• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gangguan Berbicara Psikogenik Pada Penderita Latah : Tinjauan Psikolinguistik ( Kasus Nurbaiti, Nursiah Dan Sri Wahyuni )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gangguan Berbicara Psikogenik Pada Penderita Latah : Tinjauan Psikolinguistik ( Kasus Nurbaiti, Nursiah Dan Sri Wahyuni )"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

GANGGUAN BERBICARA PSIKOGENIK

PADA PENDERITA LATAH : TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK

( KASUS NURBAITI, NURSIAH DAN SRI WAHYUNI )

SKRIPSI

Oleh

PURNAMASARI SIREGAR NIM 040701018

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

(2)

GANGGUAN BERBICARA PSIKOGENIK

PADA PENDERITA LATAH : TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK

( KASUS NURBAITI, NURSIAH DAN SRI WAHYUNI )

Oleh

PURNAMASARI SIREGAR NIM 040701018

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh

Pembimbing I Pembimbing II,

Dra. Salliyanti, M. Hum Drs. Pribadi Bangun Nip.131284308 Nip.19581019 198601 1002

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

(3)

PERNYATAAN

Penulis menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi dan

sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam

naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang penulis

buat ini tidak benar, penulis bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar

kesarjanaan yang penulis peroleh.

Medan, 30 Maret 2010

(4)

ABSTRAK

(5)

Skripsi ini telah diterima oleh Panitia Ujian Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar

Sarjana Sastra

Panitia Ujian

No Nama Jabatan Tanda Tangan

1 Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum Ketua

2 Dra. Mascahaya, M. Hum Sekretaris

3 Anggota

(6)

PRAKATA

Penulis puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan karunianya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik.

Skripsi ini bertujuan untuk memenuhi sebahagian syarat untuk

memperoleh gelar kesarjanaan.

Dalam proses penyelesaian penulisan skripsi ini penulis banyak

memperoleh bantuan dari berbagai pihak, baik berupa moril maupun materil.

Maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Ayahanda Surya Darma Siregar dan Ibunda Siti Olele Ge’e tercinta yang

telah banyak bersusah payah dan tanpa pamrih berbuat yang terbaik demi

kemajuan anak-anaknya.

2. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A, P.hd, sebagai Dekan Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.hum, sebagai ketua Departemen Sastra

Indonesia Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dra. Mascahaya, M.hum sebagai sekretaris Departemen Sastra Indonesia

Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dra. Salliyanti, M.Hum sebagai pembimbing I dan Bapak Drs. Pribadi

Bangun sebagai pembimbing II, yang telah sabar membantu dan

membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu Staf Pengajar Departemen Sastra Indonesia Universitas

(7)

7. Kepada Ibu, kakak (Rina dan Asnah), adik (Arief, Winda, Dinda, Wira,

Gilang, dan Rifky) dan keluarga terdekat yang sangat penulis cintai sepenuh

hati.

8. Teman-teman penulis Rika, Nova, Nona, Imel, Ida, Eva, Rudi Kalces, Azwar

Halim yang sangat penulis sayangi.

9. Kepada seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu dan telah tanpa

pamrih membantu penulis selama ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi

perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi para pembaca

umumnya, dan khususnya bagi penulis.

Medan, 30 Maret 2010

(8)

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1 Ekspresi Mpok Atik Ketika Latah ... 18

GAMBAR 2 Ekspresi Latah Ucapan Sri Wahyuni ... 30

GAMBAR 3 Ekspresi Latah Ekopraksia ... 31

GAMBAR 4 Ekspresi Latah Koprolalia ... 32

GAMBAR 5 Ekspresi Latah Automatik Obedience ... 33

GAMBAR 6 Sri Wahyuni Menirukan Gerakan Pok Ame-Ame

GAMBAR 7 Sri Wahyuni Tertawa Diganggu Temannya

GAMBAR 8 Sri Wahyuni Diganggu Temannya Disuruh Membuang Makanan Dari Mulutnya

GAMBAR 9 Sri Wahyuni Diganggu Teman Disuruh Memakai Baju Tidur

(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PERNYATAAN

ABSTRAK

PRAKATA ... i

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ... 7

2.2 Landasan Teori ... 8

2.3 Tinjauan Pustaka ... 9

2.3.1 Gangguan Berbicara Psikogenik ... 9

2.3.2 Latah ... 10

2.3.2.1 Pengertian ... 10

2.3.2.2 Jenis-Jenis Latah ... 12

2.3.2.3 Penyebab Timbulnya Penyakit Latah ... 14

(10)

2.3.3 Analisis Psikolinguistik ... 17

2.3.4 Fonologi dan Sintaksis ... 19

2.3.4.1 Fonologi ... 19

2.3.4.2 Sintaksis ... 21

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

3.1.1 Lokasi Penelitian ... 23

3.1.2 Waktu Penelitian ... 23

3.2 Populasi dan Sampel ... 23

3.2.1 Populasi ... 23

3.2.2 Sampel ... 24

3.3 Variabel Penelitian ... 25

3.4 Instrumen Penelitian ... 26

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 26

3.6 Teknik Analisis Data ... 28

BAB IV GANGGUAN BERBICARA PSIKOGENIK PENDERITA LATAH DITINJAU SECARA FONOLOGI DAN SINTAKSIS 4.1 Gangguan Berbicara Psikogenik Penderita Latah ... 30

4.1.1 Penderita Latah Pertama ... 30

4.1.2 Penderita Latah Kedua ... 34

4.1.3 Penderita Latah Ketiga ... 34

(11)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ... 44

5.2 Saran ... 45

(12)

ABSTRAK

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan suatu wujud yang tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan manusia. Bahasa adalah milik mutlak manusia dan telah menyatu

dengan pemiliknya. Bahasa selalu muncul dalam setiap aspek kehidupan manusia.

Tidak ada satu kegiatan manusia yang tidak disertai penggunaan bahasa. Oleh

karena itu, defenisi bahasa menjadi beragam sejalan dengan bidang kegiatan

tempat di mana bahasa itu digunakan. Bahasa dapat didefinisikan dari berbagai

sudut pandang. Namun, secara sederhana bahasa merupakan sarana komunikasi

yang berupa ungkapan dari pikiran manusia. Bahasa juga merupakan suatu sistem

simbol lisan yang bersifat mana suka yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat

bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antarsesamanya, berlandaskan pada

budaya yang mereka miliki bersama.

Jadi, dapatlah diartikan bahwa bahasa merupakan suatu sistem, sama

dengan sistem-sistem yang lain, yang sekaligus bersifat sistematis. Bahasa

bukanlah suatu sistem tunggal melainkan juga dibangun oleh sejumlah subsistem

yang terdiri atas fonologi, sintaksis dan leksikon. Selain itu, bahasa juga bukan

sekedar alat interaksi sosial, melainkan juga memiliki fungsi dalam berbagai

bidang, salah satunya adalah neurologi (otak).

Secara fonologi, penguasaan suatu bahasa dimulai dari otak lalu

dilanjutkan pelaksanaannya oleh alat-alat bicara yang melibatkan sistem saraf

(14)

mengeluarkan pikiran dan perasaan dari otak secara lisan, dalam bentuk kata-kata

maupun kalimat.

Seorang manusia yang normal fungsi otak dan alat bicara, tentu dapat

berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan

alat bicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, dengan kata lain

kemampuan berbahasanya terganggu.

Penyebab yang menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi yang

disebut dengan gangguan berbahasa sangat banyak. Gangguan berbahasa dapat

disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada alat artikulasi, bisa juga karena

terjadinya kerusakan pada otak. Secara medis menurut Sidharta (1984) gangguan

berbahasa itu dapat dibedakan atas tiga golongan yaitu (1)gangguan berbicara

(2)gangguan berbahasa (3)gangguan berpikir. Gangguan berbicara dapat

dikelompokkan atas dua kategori. Pertama, gangguan mekanisme berbicara yang

berimplikasi pada gangguan organik dan kedua, gangguan berbicara psikogenik.

Dalam skripsi ini, penulis akan membahas mengenai gangguan

berbahasa yang tergolong gangguan berbicara psikogenik, yang salah satu contoh

gangguan berbicara psikogenik yang khusus dibicarakan adalah latah.

Chaplin dalam Kamus Lengkap Psikologi (2006 : 396) mengatakan

penyakit psikogenik adalah satu penyakit fungsional yang tidak diketahui basis

organiknya, karena itu, mungkin disebabkan oleh konflik atau tekanan atau stress

emosional.

Salah satu kelainan berbahasa yang diakibatkan gangguan psikogenik

adalah latah. Latah pada umumnya dialami orang dewasa maupun remaja dan

(15)

kemungkinan terjadi juga pada laki-laki. Gangguan berbicara latah yang terjadi

pada orang dewasa berupa ucapan atau perbuatan yang terungkap secara tidak

terkendali setelah terjadinya reaksi pada saat terkejut karena terganggunya mental

(kejiwaan) seseorang.

Latah merupakan kajian menarik karena merupakan fenomena yang

lazim dialami masyarakat sekitar atau dengan kata lain bisa dikatakan latah sudah

satu tubuh dengan jiwa dan budaya masyarakat, malah latah menjadi tren

perbuatan atau ucapan dalam pergaulan sehari-hari. Latah merupakan suatu

bentuk anomali berbicara yang disebabkan suatu perbuatan atau ucapan yang

terjadi secara spontan akibat seseorang terkejut atau dikejutkan. Gangguan

berbicara psikogenik pada penderita latah ini terjadi karena terganggunya mental

(kejiwaan). Pembicaraan mengenai gangguan berbicara psikogenik latah ini

merupakan masalah yang sangat menarik untuk diteliti karena merupakan suatu

bentuk variasi berbicara normal yang disebabkan terganggunya mental (kejiwaan)

seseorang, dan latah merupakan fenomena yang lazim dialami masyarakat sekitar,

serta latah juga dijadikan gaya hidup masa kini dalam pergaulan sehari-hari.

Walaupun penelitian mengenai latah ini masih terbatas, hal ini tidak

menyurutkan minat peneliti untuk memilih topik pembicaraan mengenai

gangguan berbicara psikogenik pada penderita latah dalam skripsi ini karena

fenomena latah ini banyak diidap oleh masyarakat yang berdomisili di daerah

Kelurahan Mabar-Hilir, Kecamatan Medan-Deli, daerah peneliti berdomisili dan

(16)

1.2 Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, masalah

yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tinjauan Psikolinguistik terhadap gangguan berbicara

latah?

2. Bagaimana analisis fonologi dan sintaksis terhadap kata-kata atau

frase yang diucapkan oleh penderita latah?

1.3 Pembatasan Masalah

Suatu penelitian harus dibatasi agar masalah penelitian lebih terarah,

sehingga tujuan penelitian tercapai. Penelitian mengenai gangguan berbicara

dikelompokkan atas dua kategori: pertama, gangguan mekanisme berbicara yang

berimplikasi pada gangguan organik dan kedua, gangguan berbicara psikogenik.

Namun, keduanya memiliki jenis yang berbeda. Jenis gangguan berbicara yang

diidap oleh manusia sangat bervariasi. Untuk menghindari pembahasan yang

terlalu luas, peneliti tidak membahas gangguan berbicara yang berimplikasi pada

gangguan organik, tetapi peneliti khusus membahas mengenai gangguan berbicara

psikogenik pada penderita latah.. Namun, latah hanya dibicarakan secara garis

besar saja yaitu mengutip beberapa sampel contoh kata-kata yang diucapkan oleh

penderita latah yang akan ditinjau dari segi fonologi maupun sintaksis. Dalam

penelitian ini, masalah penelitian dibatasi pada kasus Nurbaiti (54), Nursiah (59)

dan Sri Wahyuni (17) yang berdomisili di Kelurahan Mabar-Hilir, Kecamatan

(17)

1.4 Tujuan dan Manfaat 1.4.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang dirumuskan, tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Memahami bagaimana tinjauan Psikolinguistik terhadap gangguan berbicara

latah.

2. Mengetahui dan memahami analisis fonologi dan sintaksis terhadap

contoh-contoh kata-kata yang diucapkan oleh penderita latah.

1.4.2 Manfaat Penelitian 1.4.2.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, manfaat hasil penelitian gangguan berbicara psikogenik

pada penderita latah adalah:

1. Menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat mengenai gangguan

berbicara psikogenik pada penderita latah.

2. Menjadi sumber masukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti dan

menganalisis lebih lanjut mengenai gangguan berbicara psikogenik penderita

latah.

1.4.2.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian gangguan berbicara psikogenik pada penderita latah

ini secara praktis dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran kepada

masyarakat untuk dapat menafsirkan atau memahami bagaimana hal-hal yang

menyebabkan kelatahan pada seseorang dan bagaimana menganalisis secara

(18)

membaca skripsi ini, masyarakat dapat mengetahui bahwa latah bukan suatu

penyakit, tetapi merupakan fenomena lazim yang terjadi dalam lingkungan

masyarakat yang disebabkan oleh faktor kebiasaan untuk mengucapkan kata-kata

latah tersebut. Dengan ini kajian tentang latah dapat dibahas dalam bidang bahasa,

(19)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda

ataupun gejala-gejala sosial yang dinyatakan dalam istilah atau kata. Fungsi

konsep yakni menyederhanakan pemikiran terhadap ide-ide, hal-hal, benda-benda,

maupun gejala sosial agar memungkinkan adanya keteraturan; sehingga

memudahkan terjadinya komunikasi ( Tohardi, 2008: 14-15 ).

Konsep yang mendasari penelitian ini yakni latah merupakan

gangguan berbicara psikogenik ( berhubungan dengan gangguan kejiwaan ) bukan

termasuk gangguan penyakit organik. Fenomena latah mulai diterima dan

merupakan sesuatu yang normal bagi masyarakat Indonesia. Latah dipercayai

berhubungan erat antara fungsi sistem saraf pusat, psikologi, sosial, dan terkait

dengan sistem budaya suatu masyarakat. Latah sebenarnya tidak ada kaitannya

dengan penyakit tertentu. Cikal bakal penyakit latah adalah ketidakmampuan

seseorang dalam mengatasi rasa kaget pada masa lalu, dan juga karena seseorang

mengikuti kebiasaan orang lain, sehingga latah ini perlu dikaji secara

psikolinguistik karena berkaitan dengan gangguan berbicara

psikogenik(nonorganik). Latah bisa berupa kata lengkap atau hanya potongan kata

paling akhir, dalam hal ini contoh kata-kata dari penderita latah tersebut akan

dianalisis secara fonologi maupun sintaksis dalam kajian ilmu bahasa.

2.2 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori Psikolinguistik, teori Sintaksis, dan

(20)

Secara etimologi psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan

linguistik. Namun, keduanya sama-sama meneliti bahasa sebagai objek

formalnya, hanya objek materialnya saja yang berbeda, linguistik mengkaji

struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses

berbahasa ( Abdul Chaer, 2003: 5 ). Psikolinguistik menguraikan proses-proses

psikologi yang berlangsung pada saat seseorang mengucapkan kalimat-kalimat

yang didengarnya pada waktu berkomunikasi , serta bagaimana kemampuan

berbahasa itu diperoleh manusia.

Teori Sintaksis merupakan teori yang digunakan dalam penelitian ini.

Pembicaraan mengenai latah ini berkaitan dengan contoh-contoh ujaran dalam

bentuk kalimat, klausa, ataupun frase yang diucapkan seseorang ketika terjadinya

reaksi kaget dalam dirinya karena terganggunya fungsi otak. Pembicaraan tentang

kalimat, klausa, frase-frase, dan juga pembicaraan tentang hubungan antara

kalimat (1) di atas dengan kalimat-kalimat sebelumnya dan sesudahnya pada

tataran wacana itu termasuk dalam bidang sintaksis ( M. Ramlan , 2005: 18).

Tuturan bahasa terdiri atas bunyi. Fonologi meneliti bunyi bahasa

tertentu menurut fungsinya. Modalitas mental yang terungkap oleh cara berbicara

sebagian besar ditentukan oleh nada, intonasi, dan intensitas suara, lafal, dan

pilihan kata. Ujaran yang berirama lancar atau tersendat-sendat dapat juga

mencerminkan sikap mental si pembicara ( Abdul Chaer, 2002 : 152 ). Kesilapan

fonologi pada penderita latah dapat berupa penggantian fonem, penambahan

fonem, dan penghilangan fonem. Kesilapan fonologi atau kesilapan

penyederhanaan adalah pengguguran sebuah fonem atau suatu bentuk kesilapan

(21)

2.3Tinjauan Pustaka

2.3.1 Gangguan Berbicara Psikogenik

Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas

psikis. Gusdi Sastra, dalam penelitiannya yang berjudul “ Ekspresi Verbal

Penderita Stroke Penutur Bahasa Minangkabau: Suatu Analisis Neurolinguistik ”

( 2007: 22 ), mengemukakan bahwa, ”manusia yang tidak bisa berbahasa secara

normal disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kerusakan pada bagian syaraf

bahasa di otak karena suatu hal, kerusakan pada alat-alat artikulasi, dan tekanan

mental.”

Secari garis besar, gangguan berbicara ini dapat dikelompokkan

menjadi dua jenis. Pertama, gangguan mekanisme berbicara yang berimplikasi

pada gangguan organik dan kedua, gangguan berbicara psikogenik.

Gangguan berbicara psikogenik adalah variasi cara berbicara yang normal, yang merupakan ungkapan dari gangguan di bidang mental. Modalitas mental yang terungkap oleh cara berbicara sebagian besar ditentukan oleh nada, intonasi, dan intensitas suara, lafal, dan pilihan kata. Ujaran yang berirama lancar atau tersendat-sendat dapat juga mencerminkan sikap mental si pembicara.(Chaer, 2003: 152)

Selanjutnya, Chaplin dalam Kamus Lengkap Psikologi (2006 : 396)

mengatakan, “penyakit psikogenik adalah satu penyakit fungsional yang tidak

diketahui basis organiknya, karena itu, mungkin disebabkan oleh konflik atau

tekanan atau stress emosional.”

Jadi, dari dua pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa gangguan

bicara psikogenik itu merupakan gangguan bicara yang tidak berasal dari

(22)

dipicu oleh mental seperti stres, ingin lain daripada orang pada umumnya, kurang

bisa mengendalikan emosi dan sebagainya.

2.3.2 Latah

2.3.2.1 Pengertian

Latah sering disamakan dengan ekolalia, yaitu perbuatan membeo atau

menirukan apa yang dilakukan orang lain. Tetapi, sebenarnya latah merupakan

suatu sindrom yang bersifat jorok dan gangguan lokomotorik yang dapat

dipancing.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, latah

mempunyai arti:

1. Menderita sakit saraf dengan suka meniru-niru perbuatan atau ucapan orang

lain.

2. Berkelakuan seperti orang gila, misalnya; karena kehilangan orang yang

dicintai.

3. Meniru-niru sikap, perbuatan, atau kebiasaan orang atau bangsa lain.

4. Mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh, jorok, berkenaan dengan

kelamin.

“Latah adalah suatu tindak kebahasaan pada waktu seseorang terkejut

atau dikejutkan, tanpa sengaja mengeluarkan kata-kata secara spontan dan tidak

sadar dengan apa yang diucapkannya”, (Soenjono Dardjowidjojo, 2003 : 154).

(23)

Selanjutnya, menurut Psikolog Eva Septiana Barlianto M.Si, “latah

adalah kebiasaan mengulang kata-kata terakhir yang diucapkan berkali-kali

terutama pada kondisi kaget atau situasi tidak sesuai dengan orang yang

bersangkutan. Latah bisa berupa kata lengkap atau hanya potongan kata paling

akhir”.

Khaltarina mengungkapkan bahwa, ”latah memiliki dimensi gangguan

fungsi pusat syaraf, psikologis, dan sosial. Berdasarkan kajian yang dilakukan,

gangguan latah biasanya tumbuh dalam masyarakat terbelakang yang menerapkan

budaya otoriter. Latah dianggap sebagai satu sindrom budaya masyarakat

setempat.”

Menurut Soenjono Dardjowidjojo ( 2003: 154 ) latah mempunyai

ciri-ciri sebagai berikut:

a. latah hanya terdapat di Asia Tenggara

b. pelakunya hampir semua wanita

c. kata-kata yang dikeluarkan umumnya berkaitan dengan seks atau alat kelamin

pria atau jantan

d. kalau terkejutnya berupa kata, maka si latah juga bisa mengulang kata itu saja.

Contoh: bila si A dikejutkan dengan kata kuda , maka konon dia juga

akan berkata kuda.

Jadi, berdasarkan pendapat ahli di atas diambil kesimpulan bahwa

latah merupakan gangguan berbicara yang tidak jelas asal-usulnya, namun karena

fungsi syaraf otak yang salah. Pada umumnya latah terjadi karena prilaku

lingkungan sosial dari penderita latah tersebut.

(24)

terhadap mereka yang berlatar ras, agama, atau sosial ekonomi, yang berbeda; usaha memperbaiki mereka yang mempunyai standar penampilan dan standar prilaku yang berbeda, dan usaha-usaha remaja untuk menarik perhatian dengan mengenakan pakaian yang mencolok, menggunakan bahasa yang tidak lazim, sombong, membual, dan menertawakan orang lain.

Selain itu Elizabeth B. Hurlock ( 1980: 321 ) kembali mengemukakan bahwa usia madya merupakan masa stress. Penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola hidup yang berubah, khususnya bila disertai dengan berbagai perubahan fisik, selalu cenderung merusak homeostasis fisik dan psikologis seseorang dan membawa ke masa stress, suatu masa bila sejumlah penyesuaian yang pokok harus dilakukan di rumah, bisnis, dan aspek sosial kehidupan mereka.

2.3.2.2 Jenis-jenis Latah

Secara umum ada empat jenis latah yaitu:

1. Ekolalia, latah dengan mengulangi perkataan orang lain.

Contoh : jika orang yang berada di dekat penderita mengagetkannya dengan

menyebutkan kata gila, maka penderita latah secara spontan akan mengulangi

kata-kata tersebut berulang-ulang.

2. Ekopraksia, latah dalam bentuk meniru gerakan orang lain. Artinya, ketika

melihat orang lain bertingkah unik, secara spontan orang yang mengidap latah

ekopraksia akan meniru persis gerakan orang tersebut secara berulang-ulang.

Contoh : jika orang yang berada di dekat penderita latah mengagetkannya

sambil menari,maka secara spontan penderita latah akan ikut menari.

3. Koprolalia, latah dengan mengucapkan kata-kata tabu atau kotor. Artinya,

ketika ada seseorang yang mengagetkannya secara spontanitas penderita latah

(25)

4. Automatic obedience: melaksanakan perintah secara spontan pada saat

terkejut, misalnya; ketika penderita dikejutkan dengan seruan perintah seperti

”sujud” atau ”peluk”, ia akan segera melakukan perintah itu.

Pada situs Republik Latah, Yoga Putra, mengelompokkan jenis latah

menurut sifatnya sebagai berikut.

1. Latah Konsisten.

Latah ini dicirikan dengan ucapan kata atau kalimat, atau bahkan perbuatan,

yang selalu sama, apa pun jenis rangsangannya. Contohnya "Eh copot, eh

copot, copot..."

2. Latah Variasi

Kalau yang ini kebalikannya latah konsisten. Respon latah amat tergantung

dari bunyi suara, perilaku, isi pikiran, perintah seseorang, atau wujud dari

rangsangan yang mengagetkan itu sendiri. Mendengar klakson ditekan,

langsung ngomong, "Eh tin-tin, eh tin-tin, eh tin-tin... eehh...". Disuruh buka

baju langsung buka baju. Disuruh cium langsung cium. Disuruh meluk

langsung meluk.

3. Latah Tertunda

Biasanya orang yang seperti ini tidak kaget saat menerima rangsangan, tapi ia

terus memikirkannya, dan tanpa sadar menjadi sugesti, lalu tiba-tiba terkejut

karena pikirannya sendiri di lain waktu. Orang yang menderita latah tertunda

seperti ini, tidak banyak jumlahnya. Ciri utamanya adalah kalimat latah

terucap tiba-tiba tanpa sebab yang jelas. Contohnya seseorang yang awalnya

mengaku habis menabrak kucing di jalan, saat bercerita dan membayangkan,

(26)

mati...". Padahal, sewaktu nabrak kucing dia cuma bilang "Astagfirullah

aladzim."

4. Latah Tidak Tulus

Ini adalah latah yang dilakukan karena mengikuti tren saja. Cirinya adalah

ekspresi yang keluar aneh, nada bicara datar, dan diikuti dengan tingkah sok

menyalahkan orang lain karena menyebabkan dia latah. Contoh, "Eh kampret,

eh copet, eh jambret, eh... apa sih? Eike kan gak latah,". Mereka yang berlatih

dengan baik bisa lepas dari ketidak tulusan ini dan mampu menjadi pelatah

sejati.

Di dalam penelitian ini, peneliti meneliti sampel berdasarkan jenis

latah secara umum yaitu: ekolalia, ekopraksia, koprolalia dan automatic

obedience.

2.3.2.3 Penyebab Timbulnya Penyakit Latah

Tingkat risiko tertular penyakit latah antar orang yang satu dengan

yang lain tentu tidak sama. Faktor pemicunya pun tidak sama, antara lain:

1. Faktor Pemberontakan

Dalam kondisi latah, seseorang bisa mengucapkan hal-hal yang dilarang, tanpa

merasa salah. Gejala ini semacam gangguan tingkah laku. Lebih ke arah

obsesif karena ada dorongan tidak terkendali untuk mengatakan atau

(27)

2. Faktor Kecemasan

Gejala latah muncul karena yang bersangkutan memiliki kecemasan terhadap

sesuatu tanpa ia sadari. Rata?rata, dalam kehidupan pengidap latah, selalu

terdapat tokoh otoriter, bisa ayah atau ibu atau di luar lingkungan keluarga.

Latah dianggap jalan pemberontakannya terhadap dominasi orangtua yang

sangat menekan.

3. Faktor pengondisian.

Inilah yang sering disebut latah karena ketularan. Seseorang mengidap latah

karena dikondisikan lingkungan, misalnya di saat latah, seseorang merasa

diperhatikan lingkungannya. Dengan begitu, latah juga merupakan upaya

mencari perhatian.

2.3.2.4 Contoh Kasus Latah

Dalam istilah bahasa Indonesia, pengertian latah lebih banyak

mengandung unsur konotatifnya dibanding unsur denotatifnya. Sedikit sekali

menemukan kata latah yang punya makna positif. Yang menarik, timbul

pertanyaan mengapa latah lebih banyak ditemukan di dunia hiburan? Begitu

banyak pekerja di dunia hiburan, baik itu pelawak, presenter, komedian,

pesinetron dan semacamnya yang awalnya normal-normal saja, tiba-tiba ketularan

latah? Bahkan menejer, make up artis, hair stylist, orang produksi, bahkan supir

artis sekalipun mudah tertular latah.

Anehnya, orang yang bergaya latah itu akhirnya jadi cepat sekali

terkenal karena bisa jadi bahan ejekan dan lelucon, serta bentuk fisik yang unik,

(28)

memerankan lelakon komedi di sinetron atau film. Padahal latah kerap disebut

sebagai budaya keterbelakangan? Sebuah teori bahkan menyebutkan kalau budaya

latah biasanya diderita oleh kalangan berpendidikan rendah, dan ekonomi rendah.

Olga Syahputra, komedian sekaligus presenter Dasyhat ini mendapat

teguran dari KPI, karena Ia sering melatahkan kata-kata jorok saat siaran

langsung. Lantas bagaimanakah tanggapan Olga atas hal tersebut? Menurut

penuturan sang produser acara musik Dasyhat, Oke Yahya menuturkan bahwa

sebenarnya kejadian Olga latah jorok bukan pada saat saat Ia membawakan acara

Dasyhat tapi karena tengah menghadiri salah satu aksi sulap dari finalis

‘D’Master’. Dan pada saat berada di dekat penonton itulah Olga latah jorok.

Untungnya, suara pelantun ‘Hancur Hatiku’ itu tak terlalu terdengar, kamera juga

tidak tengah mengarah kepadanya. Namun, tetap saja masyarakat tahu kalau Olga

baru saja latah jorok. “Mungkin latahnya itu di luar kontrol. Dia tidak bermaksud

begitu, malah saat itu Olga langsung minta maaf serta sikapnya mendadak agak

berubah, jadi pendiam.

Komedian Parto ‘Patrio’ tentunya sudah tidak asing lagi. Pemilik nama

asli, Eddy Supono ini juga dikenal dengan penyakit yang suka berbicara latah.

Tidak heran jika setiap kali tampil, Parto menjadi bulan-bulanan bahan ledekan

terkait gaya latahnya itu. Pria berkacamata itu mengaku tidak ingat persis

bagaimana awal mula penyakit latah ini menderanya. Yang Ia ingat, kebiasaan

latah itu berawal dari rasa kaget ketika dia bersama grup Patrio jalan-jalan. “Sejak

saat itu saya mulai kagetan, gara-gara dikageti Akri dan Eko, ada truk di belakang

saya,” ujarnya. Otomatis apa yang terjadi pada pemain OKB dan Opera Van Java

(29)

mengagetkan pria 47 tahun ini. Meskipun sering menjadi obyek penderita, Parto

mengaku tidak bisa marah karena baginya itu juga menjadi salah satu ibadah

menyenangkan orang. “Membuat orang senang itu kan ibadah, jadi senang aja

bila ada orang yang ngagetin, biarpun sering jantungan juga, ” tambah Parto. Bagi

orang lain, gaya bicara latah Parto itu barangkali sedikit menjengkelkan karena

sebagian orang menganggap semua itu dibuat-buat demi memancing tawa.

Dengan kata lain, gaya ngomong latah itu dituding bukan sifat natural melainkan

trik kesengajaan seorang pelawak untuk menyegarkan suasana. Namun, Parto

meyakinkan bahwa semua itu terjadi begitu saja tiap kali ada orang lain menepuk

pundaknya dari belakang secara tak terduga.

Satu lagi fenomena artis latah yang sangat sering kita lihat adalah

Mpok Atik. Artis multi talenta ini sudah sejak lama menderita latah. Bahkan, Ia

mengaku dalam komunikasinya sehari-hari, Ia selalu latah di dalam ucapannya.

Tetapi, Iactidak latah berbahasa tabu(koprolalia). Melainkan, Ia hanya mengulang

(30)

Gambar 1. ekspresi Mpok Atik Ketika Latah

2.3.3 Analisis Psikolinguistik

Secara etimologi, kata psikolinguistik berasal dari kata psikologi dan

kata linguistik. Kedua bidang ilmu ini sama-sama meneliti bahasa sebagai objek

formalnya.

Secara rinci psikolinguistik mempelajari empat topik utama yaitu (1)

komprehensi, yakni proses-proses mental yang dilalui oleh manusia sehingga

mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan memahami apa yang

dimaksud, (2) produksi, yakni proses mental pada diri kita yang membuat kita

dapat berujar seperti yang kita ujarkan, (3) landasan biologis dan neurologis yang

membuat manusia bisa berbahasa dan (4) pemerolehan bahasa, yakni bagaimana

anak memperoleh bahasa.

Ilmu psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi

yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat yang didengarnya pada

waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh

manusia. Maka secara teoretis, tujuan utama psikolinguistik adalah mencari satu

teori bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan secara psikologi dapat

menerangkan hakikat bahasa dan pemerolehannya. Dengan kata lain,

psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana

struktur ini diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami

kalimat-kalimat dalam pertuturan itu. Dalam praktiknya, psikolinguistik mencoba

menerapkan pengetahuan linguistik dan psikologi pada masalah-masalah seperti

pengajaran dan pembelajaran bahasa, pengajaran bahasa permulaan dan membaca

(31)

gagap,latah dan sebagainya, serta masalah-masalah sosial lain yang menyangkut

bahasa.

2.3.4 Fonologi dan Sintaksis 2.3.4.1 Fonologi

Pada sekitar umur 6 bulan, anak mulai mencampur konsonan dengan

vokal sehingga muncullah apa yang sering disebut celotehan yang merupakan

akar dari fonologi. Di dalam penelitian bahasa yang tertentu, para ahli fonologi

mendaftarkan setiap fonem dalam suatu bahasa ke dalam komponen utama

fonologi.

“Komponen fonologi adalah system bunyi suatu bahasa (Chaer,

2003:43)”. Fonologi boleh disebut ilmu bunyi yang ‘fungsional’.

Untuk memahami rumus dasar fonologi kita ambil contoh kata

sederhana gelegak dalam bahasa Indonesia. Bunyi k pada akhir kata gelegak bisa

saja dipresentasikan menjadi g. Sehingga lafalnya menjadi gelegag.

Namun, meskipun ucapannya berbeda secara fonologi, tetapi

maknanya tidaklah berbeda dan ketika kata itu diucapkan, seluruh orang Indonesia

memahaminya. Jadi dapat disimpulkan, bahwa secara fonologi konsonan k dan g

dapat saling menggantikan jika muncul atau diucapkan pada akhir kata yang

didahului oleh huruf vocal. Contoh lainnya, gagak, gerobak, tegak, dsb.

Berbeda ketika sebuah fonem menjadi fungsi pembeda pada dua buah

kata seperti kata rupa dan lupa, perbedaan perubahan bunyi ada pada fonem r dan

l, membedakan arti dari kata tersebut.

Jenis-jenis perubahan bunyi tersebut dibagi menjadi:

(32)

Asimilasi adalah perubahan bunyi dari dua buah bunyi yang tidak sama

menjadi bunyi yang sama atau yang hampir sama. Contohnya, kata tentang

dan tendang. Dari segi pengucapan sangatlah mirip satu sama lain atau hampir

sama pengucapannya.

2. Disimilasi

Disimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau mirip

menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda. Contohnya, prefiks ber ditambah

kata ajar, semestinya menjadi berajar. Namun karena ada dua bunyi r, maka r

yang pertama di disimilasi menjadi huruf l, sehingga kata tersebut menjadi

belajar.

3. Netralisasi

Netralisasi adalah perubahan bunyi fonetis sebagai akibat pengaruh

lingkungan. Untuk lebih jelasnya perhatikan kata barang dan parang. Pada

kedua kata tersebut dapat disimpulkan bahwa di dalam bahasa Indonesia

terdapat fonem [b] dan [p] yang mampu membedakan arti. Namun pada

kondisi tertentu, fungsi pembeda pada fonem [b] dan [p] menjadi samar

bahkan hilang jika dilihat dari kata sebab dan atap yang pengucapan fonem

[b] dan [p] menjadi sama.

4. Zeroisasi

Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya

penghematan pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan

bahasa-bahasa di dunia termasuk bahasa-bahasa Indonesia, asal tidak mengganggu proses dan

tujuan komunikasi tersebut, secara tidak sengaja telah disepakati bersama oleh

(33)

proses zeroisasi di antaranya kata tidak sering diucapkan menjadi tak atau gak.

Kata untuk menjadi tuk, kata bagaimana menjadi gimana dan sebagainya.

5. Diftongisasi

Diftongisasi adalah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua

bunyi vokal secara berurutan. Contoh, kata teladan menjadi tauladan.

6. monoftongisasi

monoftongisasi adalah perubahan dua bunyi vokal menjadi vokal tunggal.

Contoh, kata kalau berubah jadi kalo

7. anaptiksis

Anaptiksis adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan huruf tertentu

untuk memperlancar ucapan tanpa membedakan arti sesungguhnya. Contoh,

kata kapak disebut menjadi kampak.

Jadi, berdasarkan wacana di atas dapat disimpulkan bahwa pengucapan

fonem ini bergantung pada lingkungan fonem itu sendiri.

2.3.4.2 Sintaksis

Sintaksis merupakan komponen sentral dalam pembentukan kalimat.

“Sintaksis adalah urutan dan organisasi kata-kata yang membentuk frase atau

kalimat dalam suatu bahasa menurut aturan atau rumus dalam bahasa itu.”

(Chaer,2003:39)

Verhaar (2004:161) menyatakan, ”Sintaksis adalah tatabahasa yang

membahas hubungan antar kata dalam tuturan.” tuturan adalah apa yang

diucapkan oleh seseorang. Salah satu satuan tuturan adalah kalimat. Jadi secara

(34)

Tugas utama komponen sintaksis adalah menentukan hubungan antara

pola-pola bunyi bahasa itu dengan makna-maknanya dengan cara mengatur urutan

kata-kata yang membentuk frase atau kalimat itu agar sesuai dengan makna yang

diinginkan oleh penuturnya.

Frase dibagi atas ( 1 ) frase endosentrik dan ( 2 ) frase eksosentrik.

Frase endosentrik adalah frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan

unsurnya, baik semua unsurnya maupun salah satu dari unsurnya. Sedangkan,

frase eksosentrik adalah frase yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan

semua unsurnya.

Untuk mengetahui bagaimana cara kerja komponen sintaksis ini,

perhatikan contoh.

Kuda itu menendang petani.

Jika dipenggal berdasarkan frasenya maka seharusnya setiap penutur bahasa

Indonesia akan memenggalnya menjadi:

Kuda itu // menendang // petani.

Jadi, setiap penutur bahasa Indonesia akan memenggal kalimat tersebut

menjadi frase seperti di atas. Kemampuan ini menunjukkan bahwa secara sadar

(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di daerah Mabar-hilir Jalan Mangaan VIII

Pasar III, Kecamatan Medan-Deli, Medan, Sumatera Utara.

3.1.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan selama 5 bulan dari tanggal 14 Januari-31 Mei

2009.

3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi

Menurut Arikunto (2000:108) mengatakan bahwa “Populasi adalah

sekumpulan unsur atau elemen yang menjadi objek penelitian”.

“Populasi adalah sekumpulan unsur atau elemen yang menjadi objek

penelitian.” ( Malo, 1985: 149 ).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat di daerah

Kelurahan Mabar-Hilir, Kecamatan Medan-deli. Populasi target yakni seluruh

masyarakat Kelurahan Mabar-hilir yang menderita latah. Namun, karena faktor

waktu, populasi target yang ditentukan peneliti tidak dapat sepenuhnya ditemui di

lapangan, sehingga peneliti menetapkan populasi surveinya hanya di daerah

(36)

A

B

B A

Populasi Target dan Populasi Survei

Ket : Populasi Target (Seluruh penderita latah Kelurahan Mabar Hilir)

Populasi Survei (khusus penderita latah yang berdomisili di Jalan

Mangaan VIII Mabar-Hilir)

3.2.2 Sampel

Arikunto (2000:131) mengatakan bahwa “ Sampel adalah sebahagian

atau wakil populasi yang diteliti”.

Selain itu, Arikunto (2000:134) juga mengatakan, “ Untuk sekedar

ancer- ancer, maka apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua

sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Tetapi, jika jumlah

subjeknya besar, dapat diambil antara 10- 15% atau 20- 25% atau lebih...”.

Memperhatikan jumlah populasi relatif besar, maka tidak semua

anggota populasi diteliti, sehingga dalam penelitian ini ditetapkan yang menjadi

sampel adalah masyarakat yang berdomisili di daerah Jalan Mangaan VIII Pasar

III Mabar-Hilir, Kecamatan Medan-Deli yang berjumlah 3 orang. Pengambilan

sampel dilakukan yakni dengan sampel non-probabilita. Penarikan sampel

dilakukan secara sengaja ( purposive sampling ), peneliti meneliti secara sengaja

subjek penelitian dengan terlebih dahulu melakukan survei untuk mengetahui

(37)

Penderita latah yang menjadi subjek penelitian adalah penderita latah

berat yakni latah ekolalia, ekopraksia, koprolalia, dan automatic obedience, yang

berjumlah 1 orang, sedangkan 2 orang subjek penelitian yang lain menderita latah

koprolalia. Jadi ada 3 subjek yang diteliti.

3.3 Variabel Penelitian

Variabel adalah konsep yang masih abstrak, yang diubah

sehinggalebih kongkrit, agar dapat diamati atau diukur. Dengan kata lain, variabel

adalah konsep yang mempunyai variasi nilai ( Tohardi, 2008: 15 ).

Adapun variabel dalam penelitian ini antara lain:

1. Jenis Kelamin ( laki-laki atau perempuan )

Menurut psikolog Rahayu ( Aplaus, 2007: 24 ) penderita latah umumnya

jumlahnya lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki.

2. Usia

Psikolog Rahayu ( Aplaus, 2007: 24 ) mengemukakan pandangan teori kuno

yang menyatakan penderita latah biasanya orangtua, perempuan,

berpendidikan rendah, dan berasal dari ekonomi rendah.

3. Status ekonomi / pekerjaan

Psikolog Rahayu ( Aplaus, Oktober 2007: 24 ) mengemukakan pandangan dr.

R. Khaltarina, Psi., Msi., yang menyatakan bahwa gangguan latah biasanya

tumbuh dalam masyarakat terbelakang ( ekonomi rendah ) yang menerapkan

budaya otoriter.

4. Lingkungan Sosial dan diri sendiri

Menurut psikolog Eva Septiana Barlianto, M.Si. ( Muslimah, Mei 2007: 43 )

(38)

sering latah hingga menjadi kebiasaan, faktor cemas yang berlebihan, serta

diri sendiri.

3.4 Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini

digunakan tiga alat pengumpulan data ( instrumen penelitian ) penelitian. Ketiga

alat yang dimaksudkan antara lain:

1. Observasi, yaitu melakukan pengamatan langsung ke objek penelitian.

2. Interview ( wawancara ), yaitu mengadakan Tanya jawab secara langsung

kepada informan yang diharapkan dapat memberi keterangan-keterangan yang

diperlukan seperti wawancara dengan penderita latahdan masyarakat sekitar.

3. Studi Kepustakaan, yaitu menelaah beberapa literatur yang berisikan pendapat

atau teori-teori para ahli yang berkenaan dengan permasalahan yang diteliti.

4. Sumber lain yakni melalui internet dalam www. google. Com.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini bersifat kualitatif. Dalam

hal ini, Bogdan dan Taylor ( dalam Maleong, 1998: 3 ) mengatakan bahwa

prosedur kualitatif menghasilkan penelitian yang mengungkapkan data kualitatif

dengan pendekatan yang diarahkan pada latar dan idividu secara holistic ‘utuh’

atau memandangnya sebagai suatu kesatuan. Jenis data dalam penelitian ini

adalah data kualitatif. Dengan demikian, sumber data terdiri atas data primer dan

data sekunder. . Data primer atau objek fokus dalam penelitian ini, yakni Penulis

mengambil responden sebagai sumber data dalam penelitian 3 orang perempuan

(39)

Data primer diperoleh dari lokasi penelitian melalui cara-cara sebagai berikut.

( 1 ) Observasi

Observasi yaitu pengumpulan data dengan melakukan pengamatan

langsung ke objek penelitian. Teknik ini digunakan untuk mengenali dan

menemukan beberapa data berkenaan dengan kondisi objektif di lokasi penelitian.

Bersamaan dengan observasi dilakukan pencatatan dan pemotretan. Teknik yang

digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pancing, teknik rekam, dan teknik

catat ( Sudaryanto, 1993 : 35-137 ). Teknik rekam dilakukan dengan

menggunakan kamera perekam. Sebelum teknik rekam dilakukan, terlebih dahulu

penulis melakukan teknik pancing, yaitu memancing responden, yakni dengan

menemui responden di kediamannya dan mengajaknya untuk berbincang-bincang

demi kesahian data.

( 2 ) Wawancara

Wawancara yaitu pengumpulan data dengan melakukan wawancara

mendalam terhadap objek penelitian. Teknik wawancara yang digunakan adalah

wawancara tidak berstruktur yaitu dengan mengajukan beberapa pertanyaan

secara langsung dan sebagai instrumen adalah peneliti sendiri. Kemudian

dikembangkan dan diperdalam sesuai dengan data yang dibutuhkan. Informasi

yang diperoleh selanjutnya dicatat dan direkam secara bersamaan.

Selanjutnya,data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui

sumber-sumber subjek material tertulis seperti: buku cetak, internet dalam artikel,

karya tulis lainnya untuk mengambil informasi tambahan yang terkait dengan

(40)

membaca, kemudian mencatat dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah

penelitian.

3.6 Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan dilakukan sejak

pengumpulan data. Penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan segi proses

daripada hasil. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif.

Data kualitatif adalah data berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka.

Data tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto,

video tape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya.

Metode adalah cara yang harus dilaksanakan. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode cakap, simak, padan dan metode agih( Sudaryanto,

1993 : 13-143 ).

Metode simak digunakan untuk menyimak hasil tutur informan.

Metode cakap merupakan metode yang dilakukan dengan percakapan dan kontak

langsung antara peneliti dengan penutur. Dalam hal ini, kata-kata atau frase yang

diucapkan oleh penderita latah dianalisis secara keseluruhan dengan analisis

fonologi dan sintaksis. Metode agih digunakan peneliti untuk memahami dan

menganalisis data. Metode agih menggunakan bahasa sebagai alat penentu untuk

menganalisis data bersangkutan. Dalam metode agih ini analisis data

dikembangkan dengan menggunakan teknik lanjutan yakni: teknik lesap, teknik

ganti, teknik sisip, dan teknik ubah ujud. Teknik lesap digunakan dalam analisis

fonologi untuk melesapkan ( melepaskan, menghilangkan, menghapuskan,

mengurangi) unsur tertentu satuan lingual yang bersangkutan. Teknik ganti

(41)

dengan ‘unsur’ tertentu. Teknik lesap adalah teknik penambahan unsur tertentu

satuan lingual yang bersangkutan. Teknik ubah ujud adalah mengubah wujud

(42)

BAB IV

GANGGUAN BERBICARA PSIKOGENIK PENDERITA LATAH DITINJAU SECARA FONOLOGI DAN SINTAKSIS

4.1 Gangguan Berbicara Psikogenik Penderita Latah 4.1.1 Penderita Latah Pertama

SRI WAHYUNI (17 tahun)

Secara umum ada empat jenis latah yang diidap oleh Sri Wahyuni antara

lain:

1. Ekolalia

yaitu latah dengan mengulangi perkataan orang lain.

Contoh: Cudut Gila ( seperti dalam gambar (1)

(43)

Teman Sri Wahyuni yang bernama Uci mengagetkan dirinya dengan

kata ‘cudut gila!’, maka dalam kondisi latah yang dialaminya secara spontan Sri

Wahyuni mengucapkan kata tersebut secara berulang-ulang, yakni “ cudut gila,

cudut gila,…!”

2. Ekopraksia

Latah dalam bentuk meniru gerakan orang lain. Artinya, ketika melihat

orang lain bertingkah unik, secara spontan orang yang mengidap latah ekopraksia

akan meniru persis gerakan orang tersebut secara berulang-ulang.

Contoh: Pok ame-ame ( melakukan gerakan sambil memperagakan pok ame-ame

( seperti dalam gambar 2 ) ).

(44)

Uci teman Sri Wahyuni bertingkah unik melakukan gerakan pok

ame-ame sambil bernyanyi, Sri Wahyuni yang mendengarkan dan melihat gerakan

tersebut secara spontan dalam kondisi latahnya Sri Wahyuni mengikuti gerakan

yang dilakukan oleh Uci sambil menyanyikan lagu pok ame-ame.

3. Koprolalia

Yaitu latah dengan mengucapkan kata-kata tabu atau kotor. Contoh:

jembut merah mamamu lepas

Gambar 4 Ekspresi Latah Koprolalia Sri Wahyuni (17)

Ketika Sri Wahyuni berbincang-bincang dengan teman-temannya di

rumah salah seorang temannya yang bernama Umi, karena asyiknya mengobrol,

Ibu si Umi yang mengetahui bahwa Sri Wahyuni mengidap latah berat berusaha

(45)

spontan karena rasa terkejut yang dirasakan Sri Wahyuni, Ia mengucapkan ‘

jembut merah mamamu lepas’.

4. Automatic Obedience

Yaitu melaksanakan perintah secara spontan saat terkejut. Contoh:

perintah memakai baju tidur ( seperti dalam gambar 4 )

Gambar 5 Ekspresi Latah Automatic Obedience Sri Wahyuni (17)

Umi teman Sri Wahyuni memerintahkan Sri Wahyuni untuk memakai

baju tidur yang bewarna merah jambu, dalam kondisi latahnya Sri Wahyuni

melaksanakan perintah tersebut secara spontan, setelah baju tersebut telah

dipakainya selama 2 menit Ia pun tersadar dan langsung berusaha membuka baju

tidur tersebut. Hal ini tentu saja membut teman-temannya tertawa riang melihat

(46)

4.1.2 Penderita Latah Kedua NURBAITI (54 tahun)

Setelah diteliti, penderita kedua ini hanya menderita latah jenis

koprolalia, yaitu latah dengan mengucapkan kata-kata tabu atau kotor.

Penderita di atas secara spontan akan mengucapkan kata tabu dan

kotor, kontol secara berulang-ulang jika ia dikagetkan.

(47)

Setelah diteliti, penderita ketiga ini hanya menderita latah jenis

koprolalia, yaitu latah dengan mengucapkan kata-kata tabu atau kotor. Berbeda

dengan pelatah yang kedua yang hanya mengucapkan satu kata saja, pelatah ini

mengucapkan kata-kata kotor yang lebih bervariasi

Penderita di atas secara spontan akan mengucapkan kata tabu dan

kotor, kontol, kontol bedul, pantat, pukimak secara berulang-ulang, jika Ia

dikagetkan.

4.2 Produksi Ujaran Penderita Latah Ditinjau dari Segi Psikolinguistik, Fonologi dan Sintaksis

1. Psikolinguistik

Ilmu psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi

yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat yang didengarnya pada

waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh

manusia. Maka secara teoretis tujuan utama psikolinguistik adalah mencari satu

teori bahasa yang secara linguistic bisa diterima dan secara psikologi dapat

menerangkan hakikat bahasa dan pemerolehannya. Dengan kata lain,

psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana

struktur ini diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami

kalimat-kalimat dalam pertuturan itu.

Pada penderita latah pertama Sri Wahyuni yang menderita latah

ekolalia, maka produksi kata yang keluar dari mulutnya tidaklah dapat ditinjau

dari segi psikis karena penderita murni hanya membeo tanpa ia mampu

menguraikan teori maupun hakikat bahasa dan pemerolehannya. Jadi, dapat

(48)

kata-kata baik yang struktur bahasanya jelas, maka penderita latah ini juga akan

mengeluarkan kata-kata yang persis sama dengan yang diucapkan orang yang

mengagetkannya.

Sri Wahyuni juga menderita latah ekopraksia, latah jenis ini adalah

latah yang secara spontan mengikuti gerakan orang yang mengganggunya. Ketika

teman Sri Wahyuni mengganggunya dengan bertepuk tangan pok ame ame, maka

secara spontan ia mengikuti gerakan dari temannya. Contoh lain, ketika temannya

menari-nari, Sri Wahyuni dengan spontan juga ikut menari-nari.

Dari kasus di atas, dapat dilihat bahwa ditinjau dari sudut

psikolinguistik, Sri Wahyuni tidaklah mengerti atas apa yang dibuatnya. Gerakan

yang dilakukan hanyalah meniru secara spontan gerakan orang yang

mengganggunya, tanpa ia mengerti maksud gerakan tadi.

Selain menderita latah ekolalia, penderita pertama Sri Wahyuni juga

menderita latah koprolalia yang juga diderita oleh penderita kedua Nurbaiti dan

penderita ketiga Nursiah, yaitu latah dengan mengucapkan kata-kata tabu atau

kotor. Kata-kata yang diucapkan adalah kontol dan jembut mamakmu merah.

Jika dilihat secara psikolinguistik, kata-kata tabu tersebut diperoleh

secara spontan. Latah ini punya korelasi dengan kepribadian histeris. Kelatahan

ini merupakan “excause” atau alasan untuk dapat berbicara dan bertingkah laku

porno, yang pada hakikatnya berimplikasi invitasi seksual.

Jadi dapat disimpulkan, kalau kata-kata tabu tersebut dikeluarkan

secara spontan karena invitasi seksual.

Yang terakhir penderita Sri Wahyuni, juga menderita latah jenis

(49)

dapat dilihat dari ketika Sri Wahyuni dengan spontan memakai baju tidur yang

diberi padanya untuk dipakai. Bahkan selain itu, ketika berada di sekolah,

temannya berteriak dengan kata-kata hormat grakk! Maka Sri Wahyuni dengan

spontan langsung berdiri tegak dan menghormat.

Melihat kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa secara psikolinguistik,

pemerolehan bahasa Sri Wahyuni cukup baik. Dalam keadaan latah, Sri Wahyuni

masih dapat merekam dengan jelas makna kata-kata yang diperintahkan

kepadanya. Berarti bahasa ibu yang ditanamkan dari kecil pada Sri Wahyuni

masih baik dan tidak terkontaminasi walaupun ia menderita latah. Ini dapat

dibuktikan dari kemampuan Sri Wahyuni mendengar, memahami, dan akhirnya

melakukan perintah yang diucapkan dengan benar. Jika ia disuruh hormat maka ia

akan hormat, jika disuruh duduk ia akan duduk.

Jadi dari keterangan di atas dapat disimpulkan, bahwa secara

psikolinguistik, kemampuan orang-orang latah untuk mencerna, mengerti,

kata-kata yang terlontar dari mulutnya adalah tidak ada. Seorang yang latah murni

hanya membeo ucapan yang didengarnya yang kemudian secara spontan akan

diulanginya. Bahkan jika seseorang mengucapkan bahasa asing yang tidak ia

mengerti sama sekali, penderita latah akan tetap mengikuti kata-kata yang tidak

dimengertinya itu secara tidak sadar dan tidak terkontrol sama sekali.

Berbeda dengan kasus latah jenis automatic obedience. Kasus latah ini

merupakan kasus latah yang menjadikan penderitanya mengikuti secara spontan

perintah orang di dekatnya. Jadi, dapat disimpulkan, penderita hanya akan

mengikuti ucapan yang dimengertinya dari orang yang ada di dekatnya. Ini

(50)

Jadi ada kemungkinan, jika penderita latah yang biasa menggunakan bahasa

pertama adalah bahasa Jawa, maka ada kemungkinan ia tak akan mengikuti

perintah dari seseorang jika menggunakan bahasa yang tidak dimengertinya.

2. Fonologi

Menurut teori Blumstein(1994) yang dikutip Gusdi Sastra (2007: 23),

”mengemukakan kesilapan fonologi pada penderita cacat bahasa dapat berupa

penggantian fonem, penambahan fonem, penghilangan fonem, dan asimilasi.”

Kesilapan fonologi atau kesilapan penyederhanaan adalah

pengguguran sebuah fonem atau suatu bentuk kesilapan fonem. Pengguguran

fonem tidak hanya berlaku pada sebuah fonem saja, tetapi juga pada beberapa

fonem pada kata yang sama, bahkan juga pengguguran unsur yang berstruktur

suku kata.

Berikut kata-kata yang diucapkan oleh para penderita latah yang

dicatat oleh peneliti

1. anjing

diucapkan penderita latah Sri Wahyuni menjadi anjeng [ anjiŋ ] menjadi [ anj ŋ ]

Analisis kata ‘anjing’ berubah menjadi ‘anjeng’ terjadi asimilasi, yaitu

perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama menjadi bunyi yang sama atau

hampir sama. Asimilasi ini tergolong asimilasi fonetis karena perubahannya dari

[i] yaitu ke [e ] dalam lingkup antar fonem. Namun secara fonologi proses

assimilasi ini tidaklah berpengaruh karena perubahan bunyi yang terjadi akibat

vokal yang berubah tersebut tidaklah mempengaruhi makna dari kata tersebut.

Namun di kesempatan berbeda, Sri Wahyuni mengucapkan “anjing,

(51)

aferesis, yaitu penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan

pengucapan pada awal kata. Jika kata njing tersebut tidak disebut dulu awalnya

maka secara fonologi kata tersebut tetap mampu ditangkap pendengar dengan

makna yang sama yaitu anjing. Karena di berbagai kesempatan, kata anjing sering

diungkapkan njing pada kesempatan jika seseorang ingin mengumpat orang lain

secara kasar.

2. kontol

Kata kontol diucapkan tol oleh penderita latah Ibu Nurbaiti. [ kontol]

menjadi [tol]. Analisis kata kontol berubah bunyi menjadi tol terjadi zeroisasi

yang tergolong aferesis, yaitu proses penghilangan atau penanggalan satu atau

lebih fonem pada awal kata. Dan apabila kata tol tersebut awalnya tidak

diucapkan secara lengkap seperti kontol tol tol tol, maka secara fonologi, kata

tersebut dapat ditangkap dengan makna yang berbeda oleh pendengarnya.

Penderita latah ketiga juga sering mengucapkan kata kontol jika ia

dikejutkan dari belakang.

3. monyong

Diucapkan oleh Sri Wahyuni dengan jelas monyong yang disertai

dengan ekspresi dengan bibir dimajukan. Ini semakin menjelaskan maksud dari

kata tersebut.

4. copot

Kata copot diucapkan oleh Sri Wahyuni secara serampangan menjadi

eh copot..cepot..copot. Ini berarti secara tidak sengaja telah terjadi proses

(52)

kata tersebut diulang berkali-kali maka proses asimilasi itu tidak membuat

berubah makna.

5. kolor ijo

Kata kolor ijo diucapkan oleh Sri Wahyuni sempurna yaitu kolor ijo,

namun sebenarnya kata ijo merupakan kata hijau. Maka secara fonologi kata ijo

tersebut mengalami zeroisasi sekaligus monoftongisasi. Kata hijau berubah jadi

ijo, hilangnya konsonan [h] menggambarkan proses zeroisasi. Selanjutnya kata

hijau berubah ijo, berubahnya vokal ganda [au] menjadi [o] merupakan proses

monoftongisasi.

6. jatuh

Kata jatuh diucapkan Sri Wahyuni menjadi, ”eh jatoh..jatoh,jatoh,”

ditinjau dari segi fonologi, maka kata tersebut mengalami proses asimilasi. Yaitu

berubahnya konsonan [u] menjadi [o]. Namun, hal tersebut tidaklah menjadi

masalah karena proses asimilasi tersebut tidak merubah arti dari kata yang

dimaksud.

7. bodoh kau

Kata bodoh kau diucapkan Sri Wahyuni menjadi, ”bodoh ko, bodoh,

eh bodoh,” ditinjau dari segi fonologi, hanya kata kau yang mengalami

monoftongisasi pada vokal [au] menjadi [o] jadi, kau menjadi ko. Namun kata ini

tetap dapat dimengerti dengan makna yang sama bagi pendengar.

8. gila

Kata gila diucapkan Sri Wahyuni menjadi gilak, secara fonologi kata

tersebut mengalami proses anaptiksis, yaitu bertambahnya konsonan [k] pada kata

(53)

9. Kampret

Kata kampret diucapkan Sri Wahyuni menjadi kampret, eh

kempret,kepret..eh,” Secara fonologi ucapan tersebut mengalami proses asimilasi

yaitu berubahnya vokal [a] menjadi [e], selain itu juga terjadi proses zeroisasi

yaitu penghilangan huruf pada kata kampret menjadi kempret. Proses ini

merupakan suatu proses yang terjadi secara tidak sengaja dan terjadi secara

spontan karena kata-kata yang keluar dari bibir pelatah tersebut keluar dengan

cepat dan tidak terkendali. Kata kampret yang dimaksud sendiri adalah kata yang

di dalam KBBI yang artinya kalong, kelelawar. Namun, ada kemungkinan pelatah

tersebut tidak menyadari apa arti dari kata yang diucapkan, melainkan diucapkan

hanya karena faktor kebiasaan saja.

10. Bedul

Pelatah ketiga Nursiyah, akan mengucapkan secara spontan kata bedul

jika ia kaget dengan bunyi-bunyi di sekitarnya seperti panci jatuh, pintu dibanting,

suara klakson dan sebagainya. Biasanya secara spontan dia akan mengucapkan

kata-kata, ”eh bedul kau, bedol, eh bedol kau besar,” sambil iapun mencari asal

suara yang membuatnya kaget.

Secara fonologi, proses di atas mengalami asimilasi. Perubahan vokal

[u] menjadi [o] merupakan proses yang terjadi tanpa maksud merubah arti dari

kata yang sebenarnya. Kata bedul sendiri tidaklah merupakan kata yang tercantum

dalam KBBI. Kata bedul ini merupakan kata bahasa sunda yang merupakan

(54)

11. Pukimak

Pelatah ketiga Nursiyah, juga sering mengucapkan kata pukimak. Jika

kaget melihat seseorang yang muncul tiba-tiba di hadapannya, maka secara

spontan ia akan memaki orang tersebut dengan ucapan, ”eh pukimak kau.”

Secara fonologi, kata-kata di atas tidaklah mengalami apapun, karena kata

tersebut disebutkan sesuai dengan aslinya.

12. Pantat

Nursiyah, pelatah ketiga juga sering mengucapkan kata pantat jika

terkejut. Kata tersebut diucapkan secara bervariasi, ”eh pantat, pantatlah kau,

pantat kau,” Secara fonologi, kata ini tidaklah mengalami perubahan yang berarti

karena kata tersebut tidak mengalami perubahan.

13. T aik Mencret

Nursiah, pelatah ketiga sering mengucapkan kata jorok taik mencret

jika ia sedang latah. Kata-kata tersebut disebutkannya jika ia terkejut dan

langsung mengeluarkan kata, ”eh, taik mencret kau,,eh, bauk,” secara fonologi

kata-kata tersebut diungkapkannya secara tidak sadar.

Dari keseluruhan kata-kata yang diucapkan para penderita latah dapat

kita simpulkan bahwa kata-kata yang ditimbulkan oleh penderita latah tersebut

merupakan kata-kata yang tidak disadari terucapkan oleh para penderita latah

tersebut. Kata-kata yang diucapkan oleh para penderita latah tersebut ada yang

langsung diucapkan tanpa ada perubahan secara fonologi dari apa yang mereka

tangkap dari telinga mereka. Atau dapat disimpulkan kata yang diucapkan murni

dari hasil membeo seperti kata monyong tetap diucapkan monyong oleh sri

(55)

mengalami perubahan secara fonologi, dari kata yang asli mereka dengar namun

tidak merubah makna kata aslinya seperti pada kata jatuh yang berubah menjadi

jatoh. Selain itu ada juga kata-kata yang diucapkan berbeda dengan kata aslinya

dan merubah arti setelah didengar seperti kata kontol berubah menjadi tol.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kesalahan-kesalahan yang ditimbulkan

oleh penderita latah itu tak lain karena semua kata yang diucapkan para penderita

latah tersebut adalah kata-kata spontan tanpa pemikiran terlebih dahulu.

3. Sintaksis

Tugas utama komponen sintaksis adalah menentukan hubungan antara

pola-pola bunyi bahasa itu dengan makna-maknanya dengan cara mengatur urutan

kata-kata yang membentuk frase atau kalimat itu agar sesuai dengan makna yang

diinginkan oleh penuturnya. Berikut kalimat-kalimat yang diucapkan penderita

latah Sri Wahyuni.

1. Bapak guru baru oon di kelas

Analisis frase eksosentik ( FEk)

Jika dipenggal menurut frasenya dapat menjadi

1. Bapak,// guru baru //oon di kelas

2. Bapak guru// baru oon //di kelas

3. Bapak guru baru// oon di kelas

Dari pemenggalan frase di atas dapat dilihat bahwa pemenggalan yang

berbeda dapat membedakan arti kalimat itu pula. Jadi kemampuan penderita latah

dalam menyesuaikan makna yang sesuai bergantung penuh terhadap kalimat awal

(56)

Selain itu jika ditinjau dari struktur kalimat, maka kalimat di atas

merupakan kalimat sempurna, yaitu kalimat yang sekurang-kurangnya memiliki

dua pola utama yaitu subjek dan predikat.

Bapak guru baru oon di kelas S P K

2. Hormat grak!

Jika ditinjau dari frasenya maka tergolong frase eksosentris. Jika

ditinjau dari struktur kalimatnya, maka kalimat di atas merupakan kalimat tidak

sempurna atau kalimat minor yaitu kalimat yang hanya memiliki satu pola utama.

Hormat grak! P

3. Jembut merah mamakmu lepas.

Jika dipenggal menurut frasenya maka akan menjadi:

Jembut // merah mamakmu // lepas

Jembut merah mamakmu // lepas

Jembut merah // mamakmu // lepas

Berdasarkan pemenggalan frase, kalimat di atas tidaklah mengalami

perubahan makna yang berarti jika dipenggal dengan cara yang berbeda-beda.

Sedangkan jika ditinjau dari struktur kalimatnya, maka kalimat di atas termasuk

kalimat yang memiliki kalimat yang lengkap atau sekurang-kurangnya memiliki

subjek dan predikat.

Jembut merah mamakmu lepas S P

4. Pantat mamakmu bauk

Jika dipenggal menurut frasenya bisa menjadi

(57)

Pantat! // mamakmu bauk

Berdasarkan pemenggalan frase, kalimat di atas bisa membentuk

makna yang berbeda. Pada pemenggalan frase yang pertama dapat ditimbulkan

arti bahwa yang bauk adalah pantat mamakmu. Sedangkan pada pemenggalan

frase yang kedua ditimbulkan arti mamak bauk tapi bukan pantatnya, melainkan

kata pantat merupakan kata makian.

Namun penderita latah Nursiah, hanya mengucapkan kalimat di atas

dengan pemenggalan frase yang pertama yaitu ”Pantat mamakmu // bauk.

Jika ditinjau dari struktur kalimatnya, maka akan ditemukan kalimat

yang lengkap karena memiliki subjek dan predikat.

Pantat mamakmu bauk S P

Di dalam tatanan sintaksis, kata-kata maupun kalimat-kalimat yang di

ucapkan para penderita latah murni dihasilkan dari apa yang didengarnya. Jika

dilihat dari penderita latah, pada umumnya penderita latah akan mengikuti ucapan

orang yang mengagetkannya secara spontan dan persis. Jadi, dapat disimpulkan

jika orang yang mengagetkan penderita latah tersebut mengucapkan kata dengan

pemenggalan frase seperti contoh pertama maka penderita latah akan

mengikutinya juga, begitu seterusnya. Begitu juga dalam pembentukan pola

kalimat yang sempurna, jika pengaget orang latah menyebutkan kalimat yang

(58)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Ketiga penderita latah yang telah diteliti, memiliki latah yang berbeda-beda.

Pelatah yang pertama menderita semua jenis latah yaitu ekolalia, ekopraksia,

koprolalia dan automatic obedience. Pelatah yang kedua dan ketiga memiliki

latah yang sama yaitu koprolalia, hanya saja pelatah ketiga memiliki

perbendaharaan kata-kata yang bersifat tabu dan kotor lebih banyak

dibandingkan pelatah yang kedua.

2. Sri Wahyuni penderita latah yang pertama memiliki kebiasaan latah yang

sudah cukup parah. Ia menderita ekolalia yaitu mengulangi ucapan orang lain

bila terkejut, koprolalia yaitu mengucapkan kata-kata tabu dan kotor,

ekopraksia yaitu menirukan gerakan orang lain dan automatic obedience yaitu

menuruti apa yang diperintah orang lain.

3. Nurbaiti penderita latah kedua, hanya menderita koprolalia yaitu kebiasaan

mengucapkan kata-kata kotor bila terkejut. Kata-kata yang diucapkannya

hanya satu yaitu kontol.

4. Nursiah penderita latah ketiga, hanya menderita koprolalia yaitu kebiasaan

mengucapkan kata-kata tabu dan kotor. Namun, kata-kata yang diucapkannya

sangat banyak seperti kontol, pukimak, pantat dan sebagainya.

5. Pada penderita latah ekolalia, maka produksi kata yang keluar dari mulutnya

tidaklah dapat ditinjau dari segi psikis. Ini karena penderita murni hanya

(59)

pemerolehannya. Jadi dapat diambil kesimpulan, jika seseorang yang

mengagetkannya mengeluarkan kata-kata baik yang struktur bahasanya jelas,

maka penderita latah ini juga akan mengeluarkan kata-kata yang persis sama

dengan yang diucapkan orang yang mengagetkannya.

6. Jika dilihat secara psikolinguistik, kata-kata tabu yang dikeluarkan oleh

penderita diperoleh secara spontan. Latah ini punya korelasi dengan

kepribadian histeris. Kelatahan ini merupakan “excause” atau alasan untuk

dapat berbicara dan bertingkah laku porno, yang pada hakikatnya berimplikasi

invitasi seksual. Jadi dapat disimpulkan, kalau kata-kata tabu tersebut

dikeluarkan secara spontan karena invitasi seksual.

7. Pada penderita latah jika ditinjau secara fonologi proses asimilasi pada

fonologi tidaklah berpengaruh karena perubahan bunyi yang terjadi akibat

vokal yang berubah tersebut tidaklah mempengaruhi makna dari kata tersebut.

8. Jika dilihat dari penderita latah, pada umumnya penderita latah akan

mengikuti ucapan orang yang mengagetkannya secara spontan dan persis.

Jadi, dapat disimpulkan jika orang yang mengagetkan penderita latah tersebut

mengucapkan kata dengan pemenggalan frase yang benar maka penderita

latah akan mengikutinya juga, begitu seterusnya.

5.2 Saran

Syarat munculnya latah adalah adanya keterkejutan. Sebaiknya

penderita latah hendaknya lebih dihargai. Seharusnya ada usaha dari pihak-pihak

keluarga, jiran, orang-orang terdekat untuk membantu kesembuhan dari penderita

latah. Karena pada dasarnya penderita latah tersebut akibat dari lingkungan di

(60)

menemukan ketenangan hidup. Misalnya, keluar dari rumah, jika orang tuanya

kerap melakukan tekanan atau berganti bidang pekerjaan jika pekerjaannya itu

membuatnya stres.Untuk menyembuhkan si latah, lingkungan memang harus

berempati. Ada penderita latah yang sembuh sendiri setelah berkeluarga dan

hidup tenang. Selebihnya, penderita dianjurkan melakukan latihan relaksasi,

meditasi, dan konsentrasi secara rutin. Kegiatan ini akan membantu penderita

Gambar

Gambar 6. Sri Wahyuni menirukan gerakan pok ame-ame
Gambar 8, Sri Wahyuni diganggu temannya disuruh membuang
Gambar 9, Sri Wahyuni diganggu temannya disuruh memakai baju tidur.
Gambar 10, Ibu Nurbaiti menghabiskan waktunya di rumah karena sudah tua. Ini menyebabkan kebiasaan latahnya sedikit berkurang karena jarang bertemu orang yang senang mengganggunya
+2

Referensi

Dokumen terkait

masih belum dapat menciptakan nilai tambah perusahaan bagi para pemegang saham selama tahun 2003 sampai

Sehingga diperlukan pengendalian piutang agar piutang tersebut dapat ditagih dan dilunasi oleh debitur karena dengan permintaan pembayaran lebih cepat akan sangat membantu arus

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang dilakukan pada bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa berdasarkan nilai indeks validitas Xie dan Beni yang minimum pada lembah

Maka dari itu suatu sistem akuntansi penjualan tunai sangat diperlukan oleh suatu perusahaan, khususnya perusahaan yang bergerak di bidang penjualan agar dapat memenuhi fungsinya

Di Inggris terdapat ketentuan Ponsonby Rule; yang pada intinya telah membuat penetapan kategori atas perjanjian internasional yang memerlukan persetujuan parlemen dan

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara kelekatan dengan kecerdasan moral pada santri Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari... Metode Variabel

Biasanya gelombang yang menjalar ke semua arah (gelombang bola) Biasanya gelombang yang menjalar ke semua arah (gelombang bola) Contoh gelombang bunyi menjalar di udara dan

Sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 32/POJK.04/2014 tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka (“ POJK No.