GANGGUAN BERBICARA PSIKOGENIK
PADA PENDERITA LATAH : TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK
( KASUS NURBAITI, NURSIAH DAN SRI WAHYUNI )
SKRIPSI
Oleh
PURNAMASARI SIREGAR NIM 040701018
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
GANGGUAN BERBICARA PSIKOGENIK
PADA PENDERITA LATAH : TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK
( KASUS NURBAITI, NURSIAH DAN SRI WAHYUNI )
Oleh
PURNAMASARI SIREGAR NIM 040701018
Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh
Pembimbing I Pembimbing II,
Dra. Salliyanti, M. Hum Drs. Pribadi Bangun Nip.131284308 Nip.19581019 198601 1002
Departemen Sastra Indonesia Ketua,
PERNYATAAN
Penulis menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi dan
sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang penulis
buat ini tidak benar, penulis bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar
kesarjanaan yang penulis peroleh.
Medan, 30 Maret 2010
ABSTRAK
Skripsi ini telah diterima oleh Panitia Ujian Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Sastra
Panitia Ujian
No Nama Jabatan Tanda Tangan
1 Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum Ketua
2 Dra. Mascahaya, M. Hum Sekretaris
3 Anggota
PRAKATA
Penulis puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunianya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
Skripsi ini bertujuan untuk memenuhi sebahagian syarat untuk
memperoleh gelar kesarjanaan.
Dalam proses penyelesaian penulisan skripsi ini penulis banyak
memperoleh bantuan dari berbagai pihak, baik berupa moril maupun materil.
Maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Ayahanda Surya Darma Siregar dan Ibunda Siti Olele Ge’e tercinta yang
telah banyak bersusah payah dan tanpa pamrih berbuat yang terbaik demi
kemajuan anak-anaknya.
2. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A, P.hd, sebagai Dekan Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.hum, sebagai ketua Departemen Sastra
Indonesia Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Dra. Mascahaya, M.hum sebagai sekretaris Departemen Sastra Indonesia
Universitas Sumatera Utara.
5. Ibu Dra. Salliyanti, M.Hum sebagai pembimbing I dan Bapak Drs. Pribadi
Bangun sebagai pembimbing II, yang telah sabar membantu dan
membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu Staf Pengajar Departemen Sastra Indonesia Universitas
7. Kepada Ibu, kakak (Rina dan Asnah), adik (Arief, Winda, Dinda, Wira,
Gilang, dan Rifky) dan keluarga terdekat yang sangat penulis cintai sepenuh
hati.
8. Teman-teman penulis Rika, Nova, Nona, Imel, Ida, Eva, Rudi Kalces, Azwar
Halim yang sangat penulis sayangi.
9. Kepada seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu dan telah tanpa
pamrih membantu penulis selama ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi para pembaca
umumnya, dan khususnya bagi penulis.
Medan, 30 Maret 2010
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 1 Ekspresi Mpok Atik Ketika Latah ... 18
GAMBAR 2 Ekspresi Latah Ucapan Sri Wahyuni ... 30
GAMBAR 3 Ekspresi Latah Ekopraksia ... 31
GAMBAR 4 Ekspresi Latah Koprolalia ... 32
GAMBAR 5 Ekspresi Latah Automatik Obedience ... 33
GAMBAR 6 Sri Wahyuni Menirukan Gerakan Pok Ame-Ame
GAMBAR 7 Sri Wahyuni Tertawa Diganggu Temannya
GAMBAR 8 Sri Wahyuni Diganggu Temannya Disuruh Membuang Makanan Dari Mulutnya
GAMBAR 9 Sri Wahyuni Diganggu Teman Disuruh Memakai Baju Tidur
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PERNYATAAN
ABSTRAK
PRAKATA ... i
DAFTAR GAMBAR ... iii
DAFTAR ISI ... iv
1.4.2 Manfaat Penelitian ... 5
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ... 7
2.2 Landasan Teori ... 8
2.3 Tinjauan Pustaka ... 9
2.3.1 Gangguan Berbicara Psikogenik ... 9
2.3.2 Latah ... 10
2.3.2.1 Pengertian ... 10
2.3.2.2 Jenis-Jenis Latah ... 12
2.3.2.3 Penyebab Timbulnya Penyakit Latah ... 14
2.3.3 Analisis Psikolinguistik ... 17
2.3.4 Fonologi dan Sintaksis ... 19
2.3.4.1 Fonologi ... 19
2.3.4.2 Sintaksis ... 21
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23
3.1.1 Lokasi Penelitian ... 23
3.1.2 Waktu Penelitian ... 23
3.2 Populasi dan Sampel ... 23
3.2.1 Populasi ... 23
3.2.2 Sampel ... 24
3.3 Variabel Penelitian ... 25
3.4 Instrumen Penelitian ... 26
3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 26
3.6 Teknik Analisis Data ... 28
BAB IV GANGGUAN BERBICARA PSIKOGENIK PENDERITA LATAH DITINJAU SECARA FONOLOGI DAN SINTAKSIS 4.1 Gangguan Berbicara Psikogenik Penderita Latah ... 30
4.1.1 Penderita Latah Pertama ... 30
4.1.2 Penderita Latah Kedua ... 34
4.1.3 Penderita Latah Ketiga ... 34
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan ... 44
5.2 Saran ... 45
ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan suatu wujud yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Bahasa adalah milik mutlak manusia dan telah menyatu
dengan pemiliknya. Bahasa selalu muncul dalam setiap aspek kehidupan manusia.
Tidak ada satu kegiatan manusia yang tidak disertai penggunaan bahasa. Oleh
karena itu, defenisi bahasa menjadi beragam sejalan dengan bidang kegiatan
tempat di mana bahasa itu digunakan. Bahasa dapat didefinisikan dari berbagai
sudut pandang. Namun, secara sederhana bahasa merupakan sarana komunikasi
yang berupa ungkapan dari pikiran manusia. Bahasa juga merupakan suatu sistem
simbol lisan yang bersifat mana suka yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat
bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antarsesamanya, berlandaskan pada
budaya yang mereka miliki bersama.
Jadi, dapatlah diartikan bahwa bahasa merupakan suatu sistem, sama
dengan sistem-sistem yang lain, yang sekaligus bersifat sistematis. Bahasa
bukanlah suatu sistem tunggal melainkan juga dibangun oleh sejumlah subsistem
yang terdiri atas fonologi, sintaksis dan leksikon. Selain itu, bahasa juga bukan
sekedar alat interaksi sosial, melainkan juga memiliki fungsi dalam berbagai
bidang, salah satunya adalah neurologi (otak).
Secara fonologi, penguasaan suatu bahasa dimulai dari otak lalu
dilanjutkan pelaksanaannya oleh alat-alat bicara yang melibatkan sistem saraf
mengeluarkan pikiran dan perasaan dari otak secara lisan, dalam bentuk kata-kata
maupun kalimat.
Seorang manusia yang normal fungsi otak dan alat bicara, tentu dapat
berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan
alat bicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, dengan kata lain
kemampuan berbahasanya terganggu.
Penyebab yang menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi yang
disebut dengan gangguan berbahasa sangat banyak. Gangguan berbahasa dapat
disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada alat artikulasi, bisa juga karena
terjadinya kerusakan pada otak. Secara medis menurut Sidharta (1984) gangguan
berbahasa itu dapat dibedakan atas tiga golongan yaitu (1)gangguan berbicara
(2)gangguan berbahasa (3)gangguan berpikir. Gangguan berbicara dapat
dikelompokkan atas dua kategori. Pertama, gangguan mekanisme berbicara yang
berimplikasi pada gangguan organik dan kedua, gangguan berbicara psikogenik.
Dalam skripsi ini, penulis akan membahas mengenai gangguan
berbahasa yang tergolong gangguan berbicara psikogenik, yang salah satu contoh
gangguan berbicara psikogenik yang khusus dibicarakan adalah latah.
Chaplin dalam Kamus Lengkap Psikologi (2006 : 396) mengatakan
penyakit psikogenik adalah satu penyakit fungsional yang tidak diketahui basis
organiknya, karena itu, mungkin disebabkan oleh konflik atau tekanan atau stress
emosional.
Salah satu kelainan berbahasa yang diakibatkan gangguan psikogenik
adalah latah. Latah pada umumnya dialami orang dewasa maupun remaja dan
kemungkinan terjadi juga pada laki-laki. Gangguan berbicara latah yang terjadi
pada orang dewasa berupa ucapan atau perbuatan yang terungkap secara tidak
terkendali setelah terjadinya reaksi pada saat terkejut karena terganggunya mental
(kejiwaan) seseorang.
Latah merupakan kajian menarik karena merupakan fenomena yang
lazim dialami masyarakat sekitar atau dengan kata lain bisa dikatakan latah sudah
satu tubuh dengan jiwa dan budaya masyarakat, malah latah menjadi tren
perbuatan atau ucapan dalam pergaulan sehari-hari. Latah merupakan suatu
bentuk anomali berbicara yang disebabkan suatu perbuatan atau ucapan yang
terjadi secara spontan akibat seseorang terkejut atau dikejutkan. Gangguan
berbicara psikogenik pada penderita latah ini terjadi karena terganggunya mental
(kejiwaan). Pembicaraan mengenai gangguan berbicara psikogenik latah ini
merupakan masalah yang sangat menarik untuk diteliti karena merupakan suatu
bentuk variasi berbicara normal yang disebabkan terganggunya mental (kejiwaan)
seseorang, dan latah merupakan fenomena yang lazim dialami masyarakat sekitar,
serta latah juga dijadikan gaya hidup masa kini dalam pergaulan sehari-hari.
Walaupun penelitian mengenai latah ini masih terbatas, hal ini tidak
menyurutkan minat peneliti untuk memilih topik pembicaraan mengenai
gangguan berbicara psikogenik pada penderita latah dalam skripsi ini karena
fenomena latah ini banyak diidap oleh masyarakat yang berdomisili di daerah
Kelurahan Mabar-Hilir, Kecamatan Medan-Deli, daerah peneliti berdomisili dan
1.2 Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, masalah
yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tinjauan Psikolinguistik terhadap gangguan berbicara
latah?
2. Bagaimana analisis fonologi dan sintaksis terhadap kata-kata atau
frase yang diucapkan oleh penderita latah?
1.3 Pembatasan Masalah
Suatu penelitian harus dibatasi agar masalah penelitian lebih terarah,
sehingga tujuan penelitian tercapai. Penelitian mengenai gangguan berbicara
dikelompokkan atas dua kategori: pertama, gangguan mekanisme berbicara yang
berimplikasi pada gangguan organik dan kedua, gangguan berbicara psikogenik.
Namun, keduanya memiliki jenis yang berbeda. Jenis gangguan berbicara yang
diidap oleh manusia sangat bervariasi. Untuk menghindari pembahasan yang
terlalu luas, peneliti tidak membahas gangguan berbicara yang berimplikasi pada
gangguan organik, tetapi peneliti khusus membahas mengenai gangguan berbicara
psikogenik pada penderita latah.. Namun, latah hanya dibicarakan secara garis
besar saja yaitu mengutip beberapa sampel contoh kata-kata yang diucapkan oleh
penderita latah yang akan ditinjau dari segi fonologi maupun sintaksis. Dalam
penelitian ini, masalah penelitian dibatasi pada kasus Nurbaiti (54), Nursiah (59)
dan Sri Wahyuni (17) yang berdomisili di Kelurahan Mabar-Hilir, Kecamatan
1.4 Tujuan dan Manfaat 1.4.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang dirumuskan, tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Memahami bagaimana tinjauan Psikolinguistik terhadap gangguan berbicara
latah.
2. Mengetahui dan memahami analisis fonologi dan sintaksis terhadap
contoh-contoh kata-kata yang diucapkan oleh penderita latah.
1.4.2 Manfaat Penelitian 1.4.2.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, manfaat hasil penelitian gangguan berbicara psikogenik
pada penderita latah adalah:
1. Menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat mengenai gangguan
berbicara psikogenik pada penderita latah.
2. Menjadi sumber masukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti dan
menganalisis lebih lanjut mengenai gangguan berbicara psikogenik penderita
latah.
1.4.2.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian gangguan berbicara psikogenik pada penderita latah
ini secara praktis dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran kepada
masyarakat untuk dapat menafsirkan atau memahami bagaimana hal-hal yang
menyebabkan kelatahan pada seseorang dan bagaimana menganalisis secara
membaca skripsi ini, masyarakat dapat mengetahui bahwa latah bukan suatu
penyakit, tetapi merupakan fenomena lazim yang terjadi dalam lingkungan
masyarakat yang disebabkan oleh faktor kebiasaan untuk mengucapkan kata-kata
latah tersebut. Dengan ini kajian tentang latah dapat dibahas dalam bidang bahasa,
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda
ataupun gejala-gejala sosial yang dinyatakan dalam istilah atau kata. Fungsi
konsep yakni menyederhanakan pemikiran terhadap ide-ide, hal-hal, benda-benda,
maupun gejala sosial agar memungkinkan adanya keteraturan; sehingga
memudahkan terjadinya komunikasi ( Tohardi, 2008: 14-15 ).
Konsep yang mendasari penelitian ini yakni latah merupakan
gangguan berbicara psikogenik ( berhubungan dengan gangguan kejiwaan ) bukan
termasuk gangguan penyakit organik. Fenomena latah mulai diterima dan
merupakan sesuatu yang normal bagi masyarakat Indonesia. Latah dipercayai
berhubungan erat antara fungsi sistem saraf pusat, psikologi, sosial, dan terkait
dengan sistem budaya suatu masyarakat. Latah sebenarnya tidak ada kaitannya
dengan penyakit tertentu. Cikal bakal penyakit latah adalah ketidakmampuan
seseorang dalam mengatasi rasa kaget pada masa lalu, dan juga karena seseorang
mengikuti kebiasaan orang lain, sehingga latah ini perlu dikaji secara
psikolinguistik karena berkaitan dengan gangguan berbicara
psikogenik(nonorganik). Latah bisa berupa kata lengkap atau hanya potongan kata
paling akhir, dalam hal ini contoh kata-kata dari penderita latah tersebut akan
dianalisis secara fonologi maupun sintaksis dalam kajian ilmu bahasa.
2.2 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan teori Psikolinguistik, teori Sintaksis, dan
Secara etimologi psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan
linguistik. Namun, keduanya sama-sama meneliti bahasa sebagai objek
formalnya, hanya objek materialnya saja yang berbeda, linguistik mengkaji
struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses
berbahasa ( Abdul Chaer, 2003: 5 ). Psikolinguistik menguraikan proses-proses
psikologi yang berlangsung pada saat seseorang mengucapkan kalimat-kalimat
yang didengarnya pada waktu berkomunikasi , serta bagaimana kemampuan
berbahasa itu diperoleh manusia.
Teori Sintaksis merupakan teori yang digunakan dalam penelitian ini.
Pembicaraan mengenai latah ini berkaitan dengan contoh-contoh ujaran dalam
bentuk kalimat, klausa, ataupun frase yang diucapkan seseorang ketika terjadinya
reaksi kaget dalam dirinya karena terganggunya fungsi otak. Pembicaraan tentang
kalimat, klausa, frase-frase, dan juga pembicaraan tentang hubungan antara
kalimat (1) di atas dengan kalimat-kalimat sebelumnya dan sesudahnya pada
tataran wacana itu termasuk dalam bidang sintaksis ( M. Ramlan , 2005: 18).
Tuturan bahasa terdiri atas bunyi. Fonologi meneliti bunyi bahasa
tertentu menurut fungsinya. Modalitas mental yang terungkap oleh cara berbicara
sebagian besar ditentukan oleh nada, intonasi, dan intensitas suara, lafal, dan
pilihan kata. Ujaran yang berirama lancar atau tersendat-sendat dapat juga
mencerminkan sikap mental si pembicara ( Abdul Chaer, 2002 : 152 ). Kesilapan
fonologi pada penderita latah dapat berupa penggantian fonem, penambahan
fonem, dan penghilangan fonem. Kesilapan fonologi atau kesilapan
penyederhanaan adalah pengguguran sebuah fonem atau suatu bentuk kesilapan
2.3Tinjauan Pustaka
2.3.1 Gangguan Berbicara Psikogenik
Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas
psikis. Gusdi Sastra, dalam penelitiannya yang berjudul “ Ekspresi Verbal
Penderita Stroke Penutur Bahasa Minangkabau: Suatu Analisis Neurolinguistik ”
( 2007: 22 ), mengemukakan bahwa, ”manusia yang tidak bisa berbahasa secara
normal disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kerusakan pada bagian syaraf
bahasa di otak karena suatu hal, kerusakan pada alat-alat artikulasi, dan tekanan
mental.”
Secari garis besar, gangguan berbicara ini dapat dikelompokkan
menjadi dua jenis. Pertama, gangguan mekanisme berbicara yang berimplikasi
pada gangguan organik dan kedua, gangguan berbicara psikogenik.
Gangguan berbicara psikogenik adalah variasi cara berbicara yang normal, yang merupakan ungkapan dari gangguan di bidang mental. Modalitas mental yang terungkap oleh cara berbicara sebagian besar ditentukan oleh nada, intonasi, dan intensitas suara, lafal, dan pilihan kata. Ujaran yang berirama lancar atau tersendat-sendat dapat juga mencerminkan sikap mental si pembicara.(Chaer, 2003: 152)
Selanjutnya, Chaplin dalam Kamus Lengkap Psikologi (2006 : 396)
mengatakan, “penyakit psikogenik adalah satu penyakit fungsional yang tidak
diketahui basis organiknya, karena itu, mungkin disebabkan oleh konflik atau
tekanan atau stress emosional.”
Jadi, dari dua pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa gangguan
bicara psikogenik itu merupakan gangguan bicara yang tidak berasal dari
dipicu oleh mental seperti stres, ingin lain daripada orang pada umumnya, kurang
bisa mengendalikan emosi dan sebagainya.
2.3.2 Latah
2.3.2.1 Pengertian
Latah sering disamakan dengan ekolalia, yaitu perbuatan membeo atau
menirukan apa yang dilakukan orang lain. Tetapi, sebenarnya latah merupakan
suatu sindrom yang bersifat jorok dan gangguan lokomotorik yang dapat
dipancing.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, latah
mempunyai arti:
1. Menderita sakit saraf dengan suka meniru-niru perbuatan atau ucapan orang
lain.
2. Berkelakuan seperti orang gila, misalnya; karena kehilangan orang yang
dicintai.
3. Meniru-niru sikap, perbuatan, atau kebiasaan orang atau bangsa lain.
4. Mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh, jorok, berkenaan dengan
kelamin.
“Latah adalah suatu tindak kebahasaan pada waktu seseorang terkejut
atau dikejutkan, tanpa sengaja mengeluarkan kata-kata secara spontan dan tidak
sadar dengan apa yang diucapkannya”, (Soenjono Dardjowidjojo, 2003 : 154).
Selanjutnya, menurut Psikolog Eva Septiana Barlianto M.Si, “latah
adalah kebiasaan mengulang kata-kata terakhir yang diucapkan berkali-kali
terutama pada kondisi kaget atau situasi tidak sesuai dengan orang yang
bersangkutan. Latah bisa berupa kata lengkap atau hanya potongan kata paling
akhir”.
Khaltarina mengungkapkan bahwa, ”latah memiliki dimensi gangguan
fungsi pusat syaraf, psikologis, dan sosial. Berdasarkan kajian yang dilakukan,
gangguan latah biasanya tumbuh dalam masyarakat terbelakang yang menerapkan
budaya otoriter. Latah dianggap sebagai satu sindrom budaya masyarakat
setempat.”
Menurut Soenjono Dardjowidjojo ( 2003: 154 ) latah mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut:
a. latah hanya terdapat di Asia Tenggara
b. pelakunya hampir semua wanita
c. kata-kata yang dikeluarkan umumnya berkaitan dengan seks atau alat kelamin
pria atau jantan
d. kalau terkejutnya berupa kata, maka si latah juga bisa mengulang kata itu saja.
Contoh: bila si A dikejutkan dengan kata kuda , maka konon dia juga
akan berkata kuda.
Jadi, berdasarkan pendapat ahli di atas diambil kesimpulan bahwa
latah merupakan gangguan berbicara yang tidak jelas asal-usulnya, namun karena
fungsi syaraf otak yang salah. Pada umumnya latah terjadi karena prilaku
lingkungan sosial dari penderita latah tersebut.
terhadap mereka yang berlatar ras, agama, atau sosial ekonomi, yang berbeda; usaha memperbaiki mereka yang mempunyai standar penampilan dan standar prilaku yang berbeda, dan usaha-usaha remaja untuk menarik perhatian dengan mengenakan pakaian yang mencolok, menggunakan bahasa yang tidak lazim, sombong, membual, dan menertawakan orang lain.
Selain itu Elizabeth B. Hurlock ( 1980: 321 ) kembali mengemukakan bahwa usia madya merupakan masa stress. Penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola hidup yang berubah, khususnya bila disertai dengan berbagai perubahan fisik, selalu cenderung merusak homeostasis fisik dan psikologis seseorang dan membawa ke masa stress, suatu masa bila sejumlah penyesuaian yang pokok harus dilakukan di rumah, bisnis, dan aspek sosial kehidupan mereka.
2.3.2.2 Jenis-jenis Latah
Secara umum ada empat jenis latah yaitu:
1. Ekolalia, latah dengan mengulangi perkataan orang lain.
Contoh : jika orang yang berada di dekat penderita mengagetkannya dengan
menyebutkan kata gila, maka penderita latah secara spontan akan mengulangi
kata-kata tersebut berulang-ulang.
2. Ekopraksia, latah dalam bentuk meniru gerakan orang lain. Artinya, ketika
melihat orang lain bertingkah unik, secara spontan orang yang mengidap latah
ekopraksia akan meniru persis gerakan orang tersebut secara berulang-ulang.
Contoh : jika orang yang berada di dekat penderita latah mengagetkannya
sambil menari,maka secara spontan penderita latah akan ikut menari.
3. Koprolalia, latah dengan mengucapkan kata-kata tabu atau kotor. Artinya,
ketika ada seseorang yang mengagetkannya secara spontanitas penderita latah
4. Automatic obedience: melaksanakan perintah secara spontan pada saat
terkejut, misalnya; ketika penderita dikejutkan dengan seruan perintah seperti
”sujud” atau ”peluk”, ia akan segera melakukan perintah itu.
Pada situs Republik Latah, Yoga Putra, mengelompokkan jenis latah
menurut sifatnya sebagai berikut.
1. Latah Konsisten.
Latah ini dicirikan dengan ucapan kata atau kalimat, atau bahkan perbuatan,
yang selalu sama, apa pun jenis rangsangannya. Contohnya "Eh copot, eh
copot, copot..."
2. Latah Variasi
Kalau yang ini kebalikannya latah konsisten. Respon latah amat tergantung
dari bunyi suara, perilaku, isi pikiran, perintah seseorang, atau wujud dari
rangsangan yang mengagetkan itu sendiri. Mendengar klakson ditekan,
langsung ngomong, "Eh tin-tin, eh tin-tin, eh tin-tin... eehh...". Disuruh buka
baju langsung buka baju. Disuruh cium langsung cium. Disuruh meluk
langsung meluk.
3. Latah Tertunda
Biasanya orang yang seperti ini tidak kaget saat menerima rangsangan, tapi ia
terus memikirkannya, dan tanpa sadar menjadi sugesti, lalu tiba-tiba terkejut
karena pikirannya sendiri di lain waktu. Orang yang menderita latah tertunda
seperti ini, tidak banyak jumlahnya. Ciri utamanya adalah kalimat latah
terucap tiba-tiba tanpa sebab yang jelas. Contohnya seseorang yang awalnya
mengaku habis menabrak kucing di jalan, saat bercerita dan membayangkan,
mati...". Padahal, sewaktu nabrak kucing dia cuma bilang "Astagfirullah
aladzim."
4. Latah Tidak Tulus
Ini adalah latah yang dilakukan karena mengikuti tren saja. Cirinya adalah
ekspresi yang keluar aneh, nada bicara datar, dan diikuti dengan tingkah sok
menyalahkan orang lain karena menyebabkan dia latah. Contoh, "Eh kampret,
eh copet, eh jambret, eh... apa sih? Eike kan gak latah,". Mereka yang berlatih
dengan baik bisa lepas dari ketidak tulusan ini dan mampu menjadi pelatah
sejati.
Di dalam penelitian ini, peneliti meneliti sampel berdasarkan jenis
latah secara umum yaitu: ekolalia, ekopraksia, koprolalia dan automatic
obedience.
2.3.2.3 Penyebab Timbulnya Penyakit Latah
Tingkat risiko tertular penyakit latah antar orang yang satu dengan
yang lain tentu tidak sama. Faktor pemicunya pun tidak sama, antara lain:
1. Faktor Pemberontakan
Dalam kondisi latah, seseorang bisa mengucapkan hal-hal yang dilarang, tanpa
merasa salah. Gejala ini semacam gangguan tingkah laku. Lebih ke arah
obsesif karena ada dorongan tidak terkendali untuk mengatakan atau
2. Faktor Kecemasan
Gejala latah muncul karena yang bersangkutan memiliki kecemasan terhadap
sesuatu tanpa ia sadari. Rata?rata, dalam kehidupan pengidap latah, selalu
terdapat tokoh otoriter, bisa ayah atau ibu atau di luar lingkungan keluarga.
Latah dianggap jalan pemberontakannya terhadap dominasi orangtua yang
sangat menekan.
3. Faktor pengondisian.
Inilah yang sering disebut latah karena ketularan. Seseorang mengidap latah
karena dikondisikan lingkungan, misalnya di saat latah, seseorang merasa
diperhatikan lingkungannya. Dengan begitu, latah juga merupakan upaya
mencari perhatian.
2.3.2.4 Contoh Kasus Latah
Dalam istilah bahasa Indonesia, pengertian latah lebih banyak
mengandung unsur konotatifnya dibanding unsur denotatifnya. Sedikit sekali
menemukan kata latah yang punya makna positif. Yang menarik, timbul
pertanyaan mengapa latah lebih banyak ditemukan di dunia hiburan? Begitu
banyak pekerja di dunia hiburan, baik itu pelawak, presenter, komedian,
pesinetron dan semacamnya yang awalnya normal-normal saja, tiba-tiba ketularan
latah? Bahkan menejer, make up artis, hair stylist, orang produksi, bahkan supir
artis sekalipun mudah tertular latah.
Anehnya, orang yang bergaya latah itu akhirnya jadi cepat sekali
terkenal karena bisa jadi bahan ejekan dan lelucon, serta bentuk fisik yang unik,
memerankan lelakon komedi di sinetron atau film. Padahal latah kerap disebut
sebagai budaya keterbelakangan? Sebuah teori bahkan menyebutkan kalau budaya
latah biasanya diderita oleh kalangan berpendidikan rendah, dan ekonomi rendah.
Olga Syahputra, komedian sekaligus presenter Dasyhat ini mendapat
teguran dari KPI, karena Ia sering melatahkan kata-kata jorok saat siaran
langsung. Lantas bagaimanakah tanggapan Olga atas hal tersebut? Menurut
penuturan sang produser acara musik Dasyhat, Oke Yahya menuturkan bahwa
sebenarnya kejadian Olga latah jorok bukan pada saat saat Ia membawakan acara
Dasyhat tapi karena tengah menghadiri salah satu aksi sulap dari finalis
‘D’Master’. Dan pada saat berada di dekat penonton itulah Olga latah jorok.
Untungnya, suara pelantun ‘Hancur Hatiku’ itu tak terlalu terdengar, kamera juga
tidak tengah mengarah kepadanya. Namun, tetap saja masyarakat tahu kalau Olga
baru saja latah jorok. “Mungkin latahnya itu di luar kontrol. Dia tidak bermaksud
begitu, malah saat itu Olga langsung minta maaf serta sikapnya mendadak agak
berubah, jadi pendiam.
Komedian Parto ‘Patrio’ tentunya sudah tidak asing lagi. Pemilik nama
asli, Eddy Supono ini juga dikenal dengan penyakit yang suka berbicara latah.
Tidak heran jika setiap kali tampil, Parto menjadi bulan-bulanan bahan ledekan
terkait gaya latahnya itu. Pria berkacamata itu mengaku tidak ingat persis
bagaimana awal mula penyakit latah ini menderanya. Yang Ia ingat, kebiasaan
latah itu berawal dari rasa kaget ketika dia bersama grup Patrio jalan-jalan. “Sejak
saat itu saya mulai kagetan, gara-gara dikageti Akri dan Eko, ada truk di belakang
saya,” ujarnya. Otomatis apa yang terjadi pada pemain OKB dan Opera Van Java
mengagetkan pria 47 tahun ini. Meskipun sering menjadi obyek penderita, Parto
mengaku tidak bisa marah karena baginya itu juga menjadi salah satu ibadah
menyenangkan orang. “Membuat orang senang itu kan ibadah, jadi senang aja
bila ada orang yang ngagetin, biarpun sering jantungan juga, ” tambah Parto. Bagi
orang lain, gaya bicara latah Parto itu barangkali sedikit menjengkelkan karena
sebagian orang menganggap semua itu dibuat-buat demi memancing tawa.
Dengan kata lain, gaya ngomong latah itu dituding bukan sifat natural melainkan
trik kesengajaan seorang pelawak untuk menyegarkan suasana. Namun, Parto
meyakinkan bahwa semua itu terjadi begitu saja tiap kali ada orang lain menepuk
pundaknya dari belakang secara tak terduga.
Satu lagi fenomena artis latah yang sangat sering kita lihat adalah
Mpok Atik. Artis multi talenta ini sudah sejak lama menderita latah. Bahkan, Ia
mengaku dalam komunikasinya sehari-hari, Ia selalu latah di dalam ucapannya.
Tetapi, Iactidak latah berbahasa tabu(koprolalia). Melainkan, Ia hanya mengulang
Gambar 1. ekspresi Mpok Atik Ketika Latah
2.3.3 Analisis Psikolinguistik
Secara etimologi, kata psikolinguistik berasal dari kata psikologi dan
kata linguistik. Kedua bidang ilmu ini sama-sama meneliti bahasa sebagai objek
formalnya.
Secara rinci psikolinguistik mempelajari empat topik utama yaitu (1)
komprehensi, yakni proses-proses mental yang dilalui oleh manusia sehingga
mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan memahami apa yang
dimaksud, (2) produksi, yakni proses mental pada diri kita yang membuat kita
dapat berujar seperti yang kita ujarkan, (3) landasan biologis dan neurologis yang
membuat manusia bisa berbahasa dan (4) pemerolehan bahasa, yakni bagaimana
anak memperoleh bahasa.
Ilmu psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi
yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat yang didengarnya pada
waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh
manusia. Maka secara teoretis, tujuan utama psikolinguistik adalah mencari satu
teori bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan secara psikologi dapat
menerangkan hakikat bahasa dan pemerolehannya. Dengan kata lain,
psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana
struktur ini diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami
kalimat-kalimat dalam pertuturan itu. Dalam praktiknya, psikolinguistik mencoba
menerapkan pengetahuan linguistik dan psikologi pada masalah-masalah seperti
pengajaran dan pembelajaran bahasa, pengajaran bahasa permulaan dan membaca
gagap,latah dan sebagainya, serta masalah-masalah sosial lain yang menyangkut
bahasa.
2.3.4 Fonologi dan Sintaksis 2.3.4.1 Fonologi
Pada sekitar umur 6 bulan, anak mulai mencampur konsonan dengan
vokal sehingga muncullah apa yang sering disebut celotehan yang merupakan
akar dari fonologi. Di dalam penelitian bahasa yang tertentu, para ahli fonologi
mendaftarkan setiap fonem dalam suatu bahasa ke dalam komponen utama
fonologi.
“Komponen fonologi adalah system bunyi suatu bahasa (Chaer,
2003:43)”. Fonologi boleh disebut ilmu bunyi yang ‘fungsional’.
Untuk memahami rumus dasar fonologi kita ambil contoh kata
sederhana gelegak dalam bahasa Indonesia. Bunyi k pada akhir kata gelegak bisa
saja dipresentasikan menjadi g. Sehingga lafalnya menjadi gelegag.
Namun, meskipun ucapannya berbeda secara fonologi, tetapi
maknanya tidaklah berbeda dan ketika kata itu diucapkan, seluruh orang Indonesia
memahaminya. Jadi dapat disimpulkan, bahwa secara fonologi konsonan k dan g
dapat saling menggantikan jika muncul atau diucapkan pada akhir kata yang
didahului oleh huruf vocal. Contoh lainnya, gagak, gerobak, tegak, dsb.
Berbeda ketika sebuah fonem menjadi fungsi pembeda pada dua buah
kata seperti kata rupa dan lupa, perbedaan perubahan bunyi ada pada fonem r dan
l, membedakan arti dari kata tersebut.
Jenis-jenis perubahan bunyi tersebut dibagi menjadi:
Asimilasi adalah perubahan bunyi dari dua buah bunyi yang tidak sama
menjadi bunyi yang sama atau yang hampir sama. Contohnya, kata tentang
dan tendang. Dari segi pengucapan sangatlah mirip satu sama lain atau hampir
sama pengucapannya.
2. Disimilasi
Disimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau mirip
menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda. Contohnya, prefiks ber ditambah
kata ajar, semestinya menjadi berajar. Namun karena ada dua bunyi r, maka r
yang pertama di disimilasi menjadi huruf l, sehingga kata tersebut menjadi
belajar.
3. Netralisasi
Netralisasi adalah perubahan bunyi fonetis sebagai akibat pengaruh
lingkungan. Untuk lebih jelasnya perhatikan kata barang dan parang. Pada
kedua kata tersebut dapat disimpulkan bahwa di dalam bahasa Indonesia
terdapat fonem [b] dan [p] yang mampu membedakan arti. Namun pada
kondisi tertentu, fungsi pembeda pada fonem [b] dan [p] menjadi samar
bahkan hilang jika dilihat dari kata sebab dan atap yang pengucapan fonem
[b] dan [p] menjadi sama.
4. Zeroisasi
Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya
penghematan pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan
bahasa-bahasa di dunia termasuk bahasa-bahasa Indonesia, asal tidak mengganggu proses dan
tujuan komunikasi tersebut, secara tidak sengaja telah disepakati bersama oleh
proses zeroisasi di antaranya kata tidak sering diucapkan menjadi tak atau gak.
Kata untuk menjadi tuk, kata bagaimana menjadi gimana dan sebagainya.
5. Diftongisasi
Diftongisasi adalah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua
bunyi vokal secara berurutan. Contoh, kata teladan menjadi tauladan.
6. monoftongisasi
monoftongisasi adalah perubahan dua bunyi vokal menjadi vokal tunggal.
Contoh, kata kalau berubah jadi kalo
7. anaptiksis
Anaptiksis adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan huruf tertentu
untuk memperlancar ucapan tanpa membedakan arti sesungguhnya. Contoh,
kata kapak disebut menjadi kampak.
Jadi, berdasarkan wacana di atas dapat disimpulkan bahwa pengucapan
fonem ini bergantung pada lingkungan fonem itu sendiri.
2.3.4.2 Sintaksis
Sintaksis merupakan komponen sentral dalam pembentukan kalimat.
“Sintaksis adalah urutan dan organisasi kata-kata yang membentuk frase atau
kalimat dalam suatu bahasa menurut aturan atau rumus dalam bahasa itu.”
(Chaer,2003:39)
Verhaar (2004:161) menyatakan, ”Sintaksis adalah tatabahasa yang
membahas hubungan antar kata dalam tuturan.” tuturan adalah apa yang
diucapkan oleh seseorang. Salah satu satuan tuturan adalah kalimat. Jadi secara
Tugas utama komponen sintaksis adalah menentukan hubungan antara
pola-pola bunyi bahasa itu dengan makna-maknanya dengan cara mengatur urutan
kata-kata yang membentuk frase atau kalimat itu agar sesuai dengan makna yang
diinginkan oleh penuturnya.
Frase dibagi atas ( 1 ) frase endosentrik dan ( 2 ) frase eksosentrik.
Frase endosentrik adalah frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan
unsurnya, baik semua unsurnya maupun salah satu dari unsurnya. Sedangkan,
frase eksosentrik adalah frase yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan
semua unsurnya.
Untuk mengetahui bagaimana cara kerja komponen sintaksis ini,
perhatikan contoh.
Kuda itu menendang petani.
Jika dipenggal berdasarkan frasenya maka seharusnya setiap penutur bahasa
Indonesia akan memenggalnya menjadi:
Kuda itu // menendang // petani.
Jadi, setiap penutur bahasa Indonesia akan memenggal kalimat tersebut
menjadi frase seperti di atas. Kemampuan ini menunjukkan bahwa secara sadar
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di daerah Mabar-hilir Jalan Mangaan VIII
Pasar III, Kecamatan Medan-Deli, Medan, Sumatera Utara.
3.1.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan selama 5 bulan dari tanggal 14 Januari-31 Mei
2009.
3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi
Menurut Arikunto (2000:108) mengatakan bahwa “Populasi adalah
sekumpulan unsur atau elemen yang menjadi objek penelitian”.
“Populasi adalah sekumpulan unsur atau elemen yang menjadi objek
penelitian.” ( Malo, 1985: 149 ).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat di daerah
Kelurahan Mabar-Hilir, Kecamatan Medan-deli. Populasi target yakni seluruh
masyarakat Kelurahan Mabar-hilir yang menderita latah. Namun, karena faktor
waktu, populasi target yang ditentukan peneliti tidak dapat sepenuhnya ditemui di
lapangan, sehingga peneliti menetapkan populasi surveinya hanya di daerah
A
B
B A
Populasi Target dan Populasi Survei
Ket : Populasi Target (Seluruh penderita latah Kelurahan Mabar Hilir)
Populasi Survei (khusus penderita latah yang berdomisili di Jalan
Mangaan VIII Mabar-Hilir)
3.2.2 Sampel
Arikunto (2000:131) mengatakan bahwa “ Sampel adalah sebahagian
atau wakil populasi yang diteliti”.
Selain itu, Arikunto (2000:134) juga mengatakan, “ Untuk sekedar
ancer- ancer, maka apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua
sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Tetapi, jika jumlah
subjeknya besar, dapat diambil antara 10- 15% atau 20- 25% atau lebih...”.
Memperhatikan jumlah populasi relatif besar, maka tidak semua
anggota populasi diteliti, sehingga dalam penelitian ini ditetapkan yang menjadi
sampel adalah masyarakat yang berdomisili di daerah Jalan Mangaan VIII Pasar
III Mabar-Hilir, Kecamatan Medan-Deli yang berjumlah 3 orang. Pengambilan
sampel dilakukan yakni dengan sampel non-probabilita. Penarikan sampel
dilakukan secara sengaja ( purposive sampling ), peneliti meneliti secara sengaja
subjek penelitian dengan terlebih dahulu melakukan survei untuk mengetahui
Penderita latah yang menjadi subjek penelitian adalah penderita latah
berat yakni latah ekolalia, ekopraksia, koprolalia, dan automatic obedience, yang
berjumlah 1 orang, sedangkan 2 orang subjek penelitian yang lain menderita latah
koprolalia. Jadi ada 3 subjek yang diteliti.
3.3 Variabel Penelitian
Variabel adalah konsep yang masih abstrak, yang diubah
sehinggalebih kongkrit, agar dapat diamati atau diukur. Dengan kata lain, variabel
adalah konsep yang mempunyai variasi nilai ( Tohardi, 2008: 15 ).
Adapun variabel dalam penelitian ini antara lain:
1. Jenis Kelamin ( laki-laki atau perempuan )
Menurut psikolog Rahayu ( Aplaus, 2007: 24 ) penderita latah umumnya
jumlahnya lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki.
2. Usia
Psikolog Rahayu ( Aplaus, 2007: 24 ) mengemukakan pandangan teori kuno
yang menyatakan penderita latah biasanya orangtua, perempuan,
berpendidikan rendah, dan berasal dari ekonomi rendah.
3. Status ekonomi / pekerjaan
Psikolog Rahayu ( Aplaus, Oktober 2007: 24 ) mengemukakan pandangan dr.
R. Khaltarina, Psi., Msi., yang menyatakan bahwa gangguan latah biasanya
tumbuh dalam masyarakat terbelakang ( ekonomi rendah ) yang menerapkan
budaya otoriter.
4. Lingkungan Sosial dan diri sendiri
Menurut psikolog Eva Septiana Barlianto, M.Si. ( Muslimah, Mei 2007: 43 )
sering latah hingga menjadi kebiasaan, faktor cemas yang berlebihan, serta
diri sendiri.
3.4 Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini
digunakan tiga alat pengumpulan data ( instrumen penelitian ) penelitian. Ketiga
alat yang dimaksudkan antara lain:
1. Observasi, yaitu melakukan pengamatan langsung ke objek penelitian.
2. Interview ( wawancara ), yaitu mengadakan Tanya jawab secara langsung
kepada informan yang diharapkan dapat memberi keterangan-keterangan yang
diperlukan seperti wawancara dengan penderita latahdan masyarakat sekitar.
3. Studi Kepustakaan, yaitu menelaah beberapa literatur yang berisikan pendapat
atau teori-teori para ahli yang berkenaan dengan permasalahan yang diteliti.
4. Sumber lain yakni melalui internet dalam www. google. Com.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini bersifat kualitatif. Dalam
hal ini, Bogdan dan Taylor ( dalam Maleong, 1998: 3 ) mengatakan bahwa
prosedur kualitatif menghasilkan penelitian yang mengungkapkan data kualitatif
dengan pendekatan yang diarahkan pada latar dan idividu secara holistic ‘utuh’
atau memandangnya sebagai suatu kesatuan. Jenis data dalam penelitian ini
adalah data kualitatif. Dengan demikian, sumber data terdiri atas data primer dan
data sekunder. . Data primer atau objek fokus dalam penelitian ini, yakni Penulis
mengambil responden sebagai sumber data dalam penelitian 3 orang perempuan
Data primer diperoleh dari lokasi penelitian melalui cara-cara sebagai berikut.
( 1 ) Observasi
Observasi yaitu pengumpulan data dengan melakukan pengamatan
langsung ke objek penelitian. Teknik ini digunakan untuk mengenali dan
menemukan beberapa data berkenaan dengan kondisi objektif di lokasi penelitian.
Bersamaan dengan observasi dilakukan pencatatan dan pemotretan. Teknik yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pancing, teknik rekam, dan teknik
catat ( Sudaryanto, 1993 : 35-137 ). Teknik rekam dilakukan dengan
menggunakan kamera perekam. Sebelum teknik rekam dilakukan, terlebih dahulu
penulis melakukan teknik pancing, yaitu memancing responden, yakni dengan
menemui responden di kediamannya dan mengajaknya untuk berbincang-bincang
demi kesahian data.
( 2 ) Wawancara
Wawancara yaitu pengumpulan data dengan melakukan wawancara
mendalam terhadap objek penelitian. Teknik wawancara yang digunakan adalah
wawancara tidak berstruktur yaitu dengan mengajukan beberapa pertanyaan
secara langsung dan sebagai instrumen adalah peneliti sendiri. Kemudian
dikembangkan dan diperdalam sesuai dengan data yang dibutuhkan. Informasi
yang diperoleh selanjutnya dicatat dan direkam secara bersamaan.
Selanjutnya,data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui
sumber-sumber subjek material tertulis seperti: buku cetak, internet dalam artikel,
karya tulis lainnya untuk mengambil informasi tambahan yang terkait dengan
membaca, kemudian mencatat dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah
penelitian.
3.6 Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan dilakukan sejak
pengumpulan data. Penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan segi proses
daripada hasil. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif.
Data kualitatif adalah data berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka.
Data tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto,
video tape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya.
Metode adalah cara yang harus dilaksanakan. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode cakap, simak, padan dan metode agih( Sudaryanto,
1993 : 13-143 ).
Metode simak digunakan untuk menyimak hasil tutur informan.
Metode cakap merupakan metode yang dilakukan dengan percakapan dan kontak
langsung antara peneliti dengan penutur. Dalam hal ini, kata-kata atau frase yang
diucapkan oleh penderita latah dianalisis secara keseluruhan dengan analisis
fonologi dan sintaksis. Metode agih digunakan peneliti untuk memahami dan
menganalisis data. Metode agih menggunakan bahasa sebagai alat penentu untuk
menganalisis data bersangkutan. Dalam metode agih ini analisis data
dikembangkan dengan menggunakan teknik lanjutan yakni: teknik lesap, teknik
ganti, teknik sisip, dan teknik ubah ujud. Teknik lesap digunakan dalam analisis
fonologi untuk melesapkan ( melepaskan, menghilangkan, menghapuskan,
mengurangi) unsur tertentu satuan lingual yang bersangkutan. Teknik ganti
dengan ‘unsur’ tertentu. Teknik lesap adalah teknik penambahan unsur tertentu
satuan lingual yang bersangkutan. Teknik ubah ujud adalah mengubah wujud
BAB IV
GANGGUAN BERBICARA PSIKOGENIK PENDERITA LATAH DITINJAU SECARA FONOLOGI DAN SINTAKSIS
4.1 Gangguan Berbicara Psikogenik Penderita Latah 4.1.1 Penderita Latah Pertama
SRI WAHYUNI (17 tahun)
Secara umum ada empat jenis latah yang diidap oleh Sri Wahyuni antara
lain:
1. Ekolalia
yaitu latah dengan mengulangi perkataan orang lain.
Contoh: Cudut Gila ( seperti dalam gambar (1)
Teman Sri Wahyuni yang bernama Uci mengagetkan dirinya dengan
kata ‘cudut gila!’, maka dalam kondisi latah yang dialaminya secara spontan Sri
Wahyuni mengucapkan kata tersebut secara berulang-ulang, yakni “ cudut gila,
cudut gila,…!”
2. Ekopraksia
Latah dalam bentuk meniru gerakan orang lain. Artinya, ketika melihat
orang lain bertingkah unik, secara spontan orang yang mengidap latah ekopraksia
akan meniru persis gerakan orang tersebut secara berulang-ulang.
Contoh: Pok ame-ame ( melakukan gerakan sambil memperagakan pok ame-ame
( seperti dalam gambar 2 ) ).
Uci teman Sri Wahyuni bertingkah unik melakukan gerakan pok
ame-ame sambil bernyanyi, Sri Wahyuni yang mendengarkan dan melihat gerakan
tersebut secara spontan dalam kondisi latahnya Sri Wahyuni mengikuti gerakan
yang dilakukan oleh Uci sambil menyanyikan lagu pok ame-ame.
3. Koprolalia
Yaitu latah dengan mengucapkan kata-kata tabu atau kotor. Contoh:
jembut merah mamamu lepas
Gambar 4 Ekspresi Latah Koprolalia Sri Wahyuni (17)
Ketika Sri Wahyuni berbincang-bincang dengan teman-temannya di
rumah salah seorang temannya yang bernama Umi, karena asyiknya mengobrol,
Ibu si Umi yang mengetahui bahwa Sri Wahyuni mengidap latah berat berusaha
spontan karena rasa terkejut yang dirasakan Sri Wahyuni, Ia mengucapkan ‘
jembut merah mamamu lepas’.
4. Automatic Obedience
Yaitu melaksanakan perintah secara spontan saat terkejut. Contoh:
perintah memakai baju tidur ( seperti dalam gambar 4 )
Gambar 5 Ekspresi Latah Automatic Obedience Sri Wahyuni (17)
Umi teman Sri Wahyuni memerintahkan Sri Wahyuni untuk memakai
baju tidur yang bewarna merah jambu, dalam kondisi latahnya Sri Wahyuni
melaksanakan perintah tersebut secara spontan, setelah baju tersebut telah
dipakainya selama 2 menit Ia pun tersadar dan langsung berusaha membuka baju
tidur tersebut. Hal ini tentu saja membut teman-temannya tertawa riang melihat
4.1.2 Penderita Latah Kedua NURBAITI (54 tahun)
Setelah diteliti, penderita kedua ini hanya menderita latah jenis
koprolalia, yaitu latah dengan mengucapkan kata-kata tabu atau kotor.
Penderita di atas secara spontan akan mengucapkan kata tabu dan
kotor, kontol secara berulang-ulang jika ia dikagetkan.
Setelah diteliti, penderita ketiga ini hanya menderita latah jenis
koprolalia, yaitu latah dengan mengucapkan kata-kata tabu atau kotor. Berbeda
dengan pelatah yang kedua yang hanya mengucapkan satu kata saja, pelatah ini
mengucapkan kata-kata kotor yang lebih bervariasi
Penderita di atas secara spontan akan mengucapkan kata tabu dan
kotor, kontol, kontol bedul, pantat, pukimak secara berulang-ulang, jika Ia
dikagetkan.
4.2 Produksi Ujaran Penderita Latah Ditinjau dari Segi Psikolinguistik, Fonologi dan Sintaksis
1. Psikolinguistik
Ilmu psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi
yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat yang didengarnya pada
waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh
manusia. Maka secara teoretis tujuan utama psikolinguistik adalah mencari satu
teori bahasa yang secara linguistic bisa diterima dan secara psikologi dapat
menerangkan hakikat bahasa dan pemerolehannya. Dengan kata lain,
psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana
struktur ini diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami
kalimat-kalimat dalam pertuturan itu.
Pada penderita latah pertama Sri Wahyuni yang menderita latah
ekolalia, maka produksi kata yang keluar dari mulutnya tidaklah dapat ditinjau
dari segi psikis karena penderita murni hanya membeo tanpa ia mampu
menguraikan teori maupun hakikat bahasa dan pemerolehannya. Jadi, dapat
kata-kata baik yang struktur bahasanya jelas, maka penderita latah ini juga akan
mengeluarkan kata-kata yang persis sama dengan yang diucapkan orang yang
mengagetkannya.
Sri Wahyuni juga menderita latah ekopraksia, latah jenis ini adalah
latah yang secara spontan mengikuti gerakan orang yang mengganggunya. Ketika
teman Sri Wahyuni mengganggunya dengan bertepuk tangan pok ame ame, maka
secara spontan ia mengikuti gerakan dari temannya. Contoh lain, ketika temannya
menari-nari, Sri Wahyuni dengan spontan juga ikut menari-nari.
Dari kasus di atas, dapat dilihat bahwa ditinjau dari sudut
psikolinguistik, Sri Wahyuni tidaklah mengerti atas apa yang dibuatnya. Gerakan
yang dilakukan hanyalah meniru secara spontan gerakan orang yang
mengganggunya, tanpa ia mengerti maksud gerakan tadi.
Selain menderita latah ekolalia, penderita pertama Sri Wahyuni juga
menderita latah koprolalia yang juga diderita oleh penderita kedua Nurbaiti dan
penderita ketiga Nursiah, yaitu latah dengan mengucapkan kata-kata tabu atau
kotor. Kata-kata yang diucapkan adalah kontol dan jembut mamakmu merah.
Jika dilihat secara psikolinguistik, kata-kata tabu tersebut diperoleh
secara spontan. Latah ini punya korelasi dengan kepribadian histeris. Kelatahan
ini merupakan “excause” atau alasan untuk dapat berbicara dan bertingkah laku
porno, yang pada hakikatnya berimplikasi invitasi seksual.
Jadi dapat disimpulkan, kalau kata-kata tabu tersebut dikeluarkan
secara spontan karena invitasi seksual.
Yang terakhir penderita Sri Wahyuni, juga menderita latah jenis
dapat dilihat dari ketika Sri Wahyuni dengan spontan memakai baju tidur yang
diberi padanya untuk dipakai. Bahkan selain itu, ketika berada di sekolah,
temannya berteriak dengan kata-kata hormat grakk! Maka Sri Wahyuni dengan
spontan langsung berdiri tegak dan menghormat.
Melihat kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa secara psikolinguistik,
pemerolehan bahasa Sri Wahyuni cukup baik. Dalam keadaan latah, Sri Wahyuni
masih dapat merekam dengan jelas makna kata-kata yang diperintahkan
kepadanya. Berarti bahasa ibu yang ditanamkan dari kecil pada Sri Wahyuni
masih baik dan tidak terkontaminasi walaupun ia menderita latah. Ini dapat
dibuktikan dari kemampuan Sri Wahyuni mendengar, memahami, dan akhirnya
melakukan perintah yang diucapkan dengan benar. Jika ia disuruh hormat maka ia
akan hormat, jika disuruh duduk ia akan duduk.
Jadi dari keterangan di atas dapat disimpulkan, bahwa secara
psikolinguistik, kemampuan orang-orang latah untuk mencerna, mengerti,
kata-kata yang terlontar dari mulutnya adalah tidak ada. Seorang yang latah murni
hanya membeo ucapan yang didengarnya yang kemudian secara spontan akan
diulanginya. Bahkan jika seseorang mengucapkan bahasa asing yang tidak ia
mengerti sama sekali, penderita latah akan tetap mengikuti kata-kata yang tidak
dimengertinya itu secara tidak sadar dan tidak terkontrol sama sekali.
Berbeda dengan kasus latah jenis automatic obedience. Kasus latah ini
merupakan kasus latah yang menjadikan penderitanya mengikuti secara spontan
perintah orang di dekatnya. Jadi, dapat disimpulkan, penderita hanya akan
mengikuti ucapan yang dimengertinya dari orang yang ada di dekatnya. Ini
Jadi ada kemungkinan, jika penderita latah yang biasa menggunakan bahasa
pertama adalah bahasa Jawa, maka ada kemungkinan ia tak akan mengikuti
perintah dari seseorang jika menggunakan bahasa yang tidak dimengertinya.
2. Fonologi
Menurut teori Blumstein(1994) yang dikutip Gusdi Sastra (2007: 23),
”mengemukakan kesilapan fonologi pada penderita cacat bahasa dapat berupa
penggantian fonem, penambahan fonem, penghilangan fonem, dan asimilasi.”
Kesilapan fonologi atau kesilapan penyederhanaan adalah
pengguguran sebuah fonem atau suatu bentuk kesilapan fonem. Pengguguran
fonem tidak hanya berlaku pada sebuah fonem saja, tetapi juga pada beberapa
fonem pada kata yang sama, bahkan juga pengguguran unsur yang berstruktur
suku kata.
Berikut kata-kata yang diucapkan oleh para penderita latah yang
dicatat oleh peneliti
1. anjing
diucapkan penderita latah Sri Wahyuni menjadi anjeng [ anjiŋ ] menjadi [ anj ŋ ]
Analisis kata ‘anjing’ berubah menjadi ‘anjeng’ terjadi asimilasi, yaitu
perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama menjadi bunyi yang sama atau
hampir sama. Asimilasi ini tergolong asimilasi fonetis karena perubahannya dari
[i] yaitu ke [e ] dalam lingkup antar fonem. Namun secara fonologi proses
assimilasi ini tidaklah berpengaruh karena perubahan bunyi yang terjadi akibat
vokal yang berubah tersebut tidaklah mempengaruhi makna dari kata tersebut.
Namun di kesempatan berbeda, Sri Wahyuni mengucapkan “anjing,
aferesis, yaitu penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan
pengucapan pada awal kata. Jika kata njing tersebut tidak disebut dulu awalnya
maka secara fonologi kata tersebut tetap mampu ditangkap pendengar dengan
makna yang sama yaitu anjing. Karena di berbagai kesempatan, kata anjing sering
diungkapkan njing pada kesempatan jika seseorang ingin mengumpat orang lain
secara kasar.
2. kontol
Kata kontol diucapkan tol oleh penderita latah Ibu Nurbaiti. [ kontol]
menjadi [tol]. Analisis kata kontol berubah bunyi menjadi tol terjadi zeroisasi
yang tergolong aferesis, yaitu proses penghilangan atau penanggalan satu atau
lebih fonem pada awal kata. Dan apabila kata tol tersebut awalnya tidak
diucapkan secara lengkap seperti kontol tol tol tol, maka secara fonologi, kata
tersebut dapat ditangkap dengan makna yang berbeda oleh pendengarnya.
Penderita latah ketiga juga sering mengucapkan kata kontol jika ia
dikejutkan dari belakang.
3. monyong
Diucapkan oleh Sri Wahyuni dengan jelas monyong yang disertai
dengan ekspresi dengan bibir dimajukan. Ini semakin menjelaskan maksud dari
kata tersebut.
4. copot
Kata copot diucapkan oleh Sri Wahyuni secara serampangan menjadi
eh copot..cepot..copot. Ini berarti secara tidak sengaja telah terjadi proses
kata tersebut diulang berkali-kali maka proses asimilasi itu tidak membuat
berubah makna.
5. kolor ijo
Kata kolor ijo diucapkan oleh Sri Wahyuni sempurna yaitu kolor ijo,
namun sebenarnya kata ijo merupakan kata hijau. Maka secara fonologi kata ijo
tersebut mengalami zeroisasi sekaligus monoftongisasi. Kata hijau berubah jadi
ijo, hilangnya konsonan [h] menggambarkan proses zeroisasi. Selanjutnya kata
hijau berubah ijo, berubahnya vokal ganda [au] menjadi [o] merupakan proses
monoftongisasi.
6. jatuh
Kata jatuh diucapkan Sri Wahyuni menjadi, ”eh jatoh..jatoh,jatoh,”
ditinjau dari segi fonologi, maka kata tersebut mengalami proses asimilasi. Yaitu
berubahnya konsonan [u] menjadi [o]. Namun, hal tersebut tidaklah menjadi
masalah karena proses asimilasi tersebut tidak merubah arti dari kata yang
dimaksud.
7. bodoh kau
Kata bodoh kau diucapkan Sri Wahyuni menjadi, ”bodoh ko, bodoh,
eh bodoh,” ditinjau dari segi fonologi, hanya kata kau yang mengalami
monoftongisasi pada vokal [au] menjadi [o] jadi, kau menjadi ko. Namun kata ini
tetap dapat dimengerti dengan makna yang sama bagi pendengar.
8. gila
Kata gila diucapkan Sri Wahyuni menjadi gilak, secara fonologi kata
tersebut mengalami proses anaptiksis, yaitu bertambahnya konsonan [k] pada kata
9. Kampret
Kata kampret diucapkan Sri Wahyuni menjadi kampret, eh
kempret,kepret..eh,” Secara fonologi ucapan tersebut mengalami proses asimilasi
yaitu berubahnya vokal [a] menjadi [e], selain itu juga terjadi proses zeroisasi
yaitu penghilangan huruf pada kata kampret menjadi kempret. Proses ini
merupakan suatu proses yang terjadi secara tidak sengaja dan terjadi secara
spontan karena kata-kata yang keluar dari bibir pelatah tersebut keluar dengan
cepat dan tidak terkendali. Kata kampret yang dimaksud sendiri adalah kata yang
di dalam KBBI yang artinya kalong, kelelawar. Namun, ada kemungkinan pelatah
tersebut tidak menyadari apa arti dari kata yang diucapkan, melainkan diucapkan
hanya karena faktor kebiasaan saja.
10. Bedul
Pelatah ketiga Nursiyah, akan mengucapkan secara spontan kata bedul
jika ia kaget dengan bunyi-bunyi di sekitarnya seperti panci jatuh, pintu dibanting,
suara klakson dan sebagainya. Biasanya secara spontan dia akan mengucapkan
kata-kata, ”eh bedul kau, bedol, eh bedol kau besar,” sambil iapun mencari asal
suara yang membuatnya kaget.
Secara fonologi, proses di atas mengalami asimilasi. Perubahan vokal
[u] menjadi [o] merupakan proses yang terjadi tanpa maksud merubah arti dari
kata yang sebenarnya. Kata bedul sendiri tidaklah merupakan kata yang tercantum
dalam KBBI. Kata bedul ini merupakan kata bahasa sunda yang merupakan
11. Pukimak
Pelatah ketiga Nursiyah, juga sering mengucapkan kata pukimak. Jika
kaget melihat seseorang yang muncul tiba-tiba di hadapannya, maka secara
spontan ia akan memaki orang tersebut dengan ucapan, ”eh pukimak kau.”
Secara fonologi, kata-kata di atas tidaklah mengalami apapun, karena kata
tersebut disebutkan sesuai dengan aslinya.
12. Pantat
Nursiyah, pelatah ketiga juga sering mengucapkan kata pantat jika
terkejut. Kata tersebut diucapkan secara bervariasi, ”eh pantat, pantatlah kau,
pantat kau,” Secara fonologi, kata ini tidaklah mengalami perubahan yang berarti
karena kata tersebut tidak mengalami perubahan.
13. T aik Mencret
Nursiah, pelatah ketiga sering mengucapkan kata jorok taik mencret
jika ia sedang latah. Kata-kata tersebut disebutkannya jika ia terkejut dan
langsung mengeluarkan kata, ”eh, taik mencret kau,,eh, bauk,” secara fonologi
kata-kata tersebut diungkapkannya secara tidak sadar.
Dari keseluruhan kata-kata yang diucapkan para penderita latah dapat
kita simpulkan bahwa kata-kata yang ditimbulkan oleh penderita latah tersebut
merupakan kata-kata yang tidak disadari terucapkan oleh para penderita latah
tersebut. Kata-kata yang diucapkan oleh para penderita latah tersebut ada yang
langsung diucapkan tanpa ada perubahan secara fonologi dari apa yang mereka
tangkap dari telinga mereka. Atau dapat disimpulkan kata yang diucapkan murni
dari hasil membeo seperti kata monyong tetap diucapkan monyong oleh sri
mengalami perubahan secara fonologi, dari kata yang asli mereka dengar namun
tidak merubah makna kata aslinya seperti pada kata jatuh yang berubah menjadi
jatoh. Selain itu ada juga kata-kata yang diucapkan berbeda dengan kata aslinya
dan merubah arti setelah didengar seperti kata kontol berubah menjadi tol.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kesalahan-kesalahan yang ditimbulkan
oleh penderita latah itu tak lain karena semua kata yang diucapkan para penderita
latah tersebut adalah kata-kata spontan tanpa pemikiran terlebih dahulu.
3. Sintaksis
Tugas utama komponen sintaksis adalah menentukan hubungan antara
pola-pola bunyi bahasa itu dengan makna-maknanya dengan cara mengatur urutan
kata-kata yang membentuk frase atau kalimat itu agar sesuai dengan makna yang
diinginkan oleh penuturnya. Berikut kalimat-kalimat yang diucapkan penderita
latah Sri Wahyuni.
1. Bapak guru baru oon di kelas
Analisis frase eksosentik ( FEk)
Jika dipenggal menurut frasenya dapat menjadi
1. Bapak,// guru baru //oon di kelas
2. Bapak guru// baru oon //di kelas
3. Bapak guru baru// oon di kelas
Dari pemenggalan frase di atas dapat dilihat bahwa pemenggalan yang
berbeda dapat membedakan arti kalimat itu pula. Jadi kemampuan penderita latah
dalam menyesuaikan makna yang sesuai bergantung penuh terhadap kalimat awal
Selain itu jika ditinjau dari struktur kalimat, maka kalimat di atas
merupakan kalimat sempurna, yaitu kalimat yang sekurang-kurangnya memiliki
dua pola utama yaitu subjek dan predikat.
Bapak guru baru oon di kelas S P K
2. Hormat grak!
Jika ditinjau dari frasenya maka tergolong frase eksosentris. Jika
ditinjau dari struktur kalimatnya, maka kalimat di atas merupakan kalimat tidak
sempurna atau kalimat minor yaitu kalimat yang hanya memiliki satu pola utama.
Hormat grak! P
3. Jembut merah mamakmu lepas.
Jika dipenggal menurut frasenya maka akan menjadi:
Jembut // merah mamakmu // lepas
Jembut merah mamakmu // lepas
Jembut merah // mamakmu // lepas
Berdasarkan pemenggalan frase, kalimat di atas tidaklah mengalami
perubahan makna yang berarti jika dipenggal dengan cara yang berbeda-beda.
Sedangkan jika ditinjau dari struktur kalimatnya, maka kalimat di atas termasuk
kalimat yang memiliki kalimat yang lengkap atau sekurang-kurangnya memiliki
subjek dan predikat.
Jembut merah mamakmu lepas S P
4. Pantat mamakmu bauk
Jika dipenggal menurut frasenya bisa menjadi
Pantat! // mamakmu bauk
Berdasarkan pemenggalan frase, kalimat di atas bisa membentuk
makna yang berbeda. Pada pemenggalan frase yang pertama dapat ditimbulkan
arti bahwa yang bauk adalah pantat mamakmu. Sedangkan pada pemenggalan
frase yang kedua ditimbulkan arti mamak bauk tapi bukan pantatnya, melainkan
kata pantat merupakan kata makian.
Namun penderita latah Nursiah, hanya mengucapkan kalimat di atas
dengan pemenggalan frase yang pertama yaitu ”Pantat mamakmu // bauk.
Jika ditinjau dari struktur kalimatnya, maka akan ditemukan kalimat
yang lengkap karena memiliki subjek dan predikat.
Pantat mamakmu bauk S P
Di dalam tatanan sintaksis, kata-kata maupun kalimat-kalimat yang di
ucapkan para penderita latah murni dihasilkan dari apa yang didengarnya. Jika
dilihat dari penderita latah, pada umumnya penderita latah akan mengikuti ucapan
orang yang mengagetkannya secara spontan dan persis. Jadi, dapat disimpulkan
jika orang yang mengagetkan penderita latah tersebut mengucapkan kata dengan
pemenggalan frase seperti contoh pertama maka penderita latah akan
mengikutinya juga, begitu seterusnya. Begitu juga dalam pembentukan pola
kalimat yang sempurna, jika pengaget orang latah menyebutkan kalimat yang
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
1. Ketiga penderita latah yang telah diteliti, memiliki latah yang berbeda-beda.
Pelatah yang pertama menderita semua jenis latah yaitu ekolalia, ekopraksia,
koprolalia dan automatic obedience. Pelatah yang kedua dan ketiga memiliki
latah yang sama yaitu koprolalia, hanya saja pelatah ketiga memiliki
perbendaharaan kata-kata yang bersifat tabu dan kotor lebih banyak
dibandingkan pelatah yang kedua.
2. Sri Wahyuni penderita latah yang pertama memiliki kebiasaan latah yang
sudah cukup parah. Ia menderita ekolalia yaitu mengulangi ucapan orang lain
bila terkejut, koprolalia yaitu mengucapkan kata-kata tabu dan kotor,
ekopraksia yaitu menirukan gerakan orang lain dan automatic obedience yaitu
menuruti apa yang diperintah orang lain.
3. Nurbaiti penderita latah kedua, hanya menderita koprolalia yaitu kebiasaan
mengucapkan kata-kata kotor bila terkejut. Kata-kata yang diucapkannya
hanya satu yaitu kontol.
4. Nursiah penderita latah ketiga, hanya menderita koprolalia yaitu kebiasaan
mengucapkan kata-kata tabu dan kotor. Namun, kata-kata yang diucapkannya
sangat banyak seperti kontol, pukimak, pantat dan sebagainya.
5. Pada penderita latah ekolalia, maka produksi kata yang keluar dari mulutnya
tidaklah dapat ditinjau dari segi psikis. Ini karena penderita murni hanya
pemerolehannya. Jadi dapat diambil kesimpulan, jika seseorang yang
mengagetkannya mengeluarkan kata-kata baik yang struktur bahasanya jelas,
maka penderita latah ini juga akan mengeluarkan kata-kata yang persis sama
dengan yang diucapkan orang yang mengagetkannya.
6. Jika dilihat secara psikolinguistik, kata-kata tabu yang dikeluarkan oleh
penderita diperoleh secara spontan. Latah ini punya korelasi dengan
kepribadian histeris. Kelatahan ini merupakan “excause” atau alasan untuk
dapat berbicara dan bertingkah laku porno, yang pada hakikatnya berimplikasi
invitasi seksual. Jadi dapat disimpulkan, kalau kata-kata tabu tersebut
dikeluarkan secara spontan karena invitasi seksual.
7. Pada penderita latah jika ditinjau secara fonologi proses asimilasi pada
fonologi tidaklah berpengaruh karena perubahan bunyi yang terjadi akibat
vokal yang berubah tersebut tidaklah mempengaruhi makna dari kata tersebut.
8. Jika dilihat dari penderita latah, pada umumnya penderita latah akan
mengikuti ucapan orang yang mengagetkannya secara spontan dan persis.
Jadi, dapat disimpulkan jika orang yang mengagetkan penderita latah tersebut
mengucapkan kata dengan pemenggalan frase yang benar maka penderita
latah akan mengikutinya juga, begitu seterusnya.
5.2 Saran
Syarat munculnya latah adalah adanya keterkejutan. Sebaiknya
penderita latah hendaknya lebih dihargai. Seharusnya ada usaha dari pihak-pihak
keluarga, jiran, orang-orang terdekat untuk membantu kesembuhan dari penderita
latah. Karena pada dasarnya penderita latah tersebut akibat dari lingkungan di
menemukan ketenangan hidup. Misalnya, keluar dari rumah, jika orang tuanya
kerap melakukan tekanan atau berganti bidang pekerjaan jika pekerjaannya itu
membuatnya stres.Untuk menyembuhkan si latah, lingkungan memang harus
berempati. Ada penderita latah yang sembuh sendiri setelah berkeluarga dan
hidup tenang. Selebihnya, penderita dianjurkan melakukan latihan relaksasi,
meditasi, dan konsentrasi secara rutin. Kegiatan ini akan membantu penderita