• Tidak ada hasil yang ditemukan

Revitalisasi Kelompok Arisan Sebagai Strategi Adaptasi Ekonomi dan Sosial (Studi Kasus pada Etnis Minangakabau yang Merantau ke Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Revitalisasi Kelompok Arisan Sebagai Strategi Adaptasi Ekonomi dan Sosial (Studi Kasus pada Etnis Minangakabau yang Merantau ke Kota Medan)"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Isbandi Rukminto. 2008. Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Rajawali.

Badaruddin, Nasution, M. Arif, dan Subhilhar. 2005. Isu-isu Kelautan: Dari Kemiskinan Hingga Bajak Laut. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Hasbullah, Jousari. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Jakarta: MR-United Press

Huraerah, Abu, dan Purwanto. 2006. Dinamika Kelompok. Bandung: PT Refika Aditama.

Kartasasmita, Ginandjar. 1995. Pembangunan Untuk Rakyat. Jakarta: PT. Pustaka Cidesindo.

Kato, Tsuyoushi. 2005. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Persfektif Sejarah. Jakarta: Balai Pustaka.

Lendriyono, Fauzik. (ed). 2007. Beberapa Pemikiran Tentang Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Malang: UMM Press.

Lubis, Suwardi. 1999. Komunikasi Antar Budaya: Studi Kasus Etnik Batak Toba & Etnik Cina. Medan: USU Press.

Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

(2)

Pelly, Usman. 1998. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Setiadi, M, Elly. Dkk., 2009. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana.

Sri, Swarsono, Edi dan Masri Singarimbun. (ed). 1986. Sepuluh Windu Transmigrasi di Indonesia 1905-1985. Jakarta: UI Press.

Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

---. 2010. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugiono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sumarto, Agus Herta. 2010. Jurus Mabuk Membangun Ekonomi Rakyat. Jakarta: PT Indeks.

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Sumber lain:

Garnasih, Rahmi. 2011. Peran Modal Sosial Dalam Pemberdayaan Perempuan Pada Sektor Informal (Studi Kasus Pada Pedagang Nasi Di Pasar Depok Lama Pancoran Mas Depok). Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah. Diambil dari

(3)

Keluarga-Besar-Tujuh-Koto-Medan-dihadiri-Wakil-Bupati-dan-tokoh-Padang-Pariaman.html#.V0JKwCt97IU

(4)

BAB III

3.1 Gambaran Umum Kota Medan 3.1.1 Geografis

Kota Medan merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang merupakan ibukota provinsi

Sumatera Utara yang secara geografis terletak di 3,30o-3,34o LU dan 98,35o-98,44o BT dengan

topografi cenderung miring ke utara dan terletak pada ketinggian 2,5-37,5 MDPL (meter di atas

permukaan laut) yang berbatasan langsung dengan kabupaten Deli Serdang di sebelah Utara,

Selatan, Barat, dan Timur.

Secara geografis kota Medan merupakan wilayah yang stategis sebagai wilayah perdagangan

barang dan jasa, hal ini dikerenakan letaknya yang sangat dekat dengan selat Malaka yang

merupakan salah satu jalur perdagangan Internasional dan domestik yang sangat berpengaruh pada

era pra-kolonial hingga sekarang. Kondisi geografis ini yang salah satu hal yang menyebabkan

banyaknya berdiri bangunan ruko (rumah toko), perkantoran, dan perhotelan di kota Medan,

khusunya pada pusat kota, sedangkan untuk pemukiman masyarakat lebih diarahkan ke pinggiran

kota Medan. Kota Medan memiliki 21 kecamatan dan 158 kelurahan.

Tabel 1: Kecamatan di kota Medan serta luas wilayahnya 2009-2013

No Kecamatan Luas (Km2) Persentase (%) 1. Medan Tuntungan 20,68 7,80

2. Medan Johor 14,58 5,50

3. Medan Amplas 11,19 4,22

4. Medan Denai 9,05 3,41

5. Medan Area 5,52 2,08

(5)

7. Medan Maimun 2,98 1,13 8. Medan Polonia 9,01 3,40

9. Medan Baru 5,84 2,20

10. Medan Selayang 12,81 4,83 11. Medan Sunggal 15,44 5,83 12. Medan Halvetia 13,16 4,97 13 Medan Petisah 6,62 2,57

14 Medan Barat 5,33 2,01

15 Medan Timur 7,76 2,93

16 Medan Perjuangan 4,09 1,54 17 Medan Tembung 7,99 3,01

18 Medan Deli 20,84 7,86

19 Medan Labuhan 36,67 13,83 20 Medan Marelan 23,82 8,99 21 Medan Belawan 26,25 9,90

Jumlah 265,10 100,00

Sumber: Medan Dalam Angka 2014

3.1.2 Demografi a. Penduduk

Berdasarkan data dari Medan dalam angka 2014, tercatat penduduk kota Medan pada tahun

2013 berjumlah 2.135.516 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 8.055 jiwa/km2 dan jumlah

(6)

Tabel 2: Rincian jumlah penduduk kota Medan

No Kecamatan Jumlah KK

1 Medan Tuntungan 19.306 2 Medan Johor 29.134 3 Medan Amplas 26.985 4 Medan Denai 31.620 5 Medan Area 21.762 6 Medan Kota 17.197 7 Medan Maimun 9.220 8 Medan Polonia 12.242 9 Medan Baru 10.764 10 Medan Selayang 26.928 11 Medan Sunggal 26.395 12 Medan Halvetia 32.338 13 Medan Petisah 15.272 14 Medan Barat 16.550 15 Medan Timur 25.389 16 Medan Perjuangan 22.545 17 Medan Tembung 30.186 18 Medan Deli 39.308 19 Medan Labuhan 25.156 20 Medan Marelan 33.781 21 Medan Belawan 21.288

Jumlah 493.366

(7)

Perekonomi masyarakat di kota Medan sebagian besar bertumpu pada sektor perdagangan

barang dan jasa.

Selain sektor perdagangan, sektor kemasyarakatan yang juga memberikan kontribusi yang

besar dalam penyerapan tenaga kerja di kota Medan. Tingginya animo masyarakat kota Medan yang

bekerja dalam sektor kemasyarakatan didukung dan dipengaruhi oleh peningkatan sistem dan gaji

yang diberlakukan pemerintah.

Tabel 3 : Jenis Pekerjaan Masyarakat kota Medan

No Jenis Pekerjaan Jumlah

1 Pertanian Tanaman Padi dan Palawija 7.682

2 Perkebunan 6.741

3 Perikanan 15.682

4 Industri Pengolahan 78.111

5 Konstruksi/Bangunan 51.903

6 Perdagangan 211.217

7 Hotel dan Rumah Makan 22.885

8 Transportasi dan Pergudangan 76.994 9 Informasi dan Komunikasi 12.540

10 Keuangan dan Asuransi 20.675

11 Jasa Pendidikan 41.117

12 Jasa Kesehatan 19.248

13 Jasa Kemasyarakatan 157.591

14 Lainnya 50.012

Sumber : Data Sensus Penduduk 2010 – Badan Pusat Statistik Republik Indonesia

Masyarakat kota Medan merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari beragam etnis, ras

dan agama. Keberagaman etnis, ras dan agama masyarakat di kota Medan bermula pada era kolonia

(8)

perkebunan-perkebunan Belanda pada saat itu. Dan setelah era pasca-kolonial, kota Medan mulai

berkembang sebagai kota perdagang hingga sampai sekarang menjadi salah satu kota besar di

Indonesia yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik. Dan pertumbuhan ekonomi di kota

Medan yang baik dan cenderung stabil yang menjadi daya tarik bagi masyarakat di sekitarnya

bahkan beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di pulau Sumatera, yang bertujuan untuk mencari

penghidupan yang lebih baik. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu indikator kemajemukan

masyarakat di kota Medan yang terdiri dari beragam etnis dan agama. Berdasarkan dari aspek

agama, agama Islam merupakan agama yang dominan di kota Medan, yang sebagian besar dianut

oleh masyarakat etnis Minangkabau, Jawa, Mandailing, Aceh, dan Melayu. Lalu agama dominan

kedua adalah Kristen yang sebagian besar di anut oleh etnis Batak dan etnis Cina.

Tabel 4 : Penduduk Menurut Wilayah dan agama yang Dianut

(9)

Sumbe

Pendidikan merupakan hal yang paling mendasar dalam sebuah pembangunan dan

merupakan salah satu indikator terpenting dalam tatanan sosial masyarakat, sebab baik dan

tingginya persentase pendidikan dalam masyarakat cenderung akan berpengaruh terhadap baiknya

proses pembangunan dan kondisi sosial yang didalam masyarakat. Kesadaran masyarakat di kota

Medan akan pentingnya pendidikan dapat dilihat pada jumlah penduduk yang berpartisipasi dalam

pendidikan formal yang terdapat pada tabel 4.

(10)

Tabel 4: Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan formal.

No Tingkat Pendidikan Jumlah

1 Sekolah Dasar/ Sederajat 286.986

2 Sekolah Menengah Pertama/ Sederajat 347.260 3 Sekolah Menengah Atas/ Sederajat 745.711

4 Diploma III 46.330

5 Strata 1 (S1) 132.130

6 Strata 2 (S2) dan Strata 3 (S3) 9.638

Total 1.568.055

Sumber: Data Sensus Penduduk 2010 – Badan Pusat Statistik Republik Indonesia

Berdasarkan data dari BPS (badan pusat statistika) Sumatera utara, total penduduk kota

Medan pada tahun 2010 berjumlah 2.097.610, dan jika di persentasekan dengan jumlah penduduk

berdasarkan pendidikan formal, maka sekitar 74,75 persen penduduk kota Medan yang

berpartisipasi dalam pendidikan.

c. Sosial dan Budaya

Masyarakat di kota Medan merupakan masyarakat yang heterogen, yang didalamnya terdiri

dari berbagai etnis dan agama yang berbeda, baik itu pribumi maupun non-pribumi. Keberagaman

etnis di kota Medan tampak dari berdirinya beberapa bangunan yang memiliki corak yang khas

terhadap etnis tertentu, seperti contohnya gedung Wisma Bahagia yang merupakan bangunan yang

memiliki corak bangunan khas etnis Batak, lalu Rumah Gadang Banuhampu yang merupakan

bangunan yang bercorak khas etnis Minangkabau, kemudian Vihara Gunung Timur Sakti bangunan

yang berciri khas etnis Cina, lalu

India, dan yang paling termashur adalah Istana Maimun yang merupakan bangunan yang memiliki

(11)

Meskipun masyarakat di kota Medan bersifat heterogen, akan tetapi pola pemukiman

masyarakatnya cenderung bersifat homogen berdasarkan kesamaan etnis maupun agamanya, etnis

yang paling mencolok dalam memmbuat pola pemukiman bersifat homogen adalah etnis

Minangkabau, Mandailing, Batak, Cina, dan India. Etnis Minangkabau di kota Medan sebagian besar

bermukim di Kecamatan Medan Area, lalu etnis Mandailing sebagian besar bermukim di Kecamatan

Medan Tembung, kemudian etnis Batak sebagian besar bermukim di daerah pinggiran kota Medan,

seperti kecamatan Medan Tuntungan dan Medan Amplas, lalu etnis Cina yang sebagian besar

bermukim di pusat dan kawasan yang dekat dengan pusat kota Medan seperti kecamatan Medan

Area dan kecamatan Medan Maimun, dan etnis India yang berfokus pada kawasan-kawasan yang

terdapat kuil Hindu seperti di kecamatan Medan Polonia dan Medan Petisah.

3.2 Profil Umum Kelompok Arisan Sungai Sarik

Kelompok arisan Sungai Sarik merupakan kelompok arisan yang dibentuk dengan tujuan

membentuk persatuanperantau Minangkabau yang ada di kota Medan, khususnya perantau

Minangkabau yang berasal dari Sungai Sarik, VII Koto, Pariaman, Sumatera Barat. Meskipun begitu,

tidak ada batasan dan aturan bahwa untuk menjadi anggota kelompok arisan Sungai Sarik haruslah

berasal dari kecamatan Sungai Sarik, setiap perantau Minangkabau yang ada di kota Medan bisa

untuk menjadi anggota kelompok arisan Sungai Sarik. Hal seperti yang di ungkapakan oleh bapak

Muhammad Idris Panyalai atau yang lebih dikenal dalam kelompok arisan dengan Mak Dirih, yang

mana beliau merupakan ketua dari kelompok arisan Sungai Sarik:

untukjadi anggota kelompok arisan Sungai Sarik enggak ada aturan musti kampungnyadari Sungai Sarik,yang terpenting dia beragama Islam, kalau adapun orang Jawa atau Batak mau ikut punenggak apa-apa.”

Berdasarkan hasil wawancara dengan Mak Dirih, kelompok arisan Sungai Sarik dibentuk pada

tahun 1983. Pada saat itu anggota kelompok hanya terdiri dari 10 kepala keluarga, yang di adakan di

Jalan Binjai gang Jadidi kediamannya Alm. Mak Katik yang sekaligus pada saat itu menjabat sebagai

(12)

Kini anggota kelompok arisan Sungai Sarik berjumlah 39 KK (kepala keluarga) yang diketuai

oleh bapak Muhammad Idris Panyalai, dan sekretarisnya adalah bapak Usman Sikumbang, lalu bapak

Bashar Koto sebagai bendaharanya.

Kelompok arisan Sungai Sarik melakukan pertemuan setiap sebulan sekali pada hari

Minggu di setiap awal bulan. Penetapan tempat pertemuan ditentukan dengan cara diundi.

Sebelumnya, mereka telah menuliskan nama-nama-setiap anggota dalam secarik kertas kecil,

kemudian kertas-kertas yang berisi nama anggota kelompok arisan Sungai Sarik tersebut di

masukkan ke dalam sebuah botol yang kemudian akan dipilih secara acak, dan nama yang terpilih

mendapatkan uang arisan sekaligus rumahnya menjadi tempat pertemuan pada bulan depan. Dan

pengundian tersebut dilakukan dalam sekali putar, yaitu jika semua anggota sudah mendapat bagian

dari undian.

Adapun uang yang kumpulkan dari setiap anggota jumlahnya sekarang sebanyak 50.000 rupiah, yang di dalam nya 40.000 untuk uang arisan dan 10.000 untuk uang kas, yang secara rinci diungkapkan dalam wawancara dengan bapak Bashar Koto,

“dari 50.000 itu, 10.000 nya dimasukkan ke dalam kas arisan. Yang 10.000 itu gunanya untuk uang bantuan, misalnya nati diantara kita ada yang dapat kemalangan, kayak meninggal, sakit, malahan waktu itu pernah ada yang rumahnya kebakaran, kita juga kasih. Misalnya ada di keluarga dari salah satu anggota arisan yang meninggal, itu di kasih 500.000, terus kalau sakitnya parah biasanya di kasih 750.000. kalau yang kebakaran waktu itu, kalau ngak salah 500.000 juga. Tapi jumlah uang tadi itu, itu cuma dari uang kas aja, nanti ada tambahan dari uang sumbangan dari yang lainnya”

3.3 Profil Informan

1. Akir Sani Mandai

Bapak Akir Sani Mandai Merupakan perantau Minangkabau berusia 48 tahun yang berasal dari

desa Sungai Sarik, VII Koto, Pariaman, dan jenjang pendidikannya hanya sampai SD (sekolah dasar).

(13)

Mandai merantau pada usia muda, saat itu dia merantau ke Pekanbaru pada umur 19 tahun di

karenakan ajakan oleh mamak nya. Selama di Pekanbaru bekerja di tempat mamak nya, yang kebetulan memiliki usaha perternakan ayam. Sebelum merantau ke Medan, ia sempat merantau ke

Palembang pada tahun 1989 dengan ajakan eloknya untuk berjualan buah-buahan. Kemudian pada tahun 1993 ia merantau ke Medan bersama dengan adiknya Rizal Mandai. Saat di Medan keduanya

menumpang di rumah mandeh nya, sekaligus bekerja dengan mandehnya tersebut berjualan dan menawarkan barang songkok dan berbagai pakaian wanita dari pasar ke pasar. Saat ini bapak Akir

Sani mendapatkan penghasilan melalui usaha konveksi tas sekolah, rak sepatu, dan tali pinggang,

dengan penghasilan sekitar 10.000.000 sampai 15.000.000/bulan. Selain ikut kelompok arisan Sungai

Sarik, bapak Akir Sani Mandai juga aktif di komunitas KBTK (keluarga besar Tujuh Koto). Dan di

ketahui pula bahwa bapak Akir Sani Mandai merupakan adik tiri dari bapak Usman Sikumbang.

2. Bashar Koto

Bapak Bashar Koto merupakan perantau Minangkabau yang berusia 53 tahun yang berasal

dari Sungai Sarik, VII Koto, Pariaman, dengan jenjang pendidikan tamatan Tsanawiyah. Sebelum

merantau ke Medan, bapak Bashar Koto merantau ke Pekanbaru pada usia 17 tahun, saat itu ia

merantau di karenakan ajakan oleh orang yang satu kampung denganya. Dan saat di Pekanbaru ia

bekerja di temapat orang sekampung dengannya tersebut, yang saat itu memiliki usaha

bumbu-bumbu. Namun, di Pekanbaru ia tidak lama, hanya 3 tahun, setelah itu ia kembali ke kampung.

Kemudian pada tahun 1985 ia merantau ke Medan dan bertempat tinggal serta bekerja dengan apak

nya. Apak nya memiliki usaha Tailor di jalan Pandu yang di kenal dengan nama “Rahmad” dan ia bekerja sebagai tukang jahit. Kini ia memiliki usaha konveksi baju celemek, sarung bantal dan juga

memiliki grosir kauskaki, lobe, sarung tangan, dan sebagainya. dari usahanya tersebut ia memiliki

penghasilan sekitar 20.000.000 sampai 25.000.000/ bulan. di dalam kelompok arisan bapak Bashar

(14)

3. Basrial EfendiKoto

Bapak Basrial Efendi Koto merupakan perantau Minangkabau dengan usia 48 tahun, yang

berasal dari Sungai Sarik, VII Koto, Pariaman, dengan jenjang pendidikan tamatan SLTP. Bapak Basrial

merantau ke Medan pada usia 21 tahun tepatnya pada tahun 1989. Awal bapak Basrial merantau ke

Medan ia tingggal di tempat elok nya di jalan Pasar Merah, dan dengan elok nya tersebut ia bekerja sebagai penjahit baju sekolah dan telekung. Hingga saat ini bapak Basrial memiliki peghasilan dari

usaha bejualan nasi di Batangkuis dan di terkadang ia juga menjualkan kain-kain restan dari Jawa,

kepada pengusaha-pengusaha konveksi. Saat ini memiliki penghasilan sekitar 5.000.000 sampai

10.000.000/bulan.

4. Eryatman Tanjung

Bapak Eryatman Tanjung merupakan perantau Minangkabau berusia 54 tahun, berasal dari

Batu Basa, Pariangan, Tanah Datar, dengan jenjang pendidikan tamatan SLTA. Sebelum merantau ke

Medan, pada tahun 1984 bapak Eryatman Tanjung merantau ke Jakarta, di sana ia bekerja di tempat

saudaranya sebagai penjahit seprei, gorden, taplak meja dan sebagainya. Kurang lebih hanya 2 tahun

di Jakarta, di karenakan menikah dengan adik bapak Muhammad Idris, bapak Eryatman kembali ke

Sumatera Barat dan kemudian ia dengan isterinya merantau ke kota Padang. Saat di Padang, bapak

Eryatman membuka usaha konveksi sarung bantal, seprei, dan bantal. Bapak Eryatman mulai

merantau pada tahun 1993, dan hingga sekarang ia memiliki usaha bakal kain yang sebelumnya ia

berjualan di pasar Sukaramai dan sekarang di pindah ke pasar Sentral. Dari usahanya tersebut,

kurang lebih penghasilan bapak Eryatman sekitar 20.000.000 sampai 25.000.000/bulan. Di ketahui

bahwa bapak Eryatman tak hanya ikut dalam kelompok arisan Sungai Sarik, tapi ia juga ikut dalam

kelompok arisan BASIS (Batu Basa Saiyo Sakato), dan ia menjabat sebagai ketua. Kemudian bapak

(15)

5. Ismail Jambak

Bapak Ismail Jambak merupakan perantau Minangkabau yang berusia 48 tahun, yang berasal

dari dari desa Toboh, Nan Sabarih, Pariaman, dengan jenjang pendidikan tamatan SLTP. Pada sat

usia 21 tahun ia merantau ke Jambi dikarenakan ajakan abang kandungnya untuk membantu usaha

abangnya yang pada saat itu memiliki usaha santan kelapa. Bapak Ismail Jambak merantau ke

Medan pada 1996, dan saat pertama kali merantau ke Medan ia menumpang di rumah Almarhum

Mak Katik di Kampung Lalang. Kini bapak Ismail Jambak berpenghasilan dari usaha kelapa santan di

pasar Kampung Lalang, dengan peghasilan sekitar 10.000.000 sampai 15.000.000/bulannya. Dan di

ketahui bahwa bapak Ismail Jambak merupakan keponakannya dari Almarhum Mak Katik yang

merupakan ketua pertama dari kelompok arisan Sungai Sarik.

6. Muhammad Idris Panyalai

Bapak Muhammad Idris Panyalai atau yang banyak di kenal sebagai Mak Dirih, merupakan

perantau Minangkabau berusia 73 tahun, yang berasal dari Sungai Sarik, VII Koto, Pariaman. Jenjang

pendidikan bapak Muhammad Idris sendiri hanya bersekolah sampai kelas 4 SD. Sama seperti dari

kebanyakan orang Minangkabau di pedesaan, bapak Muhammad Idris Panyalai merantau pada saat

remaja yaitu pada usia 17 tahun. Banda Aceh merupakan kota tempat awal ia merantau, saat itu ia

bekerja dengan saudara dari bapaknya sebagai distibutor telur ayang ke pasar-pasar tradisional yang

ada di Banda Aceh. Bapak Muhammad Idris merantau ke Medan pada tahun 1974. Pada awal

merantau ke Medan, bapak Muhammad Idris berjualan peralatan rumah tangga dengan

meggunakan becak yang dibuat sedemikian rupa untuk dapat membawa barang dagangannya. Ia

berjualan kaki lima dari pasar ke pasar namun pasar yang jadi prioritas utamanya adalah pasa

Petisah. Berselang beberapa tahun ia menyewa toko di pasar petisah dan berjualan yang sama

dengan sebelumnya. Dan di pasar Petisah lah ia dan Mak Katik sering bertemu, karena pada saat itu

Almarhum Mak Katik berprofesi sebagai tukang emas yang bekeliling dari pasar kepasar lainnya. Dan

(16)

Muhammad Idris Panyalai tidak lagi berjualan, dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya ia

bergantung pada rumah-rumah yang ia kontrakkan dan dari nafkah anak-anaknya. Di kelompok

arisan bapak Muhammad Idris Panyalai merupakan salah satu orang yang pertama kali mendirikan

kelompok arisan Sungai Sarik dan kini menjabat sebagai ketua kelompok arisan Sungai Sarik.

7. Muhammad Iqbal Tanjung

Bapak Muhammad Iqbal Tanjung merupakan perantau Minangkabau yang berusia 47 tahun,

yang berasal dari Bukittiggi, dengan jenjang pendidikan tamatan S1 Ekonomi. Bapak Muhammad

Iqbal juga merupakan menantu dari bapak Muhammad Idris Panyalai. Bapak Muhammad Iqbal

tanjung awal Merantau ke kota Medan pada tahun 1989 dengan tujuan untuk berkuliah di UMSU

(Universitas Muhammadiayah Sumatera Utara). Saat ia kuliah di UMSU, ia terkadang menyempatkan

diri untuk berjualan sepatu yang ia ambil dari saudaranya yang pembuat sepatu, kemudian ia

berjualan di pasar-pasar dan tempat keramaian yang ada di kota Medan, dan terkadang ia

membawa beberapa pasang sepatu ke kampus untuk ia jualkan kepada teman-temannya. Saat ini

bapak Muhammad Iqbal memiliki usaha grosir pakaian di pasar Sentral dengan penghasilan bersih

sekitar 20.000.000 sampai 25.000.000/ bulan.

8. Rizal Mandai

Bapak Rizal Mandai merupakan perantau Minangkabau berusia 46 tahun , yang berasal dari

Sungai Sarik, VII Koto, Pariaman, dengan jenjang pendidikan tamatan SD (sekolah dasar). Di ketahui

bahwa bapak Rizal Mandai adalah adik kandung bapak Akir Sani Mandai dan sekaligus adik tirinya

dari bapak Usman Sikumbang. Sebelum merantau ke Medan dengan bapak Akir Sani Mandai, bapak

Rizal Mandai merantau ke Bukittinggi pada umur 18 tahun. Pada saat itu ia merantau dengan orang

yang satu kampung dengannya dan juga bekerja dengannya. Namun itu tidak berlangsung lama,

hanya sekitar 1,5 tahun ia di Bukittinggi, kemudian kembali ke kampung. Saat dikampung ia memiliki

(17)

menjadi supir angkutan umum. Kemudian pada tahun 1993 ia dengan abangnya Akir Sani Mandai

merantau ke Medan. Sama seperti abangnya, ia tinggal dan bekerja dengan mandeh nya. Namun ia tidak tinggal lama dengan mandeh nya di karenakan ia dan mendeh nya berkonflik. Setelah itu ia bermukim di tempat pekerjaannya yang baru di tempat pembuatan prabotan-prabotan rumah

tangga. Kini bapak Rizal Mandai memiliki usaha pembuatan prabotan-prabotan rumah tangga di

Bandar Setia, dengan penghasilan 10.000.000 sampai 15.000.000/bulan.

9. Usman Sikumbang

Bapak Usman Sikumbang merupakan perantau Minangkabau yang berusia 51 tahun dan

berasal dari desa Sungai Sarik, VII Koto, Pariaman, dengan jenjang pendidikan tamatan SD (sekolah

dasar). Bapak Usman Sikumbang merupakan kakak tiri dari bapak Akir Sani Mandai dan Rizal Mandai.

Dan karena ekonomi keluarga yang sulit pada waktu itu mendorong bapak Usman Sikumbang

merantau pada usia yang sangat muda yaitu pada usia 17 tahun. Oleh sebab itu, orang yang satu

kampung dengannya mengajak ia untuk meratau ke Pekanbaru dengan berjualan pakaian wanita

dengan kaki lima di pasar-pasar Pekanbaru. Perantauannya di Pekanbaru tidak lama, kurang lebih

hanya 1 tahun, kemudian ia kembali ke kampung. selama di kampung ia bekerja di tempat

pembuatan batu bata dan terkadang berjualan jajanan seperti Es krim, salak, dan sebagainya, di

pasar dekat pantai Gondariah. Kemudian pada tahun 1986 ia disuruh oleh Mak Katik untuk ke

Medan, dan selama tinggal dengan Mak Katik, bapak Usman Sikumbang belajar menempah emas.

Kini bapak Usman Sikumbang memiliki usaha toko emas di pajak sentral dengan penghasilan

20.000.000 sampai 25.000.000/bulan. Di dalam kelompok arisan Sungai Sarik, bapak Usman

Sikumbang menjabat sebagai wakil ketua merangkap juga sebgai sekretaris.

10. Zulkarnain Panyalai

Bapak Zulkarnain Panyalai merupakan perantau Minangkabau yang berusia 38 tahun yang

(18)

merupakan keponakan dari bapak Muhammad Idris Panyalai. Bapak Zulkarnain merantau ke Medan

pada tahun 2000 karena ajakan oleh bapak Muhammad Idris Panyalai. Pada awal merantau ke

Medan, bapak Zulkarnain Panyalai tinggal dan belajar berjualan dan menempah emas dengan bapak

Muhammad Idris Panyalai. Saat ini bapak Zulkarnain Panyalai berprofesi sebagai penerima

tempahan emas dari toko-toko emas di kota Medan dan sekaligus mempunyai toko emas di pajak

Horas Siantar. Dari usahanya tersebut ia mendapatkan penghasilan sekitar 15.000.000 sampai

(19)

BAB IV

INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1 Strategi Adaptasi Perantau Minangkabau Pada Fase Awal Merantau di Kota Medan. 4.1.1 Motivasi Ekonomi Perantau Minangkabau di Kota Medan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan olah Naim (2013: 179), sebanyak 65% orang

Minangkabau berprofesi dalam sektor perdagangan, 17% yang memilih sebagai pegawai

negeri/swasta, dan 18% diantaranya memilih profesi yang berkaitan dengan sektor pendidikan. Hal

yang sama juga diungkapkan oleh Pelly (1994: 139), bahwa ada tiga profesi yang sangat disukai oleh

orang Mingkabau, dan salah satunya adalah berdagang.

Kecenderungan orang Minangkabau memilih profesi pada sektor perdagangan membuat

mereka banyak menyebar di kota-kota besar di Indonesia yang memilki perekonomian yang baik,

yang kota-kota tersebut banyak terdapat di Indonesia bagian barat, seperti contohnya, kota Jakarta,

Bandung, Surabaya, Medan, Palembang, Pekanbaru, dan kota-kota lainnya. Hal ini dibuktikan juga

dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Naim (2013: 191), bahwa sekitar 39% orang

Minangkabau bermigrasi atau merantau ke kota Jakarta, 22% lainnya merantau ke Sumatera Utara,

20% lainnya merantau ke Riau/Jambi, lalu sekitar 9% ke Sumatera Selatan, dan sisa 2% tersebar di

wilayah-wilayah lainnya termaksud Malaysia dan Singapura. Dengan begitu, dapat disimpulkan

bahwa motivasi merantau sebagian besar dari orang Minangkabau di dasari pada faktor ekonomi.

Di balik motivasi ekonomi merantau masyarakat Minangkabau yang cenderung bersifat

meterialistis, kebiasaan merantau pada masyarakat Minangkabau secara tidak langsung membentuk

nilai-nilai kemandirian pada masyarakatnya, khususnya pada pemudanya untuk dapat hidup mandiri.

Hal ini tampak bangaimana mereka mendorong kaum mudanya untuk segera mencari pekerjaan

baik itu dalam ranahnya maupun di perantauan, sebagaimana yang terungkap dari pepatah

(20)

kita haruslah pergi merantau jika di kampung kita tidak bisa mendapatkan pekerjaan atau tidak

mampu membantu keluarga sendiri.

Kota Medan, sebagai salah kota yang sering menjadi tujuan orang Minangkabau, bahkan

migrasi orang Minangkabau ke kota Medan sudah berlangsung sejak lama sebelum

berkembangannya industri-industri pertanian di kota Medan (Naim, 2013:104). Meskipun begitu,

bukan berarti adaptasi aspek ekonomi orang Minangkabau di kota Medan berjalan dengan baik.

Hampir sebagian besar suku Minangkabau yang di kota Medan berkerja pada sektor informal

menengah-kebawah, dan hanya sebagian kecil dari mereka yang berada kelas atas.

Ada beberapa hal yang membuat orang Minagkabau di kota Medan mengalami kesulitan

dalam beradapatasi, khususnya pada aspek ekonominya. Pertama, adalah dikarenakan banyak diantara perantau Minangkabau berlatar belakang pendidikan yang rendah. Merujuk dari hasil

penelitian Naim (2013: 179), yang mengungkapkan bahwa kebutuhan orang Minangkabau akan

pendidikan lebih tinggi di daerah rantau dari pada orang Minangkabau yang ada di Sumatera Barat,

hal ini disebabkan sarana pendidikan di Sumatera Barat masih belum memadai dalam membangun

pendidikan yang berkualitas. Selain itu, sebagian besar informan yang diwawancarai diketahui lebih

banyak hanya memperoleh pendidikan SLTP/ sederajatnya. Dan hal yang serupa juga ditambahkan

oleh bapakBashar Koto,

“kebanyakan kawan-kawan bapak yang pergi merantau cuma tamatan SLTP sama kayak bapak, malahan ada juga yang enggak sampai tamat SD. Soalnya waktu zaman bapak sekolah banyak anggapan anak-anak seusia bapak waktu itu sekolah cuma buat tahu perkalian, pertambahan dan pembagian, selebihnya enggak penting.”

Hal yang serupa juga diungkapkan oleh bapak Ismail Jambak,

(21)

Kedua, sebagian besar mereka yang merantau ke Medan berasal dari pedesaaan. Rata-rata orang Minangkabau yang memiliki intensitas merantau yang tinggi sebagian besar berasal dari

wilayah pedesaan, yang umumnya dari desa-desa di kabupaten Pariaman, Agam, Tanah Datar, dan

Solok, (Naim, 2013: 185). Dan hal itu juga dibuktikan dari semua infoman yang diwawancarai

mengungkapkan bahwa mereka berasal dari salah satu desa yang berada di kabupaten yang telah

sebutkan diatas.

Ketiga, Sebagian besar masyarakat Minangkabau yang merantau ke Medan pada saat remaja, sekitar umur 20 tahun kebawah. Merantau pada saat remaja merupakan hal yang sudah umum

terjadi dalam masyarakat Minangkabau, khususnya yang berasal dari pedesaan. Pada umur sekitar

20 tahun kebawah, masyarakat Minangkabau umumnya merantau ke daerah-daerah yang jaraknya

tidak terlalu jauh dari kampung halamannya atau dari Sumatera Barat, seperti kota Bukittinggi, kota

Padang, Pekanbaru, dan Medan. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Usman

Sikumbang,

“di kampung bapak anak-anak umur dibawah 20 tahun, yang pergi merantau udah biasa. Biasanya kalo umur segitu mereka merantau kebanyakan merantaunya ke Pekanbaru, Bukittinggi, Medan, sama Padang. Tapi yang paling sering ke Pekanbaru sama Bukittinggi”

Bagi orang Minangkabau yang merantau saat remaja, mereka jarang sekali merantau dalam

jangka waktu yang panjang. Sebagian besar dari mereka akan kembali ke kampung bila ada waktu.

Pola merantau ini merupakan pola merantau keliling yang sebagaimana yang diungkapakan oleh

Kato (2005: 14). Selain itu, ada beberapa alasan orang Minangkabau merantau pada saat remaja.

Pertama, sebagai pengalaman dan modal sebelum merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta, dan kota-kota yang besar lainnya yang ada di pulau Jawa. Dalam hal ini beberapa orang Minangkabau

menjadikan kota-kota yang berada tidak jauh dari kampungnya atau dari Sumatera Barat sebagai

batu loncatan atau rantau tahapan. Hal ini karena, bagi sebagian masyarakat Minangkabau

(22)

menjanjikan dan lebih besar peluangnya untuk sukses. Sehingga ia menjadikan beberapa kota yang

terdekat sebagai tempat ia mendapatkan pengalaman dan modal, baik itu berupa harta maupun

skill. Hal ii sangat berkaitan sekali dengan hasil penelitian Naim (2013: 191), yang menyatakan bahwa sebanyak 39% orang Minangkabau memilih merantau ke Jakarta dan 22% memilih merantau ke

beberapa daerah di Sumatera Utara. Dan orang Minangkabau yang memilih untuk langsung

merantau ke Jakarta sebanyak 45%, sedangkan hampir sebagiannya berasal dari rantau tahapan,

seperti Sumatera Utara 16%, Riau/Jambi 23%, Sumatera Selatan 9%, dan dari wilayah di Pulau Jawa

sebanyak 7%.

Lalu yang kedua, tekanan ekonomi. Kondisi ini umumnya terjadi pada masyarakat pedesaan. Dorongan merantau atas didasari faktor ekonomi akan lebih kuat dirasakan apabila sumber

penghasilan tidak lagi mencukupi kebutuhan keluarga. Dan sebagaimana kita ketahui, hampir

sebagian besar masyarakat pedesaan di Sumatera Barat bergantung pada sektor pertanian sebagai

sumber matapencariannya. Hal ini yang kemudian menciptakan adanya keterbatasan sumber

matapencarian di wilayah-wilayah pedesaan di Sumatera Barat. Kondisi ini secara tidak langsung

akan berpengaruh terhadap kuatnya dorongan laki-laki untuk merantau, tidak terkecuali bagi

mereka yang masih dalam kelompok usia remaja. Semakin berat tekanan ekonomi yang ia rasakan,

maka akan semakin kuat pula keinginannya untuk merantau, dengan tujuan untuk dapat

memperbaiki perekonomiannya dan keluarganya. Hal ini ditambah lagi dengan rendahnya tinggat

pendidikan pada masyarakat Minangkabau, khususnya di pedesaan, yang membuat mereka hanya

berfokus pada aspek ekonomi. Hal ini lah yang menjadi alasan bapak Akir Sani Mandai untuk

merantau pada saat remaja,

(23)

Hal yang serupa juga diungkapkan oleh bapak Usman Sikumbang,

“hampir semua abangnya bapak merantau kecuali yang nomer empat, dialah yang bantu-bantu ibu bapak betani. Karena dirasa susah hidup dikampung, lagian kasihan kalau harus bergantung sama orang tua bapak, jadi umur 17 tahun bapak coba-coba pergi merantau ke Pekanbaru ikut orang di kampung bapak buat jualan kaki lima, jualan songkok, jilbab, baju.”

4.1.2 Pola Kediaman Perantau

Dalam fase awal merantau, laki-laki Minangkabau yang belum menikah saat merantau ke Medan, lazimnya menumpang di rumah kerabatnya yang memiliki perekonomian yang cukup baik di Medan, dan ada juga sebagian kecil yang mengontrak di rumah bersama dengan teman yang ia kenal. Dan cara ini dibenarkan oleh beberapa informan yang merantau ke Medan dengan status belum menikah, seperti yang diungkapkan oleh beberapa informan yang bapak Basrial Efendi Tanjung,

“waktu pertama kali datang ke Medan pak Bas tinggal di rumah saudara pak Bas yang di Pasar Merah, kalau pas bas manggilnya elok si Er”

Hal serupa juga dilakukan oleh bapak Bashar Koto,

“kebetulan bapak punya apak di Jalan Ismaliyah. Jadi kurang lebih 3 tahun pertama bapak merantau di Medan tinggalnya di rumah apak bapak. Karena segan bapak numpang di situ lama-lama, terakhir bapak kotrak rumah di jalan Utama sama kawan-kawan yang kerjanya di jalan Pandu juga. ”

(24)

akan mudah untuk berkomunikasi dan akan memperkecil konflik diantara keduanya yang dapat menganggu kenyamanannya. Sedangkan untuk kerabat yang memiliki ikatan darah ataupun ikatan sosial yang agak sedikit jauh darinya, untuk menumpang maka dia akan mempertimbangkan soal kenyamaan dari dirinya dan juga dari kerabatnya. Apabila menurutnya dia mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi deng saudaranya tersebut, dan dapat menimbulkan konflik diantara keduannya apa bila ia menumpang dengan saudaranya tersebut, maka ia akan lebih memilih untuk mengontrak rumah atau kos. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh bapak Bashar Koto, Usman Sikumbang, Akir Sani Mandai yang mana pada awal mereka merantau ke Medan, mereka menumpang dengan saudaranya yang memiliki ikatan darah yang dekat dengan orang tuannya.

Lalu pertimbangan kedua, untuk menghemat pengeluaran selama fase awal ia merantau di Medan. Sebelumnnya telah di ungkapkan, bahwa sebagian besar perantau Minangkabau merantau pada usia muda, sekitar umur 20-an, bahkan kurang dari itu. Pada usia tersebut mereka sepenuhnya belum mandiri secara ekonomi, dan hanya memiliki keahlian yang tidak cukup memadai untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Sehingga terkadang mereka terjebak dalam pekerjaan-pekerjaan yang memiliki pendapatan yang rendah seperti kuli, penarik becak, buruh pabrik, dan sebagainya. Oleh sebab itu, dengan menginanap di rumah kerabat, sedikit-banyak membantu pengeluarannya selama fase awal ia merantau di Medan. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh bapak Rizal Mandai, yang merupakan adik kandung dari Akir Sani Mandai,

“kalau tinggal di rumah saudara yang pastinya kita enggak perlu cari rumah kontrakan, terus yang paling enaknya tempat tinggalnya gratis, enggak perlu keluar biaya banyak buat makan. Terus kalau lagi enggak punya uang, kita masih bisa makan”

(25)

Minangkabau yang memiliki latar belakang pendidikan yang rendah, bertumpu pada pekerjaan di sektor perdagangan dan sebagai penjahit. Dan untuk survive, mereka memerlukan keterampilan yang memadai. Namun, yang sering menjadi permasalahan umum bagi perantau Minangkabau di kota Medan, hampir sebagian besar dari mereka hanya memilki keterampilan yang seadanya, terlebih lagi mereka yang berasal dari wilayah pedesaan. Untuk itu, pada fase awal merantau mereka memerlukan semacam pembimbing atau yang dapat mengajarkannya beberapa keterampilan yang dapat mereka manfaatkan dalam mendapatkan penghasilan. Oleh sebab itu, sangat jarang sekali didapati perantau Minangkabau yang mau menumpang di rumah kerabatnya yang bekerja pada sektor yang produktivitasnya rendah, seperti penarik becak, kuli, buruh, pegawai toko di pasar, dan sebagainya. Mereka lebih cenderung menumpang di rumah kerabatnya yang memiliki usaha yang memiliki produktivitas menengah-keatas, seperti pedang tekstil, toko emas, konvesksi pakaian, dan sebagainya. Dengan begitu, mereka dapat belajar beberapa hal dari kerabatnya, sehingga kedepannya ia memiliki skillyang dapat membantunya dalam beradaptasi dalam aspek ekonominya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Akir Sani Mandai,

“waktu bapak tinggal sama pak Aris, bapak di suruh jualan songkok ke pajak-pajak. Karena disuruh kesana-kesini jadi bapak tau gimana cara jualan, tau dimana tempat-tempat ngambil barang, mengolah barang. Setelah itu bapak di suruh buat barang sendiri sama pak Aris, modalnya sebagian di tambahin pak Aris“

Hal yang serupa juga diungkapkan oleh bapak Usman Sikumbang,

“waktu bapak tinggal sama mak Katik, disitulah bapak mulai belajar cara menempah emas. Awal-awal belajar bapak disuruh ngebentukin tembaga dulu, lalu setelah kira-kira bisa, baru lah bapak mulai terima tempahan dari orang lain. Kira-kira cuma lima tahun bapak kerja sama mak Katik, setelah itu bapak buka toko emas di Karo”

(26)

membawa keluarganya. Mereka meninggalkan keluarganya di kampung, dan pergi merantau untuk mencari daerah rantau mana yang menurut mereka cocok untuk mereka jadikan sebagai tempat mereka bermukim yang kemudian mereka akan membawa keluarganya ke daerah tersebut. Dalam mencari perantauan yang sesuai untuk ia bermukim, umumnya laki-laki Minangkabau akan merantau ke beberapa kota-kota besar yang menurutnya memiliki potensi ekonomi yang baik. Namun, jangka waktu mereka merantau tidak lama, mereka akan merantau ke suatu kota, lalu kemudian dalam jangka waktu beberapa bulan mereka kembali ke kampung, dan jika menurutnya daerah perantaunnya sesuai, maka ia akan membawa keluarganya untuk bermukim di daerah perantau tersebut. Hal ini sebagaimana yang terungkap dari hasil wawancara dengan bapak Eryatman Tanjung,

“waktu itu ibu (Istrinya) masih di Padang, bapak merantau ke Medan perginya

sendirian, soalnya kurang enak kalau numpang bawa istri di rumah saudara, lagian bapak di Medan waktu itu masih belum pasti mau kerja apa, masih bingung. Setelah dapat gambaran usaha apa yang mau di buat, terus rumah yang mau dikontrakin juga udah dapat, barulah bapak balek ke Padang jemput ibu. Sebelum bapak bawa ibu ke Medan sekitar hapir tiga bulan juga waktu itu bapak di Medan”

4.1.3 Sumber Pendapatan

(27)

Pada saat fase awal merantau ke Medan, kebanyakan dari perantau Minangkabau yang datang dari desa, rata-rata usia mereka berkisar dibawah 25 tahun. Sudah tentu, modal yang mereka punya, baik itu berupa harta maupun keterampilan, terkadang tidak memadai untuk mereka berdagang. Dan hal ini bisa mengarahkan mereka pada pekerjaan yang produktivitasnya rendah, seperti kuli pasar, buruh, dan sebagainya.

Ada beberapa cara yang dilakukan oleh orang Minangkabau dalam mendapatkan penghasilan saat awal ia merantau ke Medan. Pertama, dengan bekerja pada saudara, kerabat, atau teman yang mereka kenal yang ada di kota Medan. Cara ini umumnya dilakukan oleh perantau Minangkabau yang berusia muda saat merantau ke Medan. Dan ini juga merupakan salah satu pertimbangan orang Minangkabau menumpang di rumah saudara dan kerabatnya yang ada di perantauaanya.. Hal ini sebagaimana yang juga dilakukan oleh bapak Basrial Efendi Koto,

“pak Bas kerjanya di situ juga, di rumah elok pak Bas yang di Pasar Merah itu,

waktu itu pak Bas jadi tukang jahit baju-baju anak-anak sekolah, kadang telekung”

Kedua, ada beberapa dari orang Minangkabau yang meminjam modal kepada

saudaranya, modal tersebut dapat berupa uang maupun barang, yang kemudian pergunakan untuk di berdagang atau buka usaha setelahnya. Dan cara ini biasanya dilakukan oleh perantau Minangkabau yang membawa keluarganya merantau ke Medan. Namun, dalam cara ini jarang sekali perantau Minangkabau di dapati mendapat modal berupa uang, rata-rata dari mereka mendapatkan modal berupa barang yang kemudian ia bisa jualkan. Barang dagangannya ia dapatkan berasal dari saudara atau kerabatnya yang ada di kota Medan yang memiliki usaha konveksi atau grosir. Hal sebagaimana terungkap dari wawancara dengan bapak Muhammad Iqbal Tanjung,

(28)

kawan-kawan bapak, biasanya sepatu yang bapak bawa ke kampus sepatu cewek. Terus kalau hari Minggu bapak jualan di depan taman Ria yang sekarang jadi Carefour, kadang bapak jualan juga di pajak Petisah, Sukarame juga pernah. Itu sepatu yang berapa laku itu yang bapak bayar, nanti yang enggak laku bapak balikin sama saudara bapak.”

Lalu cara yang ketiga, meminta informasi pekerjaan dari saudara, kerabat, atau temannya yang ada di Medan. Meskipun sedikit sekali ditemui perantau Minangkabau yang melakukan cara ini, namun, cara seperti ini biasanya dilakukan oleh orang Minangkabau dengan tujuan awal ia ke Medan adalah untuk kuliah. Dan tujuan ia bekerja adalah untuk menambah biaya kebutuhan hidupnya selama kuliah yang mungkin kurang cukup ia dapatkan dari orang tua atau saudaranya di kampung.

4.1.4 Kegoncangan Budaya

(29)

“petama-tama merantau ke Medan pas Bas bergaulnya cuma sama anak-anak tukang kerja aja. kalau main-main sama anak-anak di sekitar rumah elok pak Bas, enggak ada, ada pun cuma sekedar basa basi aja. soalnya di lingkungan rumah elok pas Bas itu kebanyakan orang Batak, makanya pak Bas kurang akrab sama orang-orang itu. ”

Terdapat beberapa faktor yang mendukung perantau Minangkabau dalam bersosialisasi pada fase awal mereka merantau ke Medan. Pertama, orang Minangkabau sudah berkembang lama di kota Medan. Perkembangan orang Minangkabau di kota Medan suadah berlangsung lama sejak industri-industri perkebuanan banyak berkembang di Sumatera Timur, (Naim, 2013: 104). Dengan rentang yang begitu lama, arus migrasi orang Minangkabau ke kota Medan membuat populasi orang Minangkabau semakin bertambah, bahkan beberapa wilayah di kota Medan disematkan sebagai wilayahnya orang Minangkabau. Dengan populasi yang cukup banyak tersebut, menempatkan orang Minangkabau dalam posisi sebagai bagian masyarakat kota Medan, sama seperti masyarakat etnis Melayu, Batak, Jawa, dan Cina. Sehingga dengan kondisi tersebut, mendorong banyaknya terbentuk kelompok-kelompok paguyuban Minangkabau dan organisasi yang di dalamnya banyak terdiri orang Minangkabau, seperti pada organisasi Muhammadiyah sebagaimana yang diungkapkan oleh Usman Pelly di dalam karya ilmahnya Urbanisasi dan

adaptasi: peranan misi budaya Minangkabau dan Mandailing. Dengan begitu,

perantau-perantau Minangkabau tersebut dapat memanfaatkan kelompok-kelompok paguyuban maupun organisasi Muhmmadiyah sebagai wadah serta sarana agar ia dapat bersosialisasi dengan masyarakat kota Medan. Hal ini di dukung oleh ungkapan bapak Eryatman Tanjung,

(30)

Kedua, membangun ikatan sosial dengan saudara atau kerabat. Pada proses

bersosialisasi, langkah awal yang umumnya dilakukan oleh orang Minangkabau pada awal ia merantau ke Medan maupun ke daerah-daerah lain ialah membangun ikatan sosial dan kontak sosial yang baik dengan saudara atau kerabat yang ada di Medan. Orang Minangkabau menjadikan saudara dan kerabat yang ada di Medan menjadi sarana awal ia mendapatkan informasi dalam mempelajari karakter dan gambaran kondisi sosial yang ada di kota Medan sebelum ia dapat beradapatsi secara baik di kota Medan. Dan di lain hal, keberadaan saudara dan kerabat di kota Medan menjadi tempat yang paling sering dituju oleh orang Minangkabau apabila ia mendapatkan masalah selama ia di Medan.

4.2 Gambaran Umum Interaksi Etnis Minangkabau di Kota Medan Dalam Aspek

Ekonominya.

Dan dalam aspek ekonomi, seperti yang diperkirakan, bahwa mayoritas orang Minangkabau di kota Medan bergerak dalam bidang perdagangan. Dibandingkan dengan jenis perdagangan lainnya, orang Minangkabau lebih menonjol di bidang perdagangan tekstil, makanan dan emas. Hal ini ditunjukkan dengan perbandingan jumlah pedagang Minangkabau yang ada di beberapa pasar besar di kota Medan, yaitu seperti pasar Sentral lama, pasar Sukaramai, dan pasar Brayan yang didominasi oleh Orang Minangkabau. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Usman Sikumbang,

(31)

Sementara di pasar Sentral baru, Pasar Hongkong dan Pasar Ikan, hampir seluruhnya di kuasai oleh orang Cina. Komodiatas perdagangan besar, seperti perdagangan suku cadang, baik itu kendaraan maupun mesin, grosir tekstil, serta perdagangan ekspor-inpor maupun antar kota dikuasai oleh etnis Cina.

Yang menariknya, banyak dari orang Minangkabau yang berprofesi sebagai konveksi lebih cenderung membeli bakal tekstil dari orang Cina dari pada orang Minangkabau. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Bashar Koto,

“itulah salahnya orang awak ini (orang Minang). Ngambil untung tinggi-tinggi, padahal sesama orang awaknya. Beda sama orang Cina. Orang itu berani ngambil untung sedikit, tapikan barang itu berputar terus makanya banyak yang langganannya. Makanya banyak orang Minanang yang usaha konveksi belanja sama Cina dari pada sama orang awak. Itu makanya orang awak ini enggak maju-maju di Medan, asik dijengkalin Cina aja harganya. Ya tapi kalau sama bapak, kalau misalnya harga sama orang awak atau orang indonesia, sama harganya sama orang Cina, bapak lebih milih belanja sama orang kita.”

Sebagaimana yang diungkapakan oleh bapak Bashar Koto diatas, diantara sesama orang Minangkabau di kota Medan seperti ada disintegrasi. Meskipun berasal dari etnis yang sama, bahkan mungkin dari asal daerah yang sama, ternyata tidak menjamin hubungan antar orang Minangkabau di kota Medan dalam bidang perdagangan terjalin kuat. Hal ini membuktikan bahwa pada aspek ekonomi, orang Minangkabau lebih cenderung mengedepankan orientasi komersialnya dari pada rasa primordialnya.

(32)

ekonomi atas tinggal di peumahan mewah dan di kawasan-kawasan elite yang memiliki akses yang dekat dengan pusat kota, seperti Medan Baru.

Selain itu, perbedaan strata ekonomi pada orang Mianangkabau juga berdampak pada kurang eratnya ikatan persaudaraan antar orang Minangkabau di kota Medan. Meskipun beberapa dari orang Minangkabau yang berasal dari daerah yang sama, dan sudah saling mengenal saat di kampung halaman, namun saat di kota Medan, mereka yang memiliki strata ekonomi yang berbeda, belum tentu hubungan persaudaraan antar orang Minang tersebut menjadi erat. Umumnya, orang Minangkabau di kota Medan lebih erat hubungannya dengan sesama orang Minangkabau yang memiliki kesamaan strata ekonomi atau yang memiliki profesi yang sama. Bagi orang Minangkabau yang berprofesi sebagai pedagang, mereka akan lebih banyak menghabiskan waktu di pasar dan bertemu dengan pedagang-pedagang lainnya, khususnya pedagang Minangkabau. Karena itensitas waktu yang lebih lama dipakai untuk bertemu dengan sesama pedagang orang Minangkabau, sehingga sangat wajar, bila orang Minangkabau yang berprofesi sebagai pedagang membentuk ikatan yang kuat antar sesama mereka. Hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Eryatman Tanjung,

“karena bapak pedagang, tentunya kawan-kawan bapak kebanyakan pedagang juga. Dan memang harus seperti itu, sebab kalau kita mau jadi pedagang kita harus banyak bergaul, apalagi sama orang-orang yang udah besar usahanya, terus udah sering belanja ke Jawa. karena dari mereka kita bisa dapat informasi dimana bisa dapat barang yang murah”

(33)

Begitu pula dengan orang Minangkabau yang bekerja non-perdagangan, seperti tenaga pendidik, profesional, buruh pabrik, dan pegawai swasta/negeri, mereka juga cenderung membentuk kelompok mereka sendiri yang berdasarkan kesamaan profesi mereka. Akan tetapi, hal ini berbeda dengan orang Minangkabau yang beprofesi dalam sektor perdagangan, antara orang Minangkabau yang berada di strata ekonomi kelas atas dengan orang Minangkabau strata ekonomi kelas bawah memiliki jarak hubungan yang jauh. Disini perbedaan kelas terlihat antara kelas bawah dangan kelas atas, sedangkan mereka yang kelas menengah merupakan kelas yang sedikit lebih fleksibel ke kelas atas maupun masyarakat Minangkabau kelas bawah.

4.3 Hubungan antara perantau Minangkabau dengan Nilai-nilai Adat Istiadat

Minangkabau

Hakikat dari merantau bagi orang Minangkabau adalah bertujuan untuk memperkaya dan memperkokoh adat Minangkabau dengan cara menunjukkan eksisitensi budaya dan sosialnya di “alam rantau” serta membawa ide, nilai-nilai dan harta yang berasal dari rantau yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan dan keberlangsungan adat Minangkabau. Hal ini menunjukkan bahwa orang Minangkabau merupakan salah satu etnis di Indonesia yang masyarakatnya mau menerima perubahan-perubahan yang datangnya dari luar adatnya, selama perubahan-perubahan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam dan adat Minangkabau yang sudah ada dan mengakar dalam masyarakatnya.

(34)

bermasyarakat, perantau Minangkabau cenderung lebih menyesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tersebut. Selain itu, tidak banyak perantau Minangkabau yang melakukan prosesi-prosesi adat Minangkabau sebagaimana yang ada di lakukan masyarakat di kampung halamannya, seperti contohnya dalam prosesi pernikahan. Sebagian besar orang Minangkabau di kota Medan pada prosesi pernikahan hanya sebatas memakai pakaian adat saja untuk menunjukkan identitas kesuku mereka, seperti yang dilakukan oleh masyarakat umum lainnya, sedangkan hakikat prosesi pernikahan tersebut tidak sama seperti prosesi pernikahan yang sesuai dengan ketentuan adat Minangkabau yang sebenarnya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Bashar Koto,

“model acara pernikahan yang ada kayak biasanya itu enggak sama kayak di kampung Itu kalo di Pariaman kalau ada orang nikah, pengantinnya diarak keliling kampung, baru malamnya acara manjalangnnya si perempuang ke tempat si laki-laki. Karena panjang prosesnya terus banyak ini itunya makanya orang pariaman yang ada di Medan mana ada yang buat kaya gitu, kita kan pastinya nyari praktis aja”

(35)

nilai-nilai dan adat istiadat yang ada pada masyarakat Minangkabau. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Bashar Koto,

“kalau soal budaya, orang Minang di kota Medan ini bapak lihat semakin hilang identitas budaya nya, udah enggak kenal lagi sama budayanya sendiri. Buktinya, berapa banyak anak-anak yang orang tuanya orang Minang pandai bahasa Minang, sedikit sekali. Itu juga karena salah orang tuanya juga yang malas pakai bahasa Minang di rumahnya, jadi wajar aja anak-anaknya enggak ada yang bisa bicara bahasa Minang. Dari bahasa aja banyak yang enggak bisa apalagi soal adat Minang yang lainnya”

Meskipun hubungannya dengan adat Minangkabau cenderung lemah, namun perantau Minangkabau di Medan memilki hubungan emosional yang cukup kuat dengan sesamanya, hal ini ditunjukkan orang Minangkabau dengan kerap mengunakan ungkapan “urang awak” kepada orang-orang yang sama berasal dari suku Minangkabau, yang atinya ”orang kita”. Ungkapan tersebut menunjukkan rasa primordialisme bagi orang Miangkabau di kota Medan. Selain itu, orang Minangkabau di kota Medan juga cenderung hidup bekelompok dengan sesama orang Minangkabau baik dalam pola pemukiman, yang banyak bermukim di kawasan kecamatan Aur, kecamatan Medan Area dan kecamatan Medan Perjuangan, maupun dengan membentuk kelompok persatuan, seperti contohnya PKDP (Persatuan Keluarga Daerah Piaman), IKGS (Ikatan Keluarga Gasan Saiyo), BASIS (Batu Basa Saiyo Sakato), KBTK (Keluarga Besar Tujuh Koto), dan sebagainya.

4.4 Revitalisasi Kelompok ArisanMinangkabau dan Implikasinya Terhadap

Perekonomian dan Sosial dari Perantau Minangkabau.

4.4.1 Eksistensi Kelompok Arisan Sungai Sarik.

(36)

Minangkabau di kota Medan adalah dengan keberadaan kelompok-kelompok sosial Minangkabau di kota Medan.

Kelompok sosial Minangkabau yang banyak berkembang di kota Medan sebagian besar dalam bentuk komunitas paguyuban, seperti PKDP (Persatuan Keluarga Daerah Piaman), KBTK (Keluarga Besar Tujuh Koto), IKMKP (Ikatan Keluarga Masyarakat Kecamatan Pariangan), dan sebagainya. Yang jika kita perhatikan, bahwa hampir sebagian besar dalam penamaan kelompok pagyuban tersebut menggunakan nama kecamatan atau kabupaten yang ada Sumatera Barat.

Dan memang pada dasarnya, sebagian besar kelompok-kelompok sosial Minangkabau dibentuk sesuai tempat asal mereka masing, misalnya mereka yang berasal dari daerah Pariaman maka kelompoknya adalah PKDP, dan mereka yang berasal dari Solok maka kelompoknya S3 (Solok Saiyo Sakato), dan sebagainya. Sehingga hal tersebut memunculkan persepsi rendahnya solidaritas diantara orang Minangkabau. Akan tetapi persepsi tersebut adalah sebuah kekeliruan, hal ini diketahui melalui hasil wawancara dengan bapak Akir Sani Mandai yang juga merupakan anggota kelompok KBTK (Keluarga Besar Tujuh Koto),

“sebenarnya fungsi Tujuh Koto (kelompok KBTK) itu hampir sama kayak lembaga adat kerapatan nagari kalau di kampung, jadi segala hal yang berkitan dengan adat dan masyarakat itu di musyawarahin di lembaga adat, misalnya ada yang kemalangan orang kita, kayak misalnya sakit atau meninggal, nanti bisa kita bantu. Terus kalau misalnya ada anak kita yang disini mau nikah, ninik mamak nanti bermusyawarah, pantas atau enggak anak kita dinikahkan sama laki-laki ini, mana tahu ada di antara ninik mamak atau yang lainnya tahu kalau kelakuan laki-laki yang mau dinikahkan sama anak kita ini kelakuaannya enggak baik, itu kan bisa jadi pertimbangan sama keluarganya”

(37)

Minangkabau, akan tetapi belum tentu adat istiadat daerah satu dengan yang lainnya sama. Hal ini sekaligus juga menjelaskan bahwa, sedikit banyaknya orang Minangkabau di kota Medan masih terhubung dengan adat istiadat di kampung halamannya.

Berbeda dengan komunitas paguyuban Minangkabau, pada kelompok arisan yang sebagaimana pada kelompok arisan Sungai Sarik, hanya memiliki struktur anggota yang jauh lebih sederhana. Bila pada komunitas paguyuban Minangkabau, struktur anggota lebih bersifat kompleks seperti halnya pada lembaga dan oraganisasi, sedangkan kelompok arisan Sungai Sarik hanya terdiri dari ketua, Wakil ketua/sekretaris, bendahara, dan selebihnya merupakan anggota. Dan tak hanya itu, kelompok arisan Sungai Sarik tidak memerlukan sebuah gedung sebagai sekretarianya sebagaimana pada komunitas paguyuban Minangkabau, sebab sebagian besar kegiatan kelompok di lakukan secara bergantian di rumah-rumah anggota kelompok, dengan cara di undi pada satiap kegiatan arisan. Dengan cara tersebut, dapat menumbuhkan rasa persaudaran diantara anggota kelompok arisan Sungai Sarik, karena saat anggota kelompok melakukan kegiatan arisan ke rumah salah satu anggota kelompok arisan, maka setiap anggota akan dapat saling mengetahui secara umum mengenai kondisi perekonomian setiap anggota arisan Sungai Sarik.

Salah satu ciri khas dari kelompok arisan pada umumnya terletak pada kegiatan-kegiatan kolektifnya. Diantara beragam kegiatan-kegiatan kolektif kelompok arisan Sungai Sarik, kegiatan arisan merupakan kegiatan kolektif anggota kelompok arisan Sungai Sarik yang paling intens dilakukan oleh anggota kelompok arisan Sungai Sarik, walaupun juga terdapat beberapa kegiatan kolektif lainnya sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Muhammad Idris Panyalai,

(38)

buat sekali dalam setahun, makanya sekarang acara jalan-jalannya dibuat dua kali dalam setahun.”

Dari hasil wawancara diatas, serangkaian kegiatan kolektif tersebut tak hanya dipandang sebagai bentuk kegiatan formal dari keumuman kelompok arisan Sungai Sarik, akan tetapi kegiatan kolektif tersebut merupakan salah satu bentuk cara dari kelompok arisan Sungai Sarik untuk menjadi wadah yang dapat membetuk ikatan kekeluargaan di antara anggota kelompok, dan hal ini kemudian di perkuat dengan variasi kegiatan lainnya dalam bentuk perjalanan wisata dengan mengikutsertakan anak-anak dari anggota kelompok arisan Sungai Sarik. Dengan menambahkan variasi kegiatan kolektif diluar keumuman kelompok arisan, hal ini dapat menambah kesan positif anggota kelompok dan masyarakat terhadap kelompok arisan Sungai Sarik, sehingga kelompok arisan dipandang tidak monoton, dengan kegiatan yang biasa pada kelompok arisan pada umumnya.

(39)

“untukjadi anggota kelompok arisan Sungai Sarik enggak ada aturan musti

kampungnyadari Sungai Sarik, yang terpenting dia beragama Islam, kalau adapun orang jawa atau batak mau ikut pun enggak apa-apa. Lagian banyak juga yang ikut arisan Sungai sarik tapi kampungnya bukan di Sungai Sarik, kayak si Ery (Eryatman Tanjung), kampungnya di batu basa di Pariangan, terus keponakan inyiak si zul (Zulkarnain Panyalai) dia besarnya di Padang Panjang, si Hisyam dari Agam, sama menantu inyiak si ketek (Muhammad Iqbal Tanjung). Yang penting dalam kelompok arisan ini bagaimana kita bisa “sadantiang bak basi saciok bak ayam” kalau ada satu diantara kita yang terkena masalah, semuanya ikut membantu”

Dan hal ini di dukung dengan ditemukan beberapa anggota kelompok arisan Sungai Sarik yang tidak berasal dari desa Sungai Sarik, namun memiliki hubungan kekerabatan dengan anggota lainnya, seperti halnya pada bapak Eryatman Tanjung yang merupakan perantau Minangkabau yang berasal dari desa Batu Basa, Pariangan, Tanah Datar, yang merupakan adik ipar dari bapak Muhammad Idris Panyalai, kemudian bapak Zulkarnain Panyalai, yang merupakan perantau Minangkabau dari Padang Panjang, yang merupakan keponakan dari bapak Muhammad Idris Panyalai, lalu bapak Ismail Jambak yang berasal dari desa Toboh, Nan Sabarih, Pariaman, yang merupakan keponakan dari Almarhum Mak Katik, yang merupakan ketua kelompok arisan sebelum bapak Muhammad Idris Panyalai, dan masih ada beberapa lainnya yang bukan berasal dari Sungai Sarik. Hal ini membuktikan bahwa dalam kelompok arisan Minangkabau lebih mengedepankan pada asas kekeluargaan dari pada kedaerahan.

(40)

lainnya. Sehingga secara emosional, hubungan kekeluargaan tersebut telah ada pada setiap anggota kelompok arisan, dan kelompok arisan hanya tinggal bagaimana mengelola potensi-potensi yang ada pada anggota kelompok arisan Sungai Sarik menjadi hal bermanfaat.

Dari hasil uraian di diatas, jika kaitkan dengan kelompok-kelompok arisan yang banyak berkembang di kota-kota besar di Indonesia, kita akan dapati berbagai konsep yang berbeda pada setiap kelompok arisan. Sebab kelompok arisan merupakan salah satu bentuk kelompok sosial yang mana dalam pembentukan dan penetapan sistem, struktur, dan nilai-nilai yang dipakai, akan dikelola sesuai dengan kebutuhan dari anggota kelompok tersebut, hal itulah yang membuat setiap kelompok arisan memiliki konsep yang berbeda-beda, seperti contohnya kelompok arisan sosialita, kelompok arisan Paguyuban, kelompok arisan pemberdayaan masyrakat, dan sebagainya.

Ditengah pesatnya industrialisasi dan modernisasi, mengembangkan nilai-nilai sosial dan kearifan lokal masyarakat menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Sebab banyak kita temukan beragam berita, baik dari media cetak atau online maupun secara langsung, mengenai beragam penyimpangan sosial dan kriminalitas dalam masyarakat yang semakin mengahwatirkan, khususnya pada kota-kota besar. Salah satu indikasi terjadinya hal tersebut adalah karena masyarakat mengalami anomi terhadap nilai-nilai agama dan budaya.

Dan untuk itu, menjadi hal yang penting untuk merevitalisasi kelompok-kelompok arisan yang berkembang dalam masyarakat agar untuk lebih mengedepankan asas agama, budaya, dan modal sosial dalam setiap kegiatan kolektif yang mereka laukan.

4.4.2 Modal Sosial dalam Kelompok Arisan MinangkabauSungai Sarik

(41)

di antara sesama anggotanya, melahirkan norma-norma yang disepakati dan dipatuhi bersama. Potensi modal sosial seperti itu (yang sudah mulai tererosi), sudah selayaknya untuk dikembangkan dan dikreasikan sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.

Sedangkan modal sosial merupakan sebuah konsep yang lebih menekankan pada pengembangan potensi-potensi yang ada dalam masyarakat sehingga dapat bermanfaat dalam penanganan masalah sosial yang ada pada masyarakat. Berkaitan dengan kelompok arisan Minangkabau, diperlukan tiga aspek untuk mendukung terbentuknya modal sosial yang ada dalam kelompok arisan.

4.4.2.1Kepercayaan

Menurut Francois, kepercayaan merupakan komponen ekonomi yang relevan melekat pada kultur masyarakat yang akan membentuk kekayaan modal sosial. Hal ini akan menciptakan suatu siklus sosial yang membuat kepercayaan yang tinggi (diwujudkan dalam tindakan untuk mencapai kepentingan bersama) berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat (Hasbullah, 2006: 12). Kepercayaan merupakan aspek paling penting dalam membangun modal sosial dalam sebuah kelompok. Sebab, suatu ikatan sosial yang terjalin tanpa adanya rasa saling percaya dari kedua belah pihak, maka hubungan diantara mereka tidak akan terjalin dengan baik dan tidak akan bertahan lama. Di kedua belah akan pihak saling mencurigai satu dengan yang lainnya, dampak terburuk dari hal ini adalah terjadinya konflik diantara kedua belah pihak, baik itu konflik laten maupun manifest.

(42)

yang berhasil dalam membangun kepercayaan di antara anggota kelompoknya, akan dapat berfungsi efektif sehingga kelompok tersebut dapat mencapai tujuan yang telah di tetapkan bersama serta dapat menangani permasalahan-permasalahan yang timbul, baik itu datangnya dari dalam kelompok maupun datang dari luar kelompok.

(43)

Kedua, kerja sama yang baik antara satu dengan lainnya. Pada setiap kelompok,

lembaga, organisasi dan sebagainya, pasti mempunyai struktur anggota, seperti ketua, Sekretaris, bendahara yang setiap komponen tersebut memiliki tanggung jawab yang besar terhadap kelompok. Seperti contohnya pada bagian bendahara yang bertanggung jawab untuk menjaga uang kas kelompok. dalam mengangkat sesorang menjadi pemimpin atau jabatan penting lainnya pada suatu kelompok memerlukan rasa saling kepercayaan satu dengan yang lainnya, agar pada kelompok tersebut terjalin kerjasama yang efektif. Seperti halnya pada kelompok arisan Sungai Sarik, yang dalam penetapan jabatan seseorang dalam kelompok arisan Sungai Sarik di lakukan secara terbuka, yang sebagaimana prosesnya di ungkapkan oleh bapak Muhammad Idris Panyalai,

“setelah inyiak Katik Meninggal, semuanya sepakat inyiak yang gantikannya jadi ketua. Sampai sekarang belum ada pemilihan ketua, tapi kalau bendahara setiap 5 tahun sekali diganti. Nanti inyiak sarankan tiga nama yang akan dipilih jadi bendahara, siapa yang setuju si buyung ini jadi bendahara angkat tangan, baru yang paling banyak dapat suara dia yang di pilih jadi bendahara”

Dan hal yang serupa juga diungkapkan oleh bapak Muhammad Iqbal Tanjung,

“waktu pemilihan abak (Muhammad Idris Panyalai) jadi ketua bapak enggak tahu, soalnya bapak ikut arisan ini masih baru, tahun 2007 bapak baru ikut arisan. Mungkin karena dia yang paling dituakan arisan makanya di yang tunjuk jadi ketua, lagiankan kemekannya kan banyak di arisan ini, jadi biar gampang ngaturnya, tinggal di suruh aja sama abak”

Dan bapak Usman Sikumbang mengungkapkan bagaimana dia diangkat menjadi wakil ketua sekaligus menrangkap jadi sekretaris arisan.

(44)

Ketiga, komposisi anggota yang memiliki ikatan emosional yang kuat. Sebagaimana

yang sudah diterangkan sebelumnya, sebagian besar kelompok sosial Minangkabau di kota Medan dibentuk berdasarkan kesamaan tempat asal. Dan pada saat orang Minangkabau merantau ke suatu daerah, ia akan lebih cenderung berteman dekat dengan orang yang memiliki etnis yang sama dengannya, terlebih lagi diketahui lagi mereka berasal dari kebupaten, atau kecamatan, atau desa yang sama. Hal ini sebagaimana yang ada dalam wawancara dengan bapak Basrial Efendi Koto,

“kalau ditanya lebih enak temanan sama yang sekampung atau yang se profesi, sebenarnya lebih enak berteman sama yang sekampung, tapi kalau bisa teman sekampung dan se profesi. Lagiankan orang Minang ini usahanyakan hampir rata-rata bedagang, orang-orang kampung pak Bas rata-rata sama kayak pak Bas pedagang juga. Kalau di Batangkuis orang Minang masih sedikit, makanya pak Bas sering main-main ke Bromo, karena di Bromo banyak orang kampung bapak di sana”

Selain di karenakan dari tempat yang sama, kepercayaan yang kuat pada kelompok arisan Sungai Sarik atau dari beberapa kelompok arisan Minangkabau lainnya adalah dimana dari beberapa orang dari anggota kelompok arisan tersebut saling bersaudara satu dengan yang lainnya. Dengan begitu, untuk membangun kepercayaan dalam kelompok arisan tidaklah terlalu sulit, di karenakan sudah saling mengenal satu dengan yang lainnya, dan sedikit banyaknya mereka sudah mengenal karakternya masing-masing.

(45)

Pada tahap selanjutnya, kepercayaan itu berkembang dalam skala yang lebih kecil yaitu diantara kedua anggota kelompok arisan Sungai Sarik. Terkadang diantara anggota kelompok ada yang tidak bisa berhadir pada kegiatan arisan, dan sudah menjadi hal yang lumrah dalam kelompok arisan Sungai Sarik, dimana salah satu diantara anggota kelompok membayarkan iuran anggota yang tidak hadir tersebut yang kemudian akan di ganti di lain hari. Hal ini seseuai dengan pernyataan bapak Ismail Jambak,

“kalau ada yang tidak datang, biasanya dia menitipkan uang sama yang datang arisan atau dipinjam dulu uangnya buat bayar iuran, nanti baru di gantinya. Titip uang kayak gitu udah biasa, malahan kalau misalnya yang namanya keluar terus orang nya tidak bisa hadir, nanti uang arisan itu di titipkan sama orang yang dekat sama rumahnya atau sama yang bisa mengantarkan.”

Dan ternyata rasa saling percaya diantara anggota kelompok arisan Sungai Sarik tak hanya berkembang pada kegiatan kelompok arisan Sungai Sarik saja, hal ini mampu berkembangan di luar dari kegiatan kelompok arisan. Hal ini ditandai dengan, beberapa dari anggota kelompok arisan saling membantu satu dengan lainnya dalam masalah ekonomi, seperti halnya memberikan pinjaman kepada salah satu anggota sebagai membantunya menambah modal, hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Usman Sikumbang,

“Waktu itu bapak pernah meminjam uang sama pak bashar, karena bapak ada keperluan buat ganti emas orang yang di kasihkan sama bapak untuk di tempah, tapi emas itu di curi waktu bapak ke kampung lalang. Bapak pinjam uang sama pak Bashar sebanyak 5 juta, janjinya bapak 5 bulan udah lunas, tapi ternyata molor 3 bulan, karena ada keperluan mendesak juga waktu itu. Tapi untung aja pak Bashar bisa paham dan percaya sama bapak, karena bapak sama pak Bashar udah lama saling kenal, jadi dia tahu bagaimana sifat awak, awak pun tahu bagaimana sifat dia. Kalau berteman ini yang penting jujur, karena kalau orang dah kenal kita bukan orang jujur, orang akan sulit percaya lagi sama kita.”

4.4.2.2Norma

(46)

kelompok agar sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan bersama, sehingga apa yang menjadi tujuan bersama dari kelompok tersebut dapat tercapai.

Pada kelompok-kelompok paguyuban Minangkabau, termaksud juga kelompok arisan Minangkabau, dalam pembentukan norma lebih merujuk kepada kaidah-kaidah keagamaan dan adat istidat Minangkabau. Dimana dalam bergama, orang Minangkabau merupakan salah satu etnis yang memiliki prinsip yang kuat dalam beragama, sehingga dalam setiap tindakan, dalam menilainya mereka akan mengacu pada kaidah-kaidah agama Islam. Kokohnya prinsip beragama masyarakat etnis Minangkabau sebagaimana yang ditunjukan oleh Usman Pelly (1994: 183) yang mana pada saat setelah orang Minangkabau berkomitmen kepada Muhammadiyah, komunitas-komunitas Minangkabau dalam berbagai kota di Sumatera Timur berubah dari komunitas-komunitas relegius. Memisahkan diri dari keimanan ulama-ulama Sultan. Mereka mengadakan shalat Jum’at dalam mesjid-mesjid mereka, dan kegiatan ini membawa akibat besar, karena berarti orang Minangkabau telah memisahkan diri dari massa Islam yang besar di Medan. Pengajian-pengajian Muhammadiyah di surau-surau berubah menjadi kelompok-kelompok sosial Minangkabau.

Dan pada kelompok arisan Sungai Sarik, kaidah-kaidah agama tersebut diperkuat dengan diundangnya ustadz pada setiap acara arisan tersebut, langkah ini merupakan langkah yang tepat dalm membina anggota kelompok arisan agar pada setiap tindakannya terhadap sesama anggota kelompok sesuai dengan kaidah-kaidah agama. Dan salah satu bentuk dari peran kaidah agama Islam dalam pembentukan norma pada kelompok arisan Sungai Sarik juga tampak dari kebiasaan dari anggota arisan perempuan yang selalu memakai pakaian muslimah pada setiap kegiatan kelompok arisan Sungai Sarik. Berdasarkan dari wawancara bapak Muhammad Idris Panyalai, bahwa hal ini merupakan sebuah bentuk kesadaran dari anggota perempuan sendiri,

(47)

kenalan ustadz di kampung lalang, makanya di usulkan waktu arisan dirumahnya di undang ustadz. Dan sampe sekarang, setiap ada arisan selalu pake ustadz. Amplop (uang) ustadnya kami yang tanggung, diambil dari uang kas, karena maunya inyiak, arisan ini enggak cuma sekedar tempat berkumpul aja, tapi juga dapat berguna untuk agama kita. Jadi pulang arisan orang enggak cuma bawa perut kenyang aja, tapi juga bertambah agama di hatinya. Buktinya sekarang yang perempuan di arisan semuanya pakai jilbab sekarang, kalau dulu ada yang pake jilbab ada yang enggak pakai jilbab. Enggak adanya inyiak buat aturan kalau arisan yang perempuan harus pakai jilbab, semuanya karena kesadarannya masing-masing.”

Dan berkaitan dengan adat istiadat Minangkabau, meskipun orang Minangkabau merantau keluar dari ranah Minangkabau, mereka akan membuat sebuah replika dari lembaga adat Minangkabau di perantauannya sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa walaupun orang Minangkabau merantau keluar dari ranahnya mereka, namun mereka akan berusaha untuk menegakkan adat dan tradisi semampu mereka.

Berbeda dengan komunitas paguyuban Minangkabau, kelompok arisan tidak memiliki fungsi lebih vital dari pada komunitas paguyuban Minangkabau yang merupakan replika dari lembaga adat Minangkabau di kota Medan. Meskipun begitu, hal yang paling penting diperhatikan adalah bagaimana transformasi nilai-nilai budaya yang dilakukan oleh kelompok arisan kepada anak-anaknya.

Gambar

Tabel 1: Kecamatan di kota Medan serta luas wilayahnya 2009-2013
Tabel 2: Rincian jumlah penduduk kota Medan
Tabel 3 : Jenis Pekerjaan Masyarakat kota Medan
Tabel 4 : Penduduk Menurut Wilayah dan agama yang Dianut
+3

Referensi

Dokumen terkait

Gambar yang ditampilkan dapat lebih dinamis dengan menggunakan animasi dan dapat lebih interaktif karena didalam program ini pelajar dapat melihat secara langsung proses

Kinerja neraca perdagangan belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia karena kondisi ekonomi global yang

Segala puji bagi Allah SWT, tuhan semesta alam yang telah meridhoi dan memberikan kemudahan kepada hamba-Nya dalam menyelesaikan pembuatan karya tulis ilmiah yang berjudul

Echo adalah suara kiriman yang direfleksikan kembali ke pengirim/asalnya dengan cukup kuat sehigga ia bisa dibedakan dari suara yang asli. Sementara itu, echo

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan fungsi lima kode pembacaan yang digunakan oleh Roland Barthes dalam membaca setiap 39 Representasi Nasionalisme..., Johanes Agung

Makmur trayek Pekanbaru – Medan sudah baik dimana tingkat loyalitas pengguna jasa transportasi Bus Makmur yang berada pada tingkat switcher buyer cukup rendah

Berdasarkan uraian pemikiran Horton, et.al tersebut peneliti melihat adanya gejala-gejala peneliti yang diuraikan pada latar belakang yang dapat dianalisis melalui

Dalam kerangka pembentukan karakter peserta didik, aspek religius perlu ditanamkan secara maksimal. Penanaman nilai religius ini menjadi tanggung jawab orang tua dan