA PERGURUAN TINGGI DI KOTA MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA

081301063

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

i

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan

sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Self Construal dan Kontak sebagai Prediktor Universal-Diverse Orientation

(Studi pada Perguruan Tinggi Kota Medan)

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari

hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan

norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi

ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 28 Oktober 2013

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA

(3)

ii

Self Construal dan Kontak sebagai Prediktor Universal-Diverse Orientation (Studi pada Perguruan Tinggi di Kota Medan)

Moyang Kasih Dewimerdeka dan Meutia Nauly

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi faktor prediktor universal-diverse orientation (UDO) pada mahasiswa kota Medan. UDO adalah suatu kesadaran dan penerimaan bahwa setiap manusia memiliki persamaan sekaligus perbedaan yang penting sebagai kompetensi multikultural. Self contsrual dan kontak diprediksi berkontribusi pada UDO. Pendekatan penelitian kuantitatif dilakukan dengan partisipan 197 mahasiswa yang direkrut secara incidental. Analisis terhadap hasil penelitian mendukung hipotesis bahwa interdependent self construal dan kontak menjadi prediktor yang signifikan dari UDO. Program intervensi atau kurikulum pendidikan yang mampu meningkatkan UDO pada mahasiswa perlu dirancang sebagai upaya merawat keharmonisan dalam keberagaman Indonesia.

(4)

iii

Self Construal and Contact as Predictors of Universal-Diverse Orientation (Study at Universities in Medan)

Moyang Kasih Dewimerdeka and Meutia Nauly

ABSTRACT

This study aims to explore any predictors of universal-diverse orientation (UDO) within individual. UDO is an awareness and acceptance of both similarities and differences that exist among people which is important as multicultural competence. It is predicted that self contsrual and contact will contribute to UDO. By using quantitative approach, a research was conducted with 197 students who were recruited incidentally. Results of the study support the hypothesis that interdependent self construal and contact are significant predictors of UDO. Intervention programs or additional curriculum should be designed to increase UDO within university student and therefore could contribute in creating harmony in diversity of Indonesia.

(5)

iv

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang tak pernah alpa memberi nikmat tak

peduli seberapa jauh penulis berpaling dan abai. Berkat nikmat kecerahan pikir,

kesempatan, dan keteguhan hati yang dilimpahkanNya, penulis dapat

merampungkan karya skripsi yang berjudul “Self Construal dan Kontak sebagai

Prediktor Universal-Diverse Orientation (Studi pada Perguruan Tinggi di Kota

Medan)” ini. Semoga penelitian ini tak berakhir sekedar sebagai persyaratan gelar

namun dapat bermanfaat bagi sebanyak-banyak orang.

Karya kecil ini penulis persembahkan untuk menggenapi kepercayaan yang

diberikan wanita perkasa panutan dan sumber kekuatan, Ibunda Luzi Diamanda.

Ini juga menjadi hadiah sederhana bagi Papi Asraferi Sabri dan saudara-saudara

yang tak pernah bosan mengirim doa: Rara Paramitha, Sagita Widuri, Ichsan

Saputra, Rinai Bening Kasih, Serai Wangi Bumi, dan Titah Siti Bungsu.

Proses penulisan skripsi ini merupakan jalan panjang yang terbuat dari

kontemplasi berlebihan, kekhawatiran tak beralasan, dan hasrat akan

kesempurnaan. Tanpa bantuan, bimbingan, dan cambukan dari pihak-pihak

berikut, penulis akan tersesat di jalan panjang tersebut. Maka, kasih

sebesar-besarnya penulis berikan pada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi atas ilmu

yang telah beliau bagi dan kepemimpinan yang menginspirasi.

2. Ibu Meutia Nauly, M.Si, psikolog, dosen pembimbing yang kesabaran dan

keyakinannya kepada penulis tiada tara. Terima kasih telah membagi

(6)

v

3. Bapak Ari Widiyanta, M.Si, psikolog, dosen pembimbing akademik yang

selalu memberikan masukan bermakna bagi penulis sepanjang berproses di

Fakultas Psikologi.

4. Seluruh jajaran staf pengajar dan staf Fakultas Psikologi USU untuk ilmu,

kesempatan berdiskusi, dan kesediaan memfasilitasi kelancaran proses

penelitian ini.

5. Keluarga besar Pers Mahasiswa SUARA USU, kampus kedua yang tak hanya

sekedar memberi ilmu jurnalistik namun juga keteguhan akan idealisme dan

keluarga yang tak tergantikan.

6. Keluarga besar program Study in US Institute on Religious Pluralism and

Democracy di Temple University yang mengajarkan penulis logika sederhana

You don’t have to be wrong in order for me to be right.”

7. Keluarga besar Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, Kompak Medan, dan

Formasi Al Qalb, batu pijakan penulis belajar berorganisasi, mengaplikasikan

ilmu, dan terlebih lagi memanajemen diri.

8. Sahabat berbagi kegilaan sekaligus penjaga kewarasan: Kemala Hayati, Dini

Arini, Filisia Ayunani, Tania Arfiani, Mutia Karmila, dan Nana Ade Suryana.

Tetaplah merawat dan memperjuangkan mimpi.

9. Para redaktur tampan dan mamang yang bisa diandalkan: Januar, Febrian,

Andika Bakti, dan Harry Yassir Elhadidy Siregar. Semoga jalan kita ke depan

tetap bersilangan.

10. Mereka yang di tanah jauh dari rumah ini telah penulis anggap dan bersedia

(7)

vi

Akhmad Nurdin, Artika Novriyana, Wan Ulfa, Kartini Zalukhu, dan Viki

Aprilita serta segenap penghuni Sarmin 23 dan Teratai 18 B.

11. Teman-teman seangkatan 2008 yang dalam anggapan penulis tentunya adalah

angkatan terbaik yang pernah ada. Semoga kita bisa menjadi yang selalu kita

nyanyikan itu yakni untuk “berperan serta dalam pembangunan bangsa dalam

mengemban tugas yang mulia”

Seberapapun penulis berusaha, karya ini tak bisa tidak luput dari kesalahan

dan kekurangan. Kritik akan penulis terima dengan lapang dada dan saran akan

penulis jadikan masukan untuk melakukan perbaikan ke depannya. Semoga

penelitian ini dapat bernilai dalam upaya merawat keberagaman negeri ini.

Medan, 28 Oktober 2013

(8)

vii

A. Universal-Diverse Orientation ... 13

1. Multikulturalisme ... 13

2. Definisi Universal-Diverse Orientation ... 17

3. Aspek-aspek Universal-Diverse Orientation ... 20

4. Faktor yang Mempengaruhi Universal-Diverse Orientation 21 B. Self Construal ... 23

1. Definisi Self Construal ... 23

2. Interdependent dan Independent Self Construal ... 24

C. Kontak ... 26

1. Definisi Kontak ... 26

2. Kondisi Kunci Kontak Antar Kelompok ... 28

3. Proses Perubahan Melalui Kontak Antar Kelompok ... 29

4. Kontak dan Perguruan Tinggi ... 30

D. Self Construal dan Kontak sebagai prediktor UDO ... 33

E. Hipotesis Penelitian ... 37

(9)

viii

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 38

B. Definisi Operasional ... 38

1. Universal-Diverse Orientation ... 39

2. Self Construal ... 40

3. Kontak ... 41

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 41

1. Populasi dan Sampel ... 41

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 51

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 51

A.Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 57

(10)

ix

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Suku Bangsa ... 58

3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Agama... 59

4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Keterlibatan ... 59

Organisasi B.Hasil Penelitian ... 60

1. Uji Normalitas ... 60

2. Uji Linearitas ... 60

3. Uji Multikolinearitas ... 61

4. Uji Heteroskedastisitas ... 62

C. Hasil Utama Penelitian ... 62

D. Hasil Analisa Tambahan ... 64

1. Perbandingan Nilai Mean Empirik dan Hipotetik UDO ... 64

2. Kategorisasi Skor UDO ... 65

3. Perbandingan Nilai Mean Empirik dan Hipotetik ... 66

Self Construal 4. Kategorisasi Skor Self Construal ... 67

E. Pembahasan ... 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

A. Kesimpulan ... 73

B. Saran ... 74

1. Saran Metodologis... 74

2. Saran Praktis ... 74

(11)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print UDO Sebelum Uji Coba ... 44

Tabel 2. Blue Print Self Construal Sebelum Uji Coba ... 45

Tabel 3. Hasil Uji Daya Beda Aitem UDO ... 49

Tabel 4. Blue Print UDO Setelah Uji Coba ... 49

Tabel 5. Hasil Uji Daya Beda Aitem Self Construal ... 50

Tabel 6. Blue Print Self Construal Setelah Uji Coba ... 50

Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 57

Tabel 8. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Suku Bangsa/Etnis... 58

Tabel 9. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Agama ... 59

Tabel 10. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Keterlibatan Organisasi 59 Tabel 11. Hasil Uji Normalitas ... 60

Tabel 12. Hasil Uji Linearitas ... 61

Tabel 13. Hasil Uji Multikolinearitas ... 61

Tabel 14. Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 62

Tabel 15. Deskripsi Skor Empirik dan Hipotetik UDO ... 65

Tabel 16. Uji Beda Mean Empirik UDO ... 65

Tabel 17.Kategorisasi Subjek pada Variabel UDO... 66

Tabel 18. Deskripsi Mean Empirik dan Hipotetik Self Construal ... 66

Tabel 19. Uji Beda Mean Empirik Self Construal ... 67

(12)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A

I. Hasil Uji Reliabilitas dan Daya Diskriminasi Aitem Skala Universal-Diverse Orientation

II. Hasil Uji Reliabilitas dan Daya Diskriminasi Aitem Skala Self Construal

LAMPIRAN B

I. Data Subjek Penelitian

II. Kategori Subjek pada Self Construal dan Universal-Diverse Orientation

III. Sebaran Data pada Skala Universal-Diverse Orientation

IV. Kategori Subjek pada Skala Self Construal

LAMPIRAN C

I. Hasil Uji Asumsi Penelitian

II. Hasil Uji Hipotesis Penelitian

(13)

ii

Self Construal dan Kontak sebagai Prediktor Universal-Diverse Orientation (Studi pada Perguruan Tinggi di Kota Medan)

Moyang Kasih Dewimerdeka dan Meutia Nauly

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi faktor prediktor universal-diverse orientation (UDO) pada mahasiswa kota Medan. UDO adalah suatu kesadaran dan penerimaan bahwa setiap manusia memiliki persamaan sekaligus perbedaan yang penting sebagai kompetensi multikultural. Self contsrual dan kontak diprediksi berkontribusi pada UDO. Pendekatan penelitian kuantitatif dilakukan dengan partisipan 197 mahasiswa yang direkrut secara incidental. Analisis terhadap hasil penelitian mendukung hipotesis bahwa interdependent self construal dan kontak menjadi prediktor yang signifikan dari UDO. Program intervensi atau kurikulum pendidikan yang mampu meningkatkan UDO pada mahasiswa perlu dirancang sebagai upaya merawat keharmonisan dalam keberagaman Indonesia.

(14)

iii

Self Construal and Contact as Predictors of Universal-Diverse Orientation (Study at Universities in Medan)

Moyang Kasih Dewimerdeka and Meutia Nauly

ABSTRACT

This study aims to explore any predictors of universal-diverse orientation (UDO) within individual. UDO is an awareness and acceptance of both similarities and differences that exist among people which is important as multicultural competence. It is predicted that self contsrual and contact will contribute to UDO. By using quantitative approach, a research was conducted with 197 students who were recruited incidentally. Results of the study support the hypothesis that interdependent self construal and contact are significant predictors of UDO. Intervention programs or additional curriculum should be designed to increase UDO within university student and therefore could contribute in creating harmony in diversity of Indonesia.

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lembaga internasional yang mengawasi penegakan hak asasi manusia di

dunia, Human Rights Watch, pada awal 2013 menyebut Indonesia berada pada

kondisi gawat darurat yang butuh segera ditangani dalam hal intoleransi beragama

(Kine, 2013). Pernyataan ini dipublikasikan Human Rights Watch setelah laporan

tentang kebebasan beragama di Indonesia yang dirilis lembaga ini pada Februari

2013 ditolak pemerintah Indonesia. Laporan berjudul Atas Nama Agama ini

mengungkap data dan fakta tentang kasus kekerasan terhadap kelompok agama

minoritas yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2011-2013.

Berdasarkan temuan Human Rights Watch (2013), sepanjang tahun 2012

kasus kekerasan pada kelompok minoritas agama di Indonesia terjadi secara rutin

dan cenderung memakan korban. Kekerasan dilakukan baik oleh kelompok

masyarakat, organisasi masyarakat, hingga pemerintah Indonesia sendiri. Setara

Institute (2013), lembaga independen yang mengawasi kebebasan beragama,

mencatat terjadi peningkatan kasus kekerasan atas nama agama di Indonesia dari

216 kasus di tahun 2010 menjadi 244 kasus di tahun 2011. Selanjutnya, tercatat

ada 214 kasus kekerasan sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2012.

Selain kekerasan pada kelompok agama minoritas, konflik antar kelompok

etnis pun berulang kali terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, pecahnya konflik

etnik di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah antara etnik Madura dengan

(16)

itu, reformasi 1998 juga menandai salah satu sejarah kelam Indonesia di mana

sekelompok masyarakat melakukan tindakan agresif terhadap etnis Tionghoa.

Tercatat ada 1.300 orang yang menjadi korban serta kerugian material mencapai

milyaran rupiah (Tyas, 2011).

Kondisi demografis Indonesia yang sangat beragam memang mustahil

tidak mengundang konflik. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki lebih

dari 13.000 pulau besar maupun kecil. Tiap-tiap pulau dihuni oleh kelompok

masyarakat yang memiliki budaya dan ciri khasnya sendiri. Masing-masing

kelompok masyarakat juga berbicara dalam dialek bahkan bahasa yang berbeda

sama sekali dengan bahasa Indonesia. Selain keberagaman suku dan bahasa,

terdapat pula keragaman agama, etnis, dan adat kebiasaan yang telah berbeda

sejak dulu kala (Hadiluwih, 2008). Arifinsyah (dalam Anto, 2013) juga

menyebutkan bahwa di Indonesia dewasa ini terdapat tidak kurang dari 100 suku

dengan 726 ragam bahasa suku.

Keberagaman budaya, suku, dan agama yang ada di Indonesia dapat

menjadi modal sosial dalam membangun bangsa (Suyono, 2005). Akan tetapi, di

sisi lain, pluralitas kultural juga menyimpan potensi sebagai pemicu disintegrasi

bangsa. Pluralitas kultural seringkali dijadikan alat untuk menyulut konflik suku,

agama, ras dan antara golongan (SARA), meskipun sebenarnya faktor–faktor

penyebab dari pertikaian tersebut lebih pada persoalan-persoalan ketimpangan

ekonomi, ketidakadilan sosial dan politik (Suyono, 2005).

Salah satu wilayah yang dianggap mampu mengelola keberagaman dan

(17)

3

disebut sebagai miniatur Indonesia karena kondisinya yang sangat multikultur.

Delapan suku asli hidup bersama di kota Medan, ditambah dengan beberapa suku

pendatang seperti Tionghoa dan India (atau dikenal juga dengan sebutan Tamil).

Pola imigrasi berlangsung sangat dinamis di kota Medan karena sejak dulu Medan

dikenal sebagai lintas perdagangan sehingga menarik banyak pendatang. Hal ini

membuat ruang-ruang di kota Medan hampir mustahil ada yang homogen

(Arifinsyah dalam Anto, 2013).

Hadiluwih (2008) mengatakan bahwa konflik etnik secara terbuka belum

pernah terjadi di Medan, apalagi hingga menggunakan kekerasan. Kelompok etnis

dengan komposisi paling besar di Medan adalah Jawa diikuti oleh Batak Toba,

Tionghoa, dan Mandailing. Meskipun jumlah populasinya paling banyak, suku

Jawa tidak dipandang sebagai ancaman oleh suku-suku asli yang berdiam di kota

Medan seperti suku Melayu. Oleh karenanya, suku-suku yang tinggal di Medan

dapat hidup berdampingan dengan damai.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa konflik, menurut Sarapung (2002)

merupakan salah satu konsekuensi logis dari kemajemukan SARA, baik yang

positif-konstruktif, maupun negatif-destruktif. Konflik merupakan satu kesatuan

dengan pluralisme. Tidak ada pluralisme tanpa konflik kecuali bila direkayasa

sedemikian rupa sehingga konflik bisa ditutup-tutupi. Konflik merupakan salah

satu bentuk dinamika dalam pluralitas. Ketika masyarakat yang berbeda-beda

agama atau suku berinteraksi, pada saat itu, kemungkinan terjadinya konflik

(18)

Sayangnya, konflik bagi masyarakat Indonesia umumnya merupakan

sesuatu yang tabu, karena selama ini dianggap sebagai hal yang negatif dan perlu

dihindari. Keadaan ini sudah menjadi kebiasaan di Indonesia yang tidak

mempersiapkan masyarakat untuk terbuka pada konflik yang dikarenakan oleh

adanya perbedaan. Masyarakat tidak dididik untuk bisa menghadapi dan

mengelola konflik serta menerima pluralitas secara objektif dan terbuka

(Sarapung, 2002).

Hal ini terbukti dari sikap pemerintah yang terkesan menutup mata pada

konflik-konflik yang terjadi di negara ini. Sebagaimana dilaporkan Human Rights

Watch, Presiden Indonesia melalui juru bicaranya, Julian Adrian Pasha,

mengkritik laporan Human Rights Watch tentang kekerasan atas nama agama

yang terjadi di Indonesia karena dianggap memprovokasi dan tidak objektif (Kine,

2013). Terlebih lagi, kasus-kasus kekerasan yang dilakukan pada kelompok

minoritas agama di Indonesia tidak dipandang sebagai kasus intoleran melainkan

ekspresi perselisihan kelompok semata. Sikap pemimpin bangsa yang tidak

mengakui adanya konflik dan karenanya tidak melakukan tindakan apa-apa untuk

menangani konflik ini dapat mencoreng reputasi Indonesia sebagai negara yang

mampu menyeimbangkan keberagaman dan toleransi (Kine, 2013).

Begitu pun di kota Medan. Julukan Medan sebagai kota multikuluralisme

barangkali membuat kita menjadi menutup mata pada konflik maupun potensi

konflik yang ada di tengah kota Medan. Padahal, keberagaman kota Medan sangat

(19)

5

Aliansi Sumut Bersatu pada 2011 mengeluarkan laporan berjudul Potret

Kehidupan Beragam/Berkeyakinan di Sumatera Utara. Laporan tersebut memuat

data kasus-kasus kekerasan yang terjadi sepanjang 2011 di Sumatera Utara,

khususnya kota Medan. Tercatat ada 63 kasus kekerasan dengan perincian 24

kasus (38%) adalah tuntutan/seruan diskriminatif dari organisasi masyarakat atau

ormas, 13 kasus (21%) terkait kebijakan pemerintah daerah yang diskriminatif, 11

kasus (17%) sweeping, 4 kasus (6%) pernyataan diskriminatif, 3 kasus (5%)

penistaan/pelecehan terhadap agama, masing-masing 3 kasus (5%) izin pendirian

rumah ibadah dan tindakan yang diskriminatif, serta 2 kasus (2%) permasalahan

simbol keagamaan dan penolakan rumah ibadah.

Potensi konflik antaretnis pun tidak dapat dipungkiri ada di kota Medan.

Stereotype negatif dan prasangka masih melekat pada kelompok etnis tertentu.

Kelompok Tamil di Medan masih dijuluki orang Keling dan suka menipu.

Kelompok Tamil menghadapi diskriminasi dalam kesempatan kerja dan tidak bisa

duduk di parlemen daerah (Kholil, 2011). Begitu pula dengan kelompok

Tionghoa. Etnis Tionghoa di kota Medan belum dianggap sebagai suku asli dan

ada julukan „cina eksklusif‟ dari etnis pribumi terhadap mereka (Achmad, 2011).

Sikap dan perilaku mengabaikan adanya konflik maupun potensi konflik

di tengah keberagaman Indonesia hanya akan menjadi bom waktu untuk

terjadinya perpecahan dan ketidaksetaraan antara kelompok-kelompok yang ada.

Pada kondisi ini, yang diperlukan adalah sebuah kompetensi yang mampu

menjadikan individu arif dalam menerima keberagaman dan mampu memaknai

(20)

Universal-diverse orientation, selanjutnya akan disebut dengan UDO,

yang dikemukakan Miville, Romans, Johnson, dan Lone (1999) dapat menjadi

jawaban atas kebutuhan ini. Miville dkk (1999) mendefinisikan UDO sebagai

berikut:

Universal-diverse orientation is thus defined as an attitude toward all other persons that is inclusive yet differentiating in that similarities and differences are both recognized and accepted; the shared experience of being human results in a sense of connectedness with people and is associated with a plurality or diversity of interactions with others.

Definisi ini merefleksikan interrelasi antara komponen kognitif, perilaku

dan afektif dari UDO. Lebih jauh, definisi ini dapat dimaknai bahwa individu

yang menempatkan dirinya pada suatu lingkungan yang beragam berperilaku

demikian karena didorong oleh penghargaan mereka atas persamaan dan

perbedaan yang ada antara manusia. Oleh karena itu, individu tersebut akan

merasa terhubung dengan individu lainnya secara emosional sehingga

meningkatkan penerimaan mereka atas keberagaman. Faktor-faktor ini berdampak

pada kemampuan individu untuk berinteraksi secara efektif di dalam kelompok

maupun antar kelompok (Strauss & Connerley, 2003).

UDO tidak hanya sekedar bicara tentang menghindari prasangka atau

konflik pada masyarakat multikultural dengan cara menghargai perbedaan. Sesuai

namanya, UDO menyeimbangkan antara nilai universal sekaligus nilai

keberagaman yang ada pada manusia. Menurut Miville (2001) kesadaran akan

adanya persamaan dan perbedaan di antara manusia dapat membuat individu

(21)

7

bersamaan mampu menerima, mengapresiasi, dan memahami orang lain yang

memiliki perbedaan.

Sejumlah penelitian membuktikan, UDO bermanfaat dalam

mengembangkan kesadaran berbudaya pada seorang individu. Brummet, Wade,

Ponterotto, dan Lewis (2007) menemukan bahwa nilai positif pada UDO

berkorelasi dengan kesejahteraan psikososial seorang individu. UDO juga menjadi

prediktor kepribadian sehat yang dimiliki individu. Meski demikian, kebanyakan

riset masih berfokus pada manfaat UDO bagi individu, kelompok, maupun level

organisasi sedangkan apa-apa saja faktor prediktor munculnya UDO masih belum

terlalu luas diteliti (Miville, 2002).

Penelitian ini mencoba untuk mengeksplorasi faktor-faktor apa saja yang

dapat menjadi prediktor melemah atau menguatnya UDO pada individu.

Melakukan penelitian yang dapat mengungkap tentang UDO di kota Medan

diharapkan dapat menghasilkan sebuah temuan yang kaya mengingat kondisi kota

Medan yang sangat multikultural. Terlebih lagi, penelitian ini dilakukan pada

perguruan tinggi dengan mahasiswa sebagai partisipan yang diharapkan memiliki

kompetensi multikultural sebagai kaum terdidik yang nantinya akan terjun ke

masyarakat dan membuat perubahan (Hammer, 2011).

Perguruan tinggi merupakan salah satu tempat membangun dan

mengembangkan karakter mahasiswa. Mahasiswa hendaknya dipersiapkan untuk

menjadi agen-agen dengan kompetensi dan karakater yang baik sehingga mampu

membuat perubahan positif dalam masyarakat. (Asyanti, 2012). Kompetensi

(22)

diajarkan dan didorong untuk tumbuh dalam diri mahasiswa, terutama dengan

beragamnya latar belakang kelompok-kelompok mahasiswa yang belajar di

perguruan tinggi. Menemukan variabel apa yang dapat memprediksi UDO pada

mahasiswa dan bagaimana meningkatkannya dapat menjadi masukan bagi

perguruan tinggi dalam mengembangkan kurikulum pendidikan atau program

intervensi untuk meningkatkan kompetensi multikultural mahasiswa.

Sejumlah variabel telah diajukan sebagai variabel yang berhubungan

dengan UDO. Faktor demografis menjadi isu utama. Ras, etnis, dan gender

ditemukan berkorelasi dengan UDO (Singley, 2009). Dalam penelitian Singley

(2009) tersebut ditemukan bahwa wanita menunjukkan nilai UDO yang lebih

tinggi dibanding responden pria. Selanjutnya, ras berwarna juga memiliki UDO

lebih tinggi dibanding ras kulit putih di Amerika Serikat.

Mengetahui hanya faktor demografis yang menjadi prediktor UDO pada

mahasiswa tentu tak cukup. Tinggi rendahnya kesadaran seorang mahasiswa

dalam menyikapi keberagaman yang ada di sekitarnya akan berdampak pada

individu, organisasi, dan masyarakat tempat mahasiswa tersebut nantinya akan

mengamalkan ilmunya. Tsui dan Gutek (1999) menyebutkan bahwa mahasiswa

kurang dipersiapkan untuk menaklukkan tantangan keberagaman demografis di

masyarakat. Untuk itu, perlu digali variabel-variabel lain yang dapat menjadi

prediktor UDO sehingga dapat diketahui langkah apa yang perlu dilakukan agar

mahasiswa memiliki level UDO yang baik.

Penelitian ini akan mencoba mengeksplorasi faktor individual dan

(23)

9

terhadap keberagaman di kota multikultur ini. Faktor individual yang akan

dikaitkan dengan UDO dalam penelitian ini adalah self construal. Selanjutnya,

kontak akan menjadi faktor situasional yang berkaitan dengan tinggi rendahnya

UDO pada mahasiswa kota Medan.

Self construal merupakan orientasi kultural individu yang dibedakan

menjadi independent dan interdependent (Markus & Kitayama, 1998; Singelis,

1994; Yeh & Hwang, 2000). Perbedaan self construal pada individu

mempengaruhi perkembangan hubungannya dengan orang lain (Cross, 2000).

Oleh karena itu, self construal diprediksikan akan menjadi variabel yang

menghubungkan antara keragaman budaya dan perilaku (Markus & Kitayama,

1998).

Faktor situasional yang diprediksi akan menjadi prediktor UDO adalah

kontak. Tinggi rendahnya keterlibatan seorang individu, atau dengan kata lain

melakukan kontak, dalam masyarakat dengan anggota kelompok yang beragam

akan berdampak pada sikap yang lebih positif terhadap kelompok-kelompok

tersebut (Allport, 1954; Amir, 1969). Lebih jauh lagi, Liebkind, Haaramo, dan

Jasinskaja-Lahti (2000) menyatakan bahwa cara terbaik untuk mengurangi

prasangka negatif antara anggota kelompok yang berbeda adalah dengan membuat

mereka saling berinteraksi satu sama lain. Oleh karena itu, diperkirakan tinggi

rendahnya kontak mahasiswa dengan kelompok-kelompok yang berbeda di

lingkungan perguruan tinggi akan berkaitan dengan tinggi rendahnya level UDO

(24)

Perbedaan kontak ini akan dilihat pada dua perguruan tinggi di kota

Medan yang memiliki perbedaan dalam hal komposisi kelompok mahasiswa.

Selanjutnya, penelitian ini akan mencoba mengeksplorasi faktor individual dan

situasional tersebut dan kaitannya dengan level UDO pada mahasiswa kedua

perguruan tinggi tersebut.

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang dikemukakan maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah apakah self construal dan kontak dapat menjadi

prediktor dari universal-diverse orientation?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkap kontribusi variabel self

construal dan kontak sebagai prediktor universal-diverse orientation pada

mahasiswa kota Medan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan

bidang ilmu psikologi, yaitu dalam bidang Psikologi Sosial terutama dalam

bidang multikulturalisme berupa variabel UDO dan variabel-variabel apa saja

(25)

11

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam merancang

kurikulum pendidikan atau program intervensi sebagai upaya meningkatkan

kompetensi multikultural mahasiswa.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini berisi uraian singkat tentang latar belakang permasalahan, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan di

dalam penelitian ini, diantaranya teori tentang UDO, self construal, dan

kontak. Bab ini juga mengemukakan hipotesis penelitian sebagai dugaan

sementara terhadap masalah penelitian.

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini menjelaskan mengenai identifikasi variabel, metode

pengumpulan data, subjek/partisipan penelitian, desain penelitian, tehnik

pengambilan sampel, prosedur penelitian, dan teknik analisa data.

Bab IV : Hasil dan Pembahasan

Bab ini berisi uraian mengenai hasil utama penelitian serta pembahasan.

(26)

Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian dan saran

(27)

13

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Universal-Diverse Orientation

1. Multikulturalisme

Seiring dengan perubahan demografis budaya di masyarakat, rasanya

wajar bila mengasumsikan akan ada individu yang mampu beradaptasi dengan

lebih cepat dan lebih efektif terhadap masyarakat multikultur dibanding beberapa

individu lainnya. Misalkan saja, pada masyarakat yang beragam, seorang individu

diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan perbedaan budaya melalui cara

berkomunikasi dan penghargaan atas nilai-nilai budaya sendiri maupun budaya

orang lain. Dengan demikian, memahami bagaimana proses adaptasi individu

serta atribut personal apa yang berperan dalam keefektivan berada di lingkungan

multikultur menjadi suatu topik yang menarik untuk dibahas oleh peneliti,

pendidik, maupun penyedia jasa profesional (Ponterotto, Utsey, & Pedersen,

2006).

Multikulturalisme perlu dikembangkan di masyarakat karena

menunjukkan peran yang amat penting sebagai alternatif mencegah konflik sosial.

Berry, Poortinga, Segall, dan Dasen (1997) menjelaskan multikulturalisme

sebagai kompetensi yang menjadikan individu mampu mengembangkan

kesehatan jati diri sekaligus mengembangkan sikap antar kelompok yang positif.

Beberapa model konseptual telah diajukan untuk menjelaskan mengenai

karakteristik individu yang efektif dalam lingkungan multikultur. Model-model

(28)

mengembangkan keterampilan bikultural dan orientasi multikultural dalam

kehidupan (Ramirez, 1999), membantu siswa menjadi „masyarakat multikultural‟

ataupun „individu multikultural‟ (Banks, 2001; Nieto, 2000), dan memahami

karakteristik personal individu yang berhasil mengatasi lingkungan kerja yang

beragam latar belakang budaya, khususnya dalam setting internasional (Van Der

Zee, Atsma, dan Brodbeck, 2004; Van Der Zee dan Van Oudenhoven, 2000).

Dalam rentang dekade terakhir, penelitian mengenai multikulturalisme

telah dilakukan dengan berbagai pendekatan. Istilah-istilah yang digunakan yang

mengacu pada konsep ini berbeda-beda tergantung disiplin ilmu dan pendekatan

yang digunakan. Misalnya saja, praktisi kerja sosial menggunakan istilah cultural

competence sementara pakar teknik lebih memilih istilah global competence. Ada

juga istilah-istilah lain yang digunakan seperti multicultural competence dan

intercultural maturity.

Fantini (2009) menemukan beragam istilah yang digunakan dalam

literatur maupun alat ukur yang memiliki definisi kurang lebih sama seperti

multiculturalism, cross-cultural adaptation, intercultural sensitivity, cultural

intelligence, cross-cultural awareness, dan sebagainya. Model yang saat ini

sedang menjadi fokus utama dalam riset multikultural adalah universal-diverse

orientation atau UDO (Vargas, 2010).

Sebelum membahas lebih dalam mengenai UDO, penulis akan mencoba

merinci dimensi apa saja yang ada dalam masyarakat yang menjadikan

masyarakat tersebut disebut multikultur atau beragam. Istilah kultur di masa

(29)

15

budaya tertentu, melainkan juga termasuk kelompok bangsa-negara, kelompok

agama, kelompok ras, serta perusahaan (Betancourt & Lopez, 1993). Dalton

(2007) menjelaskan mengenai dimensi-dimensi kunci dari keberagaman manusia

dalam perspektif psikologi komunitas sebagai berikut:

a. Budaya

Perdebatan panjang para ilmuwan sosial belum bisa mendefinisikan

secara tepat apa yang dimaksud dengan budaya, namun ada beberapa elemen

budaya yang dapat diidentifikasi. Elemen tersebut antara lain adanya seperangkat

norma perilaku yang disepakati bersama, adanya persamaan bahasa, serta adanya

tradisi yang diwariskan secara turun temurun.

b. Ras

Ras didefinisikan sebagai pengelompokan sosial yang didasarkan pada

kriteria fisik. Manusia membedakan ras berdasarkan asumsi atas kualitas fisik

yang dapat diobservasi seperti warna kulit. Perbedaan ras pada manusia

sebenarnya tak berarti apa-apa. Sejumlah penelitian menemukan bahwa tingkat IQ

ataupun atribut lain pada seseorang tidak ditentukan oleh ras melainkan variasi

pada variabel sosial dan ekonomi. Meski demikian, perbedaan ras menjadi

perbincangan karena konstruksi manusia yang menjadikan ras satu lebih superior

dibanding ras lainnya.

c. Etnis

Etnis dapat didefinisikan sebagai identitas sosial yang didasarkan pada

asal-usul nenek moyang yang dimodifikasi dengan budaya setempat. Istilah ini

(30)

kebangsaan. Namun, kebangsaan tak selamanya berarti etnis. Sebagai contoh,

bangsa Jepang terdiri atas beragam etnis, begitu pula Indonesia. Etnis ditentukan

oleh bahasa, kebiasaan, adat-istiadat, nilai, dan aspek lain dari budaya subjektif.

d. Spiritualitas dan agama

Spiritualitas dan agama mengacu pada tradisi ketuhanan dan segala

perspektif yang berkaitan dengan aspek transenden. Spiritualitas dan agama saling

berkaitan dengan budaya dan etnis. Mustahil untuk memahami budaya tanpa

memahami terlebih dahulu institusi agama dan praktek spiritual yang ada dalam

budaya tersebut. Di sisi lain, agama dan spiritualitas tak juga semata soal budaya.

Banyak agama yang multikultural, sebaliknya ada pula budaya yang di dalamnya

terdapat banyak agama.

e. Gender

Perbedaan lelaki dan perempuan menjadi dasar konstruksi sosial akan

konsep dan makna perbedaan seksual. Gender mengacu pada bagaimana

perbedaan tersebut diinterpretasi dan direfleksikan dalam sikap, peran sosial, dan

institusi sosial, termasuk pembagian sumber daya dan kekuasaan. Gender

merupakan aspek yang penting dalam identitas diri seseorang.

f. Orientasi seksual

Orientasi seksual mengacu pada kecenderungan dalam ketertarikan

secara seksual, kedekatan romantis, seta emosi terkait lainnya. Orientasi seksual

berbeda dengan identitas gender.

(31)

17

Aspek ini terutama ditentukan oleh seberapa besar pendapatan atau aset

material yang dimiliki serta status pekerjaan dan level pendidikan. Kelas sosial

tidak hanya sekedar faktor demografis namun juga menentukan perbedaan dalam

hal kekuasaan, khususnya kuasa atas sumber daya ekonomi dan peluang.

h. Ability/disability

Orang-orang dengan keterbatasan sering mengalami stigma, pengucilan,

dan ketidakadilan karena keterbatasan mereka. Keterbatasan ini membuat mereka

harus menjalani hidup dengan cara berbeda dengan orang „normal‟.

i. Usia

Anak-anak, remaja, orang dewasa berbeda secara psikologis, tahap

perkembangan, serta keterlibatan dalam komunitas. Menuanya usia juga

membawa perubahan pada hal pemegang kekuasaan dalam keluarga, komunitas,

dan masyarakat.

Selanjutnya, istilah keberagaman atau multikulturalisme dalam

masyarakat yang disebutkan dalam penelitian ini akan mengacu pada beragamnya

aspek-aspek yang disebutkan di atas dalam masyarakat tersebut.

2. Definisi Universal-Diverse Orientation

Miville (1999) mengajukan bahwa kepekaan dan penerimaan atas

perbedaan dan persamaan lah yang krusial dalam menyesuaikan diri dengan

lingkungan multikultur. UDO kemudian muncul dengan berlandaskan pada

(32)

Lebih spesifik, Vontress (1996) mengajukan bahwa kemampuan untuk

secara terus-menerus menerima dan mengapresiasi perbedaan dan persamaan

budaya dengan orang lain merupakan hal yang penting dalam membangun

hubungan antara orang-orang yang berbeda kebudayaan sama halnya dengan

adaptasi individu dalam lingkungan multikultur.

UDO dikembangkan oleh Miville, Gelso, Pannu, Liu, Touradji,

Holloway, dan Fuertes (1999) yang didefinisikan sebagai,

“Sikap inklusif sekaligus menganggap unik setiap manusia dengan cara menyadari dan menerima bahwa setiap manusia memiliki kesamaan serta perbedaan; pengalaman serupa sebagai manusia menciptakan rasa keterhubungan antar satu sama lain sekaligus memberikan kesadaran bahwa terdapat keberagaman di antara manusia.”

Definisi ini merefleksikan interrelasi antara komponen kognitif, perilaku

dan afektif dari UDO. UDO didefinisikan sebagai kesadaran dan penerimaan

terhadap persamaan maupun perbedaan yang ada di antara setiap manusia.

Kesadaran atas persamaan (universal), atau aspek yang dimiliki bersama oleh

setiap manusia, dapat menyatukan orang-orang. Sementara itu, perbedaan

(diverse) merupakan aspek unik yang dimiliki manusia tergantung pada budaya

maupun faktor individual lainnya (ras, jenis kelamin, agama, orientasi seksual,

nasionalisme, kepribadian). Faktor-faktor ini berdampak pada kemampuan

individu untuk berinteraksi secara efektif di dalam kelompok maupun antar

kelompok (Strauss & Connerley, 2003).

UDO muncul untuk memberi penjelasan lebih lanjut atas kompetensi

multikultural yang mencakup kemampuan umum untuk menerima dan memahami

(33)

19

menempatkan diri sendiri pada beragam situasi merupakan individu yang mampu

mengapresiasi perbedaan dan persamaan sehingga memiliki keterikatan emosi

yang dapat memperkuat UDO mereka.

Konsep UDO dapat memberi arah baru yang penting dalam asesmen

pada konseling multikultural maupun perancangan program diversitas (Fuertes

dkk 2000; Miville dkk, 1999). Tak hanya sekedar ada tidaknya prasangka, UDO

juga melihat apakah individu cenderung mendekati atau menghindari situasi

keberagaman. Dengan mengetahui tingkat UDO, praktisi dan peneliti bisa

menetapkan dasar dalam merancang program multikultural (Singley & Sedlacek,

2009).

UDO merefleksikan sikap kesadaran dan penerimaan pada adanya

kesamaan maupun perbedaan di antara manusia (Miville dkk, 1999). Menyadari

adanya persamaan universal di antara setiap manusia membuat individu mampu

melihat adanya koneksi dengan setiap manusia yang ada di dunia. Sebaliknya,

secara sadar mengakui bahwa masing-masing manusia juga memiliki perbedaan

membuat individu mampu melihat sisi unik dari setiap manusia. Penerimaan akan

kesamaan dan perbedaan ini membuat individu menjadi lebih menghargai

keunikan yang ada pada masing-masing manusia karena perbedaan latar belakang

namun di sisi lain tahu bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki persamaan

(Yeh & Arora, 2003).

Miville (1999) mengartikan persamaan atau universalitas sebagai

aspek-aspek dalam diri manusia yang dianggap sama antara satu orang dengan orang

(34)

unik dalam diri manusia yang muncul karena adanya perbedaan budaya dan

perbedaan individual. Menurut Miville, kesadaran akan adanya persamaan dan

perbedaan di antara manusia dapat membuat individu memiliki ikatan dengan

orang lain yang memiliki kesamaan namun juga secara bersamaan mampu

menerima, mengapresiasi, dan memahami orang lain yang memiliki perbedaan

(dalam Yeh & Arora, 2003).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka definisi UDO yang akan digunakan

dalam penelitian ini adalah kesadaran bahwa pada satu sisi setiap manusia

memiliki persamaan sehingga muncul perasaan terhubung antar sesama manusia

dan di sisi lain tiap-tiap manusia juga memiliki perbedaan yang memunculkan

penerimaan dan penghargaan atas keunikan yang dimiliki masing-masing orang.

3. Aspek-aspek Universal-Diverse Orientation

UDO terdiri dari tiga aspek yang merepresentasikan dimensi kognitif,

perilaku, dan afektif dari persepsi atas keberagaman. Dimensi kognitif disebut

sebagai Relativistic Appreciation, dimensi perilaku disebut Diversity of Contact,

dan dimensi afektif disebut Comfort with Differences (Miville dkk, 2000).

Strauss & Connerley (2003) menjelaskan lebih terperinci mengenai

ketiga aspek tersebut sebagai berikut:

a. Diversity of Contacts

Aspek perilaku dari UDO yang menjelaskan tentang tingkat ketertarikan

atau kecenderungan individu untuk berinteraksi dalam lingkungan sosial yang

(35)

21

ini melihat bagaimana individu secara aktif bersedia untuk berinteraksi dalam

lingkungan yang plural.

b. Relativistic Appreciation

Aspek kognitif dari UDO yang melihat sejauh mana individu mampu

merekognisi, memberi nilai, dan menerima persamaan dan perbedaan yang ada

antara manusia. Aspek ini menjelaskan tingkat apresiasi individu akan pentingnya

menyadari persamaan dan perbedaan yang ada di antara kelompok-kelompok

yang beragam serta menyadari bahwa hal tersebut akan memberi dampak positif

pada perkembangan dirinya.

c. Comfort with Difference

Aspek afektif dari UDO ini menjelaskan bagaimana individu merasa

terhubung dengan manusia lain karena adanya pengalaman yang sama sebagai

manusia. Individu mampu merasa nyaman dengan ide untuk berinteraksi dalam

lingkungan sosial yang memiliki keragaman.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Universal-Diverse Orientation

Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk merumuskan faktor-faktor apa

saja yang mempengaruhi tinggi rendahnya level UDO pada individu.

Faktor-faktor tersebut antara lain:

a. Faktor demografis

Faktor yang paling banyak dikaitkan dengan UDO adalah faktor

demografis seperti usia, jenis kelamin, dan ras. Ras minoritas seperti ras

(36)

(Strauss & Connerley, 2003; Singley & Sedlacek, 2009). Begitu pula dalam hal

gender. Wanita ditemukan memiliki level UDO yang lebih tinggi dibanding kaum

pria (Singley & Sedlacek, 2009). Hal ini dikarenakan baik ras minoritas maupun

wanita, secara umum mendapat perlakuan diskriminatif dari masyarakat sehingga

membuat mereka lebih peka pada pentingnya bersikap menghargai keberagaman.

b. Faktor kepribadian

Penelitian Thompson dkk (2002) menemukan bahwa terdapat hubungan

kepribadian yang ditinjau dari Five Factor Model dengan level UDO seseorang.

Individu dengan tipe kepribadian opennes to experience ditemukan memiliki level

UDO yang lebih tinggi dibanding tipe kepribadian lainnya.

c. Faktor pengetahuan

Pengetahuan tentang multikulturalisme dan multicultural competence

yang didapat melalui seminar, pelatihan, maupun pelajaran di kelas terbukti

berperan dalam meningkatkan level UDO individu (Yeh & Arora, 2003).

d. Faktor interaksi

Pendidikan inklusi dikatakan Allenby (2009) berperan dalam mengubah

sikap terhadap keberagaman para siswa menjadi lebih positif. Hal ini dikarenakan

siswa dapat berinteraksi secara langsung dengan siswa lain yang memiliki

disability. Keterlibatan siswa dalam organisasi dan aktivitas yang memungkinkan

mereka bertemu dan bekerjasama dengan kelompok-kelompok berbeda latar

(37)

23

B.Self Construal

1. Definisi Self Construal

Dalam sejarahnya, psikolog sosial memiliki kecenderungan untuk

berpikir bahwa konstruk diri merupakan suatu entitas yang independen dan

terpisah dari orang lain. Akan tetapi, bukti-bukti terkini, terutama dari perspektif

lintas budaya, menunjukkan bahwa konstruk diri sangat bergantung pada variabel

sosial seperti hubungan dengan orang lain atau keanggotaan dalam suatu

kelompok (Brewer & Gardner, 1996; Markus & Kitayama, 1991).

Individu sering kali mencari makna akan dirinya melalui afiliasi dengan

kelompok tertentu yang disebut social self (Brewer & Gardner, 1996). Faktanya,

teori motivasi terkini menunjukkan bahwa keterkaitan dan perasaan memiliki

dengan orang lain merupakan hal fundamental yang terus menerus dicari oleh

manusia (Baumeister & Leary, 1995). Hal ini lah yang memunculkan konsep self

construal.

Self construal berbicara tentang cara individu memandang diri mereka

dalam relasi dengan orang lain (Markus & Kitayama, 1991). Cara pandang yang

dimaksud adalah apakah individu memandang diri mereka sebagai bagian yang

otonom dari orang lain atau sebaliknya memiliki koneksi dan kelekatan dengan

orang lain. Self construal merupakan pikiran dan perasaan individu terkait

hubungannya dengan orang lain dan keunikannya dari orang lain (Singelis, 1994).

Teori self construal melihat bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh cara

individu itu sendiri dalam memandang dirinya, memandang orang lain, dan

(38)

Self construal sangat terkait dengan budaya dan merupakan hal yang

paling banyak dikaji pada penelitian lintas budaya (Kam, Zhou, Zhang, & Ho,

2012). Budaya timur yang kolektivis dan budaya barat yang lebih individualistis

dipercaya berkontribusi pada tipe self construal seperti apa yang dimiliki individu

dari budaya tersebut.

Dengan demikian, definisi self construal yang dimaksud dalam penelitian

ini adalah cara pandang individu terhadap dirinya dalam relasi dengan orang lain.

2. Interdependent dan Independent Self Construal

Riset mengenai self construal membedakan variabel ini menjadi dua tipe

yakni independent dan interdependent self construal yang didasarkan pada riset

lintas budaya. Pada awalnya, peneliti mengajukan konsep bahwa interdependent

dan independent self construal merupakan kutub yang berlawanan dari sebuah

variabel kontinuum self construal (Schimmack, Oishi, & Diener, 2005). Akan

tetapi, faktor analisis yang dilakukan terhadap aitem-aitem self construal

menunjukkan hasil bahwa interdependent dan independent self construal

merupakan konstruk yang terpisah. Seorang individu dapat memiliki kedua tipe

self construal secara simultan. Tipe self construal mana yang lebih dominan pada

individu tergantung pada tipe mana yang lebih sering diaktifkan dan menjadi

norma perilaku pada budaya tempat individu berada (Miramontes, 2011).

Penelitian Markus dan Kitayama (1991) menemukan bahwa orang-orang

dari budaya barat (seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa) yang

(39)

25

yang lebih dominan. Sementara itu, budaya kolektivis di timur (seperti

negara-negara di Asia) memunculkan individu yang lebih dominan pada interdependent

self construal.

Independent self construal ditandai dengan sifat stabil, unik, dan berbeda

dari yang lain. Konsep diri seperti ini membutuhkan perasaan terindividuasi dari

orang lain dan hasrat untuk menemukan keunikan dalam diri yang berbeda dari

orang lain. Perilaku interdependent self construal dicirikan dengan selalu berfokus

pada atribut internal dan unik dari diri. Diri dipandang sebagai sesuatu yang

otonom dan independen. Tujuan utama adalah tujuan diri sendiri. Independent self

construal cenderung menghasilkan self esteem yang tinggi (Singelis, 1994).

Sementara itu, interdependent self construal ditandai dengan individu

yang memandang dirinya tidak terpisah dari konteks sosial. Ia bersifat fleksibel

dan dapat berubah-ubah. Keterikatan dengan orang lain dan hubungan sosial

merupakan hal utama. Dalam hal pengambilan keputusan, hubungan sosial, peran

diri, dan konteks menjadi pertimbangan yang penting. Individu dengan tipe ini

memaknai hidupnya melalui hubungan dengan orang lain. Atribut internal diri

sendiri ditempatkan setelah relasi. Gaya komunikasi tipe ini cenderung tidak

langsung dan memikirkan perasaan lawan bicaranya (Markus & Kitayama, 1991;

Singelis, 1994).

Menurut Markus & Kitayama (1991), budaya memungkinkan tumbuhnya

salah satu tipe self construal pada masyarakatnya. Budaya yang menekankan

pentingnya relasi sosial sebagaimana terlihat pada budaya Jepang dan kebanyakan

(40)

Sebaliknya, budaya yang lebih mengutamakan prestasi personal seperti budaya

Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropa Barat, memungkinkan

munculnya independent self construal. Budaya yang dimaksud Markus &

Kitayama terdiri dari nilai dan norma dalam masyarakat.

Meskipun demikian, Triandis (2001) menyatakan tidak benar bila

interdependent dan independent self construal hanya dilihat semata dari

kecenderungan individualis atau kolektivis pada suatu budaya. Proses kognitif

individu dan situasi juga berpengaruh pada tipe self construal mana yang lebih

dominan pada individu tersebut. Terlebih, globalisasi semakin mengaburkan batas

antar negara sehingga budaya semata tidak dapat digeneralisasikan dalam

memprediksi self construal.

C.Kontak

1. Definisi Kontak

Teori kontak menyatakan bahwa menyatukan anggota-anggota dari

kelompak yang berbeda dan mendorong mereka untuk saling bekerjasama,

memiliki status yang setara, dan memiliki ikatan personal dapat meningkatkan

sikap positif kepada out-group dan mampu menciptakan harmoni antar kelompok

(Allport 1954; Janowski, 2000).

Kontak yang dimaksud tidak hanya sekedar perjumpaan secara fisik

karena pertemuan semata belum cukup untuk mempererat hubungan atau

mengubah suatu sikap (Nisbet, 1992). Kontak yang berperan dalam mengurangi

(41)

27

seperti pertemuan terstruktur antar kelompok dimana setiap anggota kelompok

dapat saling bekerjasama atau kontak yang terjadi dalam pertemanan (Pettigrew,

1998).

Ada beberapa kunci penting yang menjadikan suatu kontak antar

kelompok dapat merangsang perubahan perilaku dan sikap. Interaksi yang paling

mungkin dapat memberikan dampak positif dalam perubahan sikap adalah

interaksi dimana tiap individu memiliki status yang setara, individu-individu

tersebut terlibat dalam kegiatan untuk mencapai tujuan yang sama, dan interaksi

yang memberikan waktu bagi semua partisipan untuk saling mengenal satu sama

lain (Devine & O‟Brien, 2007).

Brickson (2000) menemukan bahwa banyak literatur menunjukkan

dampak positif dari kontak paling sering terjadi dalam setting sekolah atau

pendidikan. Hal ini dikarenakan syarat-syarat efektifnya kontak terpenuhi dalam

setting pendidikan seperti status yang setara antar murid dan peluang terjadinya

kerjasama untuk mencapai suatu tujuan.

Sejumlah penelitian mendukung teori kontak yang menyatakan bahwa

perubahan sikap yang positif dapat didorong ketika individu memiliki kontak

langsung dan positif dengan kelompok-kelompok yang berbeda dari kelompoknya

(Allenby, 2009). Teori kontak merumuskan bahwa kontak positif antara

kelompok-kelompok berbeda dapat mengurangi bias negatif, stereotype,

ekspektasi, dan perilaku diskriminatif (Allport, 1954; Roper, 1990).

Pada penelitian ini, kontak akan dimaknai sebagai interaksi langsung

(42)

yang melibatkan kerjasama untuk mencapai suatu tujuan serta aktivitas bersama

untuk dapat saling mengenal satu sama lain.

2. Kondisi Kunci Kontak Antarkelompok

Allport (dalam Pettigrew, 1998) berkeyakinan bahwa efek positif dari

kontak antarkelompok hanya dapat terjadi apabila empat kondisi kunci di bawah

ini terpenuhi, yakni:

a. Status yang setara

Allport menekankan pentingnya status yang setara dalam situasi kontak

antarkelompok. Tiap kelompok yang berinteraksi haruslah merasa memiliki status

yang setara satu sama lain. Ketika kelompok yang berinteraksi memiliki

perbedaan status, kontak justru dapat menghasilkan efek negatif (Jackman &

Crane, 1986). Ruang kelas adalah salah satu tempat dimana setiap kelompok yang

berinteraksi dapat merasakan status yang setara (Allenby, 2009).

b. Tujuan yang sama

Menghilangkan prasangka melalui kontak membutuhkan usaha yang

aktif dan berorientasi pada tujuan. Ketika kelompok-kelompok yang saling

berinteraksi memiliki tujuan yang sama, akan tercipta kondisi saling

membutuhkan antara kelompok tersebut agar tujuan dapat tercapai (Pettigrew,

1998).

(43)

29

Tercapainya tujuan yang sama pada kelompok harus terjadi dengan

adanya saling kerjasama antara kelompok yang terlibat dalam kontak

(Bettencourt, 1992).

d. Adanya dukungan dari otoritas yang lebih tinggi

Kondisi terakhir membutuhkan keterlibatan dari pihak-pihak lain yang

terkait dengan kelompok-kelompok yang saling berinteraksi. Sebagai contoh,

adanya aturan atau sanksi sosial akan membuat kontak antarkelompok diterima

lebih luas dan memberikan dampak positif yang lebih besar (Pettigrew, 1998)

3. Proses Perubahan Melalui Kontak Antarkelompok

Studi terkini dari Pettigrew (1998) merumuskan empat langkah yang

saling berkaitan dalam proses perubahan sikap melalui kontak. Langkah-langkah

tersebut adalah sebagai berikut:

a. Mempelajari kelompok lain

Teori awal menyatakan bahwa langkah pertama ini merupakan cara yang

paling utama agar kontak antarkelompok membuahkan hasil. Saat proses belajar

mampu mengoreksi pandangan negatif yang keliru pada kelompok tertentu, maka

kontak akan mampu mengurangi prasangka. Memberikan informasi-informasi

baru tentang kelompok yang lain akan mampu mendorong terjadinya perubahan

sikap menjadi lebih positif.

b. Mengubah perilaku

Kontak antarkelompok yang optimal merupakan salah satu bentuk awal

(44)

perubahan sikap. Menciptakan situasi baru dimana individu dituntut mengubah

perilakunya untuk semakin sering berinteraksi dengan anggota kelompok lain

akan semakin memudahkan terjadinya perubahan sikap.

c. Generalisasi ikatan afektif

Emosi merupakan hal yang sangat penting dalam kontak antarkelompok.

Kecemasan pada saat pertama kali berinteraksi dengan kelompok berbeda

merupakan hal yang biasa terjadi dan dapat memicu reaksi negatif (Islam &

Hewstone, 1993). Kecemasan ini akan semakin berkurang dengan semakin

seringnya interaksi. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan emosi-emosi

yang muncul dari individu pada saat melakukan kontak dengan

kelompok-kelompok lain.

d. Ingroup reappraisal

Kontak antarkelompok yang optimal memberikan pemahaman lebih baik

tentang kondisi ingroup sekaligus juga outgroup. Kontak tak hanya membuat

individu semakin mengenal kelompok lain namun juga semakin memahami

kelompoknya sendiri dengan bercermin pada pengetahuan barunya tentang

kelompok lain.

4. Kontak dan Perguruan Tinggi

Flexner (dalam Syukri 2009) menyatakan bahwa perguruan tinggi

merupakan sebuah tempat untuk mencari ilmu pengetahuan, memecahkan

berbagai masalah, mengkritisi karya-karya yang dihasilkan, dan sebagai pusat

pelatihan manusia. Lingkungan perguruan tinggi merupakan lingkungan untuk

(45)

31

kemampuan analisa yang tajam dan luas (Syukri, 2009). Misi perguruan tinggi

adalah pengajaran, penelitian dan aplikasi ilmu pengetahuan (Arthur, dalam

Syukri 2009) yang tercermin dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni

pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

Terkait dengan kontak antar kelompok, perguruan tinggi merupakan

salah satu tempat ideal untuk berlangsungnya kontak yang positif sebagaimana

halnya setting sekolah (Brickson, 2000). Interaksi mahasiswa di lingkungan

perguruan tinggi memenuhi kondisi-kondisi kunci terciptanya kontak antar

kelompok (Pettigrew, 1998). Peran perguruan tinggi dalam mendorong

mahasiswanya memiliki kompetensi multikultural yang baik sangatlah besar.

Masyarakat Indonesia pada umumnya mempunyai harapan yang tinggi bahwa

perguruan tinggi akan menjadi tempat latihan dan pendidikan putra-putrinya

untuk menjadi bagian dari kaum intelektual yang berilmu tinggi dan berperilaku

terpuji (Syukri, 2009).

Sayangnya, harapan besar masyarakat ini masih belum maksimal

diterapkan dalam perguruan tinggi. Sebagaimana dinyatakan Asyanti (2012),

perguruan tinggi kurang memberikan porsi pada pendidikan karakter mahasiswa.

Kurikulum pendidikan tinggi masih menitikberatkan pada kompetensi akademis.

Melihat bagaimana perbedaan kontak di perguruan tinggi dapat berperan

dalam memprediksi munculnya komptensi multikultural perlu dilakukan sebagai

salah satu dasar perancangan kurikulum pembentukan karakter mahasiswa.

(46)

maupun yang sekuler, dapat menggunakan kekuatan kurikulum untuk membentuk

pemikiran sekaligus karakter mahasiswa.

Perguruan tinggi pada umumnya menarik mahasiswa dari berbagai latar

belakang yang berbeda. Kondisi kunci kontak antar kelompok yang terpenuhi

dalam interaksi perguruan tinggi akan semakin maksimal dampaknya bila

perguruan tinggi tersebut juga memiliki kelompok-kelompok mahasiswa dari

berbagai etnis, agama, jenis kelamin, ras, dan budaya. Akan tetapi, tidak semua

perguruan tinggi memiliki komposisi mahasiswa yang sangat beragam.

Sejumlah perguruan tinggi, terutama yang berafiliasi pada agama, tentu

hanya akan memiliki kelompok mahasiswa dari satu agama tertentu. Selain itu,

keterkaitan budaya dan agama menjadikan perguruan tinggi yang berafiliasi pada

agama tertentu cenderung memiliki kelompok mahasiswa dari budaya tertentu

pula. Hal ini bukanlah suatu hal yang buruk mengingat tujuan didirikannya

perguruan tinggi berafiliasi agama memang lah untuk memperdalam ilmu

mengenai agama itu sendiri. Schwartz (2000) bahkan menyatakan biasanya

institusi kecil yang berafiliasi agama lah yang memiliki komitmen luas dan

komprehensif terhadap perkembangan karakter dalam semua dimensi kehidupan

perguruan tinggi.

Namun, pengembangan kompetensi multikultural pada mahasiswa di

perguruan tinggi tetap perlu menjadi perhatian. Mendorong terjadinya

kontak-kontak positif antar kelompok mahasiswa perlu dilakukan agar mahasiswa

nantinya tak canggung saat masuk ke masyarakat yang multikultur. Oleh karena

(47)

33

perguruan tinggi dapat mendorong terjadinya kontak yang positif dan karenanya

turut memicu berkurangnya prasangka antar kelompok. Penelitian ini akan

mencoba melihat bagaimana dua level kontak yang berbeda pada perguruan tinggi

umum dan perguruan tinggi yang berafiliasi agama akan berinteraksi dengan level

UDO mahasiswa di kedua perguruan tinggi tersebut.

D.Self Construal dan Kontak sebagai Prediktor UDO

Individu dengan interdependent self construal adalah individu yang

terhubung, memberi perhatian, dan responsif terhadap orang di sekitarnya

(Kondo, 1990). Mereka dengan gaya interdependent selalu mampu menemukan

cara untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekitarnya, mampu

memenuhi tuntutan peran yang diberikan masyarakat padanya, serta menjadi

bagian dalam berbagai relasi interpersonal (Yeh & Hwang, 2000). Kemampuan

mengendalikan perilaku, pikiran, emosi dan motivasi untuk mengakomodir orang

lain pada individu dengan interdependent self construal merupakan sumber dari

self-esteem mereka yang cenderung mendahulukan kepentingan orang lain di atas

kepentingannya sendiri (Markus & Kitayama, 1991).

Pada sisi lain, individu dengan independent self construal seringkali

dikarakteristikkan sebagai individu yang terpisah, unik, dan memiliki sense of self

yang di luar konteks (Sampson, 1989). Mereka dengan tipe self construal ini

terbiasa mengekspresikan pikiran, perasaan, dan perilaku mereka dengan bebas.

Lebih jauh, diri sendiri merupakan aktor utama yang mengendalikan perilaku dan

(48)

muncul dari sikap asertif, terang-terangan, dan menjadi diri yang unik (Markus

dkk, 1997).

Cross (2000) menyatakan bahwa perbedaan self construal pada individu

mempengaruhi perkembangan hubungannya dengan orang lain. Baik

interdependent maupun independent self construal berperan dalam membentuk

norma sosial dan kultural pada saat berinteraksi dalam sebuah hubungan (Markus,

1997). Pada masyarakat yang multikultural, kecenderungan memaknai hubungan

sosial akan berdampak pada bagaimana individu bersikap dan berperilaku di

tengah keberagaman tersebut. Oleh karena itu, perbedaan tipe self construal yang

dominan pada masing-masing individu diprediksi akan mempengaruhi bagaimana

ia memberi makna dan memperlakukan keberagaman yang ada di sekitarnya.

Pemberian makna dan perlakuan terhadap keberagaman ini yang dicirikan dengan

UDO.

Individu dengan interdependent self construal dan independent self

construal akan bereaksi berbeda dalam berinteraksi dan menjalin hubungan di

masyarakat. Melihat perbedaan karakteristik kedua tipe ini, interdependent self

construal diprediksi akan lebih berperan terhadap UDO.

Sebagai contoh, Cross (2000) menemukan bahwa individu dengan

interdependent self construal cenderung lebih mempertimbangkan konsekuensi

keputusan mereka atas orang lain dan mau mendengarkan opini serta kebutuhan

orang lain. Mereka membangun hubungan baru dengan membuka diri dan peka

terhadap kebutuhan orang lain. Sebagai hasilnya, cara interdependent dipandang

(49)

35

Memiliki interdependent self contrual membuat individu secara konstan

menyadari keberadaan orang lain dan fokus pada kebutuhan, hasrat, dan tujuan

orang lain (Markus & Kitayama, 1991). Menyadari keberadaan orang lain dan

mau menerima orang lain apa adanya merupakan salah satu ciri dari UDO.

Temuan Yeh & Arora (2003) menunjukkan individu dengan interdependent self

construal lebih sadar dan lebih mau menerima persamaan dan perbedaan mereka

dengan orang lain. Menyadari persamaan dan perbedaan dengan orang lain akan

mampu membantu individu dalam menjalin ikatan dengan mereka yang memiliki

kesamaan sekaligus mampu menghargai keunikan pada mereka yang berbeda.

Selanjutnya, variabel lain yang diprediksi akan berkontribusi pada level

UDO adalah faktor situasional berupa level kontak dengan kelompok-kelompok

yang beragam. Liebkind (2000) menyatakan bahwa cara terbaik untuk

mengurangi sikap antarkelompok yang negatif adalah dengan membiarkan

anggota-anggota dari masing-masing kelompok berinteraksi satu sama lain.

Perguruan tinggi bisa menjadi salah satu tempat ideal dimana kontak

positif dapat terjadi. Sebagaimana yang dikemukakan Allport (dalam Pettigrew,

1998) kondisi kunci yang harus dipenuhi agar kontak berdampak positif adalah

status yang setara, memiliki tujuan yang sama, terdapat kerjasama antarkelompok,

dan adanya dukungan dari otoritas yang lebih tinggi.

Mahasiswa di perguruan tinggi memiliki status yang setara sebagai

pelajar. Interaksi di ruang kelas yang dibuat oleh otoritas seperti dosen sering kali

menempatkan mahasiswa pada kondisi dimana mereka dituntut untuk saling

Gambar

Tabel 1. Blue Print UDO Sebelum Uji Coba
Tabel 2. Blue print Skala Self Construal Sebelum Uji Coba
Tabel 3. Hasil Uji Daya Beda Aitem UDO
Tabel 4. Blueprint Skala UDO Setelah Uji Coba
+7

Referensi

Dokumen terkait