PENGARUH PEMBERIAN GIBERELLIN (GA3) DAN ASAM
SALISILAT PADA KONDISI CEKAMAN SALINITAS
TERHADAP PERTUMBUHAN ROSELLA
(
Hibiscus sabdariffa
L
.
)
TESIS
Oleh
AISAR NOVITA
117001024 / AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENGARUH PEMBERIAN GIBERELLIN (GA3) DAN ASAM
SALISILAT PADA KONDISI CEKAMAN SALINITAS
TERHADAP PERTUMBUHAN ROSELLA
(
Hibiscus sabdariffa
L
.
)
TESIS
Untuk memperoleh Gelar Magister Pertanian dalam Program Studi Agroekoteknologi pada Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
OLEH
AISAR NOVITA 117001024
FAKULTAS PERTANIAN
PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : PENGARUH PEMBERIAN GIBERELLIN (GA3) DAN
ASAM SALISILAT PADA KONDISI CEKAMAN SALINITAS TERHADAP PERTUMBUHAN ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L.)
Nama Mahasiswa : Aisar Novita Nomor Induk : 117001024 Program Studi : Agroekoteknologi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Luthfi A.M .Siregar, SP, MSc, PhD) (Prof. DR. Ir. Rosmayati, M.S) Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, M.P) (Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, M.S)
Telah diuji pada
Tanggal 27 Agustus 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
KETUA : Luthfi A.M .Siregar, SP, MSc, PhD
ANGGOTA : 1. Prof. DR. Ir. Rosmayati, M.S
2. Dr. Ir. Chairani Hanum, MP
3. Dr. Ir. Revandy Damanik, MSc
ABSTRAK
AISAR NOVITA. Pengaruh Pengaruh Pemberian Giberellin (GA3) dan Asam Salisilat Pada Kondisi Cekaman Salinitas Terhadap Pertumbuhan Rosella (Hibiscus Sabdariffa). Komisi Pembimbing, Ketua : Bapak Luthfi A.M .Siregar, SP, MSc, PhD dan Ibu Prof. Dr. Ir. Rosmayati, MS selaku anggota komisi pembimbing.
Penelitian ini dilakukan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan, pada Februari 2014 sampai Juni 2014.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 (tiga) faktor dan 3 (tiga) ulangan. Faktor pertama giberellin (GA3) dengan dua taraf
yaitu 0 mg L-1, 5 mg L-1. Faktor kedua asam salisilat dengan tiga taraf yaitu 0 mM, 0,5 mM, 1 mM. Faktor ketiga tingkat salinitas dengan 2 taraf yaitu 0 dsm-1 dan 4-5 dsm-1.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan giberellin menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada peubah pertumbuhan tanaman seperti persentase perkecambahan, tebal kutikula, klorofil a dan b, betakaroten dan warna bunga. Perlakuan asam salisilat menunjukkan pengaruh nyata pada peubah tebal kutikula, klorofil a, klorofil b dan betakaroten. Perlakuan cekaman salinitas berpengaruh nyata pada peubah pertumbuhan dan produksi seperti persentase perkecambahan, tinggi tanaman, diameter batang, tebal kutikula, klorofil a dan b, umur panen, betakaroten, warna bunga dan indeks panen. Interaksi antara giberellin dan asam salisilat memperlihatkan pengaruh nyata pada tebal kutikula, klorofil a dan b, betakaroten. Interaksi antara giberellin dan cekaman salinitas memperlihatkan pengaruh nyata pada peubah pertumbuhan dan produksi seperti persentase perkecambahan, tebal kutikula, klorofil a dan b, betakaroten dan warna bunga. Interaksi antara perlakuan asam salisilat dan cekaman salinitas memperlihatkan pengaruh nyata pada tebal kutikula, klorofil a dan b, betakaroten. Interaksi tiga faktor perlakuan giberellin, asam salisilat dan cekaman salinitas menunjukkan pengaruh yang nyata pada peubah tebal kutikula, klorofil a dan b, betakaroten.
ABSTRACT
Aisar Novita, 2014. “Effects of giberellic acid and Salicylic acid on
Growth of Hibiscus sabdarifa L. Under Salt Stress ”. Supervised by Luthfi A.M. Siregar, SP, MSc, PhD. as the chief ofcommission, and Prof. Dr. Ir. Rosmayati, MS. as the commission member.
This research was conducted in a greenhouse of Agricuture Faculty, North Sumatra University, Medan, from February until June 2014.
The research used completely randomized design with three factors. The first factor was giberellic acid were giberellic acid (5 mg L-1) and without giberellic acid. The second factor was salicylic acid were 0 mM, 0,5 mM and 1 mM. The third factor was salinity were 0 dsm-1 and 4-5 dsm-1.
The result of this research indicated that the application of gibberellin concentration indicated significant effect on plant growth variables such as the percentage of germination, thick cuticle, chlorophyll a and b, beta-carotene and color of flower. Application of salicylic acid indicated significant effect on growth such as thick cuticle, chlorophyll a and b and beta-carotene. Salt stress application indicated significant on growth and production variables such as percentage of germination, plants height, stem diameter, thick cuticle, chorophyll a and b, age harvest, beta-carotene, color of flower and harvest index. The interaction of giberellic acid and salicylic acid indecate significant effect on parameter such as thick cuticle, chlorophyll a and b, beta-carotene. Interaction between giberellic acid and salt stress indicated significant effect on growth and production such as percentage of germination, thick cuticle, chlorophyll a and b, beta-carotene and color of flower. Interaction between salicylic acid and salt stress indicated significant effect on growth and production such as thick cuticle, chlorophyll a and b, beta-carotene. Interaction three factors of giberellic acid, salicylic acid and salt stress indicated significant effect on thick cuticle, chlorophyll a and b, beta-carotene.
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
ini dengan judul ”Pengaruh Pengaruh Pemberian Giberellin (GA3) dan Asam
Salisilat Pada Kondisi Cekaman Salinitas Terhadap Pertumbuhan Rosella
(Hibiscus Sabdariffa)”.
Kepada Bapak Luthfi A.M .Siregar, SP, MSc, PhD dan Ibu Prof. Dr. Ir.
Rosmayati, MS selaku komisi pembimbing, penulis ucapkan terima kasih karena
telah memberikan sumbangan ide, saran dan motivasi selama penulis
merencanakan dan melaksanakan penelitian serta penyusunan tesis ini. Kepada
Dr. Ir. Chairani Hanum, MP, Dr. Ir. Revandy Damanik, MSc, Dr. Diana Sofia, SP,
MP selaku dosen penguji, penulis juga mengucapkan terima kasih atas saran yang
diberikan untuk perbaikan tesis ini. Kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, M.S
selaku Dekan Fakultas Pertanian penulisjuga mengucapkan terima kasih atas
kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan program Magister Pertanian.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Laboratorium
Ekologi Tanaman Fakultas Pertanian USU, Kepala Laboratorium Central FP
USU, Kepala Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran USU, Kepala
Laboratorium Penyakit FP USU, Kepala Laboratorium Pangan FP USU, Kepala
Laboratorium FP UMSU, yang telah memberikan fasilitas penelitian kepada
Penghargaan dan ucapan terima kasih khusus penulis sampaikan kepada
Ibunda tercinta Rosidar yang telah mendukung penulis untuk melanjutkan studi
ini. Kepada Ayahanda tercinta Drs. Zamzami KAD (Alm), Ananda tercinta
Muhammad Aufar, Kakanda Marisa Naufa MSi, Adinda tersayang Lettu Ilham
Masakir terimakasih atas segala doa dan motivasi selama ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ir. Ibu Haryati MP, ibu
Nini Rahmawati SP, MP, Hadi, Arnen, Yanti, Jesman, Astri, Yenny, Adi, Dwi,
Umi Sunya, Makcik raunas, Windi,, adinda tersayang Asty, Oksya, serta semua
pihak lain, secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan bantuan,
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
hidayahNya akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul
”Pengaruh Pengaruh Pemberian Giberellin (GA3) dan Asam Salisilat Pada
Kondisi Cekaman Salinitas Terhadap Pertumbuhan Rosella (Hibiscus
Sabdariffa)”.
Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Pertanian pada Program Studi Agroekotekologi di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan yang tidak disadari oleh penulis, untuk itu penulis sangat
mengharapkan saran dan masukan yang konstruktif dari semua pihak demi
perbaikan tesis ini.
Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkannya.
Medan, Agustus 2014
RIWAYAT HIDUP
Aisar Novita, dilahirkan di Pangkalanbrandan pada tanggal 03 Desember 1982.
Merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari Ayah (Alm). Zamzami KAD dan
Ibu Rosnidar.
Pendidikan
Tahun 1994 : Lulus dari SDSwasta DP YKPP, Pangkalanbrandan.
Tahun 1997 : Lulus dari SMPSwasta DP YKPP, Pangkalanbrandan.
Tahun 2000 : Lulus dari SMA Negeri I Babalan, Pangkalanbrandan
Tahun 2004 : Lulus dan memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Fakultas
Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian, Program Studi
Agronomi,Universitas Sumatera Utara, Medan.
Tahun 2012 : Mulai mengikuti pendidikan Magister Pertanian Program Studi
Agroekoteknologi di Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pengalaman Kerja
2005 - 2007 PT. Telkomsel, Medan.
2008 - 2009 Staf Pengajar SMKN 1 Batang Gansal, Riau.
DAFTAR ISI Tempat dan Waktu Penelitian... 24
Bahan dan Alat ... 24
PELAKSANAAN PENELITIAN
Persentase Perkecambahan ... 32
Tinggi Tanaman... 34
Pengaruh Interaksi Antara Giberellin dan Cekaman Salinitas Terhadap Pertumbuhan Rosella ... 62
Pengaruh Interaksi Antara Perlakuan Asam Salisilat dan Cekaman Salinitas ... 64
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 69
Saran ... 69
DAFTAR PUSTAKA ... 70
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Rata-rata Persentase Perkecambahan pada Perlakuan Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 32
2. Rata-rata Persentase Perkecambahan pada Perlakuan Interaksi Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas... 33
3. Rata-rata Tinggi Tanaman pada Perlakuan Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 34
4. Rata-rata Tinggi Tanaman pada Perlakuan Interaksi Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 35
5. Rata-rata Diameter Batang pada Perlakuan Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 36
6. Rata-rata Diameter Batang pada Perlakuan Interaksi Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 37
7. Rata-rata Luas Daun pada Perlakuan Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 38
8. Rata-rata Luas Daun pada Perlakuan Interaksi Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 39
9. Rata-rata luas daun spesifik pada Perlakuan Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 40
10. Rata-rata Luas Daun Spesifik pada Perlakuan Interaksi Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 41
11. Rata-rata Jumlah Stomata pada Perlakuan Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 42
12. Rata-rata Jumlah Stomata pada Perlakuan Interaksi Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 43
13. Rata-rata Tebal Kutikula pada Perlakuan Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 44
14. Rata-rata Tebal Kutikula pada Perlakuan Interaksi Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 45
15. Rata-rata Klorofil A pada Perlakuan Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 47
17. Rata-rata Klorofil B pada Perlakuan Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 50
18. Rata-rata klorofil b pada Perlakuan Interaksi Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 51
19. Rata-rata Umur Panen pada Perlakuan Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 53
20. Rata-rata umur panen pada Perlakuan Interaksi Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 54
21. Rata-rata Betakaroten pada Perlakuan Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 55
22. Rata-rata Betakaroten pada Perlakuan Interaksi Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 56
23. Rata-rata warna bunga pada Perlakuan Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 58
24. Rata-rata Warna Bunga pada Perlakuan Interaksi Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas... 59
25. Rata-rata indeks panen pada Perlakuan Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas ... 60
26. Rata-rata Indeks Panen pada Perlakuan Interaksi Giberellin, Asam
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Hasil Analisa Persentase Perkecambahan ... 78
2. Hasil Analisa Tinggi Tanaman 4 Minggu Setelah Tanam ... 79
3. Hasil Analisa Tinggi Tanaman 6 Minggu Setelah Tanam ... 81
4. Hasil Analisa Tinggi Tanaman 8 Minggu Setelah Tanam ... 83
5. Hasil Analisa Diameter Batang 4 Minggu Setelah Tanam ... 85
6. Hasil Analisa Diameter Batang6 Minggu Setelah Tanam ... 87
7. Hasil Analisa Diameter Batang8 Minggu Setelah Tanam ... 89
8. Hasil Analisa Luas Daun Sebelum Antesis 5 MST ... 91
9. Hasil Analisa Luas Daun awal antesis 7 MST ... 93
10. Hasil Analisa Luas Daun menjelang panen 10 MST ... 95
11. Hasil Analisa Luas Daun Spesifik ... 97
12. Hasil Analisa Jumlah Stomata 6 MST ... 99
13. Hasil Analisa Jumlah Stomata 10 MST ... 101
14. Hasil Analisa Tebal Kutikula 9 MST ... 103
15. Hasil Analisa Tebal Kutikula 10 MST ... 105
16. Hasil Analisa Klorofil A ... 107
17. Hasil Analisa Klorofil B ... 109
18. HasilAnalisaUmur Panen ... 111
20. HasilAnalisaWarna Bunga ... 115
21. Hasil Analisa Indeks Panen... 117
22. Gmbar Warna Bunga ... 119
23. Gambar Tebal Kutikula 9 dan 10 MST ... 121
24. Jadwal Kegiatan ... 127
25. Bagan Percobaan ... 128
26. Prosedur Pengukuran Kadar Klorofil Total Daun ... 129
ABSTRAK
AISAR NOVITA. Pengaruh Pengaruh Pemberian Giberellin (GA3) dan Asam Salisilat Pada Kondisi Cekaman Salinitas Terhadap Pertumbuhan Rosella (Hibiscus Sabdariffa). Komisi Pembimbing, Ketua : Bapak Luthfi A.M .Siregar, SP, MSc, PhD dan Ibu Prof. Dr. Ir. Rosmayati, MS selaku anggota komisi pembimbing.
Penelitian ini dilakukan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan, pada Februari 2014 sampai Juni 2014.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 (tiga) faktor dan 3 (tiga) ulangan. Faktor pertama giberellin (GA3) dengan dua taraf
yaitu 0 mg L-1, 5 mg L-1. Faktor kedua asam salisilat dengan tiga taraf yaitu 0 mM, 0,5 mM, 1 mM. Faktor ketiga tingkat salinitas dengan 2 taraf yaitu 0 dsm-1 dan 4-5 dsm-1.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan giberellin menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada peubah pertumbuhan tanaman seperti persentase perkecambahan, tebal kutikula, klorofil a dan b, betakaroten dan warna bunga. Perlakuan asam salisilat menunjukkan pengaruh nyata pada peubah tebal kutikula, klorofil a, klorofil b dan betakaroten. Perlakuan cekaman salinitas berpengaruh nyata pada peubah pertumbuhan dan produksi seperti persentase perkecambahan, tinggi tanaman, diameter batang, tebal kutikula, klorofil a dan b, umur panen, betakaroten, warna bunga dan indeks panen. Interaksi antara giberellin dan asam salisilat memperlihatkan pengaruh nyata pada tebal kutikula, klorofil a dan b, betakaroten. Interaksi antara giberellin dan cekaman salinitas memperlihatkan pengaruh nyata pada peubah pertumbuhan dan produksi seperti persentase perkecambahan, tebal kutikula, klorofil a dan b, betakaroten dan warna bunga. Interaksi antara perlakuan asam salisilat dan cekaman salinitas memperlihatkan pengaruh nyata pada tebal kutikula, klorofil a dan b, betakaroten. Interaksi tiga faktor perlakuan giberellin, asam salisilat dan cekaman salinitas menunjukkan pengaruh yang nyata pada peubah tebal kutikula, klorofil a dan b, betakaroten.
ABSTRACT
Aisar Novita, 2014. “Effects of giberellic acid and Salicylic acid on
Growth of Hibiscus sabdarifa L. Under Salt Stress ”. Supervised by Luthfi A.M. Siregar, SP, MSc, PhD. as the chief ofcommission, and Prof. Dr. Ir. Rosmayati, MS. as the commission member.
This research was conducted in a greenhouse of Agricuture Faculty, North Sumatra University, Medan, from February until June 2014.
The research used completely randomized design with three factors. The first factor was giberellic acid were giberellic acid (5 mg L-1) and without giberellic acid. The second factor was salicylic acid were 0 mM, 0,5 mM and 1 mM. The third factor was salinity were 0 dsm-1 and 4-5 dsm-1.
The result of this research indicated that the application of gibberellin concentration indicated significant effect on plant growth variables such as the percentage of germination, thick cuticle, chlorophyll a and b, beta-carotene and color of flower. Application of salicylic acid indicated significant effect on growth such as thick cuticle, chlorophyll a and b and beta-carotene. Salt stress application indicated significant on growth and production variables such as percentage of germination, plants height, stem diameter, thick cuticle, chorophyll a and b, age harvest, beta-carotene, color of flower and harvest index. The interaction of giberellic acid and salicylic acid indecate significant effect on parameter such as thick cuticle, chlorophyll a and b, beta-carotene. Interaction between giberellic acid and salt stress indicated significant effect on growth and production such as percentage of germination, thick cuticle, chlorophyll a and b, beta-carotene and color of flower. Interaction between salicylic acid and salt stress indicated significant effect on growth and production such as thick cuticle, chlorophyll a and b, beta-carotene. Interaction three factors of giberellic acid, salicylic acid and salt stress indicated significant effect on thick cuticle, chlorophyll a and b, beta-carotene.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rosella sebagian besar ditanam di India, Afrika, Meksiko, dan zona tropis
dan memiliki posisi khusus dalam pengobatan tradisional. Berguna untuk
mengontrol tekanan darah, sebagai stimulator seksual, hidangan pembuka untuk
selera makan, pemulihan kesehatan, penyegar, pelindung kanker, anti batuk dan
minuman pendingin (Lin et al. 2007; Chen et al. 2002; Morton. 1987). Studi
sebelumnya secara signifikan telah menunjukkan bahwa biji rosella mengandung
protein yang tinggi, serat, dan mineral seperti fosfor, magnesium dan kalsium
(Ismail et al. 2008).
Moosavi et al. (2013) melaporkan bahwa cekaman salinitas berdampak
buruk terhadap laju perkecambahan, persentase perkecambahan, kecambah
panjang, panjang tunas dan indeks viabilitas benih rosella (Hibiscus sabdariffa).
Salinitas merupakan masalah yang meluas di seluruh dunia (Soltani et al. 2006).
Salinitas telah mencapai tingkat 19,5% dari seluruh lahan irigasi pertanian di
seluruh dunia (FAO. 2005). Di Indonesia, diperkirakan memiliki 40-43 juta ha
lahan bermasalah dan 13,2 juta ha dari lahan tersebut terpengaruh salinitas
(Departemen Pekerjaan Umum. 1997). Salah satu faktor abiotik yang paling
penting yang membatasi perkecambahan dan pertumbuhan bibit adalah cekaman
air yang disebabkan kekeringan dan salinitas (Almansouri et al. 2001).
Konsentrasi garam tinggi dalam tanah atau dalam air irigasi juga dapat
seluler dan tidak terangkai utama dalam proses fisiologis dan biokimia. Studi
biokimia dan molekuler dari respon cekaman garam pada tanaman meningkat
secara signifikan dari reactive oxygen species (ROS), termasuk singlet oksigen
(1O2), superoksida (O2- ), radikal hidroksil (OH•) dan hidrogen peroksida (H2O2)
(Tanou et al. 2009; Ahmad et al. 2010, Ahmad and Umar. 2011). Namun, efek
dari stres garam pada tanaman tergantung pada konsentrasi dan waktu paparan
garam, genotip tanaman dan faktor lingkungan.
Upaya untuk meningkatkan produksi pada kondisi cekaman dilakukan
dengan cara perbaikan tanaman sebagian besar tidak berhasil, terutama karena
multigenik (karakteristik dikendalikan oleh banyak gen) asal respon adaptif
(pengaruh yang cocok). Oleh karena itu, pendekatan yang berfokus
menggabungkan aspek-aspek fisiologis, biokimia dan metabolik molekul toleransi
garam sangat penting untuk mengembangkan varietas tanaman toleran.
Mempelajari amelioran yang cocok adalah salah satu tugas dari ahli biologi
tanaman. Dalam beberapa dekade terakhir eksogen pelindung seperti
osmoprotectants (prolin, glycinebetaine, trehalosa, dll), hormon tanaman (asam
giberelat, asam jasmonat, brassinosterioids, asam salisilat, dll), antioksidan (asam
askorbat, glutathione, tokoferol, dll), molekul sinyal (nitrat oksida, hidrogen
peroksida, dll), poliamina (spermidine, spermine, putresin), trace elements
(selenium, silikon, dll) telah ditemukan efektif dalam mengurangi garam
disebabkan kerusakan pada tanaman (Hoque et al. 2007; Ahmad et al. 2010;
Azzedine et al. 2011; Hasanuzzaman et al. 2011; Hayat and Ahmad 2011;
Hossain et al. 2011; Pooret al. 2011; Ioannidis et al. 2012; Nounjan et al. 2012;
Pelindung ini menunjukkan kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan
tanaman, hasilnya sama baik dengan toleransi stres di bawah salinitas.
Dalam rangka mengurangi efek merusak dari salinitas, berbagai jenis
fitohormon telah digunakan. Diantaranya adalah GA3 telah menjadi fokus utama
beberapa ilmuwan tanaman. Banyak yang telah mengkonfirmasi kemampuan GA3
untuk sinergis meningkatkan kinerja tanaman dalam kondisi normal. Dalam
beberapa dekade terakhir, GA3 menunjukkan pengaruh perbaikan selama stres
garam (Kaya et al. 2009). Aplikasi GA3 mengurangi efek penghambatan NaCl
pada berberapa parameter pertumbuhan dan pigmen fotosintesis pada Hibiscus
sabdariffa dengan menginduksi aktivitas enzim dan meningkatkan kadar air relatif
(RWC) dan dengan demikian GA3 membantu dalam toleransi tanaman terhadap
stres garam (Ali et al. 2011).
Dalam proses perkecambahan, Giberellin (GA3) adalah substansi pengatur
tumbuh yang sangat penting untuk memecah dormansi benih, mempromosikan
perkecambahan, panjang internodal, pertumbuhan hipokotil dan pembelahan sel di
zona cambial dan meningkatkan ukuran daun. GA merangsang enzim hidrolitik
yang dibutuhkan untuk degradasi sel sekitarnya radikula dan dengan demikian
kecepatan perkecambahan dengan mempromosikan pertumbuhan bibit
pemanjangan biji serealia (Rood et al. 1990).
Asam salisilat berpengaruh melindungi pengembangan program antistress
dan percepatan proses normalisasi pertumbuhan setelah menghilangkan faktor
stres (Sakhabutdinova et al. 2003). Beberapa studi menunjukkan bahwa aplikasi
fotosintesis dan meningkatkan kerusakan oksidatif selama cekaman garam dan
tekanan osmotik (Barba-Espin et al. 2011).
Yusuf et al. (2012) melaporkan bahwa SA meningkatkan tingkat sistem
antioksidan (SOD, CAT dan POX ) baik dalam kondisi stres dan tidak stres.
Bagaimanapun pengaruh SA pada sistem antioksidan lebih jelas di bawah kondisi
cekaman, oleh karena itu menunjukkan bahwa peningkatan dari sistem kekuatan
antioksidan bertanggung jawab untuk meningkatkan toleransi tanaman B.
junceapada cekaman NaCl. El Tayeb (2005) menemukan bahwa aplikasi ssam
salisilat untuk jelai memicu respon pre – adaptif terhadap stres garam,
meningkatkan sintesis Chl a, b dan Chl Car, dan mempertahankan integritas
membran yang menyebabkan peningkatan pertumbuhan tanaman.
Perumusan Masalah
Salinitas merupakan masalah yang meluas di seluruh dunia termasuk di
Indonesia. Rosella tidak cocok ditanam di tanah salin atau berkadar garam tinggi.
Pada kondisi cekaman salinitas, kandungan garam yang tinggi menyebabkan
dehidrasi, menurunkan perkecambahan, menghambat pertumbuhan akar,
menyebabkan air sulit karena adanya tekanan osmotik yang besar pada
perkecambahan, sehingga mengganggu keseimbangan hormonal, konsentrasi
interseluler yang tinggi dari kedua Na+ dan Cl- dapat menghambat pembelahan
atau perluasan sel sehingga akan menurunkan kadar GA3, untuk itu diperlukan
GA3eksogen untuk membantu proses perkecambahan.
Dalam proses perkecambahan, Giberellin (GA3) adalah substansi pengatur
tumbuh yang sangat penting untuk memecah dormansi benih, mempercepat
Asam salisilat memicu respon pre – adaptif terhadap stres garam, meningkatkan
sintesis Chl a, b dan mempertahankan integritas membran yang menyebabkan
peningkatan pertumbuhan tanaman untuk pertumbuhan agar lebih baik dalam
kondisi cekaman salinitas.
Salinitas akan menghasilkan ROS (reactive oxygen species), dimana ROS
akan menurunkan pertumbuhan dan produksi, ROS dapat diatasi dengan
pemberian senyawa-senyawa hormon tanaman asam giberelat GA3 dan asam
salisilat.
Tujuan Penelitian
Untuk mengevaluasi pengaruh pemberian giberellin (GA3) dan asam
salisilat pada kondisi cekaman salinitas terhadap pertumbuhan rosella
(Hibiscus sabdariffa L.).
Hipotesis Penelitian
- Ada pengaruh pemberian giberellin (GA3) pada kondisi cekaman salinitas
terhadap pertumbuhan dan produksi rosella (Hibiscus sabdariffa L.)
.
- Ada pengaruh pemberian asam salisilat pada kondisi cekaman salinitas
terhadap pertumbuhan dan produksi rosella (Hibiscus sabdariffa L.).
- Ada pengaruh interaksi pemberian giberellin (GA3) dan asam salisilat pada
kondisi cekaman salinitas terhadap pertumbuhan dan produksi rosella
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan sebagai informasi kepada petani/pekebun
rosella mengenai pengaruh pemberian giberellin (GA3) dan asam salisilat pada
kondisi cekaman salinitas terhadap pertumbuhan rosella (Hibiscus sabdariffa L.).
Penelitian ini juga ditujukan sebagai salah satu syarat penyelesaian
program Magister Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Rosella
Botani Tanaman
Hibiscus merupakan salah satu tanaman yang paling umum ditanam di
seluruh dunia. Ada lebih dari 300 spesies hibiscus di seluruh dunia. Salah satunya
adalah rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) yang merupakan family Malvaceae.
Ada dua jenis utama dari H. sabdariffa yaitu var. altissima dan var. Sabdariffa
(Ismail et al. 2008).
Hibiscus sabdariffa L. merupakan tanaman semusim yang tumbuh tegak
bercabang yang berbatang bulat dan berkayu. Daunnya tunggal, berbentuk bulat
telur, pertulangan menjari dan letaknya berseling dan dipinggiran daun bergerigi.
Bunga rosella bertipe tunggal yaitu hanya terdapat satu kuntum bunga pada setiap
tangkai bunga. Bunga ini mempunyai 8-11 helai kelopak yang berbulu dengan
panjang 1 cm, pangkal saling berlekatan dan berwarna merah. Mahkota bunga
rosella berwarna merah sampai kuning dengan warna lebih gelap dibagian
tengahnya. Tangkai sari merupakan tempat melekatnya kumpulan benang sari
berukuran pendek dan tebal. Putik berbentuk tabung dan berwarna kuning atau
merah. Bunga rosella bersifat hermaprodit sehingga mampu menyerbuk sendiri.
Rosella adalah spesies bunga yang berasal dari benua Afrika. Rosella adalah
tanaman berbentuk perdu (Rahmawati. 2012).
Menurut DEP.KES.RI.No.SPP.1065/35.15/05, setiap 100 gr rosella
mengandung 260-280 mg vitamin C, vitamin D, B1 dan B2. Kandungan lainnya
esensial seperti lysine dan arginine. Bunga rosella juga kaya akan serat yang
bagus untuk kesehatan saluran pencernaan (Rahmawati. 2012).
Benih rosella
Benih rosella lebih besar daripada varietas pearl millet memiliki ukuran
dimensi rata-rata 2,98-3,36, 1,86-2,24 dan 1,70-2,01 mm. Rata-rata benih rosella
memiliki 3 diameter utama yaitu masing-masing 5,58, 5,21 dan 2,81 mm. Benih
dilaporkan lebih kecil dari benih sukun Afrika (Treculia africana) dengan
diameter rata-rata pokok 11,91, 5,69 dan 4,64 mm yang jauh lebih kecil daripada
benih minyak kacang (Pentaclethra macrophylla Benth) dengan dimensi yang
sesuai dari 65,4, 41,3 dan 13,7 mm (Ismail et al. 2008).
Komposisi gizi benih rosella serta sifat fungsional jarang dipelajari
dibandingkan dengan kaliks. Penelitian komposisi nutrisi benih rosella langka
dibandingkan dengan penelitian pada benih lain seperti benih jintan hitam
(Nigella sativa L.) dan benih jojoba (Simmondsia chinensis) (Ismail et al. 2008).
Penelitian sebelumnya secara signifikan menunjukkan bahwa benih rosella
mengandung protein dalam jumlah tinggi, serat, dan mineral seperti fosfor,
magnesium dan kalsium. Benih dari Mesir mengandung kelembaban 7,6 %, 3,4%
protein, 22,3 % lemak, 15,3 % serat, ekstrak nitrogen bebas 23,8 %, 7,0 % dan 0,3
% abu Ca (Samy. 1980). Studi lain dari India menemukan bahwa biji-bijian
mengandung kelembaban 6-8 %, 18-22 % protein kasar, 19-22 % lemak, 5,4 %
Syarat Tumbuh
Suhu
Tanaman rosella tumbuh optimal di daerah dengan ketinggian 600 meter
dpl. Semakin tinggi dari permukaan laut, pertumbuhan rosella akan terganggu.
Rosella dapat tumbuh di daerah tropis dan subtropis dengan suhu rata-rata
24-32oC. Namun rosella masih toleran pada kisaran suhu 10-36oC. Untuk
menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, rosella memerlukan
waktu 4-5 bulan dengan suhu malam tidak kurang dari 21oC (Rahmawati. 2012).
Selama pertumbuhannya tanaman rosella membutuhkan temperatur
bulanan rata-rata 25-30oC, curah hujan 140-270 mm per bulan dan kelembaban
udara >70%. Periode lebih kering dibutuhkan untuk pembungaan dan produksi
biji (Morton. 1987).
Air
Jika curah hujan tidak mencukupi dapat diatasi dengan pengairan yang
baik. Periode kering dibutuhkan rosella untuk pembungaan dan produksi biji.
Sedangkan hujan atau kelembaban yang tinggi selama masa panen dan
pengeringan dapat menurunkan kualitas kelopak bunga dan dapat menurunkan
Cahaya, panjang hari dan waktu tanam
Rosella merupakan tanaman berhari pendek (untuk induksi pembungaan
memerlukan panjang hari kurang dari 12 jam). Bila ditanam pada fotoperiodik
pendek akan cepat berbunga. Waktu tanam juga dapat mempengaruhi kandungan
kimia kelopak rosella (Rahmawati. 2012).
Rosella merupakan tanaman berhari pendek, membutuhkan fotoperiodik
12-12,5 jam untuk pembungaan dan berbuah (Morton. 1987).
Tanah
Berbagai jenis tanah dapat ditanami rosella, terutama struktur yang dalam
berstruktur ringan dan berdrainase baik. Rosella toleran terhadap tanah masam
dan alkalin, tetapi tidak cocok ditanam di tanah salin atau berkadar garam tinggi
(Mardiah et al. 2009).
Kemasaman tanah (pH) optimum untuk rosella adalah 5,5-7 dan masih
toleran juga pada pH 4,5-8,5. Selama pertumbuhan rosella tidak tahan terhadap
genangan air. Curah hujan yang dibutuhkan untuk lahan tegal adalah 800 – 1670
mm/5 bulan atau 180 mm/bulan. Apabila di tanam pada wadah seperti pada
polybag yang berukuran sedang (diameter 30 cm), pertumbuhan tanaman rosella
menjadi tidak optimal dengan tinggi tanaman kurang dari 1 m. Akibatnya
Cekaman Salinitas
Salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan yang membatasi
produktivitas tanaman karena sebagian besar tanaman sensitif terhadap salinitas
yang disebabkan oleh konsentrasi garam yang tinggi dalam tanah. Sejumlah besar
tanah di dunia dipengaruhi oleh salinitas yang meningkat dari hari ke hari. Lebih
dari 45 juta hektar (M ha) lahan irigasi yang mencapai 20% dari total lahan telah
rusak oleh garam di seluruh dunia dan 1,5 juta ha yang hilang dari produksi setiap
tahun karena tingkat salinitas yang tinggi dalam tanah (Pitman and Lauchli. 2002;
Munns and Tester. 2008). Di sisi lain, peningkatan salinitas lahan pertanian
memiliki efek perusakan global yang mengakibatkan hilangnya hasil hingga 50%
dari lahan yang ditanami pada pertengahan abad ke 21 (Mahajan and Tuteja.
2005).
Pada sebagian besar kasus, efek negatif dari salinitas telah dikaitkan
dengan peningkatan ion Na+ dan Cl- pada tanaman yang berbeda maka ion ini
menghasilkan kondisi kritis untuk kelangsungan hidup tanaman dengan mencegat
mekanisme tanaman yang berbeda. Meskipun kedua Na+ dan Cl- merupakan ion
utama yang menghasilkan banyak gangguan fisiologis pada tanaman, Cl- adalah
yang paling berbahaya (Tavakkoli et al. 2010). Salinitas pada tingkat yang lebih
tinggi menyebabkan stres hiperionik dan hiperosmotik dan dapat menyebabkan
kematian tanaman. Hasil dari efek ini dapat menyebabkan kerusakan membran,
ketidakseimbangan nutrisi, mengubah tingkat zat pengatur tumbuh, penghambatan
enzimatik dan disfungsi metabolik termasuk fotosintesis yang akhirnya mengarah
Cekaman salinitas berpengaruh merugikan tamanan pada semua tahap
siklus hidup tanaman. Salinitas mempengaruhi perkecambahan biji dengan
menciptakan potensi osmotik eksternal yang mencegah penyerapan air atau karena
efek racun dari ion natrium dan klorida pada benih berkecambah (Kandil et al.
2012).
Perkecambahan adalah tahap kritis dalam siklus hidup tanaman dan
toleransi salinitas pada tahap ini sangat penting untuk pertumbuhan tanaman yang
tumbuh di lingkungan tersebut. Pertumbuhan tanaman di lahan gersang dan lahan
semi kering yang berada di bawah paparan cekaman salinitas berhubungan dengan
kemampuan benih untuk perkecambahan terbaik dalam kondisi tidak
menguntungkan (Bohnert et al. 1995).
Neumann (1995) melaporkan salinitas dapat dengan cepat menghambat
pertumbuhan akar sehingga kapasitas penyerapan air dan nutrisi mineral penting
dari tanah. Pada tumbuhan, cekaman salinitas menyebabkan turgor sel berkurang
dan tingkat tekanan dari akar dan pucuk (Werner and Finkelstein. 1995),
menunjukkan bahwa salinitas lingkungan berpengaruh terutama pada penyerapan
air. Selain itu, konsentrasi intraseluler yang tinggi dari kedua Na+ dan Cl-dapat
menghambat metabolisme membagi dan memperluas sel (Neumann. 1997).
Cekaman lingkungan seperti salinitas dan kekeringan merupakan
hambatan serius untuk tanaman lapangan terutama di daerah kering dan
semi-kering di dunia. Di daerah semi semi-kering, salinitas dan cekaman kesemi-keringan telah
pertumbuhan tanaman. Perkembangan biji adalah tahap yang paling sensitif
terhadap cekaman abiotik (Mohammadizad et al. 2013).
Salinitas merupakan salah satu kendala utama dalam meningkatkan
produksi padi di daerah berkembang di mesir. Salinitas menurunkan persentase
perkecambahan, kecepatan perkecambahan, dan menyebabkan penurunan tajuk
dan panjang akar dan berat kering di semua varietas dan besarnya pengurangan
meningkat dengan meningkatnya cekaman salinitas. Oleh karena itu,
pengembangan varietas toleransi garam telah dianggap sebagai salah satu strategi
untuk meningkatkan produksi padi di daerah rawan garam atau irigasi dengan air
campuran pada pada sungai (Kandil et al. 2012).
Tanah salin yang berlebihan dapat disebabkan oleh proses alami, atau dari
irigasi tanaman dengan air irigasi salin dalam kondisi drainase yang buruk.
Salinitas tanah yang berlebihan terjadi pada daerah setengah kering sampai daerah
kering di dunia dimana menghambat pertumbuhan dan hasil tanaman (Neumann.
1997).
Moosavi et al. (2013) melaporkan bahwa cekaman salinitas berdampak
buruk terhadap laju perkecambahan, persentase perkecambahan, kecambah
panjang, panjang tunas dan indeks viabilitas benih rosella (Hibiscus sabdariffa).
Secara keseluruhan, salinitas melalui peningkatan tekanan osmotik menyebabkan
pengurangan serapan air dan gangguan metabolik dan proses fisiologis akan
berada di bawah pengaruhnya. Sehingga menyebabkan keterlambatan
Salinitas merupakan tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air.
Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Kandungan
garam pada sebagian besar danau, sungai, dan aluran air alami sangat kecil
sehingga air di tempat ini dikategorikan sebagai air tawar. Kandungan garam
sebenarnya pada air ini, secara defenisi, kurang dari 0,05%. Jika lebih dari itu, air
dikategorikan sebagai air payau atau menjadi salin bila konsentrasinya 3 sampai
5% (Suriadikarta dan Sutriadi. 2007).
Salinitas menyebabkan perubahan morfologi daun seperti ukuran daun,
luas dan ketebalan. Berbagai penelitian telah melaporkan penurunan ukuran daun
dan peningkatan ketebalan kutikula daun (Terrv and Waldron. 1984). Hajibagheri
et al. (1983), menyatakan bahwa pengamatan pada salinitas yang tinggi secara
signifikan meningkatkan ketebalan kutikula. Salinitas tidak hanya mempengaruhi
morfologi daun dan laju transpirasi tetapi juga mengarah pada pengurangan
kandungan total klorofil seperti meningkat konsentrasi garam.
Tebal kutikula merupakan faktor penting dalam menjaga kadar air relatif
daun, dan varietas itu, mereka menunjukkan ketebalan yang lebih besar dari
kutikula daun, dalam kondisi kering, mempertahankan kadar air relative tinggi
dalam daun mereka dan lebih tahan terhadap kekeringan. Najafian et al. (2007),
menyatakan dalam penelitiannya bahwa terjadi peningkatan kepadatan stomata
(jumlah stomata di bersatu luas daun) pada stress kekeringan. Jumlah stomata di
rashe cv. lebih dari bidane sefid cv. Salah satu penyebab peningkatan jumlah
stomata selama cekaman kekeringan adalah semakin kecilnya ukuran sel yang
mengurangi jumlah stomata di satuan luas dan panjang stomata, resistensi
tanaman dehidrasi menjadi lebih (Hussain et al. 2008).
Ketebalan kutikula daun, langsung berkorelasi dengan toleransi kekeringan
dan meningkatkan dengan meningkatnya stress air dan dapat digunakan sebagai
penanda untuk identifikasi varietas tahan (Rasuli and Gol-Mohammadi. 2009).
Asam Salisilat
Asam salisilat (SA), sebuah hormon tanaman alami yang bertindak sebagai
molekul sinyal penting pada tanaman dan memiliki efek beragam pada toleransi
terhadap cekaman abiotik (Raskin. 1992).
Asam salisilat (SA) merupakan hormon tanaman yang umum
menghasilkan senyawa fenolik dan hormon tanaman endogen potensial yang
memainkan peran penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Peran
SA secara intensif dipelajari dalam respon tanaman terhadap cekaman biotik.
Dalam beberapa tahun terakhir keterlibatan SA dalam penanggulangan cekaman
abiotik telah banyak diteliti (El Tayeb. 2005; Ahmad et al. 2011). Namun peran
yang sebenarnya dari SA pada cekaman abiotik tetap belum terpecahkan.
Beberapa metode aplikasi (merendam benih sebelum tanam, menambah solusi
hidroponik, irigasi, atau penyemprotan dengan larutan SA) telah dilakukan untuk
melindungi berbagai spesies tanaman terhadapstres abiotik dengan menginduksi
berbagai proses yang terlibat dalam mekanisme toleransi stres (Horvath et al.
2007).
El Tayeb (2005) menemukan bahwa aplikasi SA untuk jelai memicu
respon pre – adaptif terhadap stres garam, meningkatkan sintesis Chl a, b dan Chl
pertumbuhan tanaman. SA – perlakuan awal tanaman menunjukkan kekurangan
Ca2+ dan kelebihan akumulasi K+, dan gula larut dalam akar dalam kondisi salin.
Jagung diberi perlakuan dengan SA menunjukkan peningkatan pertumbuhan,
penurunan peroksidasi lipid dan permeabilitas membran yang meningkat karena
stres garam (Gunes et al. 2007). Pada tanaman kacang hijau SA meredakan garam
- diinduksi penurunan fotosintesis dan meminimalkan daun Na+, Cl-, dan
kandungan H2O2 (Nazar et al. 2011). Hal ini disertai dengan peningkatan
asimilasi N dan S melalui merangsang aktivitas NR dan ATPs. Eksogen SA juga
meningkatkan hasil gabah pada cekaman garam pada T. aestivum (Arfan et al.
2007). Aplikasi SA melalui akar Lens esculentum dilindungi terhadap cekaman
garam dan meningkatkan laju fotosintesis di bawah tekanan garam (Stevens et al.
2006; Pooret al. 2011).
Ditemukan bahwa SA menunjukkan pengaruh nyata yang disebabkan oleh
akumulasi ABA dan IAA pada bibit T. aestivum pada kondisi salinitas. Namun
SA tidak berpengaruh pada kandungan sitokinin. Dengan demikian, SA
berpengaruh melindungi mencakup pengembangan program antistress dan
percepatan proses normalisasi pertumbuhan setelah menghilangkan faktor stres
(Sakhabutdinova et al. 2003). Gemes et al. (2011) menyarankan bahwa cross-talk
dari jalur sinyal yang disebabkan oleh SA dan salinitas tinggi dapat terjadi pada
tingkat ROS dan produksi NO. Mereka mengamati bahwa generasi SA – diinduksi
H2O2 dan NO dianggap menyambung fungsional cross- toleransi terhadap
berbagaistres. Di seluruh tingkat tanaman, SA diinduksi akumulasi H2O2
besar-besaran hanya pada konsentrasi tinggi (1-10 mM) yang kemudian menyebabkan
respon adaptif SA diinduksi di Medicago sativa tanaman di bawah stres salinitas
dan akibatnya, reaksi pelindung didorong membran biotik yang meningkatkan
pertumbuhan bibit. Sebelum perlakuan ditingkatkan pertumbuhan SA dan
menghasilkan resistensi yang lebih tinggi dari tanaman terhadap salinitas sehingga
meningkatkan persentase perkecambahan, indeks vigor benih dan parameter
pertumbuhan bibit. Kebocoran salinitas elektrolit meningkat, sementara SA
menurun dan penurunan ini lebih kuat pada konsentrasi SA (Torabian. 2011).
Erdal et al. (2011) meneliti efek dari aplikasi daun dari SA pada T.
aestivum sensitive garam. Mereka mengamati bahwa efek merusak garam,
diinduksi bibit gandum secara signifikan diatasi dengan perlakuan SA. SA dapat
digunakan sebagai molekul sinyal untuk menyelidiki pertahanan tanaman
terhadap stres abiotik. Aplikasi SA meningkatkan toleransi bibit gandum terhadap
stres garam mungkin berhubungan dengan meningkatkan aktivitas enzim
antioksidan. Perlakuan eksogen SA secara signifikan meningkatkan bobot segar
dan bobot kering di kedua akar dan tunas tanaman gandum di bawah tekanan
garam. Sejalan dengan meningkatnya aktivitas antioksidan, perlakuan SA
menurunkan kandungan H2O2 bila dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh
tanpa cekaman garam. Pada Brassica juncea, Yusuf et al. (2012) melaporkan
bahwa SA meningkatkan tingkat sistem antioksidan (SOD, CAT dan POX ) baik
dalam kondisi stres dan tidak stres. Bagaimanapun pengaruh SA pada sistem
antioksidan lebih jelas di bawah kondisi cekaman, oleh karena itu menunjukkan
bahwa peningkatan dari sistem kekuatan antioksidan bertanggung jawab untuk
Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa aplikasi SA (0,5 mM) dapat
mempromosikan pembentukan ROS pada jaringan fotosintesis dan meningkatkan
kerusakan oksidatif selama cekaman garam dan tekanan osmotik. Misalnya,
Barba-Espin et al. (2011) mempelajari pengaruh perlakuan SA pada respon
tanaman P. sativum terhadap salinitas. Kerusakan NaCl diinduksi daun meningkat
sebesar SA, yang berkorelasi dengan penurunan pertumbuhan tanaman.
Kandungan AsA dan GSH pada daun pada perlakuan meningkat sebagai respons
terhadap SA, meskipun akumulasi dari masing DHA dan GSSG terjadi.
Peningkatan H2O2 juga terjadi pada daun, panjang tanaman dengan perlakuan SA.
Efek negatif dari SA pada tanaman P. sativum terkena NaCl juga berkorelasi
dengan ketidakseimbangan dalam metabolisme antioksidan. Umumnya
kekurangan SA atau tingkat SA yang sangat tinggi meningkatkan kerentanan
tanaman terhadap cekaman abiotik. Konsentrasi optimal (0,1-0,5 mM untuk
sebagian besar tanaman) meningkatkan toleransi stres abiotik.
Hasil penelitan Jalilimarandi et al. (2011), bahwa penggunaan asam salisilat
menghasilkan peningkatan ketebalan kutikula daun dan 2mM kepadatan asam
salisilat sangat berpengaruh dalam meningkatkan ketebalan kutikula daun. Pada
penelitian ini menghasilkan pengurangan tebal kutikula, hal ini dikarenakan
tamanan yang mengalami cekaman salinitas menyebabkan kematian pada
Giberellin (GA3)
Giberelin pertama kali dikenali pada tahun 1926 oleh seorang
ilmuwan Jepang, Eiichi Kurosawa, yang meneliti tentang penyakit padi yang
disebut "bakanae". Hormon ini pertama kali diisolasi pada tahun 1935 oleh Teijiro
Yabuta, dari strain cendawan Gibberella fujikuroi. Isolat ini lalu
dinamai gibberellin. Gibberellin merupakan hormon tanaman yang mengatur
pertumbuhan dan mempengaruhi berbagai proses perkembangan, termasuk
pemanjangan batang, perkecambahan, dormansi, pembungaan, ekspresi seks,
induksi enzim, dan daun dan buah penuaan (LARS. 2003).
Giberellin adalah senyawa berdasarkan struktur ent-giberellance,
sedangkan senyawa yang paling banyak tersedia adalah GA3 atau asam giberellat,
yang merupakan produk jamur, GA paling penting dalam tanaman adalah GA1,
yang terutama bertanggung jawab untuk pemanjangan batang. Banyak GA lain
yang merupakan prekursor dari GA1 pertumbuhan aktif (Davies. 1995).
Giberellin disintesis dari asam mevalonat pada jaringan muda dari tunas
(lokasi yang tepat tidak pasti) dan mengembangkan benih. Giberellin dapat
diangkut dalam floem dan xylem (Davies. 1995).
Asam giberelat (juga disebut Gibberellin A3, GA, dan GA3) umumnya
terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan yang mengontrol perkecambahan
biji, perluasan daun, perpanjangan batang dan pembungaan (Magome et al. 2004;
Kim and Park. 2008). Selain itu, GAs berinteraksi dengan hormon lain untuk
mengatur berbagai proses metabolisme pada tanaman. Namun banyak teori yang
et al. 1997). Dalam rangka mengurangi efek merusak dari salinitas, berbagai jenis
fitohormon telah digunakan. Diantaranya adalah GA3 telah menjadi fokus utama
beberapa ilmuwan tanaman. Banyak yang telah mengkonfirmasi kemampuan GA3
untuk sinergis meningkatkan kinerja tanaman dalam kondisi normal. Dalam
beberapa dekade terakhir, cahaya telah membuat pengaruh GA3 selama stres
garam (Kaya et al. 2009).
Cavusoglu et al (2008), menyatakan dalam penelitiannya bahwa zat pengatur
tumbuh sebagian besar meningkatkan diameter batang, epidermis lebar sel,
ketebalan zona korteks, lebar bundel vaskular, lebar xilem, diameter trakea dan
lebar floem dibandingkan dengan kontrol bibit ditumbuhkan dalam media garam.
Selain itu, menurunkan ketebalan kutikula, panjang sel epidermis dan ketebalan
kambium. Perubahan anatomi menunjukkan bahwa stres garam pada batang lobak
dapat dikurangi oleh regulator pertumbuhan. Sebenarnya, Cavusoglu and Kabar
(2007), pada peneliannuya tentang lobak, mengamati bahwa zat pengatur tumbuh
meringankan penghambatan garam yang diinduksi pada perkecambahan biji,
persentase hipokotil dan serapan air.
Pengatur pertumbuhan seperti GA3 dan 24-epibrassinolide (EBR) tidak
menyebabkan peningkatan ketebalan kutikula atau penurunan diameter batang,
ukuran sel epidermis dan parameter anatomi lainnya disebabkan oleh salinitas
(Zhao et al. 1992, Hu et al. 2005).
Aplikasi GA3 mengurangi efek penghambatan NaCl pada berberapa
parameter pertumbuhan dan pigmen fotosintesis pada Hibiscus sabdariffa dengan
membantu dalam toleransi tanaman terhadap stres garam (Ali et al. 2011).
Priming pada benih Beta vulgaris dengan GA3 meningkatkan persentase
perkecambahan akhir dan laju perkecambahan dalam kondisi salin. Priming juga
bertanggung jawab untuk pengentasan dampak buruk dari stres garam terhadap
sugar beet pada panjang akar dan bobot segar akar dan pucuk tanaman (Jamil and
Rha. 2007).
Efek gibberellin pada pertumbuhan batang, GA1 menyebabkan
hyperelongation batang dengan merangsang kedua pembelahan sel dan
pemanjangan sel. Hasilnya tinggi sebagai lawan pengkerdilan tanaman. Pada
tanaman hari yang panjang, gibberellin menyebabkan pemanjangan batang dalam
menanggapi hari yang panjang. Giberellin dapat menginduksi perkecambahan
benih, gibberellin dapat menyebabkan perkecambahan benih dalam beberapa bibit
yang biasanya memerlukan dingin (stratifikasi) atau cahaya untuk menginduksi
perkecambahan. Gibberellin memproduksi enzim selama perkecambahan,
giberellin merangsang produksi berbagai enzim, terutama amilase, contoh pada
perkecambahan biji-bijian sereal. Gibberellin mengatur pertumbuhan buah, yang
disebabkan oleh aplikasi eksogen dalam beberapa buah (misalnya anggur). Peran
endogen tidak pasti. Gibberellin dapat menginduksi kejantanan di bunga dioecious
(Davies. 1995).
Perkecambahan
Proses perkecambahan benih merupakan suatu rangkaian kompleks dari
perubahan-perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia. Tahap pertama suatu
melunaknya kulit benih dan hidrasi dari protoplasma. Tahap kedua dimulai
dengan kegiatan-kegiatan sel dan enzim-enzim serta naiknya tingkat respirasi
benih. Tahap ketiga merupakan tahap dimana terjadi peguraian bahan-bahan
seperti karbohidrat, lemak dan protein menjadi bentuk-bentuk yang melarut dan di
translokasikan ke titik-titik tumbuh. Tahap keempat adalah asimilasi dari
bahan-bahan yang telah diuraikan tadi di daerah meristematik untuk menghasilkan energi
bagi kegiatan pembentukan komponen dan pertumbuhan sel-sel baru. Tahap
kelima adalah pertumbuhan dari kecambah melalui proses pembelahan,
pembesaran dan pembagian sel-sel pada titik-titik tumbuh. Sementara daun belum
dapat berfungsi sebagai organ untuk fotosintesa maka pertumbuhan kecambah
sangat tergantung pada persediaan makanan yang ada dalam biji (Sutopo. 1993).
Kegiatan enzim-enzim didalam biji distimulir oleh adanya asam giberellin
(GA3) yaitu suatu hormon tumbuh yang dihasilkan oleh embrio setelah menyerap
air. Semua proses ini berlangsung dalam tahap kedua, ketiga dan keempat dari
proses metabolisme perkecambahan benih. Proses pertumbuhan dan
perkembangan embrio semula terjadi pada ujung-ujung tumbuh dari akar.
Kemudian diikuti oleh ujung-ujung tumbuh tunas. Proses pembagian dan
membesarnya sel-sel ini tergantug dari terbentuknya energi dan molekul-molekul
komponen tumbuh yang berasal dari jaringan persediaan makanan (Sutopo. 1993).
Daya kecambah benih memberikan informasi kepada pemakai benih akan
kemampuan benih tumbuh normal menjadi tanaman yang berproduksi wajar
dalam keadaan biofisik lapangan yang serba optimum. Parameter yang digunakan
dapat berupa persentase kecambah normal berdasarkan penilaian terhadap struktur
hanya melihat gejala metabolisme benih yang berkaitan dengan kehidupan benih.
Persentase perkecambahan adalah persentase kecambah normal yang dapat
dihasilkan oleh benih murni pada kondisi yang menguntungkan dalam jangka
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara, Medan, pada Februari 2014 sampai Juni 2014.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih rosella sebagai
bahan tanaman, NaCl, alkohol 70%, natrium hipoklorit 10%, aquadest, GA3, asam
salisilat, dan lain-lain.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah polybag, timbangan
digital, kalkulator, meteran, handsprayer, microscop, spectrometer, DHL meter,
dan lain-lain.
Metode Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan menggunakan 3 faktor, yaitu Giberellin (GA3) (A), Asam
Salisilat (B) dan Cekaman Salinitas (C). Perlakuan Giberellin (GA3) terdiri dari 2
taraf: 0 dan 5 mg L-1. Perlakuan Asam Salisilat terdiri dari 3 taraf: 0, 0,5, 1 mM.
Perlakuan tingkat Salinitas EC terdiri atas 2taraf: 0 dan 4-5 dsm-1. Dengan
demikian diperoleh 12 kombinasi perlakuan dan setiap perlakuan diulang 3 kali,
maka diperoleh 36 kombinasi perlakuan. Jumlah tanaman tiap kombinasi adalah
3. Jumlah tanaman seluruhnya sebanyak 108 tanaman. Jika pengaruh perlakuan
berbeda nyata pada sidik ragam, maka dilakukan uji lanjutan dengan uji jarak
Model linier yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yijk = μ + Ai + Bj + ABij + Ck + ACik + BCjk + ABCijk + ε(ijk)
Dimana :
Yijk = variabel respon karena pengaruh bersama taraf ke i faktor A, taraf ke j faktor
B, dan taraf ke k faktor C yang terdapat pada pengamatan/unit perlakuan ke n
μ = efek rata-rata yang sebenarnya (nilai konstan)
Ai = efek sebenarnya dari taraf ke i faktor A
Bj = efek sebenarnya dari taraf ke j faktor B
ABij = efek sebenarnya dari taraf ke k faktor C
ACik = efek sebenarnya dari interaksi taraf ke i faktor A dengan taraf ke k faktor C
BCjk = efek sebenarnya dari interaksi taraf ke j faktor B dengan taraf ke k faktor C
ABCijk= efek sebenarnya terhadap variabel respon yang disebabkan oleh interaksi a
ntara taraf ke i faktor A, taraf ke j faktor B dan taraf ke k faktor C
ε(ijk) = efek sebenarnya unit eksperimen ke i disebabkan oleh kombinasi perlakuan
(ijk)
Apabila terdapat perbedaan yang nyata dilakukan uji lanjutan DNMRT pada taraf
PELAKSANAAN PENELITIAN
Persiapan Lahan
Lahan yang berada di areal rumah kaca dibersihkan. Polibag ukuran 10 kg
diisi top soil.
Persiapan Benih
Benih yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari tanaman rosella
yang ditanam diperkebunan rosella, Darmaga, Bogor, Jawa Barat. Varietas yang
digunakan adalah sabdariffa. Penanaman dilakukan di rumah kaca Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Sebelum dikecambahkan benih
didesinfeksi dengan alkohol 70% (selama 10 detik), natrium hipoklorit 10%
(selama 60 detik) (Saghatoleslami. 2010). Setelah itu, benih dibilas dengan
aquadest dua kali.
Perendaman Benih Dengan GA3
Benih dipisahkan antara yang diberi perlakuan GA3 dan tanpa perlakuan
GA3. Benih direndam dalam 500 ml aquadest selama 12 jam (tanpa perlakuan
GA3), dan benih direndam dalam 500 ml larutan perlakuan GA3 selama 12 jam
kemudian dikering udarakan (Sundstrom et al. 1987).
Perlakuan Salinitas
Untuk menerapkan perlakuan salinitas, diberikan setiap perlakuan tingkat
dengan perlakuan, kemudian di lakukan pengukuran tingkat salinitas 3 kali
seminggu dengan menggunakan DHL meter.
Penanaman
Benih dikecambahkan langsung di dalam polibag sesuai dengan perlakuan
masing-masing.
Perlakuan Asam Salisilat
Asam salisilat diberikan setiap perlakuan pada tanah yang di dalam
polybag sesuai dengan tingkat perlakuan yaitu 0, 50 dan 100 mgL-1
(Hasanuzzaman et al. 2013). Diberikan sebanyak 2 kali aplikasi dengan
menggunakan handsprayer pada minggu ke 2 dan ke 4 setelah tanam.
Pemeliharaan
Penyiraman tanaman dilakukan setiap hari ke polibag penanaman dengan
frekuensi 2 kali sehari yakni pagi dan sore hari.
Penyiangan gulma dilakukan dengan cara manual terutama terhadap gulma
yang tumbuh didalam polibag.
Pemupukan dilakukan bersamaan dengan pengisian polibag. Pupuk yang
digunakan adalah NPK (15:15:15) dengan dosis 20 g/tanaman.
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan fungisida Dithane
M-45, dosis 1-2 g/l. Pengendalian hama denga penyemprotan insektisida Decis 2,5
Peubah yang diamati
Persentase Perkecambahan (%)
Persentase perkecambahan dihitung sampai umur 1 MST. Daya
berkecambah (DB) dihitung berdasarkan persentase kecambah normal
dibandingkan dengan jumlah benih yang dikecambahkan. Daya berkecambah
dihitung dengan rumus berikut (Copeland and Mc Donald, 2004):
DB = Σ kecambah normal
Σ benih yang dikecambahkan x 100%
Tinggi Tanaman (cm)
Tinggi tanaman diukur pada umur 4 , 6, 8 minggu setelah tanam,
dilakukan pengukuran dari leher akar sampai titik tumbuh dengan menggunakan
meteran, dimana untuk menentukan batas permukaan tanah digunakan patokan
standard. Diameter Batang (mm)
Diameter batang diukur pada umur 4, 6, 8 MST dengan menggunakan
jangka sorong. Pengukuran diameter batang dilakukan setelah daun ke-1.
Luas Daun (cm2)
Pengukuran luas daun dilakukan 3 kali yaitu pada fase sebelum antesis
(5 MST), awal antesis (7 MST), dan menjelang panen (10 MST). Dihitung dengan
menggunakan leaf area meter. Daun yang diamati yaitu daun terbesar, sedang dan
Luas Daun Spesifik (cm g-1)
Luas daun spesifik adalah luas daun per satuan berat kering daun.
Pengukuran SLA dilakukan pada fase menjelang panen. Nilai SLA dihitung
sebagai nisbah antara luas daun (L) dan bobot bahan keringnya (BKdaun); jadi,
SLA = L : BK daun, satuannya cm2 g-1 (Suwarto. 2013).
Analisis luas daun spesifik dilakukan di Laboratorium Ekologi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Klorofil a dan Klorofil b
Analisis kandungan klorofil a dan klorofil b (lampiran 26) dilakukan di
Laboratorium Sentral, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Indeks Panen
Indeks panen merupakan ratio bobot biji dengan bobot biomas. Semakin
tinggi indeks panen menunjukan bahwa partisi fotosintat di tajuk banyak
ditranslokasi ke bagian biji (Efendi and Suwardi. 2010).
Indeks panen dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Indeks Panen = bobot panen bobot seluruh tanaman
Umur Panen (HST)
Pengamatan umur panen dilakukan dengan cara menghitung umur
tanaman mulai dari penanaman benih hingga tanaman siap untuk dipanen yaitu
Jumlah Stomata (mm2)
Pengamatan jumlah stomata dilakukan dengan menggunakan microscop
pada umur 6 MST dan 10 MST di Laboratorium Penyakit, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Metode yang dipakai untuk mengamati stomata dipermukaan daun adalah
metode replica yaitu sebagai berikut: mula-mula dilakukan sterilisasi daun dengan
natrium hipocloride kemudian dibilas dengan aquades, lalu daun diolesi kutek
yang berwarna transparan. Dibiarkan mengering (tunggu) 10-15 menit. Setelah
kering olesan kutek ditempeli potogan selotip warna transparan dan diratakan, lalu
dikelupas secara perlahan-lahan. Hasil kelupasan tersebut lalu ditempelkan pada
kaca preparat. Pengamatan jumlah stomata dilakukan dengan menggunakan
mikroskop.
Tebal Kutikula (μm)
Pengamatan tebal kutikula dilakukan dengan menggunakan microscop
compound Carl Zeiss Primo Star, pada umur 9 MST dan 10 MST di Laboratorium
Terpadu, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pengamatan tebal kutikula dilakukan dengan cara sterilisasi permukaan
daun dengan menggunakan natrium hipocloride kemudian daun dibilas dengan
aquades. Daun dipotong menyirip, kemudian potongan daun diletakkan diatas
kaca preparat. Dengan menggunakan microscop compound Carl Zeiss Primo Star,
tebal kutikula dapat langsung diukur dengan menggunakan aplikasi pada
Kandungan Beta Karoten
Analisis kandungan beta karoten dilakukan di Laboratorium Pangan,
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Analisis Beta karoten
dapat dilihat pada lampiran 27.
Warna Bunga
Pengamatan warna bunga dilakukan secara visual sesuai dengan kategori
warna pada setiap sampel yaitu agak merah, merah, sangat merah. Dimana
dilakukan dengan menggunakan scoring yaitu: agak merah = 1, merah = 2, sangat
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
1. PersentasePerkecambahan (%)
Sidik ragam perlakuan giberellin, asam salisilat dan cekaman salinitas pada
peubah persentase perkecambahan dapat dilihat pada Lampiran 1.
Perlakuan giberellin dan cekaman salinitas berpengaruh nyata, namun tidak
begitu dengan perlakuan asam salisilat, dimana pemberian asam salisilat tidak
menunjukkan pengaruh yang nyata pada peubah persentase perkecambahan. Hasil
uji beda rata-rata persentase perkecambahan pada perlakuan giberellin, asam
salisilat dan cekaman salinitas dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata Persentase Perkecambahan pada Perlakuan Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas.
Perlakuan Persentase Perkecambahan Giberellin (A)
Tanpa Giberellin (A0) 94,445 b
GA35 mg L-1 (A1) 100,000 a
Tanpa Salinitas (C0) 100,000 a
Salinitas 4-5 dsm-1 (C1) 94,445 b
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test)
Perlakuan giberellin memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata
persentase perkecambahan. Pemberian gibberellin 5 mg L-1(A1) meningkatkan
persentase perkecambahan dibanding tanpa gibberellin (A0). Pengaruh perlakuan
yang nyata terhadap rata-rata persetase perkecambahan dimana pada saat
pengamatan persentase perkecambahan belum dilakukan aplikasi perlakuan asam
salisilat. Perlakuan cekaman salinitas memberikan pengaruh nyata terhadap
rata-rata persentase perkecambahan. Pemberian salinitas 4-5 dsm-1 (C1) menurunkan
persentase perkecambahan dibanding tanpa salinitas (C0).
Uji beda rata-rata untuk peubah persentase perkecambahan pada perlakuan
interaksi giberellin dan cekaman salinitas dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata Persentase Perkecambahan pada Perlakuan Interaksi Giberellin dan Cekaman Salinitas. berdasarkan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test)
Perlakuan interaksi gibberellin dan asam salisilat, asam salisilat dan
cekaman salinitas serta interaksi gibberellin, asam salisilat dan salinitas tidak
ditampilkan dikarenakan aplikasi asam salisilat belum dilakukan pada saat
pengamatan persentase perkecambahan (1 MST). Pengamatan persentase
perkecambahan dilakukan pada 1 MST (minggu setelah tanam), sedangkan asam
salisilat diaplikasikan pada 2 MST dan 4 MST.
Perlakuan interaksi antara giberellin dan cekaman berpengaruh nyata
mampu mempertahankan persentase perkecambahan dimana hasil tertinggi
terdapat pada perlakuan tanpa pemberian gibberellin dan tanpa salinitas (A0C0),
5 mg L-1 dan pemberian salinitas 4-5 dsm-1 (A1C1) sedangkan yang terendah pada
perlakuan tanpa pemberian gibberellin dan pemberian salinitas 4-5 dsm-1 (A0C1).
2. Tinggi Tanaman (cm)
Sidik ragam perlakuan giberellin, asam salisilat dan cekaman salinitas pada
peubah tinggi tanaman 4, 6 dan 8 MST dapat dilihat pada Lampiran 2, 3 dan 4.
Perlakuan cekaman salinitas berpengaruh sangat nyata pada peubah tinggi
tanaman 4 MST dan berpengaruh nyata pada peubah tinggi tanaman 6 MST dan 8
MST. Sedangkan perlakuan gibberellin dan asam salisilat tidak berpengaruh nyata
pada peubah tinggi tanaman. Hasil uji beda rata-rata tinggi tanaman pada
perlakuan giberellin, asam salisilat dan cekaman salinitas dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata Tinggi Tanaman pada Perlakuan Giberellin, Asam Salisilat, dan Cekaman Salinitas.
Perlakuan Tinggi Tanaman (cm)
4 MST 6 MST 8 MST Giberellin (A)
Tanpa Giberellin (A0) 13.833 20.656 30.261
GA35 mg L-1 (A1) 18.311 27.383 40.328 berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test)
Pemberian salinitas memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata tinggi
tanaman. Perlakuan tanpa salinitas (A0) meningkatkan tinggi tanaman dibanding
pemberian salinitas 4-5 dsm-1 (C1) untuk setiap jenis amatan (umur 4, 6 dan 8