1
MENGAIS NURANI HUKUM
1Oleh: Pan Mohamad Faiz2
Perasaan kecewa seorang Mahfud MD. yang pernah dialaminya seperempat
abad yang lalu nampaknya kini terulang dan hinggap kembali di dada para
lulusan muda sarjana hukum. Pasalnya, idealisme kesempurnaan hukum yang
dipelajarinya semasa duduk di bangku kuliah dengan cita penegakkan hukum
berkeadilan justru bertolak belakang dengan praktik riil di
lapangan. Justicia seringkali terekam tengah bertekuk lutut dan berakhir pada
meja rolet milik sang penguasa ataupun pemilik modal.
Syahdan, bagi sebagian kalangan masyarakat, perilaku koruptif, praktik mafia
peradilan, dan “vonis dadu”, tetap menjadi tontonan keseharian, bahkan kini
justru menunjukkan jejak kaki yang lebih tegas dan terang benderang.
Dalam beberapa bulan terakhir ini, kita semua dibuat tercengang dengan
penampilan akrobatik para penegak hukum. Kasus Bibit-Chandra digadang
menjadi simbol karut-marut dan amburadulnya sistem penegakkan hukum kita,
disusul dengan skandal Bank Century dan puluhan kasus korupsi lainnya yang
tak berhujung pangkal.
Sementara itu, secara berturut-turut mulai dari kasus “judi koin” Raju bersama
sembilan bocah lainnya, kasus “curhat medik” Prita Mulyasari, kasus “3 biji
kakao” nenek Minah, hingga kasus “petaka semangka” Basar dan Kholil,
menjadi pemandangan kontras betapa dewi keadilan dengan mudahnya
menebas hak-hak kaum plebeius secara serampangan.
Akibatnya, masyarakat menilai secara tidak langsung bahwa pengadilan bukan
lagi menjadi bastion of justice, melainkan bassinet of justice yang mudah
dininabobokan dan diayun sesuai kehendak oknum penegak hukum bersama
dengan pihak yang berperkara.
1 Tulisan dimuat dalam kolom opini koran Duta Masyarakat pada Selasa, 8 Desember 2009.
2
Moral dan Nurani Hukum
Terungkapnya hasil penyadapan terhadap kejanggalan perilaku dari oknum
penegak hukum memperlihatkan bahwa mafia hukum bukan lagi sekedar isapan
jempol, namun telah mendedahkan wujud aslinya di hadapan kita semua.
Dengan berlindung pada tirai-tirai KUHP, sebagian advokat begitu asyik
membela kliennya mati-matian tanpa memperhitungkan tuntutan rasa keadilan
masyarakat. Setali tiga uang, oknum hakim, jaksa, polisi, dan para pegawai di
instansi tersebut ikut jua membidani ambruknya nilai komunal moralitas dan
nurani penegakan hukum dengan menciptakan pasar lelang perkara.
Ironisnya, secara jujur harus pula kita akui bahwa terkadang masyarakat pun
turut terlibat dalam penyimpangan moral dan nurani hukum tersebut dengan
cara merekayasa keterangannya sebagai saksi atau ahli di persidangan.
Padahal dengan menggunakan metode “moral reading” dari Ronald Dworkin,
Satjipto Rahardjo (2008) telah mengkonstruksikan negara hukum Indonesia
sebagai suatu negara dengan nurani atau negara yang memiliki kepedulian (a
state with conscience and compassion). Artinya, common sense dan legal
sense yang berselaras dengan legal and moral ethics sejatinya menempati status
penting dalam sistem penegakkan hukum di Indonesia.
Pada medio 1970-an, Philippe Nonet dan Philip Selznick menyampaikan bahwa
obyek pembangunan hukum suatu negara sebaiknya berjalan berdasarkan
realitas dinamika internal bangsa sendiri, dan bukan meniru negara manapun.
Dari sudut subyeknya, Kranenburg mengatakan bahwa para sarjana hukum
jangan terjebak dalam optik hukum positif semata, tetapi harus membuka hati
dan pikirannya terhadap perkembangan masyarakat. Sementara itu, Descartes
dalam maha karyanya “Discourse on Method” mengingatkan bahwa berjubelnya
hukum tanpa ketegasan justru seringkali menghalangi keadilan.
Dengan demikian, menjalani hukum sebaiknya tidak sekedar dipandang dari
sudut legalistik-positivistikdan fungsional an sich, namun juga secara natural
3
Pancasila sebagai filosofische grondslag, maka akan ditemukan bahwa keadilan
sosial (social justice) menjadi prinsip penting dalam sistem hukum kita.
Terhadap hal tersebut Mahkamah Konstitusi secara tegas telah menafsirkan
bahwa keadilan akan berlaku dengan “memperlakukan sama terhadap hal-hal
yang sama, dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang
berbeda” (vide Putusan Nomor 14-17 dan 27/PUU-V/2007). Oleh karena itu,
tidak seluruh peristiwa hukum harus diperlakukan sama secara mutlak, bahkan
bagi John Rawls keadilan sosial justru lebih menekankan rasa adil yang
diperuntukkan bagi kaum lemah (the least advantaged).
Menyikapi Momentum
Setelah terdeteksinya titik-titik kanker koruptif di lembaga penegak hukum kita,
maka operasi cesar dengan pisau yang tepat layak segera dilakukan. Kita tentu
berkeyakinan bahwa masih banyak para aparat penegak hukum yang memiliki
moral dan nurani bersih namun (sengaja) dipinggirkan, sehingga sudah
seyogianya momentum ini dimanfaatkan sebagai renaissance nurani hukum.
Oleh sebab itu, komitmen dan kemauan politik dari pemerintah, parlemen, dan
pimpinan lembaga penegak hukum menjadi elan vital dalam hal ini. Masyarakat
amat merindukan teladan hukum, sehingga prasyarat kejujuran, ketegasan, dan
keberanian dalam menegakkan hukum dengan moral dan nurani menjadi syarat
minimal dari pencarian tersebut (Deryck Beyleveld, Law as a Moral
Judgment, 1986).
Sebaliknya, jika terbukti atau setidak-tidaknya terindikasi adanya praktik koruptif
dan penyimpangan hukum di aras kekuasaan manapun, maka sudah selayaknya
segera dibersihkan. Dalam konteks ini, Cicero sempat berpidato di
depan tribunus dengan mengatakan bahwa ikan membusuk mulai dari kepala
hingga ke ekor, sehingga tindakan yang pantas dilakukan menurutnya adalah
dengan memotong dan membuangnya (Imperium, 2007).
Masalah pelik dihadapi ketika nurani seseorang tertutup kabut tebal akibat
“keterlanjurannya” terlibat atas sandiwara mafia hukum dan peradilan. Pastilah
mereka diam dan bungkam seribu bahasa karena khawatir sejarah kelamnya
4
Belanda “de pot verwijt de ketel” yang artinya “belanga menuduh panci, maka
akan sama-sama hitam pantatnya”.
Satu hal yang tidak kalah pentingnya yakni dengan menggalang pengawasan
oleh rakyat dan pers secara langung dan terus-menerus. Tanpa adanya
pemberitaan dari media massa, tentu tabir kelam penegakkan hukum seperti
sekarang ini tidak akan pernah tersingkap ke meja publik. A blessing in disguise!
Oleh karenanya kita patut bersyukur, sebab baik aparat penegak hukum
maupun masyarakat luas menjadi terlatih pendengaran telinganya, terasah
penglihatan matanya, dan tersinari hati nuraninya.
Perjuangan menegakkan keadilan berdasar moralitas dan hati nurani yang tulus
memang terasa berat dan tiada henti. Akan tetapi, keyakinan atas
pencapaiannya tidak boleh pernah goyah atau redup sedikitpun.
Tentunya di masa yang akan datang kita berharap bahwa tak perlu lagi kita
mengais-ngais untuk sekedar mencari sebongkah nurani di tengah-tengah
ilalang keadilan. Bahkan saking pentingnya arti sebuah nurani hukum, Mahatma
Gandhi pernah menyatakan, “In matters of conscience, the law of the majority