• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Eksekusi Benda Sebagai Objek Perjanjian Jaminan Fidusia Menurut UU No. 42 Tahun 1999

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Eksekusi Benda Sebagai Objek Perjanjian Jaminan Fidusia Menurut UU No. 42 Tahun 1999"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI BENDA SEBAGAI OBJEK

PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA MENURUT UU NO. 42

TAHUN 1999

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2008

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NAMA : DESI IRAWANI HASIBUAN NIM : 040200117

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, hanya karena nikmat dan Karunia-Nya penulis dapat melaksanakan aktifitas sehari-hari khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul Skripsi yang penulis kemukakan adalah “Tinjauan Yuridis Tentang Eksekusi Benda Sebagai Objek Perjanjian Jaminan Fidusia Menurut Undang-undang No.42 Tahun 1999”.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan dan pengetahuan Penulis serta bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan masalah dalam skripsi ini. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi.

Didalam penyusunan skripsi ini, Penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

(3)

2. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH. M.S, selaku Ketua Departemen Hukum Perdata sekaligus dosen pembimbing I penulis.

3. Bapak Hermansyah, SH. M.Hum, selaku dosen pembimbing II penulis. 4. Ibu Rafiqoh Lubis, SH. M.Hum, selaku dosen wali penulis.

5. Teristimewa kepada yang tersayang dan terpenting dalam hidupku, ayahanda Tambi Ikhwan, ibunda Dewi Angriani,. (Papa, mama, sujud syukurku di telapak kakimu. Tak henti-hentinya Desi mengucap terima kasih dan rasa sayang. Skripsi ini Desi dedikasikan kepada ayahanda dan ibunda tercinta, terima kasih atas dorongan semangat, spiritual, serta material yang selalu ayahanda dan ibunda berikan. Terima kasih.)

6. Terima kasih kepada ketiga saudara tercinta, Dedi, Iim dan Ne’i atas kerelaan kehilangan sebagian besar waktu berkumpul serta atas canda tawa yang menemani pada saat skripsi ini disusun sehingga penulis selalu optimis dalam mengerjakan skripsi ini.

7. Terakhir Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada sahabat-sahabat dan semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya skripsi ini.

Medan, Mei 2008

(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………..………... i

DAFTAR ISI ……….. iii

ABSTRAK ………..…… v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………. 1

B. Perumusan Masalah……….… 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ……… 6

D. Keaslian Penulisan ……….….. 9

E. Tinjauan Kepustakaan ………. 9

F. Metode Penelitian ………..11

G. Sistematika Penulisan ……….. 13

BAB II : TINJAUAN TERHADAP FIDUSIA SECARA UMUM A. Pengertian fidusia dan Jaminan Fidusia ………17

B. Ruang Lingkup Jaminan Fidusia………. ……… .18

1. Hakikat Jaminan Fidusia………... .18

2. Ruang Lingkup dan Objek Jaminan Fidusia ………...19

C. Asas-asas Jaminan Fidusia………..23

D. Prosedur Pengikatan Jaminan Fidusia………31

(5)

BAB III : GAMBARAN UMUM TENTANG EKSEKUSI

A. Pengertian dan Sumber Eksekusi……….43 B. Asas Eksekusi………...46 C. Jenis-jenis Eksekusi………..48 D. Eksekusi Jaminan Fidusia Menurut UU No. 42 Tahun 1999 dan

Hukum Acara………...55

BAB IV : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP EKSEKUSI BENDA SEBAGAI OBJEK PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA

A. Perbandingan Eksekusi Jaminan Fidusia di Lembaga Pembiayaan dengan Bank………..60 1. Proses Pelaksanaan Eksekusi Obyek Fidusia………64 2. Kendala-kendala yang Dihadapi dalam Pelaksanaan Eksekusi.73 3. Akibat Hukum Musnahnya Obyek Fidusia………76 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

(6)

ABSTRAK

* Tan Kamello ** Hermansyah *** Desi Irawani

Jaminan fidusia merupakan suatu jaminan yang bersifat non-possessory, dimana barang jaminan masih berada di tangan debitor. Saat ini jaminan fidusia bukan hanya digunakan di bank, namun banyak juga lembaga pembiayaan yang menggunakan jaminan fidusia. Jaminan fidusia tidak hanya digunakan sebagai jaminan dalam utang piutang, tetapi dipergunakan juga dalam jual beli. Dalam jual beli yang tidak dilakukan secara tunai dimana sisa harga jual beli yang belum dibayar diperjanjikan lagi sebagai utang piutang, dimungkinkan untuk menjamin pelunasan utang tersebut dengan jaminan fidusia atas barang yang diperjualbelikan. Dalam jual beli dengan fidusia ini, jual beli dianggap telah selesai meskipun pembayarannya belum dilakukan secara keseluruhan. Jadi, dalam hal ini dapat dilihat bahwa jaminan fidusia digunakan sebagai utang piutang ataupun jual beli. Dengan demikian, digunakannya jaminan fidusia pada kedua lembaga tersebut menggerakkan Penulis untuk melakukan penelitian tentang eksekusi benda sebagai obyek jaminan fidusia pada kedua lembaga tersebut.

Adapun permasalahan yang akan dibahas yaitu mengenai perbandingan eksekusi benda sebagai obyek perjanjian jaminan fidusia pada bank dan lembaga pembiayaan. Bagaimana proses pelaksanaan eksekusi obyek fidusia, kendala-kendala ynag dihadapi dalam pelaksanaan eksekusi dan akibat hukum musnahnya obyek perjanjian jaminan fidusia.

Dalam penulisan ini Penulis menggunakan metode telaah pustaka untuk mentelaah data-data sekunder dan penelitian lapangan yaitu dengan melakukan wawancara dengan pihak yang berwenang pada Bank dan Lembaga Pembiayaan.

(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan. Praktek fidusia telah lama dikenal sebagai salah satu instrumen jaminan kebendaan bergerak yang bersifat non-possessory. Berbeda dengan jaminan kebendaan bergerak yang bersifat possessory, seperti gadai, jaminan fidusia memungkinkan sang debitor bersifat sebagai pemberi jaminan untuk tetap menguasai dan mengambil manfaat atas benda bergerak yang telah dijaminkan tersebut.

Sebelum diundangkannya UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, keberadaan praktek fidusia di Indonesia dilandaskan kepada yurisprudensi dari Hoge Raad Belanda yang dikenal sebagai putusan Bier

Broumerij Arrest, di mana hakim untuk pertama kali mengesahkan adanya

(8)

jaminan fidusia merupakan murni didasarkan pada ketentuan Pasal 1320 jo.1338 KUH Perdata mengenai kebebasan berkontrak.

Tidak ada suatu standar baku mengenai syarat formal penjaminan fidusia. Juga tidak ada feature lain yang umumnya terdapat pada suatu instrumen jaminan. Tidak ada hak prioritas yang dimiliki oleh kreditor penerima fidusia. Lebih fatal lagi, tidak ada institusi pendaftaran yang bertanggung jawab untuk melakukan pencatatan terhadap setiap pembebanan fidusia, sehingga pada masa itu fidusia benar-benar merupakan instrumen yang kurang dapat diandalkan di mata para kreditor.

Kemudian karena krisis moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi beberapa tahun yang silam telah memberikan pelajaran yang amat berharga bagi pelaku usaha Indonesia akan pentingnya peran instrumen jaminan yang mampu mengamankan nilai piutang dengan memberikan hak preferensi atas piutang tersebut. Gagalnya eksekusi terhadap banyak aset debitor dan kenyataan bahwa banyak sekali aset kosong yang diberikan lewat instrumen personal

guarantee maupun corporate guarantee menunjukkan bahwa pelaku ekonomi

(9)

Untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditor maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Dan nantinya kreditor akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia yang berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian memiliki kekuatan eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Dewasa ini hukum jaminan fidusia menunjukkan perkembangan dimana telah terjadi penjabaran dan perubahan baik mengenai istilah, makna maupun objeknya. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh dari tuntutan dinamika masyarakat dan hukum itu sendiri. Hukum jaminan fidusia adalah sub sistem dari hukum jaminan kebendaan yang sangat dibutuhkan masyarakat dan menimbulkan persoalan hukum yang menghendaki pemecahannya dilakukan dengan pendekatan sistem sedangkan pengaturan jaminan fidusia masih belum sinkron dengan prinisip-prinsip hukum jaminan kebendaan lainnya. Hal ini disebabkan karena pengaturan hukum jaminan dilakukan secara parsial dan belum mengacu pada pendekatan sistem. Kelemahan dapat diatasi dengan upaya melakukan tingkat sinkronisasi prinsip-prinsip hukum jaminan kebendaan melalui pembentukan hukum benda dan hukum jaminan nasional.

(10)

kebendaan dengan tujuan menciptakan kepastian hukum dan dapat memberikan perlindungan hukum bagi pihak masyarakat.

Dengan adanya pembebanan fidusia melalui akta notariil juga merupakan salah satu wujud pembentuk undang-undang terhadap kepentingan debitor/pemberi fidusia. Melalui advis dan pembacaan akta pemberian fidusia sebelum penandatanganan merupakan salah satu cara menghindarkan pemberian jaminan fidusia secara gegabah. Dimungkinkannya benda/tagihan yang masih akan dipunyai di kemudian hari seperti barang dagangan yang masih akan dibeli menjadi jaminan fidusia merupakan wujud sikap akomodatif dari pembuat undang-undang terhadap kebutuhan praktek .1

Jika penerima fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka ia dapat meminta pengadilan setempat melalui juru sita membuat surat penetapan permohonan bantuan pengamanan eksekusi. Bantuan pengamanan eksekusi ini bisa ditujukan kepada aparat kepolisian, pamong praja dan pamong desa/kelurahan dimana benda objek jaminan fidusia berada. Dengan demikian bahwa pembuatan sertifikat jaminan fidusia melindungi penerima fidusia jika Momentum kewenangan sebagai pemilik benda jaminan ditentukan pada saat pendaftaran jaminan fidusia. Dalam hal ingkar janji dilakukan oleh debitor pemberi jaminan fidusia, maka objek jaminan fidusia tidak dapat beralih untuk dimiliki oleh kreditor penerima jaminan fidusia, benda jaminan fidusia harus dijual untuk mengambil pelunasan piutang dari kreditor penerima jaminan fidusia.

1

(11)

pemberi fidusia gagal memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian kedua belah pihak.

Saat ini banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank(bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer

finance), sewa guna usaha(leasing), anjak piutang(factoring). Mereka umumnya

(12)

Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Artinya adalah bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia ini dapat langsung untuk dieksekusi/dilaksanakan tanpa melalui proses persidangan dan pemeriksaan melalui Pengadilan, dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Apabila debitor cidera janji, Penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri. Ini merupakan salah satu ciri jaminan kebendaan yaitu adanya kemudahan dalam pelaksanaan eksekusinya yaitu apabila pihak Pemberi Fidusia cidera janji. Oleh karena itu, dalam Undang-undang Jaminan Fidusia diatur secara khusus tentang eksekusi Jaminan Fidusia ini melalui pranata parate eksekusi.2

Jika penerima fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka ia dapat meminta pengadilan setempat melalui juru sita membuat surat penetapan permohonan bantuan pengamanan eksekusi. Bantuan pengamanan eksekusi ini bisa ditujukan kepada aparat kepolisian, pamong praja dan pamong desa/kelurahan dimana benda objek jaminan fidusia berada. Dengan demikian

Sesuai dengan pasal 11(1) Undang-undang No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia maka setiap benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan. Namun ironisnya seperti diungkapkan diatas banyak lembaga pembiayaan ataupun bank yang melakukan eksekusi terhadap objek barang yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan.

2

(13)

bahwa pembuatan sertifikat jaminan fidusia melindungi penerima fidusia jika pemberi fidusia gagal memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian kedua belah pihak.

Seperti disebutkan di atas bahwa jaminan fidusia ini bersifat

non-possessory dimana barang jaminan fidusia masih berada ditangan debitor, karena

hal seperti ini, maka dalam proses pelaksanaan eksekusi benda sebagai jaminan fidusia akan mengahadapi banyak kendala. Disini Penulis akan membahas mengenai kendala-kendala yang dihadapi oleh bank ataupun lembaga pembiayaan dalam melakukan proses pelaksanaan eksekusi benda sebagai objek perjanjian jaminan fidusia tersebut.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, maka Penulis merumuskan masalah sebagai berikut, yaitu : Bagaimana perbandingan eksekusi benda sebagai obyek perjanjian jaminan fidusia di lembaga pembiayaan dengan Bank?

Dari permasalahan ini nantinya akan dibahas mengenai: 1. Proses pelaksanaan eksekusi obyek fidusia?

(14)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia di Lembaga Pembiayaan dengan di Bank.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala apa yang dihadapi Lembaga Pembiayaan dan Bank dalam melakukan eksekusi.

3. Untuk mengetahui akibat hukum musnahnya obyek jaminan fidusia pada Lembaga Pembiayaan dan Bank.

Sedangkan manfaat dari penulisan ini antara lain:

1. Bagi masyarakat diharapkan dengan tulisan ini dapat menambah wawasan masyarakat tentang jaminan secara fidusia, sehingga dalam mengambil kredit melalui lembaga pembiayaan ataupun melalui bank dapat dipikirkan terlebih dahulu resikonya.

(15)

D. Keaslian Penulisan

Sepanjang pengetahuan Penulis, penulisan skripsi tentang “TINJAUAN YURIDIS TENTANG EKSEKUSI BENDA SEBAGAI OBJEK PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA MENURUT UNDANG-UNDANG NO 42 TAHUN 1999 “ belum pernah diteliti.

Hal yang dikaji adalah mengenai perbandingan pelaksanaan eksekusi benda sebagai objek perjanjian jaminan fidusia di Lembaga Pembiayaan dengan di Bank. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan eksekusi serta akibat hukum musnahnya objek perjanjiaan jaminan fidusia.

Oleh karena penulisan skripsi ini dapat dikatakan penulisan yang pertama dan dilakukan, sehingga keaslian penulisan ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

E. Tinjauan Kepustakaan

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.3

3

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia

(16)

tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya. Apabila debitur cidera janji maka kreditur dapat melakukan eksekusi terhadap benda objek perjanjian fidusia.

Dalam Hukum Acara Perdata dikenal tiga macam eksekusi ialah sebagai berikut:

a. Eksekusi yang tercantum dalam Pasal 196 HIR ialah seseorang dihukum untuk membayar sejumlah uang.

b. Eksekusi yang tercantum dalam Pasal 225 HIR ialah seseorang dihukum untuk melaksanakan suatu perbuatan.

c. Eksekusi riil tidak terdapat dalam HIR akan tetapi dalam praktek banyak dilakukan.

d. Parate Eksekusi yaitu eksekusi langsung dalam hal kreditor menjual barang-barang tertentu milik debitor tanpa mempunyai titel eksekutorial, misalnya dalam soal pajak.4

a. Pelaksanaan titel eksekutorial

Dalam Undang-undang No 42 Tahun 1999, eksekusi terhadap benda objek perjanjian fidusia dapat dilakukan dengan cara:

4

(17)

b. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.

c. Penjualan di Bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.5

F. Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan atau mencari data-data yang terdapat dalam praktek, metode-metode pengumpulan bahan ini antara lain : 1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan dimana penelitian terutama dilakukan untuk meneliti hukum dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaedah atau apabila hukum dipandang sebagai sebuah kaedah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat, yang kemudian didukung dengan data-data sekunder yang diperoleh dari buku-buku, hasil-hasil penelitian, surat kabar, makalah, dan sebagainya. Disamping itu digunakan juga pendekatan yuridis empiris, yaitu penelitian dilakukan dengan mempelajari hukum sebagai gejala

5

(18)

sosial biasa, sama dengan gejala sosial lainnya, yang kemudian didukung dengan data primer yang diperoleh dari wawancara dari bank dan lembaga pembiayaan yang bersangkutan serta pengamatan berdasarkan gejala-gejala yang ada di masyarakat.

2. Sifat/ Bentuk Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Langkah pertama dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan “Eksekusi Jaminan Fidusia”. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini.

Penelitian ini bertujuan agar lembaga pembiayaan dan Bank lebih mengetahui pentingnya pendaftaran benda objek jaminan fidusia. Dan menambah pengetahuan masyarakat tentang Jaminan Fidusia yang mungkin sering dilakukan dan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.

3. Data yang digunakan

Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder yang terdiri dari:

a. Data primer berupa wawancara langsung dengan pihak Bank ataupun pihak dari lembaga pembiayaan yang berhubungan dengan judu l skripsi.

(19)

penulisan skripsi ini, seperti tulisan-tulisan, surat kabar dan sebagainya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka Penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah, surat kabar, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Dan dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan.

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kwalitatif yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kwalitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini maka Penulis akan membuat sistematika secara teratur dalam bagian-bagian yang semuanya saling berhubungan satu dengan yang lainnya.

(20)

relevan untuk menggambarkan keadaan yang sebenarnya dan menghindari data yang membias.

Adapun gambaran isi atau sistematika tersebut adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN

Merupakan pendahuluan yang menguraikan apa yang menjadi latar belakang permasalahan dari skripsi ini, merumuskan masalah yang menjadi pokok pembahasan, memaparkan tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini, keaslian penulisan dan tinjauan kepustakaan, juga mengenai metode dan sistematika penulisan dari skripsi ini.

BAB II : TINJAUAN TERHADAP FIDUSIA SECARA UMUM

Berisi uraian secara teoritis secara umum, yaitu membahas mengenai fidusia dan jaminan fidusia serta juga peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih lanjut mengenai hal itu. Dan juga membahas ruang lingkup serta pendaftaran dan hapusnya jaminan fidusia.

BAB III : GAMBARAN EKSEKUSI SECARA UMUM

Pada bab ini akan diuraikan mengenai pengertian eksekusi secara umum, asas eksekusi serta jenis eksekusi.

(21)

Pada Bab ini akan dibahas tentang pelaksanaan eksekusi benda sebagai objek perjanjian jaminan fidusia di PT. FIF dengan di Bank. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan eksekusi serta akibat hukum musnahnya objek jaminan fidusia. BAB V : PENUTUP

(22)

BAB II

TINJAUAN TERHADAP FIDUSIA SECARA UMUM

A. Pegertian Fidusia dan Jaminan Fidusia

Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata “fides” yang berarti kepercayaan. Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan (hukum) antara debitor (pemberi fidusia) dan kreditor( penerima fidusia) merupakan hubungan yang berdasarkan kepercayaan. 6

Pranata Jaminan Fidusia sudah dikenal dan diberlakukan dalam masyarakat hukum Romawi. Ada 2 bentuk jaminan fidusia, yaitu fidusia cum

creditore dan Fidusia cum amico. Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut

pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure

cessio. Dalam bentuk yang pertama atau lengkapnya fiducia cum creditore

contracta yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor, dikatakan

bahwa debitor akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditor sebagai jaminan atas utangnya dengan kesepakatan bahwa kreditor akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitor apabila utangnya sudah dibayar lunas.

7

Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia. Undang-undang yang khusus mengatur tentang hal ini, yaitu Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 juga menggunakan istilah “fidusia”. Dengan demikian,

6

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Ibid ,Hal 119

7

(23)

istilah “fidusia” sudah merupakan istilah resmi dalam dunia hukum kita. Akan tetapi kadang-kadang dalam bahasa Indonesia untuk fidusia ini disebut juga dengan istilah “Penyerahan Hak Milik secara Kepercayaan”. Dalam terminologi Belandanya sering disebut dengan istilah lengkapnya berupa Fiduciare Eigendom

Overdracht, sedangkan dalam bahasa Inggrisnya secara lengkap sering disebut

dengan istilah Fiduciary Transfer of Ownership. Namun begitu, kadang-kadang dalam literatur Belanda kita jumpai pula pengungkapan jaminan fidusia ini dengan istilah-istilah sebagai berikut:8

a. Zakerheids-Eigendom (Hak Milik sebagai Jaminan)

b.Bezitloos Zakerheidsrecht (Jaminan Tanpa Menguasai) c. Verruimd Pand Begrip (Gadai yang Diperluas)

d.Eigendom Overdracht tot Zakerheid (Penyerahan Hak Milik Secara Jaminan)

e. Bezitloos Pand (Gadai Tanpa Penguasaan)

f. Een Verkapt Pand Recht (Gadai Berselubung)

g.Uitbaouw dari Pand ( Gadai yang Diperluas)

Pasal 1 angka 1 Undang-undang No 42 Tahun 1999 menyebutkan:

“Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan sutu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”.

8

(24)

. Pasal 1 angka 2 Undang-undang No.42 Tahun 1999 menyebutkan:

“Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya”.

Dari defenisi yang diberikan di atas jelas bagi kita bahwa fidusia dibedakan dari Jaminan Fidusia, dimana Fidusia merupakan suatu proses

pengalihan hak kepemilikan dan Jaminan Fidusia adalah jaminan yang diberikan

dalam bentuk fidusia. Ini berarti pranata jaminan fidusia yang diatur dalam

Undang-undang No 42 Tahun 1999 ini adalah pranata jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam fiducia cum creditore contracta di atas.9

B. Ruang Lingkup Jaminan Fidusia

1. Hakikat Jaminan Fidusia

Dari defenisi Fidusia yang diberikan Undang-undang Jaminan Fidusia dapat kita katakan bahwa dalam Jaminan Fidusia terjadi pengalihan hak kepemilikan. Pengalihan itu terjadi atas dasar kepercayaan dengan janji benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.

9

(25)

Pengalihan hak kepemilikan tersebut dilakukan dengan cara constitutum

possessorium. Ini berarti pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda dengan

melanjutkan penguasaan atas benda tersebut dimaksud untuk kepentingan Penerima Fidusia. Bentuk pengalihan seperti ini sebenarnya sudah dikenal luas sejak abad pertengahan di Perancis.10

Pasal 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia memberikan batas ruang lingkup berlakunya Undang-Undang Jaminan Fidusia yaitu berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani Benda dengan Jaminan Fidusia, yang dipertegas kembali oleh rumusan yang dimuat dalam pasl 3 Undang-undang Dalam Jaminan Fidusia pengalihan hak kepemilikan dimaksudkan semata-mata sebagai jaminan bagi pelunasan utang, bukan untuk seterusnya dimiliki oleh Penerima Fidusia. Ini merupakan inti dari pengertian Jaminan Fidusia yang dimaksud Pasal 1 angka 1. Bahkan sesuai dengan pasal 33 Undang-undang Jamina Fidusia setiap janji yang memberikan kewenangan kepada Penerima fidusia untuk memiliki Benda yang menjadi objek jaminan Fidusia apabila debitor cidera janji, akan batal demi hukum.

2. Ruang Lingkup dan Objek Jaminan Fidusia

10

(26)

Jaminan Fidusia dengan tegas menyatakan bahwa Undang-Undang Jaminan Fidusia ini tidak berlaku terhadap:11

a. Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar. Namun demikian bangunan di atas milik orang lai yang tidak dapat dibebani hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dapat dijadikan objek Jaminan Fidusia.

b. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh) M3 atau lebih;

c. Hipotek atas pesawat terbang; dan d. Gadai.

Pada zaman Romawi, objek fidusia adalah meliputi barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Hal ini dapat dimaklumi karena pada waktu itu tidak dikenal hak-hak jaminan yang lainnya.

Pemisahan mulai diadakan ketika kemudian orang-orang Romawi mengenal gadai dan hipotek. Ketentuan ini juga diikuti oleh Negara Belanda dalam Burgerlijke Wetboek-nya. Pada saat fidusia muncul kembali di Belanda, maka pemisahan antara barang bergerak yang berlaku untuk gadai dan barang tidak bergerak untuk hipotek diberlakukan juga. Objek fidusia dipersamakan

11

(27)

dengan gadai yaitu barang bergerak karena pada waktu itu fidusia dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari larangan yang terdapat dalam gadai. Hal ini terus menjadi yurisprudensi baik di Belanda dan di Indonesia. 12

12

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Ibid hal 139

Perkembangan selanjutnya adalah dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria yang tidak membedakan atas barang bergerak dan barang tidak bergerak melainkan pembedaan atas tanah dan bukan tanah. Bangunan-bangunan yang terletak di atas tanah tidak dapat dijaminkan terlepas dari tanahnya. Jadi orang yang memiliki bangunan di atas tanah dengan hal sewa misalnya tidak dapat membebaninya dengan hak tanggungan tersebut. Oleh karenanya jalan satu-satunya adalah dengan fidusia.

(28)

Dengan lahirnya Undang-Undang Jaminan Fidusia, yaitu dengan mengacu pada pasal 1 angka 2 dan 4 serta pasal 3 Undang-Undang Jaminan Fidusia, dapat dikatakan bahwa yang menjadi objek Jaminan Fidusia adalah Benda apa pun yang dapat dimiliki dan dialihkan hak kepemilikannya. Benda itu dapat berupa benda berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, dengan syarat bahwa benda tersebut tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atau Hipotek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 KUHD.13

1. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum. Benda-benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tersebut adalah:

2. Dapat atas benda berwujud.

3. Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang. 4. Benda bergerak.

5. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan. 6. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotik.

7. Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri.

8. Dapat atas satu satuan atau jenis benda.

9. Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda. 10. Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia.

13

(29)

11. Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

12. Benda persediaan (inventory, stock perdagangan) dapat juga menjadi objek jaminan fidusia.14

Ada kekecualian dari prinsip beralihnya fidusia jika benda objek Jaminan Fidusia dialihkan, yaitu jika benda tersebut merupakan barang persediaan. Dalam hal ini, sesuai dengan sifat benda tersebut yang memang selalu beralih-alih, maka beralihnya benda persediaan tersebut tidak menyebabkan beralihnya fidusia yang bersangkutan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 20 Undang-undang Fidusia No. 42 Tahun 1999.

C. Asas-asas Jaminan Fidusia

Salah satu unsur yuridis dalam sistem hukum jaminan adalah asas hukum. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya asas hukum dalam suatu undnaag-undang. Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai asas-asas jaminan fidusia, perlu dijelaskan pengertian asas. Istilah asas merupakan terjemahan dari bahasa Latin “principium”, bahasa Inggris “principle” dan bahasa Belanda “beginsel”,

14

(30)

yang artinya dasar yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.15

Asas hukum bukanlah suatu perintah hukum yang konkret yang dapat dipergunakan terhadap peristiwa konkret dan tidak pula memiliki sanksi yang tegas. Hal-hal tersebut hanya ada dalam norma hukum yang konkret seperti peraturan yang sudah dituangkan dalam wujud pasal-pasal perudang-undangan. Dalam peraturan-peraturan (pasal-pasal) dapat ditemukan aturan yang mendasar berupa asas hukum yang merupakan cita-cita dari pembentuknya. Asas hukum diperoleh dari proses analitis (konsturksi yuridis) yaitu dengan menyaring

Kata “principle” atau asas adalah sesuatu, yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak dijelaskan.

Pengertian asas dalam bidang hukum ynag lebih memuaskan dikemukakan oleh para ahli hukum antara lain “A principle is the broad reason which lies at the

base of a rule of law”. Ada dua hal yang terkandung dalam makna asas tersebut

yakni pertama, asas merupakan pemikiran, pertimbangan, sebab yang luas atau umum, abstrak. Kedua, asas merupakan hal yang mendasari adanyan norma hukum.

15

(31)

(abstraksi) sifat-sifat khusus yang melekat pada aturan-aturan yang konkret, untuk memperoleh sifat-sifatnya yang abstrak.16

Kedua, asas bahwa jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada. Dalam ilmu hukum, asas ini disebut dengan “droit de suite atau zaaksgevolg”.

Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia, pembentuk undang-undang tidak mencantumkan secara tegas asas-asas hukum jaminan fidusia yang menjadi fundamen dari pembentukan norma hukumnya. Oleh karena itu, sesuai dengan teori dari asas hukum tersebut di atas, maka asas hukum jaminan fidusia dapat ditemukan dengan mencarinya dalam pasal-pasal dari Undang-undang Jaminan Fidusia. Asas-asas Hukum Jaminan Fidusia adalah:

Pertama, asas bahwa kreditor penerima fidusia berkedudukan sebagai kerditor yang diutamakan dari kreditor-kreditor lainnya. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 2 undang Jaminan Fidusia. Dalam Pasal 27 Undang-Undang Jaminan Fidusia dijelaskan pengertian tentang hak yang didahulukan terhadap kreditor-kreditor lainnya. Hak yang didahulukan adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

17

16

Bellfroid disitir oleh Mariam Darus Badrulzaman, Suatu Pemikiran Mengenai Beberapa Azas

Hukum yang Perlu Diperhatikan dalam Sistem Hukum Perdata Naional, Kertas Kerja dalam

Simposium Pembaharuan Hukum Perdata, (Jakarta: BPHN, 1981), hal 1

17

A. Pitlo, Het System van het Nederlands Privatatrecht, bewerkt door P.H.M. Gerver, H. Sorgdrager, R.H.H. Stutterheim, T.R. Hidma, (Arnhem: Gouda Quint – D. Brouwer en Zoon, 1995), hal 117

(32)

droit de suite dijelaskan sebagai the right of a creditore to pursue debtors

property into the hands of third persons for the enforcement of his claim.

Pengakuan asas ini dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia menunjukkan bahwa jaminan fidusia merupakan hak kebendaan dan bukan hak perorangan. Dengan demikian, hak jaminan fidusia dapat dipertahankan terhadap siapapun juga dan berhak untuk menuntut siapa saja yang mengganggu hak tersebut. Pengakuan asas bahwa hak jaminan fidusia mengikuti bendanya dalam tangan siapapun benda itu berada memberikan kepastian hukum bagi kreditor pemegang jaminan fidusia untuk memperoleh pelunasan hutang dari hasil penjualan objek jaminan fidusia apabila debitor pemberi jaminan fidusia wanprestasi. Kepastian hukum atas hak tersebut bukan saja benda jaminan fidusia masih berada pada debitor pemberi jaminan fidusia bahkan ketika benda jaminan fidusia itu telah berada pihak ketiga.18

Hak kebendaan jaminan fidusia baru lahir pada tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia. Karena itu, konsekuensi yuridis adalah pemberlakuan asas “droit de suite” baru diakui sejak tanggal pencatatan jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia. Maksud penegasan ini tidak lain adalah kalau jaminan fidusia tidak dicatatkan dalam buku daftar fidusia berarti hak jaminan fidusia bukan merupakan hak kebendaan melainkan memiliki karakter hak perorangan. Akibatnya, bagi pihak ketiga adalah tidak dihormatinya hak jaminan fidusia dari kreditor pemegang jaminan fidusia.

18

(33)

Ketiga, asas bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan yang lazim disebut asas asesoritas. Asas ini mengandung arti bahwa keberadaan jaminan fidusia ditentukan oleh perjanjian lain yakni perjanjian utama atau perjanjian principal. Perjanjian utama bagi jaminan fidusia adalah perjanjian hutang piutang yang melahirkan hutang yang dijamin dengan jaminan fidusia.19

Dalam Undang-undang Jaminan fidusia , asas tersebut secara tegas dinyatakan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok.20 Sesuai dengan sifat asesor ini, berarti hapusnya jaminan fidusia juga ditentukan oleh hapusnya hutang atau karena pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh kreditor penerima jaminan fidusia.21 Dengan demikian, perjanjian jaminan fidusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang.22

Asas assesoritas membawa konsekuensi hukum terhadap pengalihan hak atas piutang dari kreditor pemegang jaminan fidusia lama kepada kreditor pemegang jaminan fidusia baru. Hal ini berarti terjadi pemindahan hak dan kewajiban dari kreditor pemegang jaminan fidusia lama kepada kreditor pemegang jaminan fidusia baru. Pihak yang menerima peralihan hak jaminan fidusia mendaftarkan perbuatan hukum tersebut ke kantor pendaftaran fidusia.23

Keempat, asas bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas hutang yang baru akan ada. Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia ditentukan bahwa objek

Tan Kamello, Op.cit hal 165

23

(34)

jaminan fidusia dapat dibebankan kepada hutang yang telah ada dan yang akan ada.24 Jaminan atas hutang yang akan ada mengandung arti bahwa pada saat dibuatnya akta jaminan fidusia, hutang tersebut belum ada tetapi sudah diperjanjiakan sebelumnya dalam jumlah tertentu. Asas ini adalah untuk menampung aspirasi hukum dari dunia bisnis perbankan, misalnya hutang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditor untuk kepentingan debitor dalam rangka pelaksanaan garansi bank.25

Kelima, asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan ada. Pengaturan asas ini harus dilihat kaitannya dengan sumber hukum jaminan yang dia

26

Asas tersebut telah tertampung atau telah diakui setelah keluarnya Undang-undang Jaminan Fidusia dapat dibebankan atas benda yang akan ada.

tur dalam Pasal 1131 KUH Perdata. Salah satu prinsip yang terkandung di dalam pasal ini adalah bahwa benda yang akan ada milik debitor dapat dijadikan jaminan hutang. Berdasarkan pasal tersebut dapat dirumuskan bahwa benda yang akan ada adalah benda yang pada saat dibuat perjanjian jaminan belum ada tetapi di kemudian hari benda tersebut ada. Benda yang akan di kemudian hari itu harus milik debitor.

27

24

Pasal 7 UU No 42 Tahun 1999

25

Penjelasan Pasal 7 huruf b UU No 42 Tahun 1999

26

Tan Kamello, Op.cit hal 166

27

Pasal 9 Undang-Undang 42 Tahun 1999

(35)

cermat Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia, sudah cukup jelas bahwa piutang itu tidak lain adalah benda yang tidak berwujud. Oleh karena itu, pengaturan piutang yang akan ada adalah norma yang mubajir atau berlebihan. Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak menganut prinsip konsistensi internal dalam menyusun pasal-pasal Undang-Undang Jaminan Fidusia.

Keenam, asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan/ rumah yang terdapat di atas tanah milik orang lain. Dalam ilmu hukum asas ini disebut dengan asas pemisahan horisontal.28

Ketujuh, asas bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subjek dan objek jaminan fidusia. Subjek jaminan fidusia yang dimaksudkan adalah identitas para pihak yakni pemberi dan penerima jaminan fidusia, sedangkan objek jaminan yang dimaksudkan adalah data perjanjian pokok yang dijaminan fidusia, uraian mengenai benda jaminan fidusia, nilai penjaminan dan nilai benda yang menjadi objek jaminan. Dalam ilmu hukum disebut asas spesialitas atau pertelaan.

Dalam pemberian kredit bank, penegasab asas ini dapat menampung pihak pencari kredit khususnya pelaku usaha yang tidak memiliki tanah tetapi mempunyai hak atas bangunan/ rumah. Biasanya hubungan hukum antara pemilik tanah dan pemilik bangunan adalah perjanjian sewa.

29

28

Penjelasan Pasal 3 huruf a UU No 42 Tahun 1999

29

(36)

Kedelapan, asas bahwa pemberi jaminan fidusia harus orang yang memiliki kewenangan hukum atas objek jaminan fidusia. Kewenangan hukum tersebut harus sudah ada pada saat jaminan fidusia didaftarkan ke kantor fidusia. Asas ini sekaligus menegaskan bahwa pemberi jaminan fidusia bukanlah orang yang wenang berbuat. Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia, asas ini belum dicantumkan secara tegas. Hal ini berbeda dengan jaminan hak tanggungan yang secara tegas dicantumkan dalam Pasal 8 UU Hak Tanggungan.30

Kesembilan, asas bahwa jaminan fidusia harus didaftar ke kantor pendaftaran fidusia. Dalam ilmu hukum disebut asas publikasi.31

Kesepuluh, asas bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh kreditor penerima jaminan fidusia sekalipun hal itu diperjanjikan.

Dengan dilakukannya pendaftaran akta jaminan fidusia, berarti perjanjian fidusia lahir dan momentum tersebut menunjukkan perjanjian jaminan fidusia adalah perjanjian kebendaan. Asas publikasi juga melahirkan adanya kepastian hukum dari jaminan fidusia.

32

Kesebelas, asas bahwa jaminan fidusia memberikan hak prioritas kepada kreditor penerima fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan ke kantor fidusia daripada kreditor yang mendaftarkan kemudian.

Dalam ilmu hukum disebut asas pendakuan.

(37)

Keduabelas, asas bahwa pemberi jaminan fidusia yang tetap menguasai benda jaminan harus mempunyai iktikad baik. Asas iktikad baik ini memiliki arti subjektif sebagai kejujuran bukan arti objektif sebagai kepatutan seperti dalam hukum perjanjian. Dengan asas ini diharapkan bahwa pemberi jaminan fidusia wajib memelihara benda jaminan, tidak mengalihkan, menyewakan dan menggadaikannya kepada pihak lain.34

Ketigabelas, asas bahwa jaminan fidusia mudah dieksekusi.35 Kemudahan pelaksanaan eksekusi dilakukan dengan mencantumkan irah-irah “ Demi Keadilan Berdasrkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sertifikat jaminan fidusia. Dengan titel eksekutorial ini menimbulkan konsekuensi yuridis bahwa jaminan fidusia mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.36

Dengan hal penjualan benda jaminan fidusia, selain melalui titel eksekutorial, dapat juga dilakukan dengan cara melelang secara umum dan di bawah tangan.37

Sebagaimana perjanjian jaminan hutang lainnya, seperti perjanjian gadai, hipotik, atau hak tanggungan, maka perjanjian fidusia juga merupakan perjanjian D. Prosedur Pengikatan Jaminan Fidusia

34

Tan Kamello, Op.cit hal 170

35

Pasal 15 UU No 42 Tahun 1999

36

Tan Kamello, Ibid hal 171

37

(38)

assessoir (perjanjian ikutan). Maksudnya adalah perjanjian assessoir tidak

mungkin berdiri sendiri, tetapi mengikuti/ membuntuti perjanjian lainnya yang merupakan perjanjian pokok adalah perjanjian hutang piutang.38

Ada beberapa tahapan formal yang melekat dalam Jaminan Fidusia, diantaranya yaitu:39

1. Tahapan pembebanan dengan pengikatan dalam suatu akta notaris;

2. Tahapan pendaftaran atas benda yang telah dibebani tersebut oleh Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya kepada Kantor Pendaftaran Fidusia, dengan melampirkan pernyataan pendaftaran.

3. Tahapan administrasi pada Kantor Pendaftaran, yaitu pencatatan Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.

4. Lahirnya Jaminan Fidusia yaitu pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia.

Pembebanan kebendaan dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia yang merupakan akta jaminan fidusia. Dalam akta jaminan fidusia tersebut selain dicantumkan hari dan tanggal, juga dicantumkan mengenai waktu (jam) pembuatan akta tersebut.

Akta jaminan fidusia sekurang-kurangnya memuat: a. identitas pihak Pemberi dan Penerima fidusia;

38

Munir Fuady, Op.cit. hal 19

39

(39)

Identitas tersebut meliputi nama lengkap, agama, tempat tinggal, atau tempat kedudukan dan tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, dan pekerjaan.

b. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia, yaitu mengenai macam perjanjian dan utang yang dijamin dengan fidusia.

c. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia cukup dilakukan dengan mengidentifikasikan benda tersebut, dan dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya. Jika bendanya selalu berubah-ubah seperti benda dalam persediaan, haruslah disebutkan tentang jenis, merek, dan kualitas dari benda tersebut.

d. Nilai penjaminan.

e. Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.40

Akta jaminan fidusia harus dibuat oleh dan atau di hadapan Pejabat yang berwenang. Pasal 1870 KUH Perdata menyatakan bahwa akta notaris merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya diantara para pihak beserta para ahli warisnya atau para pengganti haknya. Itulah mengapa sebabnya Undang-Undang jaminan fidusia menetapkan perjanjian fidusia harus dibuat dengan akta notaris.

Hutang yang pelunasannya dapat dijamin dengan jaminan fidusia adalah: a. Hutang yang telah ada;

40

(40)

b. Hutang yang akan ada di kemudian hari, tetapi telah diperjanjikan dan jumlahnya sudah tertentu. Misalnya, hutang yang timbul dari pembayaran ynag dilakukan oleh kreditor untuk kepentingan debitor dalam rangka pelaksanaan garansi bank;

c. Hutang yang dapat ditentukan jumlahnya pada saat eksekusi berdasarkan suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban untuk dipenuhi. Misalnya, hutang bunga atas perjanjian pokok yang jumlahnya akan ditentukan kemudian.41

Pasal 8 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa:

“ Jaminan Fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu Penerima Fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari Penerima Fidusia.”

Yang dimaksud dengan kuasa adalah orang yang mendapat kuasa khusus dari Penerima Fidusia untuk mewakili kepentingannya dalam penerimaan jaminan fidusia dari Pemberi Fidusia. Sedangkan yang dimaksud dengan wakil adalah orang yang secara hukum dianggap mewakili Penerima Fidusia dalam penerimaan jaminan fidusia, misalnya Wali Amanat dalam mewakili kepentingan pemegang obligasi.

Pasal 9 angka 1 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa: “ Jaminan Fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian.”

41

(41)

Ini berarti benda tersebut demi hukum akan dibebani dengan jaminan fidusia pada saat benda dimaksud menjadi milik Pemberi Fidusia. Pembebanan jaminan fidusia tersebut tidak perlu dilakukan dengan perjanjian jaminan tersendiri. Khusus mengenai hasil atau ikutan dari kebendaan yang menjadi objek jaminan fidusia, Pasal 10 UU Jaminan Fidusia menyatakan bahwa kecuali diperjanjikan lain:

a. Jaminan Fidusia meliputi hasil dari Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

b. Jaminan Fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia diasuransikan.

Ketentuan tentang adanya kewajiban pendaftaran Jaminan Fidusia dapat dikatakan merupakan terobosan yang penting mengingat bahwa pada umumnya objek Jaminan Fidusia adalah benda bergerak yang tidak terdaftar sehingga sulit mengatahui siapa pemiliknya. Terobosan ini akan lebih bermakna jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1977 KUH Perdata yang menyatakan bahwa barang siapa yang menguasai benda bergerak maka ia akan dianggap sebagai pemiliknya (bezit

geldt als volkomen titel).

(42)

Pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia dilaksanakan ditempat kedududukan Pemberi Fidusia, dan pendaftarannya mencakup benda, baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah negara Republik Indonesia untuk memenuhi asas publisitas, sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditor lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia.

Seperti telah disebutkan di atas, pendaftaran jaminan fidusia ini dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Untuk pertama kalinya, Kantor Pendaftaran Fidusia didirikan di Jakarta dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah Republik Indonesia. Keberadaan Kantor Pendaftaran Fidusia ini berada dalam lingkup Departemen Kehakiman dan bukan institusi yang mandiri atau unit pelaksana tugas.

Sebagai pelaksanaan ketentuan ini maka telah dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 139 Tahun 2000 tanggal 30 September 2000 Tentang Pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia di setiap ibukota propinsi berada di Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Dengan dibentuknya Kantor Pendaftaran Fidusia di setiap ibukota propinsi, maka wilayah kerja Kantor Pendaftaran Fidusia di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum untuk masing-masing propinsi dialihkan menjadi wilayah kerja Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia di propinsi yang bersangkutan.

(43)

Jaminan Fidusia. Selanjutnya Kantor pendaftaran fidusia mencatat jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Ketentuan ini dimaksudkan agar Kantor Pendaftaran Fidusia tidak melakukan penilaian terhadap kebenaran yang dicantumkan dalam pernyataan Pendaftaran Jaminan Fidusia, akan tetapi hanya melakukan pengecekan data yang dimuat dalam pernyataan pendaftaran fidusia.42

42

Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op.cit, hal 140

Tanggal pencatatan jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia ini dianggap sebagai saat lahirnya jaminan fidusia. Hal ini berlainan dengan FEO dan cessie jaminan yang lahir pada waktu perjanjiannya dibuat antara debitor dan kreditor. Dengan demikian pendaftaran jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia merupakan perbuatan konstitutif yang melahirkan jaminan fidusia.

Dalam Pasal 28 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyatakan:

“ Apabila atas benda yang sama menjadi objek Jaminan Fidusia lebih dari 1 (satu) perjanjian Jaminan Fidusia, maka hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia”.

(44)

Sebagai bukti bagi kreditor bahwa kreditor merupakan pemegang Jaminan Fidusia adalah Sertifikat Jaminan Fidusia yang diterbitkan Kantor Pendaftaran Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan Pendaftaran Jaminan Fidusia. Penyerahan sertifikat ini kepada Penerima Fidusia juga dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Sertifikat Jaminan Fidusia ini sebenarnya merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia yang memuat catatan tentang hal-hal yang sama dengan data dan keterangan yang ada pada saat pendaftaran.

E. Pengalihan dan Hapusnya Jaminan Fidusia

(45)

persediaan, maka pemberi fidusia diwajibkan mengganti benda persediaan yang telah dialihkan tersebut dengan benda yang “setara”. Dalam hal ini setara dalam arti jenis maupun nilainya.43

1. Benda persediaan yang menjadi objek fidusia tidak dapat dialihkan lagi. Namun demikian, apabila terjadi wanprestasi oleh debitor, maka:

2. Hasil pengalihan dan/atau tagihan yang timbul karena pengalihan demi hukum menjadi Objek Jaminan Fidusia pengganti dari Objek Jaminan Fidusia yang telah dialihkan. Proses penyetopan pengalihan barang persediaan sebagai Jaminan Fidusia ini bila terjadi wanprestasi disebut dengan proses “kristalisasi”.44

Manakala benda persediaan objek fidusia tersebut dialihkan kepada pihak ketiga, maka pembeli benda persediaan tersebut terbebas dari tuntutan, meskipun pembeli tersebut mengetahui tentang adanya Jaminan Fidusia tersebut. Satu dan lain hal dengan mengingat bahwa pembeli telah membayar lunas harga penjualan benda tersebut sesuai dengan harga pasar. Hal ini sejalan dengan ketentuan bahwa pemegang benda bergerak dianggap oleh hukum sebagai pemegang hak, sehingga pembeli atas benda tersebut haruslah dilindungi (Pasal 22 Undang-undang Fidusia No. 42 tahun 1999 juncto Pasal 1977 KUH Perdata).45

43

Munir Fuady, Op.cit, hal 46

44

Munir Fuady,Ibid hal 48

45

(46)

Pasal 19 Undang-Undang Jaminan Fidusia menetapkan bahwa pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan Jaminan Fidusia mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia kepada kreditor baru.46 Hal ini juga sesuai dengan prinsip perjanjian jaminan fidusia sebagai perjanjian yang assessoir, yaitu mengikuti perjanjian piutang (perjanjian pokok). Hanya saja, ada suatu kewajiban bagi penerima fidusia yang menerima pengalihan piutang, yakni adanya kewajiban untuk mendaftarkan pengalihan piutang dan karenanya juga pengalihan fidusia kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.47

Sesuai dengan prinsip fidusia yang mengakui prinsip penyerahan benda kepada kreditor secara constitutum posessorium, prinsip mana dianut oleh Undang-undang Jaminan Fidusia No 42 Tahun 1999, maka peralihan benda objek Jaminan Fidusia kepada pihak lain mestinya hanya dapat diakui sepanjang hal tersebut dilakukan oleh pihak Penerima Fidusia. Pihak Pemberi Fidusia sudah tidak berwenang melakukannya. Akan tetapi, Pasal 23 Undang-Undang Jaminan Fidusia membuka kemungkinan pengalihan benda objek Jaminan Fidusia oleh pihak Pemberi Fidusia asalkan ada persetujuan tertulis dari pihak Penerima Fidusia.48

1. Hapusnya hutang yang dijamin oleh Jaminan Fidusia.

Apabila terjadi hal-hal tertentu, maka Jaminan Fidusia oleh hukum dianggap telah hapus. Kejadian-kejadian tersebut adalah sebagai berikut:

2. Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh penerima fidusia.

46

Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op.cit, hal 155

47

Munir Fuady, Op.cit, Hal 45

48

(47)

3. Musnahnya benda yang menjadi Jaminan Fidusia.49

Kemungkinan yang paling besar untuk hapusnya Fidusia adalah karena hapusnya perutangan pokok yang dijamin dengan Jaminan Fidusia tersebut. Dalam keadaan demikian yang menjadi persoalan ialah apakah hak milik atas benda tersebut otomatis kembali kepada debitor tanpa adanya penyerahan yang khusus, ataukah perlu adanya penyerahan kembali atau retro-overdracht dari hak milik tersebut kepada debitor.50

Hapusnya fidusia karena musnahnya hutang yang dijamin oleh fidusia adalah sebagai konsekuensi logis dari karakter perjanjian Jaminan Fidusia yang merupakan perjanjian ikutan, yakni assessoir terhadap perjanjian pokoknya berupa perjanjian hutang piutang. Jadi, jika perjanjian hutang piutang, atau piutangnya lenyap karena apa pun, maka Jaminan Fidusia sebagai ikutannya juga ikut menjadi lenyap.

51

Dan hapusnya fidusia akibat musnahnya barang Jaminan Fidusia tentunya juga wajar, mengingat tidak mungkin ada manfaat lagi fidusia itu dipertahankan Sementara itu, hapusnya fidusia karena pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia dikarenakan mengingat pihak Penerima Fidusia sebagai yang memiliki hak atas fidusia tersebut bebas untuk mempertahankan atau melepaskan haknya itu.

49

Munir Fuady, Ibid hal 50

50

Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Beberapa masalah pelaksanaan lembaga jaminan khususnya

fiducia di dalam praktek dan pelaksanaannya di Indonesia, FH UGM, Yogyakarta,1977, Hal 43 51

(48)

jika barang Objek Jaminan Fidusia tersebut sudah tidak ada. Hanya saja dalam hal ini, jika ada pembayaran asuransi atas musnahnya barang tersebut.52

52

Pasal 25 UU No 42 Tahun 1999

(49)

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG EKSEKUSI

A. Pengertian dan Sumber Eksekusi

Kalau kita perhatikan ketentuan H.I.R /R.Bg., pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan putusan”.

Sedangkan Prof. R. Subekti, S.H, mengartikan eksekusi dengan istilah “pelaksanaan” putusan.53

Dan begitu juga dengan Retnowulan Sutantio, S.H, mengartikan eksekusi ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah “pelaksanaan putusan”.54

Berbeda dengan M. Yahya Harahap, S.H, lebih menegaskan “secara paksa” putusan Pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak Tergugat) tidak mau menjalankan secara suka rela.55

Penulis dalam hal ini sependapat dengan M. Yahya Harahap dimana eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara yang juga merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara, yang melaksanakan secara paksa putusan Pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankannya secara suka rela. Hal ini dilakukan karena tidak jarang pihak

53

R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1982, Hal 130.

54

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oripkartawinato, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan

Praktek, Alumni, Bandung, 1980, Hal 111. 55

(50)

yang tereksekusi (pihak yang kalah atau Tergugat) meninggalkan begitu saja benda atau barang yang akan dieksekusi dan menyerahkan secara suka rela kepada pihak yang menang atau Penggugat, tetapi dengan bantuan kekuatan umum (Polisi dan ABRI) agar pihak yang tereksekusi itu mau meninggalkan dan menyerahkan secara suka rela benda atau barang yang akan dieksekusi tersebut.

Prinsip yang perlu diperhatikan sehubungan dengan menjalankan eksekusi itu agar dapat dilakukan apabila telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan bersifat “kondemnator”, atau dengan perkataan lain putusan yang bersifat kondemnator yang dapat dieksekusi.

Menurut M. Yahya Harahap, SH, Putusan yang bersifat kondemnator maksudnya adalah putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur penghukuman tidak dapat dieksekusi atau “non-eksekutabel”.56

1. menghukum atau memerintah “menyerahkan” suatu barang;

Adapun ciri-ciri yang dapat dijadikan indikator menentukan suatu putusan yang bersifat kondemnator dalam amar atau diktum putusan terdapat perintah yang menghukum pihak yang kalah, yang dirumuskan dalam kalimat:

2. menghukum atau memerintahkan “pengosongan” sebidang tanah atau rumah;

3. melakukan suatu perbuatan tertentu;

4. menghentikan suatu perbuatan atau keadaan;

56

(51)

5. menghukum atau memerintahkan melakukan “pembayaran” sejumlah uang.

Hal inilah yang dapat dijadikan pedoman acuan menentukan ciri suatu putusan Pengadilan yang bersifat kondemnator. Jika salah satu ciri tersebut terdapat dalam amar atau diktum putusan menandakan putusan tersebut bersifat kondemnator.

Apabila sebaliknya tidak terdapat salah satu ciri tersebut, maka putusan itu bersifat deklarator. Putusan deklarator pada umumnya terdapat dalam perkara berbentuk “permohonan” secara sepihak (volunter), misalnya permohonan untuk ditetapkan sebagai ahli waris, permohonan untuk mengangkat anak dan lain sebagainya.

Sekarang ini banyak terjadi tindakan-tindakan dan cara-cara eksekusi yang menyimpang, oleh karena pejabat yang melaksanakannya tidak berpedoman pada ketentuan perundang-undangan. Padahal pedoman aturan tata cara eksekusi sudah lama diatur sebagaimana yang terdapat dalam Bab Kesepuluh Bagian Kelima

Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) atau Titel Keempat Bagian Keempat

Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg).

(52)

258 R. Bg., sedangkan pasal 209 sampai dengan pasal 223 H. I. R. atau pasal 242 sampai dengan pasal 257 R. Bg. yang mengatur tentang “sandera” (gijzeling) sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2/ 1964 tertanggal 22 Januari 1964 telah menghapuskan atau setidak-tidaknya tidak mempergunakannya lagi, karena tindakan penyanderaan terhadap seirang Debitor dianggap bertentangan dengan perikemanusiaan.

SEMA No. 2/ 1964 ini isinya sangat singkat, hanya terdiri dari 5 (lima) baris berupa “ instruksi” yang ditujukan kepada seluruh Pengadilan di lingkungan peradilan umum di seluruh Indonesia.

Selain ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang eksekusi didalam H.I.R. / R. Bg. terdapat juga ketentuan yang lain seperti:

- UU No. 49 Prp/1960 sebagai sumber hukum yang mengatur kewenangan “parate eksekusi” (parate executie) yang dilimpahkan UU kepada instansi Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).

- Peraturan Lelang No. 189/1908 (Verdu Reglement Staatblad 1908/ No. 189).

B. Asas-asas Eksekusi

Asas adalah sesuatu, yang dapat dijadikan alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu, yang hendak dijelaskan.57

Adapun yang menjadi asas-asas eksekusi ialah:

57

(53)

1. Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Tidak semua putusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial. Artinya, tidak terhadap semua putusan dengan sendirinya melekat kekuatan pelaksanaan. Berarti, tidak semua putusan pengadilan dapat dieksekusi. Pada prinsipnya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat “dijalankan”.

2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela.

Pada prinsipnya, eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan hukum apabila pihak yang kalah (Tergugat) tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela.

Eksekusi dalam suatu perkara baru tampil dan berfungsi apabila pihak Tergugat tidak bersedia menaati dan menjalankan putusan secara sukarela akan menimbulkan konsekuensi hukum berupa tindakan paksa yang disebut “eksekusi”.

3. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnator

Prinsip lain yang mesti terpenuhi, putusan tersebut memuat amar “kondemnator”. Hanya putusan yang bersifat kondemnator yang bisa dieksekusi, yaitu putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur “penghukuman”.58

58

Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: BPHN, 1977), Hal 128

(54)

4. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. Asas ini diatur dalam Pasal 195 ayat (1) HIR atau Pasal 206 ayat (1) R.Bg. Jika ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh satu Pengadilan Negeri, maka eksekusi atas putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.59

1. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk membayar sejumlah uang.

C. Jenis-Jenis Eksekusi

Mengenai eksekusi didalam hukum acara perdata dikenal beberapa jenis, yaitu:

2. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan.

3. Eksekusi riil.60

Dalam hal ini penulis akan menguraikan satu persatu jenis-jenis eksekusi tersebut.

C.1. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk membayar sejumlah uang

59

M. Yahya Harahap, Op.cit, Hal 6-18

60

(55)

Pada umumnya eksekusi putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk membayar sejumlah uang bersumber dari perjanjian hutang piutang atau penghukuman membayar gantu kerugian. Namun secara kuantitatif eksekusi putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk membayar sejumlah uang hampir bersumber dari penghukuman pembayaran hutang. Mengenai eksekusi ini diatur dalam pasal 208 R. Bg.

Istilah hutang piutang tidak ada terdapat dalam bab-bab ataupun titel KUH Perdata, titel yang dikemukakan sehubungan dengan hutang piutang ini ialah titel “Pinjam Mengganti” (Verbruiklening), didalam titel mana diatur tentang peminjam uang.

Pada hakekatnya peminjam uang adalah merupakan proses terjadinya hutang piutang, oleh karenanya tidak ada perbedaan tujuan hukum ataupun istilah hukum kalau kita memakai istilah meminjam uang berarti ada yang berhutang (yang meminjam uang) dan ada yang berpiutang (yang meminjamkan uang).

(56)

Sebelum sampai kepada realisasi penjualan lelang masih diperlukan proses pentahapan dengan segala macam tata cara dan syarat-syarat, seperti peringatan (aanmaning), sita eksekusi (executorial beslag).

Yang dapat disita secara eksekutorial terutama adalah barang bergerak milik pihak yang dikalahkan. Barang bergeraklah yang harus didahulukan untuk disita secara eksekutorial.

Seandainya barang bergerak milik pihak yang dikalahkan sudah disita, tetapi belum mencukupi untuk pembayaran pelunasan hutang, ataupun barang bergerak milik pihak yang dikalahkan tidak ada lagi, maka dilakukan penyitaan barang tetap.

Dalam hal penyitaan barang tetap, maka berita acara penyitaan diberitahukan kepada Lurah atau Kepala Desa untuk diumumkan. Pemberitahuan ini maksudnya tidak lain agar barang disita itu tidak diperjual-belikan. Apabila penyitaan terhadap tanah, maka Panitera Pengadilan Negeri wajib untuk mendaftarkan penyitaan atas tanah tersebut kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah.

Setelah proses seperti tersebut di atas telah dilakukan, maka barang sitaan dijual lelang, dan hasilnya dibayarkan kepada pihak Penggugat (Kreditor) sesuai dengan jumlah yang disebutkan dalam amar putusan.

(57)

Orang tidak dapat dipaksakan untuk memenuhi prestasi yang berupa perbuatan, misalnya pihak yang kalah dihukum untuk menyiapkan penyelesaian pembangunan gedung, ataupun pihak yang kalah dihukum untuk membuat suatu lukisan.

Sepintas lalu rasanya tidak sulit menjalankan eksekusi semacam ini. Anggapan tersebut tidak selamanya benar, bahkan sangat sulit menjalankannya.

Untuk mengatasi kesulitan tersebut Undang-Undang telah memberikan jalan keluar sebagai alternatif. Alternatif tersebut dapat dimintakan oleh pihak yang menang kepada hakim agar kepentingan yang akan diperoleh dinilai dengan uang, seperti yang ditegaskan dalam pasal 259 (1) R. Bg, yang berbunyi:

“ Apabila seseorang yang dihukum akan melakukan suatu perbuatan, tidak melakukan perbuatan itu di dalam waktu yang ditentukan oleh hakim, maka pihak yang dimenangkan dalam utusan itu dapat meminta kepada Pengadilan Negeri, supaya jumlah untung yang akan didapatnya, jika putusan itu dipenuhi dinilai dengan uang yang banyaknya harus diberitahukan dengan pasti”.

Dalam permohonan harus disebutkan dengan jelas besarnya jumlah uang yang dimintakan sebagai pengganti objek eksekusi. Penyebutan besarnya jumlah uang pengganti dalam permohonan merupakan salah satu syarat formal, dan apabila tidak disebutkan jumlah uang pengganti yaitu:

(58)

- Apabila permohonan diajukan secara lisan, jumlah uang pengganti yang dimintakan pemohon harus dicatat oleh Ketua Pengadilan Negeri.

Berkenaan dengan ketentuan pasal 295 R. Bg, yang memberi kemungkinan mengganti objek eksekusi melaksanakan sesuatu perbuatan tertentu beralih menjadi sejumlah uang, diperlukan proses pemeriksaan di persidangan.

Persidangan semacam ini oleh Undang-Undang dikatakan mengadili perkara khusus (perkara istimewa), karena yang di persidangan ini bukan lagi bersifat sengketa, tetapi suatu perkara yang sudah memperoleh hukum tetap.

C. Eksekusi riil

Eksekusi riil ini tidak diatur dalam H.I.R ataupun R.Bg, tetapi diatur dalam Pasal 1033 Reglement of de rechtvordering (Rv), yang berbunyi:

“Kalau utusan hakim menghukum (memerintahkan) pengosongan barang yang tidak bergerak (onroerendged), dan putusan itu tidak dijalankan (secara suka rela) oleh pihak yang kalah (Tergugat), Ketua Pengadilan mengeluarkan surat perintah kepada juru sita untuk melaksanakan pengosongan atas barang tersebut. Pengosongan itu meliputi diri orang yang dihukum (dikalahkan), keluarganya, serta seluruh barang-barangnya. Dan pelaksanaan pengosongan dapat dilakukan dengan bantuan kekuatan umum”. Demikian tata cara eksekusi riil yang dirumuskan dalam pasal 1033 Rv, sehubungan dengan putusan Pengadilan yang memuat amar pengosongan.

(59)

sehingga tidak ada lagi sangkut-paut hak dan penguasaan pihak yang kalah di atas benda yang dikosongkan.

Eksekusi pengosongan biasanya didasarkan atas dalil atau posita hak milik. Penggugat mendalilkan bahwa tanah atau rumah terperkara berdasarkan perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu Penggugat menuntut dalam petitum gugatannya, agar Tergugat dihukum untuk meninggalkan dan mengosongkan tanah atau rumah terperkara.

Jika gugatan dikabulkan dan putusan memuat amar atau diktum penghukuman pengosongan, berarti Tergugat mesti keluar meninggalkan barang terperkara dalam keadaan kosong. Pengosongan dapat dijalankan Tergugat secara sukarela.

M. Yahya Harahap berpendapat bahwa apabila Tergugat tidak mau menjalankan pengosongan secara sukarela:

- Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat perintah pengosongan (eksekusi);

- Perintah menjalankan eksekusi ditujukan kepada juru sita;

- Tindakan pengosongan meliputi diri si terhukum, kelurganya, dan barang-barangnya;

- Eksekusi dapat dilakukan dengan bantuan kekuatan umum (polisi, dan jika perlu bantuan militer).61

61

(60)

Disamping ketiga jenis eksekusi tersebut di atas masih dikenal apa yang dinamakan dengan “Parate executie” atau eksekusi langsung. Parate Executie terjadi apabila seorang Kreditor menjual barang-barang tertentu milik Debitor tanpa mempunyai titel eksekut orial.

Lebih tegas lagi Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan pengertian

parate executie ini dengan “pelaksanaan prestasi yang dilakukan sendiri oleh

Kreditor tanpa melalui hakim”.62

1. Eksekusi Riil

Seorang Kreditor yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari seorang Debitor yang tidak memenuhi kewajibannya, harus meminta bantuan dari Pengadilan, tetapi sering juga terjadi Debitor sendiri dari semula sudah memberikan persetujuannya, bahwa apabila ia sampai lalai, Kreditor berhak melaksanakan sendiri hak-haknya menurut perjanjian dengan tidak usah meminta perantaraan Hakim, misalnya dalam hal gadai yang diatur dalam Pasal 1155 KUH Perdata.

Namun, jika ditinjau dari segi sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, pada prinsipnya ada 2 (dua) jenis eksekusi yaitu:

Amar atau diktum putusan ialah melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil;

62

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan

Referensi

Dokumen terkait

42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.09/Pdt./2014/PT.TK), yang mana skripsi ini disusun sebagai persyaratan untuk

Amelia Kosasih : Perlindungan Hak Kreditor Dengan Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang…, 2006 USU Repository © 2008... Amelia Kosasih : Perlindungan Hak Kreditor Dengan

Hukum Jaminan terhadap jaminan Fidusia khususnya perihal pembebanan dan pendaftaran jaminan Fidusia dapat dicermati dari beberapa hal yang diatur dalam Undang-Undang

Prinsip- prinsip Jaminan Fidusia yang ada dalam Undang-undang Jaminan fidusia adalah prinsip spesialitas, prinsip publisitas, prinsip pemegang Jaminan Fidusia hanya

Ketiga, apabila pihak debitur telah membayar sebagian besar kewajibannya, pada saat itu di atas benda objek jaminan fidusia yang dijaminkan telah berdiri sebagian

Akibat dari perbuatan pemberi fidusia yang melakukan secara sadar fidusia ulang, Undang-Undang Jaminan Fidusia memberikan sanksi pidana, sebagaimana diatur dalam pasal

Demikian bahwa sertifikat Jaminan Fidusia melindungi penerima fidusia jika pemberi fidusia gagal memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian kedua belah

b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia; c. Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Jadi sesuai dengan sifat ikutan dari jaminan fidusia, maka