BUKIT BARISAN SELATAN
Oleh
KRISANTUS UNGGUL ENDRA KUSUMA
ABSTRAK
Kajian tentang morfometri sayap kelelawar telah dilakukan pada bulan Juli-
Agustus 2011 bertempat di Stasiun Pusat Penelitian dan Pelatihan Konservasi
Way Canguk dan Desa Sukaraja dan Suka Banjar, Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan. Penelitian dilaksanakan berada di bawah program penelitian S3 Joe
Chun Chia Huang dari Department of Biology Texas Tech University Amerika
Serikat dan bekerja sama dengan Wildlife Conservation Society Indonesia
Program (WCS-IP). Metode harp trap dan mist net digunakan untuk upaya
penangkapan dan program imageJ versi 1.43 untuk pengukuran luas sayap. Usaha
penangkapan dilakukan sebanyak 146 dan diperoleh 1083 individu kelelawar yang
termasuk dalam 34 spesies dan 252 individu dilakukan pengukuran luas sayap
menggunakan program Image J.
Dari hasil pengukuran diperoleh data Luas sayap kelelawar yang terbesar dimiliki
oleh
Rousettus amplexicaudatus
dengan luas 0.0275 m
2dan yang terkecil dimiliki
Tylonycteris robustula
dengan luas 0.0040 m
2. Bentang sayap terkecil ditemukan
pada
Kerivoula intermedia
dengan 0.1724 m dan bentang sayap yang terbesar
dimiliki oleh
Cynopterus sphinx
dengan 0.3491 m. Luas sayap dapat membantu
proses identifikasi sampai dengan tingkat jenis.
Terdapat perbedaan hasil pengukuran panjang lengan dan panjang tangan antar
individu dalam spesies yang sama sehingga pada
genus Rhinolopus
dan
Hipposideros
menunjukan nilai indeks nya negatif
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman hayati
yang tinggi di dunia. Salah satu taman nasional yang berada di Indonesia
yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi adalah Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). TNBBS dikenal sebagai situs
warisan dunia ditetapkan oleh UNESCO karena memiliki tipe hutan hujan
dataran rendah yang masih tersisa di Sumatera.
Berdasarkan administrasi pemerintahan, kawasan TNBBS berada di dua
kawasan yaitu Propinsi Lampung dan Propinsi Bengkulu. Di Propinsi
Lampung seluas 290.800 ha meliputi Kabupaten Tanggamus seluas 10.500 ha
dan Kabupaten Lampung Barat seluas 280.300 ha, sedangkan di Propinsi
Bengkulu meliputi Kabupaten Kaur dengan luas 66.000 ha.
Propinsi Sumatera Selatan juga sangat penting bagi tumpang-tindih perbatasan
kawasan. Kawasan TNBBS membentang dari ujung selatan bagian barat
Propinsi Lampung sampai bagian selatan Propinsi Bengkulu, secara geografis
berada pada 4º29' - 5º57' LS dan 103º24' - 104º44' BT. TNBBS sebagai salah
satu kawasan konservasi terbesar di Sumatera memiliki peranan penting dan
dalamnya termasuk kelelawar (Nurhasanah, dkk., 2006). Saat ini penelitian
tentang kelelawar belum banyak dilakukan. Kelelawar merupakan
satu-satunya jenis hewan mamalia yang dapat terbang. Kelelawar bersifat
nokturnal, aktif mencari makan pada malam hari. Kelelawar sangat sensitif
terhadap dehidrasi, tidur dengan bergantung terbalik pada siang hari.
Dengan kemampuan terbangnya kelelawar mempunyai peranan dalam
penyerbukan bunga berbagai tumbuhan termasuk tumbuhan bernilai ekonomi
tinggi, namun masyarakat beranggapan bahwa kelelawar adalah hama karena
merusak tanaman buah.
Sayap kelelawar menjadi bagian penting dalam aktivitas terbangnya. Sayap
kelelawar tediri dari beberapa bagian yaitu plagiopatagium, propatagium,
dactylopatagium, uropatagium, dan informal membran (Prastianingrum,
2008). Karakter sayap kelelawar dapat dipelajari dengan menggunakan
metode morfometri. Morfometri merupakan pengukuran bentuk dan luas
bagian tubuh mahluk hidup untuk pencirian dalam suatu analisis kuantitatif
(Kusuma, 2006). Morfometri pada kelelawar dapat dilakukan pada luas sayap
yang dapat memberikan informasi lebih lanjut pada kemampuan terbang
(
wing loading
), semakin besar wing loading maka kecepatan terbang juga
semakin cepat (Betts and Wootton, 1988).
B. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah
1.
Mengetahui ukuran luas dan bentang sayap kelelawar di Way Canguk,
2.
Mengetahui karakteristik morfologi sayap kelelawar berdasarkan bentuk,
warna, selaput membran sayap.
C. Manfaat
Diharapkan pada penelitian ini dapat memberi informasi tentang morfologi
sayap kelelawar untuk mendukung upaya pelestarian dan pengelolaan
keragaman kelelawar.
D. Kerangka Pikir
Salah satu ciri yang membedakan pada kelelawar ini adalah morfologi sayap.
Sayap kelelawar memiliki ukuran yang berbeda setiap spesies. Penelitian
mengenai morfologi sayap belum banyak dilakukan, sedangkan ciri morfologi
sayap dapat membantu dalam pengenalan sampai pada tingkat jenis
Informasi keanekaragaman morfologi sayap kelelawar juga dapat dijadikan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Biologi Kelelawar
Klasifikasi kelelawar menurut Corbet and Hill ( 1992)
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Chiroptera
Kelelawar memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi dan menempati
urutan kedua setelah Rodensia (Huang,2010) . Dari 4.000 spesies mamalia,
1.000 di antaranya merupakan spesies kelelawar. Untuk
mengelompokkannya, kelelawar dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu
"Megachiroptera" dan "Microchiroptera" (Vaughan, 2000).
Subordo Megachiroptera dengan 1 famili yaitu : Pteropodidae dengan 42
genus dan 175 spesies. Subordo Microchiroptera dengan 16 famili yaitu :
Rhinopomiatidae, Nycteridae, Megadermatidae, Rhinolopidae,
Hipposideridae, Mizopopodidae, Mystacinidae, Noctilionidae,
Vespertilionidae, Emballonuridae, Molossidae dengan 145 genus dan 788
spesies (Vaughan, 2000).
B. Morfologi Kelelawar
Perbedaan nyata antara sayap kelelawar dengan sayap burung adalah pada
perluasan tubuhnya yang berdaging dan sayapnya yang tidak berambut terbuat
dari membran elastis dan berotot.
Kelelawar memiliki dua tipe sayap, tipe sayap lebar dan sayap kecil. Sayap
kecil ditemukan pada kelelawar yang hidup di alam tertutup. Tipe sayap kecil
berguna untuk terbang dengan cepat. Tipe sayap lebar dimiliki kelelawar
yang hidup di tempat terbuka, terbang pelan di antara cabang pohon
(Vaughan, 2000).
Kelelawar mempunyai morfologi sayap yang terdiri dari beberapa bagian yaitu
plagiopatagium, propatagium, dactylopatagium, uropatagium, dan informal
membran. Tulang telapak dan jari tangan kelelawar mengalami pemanjangan
dan berfungsi sebagai kerangka sayap dan antara kaki belakang dan ekor
membentuk membran interfemoral (Prastianingrum, 2008) ( Gambar 1).
Menurut Simmons dan Conway (1997) kaki bawah termodifikasi guna
membantu patagium
pada saat terbang atau menggantung. Kelelawar
memiliki otot yang kuat pada jari-jari kaki untuk mencengkeram sehingga
Gambar
1.
Morfologi kelelawar
(Anonim a, 2010).
Keterangan :
Knee (lutut)
Tail membrane (membran ekor)
Foot (kaki)
Wing membrane (selaput sayap )
Third finger (jari ke-3) Ear (telinga)
Kelelawar mempunyai otot pada patagium dan menggunakan otot-otot
tambahan pada dada untuk menggerakkan sayap ke atas dan bawah. Tulang
yang kuat pada kelelawar dipakai untuk menopang propatagium pada
membran sayap sehingga memiliki kemampuan untuk melakukan manuver
saat terbang. Hal ini dikarenakan sayapnya yang lebih kompleks jika
dibandingkan dengan kelelawar dari jenis Megachiroptera (Simmons dan
Conway, 1997).
Tragus (tragus)
Upper arm (lengan paling atas) Forearm (lengan)
C. Makanan utama
Berdasarkan jenis pakannya kelelawar dapat dibedakan menjadi kelelawar
pemakan buah, serangga, dan madu. Megachiroptera umumnya adalah
herbivora dengan memakan buah, nektar dan serbuk sari. Megachiroptera
memiliki satu famili yaitu Pteropodidae dengan 42 genus dan 166 spesies,
dengan ukuran tubuh relatif besar dan mempunyai berat badan antara 10 -
1500 gram (Nowak, 1994) (Yustian, 2010)
Kelelawar dengan bentangan sayap dua meter dan berat mencapai satu
setengah kilogram dimasukkan dalam kelompok Megachiroptera atau dikenal
dengan sebutan "Kalong". Kalong mempunyai mata besar dan tidak
mempunyai sistem ekolokasi. Makanan kalong berupa buah-buahan dan
bunga yang diperoleh dengan mengandalkan penglihatan dan penciuman
(Nowak, 1994).
Kelelawar yang ditemukan di Asia dan Afrika umumnya bertubuh kecil,
dengan jenis pakan serbuk sari, lebar dua sayapnya 30 cm dengan berat 15 gr,
termasuk dalam kelelawar Microchiroptera yang umumnya adalah
insektivora tetapi ada beberapa famili yang bersifat omnivora, karnivora,
piscivora, frugivora, nektarivora atau sanguivora (Findley, 1993), dengan
sistem ekolokasi yang lebih baik (Nowak, 1983).
Kelelawar merupakan hewan nokturnal yaitu aktif pada malam hari.
Kelelawar pemakan serangga mempunyai kemampuan untuk menangkap
pantulan getar atau gema dari suara yang di timbulkannya atau dikenal dengan
istilah ekolokasi. Ekolokasi adalah suatu fenomena kelelawar mengeluarkan
yang dihasilkan umumnya berada di atas ambang batas pendengaran manusia
dan di pantulkan kepada kelelawar tersebut dalam bentuk gema (
echoes
)
(Huang,2010). Ekolokasi berguna bagi kelelawar yang sedang terbang dalam
kegelapan untuk menentukan lokasi serangga mangsanya. Kelelawar hanya
mengeluarkan seperseribu energi suara untuk memangsa serangga dalam
keadaan terbang (Saunders, 1992).
Bagi kelelawar pemakan serangga, proses perburuan serangga dari mengenali
hingga menangkapnya, umumnya membutuhkan waktu kurang dari satu detik.
Walau berada dalam keadaan gelap, kelelawar dapat melakukannya dengan
sangat baik. Kelelawar menggunakan pantulan gelombang ultrasonik dari
mulutnya untuk menentukan posisi target (Huang,2010). Untuk
menyelesaikan perburuan mangsanya, kelelawar harus selalu mengarah ke
target yang terbang dan bergerak bebas. Kelelawar dapat mengubah-ubah
sudut dan arah gerakannya mengikuti gerakan mangsanya. Apabila mangsanya
serangga terlihat di arah barat laut, kelelawar akan bergerak agar calon
mengsanya itu selalu berada di arah barat laut sambil mendekat. Kelelawar
hanya membutuhkan waktu singkat untuk mendeteksi, mengunci, dan
menangkap mangsa selincah apapun (McNeely, 1977).
D. Peranan kelelawar dalam ekosistem
Kelalawar berperan penting dalam penyebaran biji tanaman buah-buahan,
terutama kelelawar dari famili Teropodidae (kelelawar buah) merupakan
Masyarakat memanfaatkan kelelawar dari daging kelelawar sebagai bahan
makanan yang memiliki protein tinggi, penghasil pupuk guano (fosfat) yang
diperlukan banyak bagi pertanian tanaman pangan (Walker, 1964).
E. Reproduksi
Pada umumnya pola reproduksi kelelawar sangat dipengaruhi oleh musim.
Beberapa spesies di daerah sedang dan banyak spesies di daerah tropis
melahirkan satu anak dalam setiap kelahiran. Masa gestasi 3-6 bulan dan
berat anak dapat mencapai 25-30% berat induknya (dibanding dengan
manusia yang hanya 5% berat induknya), kecuali
Lasiurus borealis
yang
dapat menghasilkan anak hingga lima ekor. Kelelawar dikenal memiliki
kemampuan membawa beban yang handal. Berbeda dengan mamalia lainnya
yang menyapih anakan bila telah mencapai 40 % ukuran dewasa, kelelawar
menyapih ketika anakannya hampir berukuran dewasa. Keunikan anggota
subordo Microchiroptera lainya adalah pada saat dilahirkan kaki anaknya
akan keluar lebih dahulu, sedangkan mamalia lainnya kepala keluar lebih
dulu (Nowak, 1994).
F. Perangkap Harpa (Harp Trap) dan Mist net (Jaring kabut)
Constantine (1958) pertama kali memperkenalkan perangkap untuk
menangkap
Mexican free-tailed bats
(
Tadarida brasilliensis
) pada gua.
Perangkap yang dirancang berupa satu kerangka besar dengan satu teralis
bagian bawah perangkap terdapat kantong untuk menampung kelelawar yang
terperangkap sehingga tidak dapat terbang keluar(Yustian, 2010).
Francis pada tahun 1989 merancang kembali dengan menggunakan 4 teralis
karena lebih efektif dan efisien, dikenal harp trap dan banyak digunakan
(Francis, 1989) (Gambar 2).
Gambar 2. Perangkap Harpa
Jaring kabut adalah alat yang populer dan penting bagi pemantauan spesies,
yang mencakup komposisi penilaian spesies, kelimpahan relatif, ukuran
populasi, dan demografi. Pengaturan jaring kabut memakan waktu dan
memerlukan sertifikasi, namun terdapat keuntungan teknik pemantauan atas
visual dan aural, seperti pengambilan sampel spesies yang mungkin kurang
mudah pada pemeriksaan, dan pencegahan kesalahan identifikasi potensi
spesies burung oleh orang-orang. Karena mereka memungkinkan para
ilmuwan untuk meneliti spesies dekat, jaring kabut yang sering digunakan
dalam mark-recapture studi selama waktu yang lama untuk mendeteksi tren
dalam indeks populasi (Dunn dan Ralph 2004).
Jaring kabut adalah metode unik karena memberikan perkiraan demografi
seluruh musim, dan menawarkan panduan berharga untuk kelimpahan relatif
spesies tertentu atau burung dan / atau kelelawar (Dunn dan Ralph 2004).
G. ImageJ
ImageJ adalah domain publik, berbasis Java untuk pengolahan gambar
program yang dikembangkan di Institut Kesehatan Nasional. ImageJ
dirancang dengan arsitektur terbuka yang diperpanjang melalui plug in Java
dan makro recordable, akuisisi analisis, kustom dan pengolahan plug in dapat
dikembangkan dengan menggunakan built-in ImageJ editor dan kompiler
Java. Plug in memungkinkan untuk memecahkan pengolahan citra dan
masalah analisis, dari tiga-dimensi hidup sel pencitraan, untuk pengolahan
gambar radiologi, beberapa data sistem pencitraan perbandingan untuk
sistem hematologi otomatis. Plugin arsitektur ImageJ dibangun dalam
lingkungan pengembangan telah membuatnya menjadi platform populer untuk
H. Wildlife Conservation Society - Indonesia Program (WCS -IP)
Wildlife Conservation Society (WCS) didirikan pada tahun 1895 sebagai New
York Zoological Society,
bekerja untuk menyelamatkan hidupan liar di
seluruh dunia. Lembaga ini memiliki staf lapangan terbesar dari seluruh
organisasi konservasi internasional yang berbasis di Amerika Serikat.
Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS-IP) bertujuan untuk
memajukan konservasi dan pengelolaan keanekaragaman hayati Indonesia.
Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS-IP) memiliki Stasiun
Pusat Penelitian dan Konservasi Way Canguk yang dibangun pada bulan
Maret 1997.
Pembangunan stasiun penelitian ini dibantu oleh sekitar 30 penduduk di
sekitar Way Canguk, seperti Sedayu, Sukaraja (Teluk Semangka), Pemerihan
Sumberejo (Bengkunat). Tujuan dari pembangunan pusat penelitian Way
Canguk adalah sebagai tempat penelitian lapangan,dan pelatihan. (WCS-IP,
2001). Lokasi pembangunan ini berada di provinsi Lampung (Gambar 3).
Stasiun Pusat Penelitian dan Konservasi Way Canguk ini terdiri dari enam
bangunan, satu bangunan utama yang digunakan sebagai kantor, satu
bangunan asrama, satu bangunan ruang makan serta dapur, dan 3 bangunan
rumah dilengkapi dengan kamar mandi. Areal penelitian Way Canguk terbagi
menjadi 200 ha areal di bagian Barat Laut dan kurang lebih 600 ha di sebelah
Tenggara Way Canguk. Sistem jalur di Way Canguk dibuat 200 m per jalur.
Selain itu dibuat juga 100 plot vegetasi untuk memantau pertumbuhan pohon,
Gambar 3.
Lokasi Stasiun Pusat Penelitian Way Canguk TNBBS
Pada tahun 1997 terjadi kebakaran di areal penelitian juga dibuat 30 plot
tambahan di areal kebakaran tersebut dengan tujuan untuk memantau
pertumbuhan semai, pancang, dan pohon berikut dengan proses kematiannya.
Di dalam plot penelitian terdapat jalan setapak yang menghubungkan desa
Plot penelitian terbagi menjadi dua lokasi yaitu Plot Utara dan Plot Selatan
(Gambar 4)
Gambar 4
. Plot Utara dan Plot Selatan Way Canguk TNBBS (dikutip dari
Way Canguk dalam Ruang dan Waktu, 2001)
Struktur organisasi di Stasiun Penelitian Way Canguk dipimpin oleh manajer
yang bertugas mengawasi kegiatan yang dilakukan. Pengolahan data hasil
kegiatan maupun penelitian yang harus dilaporkan ke kantor pusat WCS-IP
yang berkedudukan di Bogor oleh manager. Manajer dibantu oleh seorang
asisten manajer dalam membuat laporan keuangan dan administrasi bila
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus
2011 bertempat di Stasiun Pusat Penelitian dan Pelatihan Konservasi Way
Canguk Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Desa Suka Raja dan Desa
Suka Banjar. Penelitian dilaksanakan berada di bawah program penelitian S3
Chun Chia Huang dari Department of Biology Texas Tech University,USA
dan bekerja sama dengan Wildlife Conservation Society Indonesia Program
(WCS-IP).
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.
Alat penangkap harp trap (perangkap harpa) sebanyak empat buah dengan
dua tipe yaitu dua buah perangkap ukuran besar dan dua buah perangkap
kecil dan Mist net 9 dan 12 meter untuk menangkap kelelawar.
2.
Alat pengukur yaitu adalah pesola digunakan untuk menimbang berat
kelelawar, kaliper untuk mengukur panjang lengan bawah, papan ukur
3.
Alat tulis berupa pensil pena untuk mencatat, lembar data, kantung
kelelawar, buku identifikasi kelelawar Bats of Krau (Kingston, 2006),
head lamp untuk penerangan, kamera digital Olympus tipe ls130 untuk
pemotretan, Quadrapot untuk tempat memasang kamera, program analisis
foto Image J, bendera penandaan perangkap pada titik pemasangan harp
trap, sebagai penandaan daerah pemasangan trap, GPS (Global Positioning
System) digunakan untuk menandai titik koordinat pemasangan trap.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelelawar.
C. Metode kerja
1. Lokasi perangkap harpa
Penelitian ini akan dilakukan di Plot Penelitian Selatan Way Canguk dengan
66 titik usaha penangkapan menggunakan harp trap dengan jarak antar titik
adalah 100 meter.
Metode harp trap ini menyesuaikan dengan kondisi plot yang memiliki jalan
setapak di plot yang merupakan jalur terbang kelelawar. Perangkap harpa
diletakkan melintang pada jalur dan jarak antar perangkap sejauh 100 m.
Posisi perangkap ditandai menggunakan bendera putih yang telah diberi
nomor.
Pemasangan harp trap dilakukan pada siang hari pukul 10.00 WIB, dan
pengecekan harp dilakukan pada malam hari pada pukul 19.00 WIB dan pada
pukul 07.00 WIB keesokan hari ( Kunz, 2009).
Kelelawar yang tertangkap di kantong harp trap di masukan dalam kantong
diberi nomor sesuai dengan nomor posisi perangkap. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan pelepasan kelelawar (Prastianingrum, 2008). Individu kelelawar
yang telah selesai dianalisis dilepaskan kembali pada titik usaha penangkapan.
2. Teknik Identifikasi
Kelelawar yang tertangkap pada harp trap perlu ditangani dengan hati-hati.
Penanganan individu kelelawar dilakukan dengan dua metode yaitu: metode
mengapit (pinch grip) dan mengenggam (palm grip). Metode mengapit adalah
memegang kelelawar dengan kedua lengan bawah ke belakang menggunakan
ibu jari dan jari tangah. Metode ini baik digunakan pada saat melihat muka,
jenis kelamin.
Metode berikutnya adalah metode menggengam yang dilakukan dengan
menggengam kelelawar pada telapak tangan dengan jari-jari menutupi tubuh
kelelawar agar tubuh kelelawar tidak mudah bergerak. Metode ini umumnya
dilakukan untuk mengukur panjang lengan dan identifikasi jenis
(Prastianingrum, 2008).
Proses identifikasi dilakukan dengan menggunakan buku Bats of Krau
(Kingston, 2006). Panjang lengan bawah (forearm), betis (tibia), telinga
(ear), ekor (tail) di ukur dan dicatat.
3. Pengambilan foto sayap
Pengambilan foto dilakukan untuk mengetahui luas area sayap. Proses
pemoretan sayap kelelawar dilakukan dengan membentangkan sayap
kelelawar pada papan petak ukur dan direkatkan menggunakan isolasi
transparan adalah untuk membantu proses pengukuran dan menghambat
pergerakan dari sayap kelelawar sehingga pada saat pengambilan foto dapat
diperoleh foto yang baik. Gambar yang baik akan diperoleh jika sayap
kelelawar terbentang dengan baik dan maksimal dan tidak ada kerutan di
selaput sayap (Gambar 5). Kerutan pada sayap kelelawar dapat menyebabkan
kesalahan luas ukuran sayap pada saat penghitungan ( Kusuma, 2010).
Gambar 5. Foto sayap kelelawar dengan indikasi dimensi sayap
( Juliana, 2004).
Keterangan
B : Wingspan ( Bentang sayap)
L
AW: Arm-wing length (Panjang lengan sayap)
L
HW :Hand-wing length (Panjang tangan sayap)
A
AW: Arm-wing area ( Luas lengan sayap)
Pada saat pengambilan gambar, di atas sayap yang telah dibentangkan dan
direkatkan pada papan ukur diberi label nama, panjang lengan bawah dan
nomor penangkapan. Label ini berfungsi sebagai penanda sehingga pada saat
pengukuran dan pemberian nama dapat diketahui jenis kelelawar yang diukur.
Pengambilan gambar dilakukan paling lama 12 jam setelah tertangkap, hal ini
bertujuan agar kelelawar tidak mengalami stress ( Kusuma, 2010).
Pada setiap upaya penangkapan diambil satu pasang individu kelelawar dari
setiap jenis yang tertangkap dengan mengambil sampel kelelawar jantan dan
betina setiap spesies yang tertangkap tiap satu kali usaha pengangkapan
(Huang, personal comm., 2010).
Kelelawar yang difoto merupakan kelelawar dewasa dan sedang tidak dalam
masa gestasi. Sebab pada usia anakan pertumbuhan sayap belum maksimal,
dan kelelawar yang dalam masa gestasi tidak dilakukan karena pada saat
pengambilan gambar badan kelelawar harus sedikit ditekan, hal ini
dikhawatirkan dapat mengganggu proses gestasi (Huang, personal comm.,
2010).
4. Proses pengukuran dan analisis
Pengukuran dilakukan menggunakan program Image J. Pengukuran dilakukan
dengan mengatur skala ukuran dari satuan pixel menjadi meter. Pengukuran
dilakukan dengan membentuk garis yang mengikuti sisi tepi sayap kelelawar
dan separuh morfologi tubuh kelelawar (Gambar 6). Dari garis yang saling
terhubung dan membentuk gambar sayap, dilakukan pengukuran dengan
menekan tombol measure yang ada pada Image J maka akan diperoleh luas
A3
A4
A1
L2
L3
A2 L1
A3
A4
A1
L2
L3
A2 L1
Gambar 6. Morfologi sayap kelelawar dikutip dari ( Huang, 2010).
Keterangan :
A :Area yang dihitung
L : Panjang
Paramenters
:
Wing Span= 2*(L1+L2+L3)
Wing area (luas sayap) = 2*(A2+A3+A4)
Length of arm wing (panjang sayap lengan) = L2
Arm Wing Area (luas sayap lengan) = A3
Length of hand wing (panjang sayap tangan) = L3
Menurut Norberg and Rayner (1987) untuk menentukan wing loading adalah
Wing loading
Newton/m
2= M*9.81(m/sec
2)/S
Keterangan
1.
M : berat tubuh
2.
S : luas sayap
Adapun untuk menghitung aspek ratio dapat di peroleh membagi bentang
sayap di bagi oleh luas sayap.
Keterangan
B: Bentang sayap
S: Wing area
Penghitungan Indeks ujung sayap dapat diketahui dengan mengukur
panjang sayap tangan dan panjang lengan sayap. Rumus untuk
menghitung indeks ujung sayap adalah
Wing tip= Ts/(Tl-Ts)
Keterangan
Ts = S
hw/S
awSaw : Luas lengan sayap
Tl = l
hw/l
awLaw : panjang lengan sayap
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Terdapat keanekaragaman luas sayap kelelawar di Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan
2.
Bentuk dan ukuran sayap kelelawar berkaitan dengan habitatnya, sayap
berukuran kecil yang dimiliki kelelawar pemakan serangga umumnya
ditemukan di area yang tertutup seperti hutan primer Way Canguk sementara
sayap berukuran besar yang dimiliki keleawar pemakan buah umumnya
ditemukan di area yang terbuka seperti perkebunan kopi.
3.
Luas sayap dapat membantu proses identifikasi sampai dengan tingkat jenis
4. Terdapat perbedaan hasil pengukuran panjang lengan dan panjang tangan
antar individu dalam spesies yang sama sehingga pada
genus Rhinolopus
dan
Hipposideros
menunjukan nilai indeks nya negatif.
B. Saran
Perlu dilakukan uji lebih lanjut tentang korelasi antar aspek seperti wing loading,
luas sayap, bentang sayap, indeks sayap dan aspek rasio. Selain itu dapat
Judul Skripsi
:
Kajian Jarak Gua Terhadap Keanekaragaman
Kelelawar Pemakan Serangga di Stasiun
Penelitian dan Pelatihan Konservasi Way
Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan
Nama Mahasiswa
:
M. Syaiful Bahri
NPM
: 0617021047
Jurusan / Program Studi : Biologi / S1 Biologi
Fakultas
: Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Menyetujui
,
1. Komisi Pembimbing
Pembimbing 1
Pembimbing 2
Dra. Elly L. Rustiati, M.Sc.
Meyner Nusalawo, S. P.
NIP 196310141989032001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Biologi
FMIPA Unila
Dra. Nuning Nurcahyani, M.Sc.
Tertawa bersama
Meski selalu diiringi oleh kesedihan
Penuh warna
Bila tlah dewasa
Terkadang kita kekanak-kanakan
Selalu berkhayal
Namun melangkah dengan cita - cita yang mulia
Anugerah sang kuasa
Reff :
Kitalah armada masa depan
Yang akan mengukir dunia
Raih semua bintang
Dan tebarkan sinarnya terangi semesta
Takkan dipungkiri
Nanti kita akan menjadi tua
Jangan dibiarkan bergulirnya waktu
Hanyalah memakan usia
Tak jelas tujuannya
Bridge :
Hempaskan ragu dan kegalauan
Gapailah semua angan mimpimu
Cerahnya hari bila tercipta
Maha karya anak manusia
MENGESAHKAN
1.
Tim Penguji
Ketua
:
Nismah Nukmal, Ph.D ...
Sekretaris
:
Meyner Nusalawo, S.P
...
Penguji
Bukan Pembimbing :
Dra. Elly L. Rustiati, M.Sc. ...
2.
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Prof. Suharso, Ph.D
NIP. 196905301995121001
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Morfometri sayap kelelawar di Stasiun Pusat Penelitian
Way Canguk Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
Nama
: Krisantus Unggul Endra Kusuma
NPM
: 0717021045
Jurusan
: Biologi
Fakultas
: Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Waktu Penelitian
: Juli- Oktober 2011
Lokasi Penelitian
: Stasiun Pusat Penelitian dan Pelatihan Way Canguk-
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Dra. Elly L. Rustiati, M.Sc. Meyner Nusalawo, SP
NIP 196310141989032001
Ketua Jurusan Biologi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, 23 Oktober 1988.
Penulis adalah putra bungsu dari lima bersaudara
buah kasih pasangan Bapak Aloysius Sutomo dan
Ibu Maria Alexandra Umi Rahayu. Penulis
menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak
(TK) Hang Tuah Jakarta Selatan pada tahun 1994,
Sekolah Dasar (SD) Negeri 5 Madukoro pada
tahun 2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP) Negeri 6 Kotabumi pada tahun 2003 dan
Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Kotabumi pada tahun 2006.
Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa jurusan Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung melalui jalur
SPMB. Selama menjadi mahasiswa, penulis menjadi pengurus aktif dalam
organisasi kampus Himpunan Mahasiswa Biologi (HIMBIO) sebagai Anggota
Bidang Ekspedisi tahun 2008/2009 dan Kepala Bidang Ekspedisi tahun
2009/2010, serta Ketua Pelaksana Pekan Konservasi Sumber Daya Alam 14
Himbio.
Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum seperti Biologi Umum, Ekologi
Hidupan Liar, Taksonomi Hewan II, Zoologi Vertebrata, Mamalogi, Prilaku
Hewan, Biokonservasi, Pengenalan Laboratorium. Pada tahun 2010 penulis
melaksanakan Kerja Praktik (KP) di Wildlife Conservation Society- Indonesia
Program (WCS-IP) bertempat di Stasiun Pusat Penelitian Way Canguk Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan. Dari kerja praktik hingga menyelesaikan skripsi,
penulis yang berada dibawah penelitian Chun Chia Huang dari Texas Tech
Kupersembahkan karyaku kepada :
Tuhan Yang Maha Esa, Orang tuaku,Kakak-kakakku,Keluarga,
SANWACANA
Segala puji kuhaturkan Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia-Nya yang
telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul
“
Morfometri Sayap kelelawar di Stasiun Pusat Penelitian Way Canguk
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
”.
Dengan terselesaikannya skripsi ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1.
Ibu Dra. Elly L. Rustiati, M.Sc, selaku pembimbing I atas bimbingan,
saran, masukan, kritik dan perhatian yang telah diberikan selama
penyelesaian skripsi
2.
Bapak Meyner Nusalawo S.P dari Wildlife Conservation
Society-Indonesia Program selaku pembimbing II atas saran, kritik dan motivasi
yang telah diberkan selama penyelesaian skripsi
3.
Bapak Drs M. Kanedi M.Si selaku pembahas atas masukan, kritik dan
perhatian yang telah diberikan selama penyelesaian skripsi
4.
Ibu Dra Nuning Nurcahyani, M.Sc selaku Ketua Jurusan Biologi FMIPA
Unila
5.
Bapak Drs. Hendri Busman, M. Biomed selaku Pembimbing Akademik
7.
Joe Chun Chia Huang dari Departement of Biology, Texas Tech
University, Lubbock, USA. atas bantuan, kerja sama, dan bimbingannya.
8.
Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)
beserta staf
9.
Keluarga besar (Alm) Aloysius Sutomo atas doa, pengorbanannya,
ceramah dan nasehat dan segalanya yang telah diberikan kepada penulis
10.
Bat Boys team: M. Syaiful Bahrie, Koko Yustian , Miswandi terima kasih
buat kerja sama, masalah, ketawa, marah, dan memancingnya.
11.
Eka Sulpin Ariyanti atas kebersamaannya selama ini
12.
Keluarga besar Janjiyanto, terima kasih selama kebersamaan selama kerja
praktek dan skripsi
13.
Kanjeng ratu Mba Hesti Prastianingrum S.Si buat suka duka, kebersamaan
dan bimbingannya mengenalkan kelelawar untuk pertama kali pada diri ku
14.
Keluarga besar Way Canguk : Mas Rahman, Mas Jayus, Mas Waryono,
Mba Marmi, Mba Harni, dan lainnya yang tidak dapat disebutkan semua
serta, Pak Bonikan untuk menginap dan makanannya
15.
Tigers team: Mba Dora Yuliana Sari dan Kak Prasastyo G. A buat tawa,
kerja sama dan bimbingannya
16.
Heni Putri S, Muty Dianda S, Suci W. Pawhestri , Ayu Widiastuti, Nina
Triana, Eni Kurniasih , Fentri Paramitha P, Gina Fakhrika , Sara Gustia W,
Pius D. S, Rohman Riyandi, Anjar Harumi, Desi Nurkomariah, Wiwik
Sulistiani, Hertiza Putri, Dita Fitriani, Anton Gusnanto, Nurul Handayani,
Sumber Daya Perairan atas kebersamaan, keceriaan dan
peristiwa-peristiwa tak terduganya
17.
Keluarga besar asrama Perdana : Mba Yana, Abang M. Fadli, Adek
Ilham, Kak Iwan Susanto, Mba Hofany Martha, Firman Galih, Adittya
Haryadi, Maya, Sofie Safitri, Yulis Tiana, Mariam, Mardiah, Emilia, Mia,
Belwan untuk ketawa, ceramah dan bawelnya selama ini.
18.
Keluarga bapak Sarto dan Saiman di Suka Raja, keluarga bapak Samsun
Suka Banjar Danau Ranau atas bantuan selama mengambil data.
19.
Kakak-kakak 2005,2006, dan adik 2008, 2009, 2010,2011 atas canda tawa
dan keceriannya
20.
Dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian
rangkaian
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan segala kebaikan yang telah
dicurahkan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi. Semoga Skripsi ini
dapat bermanfaat bagi semuanya.