• Tidak ada hasil yang ditemukan

Zizek Adalah Superego atau Hanya Subyek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Zizek Adalah Superego atau Hanya Subyek"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

“Žižek!” Adalah Superego, atau H anya Subyek yang

Pup

Lancar yang Bisa Radikal

1

Oleh: Hizk ia Yosie Polimpung

“Lancarkah pup anda hari ini?”—pertanyaan yang sangat tidak ilmiah ini akan mengiringi pembahasan saya dalam makalah singkat ini.

Dalam ulasannya tentang buku Slavoj Žižek berjudul In Defense of the L ost Causes, Terry Eagleton melihat Žižek lebih sebagai fenomena ketimbang filsuf:

“Slavoj Žižek is less a philosopher than a phenomenon. .. Žižek has been travelling the globe like an intellectual rock star for the past twenty years, gathering as he goes an immense fan club. He is outrageous, provocative and entertaining. He was, he tells us, tempted to suggest for the dust jacket of one of his books: “In his free time, Žižek likes to surf the internet for child pornography and teach his small son how to pull the legs off spiders”.”2

Keunikan, kejenakaan, kevulgaran, bahkan ke-menjijikkan-an Žižek dalam teori maupun teorisasinya seringkali justru malah menjadikannya sebuah ikon budaya-pop ketimbang seorang teoritisi budaya-pop. Alhasil, Eksentrisisme Žižek menghadiahinya banyak penggemar.3 Di Indonesia (baca: Jakarta) pun nampaknya demikian—setidaknya sepengetahuan saya, seringkali nama Žižek disebut dan dikutip tanpa menyadari konteks, syarat dan konsekuensinya. Akibatnya, pengutipan nama Žižek ini akhirnya hanya menjadi simbol untuk menunjukkan “radikal,” “keren,” “posmarxis,” atau yang agak intelek sedikit, “up-to-date perkembangan ilmu.” Žižek seakan-akan telah menjadi semacam superego di kalangan intelektual (yang merasa) kiri radikal yang secara tidak disadari menyuruh kita untuk menganalisis (hampir) seluruh fenomena secara Žižekian. Tidak ada yang salah dengan ini, namun hal ini rawan menjadikan Žižek sebagai suatu makanan yang disebutnya, meminjam Hegel, “pengetahuan absolut,” lalu menelannya bulat-bulat dan mencernanya demi kesehatan dan kemantapan performa tubuh.4 Bagi Žižek, bukannya membawa kesehatan, hal ini malah membuat orang tersebut ... sembelit.

Subyek final Hegelian, sebagaimana ditafsirkan Žižek, adalah subyek yang mampu melakukan gerak-berlawanan dari tindakan memakan pengetahuan absolut tadi, yaitu ... pup. Subyek di akhir sejarah Hegel adalah subyek yang telah mengosongkan dirinya dari segala macam substansi yang mengisi dan yang mewarnai sejarahnya; dengan kata lain, subyek absolut adalah ‘subyek yang kosong’. Keengganan untuk pup—entah karena “malu,” atau karena “tidak tahu dimana letak toilet”—akhirnya membuat sang subyek menderita sembelit.

Syukurlah, atas rahmat The Big O (L Besar), Marjin Kiri menerbitkan disertasi Robertus Robet kedalam buku Manusia Politik : Subyek Radik al dan E mansipasi di E ra Kapitalisme Global menurut Slavoj Žižek ini. Harapan saya, buku ini bisa menginformasikan kepada saya dan orang-orang yang saya sindir di atas tentang pentingnya ‘subyek yang kosong’ dalam filosofi Žižek, dan dengan demikian menjadikannya suatu laksatif alias obat pencahar supaya kami bisa mem-pup -kan Žižekdengan lancar, teratur, dan yang terpenting: enjoy!

1 Makalah ini masih berupa draft, untuk disajikan dalam Diskusi Buku Robertus Robet, Manusia Politik : Subyek Radik al dan E mansipasi di E ra Kapitalisme Global menurut Slavoj Žižek (Tangerang: Marjin Kiri, 2010) di Cak Tarno Institute, Depok, 8 Mei 2010.

2 Terry Eagleton, “The phenomenal Slavoj Zizek: Is there any subject on earth that isn’t grist to Zizek's intellectual

mill?” The Times L iterary Supplement, 23 April 2008.

3 Pernah ia tiba-tiba dipeluk seseorang pendengar sekaligus penggemarnya sehabis ia “berkhotbah” di Inggris. Lihat

video dokumenter Astra Taylor, Zizek ! (US/Canada: Zeitgeist Video, 2005)

4 Slavoj Žižek, “Preface to the New Edition: The Idea’s Constipation?” dalam TheSublime Object of Ideology, edisi

(2)

2 Melalui makalah ini saya akan melakukan tiga hal: pertama, membahas poin-poin yang ingin dipropagandakan bung Robet melalui setiap lembar bukunya, yaitu tentang apa yang dimakudnya sebagai ‘subyek radikal’ yang memungkinkan emansipasi di era kapitalisme global kontemporer saat ini. Kedua, membahas dan mengomentari baik pemikiran Žižek yang disajikan bung Robet maupun pemikiran bung Robet sendiri atas Žižek dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tema yang diusungnya: subyek radikal, politik emansipasi, dan kapitalisme global. Terakhir, saya mengusulkan beberapa proposal baik tentang pemikiran Žižek maupun tema-tema yang di bahas bung Robet. .... Dan tentu saja saya akan mempertanggung-jawabkan judul saya: “hanya subyek yang pup lancar yang bisa radikal.”

Menuju Subyek Radikal Emansipatoris Žižekian

Kesan pertama melihat sampul buku ini: optimisme utopia—bagaimana mungkin seorang bocah (di Gaza) bisa-bisanya menggeledah seorang prajurit (Israel)?5 Tidak mungkin bukan? Tetapi justru di situ letak positifnya: semakin utopis, semakin ia tak terkorupkan oleh hegemoni Simbolik, dan semakin ia kuat mendorong subyek untuk bertindak politis. Saya kira ini adalah titik awal yang baik.

Mengiringi saat-saat perdana saya membaca buku bung Robet, kidung-kidung perkabungan dikumandangkan oleh baik penerbit maupun bung Robet sendiri untuk mendeskripsikan situasi kontemporer: “era matinya segala sesuatu”(h.v)—sedari komunikasi sampai politik, dari filsafat sampai idiologi, bahkan sebagaimana judul Bab 1, Subyek itu sendiri juga sudah mati. Kidung-kidung sedih ini pun diselingi dengan nada-nada sinis, pesimistis, fatalis dan serba relatif dalam menjalani kehidupan di “era matinya segala sesuatu.” Adalah hermeneutika, filsafat analitika, (pasca)strukturalisme dan pascamodernisme yang ditengarai menjadi sumber nada-nada demikian. Optimisme bung Robet nampaknya membuatnya gelisah dengan situasi demikian, dan pada gilirannya membuatnya melakukan tindakan untuk menyudahi fatalitas warisan pascamodernisme alias posmo ini.6 Kontribusi bung Robet di sini adalah dengan merekonstruksi subyek dan meradikalkannya melalui (utamanya) pemikiran Slavoj Žižek. Ia yakin, hanya dengan inilah politik emansipatoris radikal dimungkinkan terjadi di alam posmo ini.

Sebelum memformulasikan subyek radikalnya, pada Bab 2 bung Robet menjabarkan sekompleks, segila, dan seaneh apakah alam posmo saat ini yang membuat “subyek memerlukan kualifikasi ‘kegilaan’ tertentu” (29) untuk melakukan suatu terobosan emansipatoris radikal-politis. Bahwa kapitalisme merupakan karakteristik utama alam posmo saat ini bukanlah sesuatu yang baru. Namun, bagaimana kapitalisme kontemporer di era posmo ini habis-habisan mereduksi subyek menjadi tak lebih dari robot-robot ekonomi yang terprogram dengan baik, mengurung subyek dalam rutinitas semu pendulangan profit, dan terlebih menyulap subyek menjadi pembela-pembelanya sekalipun sang subyek tersebut pada dasarnya justru sedang dieksploitasi, adalah hal yang sama sekali baru.

Masyarakat dalam kapitalisme kontemporer ini dipahami Robet sebagai masyarakat resiko, dimana segala sesuatunya di satu sisi serba tak menentu dan di sisi lain juga serba beresiko tinggi. Saking tak menentunya, tidak ada basis tindakan yang dapat menjadi pakem bagi suatu keputusan bertindak tertentu, sekalipun hal itu dilakukan oleh para penguasa—the big O (L besar), kata Žižek. Situasi inilah yang membuat para penguasa tadi lumpuh karena mengalami, meminjam Habermas, “krisis legitimasi.” Akibatnya, refleksivitas mewabah di masyarakat yang akhirnya memberi pukulan besar bagi fondasi seluruh aspek kehidupan manusia: negara,

5 Lihat sampul belakang bagian bawah untuk keterangan sumber sampul ini.

6 Demi efisiensi penggunaan bahasa, dan tanpa bermaksud memukul-rata, saya akan menggunakan posmo untuk

(3)

3 identitas, idiologi, dan agama. “Tuhan sudah mati”—kumandang Nietzsche; “Tuhan sudah mati; segala sesuatunya diperbolehkan”—improvisasi Dostoevsky ... benarkah demikian?

Tidak—bagi Žižek. Mengikuti Master-nya, psikoanalis Jacques Lacan, yang terjadi justru sebaliknya: “jika Tuhan mati, segala sesuatunya dilarang.”7 Kata bung Robet, “kebebasan yang diperoleh dengan hancurnya Sang Lain Besar dinikmati sebagai beban yang termanifestasikan dalam kerinduan akan disiplin.”(38)8 Disiplin macam apakah gerangan? Yaitu disiplin “dalam rangka memenuhi kewajiban untuk menikmati [kebebasan] itu sendiri,” (46) atau “perintah untuk menikmati dunia seluas-luasnya”(47): “‘enjoy!’ is superego.”9 Dipandang dari psikoanalisis Lacanian, hal ini sangat menarik karena pertentangan antara superego dan penikmatan (jouissance, dalam term Lacan) direkonsiliasikan oleh kapitalisme kontemporer: jika dulu penikmatan dihalang-halangi dan dibatasi oleh superego, sekarang superego justru memerintahkan untuk menikmati! Disiplin lain yang muncul pasca hancurnya L besar adalah “agama” baru yang mampu menarik manusia dari hiruk-pikuk duniawi ke arah kedalaman spiritual privat yang menyejukkan ala Buddhisme, Taoisme, dan bahkan filsafat. Penarikan diri ke ruang privat ini “justru sebenarnya sedang mengadopsi otentisitas palsu yang disodorkan industri kebudayaan,”(40) sehingga “privasi itu sendiri berubah menjadi ruang yang terkomodifikasikan”(39). Hal ini akibatnya gawat: kapitalisme akan tampak seolah-olah natural dan menjadi tidak dipertanyakan ... dan akan tetap mengeksploitasi umat manusia.10

Terkomodifikasinya ruang privat ini bukanlah sesuatu yang mengherankan apabila kita menilik natur kapitalisme dalam mengembangkan (baca: meradikalkan) diri, yaitu dengan memanfaatkan sesuatu yang terhilang dari manusia dengan menjadikannya komoditas. Sesuatu yang hilang inilah yang ironisnya menjadi apa yang disebut Lacan objet petit a atau obyek-penyebab-hasrat. Bisakah ia ditemukan? Tidak akan! Namun demikian, bukan berarti ia tidak dapat seolah-olah ditemukan; Kapitalisme selalu berpretensi menawarkan objet a ini...dan selalu mengingkarinya: buktinya, kita tidak akan pernah bisa puas dengan produk-produk kapitalisme. Nah, hal ini tidak akan terjadi apabila kita tidak membiarkan ‘sesuatu yang hilang’ dari kita ini dimanipulasi oleh kapitalisme. Bung Robet mengajak kita untuk pertama-tama menerima (dan bukan menyangkal) kehilangan tersebut sebagai sesutau yang melekat pada diri kita, lalu bergerak maju dengan melihatnya secara politis demi membebaskan, mengemansipasi diri kita dari belenggu kapitalisme.

Bab 3 merupakan klarifikasi bung Robet tentang subyek yang berkehilangan diatas sebagai subyek Žižekian. Subyek-berkehilangan Žižekian bukanlah subyek hasil rekrutan/interpelasi idiologi Althusserian; ia bukan sekedar ‘posisi-subyek’ sebagai efek pengetahuan dan aparatus subyektifikasi Foucauldian; ia juga bukan subyek yang terbentuk oleh diskursus hegemonik a la Laclau-Mouffe. Bagi Žižek, efek idiologi/pengetahuan tidak akan pernah total: saat imaji keutuhan diri yang ditawarkan oleh idiologi, meminjam Judith Butler, ditransliterasikan ke dalam konstruksi simbolik tentang suatu Identitas (‘I’ besar), maka proses tersebut akan selalu menyisakan ekses, yang dalam kategori Lacan jatuh ke dalam yang Riil. Dengan kata lain, nasib seluruh interpelasi ideologis adalah kegagalan: tidak pas, kelebihan, atau kekurangan. Mengapa demikian? “Rahasia besarnya [psikoanalisis],”11 seperti kata Lacan, adalah karena sang Idiologi tersebut, sebagai L besar, juga pada dasarnya berkekurangan!

7 Lih. Slavoj Žižek, ThePlague of Fantasies (London: Verso, 1997), hal 153.

8 Sigmund Freud juga berpendapat serupa, lihat Totem and Taboo, dalam The Standard E dition of the Complete Psychological Work s of Sigmund Freud X III.

9 Slavoj Žižek. For They Know Not What They Do, edisi kedua(London:Verso, 2008), hal. 10.

10 Tentang ini, lihat dokumentasi apik tentang permasalahan-permasalahan kontemporer dan kaitannya dengan

kapitalisme. Slavoj Zizek, L iving in the E nd Times A ccording to Slavoj Zizek , Backlight Video, 2010.

(4)

4 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa subyek adalah ditandai dengan ketidak-mungkinan untuk menjadi subyek; subyek berkehilanganan adalah ontologi dari subyek. Sebaliknya, kekurangan fundamental dari subyek “merupakan satu kesatuan yang membentuk subyek secara konstitutif” (107). Subyek, akhirnya: selalu terdislokasi, selalu retak, selalu gegar, selalu terbelah (Lacan mensimbolisasinya dengan ‘$’), dan selalu tidak mungkin. Walau demikian, ketidak-mungkinan ini adalah sesuatu yang haus dilampaui, seperti kata bung Robet, “yang menjadi soal bukanlah mungkin atau tak mungkin, melainkan bagaimana mendefinisikan yang mungkin dan tak-mungkin itu secara politik.” (109) Tepat di sinilah subyek yang direkonstruksi bung Robet bergerak melampau subyek ala posmo ... yaitu dengan

tindak an. Memahami ketidak-mungkinan secara politis pada akhirnya justru membuka cakrawala

kemungkinan tak berhingga tentang tindakan politis. Namun, tindakan seperti apakah yang dimaksud bung Robet? Sejauh yang saya tangkap ada dua: bunuh diri dan k riminal.

Pertama-tama sebaiknya dipahami dahulu bahwa tindakan di sini bukanlah ‘tindakan sebagai tindakan’ yang kebanyakan diserukan aktifis-aktifis emosional, misalnya “kita sebagai mahasiswa tidak boleh tinggal diam; kita harus bertindak!”, yang ironisnya malah mengarah pada apa yang disebut bung Robet sebagai “‘tindakan’ narsistik yang mengarah pada kecukupan diri” (111) yang jauh dari otentisitas. Tindakan otentik pertama: bunuh diri. Bunuh diri yang dimaksud adalah bunuh diri simbolik, yaitu dengan menarik diri dari koordinat simbolik dan membatalkan semua warisan hukum simbolik yang ada pada kita. Deleuze-Guattari punya jargon menarik tentang ini: “The revolutionary is the first to have the right to say: ‘Oedipus? Never heard of it’”.12 Hal ini dapat dilakukan dengan “mematahkan dan menolak diri serta ‘kemelekatan’ terhadap obyek-obyek yang dimiliki dan dicintai [demi] mendapatkan ruang untuk bertindak secara bebas” (117). Foucault juga bernada serupa, “Maybe the target nowadays is not to discover what we are, but to refuse what we are.”13

Tindakan otentik kedua: kriminal. Disebut kriminal karena tindakan ini adalah selalu diarahkan untuk mengintervensi dan melampaui hukum-hukum simbolik yang mengatur koordinat situasi/realitas sang subyek. Di sini, tindakan memperoleh predikat subversifnya. Dengan inspirasi Badiou, bung Robet mengembangkan teori tindakan ini sebagai suatu kejadian perjumpaan subyek dengan ‘kebenaran’, yang notabene dalam definisi Badiou sama sekali berada di luar jangkauan hukum-hukum simbolik tadi. Syaratnya, sang subyek harus memiliki kesetiaan (fidelity) untuk senantiasa terbuka kepada kebenaran. Žižek melampaui subyek Badiouian yang selalu setia dalam penantian kebenarannya dengan mendorong subyek untuk aktif “memuncratkan kebenaran” (127). Bagaimana caranya? Kembali ke tindakan pertama: bunuh diri. Jadi, kedua bentuk tindakan ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, ia hadir secara bersamaan.14

Sampai sini sekiranya sudah nampak subyek Žižekian yang direkonstruksikan oleh bung Robet: subyek yang “memiliki kapasitas untuk bertindak secara positif melampaui halangan-halanagn simboliknya, namun uniknya, kemampuan dan kapasitas itu hadir justru melalui negativitasnya, melalui kondisinya yang selalu berkekurangan.” (142-3).

12 Odipus disini maksudnya subyek yang telah mengalami proses pengadaban, pendewasaan, atau dalam term

Lacanian, Simbolisasi. Gilles Deleuze dan Félix Guattari, A nti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia (London: the Athlone Press 1984), hal. 96.

13 Michel Foucault, “Afterword: Subject and Power,” dalam Hubert Dreyfus dan Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics, edisi kedua (Chicago: The University of Chicago Press, 1983), hal 216.

14 Pandangan ini nampak tautologis memang, tapi apabila kita menilik gagasan Lacan tentang moebius strip, yang

(5)

5 Pada Bab 4, bung Robet membahas bagaimana fantasi mewabah di kehidupan kita sehari-hari saat ini dan mempengaruhi realitas itu sendiri. Pembahasan tentang fantasi ini dikaitkan dengan idiologi, atau lebih tepatnya mekanisme beroperasinya idiologi. Tesis dasar idiologi Žižekian dalam kaitannya dengan realita adalah ini: idiologi bukanlah suatu kesadaran palsu yang menawarkan pelarian ideal dari realita yang naudzubillah tak tertahankan, justru sebaliknya, idiologi membentuk dan menormalisasi realitas sosial sehari-hari di mana keterlibatan kita di dalamnya sudah di atur tanpa kita sadari. Dengan kata lain: fantasi idiologis adalah penopang realitas itu sendiri. Pertanyaannya, mengapa perlu ditopang? Sebagaimana “rahasia besar psikoanalisis”: karena L besar, yang mengatur koordinat realitas sosial, juga pada dasarnya berkekurangan, kontradiktif, terdislokasi, dan gegar. Cacat inilah yang hendak ditambal dengan fantasi. Dalam masyarakat fasis Jerman 1990an awal misalnya: keterpurukan ekonomi paska perang membuat tatanan masyarakat bergolak, negara diragukan, dan politik kacau balau. Penyangkalan terhadap kenyataan keterpurukan inilah yang menjadi lahan subur bagi tumbuhnya fantasi. Fantasi akan segera mencari kambing hitam untuk “menambal” keterpurukan Jerman ... orang Yahudi kena getahnya.

Peran lain fantasi ketidak-mungkinan yang dieksplorasi bung Robet adalah dalam kaitannya dengan demokrasi. Bagi Žižek ketidak-mungkinan masyarakat merupakan landasan bagi terselenggaranya demokrasi, “demokrasi adalah sistem yang mengakui adanya sesuatu yang kosong, kurang, dan cela” (158). Karena rakyat, yang menjadi subyek dalam kedaulatan, mengidap suatu ketidak-mungkinan, maka dengan demikian kedaulatan adalah ilusi. Oleh karena itu, singgasana kedaulatan harus dibiarkan kosong dan terbuka untuk kontestasi abadi pagi mereka yang silih berganti dalam mengisi kedaulatan, itupun secara sementara. Akan selalu ada ekses yang akan menjadi skisma dalam integritas rezim sementara tersebut. Skisma inilah yang disebut antagonisme. Jadi jelas kiranya bahwa setiap rezim politik tidak akan mungkin bisa secara total dan permanen mengisi ruang kosong ini—suatu ketidak-mungkinan tersendiri. Tepat di sinilah totalitarianisme hadir sebagai penyangkalan ketidak-mungkinan/antagonisme ini demi suatu keutuhan integritas

Bagian berikutnya, bab 5 dan 6, merupakan upaya bung Robet mengaudisi agen dari subyek radikal yang telah diteorikannya. Bagi Žižek, konsepsi klasik kelas sebagai agen revolusi sudah tidak berlaku di era kapitalisme kontemporer yang serba merelatifkan segala sesuatu. Žižek juga mengkritik tawaran agen ala marxis konemporer semenjak Hardt, Negri, sampai Laclau. Bagi Žižek, agen mereka tidak mampu menjawab persoalan pokok dalam kapitalisme, yaitu perselingkuhan superego dengan penikmatan (jouissance). Yang Žižek butuhkan adalah subyek yang mampu melakukan “tindakan yang secara langsung memutus kombinasi persilangan

jouissance itu” (186). Konsekuensinya, tindakan tidak boleh merupakan hasil dorongan imperatif superego, melainkan sebagai aksi non-intensi, bukan keputusan sadar. Untuk ini, Žižek kembali pada kepemimpinan politis Lenin. Namun, nampaknya Lenin masih belum memuaskan bung Robet, karena interpretasi Žižek seakan menganjurkan individu yang terisolir dan jauh dari praktik publik. Kolektivitas adalah hal yang luput, bisa jadi tak mampu, diteorikan oleh Žižek. Bagi bung Robet, ini adalah “kelemahan mendasar Žižek” (215). Sedari sini, bung Robet mencoba menambal kelemahan Žižek dengan berpaling pada Giorgio Agamben, filsuf sekaligus yuris dari Italia. Gagasan Agamben tentang homo sacer, subyek yang tersingkirkan oleh sang penguasa berdaulat melalui proses–proses di luar hukum, nampaknya menggoda bung Robet untuk mengatributkan predikat agen padanya.

(6)

6 subyektivitas kembali melalui kesetiaan terhadap kebenaran, 4) memiliki dimensi kolektivitas (225-6). Selain formulasi yang-politis, filsafat Žižek juga mampu menghadirkan kritik dan pandangan orisinil mengenai kapitalisme, yaitu perselingkuhan superego dengan penikmatan (jouissance).

-o0o-

Sekarang tiba saatnya saya memasang jarak dengan buku Manusia Politik ini. Setidaknya ada dua hal besar yang menjadi usulan saya untuk didiskusikan.

Tentang pengutamaan yang-Riil

Ada tiga permasalahan yang saya kira berakar dari pengutamaan berlebihan atas yang-Riil dalam analisa Lacanian Žižek yang disajikan bung Robet.

1. Tentang totalitarianisme yang tidak-mungkin (162-165). Saya sependapat bahwa fantasi merupakan penyanggah kitidak-mungkinan akan keutuhan masyarakat. Sepakat pula bahwa, misalnya kasus fasisme Jerman, anti-semitisme merupakan fantasi idiologis yang agaknya mampu mengobati keterpurukan Jerman walaupun tidak secara permanen. Problem bagi saya adalah, mengapa inisiatif totalitarianisme muncul dari orang Jerman, dan bukan orang Yahudi? Bukankah keduanya merasakan penderitaan yang sama akibat keterpurukan?

2. Masalah pertama berkaitan dengan masalah kedua. Yaitu tentang peran dan fungsi Riil sebagai penjamin tatanan realitas atau yang-Simbolik. Keberatan saya pertama-tama adalah pada pencampur-adukkan realitas dengan yang-Simbolik, dan Riil bukan satu-satunya penjamin realitas. Bagi saya, realitas memang terdapat andil Simbolik dan Riil, melainkan bukan Simbolik atau Riil an sich! Penting sekirnya menilik apa yang disebut Lacan, yang sayangnya tidak satupun muncul dalam pembahasan bung Robet, sebagai simptom.

Dalam hubungannya dengan ketiga tatanan Riil-Simbolik-Imajiner (RSI), simptom merupakan tatanan ke-4. Tidak hanya itu, simptom adalah yang mengunci RSI dari ketercerai-beraian. Karena apabila hal ini terjadi, maka realitas stabilitas realitas sosial akan kolaps. Mengapa demikian? Karena realitas adalah simptom itu sendiri, malahan menurut Lacan, “symptom is everywhere.” Lacan, seperti biasa, tidak menjelaskannya secara gamblang sehingga membuat orang harus meraba-raba sendiri—mungkin memang itu yang dimaui Lacan. Namun demikian, pembahasan paling sistematis dapat dilihat pada Seminar XXIII:

The Sinthome.15 Secara analitis, symptom bertujuan mengunci Riil, antagonisme fundamental,

sekaligus yang disebut Hegel universalitas konkrit; hal ini dilakukannya dengan mendomestifikasinya ke dalam suatu kontainer imajiner,16 dan akhirnya menyegelnya dengan penanda simbolik. Tadaaa...jadilah apa yang disebut-sebut realitas. Jadi, bisa disimpulkan, definisi analitis bagi simptom: manifestasi simbolik atas keutuhan imajiner yang tak-mungkin.

Apabila bung Robet bermaksud merombak koordinat realitas, maka sebenarnya justru simptomlah kuncinya: sekali simptom dihajar, maka runtuhlah tatanan RSI alias realitas tersebut. Saya akan mengeksplorasi ini melalui permasalahan ketiga.

15 Jacques Lacan, Seminar XXIII: The Sinthome, 1975-76, diterbitkan di Ornicar, 6-11, 1976-1977.

16 Imajiner Lacanian selalu berhubungan dengan gagasan tentang keutuhan, integralitas, dan batas-batas yang jelas

(7)

7 3. Tentang kegagalan Žižek memformulasikan agen yang mantap; saya sepakat tentang ini. Malahan, bagi Laclau agen ala Žižek nampaknya adalah seorang (atau seekor) makhluk Mars (martian).17 Namun problemnya tidak seharusnya ditimpakan kepada psikoanalisis in toto! Kembali ke dua poin di atas, problemnya adalah pada pengutamaan yang terlalu akut pada Riil. Sudah jelas bahwa Riil itu dicirikan Lacan sebagai “that which resist symbolization,” mana mungkin ada perwujudan murni dari subyek yang merupakan delegasi langsung dari Riil?— absurd!

Kembali ke realitas/simptom. Semenjak simptom juga memiliki elemen keutuhan imajiner di dalamnya, maka diskusi seputar natur universalisme—model keutuhan—menjadi relevan di sini. Di samping Žižek, Laclau-Mouffe (dan Jean-Luc Nancy) pun menjadi penting untuk dihadirkan, terutama dalam kaitannya dengan hegemonic struggle.18 Begitu pula Judith Butler juga akan sangat berguna untuk melihat bagaimana Simbolik mentransliterasikan dan akhirnya menyegel keutuhan imaginer ini ke dalam suatu rantai penandaan diskursif yang kokoh dan dinormalisasikan dengan politik performatif.19 Penting pula untuk memasukkan tesis dasar Félix Guattari bahwa “everybody wants to be a fascist.”20

Jadi, gambar besarnya adalah begini: Semenjak subyek dicirikan secara ontologis dengan keberkekurangannya, maka ia akan senantiasa mengkonstruksi fantasi untuk mengkompensasi kekurangannya tersebut, dan rela menundukkan diri di bawah fantasi tersebut. Fantasi tidak akan pernah habis, sama seperti kekurangan fundamental manusia yang abadi. Nah, ada saatnya fantasi keutuhan itu dimanifestasikan dengan ikatan-ikatan tribal, nasional, bahkan seksual. Ikatan inipun dimanifestasikan dengan simbol-simbol tertentu. Namun bisa diduga, itu tidak akan pernah cukup menenangkan subyek, ia akan berusaha memperluas ikatannya dengan fantasi yang lebih luas lagi, dan menciptakan simbol lain lagi. Permasalahannya, saat perluasan ini terjadi, tentu ada subyek fasis lainnya yang harus tersingkir. Tentunya pergesekan akan terjadi, bahkan tidak menutup kemungkinan peperangan: perang diskursus, permainan bahasa, bahkan perang fisik. Dari gambar besar ini sekiranya jelas dalam aspek paling mikro masyarakat, yaitu individu, telah terdapat benih-benih fasisme. Sehingga masyarakat sebaiknya didefinisikan sebagai, lebih dari antagonisme kelas, melainkan antagonisme fasis yang tak terhitung jumlahnya. Sejarah berusaha menetralisir ekspansi fasisme tersebut dengan terus menerus memperkuat simptom realitas. Poinnya adalah ini: bukan kolektivitas yang menjadi utama, melainkan bagaimana suatu diskursus fasis mampu memanipulasi hasrat fasis lain, menguncinya pada domain simbolik, dan melakukan ekspansi diskursifnya!

Kembali ke agen politik emansipatoris. Dengan bertolak dari konsepsi saya tentang realitas sosial dan bagaimana ketiga tatanan RSI terjalin mesra dalam dekapan simptom, maka sasaran pukul yang paling utama bagi saya adalah simptom itu sendiri. Bagaimana itu terjadi? Dengan logika transferensi psikoanaisis Lacanian. Transferensi, sederhananya merupakan momen di mana terjadi analisis antara analis dan analisan: sang analisan mengeluarkan simtomnya (mimik, bahasa, gestur, tulisan, dst) dan sang analis melakukan tiga hal ini: memancing simptom sebanyak mungkin untuk melihat repetisi; “mengkoreksi” (rectify) persepsi subyek tentang nasib/realitasnya sebagaimana nampak dalam simptom; interpretasi

17 Ernesto Laclau, On Populist Reason (London, Verso: 2005), hal. 232. Terima kasih kepada Daniel Hutagalung yang

menunjukkan poin ini pada penulis.

18 Ernesto Laclau & Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy, edisi kedua (London: Verso, 2001).

19 Judith Butler (, E rnesto Laclau, & Slavoj Žižek dalam Contingency, Hegemony, and Universality (London: Verso,

2000); Bodies That Matter: On the discursive limit of “sex” (NY: Routledge, 1993).

20 Félix Guattari, “Everybody wants to be a fascist,” dalam Chaosophy, peny. Sylvere Lotringer(NY: Semiotext(e),

(8)

8 simptom.21 Saya tidak akan detil di sini, hanya aspek koreksi yang ingin saya garis bawahi: koreksi yang dimaksud adalah menunjukkan betapa persepsi subyek tentang realitas tersebut pada dasarnya hanyalah merupakan akal-akalan subyek untuk mengkompensasi fundamental lack yang secara inheren ada pada subyek. Koreksi ini menurut saya cukup efektif dengan mendekonstruksi habis-habisan simptom tersebut. Jadi poin saya: dekonstruksionisme Derrida dkk masih sangat diperlukan di era di mana simptom ada dimana-mana saat ini, dan bukannya harus disudahi. Meninggalkan posmo berarti membuang senjata yang paling ampuh untuk membedah simptom.

Žižek yang lain?

Bagian ini bukan ingin mendiskusikan problem, melainkan suatu tawaran. Bung Robet melihat filsafat Žižek sebagai sejatinya filsafat subyek: “dengan melihat karakter Lacanian dalam pemikirannya, Žižek secara jelas dan mendasar hendak mengarahkan filsafatnya sebagai filsafat subyek.” Tidak ada masalah bagi saya dengan penekanan pada subyek ini, hanya saja agak kontradiktif dengan pengakuan Žižek sendiri yang sebenarnya lebih suka pada budaya-pop.

“[T]he theoretical space of the present book is moulded by three centres of gravity: Hegelian dialectics, Lacanian psychoanalytic theory, and contemporary criticism of ideology. These three circles form a Borromeian knot: each of them connects the other two; the place that they all encircle, the “symptom” in their midst, is of course the author's (and, as the author hopes, also the reader's) enjoyment of what one depreciatingly calls “popular culture”; detective and horror movies, Hollywood melodramas...”22

Saya menawarkan bagi para khalayak sekalian untuk juga mengeksplorasi karya Žižek yang lain di bidang-bidang lain non-subyek—tanpa harus meninggalkan subyek tentunya: budaya-pop, ekonomi politik, teologi, dst. Argumentasi penulis, sama seperti Bung Robet, bahwa pemikiran Žižek agaknya kurang memadai untuk menjelaskan dan memformulasikan agensi subyek. Sehingga daripada berkonsentrasi menggali subyek Žižekian—atau malah ikut-ikutan menunggu makhluk Mars—ada baiknya kita mengekplorasi dimensi lain dari Žižekianisme.

Tawaran kedua. Pengalaman saya membaca buku dan artikel Žižek, menonton video-video kuliah maupun dokumenternya, dan membaca berita-berita tentangnya, membawa saya berkesimpulan: “orang ini sakit!” Gayanya eksentrik, bahasanya nakal, contoh-contohnya mesum, suaranya mendominasi, gestur tubuhnya pun menggelikan. Dimensi ini yang sedikit kabur dalam buku bung Robet: bung Robet kurang “nakal” dan kurang “barok.” Bahkan di buku tentang Žižek lainnya yang ditulis oleh Thomas Kristiatmo, kegenitan Žižek nampak dinafikan, malahan Bambang Sugiharto, dalam pengantarnya, terang-terangan bersyukur karena Thomas berhasil “menyiangi kegenitannya yang tak perlu.”23

Bagi saya, yang membuat Žižek menjadi so Žižek, justru pada gaya baroknya! Kegenitan, kevulgaran, dan kemesuman Žižek sebaiknya diletakkan dalam kerangka propaganda populis. Žižek tidak akan menarik begitu banyak perhatian jika ia tidak mencontohkan tentang pria sok liberal yang khawatir vagina pacarnya dijilati oleh selingkuhannya.24 Ia juga tidak akan disoroti filsuf-filsuf (bahkan mungkin bung Robet) apabila ia tidak memfilosofikan model jembut, atau tipe-tipe toilet dalam kaitannya dengan pup. Ia juga akan kesulitan propaganda kepada anak-anak

21 Jacques Lacan, “The Direction of the Treatment and the Principles of its Power,” dalam É crits: A Selection, terj.

A. Sheridan (London: Tavistock, 1977),

22 Žižek. For They Know Not What They Do, hal. 2.

23 Bambang Sugiharto, “Pengantar: Mengapa subyek, mengapa Žižek?” dalam Redefinisi Subyek dalam Kebudayaan: Pengantar memahami subyek tifitas modern menurut Slavoj Žižek (Bandung: Jalasutra, 2007) hal. xi.

(9)

9

gaul jika ia tidak menghubungkan Berlusconi dengan Kungfu Panda, Hegel dengan film Titanic,25

Sosdem dengan film Hurt L ock er, atau Kierkegaard dengan Keanu Reeves. Begitu pula dengan saya pribadi; yang memikat saya pada Žižek adalah hal-hal ini, terlebih dari teori subyek, kapitalisme dan fantasinya. Sejauh pengamatan saya setidaknya ada lima gaya/metode Žižek dalam berwacana (baca: propaganda):

- Ngepop!

o

Memakai analogi-analogi yang dekat dengan keseharian, membahas film-film,

novel, dst.

- Humor mesum nan menjijikkan

o

Selain contoh-contoh yang saya sitir di atas: memotong testis penguasa,26 gestur

memaju-mundurkan panggul untuk menunjukkan diktum Lacan “there is no sexual relationship.”27 Tujuannya adalah, sebagaimana judul bukunya, supaya kita bisa tarrying with the negative.”28

- Korslet (short circuit)

o

Žižek sering menggunakan metode ini untuk mengganggu aliran “arus”

pemikiran yang lurus-lurus saja: menunjukkan simptomnya, dan serta merta mengkorsletkannya. Di The Parallax V iew, Žižek menghubungkannya dengan teknik parallax view, yaitu melihat sesuatu dengan landasan posisi yang sama sekali berbeda.29

- Memilih yang antagonis

o

Žižek selalu memilih posisi yang bertentangan dengan posisi kebanyakan,

misalnya: berpihak pada Rene Descartes di saat posmo yang anti-Cartesian sedang naik daun, membela Robespierre yang biasanya dianggap otoriter, memilih Kekristenan di saat Marxis standar kebanyakan ateis, dst.

Akhir kata, saya haturkan lautan maaf apabila pembaca budiman menderita karena ke-menjijikan-an, ke-garing-an, dan kevulgaran yang terkandung dalam makalah ini. Namun demikian, saya tidak menyesal karena anda memang harus menderita supaya bisa pup dengan lancar, karena hanya subyek yang pup-nya lancar saja, yaitu yang berani melakukan tindakan bunuh diri, mengosongkan diri dari segala embel-embel hukum simbolik, ... yang bisa radikal. Terima kasih.

E njoy!

May the big O bless you, and “see you either in hell or in communism.”30

Biodata singkat

Hizk ia Yosie Polimpung

Peneliti di Center for International Relations Studies (CIReS) FISIP UI, Pusat Kajian Wilayah A merik a (PKWA ) UI dan L embaga Studi Urban (L SU) Surabaya.

Kritik dan celaan, yosieprodigy@ live.com

25 Demi yang satu ini, Žižek mengaku sangat ingin mewawancara Kate Winslet, pemeran wanita utama Titanic,

bahkan ia rela membayar tiket pesawat ke AS asalkan BBC mengatur janji dan waktunya.

26 Lihat Video Žižek, What does it mean to be a revolutionary today? Pidato pada Marxism Festival 2009, Bloomsburry, 2

Juli 2009.

27 Lihat Video Dokumenter Zizek !

28 Slavoj Žižek, Tarrying With the Negative: Kant, Hegel and the Critique of Ideology (Durham: Duke University Press,

1993).

29 Slavoj Žižek, The Parallax V iew (Cambridge: MIT Press, 2006)

Referensi

Dokumen terkait

Alhamdulillah, atas izin dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Implementasi Pembiasaan Kegiatan TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur‟an)

Hasil dari penelitian menunjukkan terdapat pengaruh signifikan peran persepsi terhadap tagline merek dalam iklan televisi melalui hasil uji hipotesis pada brand

timbang sebanyak (0,200 ± 0,001) g kafein anhidrat ke dalam labu ukur berukuran 1 L. Tambahkan air hangat sampai setengah labu ukur, kocok untuk melarutkan kafein, dinginkan pada

Dalam pelaksanaan instruksional yoga, pertama ada instruksi teknik pernafasan yang mengutamakan pengaturan nafas perlahan di setiap gerakan yoga, kedua instruksi

Uji Chi-square terhadap nisbah kelamin ikan lemeduk di Sungai Belumai Kabupaten Deli serdang Provinsi Sumatera

Nilai F hitung 66,471 > F tabel 2,68 yang artinya semua variabel independen (keputusan investasi, kebijakan deviden, kebjikan hutang dan profitabilitas) dalam

Berdasarkan uji validitas pengaruh (uji t) pada signifikansi (α) sebesar 0,05, variabel belanja daerah dan inflasi memiliki pengaruh positi signifikan terhadap

Perjanjian Kinerja yang diperjanjikan pada Tahun 2015 pada tabel diatas tentang Tingkat Partisipasi Masyarakat/ Perwakilan masyarakat dalam pelaksanaan