Karya Tulis
SISTEM ZONASI KAWASAN YANG DILINDUNGI
UNTUK MENDUKUNG KEBERHASILAN
PENGELOLAAN KAWASAN
Oleh :
ANITA ZAITUNAH NIP 132 259 574
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan artikel berjudul “Sistem Zonasi Kawasan Yang
Dilindungi Untuk Mendukung Keberhasilan Pengelolaan Kawasan”
Dalam artikel ini dijelaskan pentingnya pengelolaan kawasan konservasi, dan perlunya
dilakukan zonasi kawasan yang dilindungi sehingga dapat memberikan ruang bagi
masyarakat untuk tetap dapat memanfaatkan kawasan, tetapi kawasan juga tidak akan
terganggu oleh aktivitas.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam tulisan ini. Kritik dan saran
sangat penulis harapkan bagi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Januari 2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR GAMBAR iv
I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 2
C. Metodologi 3
II KAWASAN YANG DILINDUNGI 4
A. Kawasan Konservasi 4
B. Pengelolaan Kawasan 5
III ZONASI KAWASAN KONSERVASI 7
A. Kategori I – V 7
B. Kategori V dan VI 8
IV ZONASI KAWASAN 11
A. Fungsi Zonasi 11
B. Tipe-tipe Zonasi 12
C. Optimalisasi Fungsi Zonasi 16
V PENUTUP 18
DAFTAR GAMBAR
No Text Hal
Gambar 1. Fungsi asal dan fungsi baru hutan karena mengalami
pengelolaan
5
Gambar 2. Model gambaran keberadaan manusia (masyarakat) sekitar
hutan
14
I. PENDAHULUAN
Dalam tata guna hutan kesepakatan dan rencana tata ruang terpadu, ditetapkan
fungsi hutan sebagai kawasan hutan produksi dan kawasan hutan konservasi.
Kawasan hutan konservasi meliputi kawasan pelestarian alam, kawasan cagar
alam dan taman buru. Kawasan pelestarian alam dan cagar alam menekankan
pada fungsi pelestarian alam dan lingkungan serta isinya, maka taman buru
ditetapkan dengan tujuan untuk rekreasi dan dapat juga dengan tujuan untuk
mengurangi populasi satwa tertentu karena dianggap populasinya sudah melebihi
daya dukung habitatnya.
Kekayaankeanekaragaman hayati dan budaya yang multieknik yang terdiri dari
sekitar 250 bahasa lokal dan suku di Indonesai sudah sejak lama dikenal dunia.
Bagian terbesar kekayaan keanekaragaman hayati tersebut tersimpan di
kawasan-kawasan konservasi, baik di daratan dan dan laut yang meliputi kawasan-kawasan taman
nasional, cagar alam, suaka margasatwa, taman hutan raya, taman buru dan taman
wisata alam. Sampai tahun 2000, kawasan konservasi lautnya meliputi luasan
4.636.337,45 hektar dan kawasan konservasi daratan mencapai 17.854.501,62
hektar yang diantaranya 62% berupa hutan hujan tropika primer dan 12% hutan
sekunder dan 21% tidak berhutan. (Departemen Kehutanan dan Perkebunan,
2000).
Fakta menunjukkan bahwa secara umum pengelolaan hutan di Indonesia
meninggalkan banyak permasalahan, diantaranya adalah kerusakan ekosistem
hutan dan terfragmentasinya kawasan hutan. Demikian juga dengan pengelolaan
kawasan konservasi di Indonesia masih belum terkelola dengan baik. Masih
terjadinya konflik kepentingan yang bersifat dapat mengganggu
kawasan-kawasan konservasi dari ujung Aceh Darussalam sampai Merauke berupa
penebangan liar, perburuan satwa liar, pencemaran, pembangunan jalan
memotong kawasan konservasi, reklaiming kawasan konservasi oleh penduduk
Keseluruhan konflik tersebut akan menghasilkan degradasi mutu kawasan
konservasi. Ada 2 faktor utama sebagai penyebab pengelolaan kawasan
konservasi kurang berhasil dan menyisakan permasalahan konflik, yaitu
kegagalan manajerial kawasan konservasi dan kegagalan pelibatan masyarakat
setempat untuk mendukung pengelolaan konservasi. Faktor manajerial dapat
berupa minimnya dana pengelolaan taman dan terbatasnya alternatif pendanaan
jangka panjang; lemahnyanya institusi, kapasitas dan informasi pengelolaan;
lemahnya pengelolaan ancaman dan penegakan hukum; lemahnya disain
pengelolaan dan alternatif pendekatan pengelolaan; dan rendahnya apresiasi dan
penerimaan pemerintah daerah dan masyarakat lokal terhadap keberadaan
kawasan konservasi.
Faktor kegagalan masyarakat lokal dapat berupa tidak terpenuhi kebutuhan lokal
dan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan
kawasan konservasi. Munculnya persoalan-persoalan terkait dengan konflik
Tenurial system yang secara substansial amat sulit penanganannya. Masyarakat
adat dan masyarakat lokal yang hidup dan tinggal di dalam dan di sekitar
kawasan konservasi, kemudian terpinggirkan secara sistematis. Fenomena
kemiskinan struktural dan konflik penguasaan kemudian merebak dengan cepat.
Jalan tengah dan pengakomodasian berbagai macam kepentingan, yang
berpotensi menjadi konfliks mutlak diperlukan. Pemberian peran dan porsi
yang proporsional terhadap berbagai kepentingan sebenarnya dapat didesain
dalam sebuah kawasan konservasi. Pendistribusian dan pembagian kawasan ke
dalam fungsi-fungdi tertentu merupakan salah satu cara untuk mengatasi
permasalan tersebut. Harapannya dengan penzonasian kawasan, dapat tercapai
tujuan pengelolaan kawasan konservasi yaitu pelestarian dan perlindungan
sumberdaya alam serta penyejahteraan masyarakat sekitar dan dalam kawasan
II PENGELOLAAN KAWASAN YANG DILINDUNGI
A. Kawasan Konservasi
Pelestarian kawasan yang dilindungi adalah pemeliharaan dan pemanfaatan
sumberdaya bumi secara bijaksana. Jika suatu kawasan yang dilindungi
direncanakan dan dirancang serta dikelola dengan tepat dapat memberikan
manfaat dan keuntungan lestari bagi masyarakat. Pelestarian memegang peranan
penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi di lingkungan pedesaan dan
turut menyumbangkan peningkatan kesejahteraan ekonomi dan meningkatkan
kualitas hidup penghuninya. Mackkinon 1999 menyatakan bahwa penetapan dan
pengelolaan kawasan yang dilindungi merupakan salah satu cara terpenting untuk
dapat menjamin agar sumberdaya alam bumi dapat dilestarikan
Dalam Undang-undang No 41 Tahun 1999 yang dimaksud dengan hutan
konservasi adalah terdiri dari kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan
taman buru. IUCN 1998 mendefinisikan kawasan perlindungan sebagai suatu
luasan lahan dan atau laut yang khusus ditujukan untuk perlindungan dan
pengelolaan keanekaragaman biologi dan yang berhubungan dengan sumberdaya
alam dan budaya dan dikelola dengan legal dan atau alat effektif lainnya.
Sedangkan menurut IUCN 1994 kawasan konservasi adalah wilayah daratan dan
atau di laut terutama diperuntukan bagi perlindungan dan pemeliharaan
keanekaragaman hayati, dan sumberdaya alam serta sumberdaya budayanya,
dikelola melalui cara-cara legal atau cara-cara efektif lainnya.
Kawasan hutan konservasi meliputi kawasan pelestarian alam, kawasan cagar
alam dan taman buru. Kawasan pelestarian meliputi taman nasional, suaka
margasatwa dan taman buru. Kawasan pelestarian alam menekankan pada fungsi
pelestarian alam dan lingkungan serta isinya. Taman Nasional merupakan bentuk
nasional banyak dilengkapi dengan kategori lainnya dari kawasan yang
dilindungi.
Pengelolaan Kawasan Suakan Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam
(KPA) bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati
serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan.. Pengelolaan KSA
dan KPA dilakukan sesuai dengan fungsi kawasan yaitu
1. sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
2. sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau
satwa beserta ekosistemnya;
3. untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya
B. Pengelolaan Kawasan
Pada umumnya mengelola kawasan konservasi juga berarti mengelola hutan agar
tetap berfungsi dengan baik. Hutan secara ekologis berfungsi menjaga
keseimbangan ekosistem, secara ekonomis menjadi tempat bergantung bagi
sebagian masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan konservasi, dan
secara sosial hutan konservasi memiliki nilai budaya dan adat istiadat yang
tinggi. Pengelolaan kawasan konservasi harus tetap dapat menjaga fungsi
asalnya setelah mengalami pengelolaan.
Pengelolaan kawasan konservasi bertujuan untuk melindungi sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati jenis tumbuhan dan satwa
berserta ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam dan
ekosistemnya. Tujuan tersebut diharapkan dapat dikomodasikan dalam sebuah
kawasan konservasi.
Dalam satu kawasan konservasi tidak seluruh wilayahnya memiliki karakteristik,
ciri dan tingkat kerentanan lingkungan yang sama., sehingga dalam satu kawasan
manajemen kawasan konservasi perlu dilakukan pembuatan batasan terhadap
sesuatu yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dilakukan di suatu kawasan
konservasi.
Beberapa pendekatan manajemen konservasi pernah diterapkan dalam mengelola
kawasan konservasi, mulai dari perlindungan secara mutlak sampai yang agak
terbuka dengan memberi akses kepada masyarakat untuk memasuki kawasan
konservasi. Adaptif manajemen juga dapat menunjang keberhasilan pengelolaan
kawasan konservasi, melalui pendekatan penyediaan area yang menarik secara
umum diantara tradisi hidup dan tujuan konservasi pengelolaan sumberdaya
alam. Dalam proses perencanaan zonasi kawasan konservasi dalam sekala besar
juga dapat memadukan antara pandangan ekologis dan pandangan budaya
masyarakat.
Sherpa 1999 menyatakan bahwa pengalaman-pengalaman pengelolaan
konservasi di wilayah Asia dan Pasifik menunjukkan bahwa kesuksesan
konservasi keanekaragaman hayati memerlukan partisipasi masyarakat dan
dukungannya. Pembangunan pedesaan yang terintegrasi dengan mata
pencaharian masyarakat lokal dan masyarakat asli yang tinggal di buffer zone
kawasan yang dilindungi termasuk hutan masyarakat, agroforestry, konservasi
tanah dan air, produksi ternak, pelestarian pertanian di pegunungan, dan
negara-negara Nepal, Himalaya, dan Pakistan serta negara lain yang berhasil
ZONASI KAWASAN KONSERVASI
Zonasi bertujuan untuk mendefinisikan tindakan manajemen tertentu untuk setiap
zona dan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas manajemen Zonasi juga
digunakan untuk identifikasi dan merencanakan area-area dimana tingkat
pengaruh turis paling tinggi mungkin terjadi tanpa membahayakan wilayah yang
secara ekologi penting (Eagles, et al 2001).
Penzonasian merupakan bagian penting dari semua rencana managemen wilayah
yang dilindungi. Tujuan utamanya adalah untuk mendefinisikan dan memetakan
perbedaan tingkat perlindungan dan penggunaan yang akan mungkin terjadi di
dalam wilayah yang dilindungi dan untuk memisahkan potensi konflik aktivitas
manusia. Penzonasian harus komprehensif, tetapi juga sesederhana mungkin. Ini
memungkingkan dapat dimengerti oleh publik dan diterjemahkan dalam aksi
pengelolaan dan pengaturan yang mudah untuk melaksanakan dan
mendorongnya.
A. Kategori I – V
Beberapa macam nama berbeda digunakan dalam kawasan yang dilindungi dalam
perencanaan pengelolaan kawasan yang dilindungi. Nama-nama yang umum
digunakan untuk menyebutkan tipe zonasi digunakan lebih terbatas dalam
kategori kawasan yang dilindungi (kategori I –V) yaitu :
Zona khusus dan atau zona bernilai unik yairu areal dengan nilai sangat
penting bagi upaya konservasi (misalnya wetland, estuari). Dalam area ini
tidak diijinkan bagi pengunjung untuk memasukinya.
Zona primitive dan atau hidupan liar yaitu areal yang didominasi oleh proses
ekologi yang esensial. Di dalam zona inti tidak boleh ada bangunan
infrastruktur dan tindakan manipulatif. Untuk mengamankan zona ini harus
dilakukan kontrol ketat terhadap aktivitas manusia
Zona Pengembangan Terbatas yaitu areal dimana memungkinkan untuk
Zona pengembangan intensif atau pemanfaatan yaitu areal dimana dapat
dialokasikan untuk bangunan fasilitas manajemen maupun fasilitas layanan
pengunjung
Zone tradisional dan penggunaan masyarakat asli yaitu areal yang
dialokasikan untuk pemanfaatan tradisional oleh masyarakat sekitar yang
sudah berkembang sejak lama
B. Kategori V dan VI
Tipe zonasi berdasarkan kategori V – IV IUCN yaitu (1) Zonasi kawasan lebih
ditujukan untuk kepentingan ekonomi, budaya dan pemanfaatan sumberdaya
alam, dan (2) yang lebih penting adalah memastikan bahwa pemanfaatannya
dilakukan melalui proses konsultasi publik yang bertujuan untuk menghindarkan
konflik .
Untuk menghindari pengaturan yang tidak perlu bagi aktivitas manusia,
masing-masing zona seharusnya memiliki tujuan yang jelas dan teraarah. Contoh-contoh
desain penzonasian termasuk area dengan perlindungan ketat, tingkat
penggunaan rendah (untuk studi ilmiah dan penjalanan petualangan dalam
kelompok kecil), penggunaan intensif misalnya fasilitas pengunjung seperti toliet,
pintu masuk, pakir dan pusat pendidikan), operasional taman (administrasi,
tempat pemeliharaan, fasilitas pembuangan limbah).
Jika diperlukan penambahan fasilitas juga dapat ditambahkan zona multiple use.
Penzonasian mendorong perencana dan pengelola untuk berpikir ke depan dan
membuat perhitungan sosial saat ini dan yang akan datang, dan dampak
lingkungan. Metode perencanaan ini umumnya memanfaatkan penzonasian yang
berbeda penggunaannya dan meluas tingkat manfaatnya. Skema zona berbagai
macam penggunaan dapat digunakan untuk memininimalisasi dampa kritis
ekologi atau sensitivitas wilayah. Desain, alam dan kerangka pengaturan
untuk berbagai macam penggunaan dapat menyakinhkan bahwa tingkat kritis inti
kawasan tidak kena dampak.
Praktek penzonasian seharusnya juga meluas melewati batas kawasan yang
dilindungi pada saat memungkinkan dan diperlukan. Contohnya tempat dimana
pengunjung banyak, lebih banyak kawasan di luas area yang dibatasi dapat
dkembangkan untuk mengakomodasi pengunjung yang membludak dengan trail
sistem, lokasi piknik dan informasi petunjuk.
Infrastruktur penzonasian kawasan menentukan lokasi terkait dengan kegiatan
wisata, termasuk di dalamnya kontruksi bangunan dan fasilitas lain dalam
hubungannya dengan pengelolaan pengunjung dan operasi taman. Pada saat
penambahan infrastruktur taman harus dipertimbangkan beberapa hal berikut :
pembangunan keperluan minimum
pembangunan sarana pengelolaan pengelolaan pengunjung
bentuk taman seharusnya mengikuti bentuk ekosistem alamiah
bentuk tidak boleh mendominasi alam sekitar, tetapi seharusnya
mencermimnkan kondisi tradisi setempat dan bahan setempat
harus bersahabat dengan alam, kerusakan minimum, penggunaan sumberdaya
alam (The Royal Society for the Conservation of Nature, 1998)
Taman nasional (National Park) dibagi ke dalam beberapa zona dengan ciri dan
fungsi tertentu yaitu :
a. Zona Inti:
mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya;
mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya;
mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan
mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang
pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis
secara alami;
mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang
keberadaannya memerlukan upaya konservasi;
mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya
yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.
b. Zona Pemanfaatan:
mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi
ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik;
mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya
tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam;
kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan
pariwisata alam.
c. Zona Rimba:
kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangbiakan
dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi;
memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona
inti dan zona pemanfaatan;
merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.
III. ZONASI KAWASAN
A. .Fungsi Zonasi
Sebuah ekosistem harus dikelola dalam batas-batas keberfungsiannya.
Pendekatan Ekosistem harus melibatkan semua sektor masyarakat dan berbagai
bidang ilmu pengetahuan yang relevan. Sebagai contoh cagar biosfer yang
mempunyai tujuan untuk mewujudkan pengelolaan lahan, perairan tawar, laut
bioregional, yang mengintegrasikan konservasi keanekaragaman hayati ke
dalam pembangunan berkelanjutan, yang dapat dicapai melalui pengembangan
sistem zonasi tepat. Sistem zonasi ini mencakup, zona inti, kawasan yang
dilindungi secara ketat, yang dilindungi oleh zona pengangga yang menekankan
aspek konservasi, namun masyarakat diperbolehkan tingal dan bekerja, dan
secara keseluruhan kawasan tersebut dikelilingi oleh zona transisi, atau disebut
juga wilayah kerjasama, untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan.
Perencanaan pengelolaan kawasan yang dilindungi artinya mengidentifikasikan
zona-zona pengelolaan yang berbeda, yang secara geografis kawasan berada
dalam penekanan manajemen yang sama dan tingkat yang sama dalam
pemanfaatannya dan pemisahan pemanfaatan yang berbeda. Zonasi dalam
berbagai bentuk secara luas digunakan dan sudah lama dikembangkan sebagai
metode pengelolaan sumber informasi dan pedoman tugas pengelolaan.
Beberapa manfaat dilakukan penzonasian pengelolaan kawasan konservasi
antara lain :
1. Menjamin kelestarian keterwakilan dan/atau kefragilan habitat tertentu
melalui upaya tindakan manajemen yang tepat
2. Memisahkan konflik kepentingan antara aktivitas manusia dengan upaya
perlindungan
3. Melindungi sumberdaya alam dan/atau budaya khas tanpa menghalangi
upaya pemanfaatannya secara rasional
4. Memungkinkan areal yang rusak untuk pemulihan (alami maupun campur
tangan manusia)
Young dan Young 1993 mendefinsikan zonasi sebagai apa yang dapat dan tidak
dapat terjadi dalam kawasan taman yang berbeda dalam artian pengelolaan
sumberdaya alam, pengelolaan sumberdaya budaya, budidaya oleh manusia dan
keuntungannya, pengunjung dan pengalaman, aksesibilitas, fasilitas dan
zonasi, keterbatasan penggunaan yang diterima dan pembangunan dalam
kawasan dikembangkan.
B. Tipe-tipe Zonasi
Zone-zone menentukan dimana berbagai strategi untuk pengelolaan dan
penggunaan berupa serangkain tujuan pengelolaan terbaik yang harus dicapai
dalam pengelolaan kawasan konservasi. Di dalam masing-masing zone,
preskripsi manajemen seharusnya seragam tetapi mungkin berbeda dalam tipe
atau imtensitas yang karenanya dalam zona yang lain agar dapat
mengakomodasi berbagai tujuan.
Tipe-tipe zonasi yang dapat digunakan antara lain :
penyediaan perlindungan bagi habitat krtis atau representasinya, ekosistem
dan proses ekosistem
pemisahan konflik aktivitas manusia
perlindungan alam dan atau kualitas budaya ketika pemanfaatan yang
dapat diterima , dan kemungkinan kerusakan kawasan dibuat untuk
menanggulangi kerusakan atau mengembalikan ke kondisi semula
Zonasi mungkin juga di gunakan dengan dasar waktu, dimana sebuah kawasan
dikelola berdasarkan waktu dalam hari, hari dalam minggu atau bulan dalam
tahun, untuk memungkinan kearifan budaya-budaya, pengetahuan perubahan
musim atau sebagai referensi pada beberapa pemicu lain atau penyebab kejadian
berlangsung (misalnya musim kawin). Dengan penyediaan kontrol seluruh
wilayah yang didesain untuk mencapai tujuan penggunaan dan konservasi yang
berbeda-beda, zonasi secara luas digunakan sebagai alat tetapi zonasi kawasan
yang dilindungi tidak selalu diperlukan. Zonasi seharusnya menyederhanakan
pengelolaan, dan tidak menghasilkan pengelolaan yang kompleks.
Dalam konteks perlindungan landskape dan kawasan dengan berbagai macam
kepentingan ekonomi, budaya dan sumberdaya yang terjadi. Penzonasian
normalnya menggunakan rencana penggunaan lahan yang mencerminkan
kebijakan berdasarkan geografis pada bentang laut. Satu lokasi dapat didesain
sebagai tempat aktivitas ekonomi dan di tempat lain untuk perlindungan
nilai-nilai alam. Faktor kritis penentuk keberhasilan perencanaan zonasi adalah
meyakinkan bahwa konsultasi publik sudah cukup dilakukan dalam pelibatan
mereka dan keluran dapat diterima semua pihak.
Zonasi membatasi antara kawasan yang diijinkan untuk dilakukan aktivitas
umum serta kawasan yang tidak boleh digunakan untuk berbagai aktivitas yang
dapat mengganggu kegiatan perlindungan. Aktivitas yang mungkin masih
diperbolehkan di semua zone adalah aktivitas penelitian dalam kerangka untuk
membantu kegiatan perlindungan.
Situasi khusus, jika tidak terakomodasi dalam bentuk lain, memerlukan perhatian
khusus dengan membagi zone menjadi su zone atau melakukan modifikasi
(‘Time-and-Place’ zoning). Ini akan memungkinkan kendaraan dan pelayaran
melewati kawasan, waktu kunjungan dan pertimbangan-pertimbangan musiman.
Penzonasian dapat menggambarkan keserasian dan keseimbangan konservasi,
fungsi wisata alam, budidaya dan pemberdayaan masyarakat (Suryanto, 2000).
Dalam pengelolaan Taman Nasional, pada umumnya juga dibuat zonasi-zonasi
berdasarkan tingkat kerentanan atau kesensitifan suatu kawasan terhadap
gangguan dari luar. Zonasi-zonasi tersebut antara lain : zona inti, zona
perlindungan, zona pemanfaatan dan zona penyangga.
Zona penyangga sangat penting artinya bagi pelestarian dan perlindungan
kawasan konservasi, seperti dinyatakan oleh Setiawan dan Alikodra 2001 bahwa
tantangan dalam pengelolaan kawasan yang dilindungi adalah semakin tingginya
keberadaan masyarakat tidak dipandang sebagai sesuatu yang negatif dalam
pengelolaan kawasan yang dilindungi, akan tetapi sebaliknya harus merupakan
salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pengelolaan kawasan yang
dilindungi.
Oleh karenanya dalam penentuan zonasi, selain mempertimbangkan faktor
biofisik, ekologi dan keanekaragaman hayati suatu kawasan, juga harus
memasukkan unsur kepentingan dan ketergantungan masyarakat terhadap
kawasan yang dilindungi. Pengoptimalan dan perluasan zona penyangga mutlak
diperlukan dalam rangka mengakomodasi ketergantungan suatu masyarakat
terhadap hutan atau kawasan yang dilindungi. Basuni 2001 juga menyatakan
bahwa pelibatan komunitas lokal dalam manajemen kawasan yang dilindungi
merupakan salah satu pilihan bagus. Pelibatan masyarakat tidak harus sebagai
pemilik, yang terpenting adalah partisipasi masyarakat. Hubungan antara
kawasan konservasi dengan masyarakat tidak boleh bersifat destruktif tetapi
justru harus dikembangkan menjadi hubungan yang produktif..
Hal ini tidak dapat dihindari karena hutan mendukung kehidupan bagi
masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Hutan menyediakan hampir semua
yang dibutuhkan manusia dan membuat mereka merasa aman. (Purnomo, 2003)
Zona penyangga menurut Mackinon 1999 didefinisikan sebagai kawasan yang
berdekatan dengan kawasan yang dilindungi yang penggunaan tanahnya terbatas
untuk memberikan perlindungan tambahan bagi kawasan yang dilindungi dan
sekaligus bermanfaat bagi masyarakat pedesaan sekitarnya.
Dalam membuat dan menyusun desain zonasi kawasan seharusnya melibatkan
masyarakat secara aktif dalam proses perencanaannya. Dengan demikian
masyarakat akan ikut bertanggung jawab melaksanakan dan menjaga zonasi yang
telah disusunnya. Di samping itu masyarakat dapat memberikan
alternatif-alternatif desain zonasi sehingga mereka pun masih dapat mencari penghasilan di
kawasan konservasi dengan tidak mengganggu fungsi konservasi. Ini akan
memberikan pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Worah 2002 yang
menyatakan bahwa dalam kegiatan-kegiatan konservasi (proyek) banyak yang
tidak effektif, sehingga perlu dipikirkan lagi alternati peningkatan pendapatan
masyarakat sekitar hutan agar dapat mendukung keberhasilan pengelolaan
kawasan.
Tipe-tipe zona yang dapat menampung aktivitas dan kegiatan masyarakat
diantaranya disebutkan oleh Mackinon 1999 yang diantaranya adalah :
1. Zona pemanfaatan tradisional dalam kawasan yang dilindungi
Di beberapa tempat kawasan yang dilindungi masih terdapat masyarakat yang
tinggal dan menggantungkan hidupnya pada kawasan yang dilindungi
tersebut. Penduduk di Taman Nasional Zimbabwe misalnya mengambil
rumput untuk atap.
Penduduk yang berada di dalam sebenarnya dapat dikeluarkan tetapi akan
sulit, sehingga jika tidak memungkinkan, dapat dibuat enklafe di dalam
kawasan yang dilindungi. Desa nelayan di dalam Taman Nasional Queen
Elizabeth di Uganda merupakan contoh kasus ini. Kelemahannya adalah jika
tidak ada kontrol yang ketat, kecenderungan perluasan ”enkafle” akan semakin
2. Zona penyangga hutan
Penyangga ini dapat berupa hutan di luas kawasan yang dilindungi yang
mampu memberikan manfaat bagi masyarakat sebagai sumber kayu bakar,
bahan bangunan, flora yang dapat diambil oleh masyarakat. Hutan dalam
zona penyangga ini dapat berupa hutan alam maupun hutan tanaman yang
mampu menyediakan keperluan masyarakat.
C. Optimalisasi Fungsi Zonasi
Zonasi akan dapat menjamin keberhasilan pengelolaan kawasan jika batas zona di
lapangan adalah jelas dalam artian tanda batas berupa pal batas dan papan-papan
yang menunjukkan suatu zona jelas keberadaannya di lapangan. Kendalanya
selama ini adalah pal batas dan papan-papan peringatan tersebut ada yang sudah
tidak dapat dikenali lagi atau bahkan tidak ada sama sekali. Batas-batas ini harus
dipetakan dengan jelas dan jika perlu dipasang pada papan dan ditempatkan di
lokasi yang mudah dilihat oleh masyarakat. Apalagi saat sekarang sudah ada
teknologi dan Sistem Informasi Geografis, serta teknologi GPS (Geographic
Position System) yang dapat membantu memetakan penzonasian kawasan yang
dilindungi dan meng – up date nya secara cepat.
Adalah sangat penting juga selain secara riil di lapangan zonasi memiliki tanda
batas yang jelas, batas zona ini jika harus memiliki landasan hukum yang jelas
dan kuat. Sehingga sebelum secara permanen dibuat pal-pal batas di lapangan
juga harus disejui oleh semua pihak yang berkaitan serta berbatasan langsung
dengan kawasan yang dilindungi. Sehingga ini diperlukan peran serta
masyarakat terutama masyarakat lokal tradisional dalam merancang zonasi taman
nasional, di samping tentu saja kriteria-kriteria fisik, ekologis dan biofisik suatu
kawasan yang harus dipertimbangkan dalam penzonasian kawasan yang
dilindungi. Dalam hal ini pemerintah, sebagai regulator dalam pengelolaan
zonasi. Isu-isu utama yang dapat menjadi pola hubungan antara pemerintah dan
masyarakat tertera pada Gambar 3.
pengenalan, perhatian, kepercayaan,
sejarah konflik dan kerjasama pemeritah negara legalitas penetapan
komunikasi dan dialog, struktur pemerintah beragam, negoisasi, persetujuan yang adil.
Gambar 3. Isu utama hubungan antara masyarakat dan pemerintah (Grazia Borrini, et al 2002)
Sosialisasi penetapan zonasi suatu kawasan yang dilindungi mutlak dilakukan.
Masyarakat perlu dan harus tahun bentuk zonasi kawasan yang dilindungi dimana
masyarakat sehari-hari berinteraksi. Dengan sosialisasi ini diharapkan
masyarakat mengetahui dimana mereka bisa melaksanakan kegiatan dan di mana
tidak melakukan aktivitas di dalam kawasan yang dilindungi. Masyarakat
diharapkan juga menyadari konsekuensi hukumnya jika melakukan pelanggaran
di dalam kawasan yang dilindungi.
Bonheur 2002 juga menyatakan bahwa keberhasilan pada tingkat lokal dalam
pelibatan masyarakat, dalam penelitian dan manajemen secara bijaksana di
kawasan konservasi. Selain itu juga tergantung pada kemampuan bekerjasama
dengan stake holder sebagai faktor kunci, utamanya sektor perikanan dan
pertanian dan pada pemilihan metode manajemen rejim, yang termasuk faktor
kunci kelestarian adalah sosial, budaya, ekonomi dan pertimbangan lingkungan.
V. PENUTUP
Berbagai macam fungsi dan manfaat keberadaan kawasan yang dilindungi.
memberikan kesejahteraan masyarakat serta melestarian sumberdaya alam yang
merupakan tujuan dari pengelolaan kawasan yang dilindungi.
Pemberian peran masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan
konservasi merupakan satu pendekatan pengelolaan kawasan konservasi.
Masyarakat yang menggantung hidup dalam kawasan konservasi harus diberikan
ruang untuk tetap dapat hidup berdampingan dengan kawasan yang dilindungi.
Zonasi kawasan yang dilindungi dapat memberikan ruang bagi masyarakat untuk
tetap dapat memanfaatkan kawasan, tetapi kawasan juga tidak akan terganggu
oleh aktivitas. Agar dapat berfungsi optimal zonasi kawasan konservasi harus
tertata secara jelas di lapangan, mendapatkan pengakuan dari berbagai pihak
yang berkepentingan, memiliki kekuatan hukum tetap dan harus diketahui oleh
DAFTAR PUSTAKA
Basuni, S. Ekoturisme, Manajemen Konservasi dan Otonomi Daerah. Journal Media Konservasi Volume VII/Nomor 2 Juni 2001. Halaman 47 – 55
Basuni. 2003. Inovasi Institudi Untuk Meningkatkan Kinerja Daerah Penyangga Kawasan Konservasi. Desertasi pada Program Pasca Sarjana IPB Bogor. Tidak Diterbitkan
Bonheur, N. 2002. Tonle Sap Biosphere Reserve, Cambodia: management and zonation challenges. Journal Parks Vol 12 No 2 Local Communities And Protected Areas
Kruse, A. 2003. Zoning: The Foundation of Park Management. Point Reyes National Seashore/North District Golden Gate National Recreation Area [akses internet tanggal 12 Februari 2005]
Lee Thomas and Julie Middleton, Adrian Phillips, Series Editor. Guidelines for Tourism in Parks and Protected Areas of East Asia. World Commission on Protected Areas (WCPA) Guidelines for Management Planning of Protected Areas
Mackinnon. 1993. Pengelolaan Kawasan Yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University
Manullang, S. 1999. Kesepakatan Konservasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan dan Perkebunan dengan Natural Resources Management Program
Mingma Norbu Sherpa And Ugen P Norbu. 1999. Linking Protected Areas For Ecosystem Conservation: A Case Study From Bhutan. Jounal Parks Vol 9 No 3 • October 1999.
Paul F.J. Eagles, Margaret E. Bowman, Teresa Chang-Hung Tao. 2001. IUCN – The World Conservation Union
Phillips, A. Series Editor. 2000. Evaluating Effectiveness A Framework for Assessing the Management of Protected Areas. IUCN ñ The World Conservation Union
Purnomo, H. 2003. A Modeling Approach To Collaborative Forest Management. Desertasi Pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.
Roman, G. et al. Zoning To Manage Recreation at Coral Reef : A Case Study of Koh Chang National Marine Park, Thailand {akses internet tanggal 12 Februari 2005]
Setiawan, A., Alikodra, HS. Tinjauan Terhadap Pembagunan Sistem Kawasan Konservasi di Indonesia. Journal Media Konservasi Volume VII/Nomor 2 Juni 2001. Halaman 39 – 47
Suitela. 2002. Zonasi Kawasan Konservasi Gunung Tampomas di Sumedang Jawa Barat. Tesis pada Program Pasca Sarjana IPB Bogor. Tidak diterbitkan.
Suryanto, A. 2000. Sistem Zonasi Pengelolaan Taman Nasional Laut Berdasarkan Indeks Kepekaan Lingkungan. Tesis Pada Program Pasca Sarjana IPB Bogor. Tidak Diterbitkan.
Suhendang, E. 2000. Pengantar Ilmu Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
University Pertanian Malaysia. 1983. Rekreasi Luar di Malaysia. Fakulti Perhutanan Universiti Malaysia Serdang Selangor Malaysia
Worah, S. 2002. The Challenge Of Community-Based Protected Area Management. Journal Parks Vol 12 No 2
ssion on Protected Areas (WCPA)