• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.2 Gambaran Umum Interaksi Etnis Minangkabau

Dan dalam aspek ekonomi, seperti yang diperkirakan, bahwa mayoritas orang Minangkabau di kota Medan bergerak dalam bidang perdagangan. Dibandingkan dengan jenis perdagangan lainnya, orang Minangkabau lebih menonjol di bidang perdagangan tekstil, makanan dan emas. Hal ini ditunjukkan dengan perbandingan jumlah pedagang Minangkabau yang ada di beberapa pasar besar di kota Medan, yaitu seperti pasar Sentral lama, pasar Sukaramai, dan pasar Brayan yang didominasi oleh Orang Minangkabau. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Usman Sikumbang,

“di sentral kebanyakan orang Minang jualan kain-kain bakal, toko emas, grosir pakaian, terus yang punya kedai-kedai nasi, rata-rata orang Minang yang punya. Kebanyakan buka toko di dalam pajak sentral lama, kalau pajak Sentral baru kayaknya ada tapi enggak sebanyak di pajak Sentral lama, soalnya di sana kebanyakan yang punya toko di sana orang-orang Cina, terus yang ruko-ruko yang ada di pinggir jalan itu juga orang Cina juga kebanyakan, kalau orang pribuminya kebanyakan di pajak sentral lama lah. Kalau di sini (pajak sentral lama) sekitar 40% orang Minang yang jualan.

Sementara di pasar Sentral baru, Pasar Hongkong dan Pasar Ikan, hampir seluruhnya di kuasai oleh orang Cina. Komodiatas perdagangan besar, seperti perdagangan suku cadang, baik itu kendaraan maupun mesin, grosir tekstil, serta perdagangan ekspor-inpor maupun antar kota dikuasai oleh etnis Cina.

Yang menariknya, banyak dari orang Minangkabau yang berprofesi sebagai konveksi lebih cenderung membeli bakal tekstil dari orang Cina dari pada orang Minangkabau. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Bashar Koto,

“itulah salahnya orang awak ini (orang Minang). Ngambil untung tinggi-tinggi, padahal sesama orang awaknya. Beda sama orang Cina. Orang itu berani ngambil untung sedikit, tapikan barang itu berputar terus makanya banyak yang langganannya. Makanya banyak orang Minanang yang usaha konveksi belanja sama Cina dari pada sama orang awak. Itu makanya orang awak ini enggak maju-maju di Medan, asik dijengkalin Cina aja harganya. Ya tapi kalau sama bapak, kalau misalnya harga sama orang awak atau orang indonesia, sama harganya sama orang Cina, bapak lebih milih belanja sama orang kita.”

Sebagaimana yang diungkapakan oleh bapak Bashar Koto diatas, diantara sesama orang Minangkabau di kota Medan seperti ada disintegrasi. Meskipun berasal dari etnis yang sama, bahkan mungkin dari asal daerah yang sama, ternyata tidak menjamin hubungan antar orang Minangkabau di kota Medan dalam bidang perdagangan terjalin kuat. Hal ini membuktikan bahwa pada aspek ekonomi, orang Minangkabau lebih cenderung mengedepankan orientasi komersialnya dari pada rasa primordialnya.

Dan jika merujuk pada kondisi sosial, meskipun orang Minangkabau yang ada di kota Medan hidup berkelompok, orang Minangkabau yang menempati strata ekonomi rendah lebih cenderung untuk lebih mengelompok dengan orang Minangkabau yang memiliki kondisi ekonomi yang sama dengan mereka, hal ini tampak dari pola pemukimannya, dimana orang Minangkabau yang menempati strata ekonomi menengah-kebawah umumnya tinggal kawasan-kawasan pinggir kota seperti ddi kecamatan Medan Area, kota Maksum dan kecamatan Medan Perjuangan. Sedangkan orang Minangkabau yang menempati strata

ekonomi atas tinggal di peumahan mewah dan di kawasan-kawasan elite yang memiliki akses yang dekat dengan pusat kota, seperti Medan Baru.

Selain itu, perbedaan strata ekonomi pada orang Mianangkabau juga berdampak pada kurang eratnya ikatan persaudaraan antar orang Minangkabau di kota Medan. Meskipun beberapa dari orang Minangkabau yang berasal dari daerah yang sama, dan sudah saling mengenal saat di kampung halaman, namun saat di kota Medan, mereka yang memiliki strata ekonomi yang berbeda, belum tentu hubungan persaudaraan antar orang Minang tersebut menjadi erat. Umumnya, orang Minangkabau di kota Medan lebih erat hubungannya dengan sesama orang Minangkabau yang memiliki kesamaan strata ekonomi atau yang memiliki profesi yang sama. Bagi orang Minangkabau yang berprofesi sebagai pedagang, mereka akan lebih banyak menghabiskan waktu di pasar dan bertemu dengan pedagang-pedagang lainnya, khususnya pedagang Minangkabau. Karena itensitas waktu yang lebih lama dipakai untuk bertemu dengan sesama pedagang orang Minangkabau, sehingga sangat wajar, bila orang Minangkabau yang berprofesi sebagai pedagang membentuk ikatan yang kuat antar sesama mereka. Hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Eryatman Tanjung,

“karena bapak pedagang, tentunya kawan-kawan bapak kebanyakan pedagang juga. Dan memang harus seperti itu, sebab kalau kita mau jadi pedagang kita harus banyak bergaul, apalagi sama orang-orang yang udah besar usahanya, terus udah sering belanja ke Jawa. karena dari mereka kita bisa dapat informasi dimana bisa dapat barang yang murah”

Namun, dalam sektor pedagangan, jarak antara kelas sosial atas, menengah dan bawah pada orang Minangkabau tidak terlalu jauh. Hal ini di karenakan diantara orang Minangkabau tersebut terbentuk hubungan simbiosis antar kelas tersebut. Sebagaimana yang terjadi pada bapak Bashar Koto yang mempunyai usaha konveksi baju celemek dan sarung bantal, serta grosir kaos kaki, sarung tangan, dan sebagainya. Dan bapak Bashar Koto mempunyai tujuh pegawai, yang lima diantaranya merupakan orang Minangkabau. Dan dari beberapa pelanggan bapak Bashar Koto ada yang beretnis Minangkabau.

Begitu pula dengan orang Minangkabau yang bekerja non-perdagangan, seperti tenaga pendidik, profesional, buruh pabrik, dan pegawai swasta/negeri, mereka juga cenderung membentuk kelompok mereka sendiri yang berdasarkan kesamaan profesi mereka. Akan tetapi, hal ini berbeda dengan orang Minangkabau yang beprofesi dalam sektor perdagangan, antara orang Minangkabau yang berada di strata ekonomi kelas atas dengan orang Minangkabau strata ekonomi kelas bawah memiliki jarak hubungan yang jauh. Disini perbedaan kelas terlihat antara kelas bawah dangan kelas atas, sedangkan mereka yang kelas menengah merupakan kelas yang sedikit lebih fleksibel ke kelas atas maupun masyarakat Minangkabau kelas bawah.

4.3 Hubungan antara perantau Minangkabau dengan Nilai-nilai Adat Istiadat Minangkabau

Hakikat dari merantau bagi orang Minangkabau adalah bertujuan untuk memperkaya dan memperkokoh adat Minangkabau dengan cara menunjukkan eksisitensi budaya dan sosialnya di “alam rantau” serta membawa ide, nilai-nilai dan harta yang berasal dari rantau yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan dan keberlangsungan adat Minangkabau. Hal ini menunjukkan bahwa orang Minangkabau merupakan salah satu etnis di Indonesia yang masyarakatnya mau menerima perubahan-perubahan yang datangnya dari luar adatnya, selama perubahan-perubahan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam dan adat Minangkabau yang sudah ada dan mengakar dalam masyarakatnya.

Dan meskipun orang Minangkabau telah merantau dan jauh dari kampungan halamannya, namun adat Minangkabau masih memiliki relevansi dengan kehidupan orang Minangkabau yang berada di perantauaan. Akan tetapi, keterikatan antara adat Minangkabau dengan perantau tidak terlalu kuat, ikatan antara adat Minangkabau denga perantau Minangkabau cenderung hanya sebatas pada deologi kesukuan saja, sedangkan dalam hidup

bermasyarakat, perantau Minangkabau cenderung lebih menyesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tersebut. Selain itu, tidak banyak perantau Minangkabau yang melakukan prosesi-prosesi adat Minangkabau sebagaimana yang ada di lakukan masyarakat di kampung halamannya, seperti contohnya dalam prosesi pernikahan. Sebagian besar orang Minangkabau di kota Medan pada prosesi pernikahan hanya sebatas memakai pakaian adat saja untuk menunjukkan identitas kesuku mereka, seperti yang dilakukan oleh masyarakat umum lainnya, sedangkan hakikat prosesi pernikahan tersebut tidak sama seperti prosesi pernikahan yang sesuai dengan ketentuan adat Minangkabau yang sebenarnya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Bashar Koto,

“model acara pernikahan yang ada kayak biasanya itu enggak sama kayak di kampung Itu kalo di Pariaman kalau ada orang nikah, pengantinnya diarak keliling kampung, baru malamnya acara manjalangnnya si perempuang ke tempat si laki-laki. Karena panjang prosesnya terus banyak ini itunya makanya orang pariaman yang ada di Medan mana ada yang buat kaya gitu, kita kan pastinya nyari praktis aja”

Lemahnya ikatan adat Minangkabau dengan perantau Minangkabau dikota Medan salah satunya disebabkan oleh amalgamasi. Pernikahan antar suku yang berbeda atau amalgamasi sangat umum terjadi di kota-kota besar, termaksud juga di Medan. Di sisi lain amalgamasi merupakan sebagai bentuk kemajemukan yang terjalin baik di kota tersebut, namun dari aspek budaya, amalgamasi juga akan mengikis budaya dan nilai adat dari etnis yang melakukan amalgamasi tersebut, bahkan menghilangkan identitas kesukuannya. Kondisi ini di karenakan beberapa orang Minangkabau yang melakukan amalgamsi tidak memperkenalkan budaya dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Minangkabau kepada anak-anaknya, sehingga bisa jadi budaya Minangkabau bagi anak tersebut menjadi asing baginya. Sehingga banyak kita jumpai, orang Minangkabau “generasi kedua” atau anak dari perantau Minangkabau yang dibesarkan di perantauan, banyak yang tidak mengetahui

nilai-nilai dan adat istiadat yang ada pada masyarakat Minangkabau. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Bashar Koto,

“kalau soal budaya, orang Minang di kota Medan ini bapak lihat semakin hilang identitas budaya nya, udah enggak kenal lagi sama budayanya sendiri. Buktinya, berapa banyak anak-anak yang orang tuanya orang Minang pandai bahasa Minang, sedikit sekali. Itu juga karena salah orang tuanya juga yang malas pakai bahasa Minang di rumahnya, jadi wajar aja anak-anaknya enggak ada yang bisa bicara bahasa Minang. Dari bahasa aja banyak yang enggak bisa apalagi soal adat Minang yang lainnya”

Meskipun hubungannya dengan adat Minangkabau cenderung lemah, namun perantau Minangkabau di Medan memilki hubungan emosional yang cukup kuat dengan sesamanya, hal ini ditunjukkan orang Minangkabau dengan kerap mengunakan ungkapan “urang awak” kepada orang-orang yang sama berasal dari suku Minangkabau, yang atinya ”orang kita”. Ungkapan tersebut menunjukkan rasa primordialisme bagi orang Miangkabau di kota Medan. Selain itu, orang Minangkabau di kota Medan juga cenderung hidup bekelompok dengan sesama orang Minangkabau baik dalam pola pemukiman, yang banyak bermukim di kawasan kecamatan Aur, kecamatan Medan Area dan kecamatan Medan Perjuangan, maupun dengan membentuk kelompok persatuan, seperti contohnya PKDP (Persatuan Keluarga Daerah Piaman), IKGS (Ikatan Keluarga Gasan Saiyo), BASIS (Batu Basa Saiyo Sakato), KBTK (Keluarga Besar Tujuh Koto), dan sebagainya.

4.4 Revitalisasi Kelompok ArisanMinangkabau dan Implikasinya Terhadap Perekonomian dan Sosial dari Perantau Minangkabau.

4.4.1 Eksistensi Kelompok Arisan Sungai Sarik.

Sudah menjadi sifat manusia untuk hidup berkelompok satu dengan yang lainnya, hal ini di karenakan salah satu hal yang bisa kita dapat dari hidup berkelomok adalah kita dapat menunjukkan eksistensi kita kepada masyarakat. Begitu pula pada suatu masyarakat atau komunitas sosial, dimana dalam hal ini salah satu bentuk eksistensi dari masyarakat

Minangkabau di kota Medan adalah dengan keberadaan kelompok-kelompok sosial Minangkabau di kota Medan.

Kelompok sosial Minangkabau yang banyak berkembang di kota Medan sebagian besar dalam bentuk komunitas paguyuban, seperti PKDP (Persatuan Keluarga Daerah Piaman), KBTK (Keluarga Besar Tujuh Koto), IKMKP (Ikatan Keluarga Masyarakat Kecamatan Pariangan), dan sebagainya. Yang jika kita perhatikan, bahwa hampir sebagian besar dalam penamaan kelompok pagyuban tersebut menggunakan nama kecamatan atau kabupaten yang ada Sumatera Barat.

Dan memang pada dasarnya, sebagian besar kelompok-kelompok sosial Minangkabau dibentuk sesuai tempat asal mereka masing, misalnya mereka yang berasal dari daerah Pariaman maka kelompoknya adalah PKDP, dan mereka yang berasal dari Solok maka kelompoknya S3 (Solok Saiyo Sakato), dan sebagainya. Sehingga hal tersebut memunculkan persepsi rendahnya solidaritas diantara orang Minangkabau. Akan tetapi persepsi tersebut adalah sebuah kekeliruan, hal ini diketahui melalui hasil wawancara dengan bapak Akir Sani Mandai yang juga merupakan anggota kelompok KBTK (Keluarga Besar Tujuh Koto),

“sebenarnya fungsi Tujuh Koto (kelompok KBTK) itu hampir sama kayak lembaga adat kerapatan nagari kalau di kampung, jadi segala hal yang berkitan dengan adat dan masyarakat itu di musyawarahin di lembaga adat, misalnya ada yang kemalangan orang kita, kayak misalnya sakit atau meninggal, nanti bisa kita bantu. Terus kalau misalnya ada anak kita yang disini mau nikah, ninik mamak nanti bermusyawarah, pantas atau enggak anak kita dinikahkan sama laki-laki ini, mana tahu ada di antara ninik mamak atau yang lainnya tahu kalau kelakuan laki-laki yang mau dinikahkan sama anak kita ini kelakuaannya enggak baik, itu kan bisa jadi pertimbangan sama keluarganya”

Dari wawancara tersebut, diketahui bahwa salah satu fungsi dibentuknya komunitas paguyuban di kota Medan, selain sebagai wadah interaksi antar perantau Minangkabau juga sebagai replika dari lembaga adat Minangkabau. Dan setiap komunitas paguyuban Minangkabau mewakili daerah asalnya, sebab meskipun mereka sama-sama tergolong etnis

Minangkabau, akan tetapi belum tentu adat istiadat daerah satu dengan yang lainnya sama. Hal ini sekaligus juga menjelaskan bahwa, sedikit banyaknya orang Minangkabau di kota Medan masih terhubung dengan adat istiadat di kampung halamannya.

Berbeda dengan komunitas paguyuban Minangkabau, pada kelompok arisan yang sebagaimana pada kelompok arisan Sungai Sarik, hanya memiliki struktur anggota yang jauh lebih sederhana. Bila pada komunitas paguyuban Minangkabau, struktur anggota lebih bersifat kompleks seperti halnya pada lembaga dan oraganisasi, sedangkan kelompok arisan Sungai Sarik hanya terdiri dari ketua, Wakil ketua/sekretaris, bendahara, dan selebihnya merupakan anggota. Dan tak hanya itu, kelompok arisan Sungai Sarik tidak memerlukan sebuah gedung sebagai sekretarianya sebagaimana pada komunitas paguyuban Minangkabau, sebab sebagian besar kegiatan kelompok di lakukan secara bergantian di rumah-rumah anggota kelompok, dengan cara di undi pada satiap kegiatan arisan. Dengan cara tersebut, dapat menumbuhkan rasa persaudaran diantara anggota kelompok arisan Sungai Sarik, karena saat anggota kelompok melakukan kegiatan arisan ke rumah salah satu anggota kelompok arisan, maka setiap anggota akan dapat saling mengetahui secara umum mengenai kondisi perekonomian setiap anggota arisan Sungai Sarik.

Salah satu ciri khas dari kelompok arisan pada umumnya terletak pada kegiatan-kegiatan kolektifnya. Diantara beragam kegiatan-kegiatan kolektif kelompok arisan Sungai Sarik, kegiatan arisan merupakan kegiatan kolektif anggota kelompok arisan Sungai Sarik yang paling intens dilakukan oleh anggota kelompok arisan Sungai Sarik, walaupun juga terdapat beberapa kegiatan kolektif lainnya sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Muhammad Idris Panyalai,

”arisannya cuma sekali aja dalam sebulan, setiap hari Minggu di awal bulan. Terus kalau acara jalan-jalannya dibuat dua kali dalam setahun, sebenarnya awalnya acara jalan-jalan itu dibuat sekali dalam setahun, waktu libur anak sekolah, jadi anak-anak bisa ikut. Terus karena yang ibu-ibunya minta di buat acaranya dua kali dalam setahun, karena rasa mereka kurang kalau cuma di

buat sekali dalam setahun, makanya sekarang acara jalan-jalannya dibuat dua kali dalam setahun.”

Dari hasil wawancara diatas, serangkaian kegiatan kolektif tersebut tak hanya dipandang sebagai bentuk kegiatan formal dari keumuman kelompok arisan Sungai Sarik, akan tetapi kegiatan kolektif tersebut merupakan salah satu bentuk cara dari kelompok arisan Sungai Sarik untuk menjadi wadah yang dapat membetuk ikatan kekeluargaan di antara anggota kelompok, dan hal ini kemudian di perkuat dengan variasi kegiatan lainnya dalam bentuk perjalanan wisata dengan mengikutsertakan anak-anak dari anggota kelompok arisan Sungai Sarik. Dengan menambahkan variasi kegiatan kolektif diluar keumuman kelompok arisan, hal ini dapat menambah kesan positif anggota kelompok dan masyarakat terhadap kelompok arisan Sungai Sarik, sehingga kelompok arisan dipandang tidak monoton, dengan kegiatan yang biasa pada kelompok arisan pada umumnya.

Selain itu komposisi dari anggota kelompok arisan Minangkabau Sungai Sarik juga mendukung dalam membangun ikatan kekeluargaan dalam kelompok arisan. Sebagaimana di ketahui bersama, bahwa dalam membentuk sebuah kelompok, orang Minangkabau cenderung membentuk kelompok berdasarkan kesamaan asal daerah, begitu pula dengan kelompok arisan. Namun hal ini berbeda dari kelompok arisan Sungai Sarik, mekipun dalam perekrutan anggota mereka mengacu pada asal daerah yang sama, namun ketetapan ini tidaklah kaku seperti pada komunitas paguyuban Minangkabau. Sebab jika pada komunitas paguyuban Minangkabau di bentuk sebagai replika lembaga adat, berbeda dengan kelompok arisan Minangkabau yang dibentuk dengan tujuan untuk memebentuk rasa kekeluargaan di antara perantau Minangkabau. Pada kelompok arisan Sungai Sarik dalam perekrutan anggota yang tidak terlalu mengkhususkan anggotanya harusa berasal dari desa atau daerah asal yang sama adalah kelompok arisan Sungai Sarik, hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Muhammad Idris Panyalai,

“untukjadi anggota kelompok arisan Sungai Sarik enggak ada aturan musti

kampungnyadari Sungai Sarik, yang terpenting dia beragama Islam, kalau adapun orang jawa atau batak mau ikut pun enggak apa-apa. Lagian banyak juga yang ikut arisan Sungai sarik tapi kampungnya bukan di Sungai Sarik, kayak si Ery (Eryatman Tanjung), kampungnya di batu basa di Pariangan, terus keponakan inyiak si zul (Zulkarnain Panyalai) dia besarnya di Padang Panjang, si Hisyam dari Agam, sama menantu inyiak si ketek (Muhammad Iqbal Tanjung). Yang penting dalam kelompok arisan ini bagaimana kita bisa “sadantiang bak basi saciok bak ayam” kalau ada satu diantara kita yang terkena masalah, semuanya ikut membantu”

Dan hal ini di dukung dengan ditemukan beberapa anggota kelompok arisan Sungai Sarik yang tidak berasal dari desa Sungai Sarik, namun memiliki hubungan kekerabatan dengan anggota lainnya, seperti halnya pada bapak Eryatman Tanjung yang merupakan perantau Minangkabau yang berasal dari desa Batu Basa, Pariangan, Tanah Datar, yang merupakan adik ipar dari bapak Muhammad Idris Panyalai, kemudian bapak Zulkarnain Panyalai, yang merupakan perantau Minangkabau dari Padang Panjang, yang merupakan keponakan dari bapak Muhammad Idris Panyalai, lalu bapak Ismail Jambak yang berasal dari desa Toboh, Nan Sabarih, Pariaman, yang merupakan keponakan dari Almarhum Mak Katik, yang merupakan ketua kelompok arisan sebelum bapak Muhammad Idris Panyalai, dan masih ada beberapa lainnya yang bukan berasal dari Sungai Sarik. Hal ini membuktikan bahwa dalam kelompok arisan Minangkabau lebih mengedepankan pada asas kekeluargaan dari pada kedaerahan.

Dan begitu kentalnya hubungan kekeluargaan pada kelompok arisan Sungai Sarik, hal ini ditunjukkan dari beberapa dari anggota kelompok arisan Sungai Sarik yang diketahui memiliki hubungan kekerabatan dengan beberapa dari mereka, seperti contohnya pada bapak Akir Sani yang merupakan kakak kandung dari Rizal Mandai yang juga diketahui memiliki hubungan saudara tiri dengan bapak Usman Sikumbang, dan banyak diantara anggota kelompok arisan Sungai Sarik yang memiliki hubungan kerabat dengan bapak Muhammad Idris Panyalai, seperti bapak Zulkarnain Panyalai, bapak Eryatman Tanjung, dan beberapa

lainnya. Sehingga secara emosional, hubungan kekeluargaan tersebut telah ada pada setiap anggota kelompok arisan, dan kelompok arisan hanya tinggal bagaimana mengelola potensi-potensi yang ada pada anggota kelompok arisan Sungai Sarik menjadi hal bermanfaat.

Dari hasil uraian di diatas, jika kaitkan dengan kelompok-kelompok arisan yang banyak berkembang di kota-kota besar di Indonesia, kita akan dapati berbagai konsep yang berbeda pada setiap kelompok arisan. Sebab kelompok arisan merupakan salah satu bentuk kelompok sosial yang mana dalam pembentukan dan penetapan sistem, struktur, dan nilai-nilai yang dipakai, akan dikelola sesuai dengan kebutuhan dari anggota kelompok tersebut, hal itulah yang membuat setiap kelompok arisan memiliki konsep yang berbeda-beda, seperti contohnya kelompok arisan sosialita, kelompok arisan Paguyuban, kelompok arisan pemberdayaan masyrakat, dan sebagainya.

Ditengah pesatnya industrialisasi dan modernisasi, mengembangkan nilai-nilai sosial dan kearifan lokal masyarakat menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Sebab banyak kita temukan beragam berita, baik dari media cetak atau online maupun secara langsung, mengenai beragam penyimpangan sosial dan kriminalitas dalam masyarakat yang semakin mengahwatirkan, khususnya pada kota-kota besar. Salah satu indikasi terjadinya hal tersebut adalah karena masyarakat mengalami anomi terhadap nilai-nilai agama dan budaya.

Dan untuk itu, menjadi hal yang penting untuk merevitalisasi kelompok-kelompok arisan yang berkembang dalam masyarakat agar untuk lebih mengedepankan asas agama, budaya, dan modal sosial dalam setiap kegiatan kolektif yang mereka laukan.

4.4.2 Modal Sosial dalam Kelompok Arisan MinangkabauSungai Sarik

Badaruddin (2005: 49) mengamati pembentukan kelompok arisan sebagai suatu jaringan sosial ekonomi, merupakan asosiasi yang tumbuh dari individu-individu dalam komunitas untuk menghadapi persoalan ekonomi mereka, memerlukan adanya saling percaya

di antara sesama anggotanya, melahirkan norma-norma yang disepakati dan dipatuhi bersama. Potensi modal sosial seperti itu (yang sudah mulai tererosi), sudah selayaknya untuk dikembangkan dan dikreasikan sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.

Sedangkan modal sosial merupakan sebuah konsep yang lebih menekankan pada

Dokumen terkait