• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN TERHADAP FIDUSIA SECARA UMUM

E. Pengalihan dan Hapusnya Jaminan Fidusia

Pada prinsipnya bahwa pemberi fidusia tidak boleh mengalihkan benda objek jaminan fidusia mengingat Undang-undang No. 42 Tahun 1999 masih menganggap ada pengalihan hak atas benda Jaminan Fidusia kepada pihak Penerima Fidusia. Karena itu, pihak pemberi fidusia tidak berwenang lagi untuk mengalihkan benda tersebut. Kekecualian atas larangan tersebut dibuka manakala hal tersebut dibenarkan secara tertulis oleh pihak Penerima Fidusia (Pasal 23) atau jika benda Objek Jaminan Fidusia adalah benda persediaan (Pasal 20). Dimana dalam hal ini pemberi fidusia masih dapat mengalihkan benda Objek Jaminan Fidusia menurut cara-cara dan prosedur yang lazim dilakukan dalam usaha perdagangan. Akan tetapi, untuk melindungi pihak penerima fidusia sebagai yang dijaminkan hutangnya, dalam hal pemegang fidusia mengalihkan benda

persediaan, maka pemberi fidusia diwajibkan mengganti benda persediaan yang telah dialihkan tersebut dengan benda yang “setara”. Dalam hal ini setara dalam arti jenis maupun nilainya.43

1. Benda persediaan yang menjadi objek fidusia tidak dapat dialihkan lagi. Namun demikian, apabila terjadi wanprestasi oleh debitor, maka:

2. Hasil pengalihan dan/atau tagihan yang timbul karena pengalihan demi hukum menjadi Objek Jaminan Fidusia pengganti dari Objek Jaminan Fidusia yang telah dialihkan. Proses penyetopan pengalihan barang persediaan sebagai Jaminan Fidusia ini bila terjadi wanprestasi disebut dengan proses “kristalisasi”.44

Manakala benda persediaan objek fidusia tersebut dialihkan kepada pihak ketiga, maka pembeli benda persediaan tersebut terbebas dari tuntutan, meskipun pembeli tersebut mengetahui tentang adanya Jaminan Fidusia tersebut. Satu dan lain hal dengan mengingat bahwa pembeli telah membayar lunas harga penjualan benda tersebut sesuai dengan harga pasar. Hal ini sejalan dengan ketentuan bahwa pemegang benda bergerak dianggap oleh hukum sebagai pemegang hak, sehingga pembeli atas benda tersebut haruslah dilindungi (Pasal 22 Undang-undang Fidusia No. 42 tahun 1999 juncto Pasal 1977 KUH Perdata).45

43

Munir Fuady, Op.cit, hal 46

44

Munir Fuady,Ibid hal 48

45

Pasal 19 Undang-Undang Jaminan Fidusia menetapkan bahwa pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan Jaminan Fidusia mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia kepada kreditor baru.46 Hal ini juga sesuai dengan prinsip perjanjian jaminan fidusia sebagai perjanjian yang assessoir, yaitu mengikuti perjanjian piutang (perjanjian pokok). Hanya saja, ada suatu kewajiban bagi penerima fidusia yang menerima pengalihan piutang, yakni adanya kewajiban untuk mendaftarkan pengalihan piutang dan karenanya juga pengalihan fidusia kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.47

Sesuai dengan prinsip fidusia yang mengakui prinsip penyerahan benda kepada kreditor secara constitutum posessorium, prinsip mana dianut oleh Undang-undang Jaminan Fidusia No 42 Tahun 1999, maka peralihan benda objek Jaminan Fidusia kepada pihak lain mestinya hanya dapat diakui sepanjang hal tersebut dilakukan oleh pihak Penerima Fidusia. Pihak Pemberi Fidusia sudah tidak berwenang melakukannya. Akan tetapi, Pasal 23 Undang-Undang Jaminan Fidusia membuka kemungkinan pengalihan benda objek Jaminan Fidusia oleh pihak Pemberi Fidusia asalkan ada persetujuan tertulis dari pihak Penerima Fidusia.48

1. Hapusnya hutang yang dijamin oleh Jaminan Fidusia.

Apabila terjadi hal-hal tertentu, maka Jaminan Fidusia oleh hukum dianggap telah hapus. Kejadian-kejadian tersebut adalah sebagai berikut:

2. Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh penerima fidusia.

46

Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op.cit, hal 155

47

Munir Fuady, Op.cit, Hal 45

48

3. Musnahnya benda yang menjadi Jaminan Fidusia.49

Kemungkinan yang paling besar untuk hapusnya Fidusia adalah karena hapusnya perutangan pokok yang dijamin dengan Jaminan Fidusia tersebut. Dalam keadaan demikian yang menjadi persoalan ialah apakah hak milik atas benda tersebut otomatis kembali kepada debitor tanpa adanya penyerahan yang khusus, ataukah perlu adanya penyerahan kembali atau retro-overdracht dari hak milik tersebut kepada debitor.50

Hapusnya fidusia karena musnahnya hutang yang dijamin oleh fidusia adalah sebagai konsekuensi logis dari karakter perjanjian Jaminan Fidusia yang merupakan perjanjian ikutan, yakni assessoir terhadap perjanjian pokoknya berupa perjanjian hutang piutang. Jadi, jika perjanjian hutang piutang, atau piutangnya lenyap karena apa pun, maka Jaminan Fidusia sebagai ikutannya juga ikut menjadi lenyap.

51

Dan hapusnya fidusia akibat musnahnya barang Jaminan Fidusia tentunya juga wajar, mengingat tidak mungkin ada manfaat lagi fidusia itu dipertahankan Sementara itu, hapusnya fidusia karena pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia dikarenakan mengingat pihak Penerima Fidusia sebagai yang memiliki hak atas fidusia tersebut bebas untuk mempertahankan atau melepaskan haknya itu.

49

Munir Fuady, Ibid hal 50

50

Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Beberapa masalah pelaksanaan lembaga jaminan khususnya

fiducia di dalam praktek dan pelaksanaannya di Indonesia, FH UGM, Yogyakarta,1977, Hal 43 51

jika barang Objek Jaminan Fidusia tersebut sudah tidak ada. Hanya saja dalam hal ini, jika ada pembayaran asuransi atas musnahnya barang tersebut.52

52

Pasal 25 UU No 42 Tahun 1999

Ada prosedur tertentu yang harus ditempuh manakala suatu Jaminan Fidusia hapus. Yakni harus dicoret pencatatan Jaminan Fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia. Selanjutnya, Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat keterangan yang menyatakan bahwa sertifikat jaminan fidusia yang bersangkutan dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam hal ini, jaminan fidusia tersebut dicoret dari Buku Daftar Fidusia yang ada pada Kantor Pendaftaran Fidusia.

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG EKSEKUSI

A. Pengertian dan Sumber Eksekusi

Kalau kita perhatikan ketentuan H.I.R /R.Bg., pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan putusan”.

Sedangkan Prof. R. Subekti, S.H, mengartikan eksekusi dengan istilah “pelaksanaan” putusan.53

Dan begitu juga dengan Retnowulan Sutantio, S.H, mengartikan eksekusi ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah “pelaksanaan putusan”.54

Berbeda dengan M. Yahya Harahap, S.H, lebih menegaskan “secara paksa” putusan Pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak Tergugat) tidak mau menjalankan secara suka rela.55

Penulis dalam hal ini sependapat dengan M. Yahya Harahap dimana eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara yang juga merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara, yang melaksanakan secara paksa putusan Pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankannya secara suka rela. Hal ini dilakukan karena tidak jarang pihak

53

R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1982, Hal 130.

54

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oripkartawinato, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan

Praktek, Alumni, Bandung, 1980, Hal 111. 55

M. Yahya Harahap,Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, Hal 5.

yang tereksekusi (pihak yang kalah atau Tergugat) meninggalkan begitu saja benda atau barang yang akan dieksekusi dan menyerahkan secara suka rela kepada pihak yang menang atau Penggugat, tetapi dengan bantuan kekuatan umum (Polisi dan ABRI) agar pihak yang tereksekusi itu mau meninggalkan dan menyerahkan secara suka rela benda atau barang yang akan dieksekusi tersebut.

Prinsip yang perlu diperhatikan sehubungan dengan menjalankan eksekusi itu agar dapat dilakukan apabila telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan bersifat “kondemnator”, atau dengan perkataan lain putusan yang bersifat kondemnator yang dapat dieksekusi.

Menurut M. Yahya Harahap, SH, Putusan yang bersifat kondemnator maksudnya adalah putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur penghukuman tidak dapat dieksekusi atau “non-eksekutabel”.56

1. menghukum atau memerintah “menyerahkan” suatu barang;

Adapun ciri-ciri yang dapat dijadikan indikator menentukan suatu putusan yang bersifat kondemnator dalam amar atau diktum putusan terdapat perintah yang menghukum pihak yang kalah, yang dirumuskan dalam kalimat:

2. menghukum atau memerintahkan “pengosongan” sebidang tanah atau rumah;

3. melakukan suatu perbuatan tertentu;

4. menghentikan suatu perbuatan atau keadaan;

56

5. menghukum atau memerintahkan melakukan “pembayaran” sejumlah uang.

Hal inilah yang dapat dijadikan pedoman acuan menentukan ciri suatu putusan Pengadilan yang bersifat kondemnator. Jika salah satu ciri tersebut terdapat dalam amar atau diktum putusan menandakan putusan tersebut bersifat kondemnator.

Apabila sebaliknya tidak terdapat salah satu ciri tersebut, maka putusan itu bersifat deklarator. Putusan deklarator pada umumnya terdapat dalam perkara berbentuk “permohonan” secara sepihak (volunter), misalnya permohonan untuk ditetapkan sebagai ahli waris, permohonan untuk mengangkat anak dan lain sebagainya.

Sekarang ini banyak terjadi tindakan-tindakan dan cara-cara eksekusi yang menyimpang, oleh karena pejabat yang melaksanakannya tidak berpedoman pada ketentuan perundang-undangan. Padahal pedoman aturan tata cara eksekusi sudah lama diatur sebagaimana yang terdapat dalam Bab Kesepuluh Bagian Kelima

Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) atau Titel Keempat Bagian Keempat Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg).

Adapun cara-cara menjalankan eksekusi diatur mulai dari pasal 195 sampai dengan pasal 224 H.I.R. atau pasal 206 sampai dengan pasal 258 R. Bg. Namun pada saat sekarang ini tidak semua ketentuan pasal-pasal itu berlaku efektif, yang masih betul-betul berlaku efektif terutama pasal 195 sampai dengan pasal 208 dan pasal 224 H.I.R. atau pasal 206 sampai dengan pasal 241 dan pasal

258 R. Bg., sedangkan pasal 209 sampai dengan pasal 223 H. I. R. atau pasal 242 sampai dengan pasal 257 R. Bg. yang mengatur tentang “sandera” (gijzeling) sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2/ 1964 tertanggal 22 Januari 1964 telah menghapuskan atau setidak-tidaknya tidak mempergunakannya lagi, karena tindakan penyanderaan terhadap seirang Debitor dianggap bertentangan dengan perikemanusiaan.

SEMA No. 2/ 1964 ini isinya sangat singkat, hanya terdiri dari 5 (lima) baris berupa “ instruksi” yang ditujukan kepada seluruh Pengadilan di lingkungan peradilan umum di seluruh Indonesia.

Selain ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang eksekusi didalam H.I.R. / R. Bg. terdapat juga ketentuan yang lain seperti:

- UU No. 49 Prp/1960 sebagai sumber hukum yang mengatur kewenangan “parate eksekusi” (parate executie) yang dilimpahkan UU kepada instansi Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).

- Peraturan Lelang No. 189/1908 (Verdu Reglement Staatblad 1908/ No. 189).

B. Asas-asas Eksekusi

Asas adalah sesuatu, yang dapat dijadikan alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu, yang hendak dijelaskan.57

Adapun yang menjadi asas-asas eksekusi ialah:

57

Mahadi,Hukum Benda dalam Sistem Hukum Perdata Nasional,BPHN, Bina Cipta,Bandung,1983, Hal 119

1. Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Tidak semua putusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial. Artinya, tidak terhadap semua putusan dengan sendirinya melekat kekuatan pelaksanaan. Berarti, tidak semua putusan pengadilan dapat dieksekusi. Pada prinsipnya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat “dijalankan”.

2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela.

Pada prinsipnya, eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan hukum apabila pihak yang kalah (Tergugat) tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela.

Eksekusi dalam suatu perkara baru tampil dan berfungsi apabila pihak Tergugat tidak bersedia menaati dan menjalankan putusan secara sukarela akan menimbulkan konsekuensi hukum berupa tindakan paksa yang disebut “eksekusi”.

3. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnator

Prinsip lain yang mesti terpenuhi, putusan tersebut memuat amar “kondemnator”. Hanya putusan yang bersifat kondemnator yang bisa dieksekusi, yaitu putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur “penghukuman”.58

58

Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: BPHN, 1977), Hal 128

Putusan yang amar atau diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman, tidak dapat dieksekusi atau “noneksekutabel”.

4. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. Asas ini diatur dalam Pasal 195 ayat (1) HIR atau Pasal 206 ayat (1) R.Bg. Jika ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh satu Pengadilan Negeri, maka eksekusi atas putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.59

1. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk membayar sejumlah uang.

C. Jenis-Jenis Eksekusi

Mengenai eksekusi didalam hukum acara perdata dikenal beberapa jenis, yaitu:

2. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan.

3. Eksekusi riil.60

Dalam hal ini penulis akan menguraikan satu persatu jenis-jenis eksekusi tersebut.

C.1. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk membayar sejumlah uang

59

M. Yahya Harahap, Op.cit, Hal 6-18

60

Pada umumnya eksekusi putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk membayar sejumlah uang bersumber dari perjanjian hutang piutang atau penghukuman membayar gantu kerugian. Namun secara kuantitatif eksekusi putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk membayar sejumlah uang hampir bersumber dari penghukuman pembayaran hutang. Mengenai eksekusi ini diatur dalam pasal 208 R. Bg.

Istilah hutang piutang tidak ada terdapat dalam bab-bab ataupun titel KUH Perdata, titel yang dikemukakan sehubungan dengan hutang piutang ini ialah titel “Pinjam Mengganti” (Verbruiklening), didalam titel mana diatur tentang peminjam uang.

Pada hakekatnya peminjam uang adalah merupakan proses terjadinya hutang piutang, oleh karenanya tidak ada perbedaan tujuan hukum ataupun istilah hukum kalau kita memakai istilah meminjam uang berarti ada yang berhutang (yang meminjam uang) dan ada yang berpiutang (yang meminjamkan uang).

Apabila tergugat sebagai Debitor enggan melunasi pembayaran sejumlah uang yang dihukum kepadanya secara sukarela, maka terbukalah kewenangan pengadilan mengadakan utusan secara paksa melalui eksekusi dengan jalan penjulan lelang harta kekayaan Tergugat di depan umum. Dari hasil penjualan lelang, dibayarkanlah kepada pihak Pengugat (kreditor) sesuai dengan jumlah yang disebutkan dalam amar putusan.

Sebelum sampai kepada realisasi penjualan lelang masih diperlukan proses pentahapan dengan segala macam tata cara dan syarat-syarat, seperti peringatan (aanmaning), sita eksekusi (executorial beslag).

Yang dapat disita secara eksekutorial terutama adalah barang bergerak milik pihak yang dikalahkan. Barang bergeraklah yang harus didahulukan untuk disita secara eksekutorial.

Seandainya barang bergerak milik pihak yang dikalahkan sudah disita, tetapi belum mencukupi untuk pembayaran pelunasan hutang, ataupun barang bergerak milik pihak yang dikalahkan tidak ada lagi, maka dilakukan penyitaan barang tetap.

Dalam hal penyitaan barang tetap, maka berita acara penyitaan diberitahukan kepada Lurah atau Kepala Desa untuk diumumkan. Pemberitahuan ini maksudnya tidak lain agar barang disita itu tidak diperjual-belikan. Apabila penyitaan terhadap tanah, maka Panitera Pengadilan Negeri wajib untuk mendaftarkan penyitaan atas tanah tersebut kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah.

Setelah proses seperti tersebut di atas telah dilakukan, maka barang sitaan dijual lelang, dan hasilnya dibayarkan kepada pihak Penggugat (Kreditor) sesuai dengan jumlah yang disebutkan dalam amar putusan.

C. 2. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan

Orang tidak dapat dipaksakan untuk memenuhi prestasi yang berupa perbuatan, misalnya pihak yang kalah dihukum untuk menyiapkan penyelesaian pembangunan gedung, ataupun pihak yang kalah dihukum untuk membuat suatu lukisan.

Sepintas lalu rasanya tidak sulit menjalankan eksekusi semacam ini. Anggapan tersebut tidak selamanya benar, bahkan sangat sulit menjalankannya.

Untuk mengatasi kesulitan tersebut Undang-Undang telah memberikan jalan keluar sebagai alternatif. Alternatif tersebut dapat dimintakan oleh pihak yang menang kepada hakim agar kepentingan yang akan diperoleh dinilai dengan uang, seperti yang ditegaskan dalam pasal 259 (1) R. Bg, yang berbunyi:

“ Apabila seseorang yang dihukum akan melakukan suatu perbuatan, tidak melakukan perbuatan itu di dalam waktu yang ditentukan oleh hakim, maka pihak yang dimenangkan dalam utusan itu dapat meminta kepada Pengadilan Negeri, supaya jumlah untung yang akan didapatnya, jika putusan itu dipenuhi dinilai dengan uang yang banyaknya harus diberitahukan dengan pasti”.

Dalam permohonan harus disebutkan dengan jelas besarnya jumlah uang yang dimintakan sebagai pengganti objek eksekusi. Penyebutan besarnya jumlah uang pengganti dalam permohonan merupakan salah satu syarat formal, dan apabila tidak disebutkan jumlah uang pengganti yaitu:

- Apabila permohonan penggantian diajukan secara tertulis jumlah uang pengganti yang dikehendaki pemohon disebutkan dalam surat permohonan.

- Apabila permohonan diajukan secara lisan, jumlah uang pengganti yang dimintakan pemohon harus dicatat oleh Ketua Pengadilan Negeri.

Berkenaan dengan ketentuan pasal 295 R. Bg, yang memberi kemungkinan mengganti objek eksekusi melaksanakan sesuatu perbuatan tertentu beralih menjadi sejumlah uang, diperlukan proses pemeriksaan di persidangan.

Persidangan semacam ini oleh Undang-Undang dikatakan mengadili perkara khusus (perkara istimewa), karena yang di persidangan ini bukan lagi bersifat sengketa, tetapi suatu perkara yang sudah memperoleh hukum tetap.

C. Eksekusi riil

Eksekusi riil ini tidak diatur dalam H.I.R ataupun R.Bg, tetapi diatur dalam Pasal 1033 Reglement of de rechtvordering (Rv), yang berbunyi:

“Kalau utusan hakim menghukum (memerintahkan) pengosongan barang yang tidak bergerak (onroerendged), dan putusan itu tidak dijalankan (secara suka rela) oleh pihak yang kalah (Tergugat), Ketua Pengadilan mengeluarkan surat perintah kepada juru sita untuk melaksanakan pengosongan atas barang tersebut. Pengosongan itu meliputi diri orang yang dihukum (dikalahkan), keluarganya, serta seluruh barang-barangnya. Dan pelaksanaan pengosongan dapat dilakukan dengan bantuan kekuatan umum”. Demikian tata cara eksekusi riil yang dirumuskan dalam pasal 1033 Rv, sehubungan dengan putusan Pengadilan yang memuat amar pengosongan.

Pengosongan sebagai eksekusi riil hanya melekat terhadap benda yang tidak bergerak, seperti tanah, rumah, gedung dan sebagainya. Pihak yang kalah pergi meninggalkan benda terperkara baik secara materiil maupun secara formal,

sehingga tidak ada lagi sangkut-paut hak dan penguasaan pihak yang kalah di atas benda yang dikosongkan.

Eksekusi pengosongan biasanya didasarkan atas dalil atau posita hak milik. Penggugat mendalilkan bahwa tanah atau rumah terperkara berdasarkan perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu Penggugat menuntut dalam petitum gugatannya, agar Tergugat dihukum untuk meninggalkan dan mengosongkan tanah atau rumah terperkara.

Jika gugatan dikabulkan dan putusan memuat amar atau diktum penghukuman pengosongan, berarti Tergugat mesti keluar meninggalkan barang terperkara dalam keadaan kosong. Pengosongan dapat dijalankan Tergugat secara sukarela.

M. Yahya Harahap berpendapat bahwa apabila Tergugat tidak mau menjalankan pengosongan secara sukarela:

- Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat perintah pengosongan (eksekusi);

- Perintah menjalankan eksekusi ditujukan kepada juru sita;

- Tindakan pengosongan meliputi diri si terhukum, kelurganya, dan barang-barangnya;

- Eksekusi dapat dilakukan dengan bantuan kekuatan umum (polisi, dan jika perlu bantuan militer).61

61

Disamping ketiga jenis eksekusi tersebut di atas masih dikenal apa yang dinamakan dengan “Parate executie” atau eksekusi langsung. Parate Executie terjadi apabila seorang Kreditor menjual barang-barang tertentu milik Debitor tanpa mempunyai titel eksekut orial.

Lebih tegas lagi Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan pengertian

parate executie ini dengan “pelaksanaan prestasi yang dilakukan sendiri oleh

Kreditor tanpa melalui hakim”.62

1. Eksekusi Riil

Seorang Kreditor yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari seorang Debitor yang tidak memenuhi kewajibannya, harus meminta bantuan dari Pengadilan, tetapi sering juga terjadi Debitor sendiri dari semula sudah memberikan persetujuannya, bahwa apabila ia sampai lalai, Kreditor berhak melaksanakan sendiri hak-haknya menurut perjanjian dengan tidak usah meminta perantaraan Hakim, misalnya dalam hal gadai yang diatur dalam Pasal 1155 KUH Perdata.

Namun, jika ditinjau dari segi sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, pada prinsipnya ada 2 (dua) jenis eksekusi yaitu:

Amar atau diktum putusan ialah melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil;

62

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan

2. Eksekusi Pembayaran Uang

Amar atau diktum putusan ialah melakukan pembayaran sejumlah uang.

D. Eksekusi Jaminan Fidusia Menurut UU Jaminan Fidusia dan Hukum Acara

D.1. Eksekusi Jaminan Fidusia Menurut UU Jaminan Fidusia

Sertifikat Eksekusi Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, jadi berdasarkan titel eksekutorial ini Penerima Fidusia dapat langsung melaksanakan eksekusi melalui pelelangan umum atas objek Jaminan Fidusia tanpa melalui pengadilan.

Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa apabila Debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:

1. pelaksanaan titel eksekutorial oleh Penerima Fidusia;

2. penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;

3. penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

D.1.1. Eksekusi dengan Titel Eksekutorial

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (HIR), setiap akta yang mempunyai titel eksekutorial dapat dilakukan fiat eksekusi. Pasal 224 HIR tersebut menyatakan bahwa Grosse dari akta hipotik dan surat hutang yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia dan yang kepalanya berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” berkekuatan sama dengan kekuatan suatu keputusan hakim. Jika tidak dengan jalan damai, maka surat yang demikian dieksekusi dengan perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri, yang dalam daerah hukumnya tempat diam atau tempat tinggal Debitor itu atau tempat kedudukan yang dipilihnya, yaitu menurut cara yang dinyatakan dalam pasal-pasal sebelumnya dari Pasal 224 ini, tetapi dengan pengertian bahwa paksaan badan hanya boleh dilakukan jika sudah diizinkan dengan keputusan hakim. Jika putusan hakim itu harus dilaksanakan seluruhnya atau sebagian di luar daerah hukum Pengadilan Negeri yang memerintahkan pelaksanaan putusan itu, maka haruslah dituruti ketentuan dalam Pasal 195 ayat (2) dan seterusnya.63

63

Munir Fuady, Op.cit, Hal 59

Pasal 15 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa dalam

Dokumen terkait