ABSTRAK
KEPADATAN POPULASI HAMA DAN MUSUH ALAMI PADA PERTANAMAN PADI (Oryza sativa L.) VARIETAS INPARI 10 YANG
DIBUDIDAYAKAN SECARA PHT VERSUS KONVENSIONAL
Oleh Inggit Sagita
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kepadatan populasi hama dan
musuh alami pada pertanaman padi Varietas Inpari 10 yang dibudidayakan secara
PHT dan Konvensional. Lahan berukuran 50x25m2 masing-masing ditanami padi
yang dibudidayakan secara PHT dan konvensional. Pada masing- masing lahan
diamati enam rumpun sampel yang diambil secara sistematis. Pengambilan data
sejak 30 hst dan dilakukan seminggu sekali sampai 79 hst. Hasil penelitian
menunjukan bahwa populasi hama yang didapatkan pada pertanaman padi secara
PHT tidak berbeda nyata dengan konvensional (non-PHT). Populasi musuh alami
yang didapatkan pada pertanaman PHT juga tidak berbeda nyata pada petak
konvensional, kecuali ketika 30 hst pengamatan, populasi musuh alami pada petak
PHT lebih tinggi dari pada petak konvensional (non-PHT).
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Beras merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia.
Semakin bertambahnya penduduk di Indonesia, semakin meningkat juga
kebutuhan beras bagi penduduk. Hal ini yang mendorong pemerintah untuk
melaksanakan program peningkatan produksi padi. Serangan hama menjadi salah
satu kendala dalam peningkatan produksi padi. Untuk mengatasi permasalahan
ini, petani umumnya melakukan penyemprotan insektisida. Namun, dengan
penyemprotan insektisida secara berulang-ulang dan dosis yang semakin lama
semakin tinggi telah memberikan dampak negatif, antara lain hama menjadi tahan
terhadap insektisida, juga kemudian muncul hama baru, terbunuhnya
musuh-musuh alami dan organisme non target (Untung, 1993). Selain itu, penyemprotan
juga mengakibatkan tertinggalnya residu insektisida pada hasil tanaman, air dan
tanah yang berdampak negatif pada kesehatan manusia dan hewan ternak
(Sembel, 2012).
Penggunaan insektisida yang berlebihan telah mengancam kehidupan di dunia.
Untuk itu sejak 20 tahun yang lalu, pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk
menerapkan konsep pengendalian hama terpadu (PHT) dalam sistem produksi
pendekatan ekologi yang bersifat multidisiplin untuk pengelolaan populasi hama
dan memanfaatkan beranekaragam taktik pengendalian secara kompatibel dalam
suatu kesatuaan koordinasi pengelolaan.
Konsep PHT muncul di Indonesia dan berkembang sebagai respon terhadap
kebijakan pengendalian hama secara konvensional yang menekankan penggunaan
insektisida (Hasibuan, 2008), terutama pada pertanaman padi. Inpari 10
merupakan salah satu varietas padi yang umum ditanam petani, khususnya pada
musim gadu. Budidaya tanaman ini umumnya masih dilakukan secara
konvensional. Belum tersedia informasi apakah PHT efektif untuk
mengendalikan populasi hama pada pertanaman padi varietas Inpari 10.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah membandingkan kepadatan populasi hama dan
musuh alami pertanaman padi varietas Inpari 10 yang dikelola secara PHT dengan
yang dikelola secara konvensional (non-PHT).
1.3 Kerangka Pemikiran
Pengendalian secara konvensional (non PHT) yang dilakukan oleh petani di
lapangan umumnya menggunakan insektisida secara intensif sehingga organisme
selain hama atau musuh alami yang bukan merupakan sasaranpun ikut terbunuh.
Hama yang terus menerus mendapat tekanan insektisida akan mampu membentuk
strain yang lebih tahan terhadap insektisida tersebut. Petani mengeluarkan biaya
yang tidak sedikit untuk aplikasi insektisida, sehingga keuntungan yang diperoleh
insektisida tidak diutamakan tetapi menjadi alternatif terakhir. PHT padi
menekankan pengendalian alami atau hayati dengan mengandalkan parasitoid,
predator, patogen, antagonis atau kompetitor hama. Kesuksesan pengendalian
hayati umumnya terjadi apabila ada pola hubungan yang kuat antara hama dan
musuh alaminya (Purnomo, 2010). Dalam budidaya secara PHT, diharapkan
musuh alami dapat berperan dalam mengurangi serangan hama di pertanaman
padi. Musuh alami akan efektif dalam mongonsumsi serangga hama pada
pertanaman yang dikelola secara PHT, apabila tidak diaplikasi dengan insektisida.
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah kepadatan populasi hama
pada pertanaman padi varietas Inpari 10 yang dikelola secara PHT lebih rendah
dan populasi musuh alami lebih tinggi daripada yang dikelola secara konvensional
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Padi
Padi (Oryza sativa L.) tergolong ke dalam Famili Poaceae, Sub- family
Oryzoideae dan Genus Oryza. Organ tanaman padi terdiri atas organ vegetatif
dan organ generatif. Bagian vegetatif meliputi akar, batang dan daun, sedangkan
bagian generatif terdiri dari malai, gabah dan bunga. Sejak berkecambah sampai
panen tanaman padi memerlukan waktu 3-6 bulan, yang keseluruhannya terdiri
dari dua fase pertumbuhan, yaitu vegetatif dan generatif. Fase reproduktif terdiri
dari atas fase pra-bunga dan fase pasca-berbunga (Kusumawardani, 2009).
Padi termasuk jenis tanaman rumput-rumputan yang mempunyai daun
berbeda-beda, baik bentuk, susunan, atau bagian- bagiannya. Ciri khas daun padi adanya
sisik dan telinga daun. Sekumpulan bunga padi yang keluar dari buku paling atas
dinamakan malai. Bulir-bulir padi terletak pada cabang pertama dan cabang
kedua. Panjang malai tergantung pada varietas padi yang ditanam dan cara
bercocok tanam. Panjang malai dapat dibedakan menjadi tiga ukuran, yaitu malai
pendek (kurang dari 20 cm), malai sedang (antara 20-30 cm), dan malai panjang
2.2 Hama Penting Tanaman Padi dan Musuh Alami
Hama dalam arti luas adalah setiap organisme yang dapat mengganggu, merusak
ataupun mematikan organisme lain. Organisme yang sering menjadi hama pada
tanaman padi adalah serangga. Musuh alami adalah organisme yang dapat
mengendalikan populasi hama atau organisme lain. Di daerah tropis terdapat
banyak jenis musuh alami, baik predator maupun parasitoid (Sembel, 2012).
a. Walang Sangit
Walang sangit merupakan hama yang umum merusak bulir padi pada fase
pemasakan. Mekanisme merusaknya yaitu mengisap butiran gabah yang sedang
mengisi. Apabila diganggu, serangga akan mempertahankan diri dengan
mengeluarkan bau.Walang sangit merusak tanaman ketika mencapai fase
berbunga sampai matang susu. Kerusakan yang ditimbulkannya menyebabkan
beras berubah warna dan mengapur, serta gabah menjadi hampa (Rahmawati,
2012).
b. Wereng coklat
Wereng coklat dapat menyebabkan daun berubah warna menjadi kuning oranye
sebelum berubah menjadi coklat dan mati. Dalam keadaan populasi wereng
tinggi dan varietas yang ditanam rentan wereng coklat, dapat mengakibatkan
tanaman seperti terbakar atau “hopperburn”. Wereng coklat juga dapat
menularkan virus kerdil hampa, dan virus kerdil rumput, dua penyakit yang sangat
tidak tepat, penanaman varietas rentan, pemeliharaan tanaman, terutama
pemupukan yang kurang tepat dan kondisi lingkungan yang cocok untuk wereng
coklat (lembab, panas dan pengap) (Rahmawati, 2012).
c. Penggerek Batang
Penggerek batang merupakan hama paling menakutkan pada pertanaman padi,
karena sering menimbulkan kerusakan berat dan kehilangan hasil yang tinggi. Di
lapang, kehadiran hama ini ditandai dengan kehadiran ngengat (kupu-kupu) dan
kematian tunas padi, kematian malai dan ulat penggerek batang. Hama ini
merusak tanaman pada semua fase tumbuh, baik pada saat pembibitan, fase
anakan, maupun fase berbunga. Bila serangan terjadi pada pembibitan sampai
fase anakan, hama ini disebut sundep, dan jika terjadi saat berbunga, disebut beluk
(Rahmawati, 2012).
d. Kepinding Tanah
Kepinding tanah merupakan hama penting pada pertanaman padi terutama di
negara-negara Asia. Siklus perkembangan kepinding tanah merupakan tipe
metamorfosis bertahap (paurometabola), yakni terdiri dari tiga stadia
pertumbuhan, yaitu stadia telur, nimfa dan imago. Siklus hidup kepinding tanah
sekitar 32-35 hari. Imago tertarik cahaya dan dapat melakukan aktivitas terbang
e. Famili Staphylinidae
Adalah kumbang kecil berupa predator yang bersifat generalis. Kumbang ini juga
banyak ditemukan pada pertanaman padi, memangsa wereng daun maupun
wereng batang. Beberapa famili lain yang bertindak sebagai predator pada habitat
perairan adalah Gyrinidae dan Dytiscidae. Famili lain yang juga bertindak
sebagai predator ialah Histeridae, Cantharidae, dan Cybocephalidae (Purnomo,
2010).
f. Ordo Araneae
Semua laba-laba adalah predator. Laba-laba memiliki empat pasang tungkai.
Beberapa spesies yang menghasilkan jaring akan memangsa binatang yang
terperangkap dalam jaring itu. Ada juga yang memburu mangsanya di tanah
ataupun di pertanaman. Sekitar 50 famili laba-laba dikenal sebagai predator.
Famili ini dapat dibedakan dari bentuk tubuh, karakteristik mata, bentuk jaring,
dan perilaku memburu dan perilaku lain di alam (Purnomo, 2010).
g. Ordo Hymenoptera
Ada tiga famili penting dari ordo Hymenoptera yang bertindak sebagai predator,
yaitu Formicidae, Vespidae, dan Sphecidae. Famili Formicidae adalah serangga
sosial yang jumlah individu dalam koloninya mungkin sangat besar sekali. Famili
Vespidae mudah dikenali dengan adanya warna kuning cerah. Imago dari famili
progeninya. Famili Sphecidae merupakan pemangsa ulat Lepidoptera (Purnomo,
2010).
2.3 Pengendalian Hama Terpadu
Pengendalian hama terpadu adalah pemilihan, perpaduan dan penerapan
pengendalian hama yang didasarakan pada perhitungan dan penaksiran
konsekuensi-konsekuensi ekonomi, ekologi dan sosiologi (Untung, 1993).
Di Indonesia program PHT telah dimulai sejak tahun 1986, pada saat presiden
Republik Indonesia mengeluarkan Intruksi Presiden No. 3 tahun 1986 tentang
pengendalian hama wereng coklat padi. Kebijakan itu diantaranya: 1)
menerapkan PHT untuk pengendalian hama wereng coklat dan hama padi lainnya,
2) melarang penggunaan 57 formulasi insektisida untuk digunakan pada tanaman
padi, 3) melakukan pelatihan petani dan petugas tentang PHT. Instruksi presiden
tersebut diperkuat dengan keluarnya UU No .12 tahun 1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman yang menyatakan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan
dengan sistem Pengendalian Hama Terpadu. Pada tahun 1995, pemerintah
menetapkan PP No.6 tahun 1995 tentang perlindungan tanaman sehingga lebih
memperkuat kedudukan PHT sebagai kebijakan nasional perlindungan tanaman di
Indonesia. Sejak dikeluarkannya peraturan perunndang-undangan tersebut maka
pemerintah melalui Departemen Pertanian menerapkan sistem PHT untuk
perlindungan tanaman, terutama padi, yang kemudian disusul dengan tanaman
pangan dan hortikultura tanaman (Sembel, 2012).
Pelaksanaan prinsip PHT antara lain mencangkup sejauh mana petani mau
cara melakukan pengamatan hama/penyakit dan bagaimana tanggapan petani atas
hasil usaha pengamatan yang telah dilakukan, pengambilan keputusan dalam
kegiatan pengendalian hama/penyakit dan bagaimana kinerja petani dalam
menyebarluaskan pengetahuan dan keterampilannya tentang PHT kepetani
lainnya. Tujuan PHT adalah meningkatkan pendapatan petani, memantapkan
produktifitas pertanian, mempertahankan populasi hama tetap pada taraf yang
tidak merugikan tanaman dan mempertahankan stabilitas ekosistem pertanian.
Dalam konsep PHT, pengendalian hama berorientasi kepada stabilitas ekosistem
dan efisiensi ekonomi serta sosial. Dengan demikian, pengendalian hama dan
penyakit harus memperhatikan keadaan populasi hama atau patogen dalam
keadaan dinamik fluktuasi di sekitar kedudukan keseimbangan umum dan semua
biaya pengendalian harus mendatangkan keuntungan ekonomi yang maksimal.
Pengendalian hama dan penyakit dilaksanakan jika populasi hama atau intensitas
kerusakan akibat penyakit telah memperlihatkan akan terjadi kerugian dalam
usaha pertanian (Darwis, 2006).
Pestisida merupakan bahan pencemar paling potensial dalam budidaya tanaman.
Oleh karena itu, peranannya perlu diganti dengan teknologi lain yang berwawasan
lingkungan. Pemakaian bibit unggul, pemakaian bahan organik dan pestisida
memang mampu memberikan hasil yang tinggi. Swasembada yang di capai di
Indonesia pada tahun 1984 tidak terlepas dari ketiga faktor tersebut. Namun
tidak disadari praktek ini telah menimbulkan masalah dalam usaha pertanian itu
Pada dasarnya keuntungan penggunaan insektisida adalah karena kemudahan,
kesederhanaan, keefektifan, fleksibilitas dan ekonomis. Sedangkan kelemahannya
terutama sekali didasarkan pada dampak sampingnya, yaitu adanya residu
insektisida, pencemaran lingkungan, bahaya bagi kesehatan manusia dan
hewan-hewan domestik, pengaruh terhadap organisme non target lainnya (antara lain
musuh- musuh alami, serangga polinator) dan kemampuan hama untuk
mengembangkan ketahanan (Sembel, 2012).
2.4 Deskripsi Varietas Inpari 10
Varietas Inpari 10 adalah varietas padi yang dilepas pada tahun 2009 (Deptan,
2009). Potensi hasil padi varietas Inpari 10 lebih tinggi dibandingkan dengan
varietas padi IR64 dan menghasilkan mutu yang baik. Varietas Inpari 10 juga
agak tahan terhadap wereng coklat biotipe 1 dan 2.
Deskripsi varietas padi Inpari 10 (Deptan, 2009) adalah sebagai berikut.
Nomor seleksi :S3382-2d-Pn-4-1
Asal persilangan :S487b-5/2*IR19661//2*IR64
Umur tanaman :108 – 116 hari
Bentuk tanaman :tegak
Tinggi tanaman :100 – 120 cm
Anakan produktif :17 – 25 batang
Warna kaki : Hijau
Warna batang : Hijau
Warna telinga daun : Putih
Warna lidah daun : Putih
Muka daun : Kasar
Posisi daun :Tegak
Daun bendera : Tegak
Bentuk gabah : Ramping panjang
Warna gabah : Kuning bersih
Anjuran tanam : Dapat ditanam pada musim hujan dan kemarau
serta baik ditanam pada lahan sawah dengan
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini bagian dari kegiatan SLPHT kelompok tani Sumber Rejeki yang
dilakasanakan pada musim gadu bulan Juli-Oktober 2012. Pengamatan dilakukan
di areal persawahan PHT dan konvensional di Desa Rawa Selapan, Kecamatan
Candipuro, Lampung Selatan dan identifikasi hama dan musuh alami dilakukan di
Laboratorium Hama Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan ialah alat tulis, bambu, benih padi, pupuk kandang
(kotoran sapi) dan pupuk kimia PONSKA (mengandung N, P dan K), insektisida
kimia, insektisida nabati dan alkohol. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini
ialah: lup, timbangan elektrik, panduan identifikasi serangga dan botol film.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua
perlakuan dan enam ulangan. Perlakuan pertama adalah budidaya tanaman padi
secara PHT dan perlakuan kedua adalah budidaya tanaman padi secara
Tabel 1. Kegiatan budidaya padi varietas Inpari 10 pada pertanaman lahan secara PHT dan secara non-PHT di lahan petani.
Tanggal PHT Non-PHT Kegiatan
08 Juni 2012 √ √ Pembajakan lahan
10 Juni 2012 √ √ Penyemaian
02 Juli 2012 √ √ Pencabutan bibit
03 Juli 2012 √ √ Penanaman
09 Juli 2012 √ √ Pemupukan 1 (Pupuk
kandang +Pupuk Ponska)
24 Juli 2012 √ √ Pemupukan 2 (Pupuk
kandang +Pupuk Ponska)
18 Agustus 2012 √ – Penyemprotan insektisida
nabati/(kunyit, jahe dan lengkuas)
03 Agustus 2012 – √ Penyemprotan insektisida
kimia 1 (Poryza)
18 Agustus2012 – √ Penyemprotan insektisida
kimia 2 (Poryza)
02 Oktober 2012 √ √ Pemanenan
Luas masing-masing unit petak perlakuan 50 x 25 m2. Penanaman dilakukan
dengan pola jajar legowo 2:1 dengan jarak tanam 20x20x60 cm. Dari setiap petak
Gambar 1. Tata Letak Titik (Rumpun) Sampel.
3.4 Pelaksanaan
Pengamatan dilakukan sebanyak 8 kali dan pengambilan data dilakukan secara
visual. Langkah-langkah pelaksanaan penelitian ini sebagai berikut : persiapan
lahan, penyemaian dan penanaman, pemupukan dan pemeliharaan tanaman, serta
pengamatan dan analisis data. Persiapan lahan meliputi kegiatan pengolahan
tanah pada lahan PHT dan konvensional. Pengolahan tanah dilakukan dengan
pembajakan, pembajakan dilakukan pada tanggal 08 Juni 2012 (Tabel 1). Lahan
berukuran 50x50m2 kemudian dibagi menjadi dua petak, yaitu 50x25m2
untukditanami padi secara PHT dan 50x25m2untuk ditanami padi secara
Benih padi yang digunakan yaitu Varietas Inpari 10. Sebelum ditebar benih padi
direndam selama satu malam dengan menggunakan air hangat (550C) lalu
dikeringanginkan selama dua hari. Kemudian benih disemai selama tiga minggu
dipetak persemaian (tanggal 10 Juni 2012). Setelah itu, padi dicabut (tanggal 02
Juli 2012) dan dipindahtanam dengan jarak 20x20x60cm (tanggal 03 Juli 2012).
Pada setiap petak perlakuan dipasang masing-masing enam bambu ajir sebagai
penanda titik/rumpun yang akan diamati (Gambar 1). Enam rumpun diambil
secara sistematis, yaitu pada rumpun ke 4, rumpun ke 125 (tengah) dan rumpun ke
247 (Gambar 1).
Pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk urea (9 kg/ 0,25ha), Ponska
(9kg/ 0,25ha), dan pupuk kandang (16kg / 0,25ha). Pemupukan ini dilakukan
pada 6 hari setelah tanam (hst) yaitu tanggal 09 Juli 2012 dan 21 hst yaitu tanggal
24 Juli 2012. Pemeliharaan tanaman meliputi penyulaman, penyiraman dan
pengendalian hama dan penyakit. Penyulaman dilakukan ketika terdapat tanaman
padi yang mati atau kurang baik pertumbuhannya. Penyulaman dilakukan
maksimum 1 minggu setelah tanam, karena penelitian dilakukan pada musim
kemarau maka diperlukan penyiraman. Kegiatan penyiraman dilakukan pada
pagi atau sore hari dengan menggunakan mesin pompa air sumur bor dan pipa
penyedot yang dialirkan ke lahan. Pengendalian hama dilakukan dengan
melakukan penyemprotan insektisida kimia Poryza (bahan aktiv Dimehypo
400g/l) dengan dosis 10ml/ 0,125ha pada perlakuan non- PHT (tanggal 03 dan 08
Agustus 2012) dan penyemprotan insektisida nabati dengan menggunakan ekstrak
kunyit, jahe dan lengkuas dengan dosis 480ml/ 0,125 ha( tanggal 18 Agustus
dengan cara mencabut gulma yang tumbuh dengan tangan atau dengan
menggunakan cangkul dan arit. Pemanenan dilakukan dengan memisahkan 12
rumpun yang diamati.
3.5 Pengamatan dan Analisis Data
Pengamatan dilakukan secara visual dan langsung, yaitu dengan menghitung
jumlah hama dan musuh alami yang terlihat, baik pada petak PHT maupun pada
petak konvensional (non-PHT). Pengamatan dilakukan pada 30 hari setelah
pemindahtanam bibit padi ke lahan, sampai padi berumur 79 hst. Pengamatan
dilakukan pada rumpun sampel tetap setiap minggu sekali, pada pagi hari. Hama
dan musuh alami yang tidak diketahui familinya dikoleksi untuk diidentifikasi di
laboratorium. Identifikasi hama dan musuh alami sampai tingkat famili
menggunakan panduan Borror et al. (1992). Pengamatan hasil panen dilakukan
dengan menghitung bobot 10 malai setiap rumpun yang diamati. Analisis data
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil pengamatan dan analisis data dapat disimpulkan bahwa populasi hama
pada pertanaman secara PHT tidak lebih tinggi dari Konvensional. Populasi
musuh Alami pada pertanaman secara PHT pada umumnya juga tidak lebih tinggi
dari Konvensional (non-PHT) kecuali pada pengamatan 30 hst populasi musuh
alami pada pertnaman secara PHT lebih tinggi dibandingkan dengan konvensional
(non-PHT).
5.2 Saran
Disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan dengan melakukan pengamatan
PUSTAKA ACUAN
Borror, D. J.,C. A. Tripplehorn & N. F. Johnson. 1992. Pengenalan Jenis Serangga. Edisi Keenam. Penerjemah. S. PartoSoejono. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Darwis, V. 2006. Penerapan Empat PrinsipPHT Teh.
http://www.pustakadeptan.go.id/publikasi/wr273059.pdf.27.(3):17-18. Diakses tanggal 15 Agustus 2012.
Hasibuan, M. 2008. Kajian Penerapan PHT pada Petani Padi di Kabupaten Tapanuli Selatan. (Tesis). Universitas Sumatra Utara.
Hendarsih, S. & N. Widiarta. 1995. Integrasi Sistem Pengendalian Hama Terpadu ke Dalam Model Pengelolaan Tanaman Terpadu. http / www.
202.158.78.120/publication/wr 254 035 pdf. 25 (4). Diakses 20-Agustus-2012.
Herlinda, S., Waluyo., Estuningsih. & I. Chandra. 2008. Perbandingan
Keanekaragaman Spesies dan KelimpahanArthropoda Predator Penghuni Tanah di Sawah Lebakyang Diaplikasi dan Tanpa Aplikasi Insektisida. J. Entomol. Indon.5 (2): 99-100.
Hutagalung, S. 2013 (dalam proses penulisan skripsi). Populasi Hama dan Musuh Alami pada Pertanaman Padi Varietas Ciherang Yang Dikelola Secara PHT Versus Konvensional (Non- PHT). Fakultas Pertanian, Universitas Lampng.
Kalshoven, L. G. E. 1981. ThePestsof Crops in Indonesia. Revised and Translated by Van Der Laan, P.A. PT. Ichtiar Baru. Jakarta.
Kusumawardani, R. 2009. Perkembangan Populasi Hama pada Pertanaman Padi Organik Sistem Konvensional dan Sri.(Skripsi) Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.
Purnomo, H. 2010. Pengantar Pengendalian Hayati. Andi Ofset, Yogyakarta.
Sembel, D. T. 2012. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Setyanto, A.P. &K. Subagyono. 2006. Isu dan Pengelolaan Lingkungan dalam Revitalisasi Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian. Indonesia