• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN MANUSIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN MANUSIA"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PERAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN MANUSIA

Oleh Windy Astria

Jaksa pada dasarnya merupakan pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Jaksa Penuntut Umum memiliki peran penting dalam penanganan tindak pidana perdagangan manusia..

Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris, dengan narasumber penelitian yaitu Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

(2)

Penyidik sering tidak dapat memenuhi petunjuk penuntut umum ataupun petunjuknya sulit dimengerti penyidik, sehingga menyebabkan berkas perkara bolak-balik penuntut umum ke penyidik dan sebaliknya, (3) Faktor masyarakat yang menghambat peranan Jaksa Penuntut Umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan manusia (traficking) adalah adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan manusia (traficking).

Saran dalam penelitian ini adalah (1) Institusi kejaksaan disarankan untuk meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan berbagai lembaga penegak hukum lainnya dalam upaya penanggulangan tindak pidana traficking. Dengan adanya koordinasi dan kerjasama tersebut maka diharapkan tindak pidana

(3)
(4)
(5)
(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 10 Mei 1992, merupakan putri ke tiga dari tiga bersaudara, buah hati dari pasangan Bapak Hi. Bambang Sutejo, S.IP dan (ALM) Ibu Hj. Triyatmi

Penulis menempuh pendidikan TK Al-Azhar 2 Bandar Lampung pada tahun 1997-1998, Sekolah Dasar (SD) Al-Azhar 2 Bandar Lampung pada Tahun 1999-2004, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 9 Bandar Lampung pada 2004-2007, Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 2 Bandar Lampung pada Tahun 2007-2010. Pada Tahun 2010, penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(7)

PERSEMBAHAN

Teriring Do’a dan Rasa Syukur Kehadirat Allah SWT Atas Rahmat dan

Hidayah-Nya Serta Junjungan Tinggi Rasulullah Muhammad SAW

Kupersembahkan Skripsi ini kepada :

Alm. Mama dan Papa

Sebagai orang tua penulis tercinta yang telah mendidik, membesarkan dan

membimbing penulis menjadi sedemikian rupa yang selalu memberikan kasih

sayang yang tulus dan memberikan doa

yang selalu memberikan semangat, harapan, namun tak pernah meninggalkan

penulis sedikitpun dikala terjatuh.

kakak ku Berry Yudanto dam Adestya Dwi Pratiwi serta keponakanku

tersayang (Razan, Aby, Abim, Gendis)

yang menjadi motivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Keluarga besarku atas semangat dan dukungannya

untuk keberhasilanku

untuk yang terkasih Sacvio Fath Senajaya

yang selalu memberikan support selama ini.

(8)

MOTO

Apapun yang akan kau lakukan

Berdoalah kepada Allah dan mintalah restu kepada Ibu

(9)

i

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil ’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT, sebab hanya dengan kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Peranan Jaksa Penuntut Umum dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Perdagangan Manusia (traficking)” , sebagai salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. (alm) Mama Tersayang Hj. Triyatmi dan Papa Hi. Bambang Sutejo, S.IP 2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

(10)

ii proses penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang penuh dengan kesabaran memberikan bimbingan, motivasi, jalan, saran dan juga kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H., selaku Pembahas II, masukan dan saran yang diberikan selama proses perbaikan skripsi ini.

7. Bapak Zulkarnain Ridwan, S.H., M.H., selaku pembimbing akademik yang selama ini memberikan dukungan selama ini .

8. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh studi.

9. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

10.Terima kasih kepada mbak Sri, mbak Yanti, dan babe yang sudah membantu penulis dalam tahap-tahap sampai skripsi.

11.Terima kasih kepada para Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung , yang telah memberikan izin penelitian dan memberikan bantuan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian.

12.Untuk Sahabat-sahabatku: Aisha Andiarina, Estu Lestari, Diah Ayu Sartika, Rizella Ananda Putri, Devy Citra Firdaus, Chairinta Bunga Ayu, Rizky Putri Khairunisa, Vega Sarlita,dan Ocktaria Trianti. Kalian adalah sahabat terbaikku dalam suka dan duka, thank you and i love you now and forever.

(11)

iii

Penulis berdoa semoga semua kebaikan dan amal baik yang telah diberikan akan mendapatkan balasan pahala dari sisi Allah SWT, dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, 15 Desember 2014 Penulis

(12)

DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 10

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 10

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 11

E. Sistematika Penulisan ... 15

II TINJAUAN PUSTAKA ... 16

A. Pengertian Kejaksaan ... 16

B. Tugas Pokok Kejaksaan ... 17

C. Kedudukan dan Fungsi Kejaksaan ... 19

D. Sistem Peradilan Pidana ... 26

E. Tinjauan Umum Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 29

III METODE PENELITIAN ... 32

A. Pendekatan Masalah ... 32

B. Sumber dan Jenis Data ... 32

C. Penentuan Narasumber... 34

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 34

E. Analisis Data ... 35

(13)

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Karakteristik Responden ... 36

B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 470/Pid/Sus/2011/PNTK) ... 40

C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Sebagai Pelaku Tindak pidana perdagangan orang (Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 470/Pid/Sus/2011/ PNTK) ... 53

V PENUTUP ... 61

A. Kesimpulan ... 61

(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat yang mulia sekaligus melanggar hak asasi manusia, sehingga harus dicegah. Human traficking

terhadap perempuan dan anak telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan telah mengancam tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta norma-norma yang telah dilandasi dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal ini bermakna bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan kejahatan yang bersifat transnasional atau lintas negara 1Kemiskinan pada umumnya dianggap sebagai faktor utama penyebab

1

(15)

2

perdagangan orang, meskipun demikian kemiskinan bukanlah satu-satunya indikator untuk terjadinya perdagangan orang. Kemiskinan akan menempatkan orang pada posisi putus asa yang membuat mereka rentan untuk mengalami eksploitasi. Meski demikian, kemiskinan dan keinginan seseorang untuk mening-katkan kondisi ekonominya tetap merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam program dan kebijakan pembangunan untuk menghapuskan praktik perdagangan orang agar tidak berkembang dan mengancam generasi muda bangsa. Selain itu karena pengaruh kemajuan teknologi, globalisasi dan derasnya arus informasi serta keinginan para pelaku kejahatan untuk memperoleh keuntungan yang besar dalam jangka waktu cepat dalam situasi ekonomi yang memburuk seperti sekarang ini. 2

Perempuan dan anak merupakan kelompok yang umumnya menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang, melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat

hlm. 12

2

(16)

sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban. 3

erdagangan orang merupakan jenis tindak pidana yang melanggar harkat dan martabat kemanusiaan, oleh karena itu aparat penegak hukum melaksanakan peran dan fungsinya masing-masing dalam sistem peradilan pidana untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.

Berdasarkan data Kepolisian Republik Indonesia pada tahun 2011 tercatat data tindak pidana perdagangan orang berjumlah sebanyak 2.683 perkara, pada tahun 2012 mengalami peningkatan menjadi 2.992 perkara dan pada tahun 2013 kembali meningkat menjadi 3.021 perkara. 4 Sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Jumlah Tindak Pidana Perdagangan Orang Tahun 2011-2013

No Tahun Jumlah Perkara

Gadis Arivia. Posisi Rentan Kaum Perempuan di Tengah Kejahatan Kontemporer. Jakarta, Kalyanamitra, 2009. hlm. 27

4

(17)

4

Sumber: www.antaranews.com.datatindakpidanaperdaganganorang.html.

Sesuai dengan data tersebut maka diketahui bahwa terjadi peningkatan perkara tindak pidana perdagangan orang. Kondisi ini tentunya menjadi keprihatinan dan perhatian semua pihak baik pemerintah, LSM dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mencari jalan penyelesaian yang paling baik guna mengatasi permasalahan perdagangan orang ini sehingga tidak sampai merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang memiliki peranan yang besar dalam penyelengaraan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menjamin kepentingan mayoritas masyarakat atau warga negara, terjaminnya kepastian hukum sehingga berbagai perilaku kriminal dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan anggota masyarakat atas anggota masyarakat lainnya akan dapat dihindarkan. Penegakan hukum dapat mengantisipasi berbagai penyelewengan pada anggota masyarakat dan adanya pegangan yang pasti bagi masyarakat dalam menaati dan melaksanakan hukum dan merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum dalam suatu sistem peradilan pidana.

(18)

pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Setiap instansi tersebut menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya. Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana di Indonesia merupakan alur yang tidak terputus, yaitu dilaksanakan oleh polisi dengan penyidikan dan meneruskan perkaranya ke kejaksaan dan kejaksaan melakukan penuntutan di muka pengadilan. Hal di atas adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime control suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 5

Salah satu komponen aparat penegak hukum yang melaksanakan upaya penanggulangan tindak pidana korupsi adalah Kejaksaan. Hal ini sesuai dengan salah satu substansi penting Amandemen UUD 1945 yaitu mempertegas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 38 yang menyatakan bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, salah satunya adalah Kejaksaan Republik Indonesia.

5

(19)

6

Dasar hukum mengenai keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). Menurut ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Kejaksaan, disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa Kejaksaan adalah suatu lembaga, badan, institusi pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain. Sementara orang yang melakukan tugas, fungsi, dan kewenangan itu disebut Jaksa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Kejaksaan yaitu, “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”. Dengan demikian maka Jaksa selain tugasnya di bidang penuntutan, juga diberi kewenangan lain oleh undang-undang misalnya sebagai Jaksa Pengacara Negara, Eksekutor putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai penyelidik tindak pidana tertentu, dan lain-lain. Seorang Jaksa dalam menjalankan tugasnya harus tunduk dan patuh pada tugas, fungsi, dan wewenang yang telah ditentukan dalam UU Kejaksaan.Secara khusus dalam

penanganan perkara tindak pidana perdagangan manusia (human

traficking), Jaksa melaksanakan peran sebagaimana diatur dalam Pasal 1

Ayat 6a Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

bahwa sebagai pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh

(20)

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta

wewenang lain berdasarkan undang- undang.

Peran Jaksa dalam peradilan pidana sangat luas meliputi seluruh tahap penanganan perkara pidana yaitu tahap penyidikan, tahap penuntutan, tahap pemeriksaan di sidang pengadilan,tahap upaya hukum dan tahap eksekusi. Dalam tahap penyidikan, untuk tindak pidana umum jaksa berperan melakukan kegiatan prapenuntutan terhadap hasil kegiatan yang dilakukan oleh penyidik kepolisian dan penyidik lainnya, untuk tindak pidana khusus jaksa berperan sebagai penyidik. Dalam tahap penuntutan jaksa berperan melimpahkan berkas perkara ke pengadilan negeri yang disertai dengan surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan di persidangan. Dalam tahap pemeriksaan di sidang pengadilan jaksa berperan membuktikan dakwaannya terhadap terdakwa. Dalam tahap upaya hukum biasa baik banding maupun kasasi jaksa berperan menyusun memori dan atau kontra memori banding, kasasi, sedangkan dalam tahap upaya hukum luar biasa jaksa berperan menyiapkan bahan- bahan (alasan-alasan mengajukan kasasi demi

kepentingan hukum) yang

digunakan oleh Jaksa Agung untuk menempuh upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum. Dalam upaya hukum peninjauan kembali (PK) jaksa berperan menghadiri sidang PK untuk menyampaikan pendapat berkaitan dengan pengajuan permohonan PK yang diajukan oleh pemohon (si terpidana dan atau ahli warisnya). Dalam tahap eksekusi jaksa berperan dalam mengeksekusi seluruh putusan perkara pidana.

(21)

8

bidang penuntutan tindak pidana, termasuk tindak pidana perdagangan manusia. Pada tahun 2012 jumlah tindak pidana perdagangan manusia mencapai 5 perkara dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 6 perkara.

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka penulis akan melakukan penelitian dan menuangkannya ke dalam skripsi berjudul: Peranan Jaksa Penuntut Umum dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Perdagangan Manusia (human traficking)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan manusia (human traficking)?

b. Apakah faktor-faktor yang menghambat peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan manusia (human traficking)?

2. Ruang Lingkup Penelitian

(22)

B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan manusia (human traficking)

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan manusia (human traficking)

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut:

a. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berhubungan dengan peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan manusia (human traficking).

b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan dan kontribusi positif bagi aparat penegak hukum dalam menanggulangi tindak pidana perdagangan orang pada masa-masa yang akan datang.

C. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

(23)

10

dalam penelitian ilmu hukum. Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Teori Peranan

Peranan adalah aspek dinamis kedudukan (status), yang memiliki aspek-aspek sebagai berikut:

1) Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.

2) Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

3) Peranan juga dapat diartikan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.6

Secara umum peranan adalah suatu keadaan di mana seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya dalam suatu sistem atau organisasi. Kewajiban yang dimaksud dapat berupa tugas dan wewenang yang diberikan kepada seseorang yang memangku jabatan dalam organisasi.

Selanjutnya peranan terbagi menjadi:

a. Peran normatif adalah peranan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada seperangkat norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat

b. Peran ideal adalah peranan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada nilai-nilai ideal atau yang seharusnya dilakukan sesuai dengan kedudukannya di dalam suatu sistem.

c. Peran faktual adalah peranan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada kenyataan secara kongkrit di lapangan atau kehidupan sosial yang terjadi secara nyata. 7

b. Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

6

Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pngantar. Rajawali Press. Jakarta. 2002. hlm.242 7Ibid

(24)

c. Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut:

1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. 2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.

3) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.

4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik.

5) Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudah menegakannya.8

8

(25)

12

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian9. Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Peranan adalah aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang

melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peran10

b. Penanggulangan tindak pidana adalah berbagai tindakan atau langkah yang ditempuh oleh aparat penegak hukum dalam rangka mencegah dan mengatasi suatu tindak pidana dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan melindungi masyarakat dari kejahatan11

c. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku12

d. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum13

9

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.103 10

Soerjono Soekanto. Op Cit. 2002. hlm.243

11

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23

12

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 46.

13

(26)

e. Tindak pidana perdagangan orang adalah perbuatan melawan hukum oleh setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman dan penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 2 Ayat 1 UU Nomor 21 Tahun 2007).

f. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan).

g. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan).

D. Sistematika Penulisan

Ssistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: I PENDAHULUAN

(27)

14

II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai referensi atau bahan pustaka terdiri dari pengertian dan jenis tindak pidana, tindak pidana perdagangan orang dan kejaksaan.

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat penelitian, yaitu peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan manusia (human traficking) dan faktor-faktor yang menghambat peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan manusia (human traficking)

V PENUTUP

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kejaksaan

Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). Menurut ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Kejaksaan, disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. 1 Kejaksaan adalah suatu lembaga, badan, institusi pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain. Sementara orang yang melakukan tugas, fungsi, dan kewenangan itu disebut Jaksa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Kejaksaan yaitu, “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”. Jadi, perlu digaris bawahi bahwa selain tugasnya di bidang penuntutan, juga diberi kewenangan lain oleh undang-undang misalnya sebagai Jaksa Pengacara Negara, Eksekutor putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai penyelidik tindak pidana tertentu, dan lain-lain.

1

(29)

16

Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Undang-Undang Kejaksaan memperkuat kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.

Tugas Pokok Kejaksaan

Seorang Jaksa dalam menjalankan tugasnya harus tunduk dan patuh pada tugas, fungsi, dan wewenang yang telah ditentukan dalam UU Kejaksaan. Tugas adalah amanat pokok yang wajib dilakukan dalam suatu tindakan jabatan. Sedangkan wewenang adalah pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan kompetensi yurisdiksi baik kompetensi relatif maupun kompetensi mutlak. Dengan tugas dan wewenang, suatu badan dapat berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuan badan tersebut.

2

Sehubungan dengan itu, maka antara fungsi, tugas dan wewenang merupakan tiga kata yang selalu berkaitan satu sama lain. Mengenai dua kata yang selalu berkaitan antara tugas dan wewenang dapat dibuktikan secara tertulis dalam beberapa undang-undang, dalam hal ini diambil contohnya dalam Pasal 30

2

(30)

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan Republik Indonesia, yaitu:

Dalam bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

a. Melakukan penuntutan

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

(1) Dalam bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

(2) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.

(31)

18

Korupsi sebagiana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

junto Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan Republik Indonesia, Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membaahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan Republik Indonesia Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Pasal 33 menyatakan bahwa Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Pasal 34 menyatakan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instalasi pemerintah lainnya.

B. Kedudukan dan Fungsi Kejaksaan

1. Kedudukan Kejaksaan

(32)

pada saat ini semakin dituntut kapabilitasnya dalam mewujudkan supremasi hukum, termasuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Jaksa adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bertindak demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan senantiasa menjunjung tinggi prinsip bahwa setiap warga negara bersama kedudukan di depan hukum.

Kejaksaan dalam hal ini menjadi salah satu bagian penting dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, yaitu suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.

(33)

sendiri-20

sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.

Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memarahi orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang di muka pengadilan. Ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime control suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:Kep– 225/A/J.A/05/2003 tentang Perubahan Atas Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Perubahan Atas Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Kep-115/A/J.A/10/1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, pada Pasal 129 disebutkan bahwa Jaksa Agung Muda Intelijen adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang intelijen yustisial.

(34)

politik, ekonomi, keuangan, pertahanan keamanan dan ketertiban umum untuk mendukung kebijaksanaan penegakan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif, melaksanaan dan atau turut menyelenggarakan ketertiban dan ketenteraman umum serta pengamanan pembangunan nasional dan hasil-hasilnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. Pada dasarnya peranan intelijen yustisial kejaksaan bersifat mendukung pelaksanaan tugas bidang-bidang lain yang ada di kejaksaan seperti: Pidana Khusus (Pidsus), Pidana Umum (Pidum), Pedata dan Tata Usaha Negara (Datun), Pengawasan dan Pembinaan. Intelijen Kejaksaan merupakan intelijen yustisial yaitu kegiatan-kegiatan intelijen yang untuk mendukung keberhasilan penanganan perkara pidana, mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi.

Selain itu berdasarkan Keputusan Jaksa Agung No-552/A/JA/10/2002 tanggal 23 Oktober 2002 tentang Administrasi Intelijen Yustisial Kejaksaan, dinyatakan bahwa Bidang Intelijen mempunyai tugas melakukan kegiatan intelijen yustisial di bidang ideologi, politik, ekonomi, keuangan, sosial budaya dan pertahanan keamanan untuk mendukung kebijaksanaan penegakan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif melaksanakan dan atau turut serta menyelenggarakan ketertiban dan ketenteraman umum serta pengamanan pembangunan nasional dan hasilnya di daerah hukum Kejaksaan yang bersangkutan.

(35)

22

semakin meingkat dan berkembangnya kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, banyaknya aliran keagamaan dan aliran-aliran kepercayaan yang dapat menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat dan dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum, merusak kerukunan antar umat beragama maka perlu dilakukan pengawasan secara intensif.

2. Fungsi Kejaksaaan

Berdasarkan Instruksi Jaksa Agung RI no: INS-002/A/JA/1/2010 tentang Perencanaan Stratejik dan Rencana Kinerja Kejaksaan RI Tahun 2010-2015, Fungsi Kejaksaan adalah sebagai berikut:

(1) Perumusan kebijaksanaan pelaksanaan dan kebijaksanaan teknis pemberian bimbingan dan pembinaan serta pemberian perijinan sesuai dengan bidang tugasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung;

(2) Penyelengaraan dan pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana, pembinaan manajemen, administrasi, organisasi dan tatalaksanaan serta pengelolaan atas milik negara menjadi tanggung jawabnya;

(3) Pelaksanaan penegakan hukum baik preventif maupun yang berintikan keadilan di bidang pidana;

(36)

peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan Jaksa Agung;

(5) Penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak berdasarkan penetapan Hakim karena tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri;

(6) Pemberian pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah, penyusunan peraturan perundang-undangan serta peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

(7) Koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan, baik di dalam maupun dengan instansi terkait atas pelaksanaan tugas dan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.

Kejaksaan merupakan komponen kekuasaan eksekutif dalam urusan penegakan hukum dan langsung di bawah presiden. Tugas dan fungsi Kejaksaan Tinggi dilaksanakan oleh pejabat yang ada di lingkungan Kejaksaan Tinggi dan telah ditentukan dalam Keputusan Jaksa Agung yang mengatur tiap-tiap pejabat yang ada di KejaksaanTinggi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai aparat penegak hukum dan sebagai Pegawai Negeri Sipil.

(37)

24

(1) Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut di-laksanakan secara merdeka. Oleh karena itu, kejaksaan dalam melak-sanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan.

(2) Untuk membentuk jaksa yang profesional harus ditempuh berbagai jenjang pendidikan dan pengalaman dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang. Sesuai dengan profesionalisme dan fungsi kejaksaan, di-tentukan bahwa jaksa merupakan jabatan fungsional. Dengan demikian, usia pensiun jaksa yang semula 58 (lima puluh delapan) tahun ditetapkan menjadi 62 (enam puluh dua) tahun.

(38)

(4) Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penegakkan hukum dengan berpegang pada peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian, Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan mempunyai kewenangan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga membela dan melindungi kepentingan rakyat.

C. Peran Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 3

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan

3

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana IndonesiaMelihat Kejahatan dan Penegakan

Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta. 1994.

(39)

26

demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum. 4

Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.

Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memarahi orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang di muka pengadilan. Ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime control suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 5

Selanjutnya tampak pula, bahwa sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun

4

Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung. 1996. hlm. 2

5

(40)

kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar subsistem peradilan pidana yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

Satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu due process of law yang dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.6

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak warga masyarakat meski ia menjadi pelaku kejahatan, namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk disidang di muka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak .

Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak tersebut ialah sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang menghormati hak-hak warga masyarakat . Kebangkitan hukum nasional

6

(41)

28

mengutamakan perlindungan hak asasi manusia dalam sebuah mekanisme sistem peradilan pidana. Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum berdasarkan undang-undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggung jawab. Namun semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling interrelasi dan saling mempengaruhi satu sama lain .

D. Tinjauan Umum Tindak Pidana Perdagangan Orang

Untuk mengetahui pengertian tindak pidana perdagangan anak adalah setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).7

Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran

7

(42)

harkat dan martabat manusia. Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama PBB.

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, menyiapkan ancaman bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang yaitu sebagai berikut:

1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada Ayat (1). (Pasal 2 Ayat 1 dan 2 UU Nomor 21 Tahun 2007).

2) Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima betas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (Pasal 3 UU Nomor 21 Tahun 2007).

3) Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima betas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600. 000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2007).

(43)

30 tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (Pasal 6 UU Nomor 21 Tahun 2007).

Tindak pidana perdagangan orang merupakan bentuk nyata pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut penjelasan umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa setiap manusia di anugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya.Disamping untuk mengimbangi kebebasan tersebut, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

(44)

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah:

Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Hak-hak ini sifatnya sangat mendasar atau asasi (fundamental) dalam arti pelaksanaanya mutlak diperlukan tanpa diskriminasi agar manusia dapat berkembang sesuai dengan bakat, cita-cita serta martabatnya. Karena itu setiap pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia harus dihapuskan karena bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Adapun 10 hak yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia, terdiri dari : a. Hak untuk hidup

b. Hak untuk berkeluarga

c. Hak untuk mengembangkan diri d. Hak untuk memperoleh keadilan e. Hak atas kebebasan pribadi f. Hak atas rasa aman

g. Hak atas kesejahteraan

h. Hak untuk turut serta dalam pemerintahanHak wanita i. Hak anak

(45)

32

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus1.

B. Sumber dan Jenis Data

Data merupakan sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian yang berasal dari berbagai sumber. Data terdiri dari data langsung yang diperoleh dari lapangan dan data tidak langsung yang diperoleh dari studi pustaka. Jenis data meliputi data primer dan data sekunder 2.

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari berbagai bahan hukum yang berhubungan dengan penelitian ini, yang terdiri dari:

1

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.14 2Ibid

(46)

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini bersumber dari:

a. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia d. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia

e. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

f. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan hokum yang mendukung bahan hokum primer, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

3. Bahan Hukum Tersier

(47)

34

C. Penentuan Narasumber

Penelitian ini membutuhkan narasumber yang berfungsi sebagai pemberi informasi dan data yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Narasumber adalah 2 orang Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung.

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka (library research). Studi pustaka adalah pengumpulan data dengan melakukan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan dan dilakukan pula studi dokumentasi untuk mengumpulkan berbagai dokumen yang berkaitan dengan penelitian.

2. Pengolahan Data

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data lapangan atau data empirik, sehingga data yang diperoleh dapat mempermudah permasalahan yang diteliti. Pengolahan data meliputi tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi Data

(48)

b. Klasifikasi Data

Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.

c. Penyusunan Data

Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

(49)

V. PENUTUP A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan manusia (human traficking) adalah melaksanakan penuntutan setelah menerima berkas atau hasil penyidikan dari penyidik kepolisian. Kejaksaan menunjuk seorang jaksa untuk mempelajari dan menelitinya yang kemudian hasil penelitiannya diajukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari). Hasil penyidikan yang telah lengkap dan dapat diajukan ke pengadilan Negeri. Dalam hal ini Kajari menerbitkan surat penunjukan Penuntutan Umum. Penuntut umum membuat surat dakwaan dan setelah surat dakwaan selesai kemudian dibuatkan surat pelimpahan perkara yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri.

2. Faktor-faktor yang menghambat peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan manusia (human traficking) adalah:

(50)

terdakwa terhadap saksi korban serta adanya rasa malu untuk hadir dipersidangan . Sulit menghadirkan saksi juga dapat dikarenakan saksi korban berada diluar daerah sehingga sulit untuk menghadirkan saksi ke persidangan.

b. Faktor Aparat Penegak Hukum yang menghambat peranan Jaksa Penuntut Umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan manusia (human traficking) adalah Penyidik sering tidak dapat memenuhi petunjuk penuntut umum ataupun petunjuknya sulit dimengerti penyidik, sehingga menyebabkan berkas perkara bolak-balik penuntut umum ke penyidik dan sebaliknya.

c. Faktor Masyarakat, yaitu adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan manusia (human traficking).

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Institusi kejaksaan disarankan untuk meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan berbagai lembaga penegak hukum lainnya dalam upaya penanggulangan tindak pidana human traficking. Dengan adanya koordinasi dan kerjasama tersebut maka diharapkan tindak pidana human traficking ini akan dapat diantisipasi dan diminimalisasi di masa yang akan datang.

(51)

64

(52)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2001.

____________. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2001.

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. __________________. Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti.

Bandung. 2001

__________________. Sistem Peradilan Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001

Boediono. Ekonomi Moneter. BPFE. Yogyakarta. 1990.

Leden Marpaung. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. 1992.

Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi) Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum UI. Jakarta. 1994.

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. 1993.

__________ Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993.

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996.

Reksodiputro, Mardjono. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat

(53)

____________. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana

Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI. Jakarta. 1994 ____________. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan

Keadilan dan Pengabdian Hukum UI. Jakarta. 1996

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 1983.

B. UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Pemberlakuan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak

Gambar

Tabel 1. Jumlah Tindak Pidana Perdagangan Orang Tahun 2011-2013

Referensi

Dokumen terkait

Fungsi hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang

Skripsi dengan judul “Pemisahan Berkas Perkara Pidana (Splitsing) oleh Penuntut Umum dalam Pembuktian Suatu Tindak Pidana dengan Delik Penyertaan (Studi pada

Alat bukti yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam pembuktian perkara tindak pidana pembunuhan berencana yang menggunakan racun adalah kesaksian, surat- surat (BAP, surat

Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum Penuntut Umum menyusun penggabungan perkara dalam satu surat dakwaan atas nama Budi Santoso pada perkara

dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141. KUHAP, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa

Apabila dirasa belum lengkap, maka jaksa mengembalikannya kepada penyidik dengan disertai petunjuk-petunjuk seperlunya (Pasal 14 KUHAP), dalam hal penyidik segera melakukan

Penulis dalam proses menyusun penulisan hukum yang berjudul “Implementasi Pasal 138 ayat (2) KUHAP tentang Pengembalian Berkas Perkara dari Penuntut Umum Kepada

Setelah Penuntut Umum menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak