• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Kejadian Astigmatisma Pasca Operasi Katarak Dengan Menggunakan Tehnik Fakoemulsifikasi Dan Small Incision Cataract Surgery

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Kejadian Astigmatisma Pasca Operasi Katarak Dengan Menggunakan Tehnik Fakoemulsifikasi Dan Small Incision Cataract Surgery"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN KEJADIAN ASTIGMATISMA PASCA OPERASI

KATARAK DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI

DAN SMALL INCISION CATARACT SURGERY

TESIS

Oleh :

SRI MARLINDA

NIM 087110006

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP. H. ADAM MALIK

(2)

PERBANDINGAN KEJADIAN ASTIGMATISMA PASCA OPERASI

KATARAK DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI

DAN SMALL INCISION CATARACT SURGERY

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Spesialis Ilmu Kesehatan Mata dalam Program Studi Ilmu Kesehatan Mata pada

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh :

SRI MARLINDA

NIM 087110006

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP. H. ADAM MALIK

(3)

Judul Tesis : Perbandingan Kejadian Astigmatisma Pasca Operasi Katarak Dengan Menggunakan Tehnik Fakoemulsifikasi Dan Small Incision Cataract Surgery

Nama Mahasiswa : Sri Marlinda Nomor Induk : 087110006

Program Studi : Ilmu Kesehatan Mata

Menyetujui

Dr. Delfi, M.Ked (Oph), SpM (K) Pembimbing I

Dr. Nurchaliza H Siregar, M.Ked (Oph), SpM

Pembimbing II

Dr. Aryani A. Amra, M.Ked (Oph), SpM Ketua Program Studi

Dr. Delfi, M.Ked (Oph), SpM (K) Ketua Departemen

(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar.

Nama : Sri Marlinda

NIM : 087110006

(5)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA

ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Sri Marlinda

NIM : 087110006

Program Studi : Ilmu Kesehatan Mata

Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif

(Non Exclusive Royalty Free Right) atas tesis saya yang berjudul :

“Perbandingan Kejadian Astigmatisma Pasca Operasi Katarak

Dengan Menggunakan Tehnik Fakoemulsifikasi Dan Small Incision

Cataract Surgery”

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk database, merawat dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada tanggal : 12 September 2012

(6)

(Sri Marlinda)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur yang tak terhingga senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, atas kurunia, petunjuk, kekuatan dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesai tesis ini. Penulis sangat meyadari bahwa tanpa bantuan dari semua pihak, tesis ini tidak mungkin dapat penulis selesaikan. Oleh karena itu perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Rasa hormat, penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar-sebesarnya penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Delfi, M.Ked (Oph), SpM (K), selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK USU yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan serta senantiasa membimbing, memberi dorongan, dan nasehat selama penulis menjalani pendidikan.

(7)

Spesialis Ilmu Kesehatan Mata yang siap mengabdi pada nusa dan bangsa.

3. Dr. Delfi, M.Ked (Oph) SpM (K) dan Dr. Nurchaliza H Siregar, M.Ked (Oph), SpM, sebagai pembimbing yang senantiasa memberikan dorongan dan bimbingan, serta telah meluangkan waktu melalui diskusi dan materi dengan kesabaran sehingga memberikan kemudahan dan kelancaran dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaikan tesis ini.

4. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK USU, para guru penulis : Prof. Dr. H. Aslim D Sihotang, SpM (KVR), Dr. H. Mohd. Dien Mahmud, SpM, Dr. H. Chairul Bahri AD, SpM, Dr.

H. Azman Tanjung, SpM, , Dr. Masang Sitepu, SpM, Dr. Suratmin,

Spm (K), Dr. H.Bachtiar, SpM (K), (Alm) Dr. H. Abdul Gani, SpM,

Dr. Hj. Adelina Hasibuan SpM, Dr. Hj. Nurhaida Djamil, SpM, Dr.

Beby Parwis, SpM, Dr. Syaiful Bahri, SpM, Dr. Riza Fatmi SpM,

Dr. Pinto Y Pulungan, SpM (K), Dr. Hj.Heriyanti Harahap, SpM,

Dr. Hj. Aryani Atiyatul Amra, M.Ked (Oph), SpM, Dr. Delfi, M.Ked

(Oph) SpM (K), Dr. Nurchaliza H Siregar, M.Ked (Oph) SpM, Dr.

Masitha Dewi Sari, M.Ked (Oph), SpM, Dr, Rodiah Rahmawaty

Lubis, M.Ked (Oph), SpM, Dr. Bobby Ramses Erguna Sitepu,

M.Ked (Oph), SpM, Dr. T. Siti Harilza Zubaidah, M.Ked (Oph),

(8)

M.Ked (Oph) SpM, Dr. Fithria Aldy M.Ked, (Oph) SpM, Dr. Marina

Albar, M.Ked (Oph) SpM, penulis haturkan hormat dan terimakasih yang tak terhingga atas perhatian, kesabaran, bimbingan, dan kesediaan berbagi pengalaman selama mendidik penulis di bagian Ilmu Kesehatan Mata.

6. Drs. Abdul Djalil Amri Arma, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah banyak meluangkan waktu dalam diskusi dan pengolahan data penelitian ini.

7. Keluarga besar Perdami Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan pada penulis menjadi bagian dari keluarga besar Perdami dan membantu penulis dalam meningkatkan keahlian di bidang kesehatan mata.

8. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada penulis dalam menjalani pendidikan.

9. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Mata di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

(9)

SpM, Dr. Idaman Putri, Dr. Siti Hajar, Dr. Cut Masdalena, Dr. M

Agung Eka Putra, Dr. Erfitrina, Dr. Eva Imelda, Dr. Syarifah

Yusriani, Dr. Rudy Wanhar. Dan Seluruh PPDS Ilmu Kesehatan Mata (Teman-teman dan adik-adik semua) yang telah memberikan bantuan dan dorongan semangat, sekaligus mengisi hari-hari penulis dengan persahabatan, kerjasama, keceriaan dan kekompakan dalam menjalani kehidupan sebagai residen.

11. Seluruh perawat/paramedik di RSUP H. Adam Malik dan RSU Dr. Pirngadi Medan dan di berbagai tempat di mana penulis pernah bertugas selama pendidikan, dan seluruh pegawai administrasi Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK USU, terimakasih atas bantuan dan kerjasama yang telah diberikan selama ini.

12. Para pasien yang pernah penulis lakukan pemeriksaan selama pendidikan dan juga pasien yang telah bersedia ikut dalam penelitian ini sehingga penulisan tesis ini dapat terwujud.

(10)

saya Alm. H. Tengku Umar Amin dan Almh. Anisah Yang telah mendukung, membimbing, menyemangati dan menasehati agar kuat dalam menjalani pendidikan, saya ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya. Semoga Allah memberikan kebahagian dan kelapangan kepada almarhum di alam sana, dan kepada ibunda yang saya cintai dan saya sayangi semoga Allah memberikan kesehatan dan kebahagian. Amiiin

Kepada suamiku tercinta Abu Bakar Umar, S IKom, terima kasih atas kesabaran, ketabahan, pengorbanan dan dukungan yang telah diberikan selama ini, semoga apa yang kita capai ini dapat memberikan kebahagian dan kesejahteraan bagi kita, diberkahi dan dirahmati Allah SWT. Kepada Saudara - saudaraku Sanusi Husein, Iqbal husein, Ardiansyah husein, Indriani husein yang telah banyak membantu, memberikan semangat dan dorongan selama pendidikan, terima kasihku yang tak terhingga untuk semuanya.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis sampaikan pula terima kasih kepada semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung selama pendidikan maupun dalam penyelesaian tesis ini.

(11)

Medan, September 2012

BAB III. KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL ... 21

III.1. Kerangka konsep ... 21

III.2. Definisi operasional ... 21

BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN …….. ... 23

IV.1. Rancangan Penelitian ... 23

(12)

IV.3. Populasi Penelitian ... 23

1. Lembaran Penjelasan kepada Calon Subyek Penelitian ... 47

2. Surat Pernyataan Persetujuan (Informed Consent) ... 49

3. Master Data Penelitian ... 51

4. Surat Persetujuan Komite Etik ... 53

(13)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

Tabel 1 Distribusi karakteristik menurut umur 29 Tabel 2 Distribusi karakteristik menurut jenis kelamin 30 Tabel 3 Distribusi karakteristik menurut suku bangsa 31 Tabel 4 Distribusi karakteristik tajam penglihatan pre

operasi

32

Tabel 5 Rerata hasil pengukuran keratometri prabedah 32 Tabel 6 Perubahan derajat Astigmatisma pasca operasi

fakoemulsifikasi

33

Tabel 7 Perubahan peningkatan derajat astigmatisma pasca operasi SICS

34

Tabel 8 Rerata hasil pengukuran keratometri, 2 minggu, 4 minggu, 6 minggu, dan 8 minggu

35

(14)

DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Nama Penulisan

pertama kali

pada halaman

SICS Small Incision Cataract Surgery 3

EKEK Ekstraksi Katarak Ekstrakapsular 4

ECCE Extra Capsular Exraction

Cataract

15

IOL Intra Okuler Lens 15

Mm Mili meter 15

K Keratometri 32

D Dioptri 32

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1 Lembaran Penjelasan Kepada Calon Subyek Penelitian

47

2 Surat Pernyataan Persetujuan (Informed Consent) 49

3 Master Data Penelitian 51

4 Surat Persetujuan Komite Etik 53

(16)

ABSTRAK

Pendahuluan : Astigmatisma pasca bedah katarak biasa terjadi, tetapi astigmatisma yang tinggi dapat mengganggu tajam penglihatan. Besarnya astigmat tergantung pada metode insisi yang dipakai, rigiditas sklera, dan umur.

Tujuan : Membandingkan perubahan astigmatisma pasca bedah katarak dengan metode insisi skleral pada SICS dan insisi clearcorneal pada fakoemulsifikasi dengan pemasangan lensa intraokuler

Metode : Enam puluh pasien pasca bedah katarak dengan pemasangan lensa intraokuler sejak bulan April sampai Juni 2012, dievaluasi dalam penelitian ini, pemeriksaan keratometri dilakukan sebelum bedah katarak, 2 minggu pasca bedah, 4 minggu pasca bedah, 6 minggu pasca bedah dan 8 minggu pasca bedah. 30 pasien menjalani bedah katarak dengan cara insisi clearcorneal pada fakoemulsifikasi, sedang 30 pasien menjalani bedah katarak dengan irisan skleral dengan metode SICS. Pada keduanya tidak dilakukan penjahitan.

Hasil Penelitian : Pada metode irisan clearcornea, astigmat yang terjadi antara 0.5-1.22 D, sedangkan irisan skleral antara 0.6 – 1.10 D. Rerata astigmatisme pada kelompok fakoemulsifikasi 2 minggu pasca operasi adalah 2,403±1,258 D, 4 minggu adalah 2,056±0,658 D, 6 minggu adalah 1,513±0,477 D, dan 8 minggu adalah 1,101±0,425 D. Rerata astigmatisme kelompok SICS 2 minggu pasca operasi adalah 2,020±1,203 D, 4 minggu adalah 2,072±0,698 D, 6 minggu adalah 1,687±0,623 D , dan 8 minggu pasca bedah adalah 1,354±0,827 D. Berdasarkan analisa statistic, tidak ada perbedaan bermakna antara rerata astigmatisma kelompok irisan clearcorneal dan skleral.

(17)

Kesimpulan : Terdapat penurunan rerata keratometri 2 minggu pasca operasi, 4 minggu pasca operasi, 6 minggu pasca operasi dan 8 minggu pasca operasi baik pada metode irisan clearcorneal pada fakoemulsifikasi maupun irisan skleral pada SICS. Walaupun secara statistik tidak berbeda bermakna, namun rerata astigmatisme lebih rendah pada metode irisan clearcorneal

(18)

ABSTRACT

Backgraund : Astigmatism change after cataract surgery is common, but if the astigmatism is too high it can effect the visual acuity. The astigmatism change depends on the incision methods, sclera rigidity, and age

Objective : To compare the astigmatism change between scleral on the SICS and clearcorneal incision methods on facoemulsification after cataract surgery and intraocular lens implantation.

Method : Sixty patients after cataract surgery with IOL implantation were evaluated. Keratometry examination was perfomed pre operative, 2 weeks, 4 weeks, 6 weeks, and 8 weeks post operative. 30 patients were performed scleral incision, and 30 patients were performed clearcorneal incision. All of them was not sutured.

Research Results : The clearcorneal incision induced astigmatism were 0.5-1.22 D, while the sclera was 0.6 – 1.10 D. The mean of the facoemulsification group 2 week post operative was 2,403±1,258 D; 4 weeks was 2,056±0,658 D; 6 weeks was 1,513±0,477 D; and 8 weeks post op was 1,101±0,425 D, while the astigmatism of the SICS group 2 week post operative was 2,020±1,203 D; 4 weeks was 2,072±0,698 D; 6 weeks was 1,687±0,623 D; and 8 weeks post op was 1,354±0,827 D, There is no statistical significant difference between the clearcorneal incision and sclera incision

(19)
(20)

ABSTRAK

Pendahuluan : Astigmatisma pasca bedah katarak biasa terjadi, tetapi astigmatisma yang tinggi dapat mengganggu tajam penglihatan. Besarnya astigmat tergantung pada metode insisi yang dipakai, rigiditas sklera, dan umur.

Tujuan : Membandingkan perubahan astigmatisma pasca bedah katarak dengan metode insisi skleral pada SICS dan insisi clearcorneal pada fakoemulsifikasi dengan pemasangan lensa intraokuler

Metode : Enam puluh pasien pasca bedah katarak dengan pemasangan lensa intraokuler sejak bulan April sampai Juni 2012, dievaluasi dalam penelitian ini, pemeriksaan keratometri dilakukan sebelum bedah katarak, 2 minggu pasca bedah, 4 minggu pasca bedah, 6 minggu pasca bedah dan 8 minggu pasca bedah. 30 pasien menjalani bedah katarak dengan cara insisi clearcorneal pada fakoemulsifikasi, sedang 30 pasien menjalani bedah katarak dengan irisan skleral dengan metode SICS. Pada keduanya tidak dilakukan penjahitan.

Hasil Penelitian : Pada metode irisan clearcornea, astigmat yang terjadi antara 0.5-1.22 D, sedangkan irisan skleral antara 0.6 – 1.10 D. Rerata astigmatisme pada kelompok fakoemulsifikasi 2 minggu pasca operasi adalah 2,403±1,258 D, 4 minggu adalah 2,056±0,658 D, 6 minggu adalah 1,513±0,477 D, dan 8 minggu adalah 1,101±0,425 D. Rerata astigmatisme kelompok SICS 2 minggu pasca operasi adalah 2,020±1,203 D, 4 minggu adalah 2,072±0,698 D, 6 minggu adalah 1,687±0,623 D , dan 8 minggu pasca bedah adalah 1,354±0,827 D. Berdasarkan analisa statistic, tidak ada perbedaan bermakna antara rerata astigmatisma kelompok irisan clearcorneal dan skleral.

(21)

Kesimpulan : Terdapat penurunan rerata keratometri 2 minggu pasca operasi, 4 minggu pasca operasi, 6 minggu pasca operasi dan 8 minggu pasca operasi baik pada metode irisan clearcorneal pada fakoemulsifikasi maupun irisan skleral pada SICS. Walaupun secara statistik tidak berbeda bermakna, namun rerata astigmatisme lebih rendah pada metode irisan clearcorneal

(22)

ABSTRACT

Backgraund : Astigmatism change after cataract surgery is common, but if the astigmatism is too high it can effect the visual acuity. The astigmatism change depends on the incision methods, sclera rigidity, and age

Objective : To compare the astigmatism change between scleral on the SICS and clearcorneal incision methods on facoemulsification after cataract surgery and intraocular lens implantation.

Method : Sixty patients after cataract surgery with IOL implantation were evaluated. Keratometry examination was perfomed pre operative, 2 weeks, 4 weeks, 6 weeks, and 8 weeks post operative. 30 patients were performed scleral incision, and 30 patients were performed clearcorneal incision. All of them was not sutured.

Research Results : The clearcorneal incision induced astigmatism were 0.5-1.22 D, while the sclera was 0.6 – 1.10 D. The mean of the facoemulsification group 2 week post operative was 2,403±1,258 D; 4 weeks was 2,056±0,658 D; 6 weeks was 1,513±0,477 D; and 8 weeks post op was 1,101±0,425 D, while the astigmatism of the SICS group 2 week post operative was 2,020±1,203 D; 4 weeks was 2,072±0,698 D; 6 weeks was 1,687±0,623 D; and 8 weeks post op was 1,354±0,827 D, There is no statistical significant difference between the clearcorneal incision and sclera incision

(23)
(24)

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

Prevalensi kelainan refraksi di Indonesia menempati tempat yang pertama atau 24.72%, sedangkan sebagai penyebab kebutaan di Indonesia, kelainan refraksi menempati urutan ketiga atau 0.11%. Menurunnya fungsi mata dapat dikarenakan oleh kelainan refraksi, yaitu keadaan dimana bayangan tidak terbentuk pada retina. Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan sistem optik pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Astigmatisma merupakan salah satu kelainan refraksi mata. (American Academy of Opthlmology, Section 5, 2009-2010)

(25)

Frekwensi terjadi astigmatisma relatif sering. Menurut Maths Abrahamsson dan Johan Sjostrand, angka kejadian astigmatisma bervariasi antara 30%-70%. Kira-kira 44% dari populasi menderita astigmatisma lebih dari 0.50 D, 10% lebih dari 1.00 D dan 1% lebih dari 1.50 D

Pada penderita astigmatisma biasanya ditemukan gejala-gejala sebagai berikut : penglihatan kabur, ketegangan mata, kelelahan mata, dan sakit kepala (American Academy of Opthlmology, Section 5, 2009-2010) (Olsen T, Darm Johansen, 1994)

(26)

lebih cepat dan tingkat komplikasi yang rendah (Voughan D, 2000) ( James B,2006) (Suharjo, dkk, 2001).

Meskipun demikian Small Incision Cataract Surgery (SICS) adalah modifikasi dari ekstraksi katarak ekstrakapsular merupakan salah satu tehnik pilihan yang dipakai dalam operasi katarak dengan penanaman lensa intraocular. Tehnik ini lebih menjanjikan dengan incisi konvensional karena penyembuhan luka yang lebih cepat, astigmatisma yang rendah dan tajam penglihatan tanpa koreksi yang lebih baik (Voughan D, 2000)

Pada penderita pasca operasi katarak biasanya ditemukan astigmatisma, hal ini dapat dikarenakan beberapa hal yaitu, bentuk sayatan, tempat sayatan, panjang sayatan, banyak jahitan dan kekencangan benang serta macam tehnik yang digunakan (Voughan D, 2000).

Salah satu keberhasilan bedak katarak dapat dinilai apakah astigmatisma pasca bedah rendah atau tinggi (American Academy of Opthlmology, Section 5, 2009-2010).

Pada operasi katarak dengan teknik Small Incision Cataract Surgery derajat astigmatismanya lebih tinggi bila

(27)

Sebelumnya telah dilakukan beberapa penelitian tentang astigmatisma pasca operasi katarak, antara lain :

Astigmatisma pasca bedah katarak tehnik fakoemulsifikasi metode insisi korneoskleral dan skleral di RS Dr. Sardjito. Hasilnya adalah tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara insisi korneoskleral dan skleral (Suharjo, Purjanto TU,2001)

Perbedaan potensi terjadinya induksi astigmatisma pasca operasi katarak dengan metode EKEK (Ekstra Katarak Ekstra Kapsular) dan fakoemulsifikasi. Hasilnya adalah terdapat perbedaan potensi terjadinya induksi astigmatisma pasca operasi katarak yang bermakna antara metode EKEK dan Fakoemulsifikasi, dimana pada metode Fakoemulsifikasi potensi terjadinya induksi astigmatisma lebih kecil dari metode EKEK (Istiantoro S, 1993)

Berdasarkan uraian di atas dan dengan alasan bahwa : 1. Astigmatisma merupakan salah satu kelainan refraksi, yang

menjadi salah satu penyebab kebutaan di Indonesia.

(28)

perbedaan derajat astigmatisma pada penderita pasca operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi metode korneal insisi dan teknik Small Incision Cataract Surgery (Suharjo, Purjanto TU,2001)

I.2 IDENTIFIKASI MASALAH

Apakah ada perbedaan derajat astigmatisma pada penderita pasca operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi metode korneal insisi dan operasi katarak dengan teknik Small Incision Cataract Surgery?

I.3 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan umum : Mengetahui adakah perbedaan derajat astigmatisma pascaoperasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi metode korneal insisi dengan teknik Small Incision Cataract Surgery

Tujuan khusus :

(29)

2. Mengetahui proporsi pasien yang menderita astigmatisma pasca operasi katarak dengan teknik Small Incision Cataract Surgery

3. Bagaimanakah perubahan derajat astigmatisma pasca operasi selama 8 minggu follow up

4. Mengetahui tajam penglihatan pada pasien pasca operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi metode korneal insisi. 5. Mengetahui tajam penglihatan pada pasien pasca operasi

katarak dengan teknik Small Incision Cataract Surgery.

I.4 MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang mungkin dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah : hasil dari penelitian diharapkan berguna sebagai informasi dalam pemilihan metode operasi terbaik bagi penderita katarak, serta dapat digunakan sebagai informasi bagi penelitian selanjutnya.

I.5 HIPOTESA

(30)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

II.1 KERANGKA TEORI

2 . 1 . Astigmatisma

2.1.1. Pengertian Astigmatisma

Astigmatisma adalah kelainan refraksi yang mencegah berkas cahaya jatuh sebagai suatu fokus titik di retina karena perbedaan derajat refraksi di berbagai meridian kornea atau lensa kristalina. Pada astigmatisma, mata menghasilkan suatu bayangan dengan titik atau garis fokus multiple, dimana berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam pada retina akan tetapi pada 2 garis titik api yang saling tegak lurus yang terjadi akibat kelainan kelengkungan di kornea. (American Academy of Opthlmology, Section 5, 2009-2010) (Khurana,2007) (Nema, 2002)

(31)

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma

kornea, menembus membran bowman melepaskan

selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf (American Academy of Opthalmology Section 5, 2009-2010 (Nema, 2002)

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 Dioptri dari 50 Dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea (American Academy of Opthalmology Section 5, 2009-2010) (Nema,2002).

2.1.2. Pembagian Astigmatisma

Pembagian Astigmatisma menurut Ilyas (2009)

A. Astigmatisma reguler

(32)

1) Horizontal-vertikal astigmatisma

Astigmatisma ini merupakan dua meridian yang membentuk sudut satu sama lain secara horizontal (180o±20o) atau vertical (90o±20o

i. With-in-the-rule astigmatism. Dimana meridian vertical

mempunyai kurvatura yang lebih kuat (melengkung) dari meridian horizontal. Disebut with the rule karena mempunyai kesamaan dengan kondisi normal mata mempunyai kurvatura vertical lebih besar oleh karena penekanan oleh kelopak mata. Astigmatisma ini dapat dikoreksi –axis 180

) astigmatisma ini terbagi atas 2 jenis :

0

atau +axis 90

ii. Against-the rule astigmatism. Suatu kondisi dimana

meridian horizontal mempunyai kurvatura yang lebih kuat (melengkung) dari meridian vertical. Astigmatisma jenis ini dapat dikoreksi dengan +axis 180

0

0

atau -axis 90 0 2) Oblique astigmatism

.

Merupakan suatu astigmatisma regular dimana kedua principle meridian tidak pada meridian horizontal atau

(33)

3) Biobligue astigmatism

Suatu kondisi dimana kedua principle meridian tidak membentuk sudut satu sama lain

B. Irregular Astigmatisma

Suatu keadaan refraksi dimana setiap meridian mempunyai perbedaan refraksi yang tidak teratur bahkan kadang-kadang mempunyai perbedaan pada meridian yang sama. Principle meridian tidak tegak lurus satu dengan lainnya. Biasanya

astigmatisma irregular ini dikoreksi dengan lensa kontak kaku (Soekardi et al, 2004).

(34)

astigmatism. Biasanya induksi astigmatisma ini bergantung dari panjangnya insisi, yaitu semakin panjang insisi akan semakin besar induksi astigmatisma (Soekardi et al, 2004).

2.1.3. Patofisiologi Astigmatisma

Pada mata normal, permukaan kornea yang melengkung teratur akan memfokuskan sinar pada satu titik. Pada astigmatisma, pembiasan sinar tidak difokuskan pada satu titik. Sinar pada astigmatisma dibiaskan tidak sama pada semua arah sehingga pada retina tidak didapatkan satu titik fokus pembiasan. Sebagian sinar dapat terfokus pada bagian depan retina sedang sebagian sinar lain difokuskan di belakang retina (American Academy of Opthalmology Section 5, 2009-2010).

Jatuhnya fokus sinar dapat dibagi menjadi 5 (Ilyas dkk, 2002), yaitu :

1. Astigmaticus miopicus compositus, dimana 2 titik jatuh didepan retina

2. Astigmaticus hipermetropicus compositus, dimana 2 titik jatuh di belakang retina

(35)

4. Astigmaticus hipermetropicus simplex, dimana 2 titik masing-masing jatuh di belakang retina dan satunya tepat pada retina 5. Astigmaticus mixtus, dimana 2 titik masing-masing jatuh

didepan retina dan belakang retina

2.1.4. Penyebab Astigmatisma

Penyebab umum astigmatisma adalah kelainan bentuk kornea. Lensa kristalina juga dapat berperan untuk timbulnya astigmatisma (Vaughan,2009). Astigmatisma paling sering disebabkan oleh terlalu besarnya lengkung kornea pada salah satu bidangnya (Guyton et al, 1997). Astigmatisma pasca operasi katarak dapat terjadi bila jahitan terlalu erat (James et al,2003) (James B,2006) (Fitriani, 2002)

2.1.5. Tanda dan Gejala Astigmatisma

(36)

2.1.6. Pemeriksaan Astigmatisma

Karena sebagian besar astigmatisma disebabkan oleh kornea, maka dengan mempergunakan keratometer, maka derajat astigmatisma dapat diketahui (Istiantoro S, Johan AH, 2004).

Keratometer adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur jari-jari kelengkungan kornea anterior. Perubahan astigmatisma kornea dapat diketahui dengan mengukur jari jari kelengkungan kornea anterior, meridian vertical dan horizontal, sebelum dan sesudah operasi. Evaluasi rutin kurvatura kornea preoperasi dan postoperasi membantu ahli bedah untuk mengevaluasi pengaruh tehnik incisi dan penjahitan terhadap astigmatisma. Dengan mengetahui ini seorang ahli bedah dapat meminimalkan astigmatisma yang timbul karena pembedahan. Perlu diketahui juga bahwa astigmatisma yang didapat pada hasil keratometer lebih besar daripada koreksi kacamata silinder yang dibutuhkan (Istiantoro S, Johan AH, 2004).

(37)

2.1.8. Penatalaksanaan Astigmatisma

Kelainan astigmatisma dapat dikoreksi dengan lensa silindris, sering kali dikombinasi dengan lensa sferis. Karena tak mampu beradaptasi terhadap distorsi penglihatan yang disebabkan oleh kelainan astigmatisma yang tidak terkoreksi (American Academy of Opthalmology Section 5, 2009-2010).

2 . 2 . Metode Operasi Katarak

Pengobatan pada katarak adalah pembedahan (Ilyas et al,2002). Metode operasi yang umum dipilih untuk katarak dewasa dan anak-anak adalah meninggalkan bagian posterior kapsul lensa sehingga dikenal dengan ekstraksi katarak ekstrakapsular).Penanaman lensa intraokular merupakan bagian dari prosedur ini. Insisi dibuat pada limbus atau kornea perifer, bagian superior atau temporal. Dibuat sebuah saluran pada kapsul anterior, dan nukleus serta korteks lensanya diangkat. Kemudian lensa intraokular ditempatkan pada ″ kantung kapsular″ yang sudah kosong, disangga oleh kapsul posterior yang utuh (American Academy of Opthalmology. Section 5, 2009-2010).

(38)

intrakapsular, suatu tindakan mengangkat seluruh lensa berikut kapsulnya, jarang dilakukan pada saat ini. Operasi katarak terdiri dari pengangkatan sebagian besar lensa dan penggantian lensa dengan implan plastik. Saat ini pembedahan semakin banyak dilakukan dengan anestesi lokal daripada anestesi umum (American Academy of Opthalmology Section 5, 2009-2010 (Istiantoro S, Johan AH, 2004).

Operasi ini dapat dilakukan dengan :

a. Insisi luas pada perifer kornea atau sklera anterior, diikuti oleh ekstraksi katarak ekstrakapsular (Extra-capsular Cataract Extraction, ECCE). Insisi harus dijahit (Istiantoro S, Johan AH,

2004).

(39)

dapat dimasukkan melalui insisi yang hanya sebesar 1,5 mm. Transisi dari ECCE menuju fakoemulsifikasi diperlukan, agar penderita dapat memperoleh tajam penglihatan yang terbaik tanpa koreksi kacamata serta waktu penyembuhan yang sesingkat mungkin, dengan cara membuat sayatan sekecil mungkin untuk mengurangi induksi astigmatisme pasca operasi (Istiantoro S, Johan AH, 2004)

2.2.1. Teknik Fakoemulsifikasi Metode Korneal Insisi

Insisi ini disebut juga dengan istilah clear corneal incision, karena insisi dibuat pada bagian kornea sebelah sentral dari limbus, yaitu bagian kornea yang sudah bebas dari pembuluh darah arcade limbus, sehingga insisi ini sama sekali tidak menyebabkan perdarahan. Teknik insisi kornea dengan arah pendekatan dari temporal (temporal approach) semakin diminati. Selain efisien, karena sangat sesuai dengan pemberian anestesi secara topikal (tetes), juga secara kosmetik sangat baik (karena tidak menimbulkan kemotik konjungtiva ataupun perdarahan), serta memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi operator dibandingkan jika pendekatan dari superior (Istiantoro S, Johan AH, 2004).

(40)

Ada 3 jenis teknik insisi kornea yang digunakan dalam fakoemulsifikasi, yaitu: insisi kornea dengan arsitektur luka berbentuk 3 sudut (three plane incision); luka yang dibuat dengan 2 sudut (two plane incision); serta yang terakhir adalah teknik insisi kornea yang berlangsung menembus ke arah bilik mata depan (one plane incision) dengan sudut tertentu agar luka insisi tetap bersifat kedap. Ada beberapa kekurangan insisi kornea dibandingkan insisi pada limbus ataupun sklera, misalnya kurang tahan terhadap panas dari energ y ultrasound , penyembuhan luka yang lebih lambat dibandingkan daerah limbus ataupun sklera (karena kornea yang avaskular), serta astigmatisma pasca operasi yang lebih tinggi (Istiantoro S, Johan AH, 2004).

2.2.2. Teknik Fakoemulsifikasi Metode Skleral Insisi

(41)

efisien, juga bisa menimbulkan kesulitan selama proses intra operasi, karena tidak jarang pada penderita usia tua biasanya tulang rima orbita cukup tinggi akibat jaringan lemak periorbita sudah menyusut dan bola mata masuk ke dalam rongga orbita. Pada situasi seperti ini posisi hand-piece fakoemulsifikasi harus membentuk sudut yang cukup tajam agar dapat mencapai lensa (menukik). Dikatakan kurang efisien karena ada beberapa langkah yang harus dilakukan pada insisi sklera, antara lain membuka konjungtiva, melakukan kauterisasi pembuluh darah episklera, membuat insisi awal (grooving ), kemudian membuat terowongan menuju kornea (scleral tunnel ) dengan pisau berbentuk lengkung (crescent knife) dan baru pada tahap akhir menembus kornea untuk mencapai bilik mata depan dengan pisau keratome (slit knife). Dibandingkan dengan insisi kornea (clear corneal incision), tentunya insisi sklera lebih memakan waktu karena perlu beberapa langkah dan harus beberapa kali mengganti jenis pisau (Istiantoro S, Johan AH, 2004)

2.2.3. Teknik Small Incision Cataract Surgery

(42)

penglihatan segera dapat di ukur dengan ketajaman penglihatan yang optimal tanpa bantuan alat, pembedahan yang baik, dalam hal ini sangat tergantung pada semakin kecilnya ukuran incisi yang dilakukan sewaktu pembedahan (Istiantoro S, Johan AH, 2004).

Pada Teknik Small Incision Cataract Surgery insisi dilakukan di skleral sekitar 5.5 mm – 7.0 mm (Istiantoro S, Johan AH, 2004).

Ada 2 aspek dari incisi SICS yang harus di pertimbangkan, yang pertama self sealing nature dari luka dan yang kedua induksi astigmatisma, dimana astigmatisma harus minimal dan jika memungkinkan meniadakan keberadaan astigmatisma (Istiantoro S, Johan AH, 2004).

Dua tipe incisi skleral yang lazim dipakai dewasa ini, yaitu frown incision dan straight scratch incision (Istiantoro S, Johan

AH, 2004).

Frown incision adalah incisi berbentuk cembung seperti alur

parabolik kearah limbus dengan titik pusat 1.5 – 2 mm di belakang limbus dan panjang goresan 6-7 mm sedangkan straight scratch incision incisi berbentuk garis lurus yang panjagnya 5 -6.5 mm

(43)
(44)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

III.1 KERANGKA KONSEP

III.2 DEFINISI OPERASIONAL

• Astigmatisma adalah : kelainan refraksi yang mencegah

berkas cahaya jatuh sebagai suatu fokus titik diretina karena perbedaan derajat refraksi diberbagai meridian kornea atau lensa kristalina. Pada astigmatisma maka menghasilkan suatu bayangan dengantitik atau garis fokus multiple

Operasi ekstraksi lensa

Operator

Tehnik operasi

SICS

Astigmatisma

(45)

• Fakoemulsifikasi adalah : operasi katarak dengan membuat

sayatan kecil kurang dari 3 mm, katarak dihancurkan dengan menggunakan energy ultrasonografi yang dialirkan melalui probe dan kemudian disedot keluar

Small Incison Cataract Surgery adalah : operasi katarak

dengan membuat sayatan kecil (Tunnel) pada sklera berkisar 5.5 mm – 7.0 mm

• Derajat astigmatisma adalah : besar astigmatisma yang diukur

(46)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

IV.1 RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini bersifat observasional prospektif, dengan metode pengukuran data secara “cross sectional”

IV.2 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilakukan di klinik mata Medan Baru Medical Centre, Jln Abdullah lubis medan dan dilaksanakan mulai februari 2012

IV.3 POPULASI PENELITIAN

Populasi penelitian adalah pasien katarak yang dilakukan tindakan bedah dengan tehnik Fakoemulsifikasi dan Small Incision Cataract Surgery Di Klinik Mata Medan Baru Medical

Centre

IV.4 BESAR SAMPEL

Jumlah sampel yang akan diambil dihitung dengan rumus yaitu:

�= (���2�� +����1�1) +�2�2)

2

(47)

Dimana :

n : Jumlah sampel minimal yang akan diambil dalam penelitian ini

Zα : Nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung pada

nilai α yang ditentukan. Untuk α= 0,05, nilai Zα= 1,96

Zβ : Nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung pada

nilai β yang ditentukan. Untuk β= 0,01, nilai Z β = 1,282

P : Proporsi total : 0,5

�1 +�2 2

P1-P2 : Selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna = 0,4 Q : 1- P = 0,5

P1 : Angka kelainan refraksi secara nasional (dari pustaka) 30%= 0,3 Q1 : 1 – P1

P2 : Selisih peningkatan kelainan refraksi ( ditentukan oleh peneliti)= 0.7

(48)

IV.5 KRITERIA INSKLUSI DAN EKSKLUSI

Kriteria Insklusi

1. Semua pasien katarak

2. Pasien astigmatisma pasca operasi katarak yang menggunakan tehnik fakoemulsifikasi dan SICS

3. Tindakan bedah dilakukan oleh operator yang sama

Kriteria Eksklusi

1. Penderita pasca operasi katarak dengan tehnik ECCE

2. Penderita operasi katarak yang mempunyai riwayat kelainan segmen posterior.

3. Katarak komplikata, katarak traumatika, sikatrik kornea

4. Astigmatisma oleh karena subluksasio dan kelainan kongenital

IV.6 IDENTIFIKASI VARIABEL

1. Variabel terikat adalah : pasien pasca operasi katarak

(49)

IV.7 BAHAN DAN ALAT

• Pensil

• Penghapus

• Keratometer

• Snellen chart

• Trial lens set

• Opthalmoskop direk

• Mydriatil 1% tetes mata

IV.8 CARA KERJA

• Sampel dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok

sampel yang menjalani SICS dan kelompok Fakoemulsifikasi. Sebelum dan sesudah operasi dilakukan pemeriksaan kurvatura kornea dengan keratometer. Astigmatisma dinilai berdasarkan perbedaan meridian terkuat dan terlemah hasil pengukuran keratometri dan dinyatakan dengan dioptri. Keratometer yang digunakan jenis manual, merek Javal.

• Pemeriksaan besar astigmatisma dikerjakan pada saat

(50)

• Tehnik incisi yg digunakan pada facoemulsifikasi adalah

clear corneal incision dengan panjang insisi 1.5 mm

sedangkan pada SICS adalah bentuk straight scratch dengan panjang insisi 6 mm

• Hasil data dicatat dan diolah sebagai hasil penelitian

dengan analisa chi-square.

IV.9 ANALISA DATA

Analisa data dilakukan secara deskripsi dan disajikan dalam bentuk tabulasi data. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan program komputer

IV.10 PERTIMBANGAN ETIKA

(51)

IV.11 LAMA PENELITIAN

Dilakukan pengambilan data pada mulai februari 2012

Bulan / minggu Feb Maret April Mei

3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 Usulan penelitian

Penelitian Penyusunan laporan Presentasi

IV.12 PERSONAL PENELITIAN

Peneliti : dr. Sri Marlinda

Pembantu penelitian : Residen mata FK USU RSUP Haji Adam Malik Medan

IV.13 BIAYA PENELITIAN

(52)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

V.1 HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan dari bulan April 2012 sampai Juli 2012, didapatkan 60 mata dari 60 penderita yang memenuhi syarat sebagai subyek untuk diteliti, penderita ditetapkan setelah didiagnosa katarak dan bersedia untuk dilakukan operasi katarak. Dibedakan atas dua kelompok yaitu kelompok fakoemulsifikasi sebanyak 30 mata dan kelompok SICS sebanyak 30 mata.

V.1.1 DATA DEMOGRAFI SUBJEK PENELITIAN

V.1.1.1 Distribusi umur

Tabel 1. Distribusi karakteristik menurut umur

Umur Fakoemulsifikasi SICS Jumlah

N % n % n %

< 30 1 1.6 1 1.6 2 3.2

30 – 40 0 0 1 1.6 1 1.6

>40 – 50 2 3.3 3 5 5 8.3

>50 - 60 5 8.3 5 8.3 10 16.6

>60 – 70 11 18.3 12 20 23 38.3

>70 11 18.3 8 13.3 19 31.6

(53)

Dari tabel diatas tampak bahwa jumlah terbanyak penderita katarak didapati pada kelompok umur > 60-70 tahun yaitu sebanyak 23 orang (38.3%) dan jumlah katarak paling sedikit terdapat pada kelompok umur <30 tahun yaitu sebanyak 1 orang (1.6%)

V.1.1.2 Distribusi jenis kelamin

Tabel 2: Distribusi karakteristik menurut jenis kelamin

Jenis

Kelamin

Fakoemulsifikasi SICS Jumlah

n % n % n %

Laki-laki 9 15.0% 14 23.3% 23 38.3%

Perempuan 21 35.0% 16 26.7% 37 61.7%

Jumlah 30 50.0% 30 50.0% 60 100%

(54)

V.1.1.3 Distribusi suku bangsa

Tabel 3: Distribusi karakteristik menurut suku bangsa

Suku Fakoemulsifikasi SICS Jumlah

n % n % n %

Batak 9 15.0% 10 16.7% 19 31.7%

Karo 9 15.0% 3 5.0% 12 20.0%

Mandailing 2 3.3% 2 3.3% 4 6.7%

Jawa 5 8.3% 11 18.3% 16 26.7%

Aceh 2 3.3% 2 3.3% 4 6.7%

Melayu 2 3.3% 2 3.3% 4 6.7%

Padang 1 1.7% 0 0% 1 1.7%

Jumlah 30 50% 3. 50% 60 100%

(55)

V.1.1.4 Distribusi tajam penglihatan pre operasi

Tabel 4 : Karakteristik menurut tajam penglihatan pre operasi

Tajam

Penglihatan

Fakoemulsifikasi SICS Jumlah

N % n % n %

Dari tabel diatas, jumlah terbanyak penderita katarak terdapat pada kelompok visus 1/300 yaitu sebanyak 27 mata (45%) dimana 11 mata (18.3%) menjalani operasi katarak tehnik fakoemulsifikasi dan 16 orang (26.7%) menjalani operasi katarak tehnik SICS. Jumlah terkecil penderita katarak dengan visus 1/˜ dan 4/60 yaitu masing-masing 1 mata (1.7%)

V.1.2. DATA PENGUKURAN KERATOMETRI (K)

V.1.1.5 Distribusi hasil pengukuran keratometri prabedah

Tabel 5. Rerata hasil pengukuran K prabedah

Metode operasi Rerata K pra bedah

Fakoemulsifikasi 0,941 ± 1.109 D

(56)

Astigmatisme pada penderita katarak yang menjalani operasi dengan tehnik fakoemulsifikasi memiliki rerata 0,941 ± 1.109 D, sedangkan kelompok yang akan dilakukan operasi katarak dengan tehnik SICS memiliki rerata 1.068 ± 0,870 D, Pada kedua rerata ini dilakukan dengan perbandingan dengan t test yang hasilnya tidak menunjukkan adanya kemaknaan secara statistik ( t = 0,49 dengan p> 0,05). Hal ini berarti kedua kelompok cukup homogen ukuran astigmatisme pre operasi katarak

V.1.1.6 Perubahan derajat astigmatisme pasca operasi

fakoemulsifikasi

Tabel 6. Perubahan peningkatan derajat astigmatisma pasca operasi fakoemulsifikasi

Keterangan : *) uji Kruskal-Wallis adalah signifikan

(57)

astigmatisma pasca operasi dengan tindakan fakoemulsifikasi dan derajat astigmatisma juga mengalami penurunan setiap dua minggu follow up

V.1.1.7 Perubahan derajat astigmatisme pasca operasi SICS

Tabel 7 : Perubahan peningkatan derajat astigmatisma pasca operasi SICS

Pemeriksaan K n x ± SD P

Awal 30 1,068 ± 0,870 D

Minggu ke 2 30 2,020 ± 1,203 D

Minggu ke 4 30 2,072 ± 0,698 D 0,0001

Minggu ke 6

*

30 1,687 ± 0,623 D

Minggu ke 8 30 1,354 ±0,827 D

Keterangan : *) Uji Kruskal-Willis adalah signifikan

(58)

V.1.1.8 Perbandingan perubahan derajat astigmatisma pasca

operasi fakoemulsifikasi dan SICS

Tabel 8. Rerata hasil pengukuran K, 2 minggu, 4 minggu, 6 minggu dan 8 minggu pasca operasi

Pemeriksaa

Keratometri

Facoemulsifikasi SICS P

n x ± SD n x ± SD

Setelah 2 minggu pasca operasi katarak, dilakukan pengukuran keratometri pada kedua kelompok tindakan. Rerata keratometri pada kelompok facoemulsifikasi adalah 2,403±1,258 D, kelompok tindakan SICS memiliki rerata keratometri adalah 2,020±1,203 D

Perhitungan statistik dengan t-test menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok tersebut (t = 0,624 dengan p> 0,05)

(59)

kelompok fakoemulsifikasi adalah 2,056±0,658 D. kelompok SICS memiliki hasil rerata pegukuran 2,072±0,698 D. Perhitungan statistik dengan t test tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik pada kedua kelompok (t= 0,933 dengan p> 0,05).

Enam minggu pasca operasi katarak, rerata hasil pengukuran keratometri pada kelompok Facoemulsifikasi adalah 1,513±0,477 D, sedangkan kelompok SICS adalah 1,687±0,623 D). Perhitungan statistik dengan t test tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik pada kedua kelompok (t = 0,229 dengan p> 0,005). Delapan minggu pasca operasi katarak, rerata hasil pengukuran keratometri pada kelompok Facoemulsifikasi adalah 1,513±0,477 D, sedangkan kelompok SICS adalah 1,354±0,827 D. Perhitungan statistic dengan t test juga tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik pada kedua kelompok (t= 0.144 dengan p> 0.05)

V.1.1.9 Perbandingan rerata peningkatan astigmatisma pasca

operasi katarak

Tabel 9: Derajat astigmatisma pasca operasi

Tehnik operasi Derajat astigmatisma

Fakoemulsifikasi 0.5-1.22 D

(60)

Tabel diatas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna kedua tindakan tersebut untuk terjadinya astigmatisma pasca operasi.

V.2. PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adakah perbedaan derajat astigmatisma pascaoperasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi metode korneal insisi dengan teknik small incision cataract surgery ?

Yang diamati adalah peningkatan derajat astigmatisme pasca operasi yang diukur kurvatura kornea dengan menggunakan keratometri. Astigmatisme dinilai berdasarkan perbedaan meridian terkuat dan terlemah, hasil pengukuran keratometri dinyatakan dengan dioptri

Berdasarkan distribusi umur didapatkan bahwa penderita terbanyak pada rentang usia 60-70 tahun oleh karena sebagian besar katarak timbul pada usia tua (age related cataract) hal ini disebabkan pajanan kumulatif terhadap pengaruh lingkungan dan pengaruh lainnya seperti merokok, radiasi ultraviolet

(61)

disebabkan karena suku-suku tersebut banyak berdomisili di kota medan

Astigmatisme merupakan salah satu akibat yang terjadi setelah operasi bedah katarak. Hal yang diyakini sebagai penyebab astigmatisme pada operasi katarak adalah pemakaian kauter untuk menghentikan perdarahan, irisan dan jahitan disini termasuk ukuran irisan, lokasi irisan, jenis incisi dan tehnik jahitan.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat besarnya astigmatime yang terjadi pada berbagai macam metode operasi. Zheng dan kawan-kawan mebandingkan astigmatisme yang terjadi akibat bedah katarak ekstrakapsular dengan metode fakoemulsifikasi. Hasilnya menunjukkan bahwa pasca bedah katarak ekstrakapsular bertambah +3.47 D, enam bulan pasca bedah menurun menjadi -1.25 D, tetapi setelah delapan tahun meningkat secara gradual menjadi 1.60 D. Pada metode fakoemulsifikasi, pada hari pertama pasca bedah +1.23 dan stabil sampai 3 bulan.

Purjanto Tepo Utomo dkk membandingkan astigmatisma pasca bedah katarak tehnik fakoemulsifikasi metode insisi clear corneal dan skleral di RS Dr. Sardjito . Hasilnya adalah tidak

(62)

Induksi astigmatisme pasca operasi (induced astigmatism) sebagian besar adalah with the rule astigmatism, yaitu astigmatisme akibat kelengkungan kornea aksis vertikal lebih kuat (steep) dibandingkan aksis yang horizontal. Tipe astigmatisme ini

lebih disukai oleh pasien dibandingkan against the rule astigmatism. Pada with the rule astigmatism , benda atau garis yang vertical (90o) akan memberikan bayangan yang lebih jelas dibandingkan benda atau garis yang horizontal (180o

Incisi yang ditempatkan pada kornea akan menyebabkan pendataran pada arah yang berhadapan dengan incisi tersebut. Artinya, jika melakukan incisi kornea di temporal cenderung menyebabkan pendataran pada sumbu horizontal kornea, dimana hal ini akan mengakibatkan induksi with the rule astigmatism. Sebaliknya jika melakukan incisi kornea dari superior cenderung mengakibatkan induksi against the rule astigmatism.

(63)

Besarnya induksi astigmatisme ini tergantung dari panjangnya incisi, yaitu semakin panjang incisi akan semakin besar induksi astigmatisme

Selain dari panjangnya incisi, besar induksi astigmatisme ini juga ditentukan oleh arsitektur luka. Dari 3 jenis arsitektur incisi clear cornea, arsitektur 3 sudut akan menimbulkan induksi

astigmatisme yang paling besar, yaitu menyebabkan pendataran (flattening) kornea lokasi incisi tersebut sebesar 0.75 – 1.50 dioptri

(pada incisi dengan panjang 3.5 mm). sedangkan induksi astigmatisme yang paling kecil adalah dengan arsitektur 1 sudut (single-plane), dimana hanya menyebabkan pendataran kornea

sebesar 0 – 0.50 dioptri. Incisi dengan arsitektur 2 sudut (two plane incision) merupakan jenis incisi yang moderat dalam hal induksi

astigmatisme, yaitu antara 0.25 – 0.75 dioptri.

Maka, jika pemeriksaan pre-operasi menunjukkan pasien against the rule astigmatism diatas 1.00 dioptri, dimana dalam hal

(64)

Tetapi jika astigmatisme yang diderita ternyata with the rule astigmatism, maka kalau melakukan incisi lebih baik dengan

arsitektur satu sudut (single plane) pada bagian kornea, agar induksi astigmatisme lebih kecil, kemudian setelah selesai operasi sebaiknya dilakukan penjahitan pada luka untuk menetralkan astigmatisme yang diderita pasien. Semakin kencang ikatan benang pada luka akan semakin membuat kornea pada meridian tersebut lebih cembung (steep). Jika incisi dilakukan pada bagian temporal, jahitan yang kencang akan menyebabkan kelengkungan kornea pada bagian horizontal (180o

Pemakaian metode incisi skleral ( tehnik SICS) diyakini dapat meminimalkan timbulnya astigmatisme pasca bedah. Hal ini disebabkan karena adanya elastisitas dari flab konjungtiva yang ada, sehingga jahitan yang dibuat pada flap tidak menimbulkan gaya yang berarti terhadap limbus dan hal ini mengurangi tarikan terhadap kornea. Dengan tehnik ini pula kita mendapatkan daerah yang vaskuler sehingga peyembuhan terjadi cepat dan stabilitas lebih cepat. Disamping itu karena letaknya di bawah konjungtiva maka dapat terlindung dari bakteri dan benda asing yang mungkin

(65)

mengkontaminasinya.. hal ini tentu saja berdampak lebih cepat pada pulihnya penglihatan.

(66)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1 KESIMPULAN

Telah dilakukan penelitian deskriptif terjadinya astigmatisme pada 60 penderita pasca bedah katarak dengan pemasangan lensa intraocular dengan metode fakoemulsifikasi dan Small Incision Cataract Surgery (SICS).

• Rerata astigmatisme yang terjadi pada kelompok metode

fakoemulsifikasi dan SICS, Terdapat penurunan keratometri 2 minggu pasca operasi, 4 minggu, 6 minggu dan 8 minggu pasca operasi.

• Pada metode fakoemulsifikasi astigmat yang terjadi berkisar

0.5-1.22 D, sedangkan metode SICS berkisar antara 0.6-1.10 D.

• Berdasarkan analisa statistik tidak tampak perbedaan yang

bermakna rerata terjadinya astigmatisme pada kedua kelompok ini

VI.2 SARAN

(67)

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Opthalmology. Clinical Refraction. Clinical Optics. Section 5,Chapter 3, 2009-2010 : Page 111

Dandona R, Dandona L; Refraction error blindness, Buletin of the World Health Organization 2001, p : 237-243

Fitriana, Kelainan Refraksi, dikutip dari :

Ilyas S. Dasar-dasar Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata. Edisi Kedua, FK UI, Jakarta, 2006. Hal 5-7; 29-62

Istiantoro S, Johan AH, Transisi menuju fakoemulsifikasi, granit, Kelompok yayasan obor Indonesia, Jakarta, 2004, hal 49-68

James B, Chew C, Bron A, Oftalmologi, Edisi Kesembilan, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006, Hal 34-36

Kanski J Jack, Degenerative Miopia, Acquired Macular Disorders and Related Conditions in Clinical Opthalmology a Systematic Approach, Sixth Edition, 2007, p: 654-655

Khurana AK. Clinical Methods in Opthalmology. Comprehensive Opthalmologi, Fourth Edition, 2007 : Page 462-6

Laksmi Pradnya Paramita, Perbedaan derajat astigmatisma pasca operasi katarak dengan tehnik fakoemulsifikasi metode korneal incisi dan skleral incisi. Dikutip dari:

(68)

Nema N. The Assessment of Visual Acuity. Diagnostig Procedures in Opthalmology. First Edition . Jaypee Brother Medical Publishers (P), New Delhi, 2002 : Page 1-12

Nema N. Error of Refraction.The Textbook of Opthalmologi. Fourth Edition . Jaypee Brother Medical Publishers (P), New Delhi, 2002 : Page 25-30;34-6

Olsen T, Darm Johansen M, Evaluating Surgically Induced Astigmatism. J. Catarac Surgery 1994; 20: 517-22

Parikshit M. Gogate MS Safety and Efficacy of Phacoemulsification Compared with Manual Small- Incision Cataract Surgery by a Randomized Controlled Clinical Trial: Six-Week

Results. July 2004. Available from :

Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI), Hasil-hasil Kongres Nasional PERDAMI XI Medan, 2006, p : 36

affordable in the developing countries? A cost comparison with extracapsular cataract extraction. November 2002. Available from :

Reeta Gurung, Small incison cataract surgery. Available from :

Rozalina, Pemeriksaan mata, Dikutip dari

(69)

Tasman W. Retinoscopy, Duene”s Clinical Opthalmology, Vol 2, Chapter 47, Lippiicot Williams And Wilkins, Revised Edition, 2004 : Page 1- 18

cataract surgery. Available from :

Voughan D g, Pemeriksaan Oftalmologi, Oftalmologi Umum, Edisi 14, Widya Medika, Jakarta ,2000 : Hal 32-3

'large incision' extracapsular cataract surgery and 'small' incisions for phakoemulsification. Available at :

(70)

Lampiran 1: Lembaran Penjelasan Kepada Calon Subyek Penelitian

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBYEK PENELITIAN

Selamat pagi/siang Bapak/Ibu, pada hari ini, saya Dr. Sri marlinda akan melakukan penelitian yang berjudul “Perbandingan Kejadian Astigmatisma Pasca Operasi Katarak Dengan Menggunakan Tehnik Fakoemulsifikasi dan Small Incision Cataract Surgery (SICS)”.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat kelengkungan kornea sebelum dan sesudah operasi dengan menggunakan sebuah alat pengukur kelengkungan kornea yang dinamakan “Keratometri”

Salah satu komplikasi bedah katarak adalah dapat mempengaruhi kelengkungan kornea (selaput bening mata), dimana kelengkungan kornea ini jika bertambah dapat menyebabkan kelainan refraksi mata, salah satunya astigmatisma atau bahasa awam dikenal dengan nama silindris. Pada tehnik fakoemulsifikasi dilakukan penyayatan kornea sebesar 1.5 mm, sedangkan pada tehnik SICS penyayatan sekitar 5.5-7.0 mm. Dengan menggunakan kedua tehnik operasi tersebut peneliti ingin melihat apakah ada perbedaan, tingkat timbulnya astigmatisma atau mata silindris pada pemakaian tehnik operasi tersebut.

(71)

mengikuti wawancara. Kemudian dilakukan pemeriksaan keratometri, pemeriksaan ini akan dilakukan sebelum operasi dan sesudah operasi setelah 2 minggu, 4 minggu, 6 minggu dan 8 minggu,

Segala biaya pemeriksaan keratometri menjadi tanggung jawab peneliti. Bila masih terdapat pertanyaan, maka Bapak/Ibu dapat menghubungi saya :

Nama : Dr. Sri Marlinda

Alamat : Jl. Medan Area Selatan, Gang Famili. No 7 medan Telepon/ HP : 082167511598

Peneliti

(72)

Lampiran 2 : Surat Pernyataan Persetujuan (Informed Consent)

Formulir Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)

Nama Instansi : Divisi Katarak, Kornea dan Bedah Refraksi Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK USU RSUP H Adam Malik Medan / RSUD Pirngadi Medan

SURAT PERSETUJUAN PENELITIAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : ………

Alamat : ………

Umur : …………Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan

Setelah mendapat penjelasan dari peneliti tentang kebaikan dan keburukan prosedur penelitian ini, saya menyatakan bersedia ikut serta dalam penelitian dibawah ini yang berjudul:

“PERBANDINGAN KEJADIAN ASTIGMATISMA PASCA OPERASI

KATARAK DENGAN MENGGUNAKAN TEHNIK FAKOEMULSIFIKASI

(73)

Dengan sukarela menyetujui untuk diikutsertakan dalam penelitian diatas dengan catatan bila sesuatu waktu di rugikan dalam bentuk apapun, berhak membatalkan persetujuan ini

Medan, 2012

Saksi : Responden:

Tanda tangan : …………. Tanda tangan : Nama terang : …………. Nama terang :

Peneliti:

(74)
(75)
(76)

Lampiran 4 : Surat Persetujuan Komite Etik

(77)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Identitas

Nama : Dr. Sri Marlinda

Tempat/Tgl Lahir : Aceh Besar /19 September 1974 Suku/Bangsa : Aceh/ Indonesia

Agama : Islam

Alamat :Jl. Medan Area Selatan, Gang Famili. No 7 Medan

II. Keluarga

Suami : Abu Bakar Umar, S IKom

Anak : -

III. Pendidikan

SD 1 Lampuuk, Aceh besar, Tamat Tahun 1986 SMP Negeri 3 Banda Aceh, Tamat Tahun 1989 SMA Negeri 2 Banda Aceh, Tamat Tahun 1992

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, Tamat Tahun 2002

(78)

Dokter PTT di RSUZA Banda Aceh tahun 2002 s/d 2006 Dokter jaga di RS Swasta Di Banda Aceh, Tahun 2002-2007 Dokter PNS di RSUD.Banda Aceh, tahun 2006 s/d Sekarang

V. Perkumpulan Profesi

Anggota IDI Banda Aceh Anggota PERDAMI Medan

VI. Karya Ilmiah

1. Sri Marlinda, Delfi. Retinitis Pigmentosa. Laporan Kasus. Majalah Vitreoretina. Jurnal Ilmiah Vitreoretina PERDAMI. Bandung . Vol. 5 No. 3-2011

2. Sri Marlinda, Erfitrina, Delfi. Retinitis Pigmentosa. Cases Report. 36th

3. Sri Marlinda, Suratmin, Rodiah Rahmawaty, Aslim D Sihotang. Laporan kasus “ Trauma Tumpul Orbita”. Sumatera Ophthalmology Meeting. Palembang, Indonesia , Februari 2012

Annual Scientific Meeting of Indonesian Ophthalmologist Association. Manado, Indonesia. September 29- Oktober 2,2011

(79)

1. Peserta SOM X Bagian Ilmu Kesehatan Mata FK USU, Medan, 19-21 Januari 2008

2. Peserta SOM XII Bagian Ilmu Kesehatan Mata FK USU, Padang, 19-21 Januari 2011

Gambar

Tabel 1. Distribusi karakteristik menurut umur
Tabel 2: Distribusi karakteristik menurut jenis kelamin
Tabel 3: Distribusi  karakteristik menurut suku bangsa
Tabel 5. Rerata hasil pengukuran K prabedah
+4

Referensi

Dokumen terkait