• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap sanksi pidana pencemaran air: studi perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2004

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap sanksi pidana pencemaran air: studi perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2004"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

TERHADAP SANKSI PIDANA PENCEMARAN AIR

(Studi Perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2004)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi

Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

MUHAMMAD QOLBI

N I M : 1110045100015

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi

Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

MUHAMMAD QOLBI

N I M : 1110045100015

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/2014 M

(3)
(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu memperoleh gelar strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 18 Desember 2014

(5)

i

ABSTRAK

MUHAMMAD QOLBI. NIM 1110045100015. TINJAUAN HUKUM ISLAM

DAN HUKUM POSITIF TERHADAP SANKSI PIDANA PENCEMARAN AIR

(Studi Perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2004). Program Studi Jinayah Siyasah,

Konsentrasi Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H / 2014 M.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui, menguraikan, menjelaskan dan menganalisa tentang Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Sanksi Pidana Pencemaran Air Dalam Perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2004 Tentang Pengendalian Pencemaran Air. Berdasarkan fenomena yang terjadi ini, penulis ingin menganalisis sanksi pidana yang terdapat dalam PERDA Kota Surabaya No 2 Tahun 2004 tentang pengendalian pencemaran air, dalam perspektif hukum Islam maupun positif. Dan sejauh mana pandangan hukum Islam terhadap tindak pidana pencemaran lingkungan khususnya yang berkenaan dengan air? Sudah sesuaikah sanksi yang diberikan pemerintah terhadap pelaku tindak pidana pencemaran air? Apakah sanksinya telah memenuhi syarat pencegahan dan memberikan efek jera bagi si pelaku?

Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan (Library reaserch). Studi kepustakaan dilakukan dengan menulusuri berbagai literatur, baik berupa undang-undang, buku-buku, majalah, artikel, website, serta kasus yang berhubungan dengan tema penelitian.

Hasil dari penelitian ini untuk menambah khazanah keilmuan bagi pembaca, memberikan wawasan serta keilmuan bagi peneliti, dan memberikan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Kata kunci : Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif Terhadap Sanksi Pidana Pencemaran Air (Studi Perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2004)

Pembimbing : Dr. Hj. Isnawati Rais, MA

(6)

ii

rahman dan maha rahim atas segala ridha dan bimbingan-Nya, petunjuk serta

kesehatan yang telah diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi ini. Tidak lupa penulis curahkan shalawat dan salam kepada

kekasih Allah SWT yaitu, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan

para pengikut-Nya yang setia dan yang kita harapkan syafa’atnya di akhirat nanti.

Skripsi yang berjudul : TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM

POSITIF TERHADAP SANKSI PIDANA PENCEMARAN AIR (STUDI PERDA KOTA SURABAYA NO. 2 TAHUN 2004), disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana strata 1 (S1) Fakultas Syari’ah

Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan

saran-saran dari berbagai pihak, sehingga penyusunan skripsi ini dapat

terselesaikan dengan baik. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Kepada kedua orang tua penulis yang membantu dengan sekuat tenaga dan

pengorbanan serta do’a yang bergema dalam dzikir dan tahajudnya sehingga

penulis dapat menyelesaikan studi strata 1 dengan penuh semangat,

Ayahanda Wahyu Hidayat, dan Ibunda Muhsinah, semoga Allah ampunkan

(7)

iii

2. Bapak Dr. Phil. JM. Muslimin, MA, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Ibu Dra. Hj. Maskufah M.A., Ketua Program Studi Jinayah Siyasah yang

telah memberikan petunjuk, dan nasehat yang berguna bagi penulis selama

perkuliahan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata 1 dengan

sebaik-baiknya.

4. Ibu Hj. Rosdiana, MA., Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang

telah banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam

keperluan berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata 1 dengan

sebaik-baiknya.

5. Ibu Dr. Hj. Isnawati Rais, MA, selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan bimbingan, petunjuk, dan nasehat yang berguna bagi penulis

sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.

6. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang menyalurkan ilmu dan

pengetahuannya secara ikhlas dalam kegiatan belajar mengajar yang penulis

jalani.

7. Teman-teman Program Studi Pidana Islam Angkatan 2010 terima kasih

telah menemani saya selama kuliah dan memberikan inspirasi untuk

berjuang dalam hidup, terutama Sena Rachmadana, W. Agung, Ahmad

Sahuri, dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.

Terima kasih sebanyak-banyaknya yang selalu bersedia menemani penulis

(8)

iv

pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik disisi Allah SWT. Pada

akhirnya semoga setiap bantuan, doa, motivasi yang telah diberikan kepada

penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT.

Jakarta, 30 Desember 2014 8 Rabi’ al-Awwal 2014

(9)

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Tinjauan Pustaka ... 8

E. Metode Penelitian... 11

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SANKSI PIDANA ... 16

A. Tindak Pidana Menurut Hukum Positif ... 16

1. Pengertian Tindak Pidana ... 16

2. Unsur-unsur Tindak Pidana ... 18

3. Pengertian Sanksi Pidana ... 20

4. Macam-macam Sanksi Pidana ... 21

A. Tindak Pidana Menurut Hukum Islam ... 26

1. Pengertian Jarimah ... 26

2. Unsur Jarimah dan Pembagiannya ... 27

3. Pengertian Uqubah ... 34

4. Macam-macam Uqubah ... 35

(10)

vi

B. Sekilas Perda Kota Surabaya ... 48

C. Sanksi Pidana Pencemaran Air ... 51

BAB IV ANALISIS SANKSI PIDANA PENCEMARAN AIR DALAM PERDA KOTA SURABAYA NO.2 TAHUN 2004 ... 57

A. Analisis Hukum Positif Terhadap Sanksi Pidana Pencemaran Air Dalam Perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2004 ... 57

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Sanksi Pidana Pencemaran Air Dalam Perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2004 ... 64

BAB V PENUTUP ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 77

C. Penutup ... 78

(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Air merupakan sumber kebutuhan hidup kita. Selain kita meminumnya

untuk mempertahankan hidup, air juga bermanfaat bagi pertanian dalam hal

pengairan persawahan, dan juga bagi peternakan. Akan tetapi, apa yang terjadi

jika air yang kita konsumsi itu ternyata kotor dan tercemar? Secara otomatis air

tersebut tidak dapat digunakan bukan! Oleh sebab itu kita wajib melindungi dan

mencegah air agar tidak tercemar. Karena pencemaran air dapat menyebabkan

kerusakan dan timbul penyakit bagi makhluk hidup lainnya termasuk manusia.

Jutaan tahun yang lalu manusia hidup tanpa perlu khawatir akan terjadinya

gangguan atau bahaya oleh pencemaran udara, pencemaran air, atau pencemaran

lingkungan yang dipermasalahkan sekarang, karena manusia percaya dan yakin

bahwa alam akan secara otomatis menanggulanginya secara alamiah (life sustaining system).1

Sejak dahulu pemberantasan pencemaran air ternyata tidak mudah. Hal ini

karena kenyataannya kecenderungan mencemarkan air merupakan hal yang

disukai dan dianggap efektif. Selain biaya yang dikeluarkan sangat murah bahkan

tanpa biaya sama sekali, serta lemahnya aturan yang di buat. Ini menjadi

persoalan utama bagi pembuat aturan yang memiliki tanggung jawab sangat besar

1

(12)

dalam melindungi, mencegah dan mengendalikan perairannya dari pencemaran

air. Untuk itu pengaturan hukum lingkungan yang ada harus bersifat terpadu dan

komprehensif dan peran dari penegakan hukum sangatlah penting dalam

mengatasi pelaku pencemaran air untuk menimbulkan efek jera (ultimum remedium) dan efek pencegahan.

Menurut PP No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan

Pengendalian Pencemaran Air, Pencemaran air adalah bercampurnya mahkluk

hidup, zat, energi dan komponen lain ke dalam air dan atau berubahnya tatanan air

oleh kegiatan manusia atau proses alam. Sehingga kualitas air turun sampai ke

tingkat tertentu yang menyebabkan air menjadi kurang atau tidak dapat digunakan

sesuai dengan fungsinya.2

Pencemaran air dapat disebabkan oleh berbagai macam cara, salah satunya

seperti limbah industri yang berbentuk zat cair yang dibuang ke saluran air umum

baik itu disengaja maupun tidak disengaja.3 Akibat hasil dari aktifitas rumah

tangga maupun limbah industri menyebabkan terganggunya ekosistem sungai.

Ikan banyak yang mati, air berubah warna, menimbulkan bau, dan menimbulkan

problem kesehatan manusia lainnya, bahkan kematian.4

Sungai pada umumnya di Indonesia, khususnya di kota besar seperti

Surabaya adalah penyedia bahan baku air minum yang diselenggarakan oleh

Perusahaan Air Minum Daerah. Sehingga bila sungai tercemar, maka akan

2

.Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153.

3

. Dhoni Yusra, Kebijakan Penentuan Kualitas Air Serta Sanksi Bagi Pelaku Pencemaran Dan Tanggung Jawab Negara Mengantisipasi Pencemaran Air, (Jakarta: Universitas Esa Unggul, t.t.), h. 1.

4

(13)

3

berdampak langsung pada kehidupan manusia. Oleh karena itu harus di lakukan

upaya-upaya pembatasan pembuangan limbah, cara membersihkan perairan dari

limbah, sanksi yang diberikan bagi poluter, memastikan tindakan itu tidak

diulangi serta membayar biaya pembersihan, dan juga memberikan kompensansi

bagi pihak-pihak yang dirugikan akibat pencemaran tersebut.5

Menurut Pasal 21 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, untuk

mengendalikan pencemaran air, pemerintah harus menetapkan baku mutu air

limbah nasional yang ditetapkan dengan keputusan menteri dengan

memperhatikan saran masukan dari instansi terkait. Sementara itu baku mutu air

limbah daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi dengan ketentuan

yang sama atau boleh lebih ketat dari baku mutu air limbah nasional.

Semenjak UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah telah diubah

menjadi UU No. 32 tahun 2004, maka pengaturan tentang lingkungan hidup telah

mengalami perubahan. Otonomi daerah khususnya dibidang lingkungan hidup

telah di atur dalam Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan

pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi. Diantaranya

terdapat pada pasal 2 ayat 3 (butir 18) yang menyangkut bidang lingkungan hidup

yaitu :

1. Penetapan pedoman sumber daya alam dan pelestarian fungsi

lingkungan.

2. Penetapan baku mutu lingkungan dan penerapan pedoman tentang

pencemaranlingkungan.

5

(14)

3. Pedoman tentang konservasi sumber daya alam.6

Pencemaran air merupakan salah satu permasalahan lingkungan hidup yang

di alami Kota Surabaya sebagai dampak dari berbagai aktivitas kota metropolitan

yang semakin meningkat. Oleh karena itu di keluarkanlah Perda Kota Surabaya

No. 2 Tahun 2004 tentang Pengendalian Pencemaran Air yang dirancang untuk

untuk menjamin kualitas air, mencegah terjadinya pencemaran air, mengawasi

serta memberikan sanksi tegas bagi pelaku tindak pidana pencemaran air di Kota

Surabaya.7

Dalam Perda Kota Surabaya No 2 tahun 2004 pasal 32 menjelaskan, barang

siapa yang melakukan tindak pidana pencemaran air maka akan diancam dengan

sanksi pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak

Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan kemudian dalam pasal 33 menjelaskan,

barang siapa yang melakukan tindak pidana pencemaran air atau mengakibatkan

orang lain mati atau luka, maka dapat dikenakan ketentuan pidana sebagaimana

diatur dalam perundang-undangan yang berlaku.8

Seperti dalam ketentuan pidana di atas berarti mengikat, meliputi semua

orang dan badan hukum yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang

mengakibatkan pencemaran air, mengganggu upaya pencegahan dan pengurangan

resiko dampak pencemaran air atau karena kelalaiannya dikenakan suatu ancaman

pidana yang telah ditentukan. Sebagaimana negara menjamin hak atas air demi

terciptanya air bersih untuk semua masyarakat, serta adanya ancaman hukuman

6

. Supriadi, Hukum Lingkungan Indonesia sebuah pengantar, cet pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 175.

7

. http//lh.surabaya.go.id/welbh/pencemaran

8

(15)

5

dan pertanggung jawaban terhadap pelaku tindak pidana pencemaran air sebagai

bentuk penegakan hukum terhadap lingkungan.

Sanksi pidana diberikan kepada pelaku tindak pidana agar mencegah

timbulnya tindak pidana pencemaran air juga memberikan efek jera kepada pelaku

untuk berbuat hal yang serupa.

Sebelum persoalan-persoalan lingkungan hidup muncul, Islam telah lebih

dahulu mengatur tentang lingkungan hidup lewat ayat-ayat Al-Qur'an. Urusan

lingkungan hidup adalah bagian integral dari ajaran Islam. Oleh sebab itu kita

sebagai manusia yang menempati kedudukan strategis sebagai khalifah di bumi

ini, diberi tugas oleh Allah untuk menjaga seluruh ciptaanNya, salah satunya

adalah air, sebagaimana yang dijelaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 30.

Pada hakekatnya, air adalah kekayaan yang mahal dan berharga. Allah SWT

menyediakannya di laut, sungai, bahkan hujan secara gratis, akan tetapi manusia

seringkali tidak menghargai air sebagaimana mestinya.

Jika makhluk hidup terutama manusia tidak bisa hidup tanpa air, sementara

kuantitas air terbatas, maka manusia wajib menyadari untuk menjaga dan

melestarikan kekayaan yang amat berharga ini. Jangan sekali-kali melakukan

tindakan-tindakan yang bisa merusak air itu sendiri, yaitu dengan cara mengotori

atau mencemari sumber air. Rasululullah SAW bersabda :

(16)

Artinya :"Janganlah salah seorang dari kalian kencing di air yang diam yang tidak mengalir, kemudian mandi disana".9(HR. Bukhari)

Islam sangat mengatur tentang prinsip ketaatan pada setiap aturan

pemerintah, terutama jika aturan tersebut untuk kemaslahatan umum, semua

masyarakat wajib mentaati tanpa terkecuali. Pemerintah menerapkan aturan

tentang pengendalian pencemaran air tentu demi kepentingan masyarakat

(maslahat al-’ammah), karena selain demi mengantisipasi kesehatan masyarakat, hal itu secara umum merupakan kepedulian pemerintah akan lingkungan hidup.10

Pencemaran air dikategorikan sebagai jarimahta’zir, karena pencemaran air termasuk jarimah yang bentuk atau macamnya, serta hukumnya diserahkan kepada manusia (Ulil Amri), syara’ hanya memberikan ketentuan-ketentuan yang

bersifat umum saja, dan pencemaran air merupakan jarimah yang dapat berubah-ubah menurut keadaan dan waktu.11 Walaupun tidak terdapat sanksi dalam bentuk

nash qoth’i mengenai hukumannya, bukan berarti tidak adanya sanksi bagi pelaku

pencemaran air. Adapun pelaku yang melakukan pencemaran air dapat dihukum

sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, adapun sanksinya dapat berupa

9

. Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari (Syarah Shahih Bukhari), Penerjemah Amiruddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h. 346.

10

. Ahsin Sakho Muhammad, dkk., Fiqh Lingkungan, (Jakarta: Conservation International Indonesia, 2006), h. 44.

11

(17)

7

sanksi pidana maupun sanksi administrasi yang sesuai dengan tingkat

kejahatannya.12

Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis akan menganalisis

mengenai permasalahan dari tindak pidana pencemaran air ini, sehingga timbul

sanksi pidana dalam suatu pelanggaran atau kejahatan menurut hukum positif

maupun hukum Islam ke dalam skripsi penulis yang berjudul :

“TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP

SANKSI PIDANA PENCEMARAN AIR (STUDI PERDA KOTA

SURABAYA NO. 2 TAHUN 2004)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan di dalam latar belakang

masalah, penulis menjelaskan alasan-alasan mengapa tindak pidana pencemaran

air ini perlu mengkaji lebih mendalam, dan penulis merumuskannya sebagai

berikut:

1. Bagaimana pandangan hukum positif terhadap sanksi pidana dalam PERDA

Kota Surabaya No 2 Tahun 2004 tentang pengendalian pencemaran air?

2. Bagaimana pandangan hukum pidana islam terhadap sanksi pidana dalam

PERDA Kota Surabaya No 2 Tahun 2004 tentang pengendalian pencemaran

air?

C. Tujuan Penelitian

12

(18)

Tujuan penelitian ini di maksudkan :

1. Untuk mengkaji pandangan hukum positif terhadap sanksi pidana dalam

peraturan daerah ( PERDA ) Kota Surabaya no 2 tahun 2004 tentang

pengendalian pencemaran air.

2. Untuk mengkaji pandangan hukum Islam terhadap tindak pidana

pencemaran air dalam PERDA Kota Surabaya no 2 tahun 2004 tentang

pengendalian pencemaran air.

D. Tinjauan Pustaka

Telah banyak kajian-kajian tentang tinjauan hukum Islam terhadap

Peraturan Daerah, baik dalam bentuk skripsi, tesis maupun disertasi. Namun

kajian yang secara khusus dan menyeluruh untuk mengkaji tentang “Tinjauan

Hukum Pidana Islam Terhadap Sanksi Pidana Pencemaran Air Dalam Perda Kota

Surabaya No. 2 Tahun 2004 Tentang Pengendalian Pencemaran Air” dalam

pengetahuan penulis belumlah ada.. Adapun hasil penelitian terdahulu yang

menunjang penelitian ini adalah :

Skripsi yang berjudul “Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Pencemaran Dan

Perusakan Lingkungan Hidup Menurut Hukum Islam Dan UU No 32 Tahun

2009” yang ditulis oleh Ahmad Faqih Syarafaddin Mahasiswa Syari’ah UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta 2011, menjelaskan tentang tindak pidana perusakan

lingkungan menurut hukum Islam dan menurut undang-undang dan juga sanksi

(19)

9

Skripsi yang berjudul “Pencemaran Lingkungan Sebagai Tindak Pidana

Dalam Keputusan Muktamar NU Ke-29 (Nomor : 02/MNU-29/1994)” yang di

tulis oleh Akhmad Kholishudin Mahasiswa Syari’ah IAIN Walisongo 2012,

dalam skripsi tersebut ia bermaksud untuk mengetahui keputusan Muktamar NU

ke 29 tentang pencemaran lingkungan dan sejauh manakah Istinbath hukum yang

digunakan NU dalam keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama tentang Pencemaran

lingkungan, bahwasanya pertama pencemaran lingkungan dianggap sebagai

perbuatan jarimah karena pencemaran lingkungan memenuhi ketiga unsur-unsur

umum jarimah apabila perbuatan akan dikelompokkan kedalam jarimah. Kedua,

pencemaran lingkungan sebagai jarimah ta’zir karena pencemaran lingkungan

termasuk jarimah yang bentuk atau macamnya, dan hukumnya diserahkan

kepada manusia, syara’ hanya memberikan ketentuan-ketentuan yang bersifat

umum saja, dan pencemaran lingkungan merupakan jarimah yang dapat

berubah-ubah menurut keadaan dan waktu. Walaupun tidak terdapat sanksi dalam bentuk

nash qoth’i mengenai hukumannya, bukan berarti tidak adanya sanksi bagi pelaku

pencemaran lingkungan. Adapun pelaku yang melakukan pencemaran lingkungan

dapat dihukum sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, adapun sanksinya

berupa pidana penjara ataupun denda sesuai dengan tingkat kejahatannya

Di samping itu ada juga skripsi yang membahas mengenai “Tinjauan Fiqih

Lingkungan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Sumber Daya Air” (Studi Analisis

Pasal 94 ayat 1 no 7 tahun 2004 tentang SDA ) oleh Imrotun Mahasiswa Syari’ah

IAIN Walisongo 2006, ini dengan pertimbangan kepentingan umum yang

(20)

bangsa dan negara dari jeratan hukum dari kerusakan lingkungan khususnya air

yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat, maka dalam kesimpulan

skripsinya dalam perspektif fiqh lingkungan status hukum pelestarian lingkungan

hukumnya wajib dan pencemaran lingkungan merupakan tindak pidana, dan

kewenangan Pemerintah (Ulil Amri) untuk sanksi pidana, ketentuan pidana UU

No 7 tahun 2004 sesuai dengan Maqasidus syari’ah karena dapat mengancam

jiwa, akal, dan daya survive manusia dan makhluk yang lain.

Dalam skripsi ini fokus kajian yang akan diteliti yaitu, meneliti secara

umum aspek-aspek pidana dalam PERDA Kota Surabaya No 2 tahun 2004

tentang pengendalian pencemaran air, yakni mengenai bentuk pidana berdasarkan

hukum Islam maupun hukum positif sesuai dengan ketentuan dalam PERDA Kota

Surabaya No 2 tahun 2004 tentang pengendalian pencemaran air. Semoga

penelitian ini dapat dijadikan pengalaman atau tambahan referensi berfikir dan

berwacana dalam kasus-kasus yang sama, tentunya dalam hal yang berkaitan

dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, terkhusus dalam bidang

sumber daya air dan konservasi air demi kebutuhan dan kelangsungan hidup

manusia dan ekosistemnya. Pemusatan perhatian ini dilakukan karena melihat

(21)

11

E. Metode Penelitian

Metodologi penelitian adalah suatu cara atau jalan yang ditempuh dalam

mencari, menggali, mengolah dan membahas data dalam suatu penelitian, untuk

memperoleh kembali pemecahan terhadap permasalahan.13

Untuk mendapatkan data dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan

metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analistis yaitu

menggambarkan dan memaparkan secara sistematis tentang apa yang menjadi

objek penelitian dan kemudian dilakukan analisis. Pendekatan yang digunakan

adalah pendekatan normatif dan pendekatan analistis

1. Teknik pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan studi pustaka (library research) yang

objek utamanya berupa buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan,

norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, majalah, surat

kabar, hasil seminar dan sumber lainnya yang berkaitan secara langsung

dengan obyek yang diteliti.

a. Sumber Data Primer

Merupakan data-data yang diperoleh dari sumber aslinya, memuat

segala keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini.

Sumber-sumber data tersebut berupa Perundang-undangan yang membahas

mengenai, Al-Quran dan As-Sunnah dan juga buku-buku yang membahas

tentang Tindak Pidana Pencemaran Air.

13

(22)

b. Sumber Data Sekunder

Merupakan data-data yang memberikan penjelasan mengenai

bahan-bahan primer yang diambil dari sumber-sumber tambahan-bahan yang memuat

segala keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini, antara

lain informasi yang relevan, artikel, buletin, atau karya ilmiah para sarjana.

2. Teknik Analisis Data

Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan penulis menggunakan

teknik kualitatif. Yang dimaksud dengan teknik kualitatif yaitu metode yang

bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu gejala suatu

masyarakat tertentu. Yakni dengan mengumpulkan dan menganalisa

data-data yang diperoleh dan faktor-faktor yang merupakan pendukung dan

relevan terhadap objek yang diteliti sehingga dapat ditarik kesimpulan dari

hal yang dijadikan objek penelitian.

Data yang diklarifikasikan maupun dianalisa untuk mempermudah

dan menghadapkan pada pemecahan masalah. Adapun metode analisis data

yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode analisis isi secara

kualitatif. Dalam analisis ini, semua data yang dianalisis adalah berupa teks.

Analisis isi kualitatif digunakan untuk menemukan, mengidentifikasi, dan

menganalisa teks atas dokumen untuk memahami, signifikasi dan relevansi

(23)

13

F. Sistematika Penulisan

Sebagai pertimbangan dalam mempermudah penulisan skripsi saya ini,

penulis menyusun dengan menggunakan sistematika penulisan yang disesuaikan

dengan buku pedoman penulisan skripsi tahun 2012. Skripsi ini terdiri dari lima

bab, dimana pada setiap babnya dibagi atas sub-sub bab, dengan penjelasan yang

terinci, agar memudahkan pembaca. Berdasarkan pada materi skripsi yang penulis

bahas, sistematika penyusunan skripsi ini terbagi sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan yang meliputi, latar belakang penelitian, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan pustaka,

metode penelitian, lokasi penelitian serta diakhiri dengan penjelasan mengenai

sistematika penelitian dan dalam bab pertama ini menggambarkan isi penelitian

dan latar belakang yang menjadi pedoman dalam bab-bab selanjutnya.

Bab II : Tentang pemaparan mengenai teori-teori tindak pidana yang meliputi

tindak pidana menurut hukum positif dan menurut hukum Islam, dan lebih

mengedepankan masalah ta’zir.

Bab III : Sanksi pidana dalam PERDA Kota Surabaya No 2 tahun 2004 tentang

pencemaran air yang meliputi ; Pencemaran air di Kota Surabaya, latar belakang

penyusunan PERDA Kota Surabaya No 2 Tahun 2004 Tentang Pencemaran Air,

kemudian sumber hukum PERDA Kota Surabaya No 2 tahun 2004 tentang

pengendalian pencemaran air, dan ketentuan sanksi pidana dalam PERDA Kota

(24)

Bab IV: Analisis sanksi pidana positif dan hukum Islam terhadap sanksi pidana

dalam PERDA Kota Surabaya No.2 tahun 2004 tentang pengendalian pencemaran

air

Bab V : Penutup yang berisi kesimpulan-kesimpulan penelitian dari awal sampai

akhir, juga terdiri dari saran-saran penulis tentang persoalan yang diangkat dalam

(25)

15

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA

A. Tindak Pidana Menurut Hukum Positif

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana dalam bahasa Latin, yakni delictum. Dalam bahasa Jerman disebut delict, dalam bahasa Perancis disebut delit, dan dalam bahasa Belanda disebut strafbaar feit atau delict.14 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut.

“Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan

pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana.”15

Mengenai “delik” dalam arti starfbaar feit, para pakar hukum pidana masing-masing member definisi sebagai berikut :

1. Vos : Delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum berdasarkan undang-undang.

2. Van Hamel : Delik adalah suatu serangan atau ancaman terhadap

hak-hak orang lain.

3. Prof. Simons : Delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang

telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang

14

. Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cet V, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 7.

15

(26)

yang tindakannya tersebut dapat dipertanggung jawabkan dan oleh

undang-undang telah dinyatakan sebagi suatu perbuatan yang dapat

dihukum.16

Di dalam buku-buku maupun di dalam peraturan-peraturan tertulis,

ada beberapa istilah lain yang dipakai dari bahasa Indonesia sebagai

terjemahannya, seperti :

1) Peristiwa pidana;

2) Perbuatan pidana;

3) Pelanggaran pidana;

4) Perbuatan yang dapat dihukum; dan

5) Perbuatan yang boleh dihukum

Jadi, terjemahan strafbaar feit atau delict di dalam bahasa Indonesia terdapat enam istilah, termasuk istilah tindak pidana.17

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

strafbaar feit atau delict dapat kita pahami sebagai suatu tindak pidana, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, atau perbuatan pidana yang dapat

dipidana atau dikenakan hukuman.

2. Unsur-unsur tindak pidana

Supaya maksud dari unsur-unsur tindak pidana dapat dipahami, maka

akan diberikan ilustrasi sebagai berikut. Kata “pencemaran” terdiri atas

huruf: p, e, n, c, e, m, a, r, a, dan n. Jika salah satu huruf di buang maka kata

tersebut tidak akan sempurna, bahkan bisa jadi kata”encemaran” atau

16

. Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, h. 8.

17

(27)

17

“pencemar” dan sebagainya; yang jelas jika salah satu huruf tidak ada, arti

dan maksudnya pun akan berbeda. Artinya, kata “pencemaran” terdiri dari

10 (sepuluh) huruf. Tiap huruf merupakan unsur dari kata ”pencemaran”.

Demikian halnya jika diformulasikan kepada “hakikat tindak pidana”, jika

salah satu unsur tindak pidana tidak terpenuhi, maka tidak dapat disebut

sebagai tindak pidana.18

Terdapat 11 unsur tindak pidana yang tercantum di dalam KUHP,

yaitu :

1) Unsur tingkah laku;

2) Unsur melawan hukum;

3) Unsur kesalahan;

4) Unsur akibat konstitutif;

5) Unsur keadaan yang menyertai;

6) Unsur syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana;

7) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;

8) Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana;

9) Unsur objek hukum tindak pidana;

10) Unsur kualitas objek hukum tindak pidana;

11) Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.19

Menurut pandangan Moeljatno dan Roeslan Saleh yang dikutip dalam

buku Dasar-dasar Hukum Pidana karangan Mahrus Ali, ketika dikatakan bahwa perbuatan pidana (tindak pidana) adalah perbuatan yang dilarang dan

18

. Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, h. 8.

19

(28)

diancam dengan pidana bagi siapa saja yang melakukannya, maka

unsur-unsur perbuatan pidana meliputi beberapa hal. Pertama, perbuatan itu berwujud suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang berakibat pada

timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum. Kedua,

kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum

baik yang bersifat formil maupun materiil. Ketiga, adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang

dilarang oleh hukum.20

Dalam praktiknya, untuk memidanakan seseorang yang di dakwakan

telah melakukan suatu tindak pidana, maka unsur-unsur yang terdapat dalam

tindak pidana tersebut harus terpenuhi. Akan tetapi, apabila yang

didakwakan adalah tindak pidana yang dalam rumusannya terdapat

unsur-unsur kesalahan dan atau melawan hukum, maka unsur-unsur tersebut juga

terdapat dalam diri si pelaku, dan harus dibuktikan kebenarannya.

3. Pengertian Sanksi Pidana

Kata sanksi berasal dari Bahasa Belanda yaitu “Sanc’tie” yang artinya

alat pemaksa sebagai hukuman jika tidak taat pada perjanjian.21 Dalam

kamus Bahasa Indonesia, sanksi berarti tanggungan (tindakan-tindakan,

hukuman) untuk memaksa seseorang menepati perjanjian atau mentaati

ketentuan undang-undang. Sedangkan kata pidana berasal dari berasal dari

20

. Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Cet 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 100.

21

(29)

19

bahasa sanksekerta dalam bahasa Belanda disebut “straf” dan dalam bahasa

Inggris disebut “penalty” artinya hukuman.26

Dari beberapa definisi yang dipaparkan di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa sanksi pidana adalah tindakan atau hukuman yang

dijatukan karena adanya pelanggaran atau perbuatan kejahatan sebagai

akibat hukum untuk menjamin ditaatinya suatu norma yang terdapat di

dalam masyarakat. Sanksi pidana dari segi tujuan penerapannya dapat

dibenarkan dengan alasan yang dikemukakan sebagai berikut:

a. Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau tindakan yang tidak

dikehendaki atau tindakan yang salah;

b. Untuk memberikan balasan yang setimpal dan layak sesuai

tindakan pelaku tindak pidana

Karena itu, hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang pelaku

sebagai akibat tindak pidana yang dilakukannya membuat sadar dari

kesalahan dan tidak mengulang tindakan yang bertentangan dengan

hukum.22

4. Macam-Macam Sanksi Pidana

Menurut hukum positif, ketentuan pidana tercantun dalam pasal 10

kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), di mana dibedakan pidana

pokok dan pidana tambahan. Yaitu:

1) Hukuman Pokok

22

(30)

Yaitu hukuman yang dijatuhkan bersama-sama pidana tambahan, dan

dapat juga dijatuhkan sendiri.

Macam-macam hukuman pokok adalah:

a. Hukuman Mati

Hukuman mati masih tetap dipertahankan di Indonesia, walaupun sejak

tahun 1870 hukuman mati telah dihapuskan dari KUHP Nederland. Tujuan

menjatuhkan dan menjalankan hukuman mati selalu diarahkan kepada

khalayak ramai agar mereka dengan ancaman hukuman mati, akan takut

melakukan perbuatan-perbuatan kejam yang akan mengakibatkan mereka

dihukum mati. Karena inilah pada zaman dahulu hukuman mati

diberlakukan.23

b. Hukuman Penjara

Hukuman penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan

kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam

bentuk pidana penjara saja, tetapi juga berupa pengasingan. Jadi, dapat

dikatakan bahwa pidana penjara merupakan bentuk utama dan umum dari

pidana kehilangan kemerdekaan.24

c. Hukuman Kurungan

23

. Wirdjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2009), cet. Ke-3, h. 175

24

(31)

21

Jenis hukuman kurungan sifatnya mirip dengan hukuman penjara, yakni

sama-sama menghilangkan kemedekaan seseorang, namun dengan

perbedaan yang di antaranya sebagai berikut:25

Pertama, hukuman penjara diancamkan terhadap kejahatan berat, sedangkan hukuman kurungan diancamkan sebagai hukuman alternatif.

Kedua, hukuman penjara dapat dijalankan dalam penjara di mana saja, sedangkan hukuman kurungan dengan semuanya terpidana tidak dapat

dijalankan di luar daerah, di mana ia bertempat tinggal atau berdiam waktu

pidana itu dijatuhkan.

Ketiga, orang yang dihukum dengan pidana penjara pekerjaannya lebih berat daripada orang yang dihukum dengan pidana kurungan; tempo bekerja

tiap-tiap hari bagi pidana penjara selama 9 jam dan kurungan hanya 8 jam.

Keempat, orang yang dihukum pidana kurungan mempunyai hak

“pistole”, yaitu hak untuk memperbaiki keadaannya dalam rumah penjara

atau ongkos sendiri, sedang yang dihukum penjara tidak.

d. Hukuman Denda

Hukuman denda merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua daripada

penjara. Hukuman denda adalah hukuman yang tertuju kepada harta

seseorang.

2) Hukuman Tambahan

25

(32)

Melihat namanya, sudah nyata bahwa pidana tambahan ini hanya

bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Pidana tambahan

disebut dalam Pasal 10 KUHP pada bagian b, yang terdiri dari:

a. Pencabutan Hak-Hak tertentu

Yang dapat dicabut itu hanya hak-hak tetentu saja, artinya orang tidak

mungkin akan dijatuhi pencabutan semua haknya, karena dengan demikian

itu ia tidak akan dapat hidup. Pasal 35 KUHP menentukan hak si bersalah

yang boleh dicabut dalam putusan hakim dalam hal yang ditentukan dalam

undang-undang adalah:

a) Hak untuk menjabat segala jabatan atau jabatan yang tertentu. Yang

dimaksud dari jabatan adalah tugas pada negara atau bagian dari

negara;

b) Hak untuk masuk kekuasaan angkatan bersenjata. Yang masuk

kekuasaan angkatan bersenjata adalah tentara dan pewajib tentara

baik Angkatan Darat, Angkatan Laut, Udara, Maupun Kepolisian

Negara;

c) Hak dipilih dan memilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan

aturan-aturan umum atau berdasarkan undangundang;

d) Hak menjadi penasehat, wali, pengampu, atau pengampu pengawas

atas orang yang bukan anakya;

e) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau

(33)

23

f) Hak untuk melakukan pekerjaan yang tertentu, artinya segala

pekerjaan yang bukan pegawai negeri, jadi pekerjaan partikulir,

seperti dagang, sopir, dan lain-lain.26

Adapun jangka waktu pencabutan hak tersebut di atas terikat oleh

jangka waktu tertentu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38 KUHP,

yaitu:

a) Dalam hal orang dihukum mati atau penjara semur hidup, maka

jangka waktu pencabutan hak-hak tersebut adalah selama

hidupnya;

b) Sekurang-kurangnya dua tahun atau setinggi-tingginya lima tahun

lebih. Jika hukuman yang dijatuhkan itu adalah hukuman penjara

atau hukuman kurungan;

c) Dalam hal denda, selama sedikit-dikitnya dua tahun dan

selama-lamanya lima tahun.33

b. Perampasan barang-barang tertentu

Pidana ini dapat dijatuhkan apabila ancaman pidana penjara tidak

lebih dari tujuh tahun atau jika terpidana hanya dikenakan tindakan.

Adapun barang-barang yang dapat dirampas adalah:

a) Barang milik terpidana atau orang lain yang seluruhnya atau

sebagian besar diperoleh dari tindak pidana;

b) Barang yang ada hubungannya dengan terwujudnya tindak

pidana;

26

(34)

c) Barang yang dipergunakan untuk mewujudkan atau

mempersiapkan tindak pidana;

d) Barang yang dipergunakan untuk menghalang-halangi

penyidikan tindak pidana; atau

e) Barang yang dibuat atau diperuntukkan bagi terwujudnya tindak

pidana.27

c. Pengumuman putusan hakim

Pada hakikatnya semua putusan hakim itu senantiasa telah

diucapkan di muka umum, akan tetapi bila dianggap perlu, di

samping itu sebagai pidana tambahan, putusan tersebut akan

disiarkan sejelasjelasnya melalui cara yang akan ditentukan oleh

hakim. Seperti melalui siaran televisi, radio, surat kabar dan

sebagainya. Pengumuman ini dilakukan penuntut umum, dan biaya

pengumuman menjadi tanggungan terhukum.

B. Tindak Pidana Menurut Hukum Islam

1. Pengertian Jarimah

Kata Jarimah berasal dari bahasa Arab yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti kejahatan, berbuat dosa, berbuat salah, atau

perbuatan yang diancam hukuman (delik).28 Menurut istilah yang di

ungkapkan oleh Imam Al-Mawardi sebagai berikut :

جلا

ئا

م

م

ْح

ظ

ْر

ا

ش

ْ

ع

ّ

ج

ها

ت

ع

لا

ع ى

ْن

ب ا

ح

ّ

ا

ْ

تْع

ْي

27

. Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet. Ke-2, h.22

28

(35)

25

Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.29

Pada kata Mahzhuuraat terdapat definisi yaitu, perbuatan yang dilarang baik berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang maupun

meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Pada kata Syar’iyah terdapat

makna bahwa suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah apabila

perbuatan itu dilarang oleh syara’ dan diancam dengan hukuman. Dan

kemudian pada kata Had terdapat dua arti, arti umum dan arti khusus. Pada arti umum Had meliputi semua hukuman yang telah ditentukan oleh syara’,

baik yang berkenaan dengan hak Allah maupun hak individu. Dalam arti

khususnya, Had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan

merupakan hak Allah, seperti hukuman potong tangan untuk jarimah

pencurian.30

Dari pengertian jarimah menurut syara’ tersebut, hampir sesuai

dengan pengertian hukum pidana menurut hukum positif. Istilah jarimah

dalam hukum positif diartikan sering diartikan sebagai peristiwa pidana,

perbuatan pidana, tindak pidana, atau delik. Dalam hukum pidana positif,

suatu perbuatan akan dianggap sebagai tindak pidana, apabila perbuatan

tersebut bertentangan dengan undang-undang dan terdapat ancaman

hukuman di dalamnya. Apabila perbuatan tersebut tidak bertentangan

29

. Al- Mawardi, Al-Ahkam As Sulthaniyah, Cet III, (Mesir, Maktabah Musthafa Al Baby Al Halaby, 1973), h. 219.

30

[image:35.595.108.526.158.546.2]
(36)

dengan hukum dan tidak terdapat ancaman hukuman di dalamnya, maka

perbuatan tersebut tidak dapat dianggap sebagai tindak pidana.31

2. Unsur Jarimah dan Pembagiannya

Seseorang dapat dikatakan terpidana apabila terpenuhinya semua

unsur tindak pidananya. Dalam hukum pidana Islam terdapat

unsur-unsur jarimah secara umum yang harus terpenuhi ketika menetapkan suatu perbuatan jarimah, diantaranya ialah:

a. Unsur Formal, yaitu adanya nash yang melarang perbuatan dan

diancam hukuman terhadapnya.

b. Unsur Material, yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik perbuatan-perbuatan nyata maupun sikap tidak berbuat.

c. Unsur Moral, yaitu mukallaf atau orang yang dapat dimintai

pertanggung jawaban terhadap jarimah yang dilakukannya.32

Semua unsur-unsur tersebut harus terpehuhi ketika menentukan suatu

perbuatan untuk digolongkan kepada jarimah. Disamping unsur-unsur umum tersebut, jarimah juga mempunyai unsur-unsur yang dipenuhi yaitu unsur khusus jarimah. Misalnya suatu perbuatan dikatakan pencurian jika barang yang dicuri minimal bernilai ¼ (seperempat) dinar, dilakukan

dengan diam-diam dan benda tersebut disimpan dalam tempat yang pantas.

Jika tidak memenuhi ketentuan tersebut, seperti barang tidak berada dalam

tempat yang tidak pantas, nilainya kurang dari ¼ (seperempat) dinar atau

dilakukan secara terang-terangan. Meskipun memenuhi unsur-unsur

31

. Ibid, h. 10.

32

(37)

27

umum,tetapi tidak bisa dikategorikan pencurian yang dikenakan hukuman

potong tangan seperti dalam ketentuan nash Al Qur’an. Pelakunya hanya

terkena hukuman ta’zir yang ditetapkan oleh penguasa.

Ditinjau dari segi berat dan ringannya hukuman, jarimah dapat dibagi menjadi tiga bagian antara lain :

a. Jarimah hudud

b. Jarimah qishash diyat

c. Jarimah ta’zir

a) Jarimah hudud

Kata hudud berasal dari bahasa Arab yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti hukuman, larangan-larangan, peraturan-peraturan.33

Adapun secara terminologi ialah hukuman yang batasannya telah ditentukan

oleh syara’ dan menjadi hak Allah (menyangkut hak masyarakat). Dalam

pengertian hak Allah di sini adalah hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan

oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh

masyarakat yang diwakili oleh negara.34

Al-Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa hudud yaitu, sanksi-sanksi yang

dapat mencegah pelaku dari tindakan mengulang pelanggaran. Adapun arti

kata had mengacu kepada arti pelanggaran.35 Sebagaimana firman Allah

Surat Al-Baqarah 2 : 187 yang berbunyi :

…….



33

. Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir; Arab-Indonesia, h. 243.

34

. Ibid, h. 18.

35

(38)

“Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya...”

Namun demikian, jika kita amati dari semua definisi hudud di atas,

pada intinya sama, yaitu sanksi, ancaman atau hukuman yang telah di

tentukan secara jelas di dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Jika ditinjau dari segi materi jarimah, tindakan jarimah yang wajib dihukum had terbagi menjadi tujuh, yaitu hudud atas jarimah zina, qadzaf, meminum minuman keras, pemberontakan, murtad, pencurian, dan

perampokan.36

Dengan demikian ciri khas dari jarimah hudud ialah. Pertama,

hukumannya sudah ditentukan dan terbatas, artinya hukumannya telah

ditentukan oleh nash dan tidak ada batas minimal dan maksimal. Kedua,

hukuman tersebut merupakan hak Allah semata, atau jika ada hak manusia

di samping hak Allah maka hak Allah-lah yang harus didahulukan.37

b) Jarimah qishash diyat

Menurut Bahasa, qisas adalah bentuk masdar yang berarti memotong.

Adapun menurut istilah qisas adalah, memberikan sanksi kepada pelaku

persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut kepada korban.

Dengan demikian nyawa pelaku pembunuhan dapat dihilangkan karena ia

pernah menghilangkan nyawa korban atau pelaku penganiyaan boleh

dianiaya karena ia pernah menganiaya korban.38

36

. M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 17.

37

. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, h. 17.

38

(39)

29

Jarimah qishash dan diyat adalah jarimah yang di ancam dengan hukuman qishash atau diyat. Qishash dan diyat merupakan hukuman yang

sudah ditentukan oleh syara’. Adapun perbedaannya dengan hukuman had

adalah bahwa had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan

qishash dan diyat adalah hak manusia (individu). Dengan demikian, maka ciri khas dari jarimah qishash dan diyat ini adalah. Pertama, hukumannya sudah ditentukan dan terbatas, artinya sudah ditentukan oleh nash dan tidak

di tentukan batasan minimal atau maksimal. Kedua, hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), artinya korban atau keluarganya

berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku.39

Dalam fiqh jinayah, terdapat dua macam qishash, yaitu : a. Qishash terhadap jarimah pembunuhan.

b. Qishash terhadap jarimah penganiayaan.

Sanksi qishash berlaku ketika kejahatan dilakukan secara sengaja dan keluarga korban tidak memaafkan pelaku. Apabila keluarga korban

memaafkan, maka akan beralih menjadi hukuman diyat. Diyat (ganti tugi) merupakan hukuman pengganti yang dikenakan kepada pelaku jika tidak

terpenuhinya syarat daripada hukuman qishash dan diberikan kepada keluarga korban. Dengan demikian tidak semua pelaku tindak pidana

pembunuhan pasti diancam dengan qishash.

Al-Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah berpendapat bahwa diyat

adalah sejumlah harta yang di bebankan kepada pelaku, karena terjadinya

39

(40)

tindak pidana (pembunuhan atau penganiayaan) dan diberikan kepada

korban atau ahli warisnya.40

Dengan demikian jelaslah bahwa hukuman diyat merupakan suatu hukuman yang bersifat harta yang yang dikenakan kepada pelaku tindak

pidana (pembunuhan dan penganiayaan) yang diserahkan kepada korban

atau ahli waris korban. Sebagaimana dijelaskan di dalam surat An-Nisa ayat

92 sebagai berikut :

















Artinya : “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang

mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si

40

(41)

31

pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. An-Nisa 4 : 92) c) Jarimah Ta’zir

Kata ta’zir adalah bentuk mashdar dari kata “azzara-ya’zziru” yang mempunyai makna menolak dan mencegah.41 Kata ini juga memiliki arti

“nasharahu” yang berarti menolong atau menguatkan. Seperti dalam

firman Allah SWT berikut :



















Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di

waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Fath 48 : 9)

Secara terminologi, Jarimah ta’zir adalah sanksi atau hukuman yang

diberikan kepada pelaku jarimah yang melakukan pelanggaran, baik yang

berkenaan dengan hak Allah maupun hak manusia dan tidak termasuk ke

dalam kategori hukuman hudud ataupun kafarat. Karena jarimah ta’zir tidak

ditentukan secara langsung oleh Al-qur’an maupun hadits, maka ini menjadi

tanggung jawab ulil amri baik penentuan maupun pelaksanaan hukumannya.

Dalam memutuskan jenis dan ukuran sanksi ta’zir, ulil amri harus tetap

41

(42)

berpedoman kepada nash secara teliti karena menyangkut kemaslahatan

masyarakat.42

Menurut Abdul Qadir Audah dalam kitabnya Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al -Islami Muqaranah bi Al-Qanun Al-Wad’i, ta’zir adalah pengajaran atau pendidikan yang tidak diatur oleh hudud dan merupakan jenis sanksi yang

diberikan untuk beberapa tindak pidana yang dalam syariat tidak ditentukan

sanksi hukuman tertentu.43

3. Pengertian Uqubah

Sanksi dalam hukum pidana Islam disebut dengan istilah al-Uqubah

yang berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah pembalasan dengan

keburukan. Sedangkan Abdul Qadir Audah mendefinisikan sanksi

(hukuman) adalah balasan yang telah ditentukan untuk kepentingan orang

banyak atas perbuatan melanggar perintah Allah SWT.44

Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa sanksi (hukuman)

merupakan balasan yang setimpal atas perbuatan pelaku kejahatan yang

menyebabkan orang lain menjadi korban atau menderita kerugian atas

perbuatannya. Atau penimpaan derita dan kesengsaraan bagi pelaku tindak

pidana sebagai balasan dari apa yang telah diperbuat kepada orang lain atau

balasan yang diterima si pelaku akibat pelanggaran perintah syara’.

42

. M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 139-140

43

. Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranah bi Al-Qanun Al-Wad’i, Cet. 11, jilid II, (Beirut: Mu’assasah Al-Risalah, 1992), h. 685.

44

(43)

33

4. Macam-macam Uqubah

Tujuan pokok dari penjatuhan hukuman ialah pencegahan (ar-rad’u wazzarju), pengajaran serta pendidikan (al-islah wat-tahzib). Pencegahan ialah, mencegah diri si pelaku untuk tidak mengulangi perbuatannya dan

mencegah diri orang lain dari perbuatan yang demikian.45 Dalam hukum

Islam, penjatuhan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang

baik yang dikuasai rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama

anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya.

Hukuman dapat dibagi menjadi beberapa golongan menurut segi

tinjauannya:

1) Berdasarkan Pertalian Satu Hukuman dengan Lainnya, maka hukuman

dapat dibagi menjadi empat : 46

a. Hukuman pokok (al-uqubah al-Asliyyah), hukuman pokok yaitu hukuman yang telah ditetapkan pada satu tindak pidana, seperti

hukuman qisas bagi tindak pidana pembunuhan, hukuman rajam

bagi pelaku tindak pidana zina, dan hukuman potong tangan bagi

tindak pidana pencurian;

b. Hukuman pengganti (al-Uqubah al-Badaliyah), yaitu hukuman yang menggantikan hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak

dapat dilaksanakan karena adanya alasan yang syar’i;

45

. Ahmad. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), cet. Ke-6, h. 191

46

(44)

c. Hukuman tambahan (al-‘Uqubah al-Tabaiyyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan

sendiri;

d. Hukuman pelengkap (al-‘Uqubah al-Taklimiyyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan adanya putusan tersendiri

dan hakim.

2) Berdasarkan Kekuasaan Hakim dalam Menentukan Bentuk dan

Jumlah Hukuman, maka hukuman dapat dibagi dua;

a. Hukuman yang hanya memiliki satu batas, artinya tidak memiliki

batas tertinggi atau batas terendah. Hukuman ini tidak dapat

dikurangi atau ditambah meskipun pada dasarnya bisa ditambah

atau dikurangi;

b. Hukuman yang memiliki dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas

terendah. Dalam hal ini hakim diberi kekuasaan untuk memilih

hukuman sesuai antara kedua batas tersebut.

3) Berdasarkan Kewajiban Menjatuhkan Suatu Hukuman, dalam hal ini

ada dua macam hukuman, yaitu:

a. Hukuman yang telah ditentukan bentuk dan jumlahnya, yaitu

hukuman yang telah ditetapkan jenisnya dan telah dibatasi oleh

syar’i (Allah dan Rasul-Nya);

b. Hukuman yang tidak ditentukan bentuk jumlahnya, yaitu hukuman

(45)

35

hukuman yang dianggap sesuai dengan keadaan tindak pidana

serta pelaku.

4) Berdasarkan Tempat Dilakukannya Hukuman, hukuman ini dibagi

menjadi tiga, yaitu:

a. Hukuman badan (Uqubah Badaniyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan atas badan si pelaku, seperti hukuman mati, dera, dan

penjara;

b. Hukuman Jiwa (Uqubah Nafsiyyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan atas jiwa si pelaku. Contohnya hukuman nasihat,

celaan, dan ancaman;

c. Hukuan Harta (Uqubah Maliyyah), yaitu hukuman yang ditimpakan pada harta pelaku, seperti hukuman diyat, denda, dan

biaya administrasi.47

5) Berdasarkan Macamnya Tindak Pidana yang Diancamkan Hukuman,

adapun rincian hukuman tersebut adalah sebagai berikut:

a. Hukuman yang telah ditetapkan terhadap tindak pidana hudud.

Hukuman hudud terbagi menjadi tujuh macam, sesuai dengan

bilangan tindak pidana hudud, yaitu:

a. Zina;

b. Qazaf;

c. Meminum minuman keras;

d. Mencuri;

47

(46)

e. Melakukan hirabah (gangguan keamanan);

f. Murtad;

g. Memberontak.

5. Hukuman/Sanksi Ta’zir

Dalam jarimah ta’zir, meski hak penetapannya diberikan kepada ulil

amri (umumnya diwakili oleh qadhi/hakim), akan tetapi hal ini tidak menjadikan dirinya berhak menjatuhkan sanksi sekehendak hatinya. Dalam

jarimah ta’zir terdapat sanksi-sanksi yang telah ditetapkan oleh syara’

dengan sangat jelas untuk tidak digunakan sebagai sanksi ta’zir, oleh sebab

itu penguasa atau qadhi tidak boleh menghukum dengan hukuman tersebut.48

Terdapat beberapa pandangan para ulama mengenai hukum sanksi

ta’zir diantaranya, pendapat Malikiyah dan Hanabilah, yang mewajibkan

sanksi ta’zir sebagaimana hudud karena merupakan peringatan yang

disyariatkan untuk menegakkan hak Allah dan seorang ulil amri baik itu

kepala Negara maupun kepala daerah tidak boleh mengabaikannya.

Kemudian mazhab Syafi’i yang berpandangan bahwa ta’zir tidak wajib di

berikan apabila hukum itu tidak menyangkut hak adami. Dan menurut mazhab Hanafiyah, ta’zir hukumnya wajib jika berkaitan dengan hak adami. Tidak ada pemberian maaf dari hakim karena hak hamba tidak dapat

digugurkan, kecuali yang memiliki hak itu.49

48

. M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 76.

49

(47)

37

Di samping itu, baik Alquran maupun As Sunnah telah menjelaskan

sanksi-sanksi tertentu yang ditetapkan ukurannya, maka penguasa atau

qadhi harus memutuskan berdasarkan sumber tersebut. Ini menjadi sebab ijtihadnya seorang penguasa atau qadhidalam masalah ta’zir hanya dibatasi

pada ukurannya saja, bukan pada sanksi yang hendak ia tetapkan. Ketika

seorang penguasa atau qadhi menentukan sanksi ta’zir, maka ia wajib terikat dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan ia

tidak boleh melewati ketetapan yang telah ditentukan itu.50

Adapun hukuman-hukuman ta’zir adalah sebagai berikut :

1. Sanksi Hukuman Mati

Pada dasarnya hukuman ta’zir bertujuan memberikan pengajaran

(ta’dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukuman

ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa.

Akan tetapi beberapa fuqoha’ memberikan pengecualian dari aturan umum

tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum

menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana

kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata-mata, pembuat fitnah,

residivis yang membahayakan. Namun menurut sebagian fuqoha’ yang lain

dalam jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati. Di luar ta’zir hukuman mati

hanya dikenakan terhadap perbuatan-perbuatan tertentu seperti zina,

50

(48)

gangguan keamanan, riddah (murtad, keluar dari Islam), pemberontakan dan pembunuhan sengaja.51

2. Sanksi Jilid

Jilid adalah hukuman dengan memukul terhukum menggunakan

cambuk atau alat lainnya yang sejenis. Jilid merupakan salah satu dari

sanksi bagi pelaku tindak pidana hudud. Namun demikian, ta’zir juga

mengenal hukuman jilid. Seorang hakim diperbolehkan memberikan sanksi

pemukulan dengan cambuk, tongkat, batang dahan, atau alat lain yang

sejenis.

Menurut pendapat yang terkenal dikalangan ulama’Maliki, batas

tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas

kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman

cambuk dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut AbuYusuf adalah 75

kali.52

Sedangkan dikalangan madzhab Syafi’i ada tiga pendapat. Pendapat

pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad.

Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat

yang ketiga, hukuman cambuk pada ta’zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi

tidak sampai seratus kali, dengan syarat lain bahwa jarimah ta’zir yang

dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.53

51

. Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 310

52

. Syaikh Wahbah Zuhaily, Fiqh Islam wa Adillatuhu, cet. IV, jilid VII, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 595

53

(49)

39

3. Sanksi Pengasingan

Pengasingan adalah membuang seseorang di tempat yang jauh.

Pengasingan sebagai hukuman ta’zir dapat dijatuhkan kepada pezina ghairu

muhshan setelah sebelumnya ia dijatuhi had zina.

Menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad tidak boleh lebih dari satu

tahun, menurut Abu Hanifah masa pengasingan lebih dari satu tahun sebab

hukuman disini adalah hukuman ta’zir.Dalam al-Qur’an Allah berfirman :









Artinya : “atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang

demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di

akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS : Al-Maidah 5 : 33)

4. Sanksi Penjara

Pemenjaraan secara syar’i adalah menghalangi atau melarang

seseorang untuk mengatur dirinya sendiri. Pemenjaraan biasa dilakukan di

rumah, masjid, penjara, atau tempat-tempat lai

Gambar

Grafika, 2004), h. 10.
Grafika, 2009
Grafika, 2008

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahapan ini praktikan mempraktikan kompetensi yang dipunyai untuk mengetahui kemampuan praktikan dalam mengadakan pembelajaran di lapangan. Setiap praktikan

Dari beberapa pengertian tersebut maka yang dimaksud layanan penguasaan konten adalah proses pemberian bantuan kepada peserta didik baik sendiri maupun kelompok untuk

Secara sederhana animasi komputer bisa dijadikan sebagai model pembelajaran menggunakan program komputer ( softwear ) untuk mensimulasikan beberapa percobaan fisika

Sagito Putra, (2019): Implementasi Manajemen Mutu dalam Peningkatan Kompetensi Profesional Tenaga Pendidik di Sekolah Dasar Islam Terpadu Az-Zuhra Islamic School Cipta

Hal ini dikarenakan nilai dari koefisien determinasi yang kecil sehingga masih banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi audit delay, selain variabel-variabel yang telah digunakan

Begitu juga dengan sifat-sifat yang telah disepakati atau kesesuaian produk untuk aplikasi tertentu tidak dapat disimpulkan dari data yang ada dalam Lembaran Data Keselamatan

Hasil simulasi AVSWAT 2000 pada DAS Beratan berdasarkan perubahan tata guna lahan tahun 2003 ke 2011 menunjukkan perubahan hasil berupa peningkatan nilai baik dari

Persentase penduduk miskin untuk setiap kecamatan di Kabupaten Malang dengan metode Bayes Empirik yang disajikan pada gambar 6b menunjukkan bahwa persentase