Lampiran 1. Rencana Kegiatan Penelitian
No. Kegiatan
Bulan ke (2016)
I II III IV
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
I PERSIAPAN
- Pembuatan Proposal
- Konsultasi dan Bimbingan
- Seminar Proposal
- Perbaikan Proposal
II PELAKSANAAN PENELITIAN
- Pengambilan Data
- Pengumpulan Data
- Interpretasi/Pengolahan Data
III PENULISAN SKRIPSI
- Konsep Penulisan Skripsi
- Konsultasi dan Bimbingan
- Seminar Hasil
- Perbaikan Skripsi
- Ujian Skripsi/Meja Hijau
Lampiran 2. Rincian Biaya Penelitian
Biaya Tak Terduga (10% Dari Biaya Total) 313.900
Lampiran 7. Perhitungan Indeks Keanekaragaman Semai, Pancang dan Pohon
Stasiun I
Indeks Keanekaragaman Semai (H’)
H′= − �[�ni
Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon Wiener pada semai menurut (Bengen, 2000) adalah 1,01. Sehingga indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) pada semai termasuk dalam kategori tingkat keanekaragaman sedang.
Indeks Keanekaragaman Pancang (H’)
H′= − �[�ni
Lampiran 7. Lanjutan
Indeks Keanekaragaman Pohon (H’)
H′= − �[�ni
Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon Wiener pada pohon menurut (Bengen, 2000) adalah 2,01. Sehingga indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) pada pohon termasuk dalam kategori tingkat keanekaragaman sedang.
Stasiun II
Indeks Keanekaragaman Semai (H’)
H′= − �[�ni
Lampiran 7. Lanjutan
Indeks Keanekaragaman Pancang (H’)
H′= − �[�ni
Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon Wiener pada pancang menurut (Bengen, 2000) adalah 1,68. Sehingga indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) pada pancang termasuk dalam kategori tingkat keanekaragaman sedang.
Indeks Keanekaragaman Pohon (H’)
H′= − �[�ni
Lampiran 7. Lanjutan
Stasiun III
Indeks Keanekaragaman Semai (H’)
H′= − �[�ni
Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon Wiener pada semai menurut (Bengen, 2000) adalah 0.96. Sehingga indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) pada semai termasuk dalam kategori tingkat keanekaragaman rendah.
Indeks Keanekaragaman Pancang (H’)
H′= − �[�ni
Lampiran 7. Lanjutan
Indeks Keanekaragaman Pohon (H’)
H′= − �[�ni
Lampiran 8. Ilustrasi Transek Analisis Vegetasi
`
10 5
5 2
2 10
10 5
5 2
2 10
10
5
5
2
2 10
80 Meter
25 Meter
DAFTAR PUSTAKA
Arief, D. 1984. Pengukuran Salinitas Air Laut Dan Peranannnya Dalam Ilmu Kelautan. Oseana, Vol 9. (1) : 3-10.
Asfiainnisa, Ydan A. D. Lesmono. 2015. Pendugaan Intrusi Air Laut Dalam Persiapan Pengeboran Sumur Dalam Dengan Metode Geolistrik 2d Konfigurasi Wenner Di Desa Keting Kecamatan Jombang Kabupaten Jember. Jurnal Pendidikan. Pendidikan Fisika FKIP. Universitas Jember. Jember. Vol. 3 (4): 390-396
Bengen, D. G. 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dahuri, R., J, Rais danS, Ginting. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, edisi revisi. PT Pradny Paramita. Jakarta.
Diana. 2011. Ekosistem Mangrove. [Usulan Penelitian]. Fakultas Kehutanan. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Donato, D. C., J. B,Kauffman., D, Murdiyarso., S,Kurnianto., M, Stidham., M, Kanninen. 2012. Mangrove Hutan Terkaya Karbon di Kawasan Tropis. Cifor. Jakarta.
Heroldson, F. N. 2012. Komposisi dan Struktur Vegetasi Hutan Mangrove di Desa Kumu Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa. Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Huda, N. 2008. Strategi Kebijakan Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan Di Wilayah Pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi. Universitas Diponegoro. Semarang.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Jamili. 2012. Ekosistem Mangrove. [Tesis]. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kapludin, Y. 2012. Karakteristik dan Keragaman Biota pada Vegetasi Mangrove Dusun Wael Kabupaten Seram Bagian Barat. Universitas Airlangga. Semarang.
Kitamura, S., C, Anwar., A. Chaniago dan S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia. The Development of Sustainable Mangrove Management Project. Ministry of Forestry Indonesia and Japan International Cooperation Agency. Japan.
Kusmana, C. 1997. Ekologi dan Sumberdaya Ekosistem Mangrove, Makalah Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari Angkatan I PKSPL. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kusmana, C., W, Sri., H, Iwan., P, Prijanto., W, Cahyo., T, Tatang., T, Adi., Yunasfi dan Hamzah. 2005. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Noor, Y. R., M. Khazali dan I. N, Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme. Bogor.
Noor, Y. M., Khazali, M danI. N. N, Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP. Bogor.
Pratiwi, R. 2009. Komposisi Keberadaan Krustasea Di Mangrove Delta Mahakam Kalimantan Timur.Oseanografi-LIPI. Jakarta.
Ramayani. 2012. Hutan Mangrove dan Karakteristiknya. Fakultas Kehutanan. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Rusdianti, K dan S, Sunito. 2012. Konversi Lahan Hutan Mangrove Serta Upaya Penduduk Lokal Dalam Merehabilitasi Ekosistem Mangrove. Jurnal ISSN : 1978-4333, Vol. 06, No. 01.
Romimohtarto, K danJ, Sri. 2001. Biologi Laut. Djambatan. Jakarta.
Saefuhrahman, G. 2008.Distribusi, Kerapatan Dan Perubahan Luas Vegetasi Mangrove Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu Menggunakan Citra Formosat 2 Dan Landsat 7/Etm+. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Salam, A dan A. Rachman. 1994. Peran Biologi Umum dalam Bidang Ilmu Kelautan untuk Perguruan Tinggi Negeri Kawasan Timur Indonesia. Universitas Hasanuddin. Makasar.
Sihombing, B. 1995. Analisis Degradasi Tegakan pada Kawasan Hutan Lindung Wosi Rendani Manokwari. Fakultas Pertanian. Universitas Cendrawasih. Manokwari.
Subiandono, E., N. M, Heriyanto danE, Karlina. 2010. Potensi Nipah (Nypa Fructicans (Thunb.) WurmbSebagai Sumber Pangan Dari Hutan Mngrove . Jurnal Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam No. 5. Jakarta.
Talib,M. F. 2008. Struktur Dan Pola Zonasi (Sebaran) Mangrove Serta Makrozoobenthos Yang Berkoeksistensi, Di Desa Tanah Merah Dan Oebelo Kecil Kabupaten Kupang.Institut Pertanian Bogor. Bogor.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu pada bulan Maretsampai April Tahun 2016 di Kawasan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Tahap persiapan data meliputi pengumpulan data primer dan data sekunder/data pendukung penelitian, selanjutnya dilakukan pengecekan lapangan dilokasi penelitian (Gambar 3). Identifikasi dan analisis sampel mangrove dilakukan di Laboratorium Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Rencana kegiatan penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.
Gambar 3. Letak Lokasi Penelitian di Kawasan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan adalah parang, tali rafia, kantong plastik, gunting,
Global Positioning System (GPS), alat tulis, kamera, penggaris, kertas milimeter,
meteran, hand refraktometer, termometer, buku identifikasi mangrove “Handbook
of Mangoves in Indonesia” (Kitamura, dkk., 1997), pH meter (kertas lakmus),
pipet tetes dan tool box.
Bahan yang digunakan adalah bagian tumbuhan mangrove sebagai sampel, akuades, tissue, karet gelang, tally sheet, lakbandan kertas label.Rincian biaya penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.
Prosedur Penelitian
Teknik Pengumpulan Data
Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan adalah hasil transek (pengamatan langsung dilapangan) dan pengukuran parameter fisika kimia. Sementara data sekunder meliputi luas kawasan mangrove dan data perubahan tutupan mangrove dari Balai Mangrove Wilayah II Provinsi Sumatera Utara.
Teknik pengambilan data yang dipakai dalam penelitian ini dengan cara
Purposive Random Sampling (pengambilan data secara acak) dengan menentukan
tiga titik stasiun pengamatan dan menentukan tiga plot pada masing-masing stasiun sebagai ulangannya. Penentuan titik koordinat stasiun dilakukan dengan menggunakan alat GPS (Global Positioning System) dan pengukuran salinitas menggunakan refraktometer.
merupakan teknik yang digunakan untuk mendapatkan data-data sekunder, berupa data kawasan mangrove, lokasi penelitian, luas wilayah dan data-data lain yang dibutuhkan dalam penelitian. Data diperoleh dari Balai atau instansi terkait yang memberikan bantuan data untuk melengkapi hasil penelitian ini. Pengolahan data menggunakan program softwere ArcView dengan output peta sebaran salinitas di wilayah mangrove percut.
Analisis Vegetasi
Teknik analisis vegetasi yang digunakan adalah metoda petak dengan unit contoh berupa jalur (transek) berukuran 10 m x 100 m sebanyak 10 jalur, di dalam setiap unit contoh (jalur) secara nested sampling dibuat sub-sub unit contoh untuk permudaan, yakni 2 m x 2 m untuk tingkat semai, 5 m x 5 m untuk tingkat pancang dan 10 m x 10 m untuk tingkat pohon, dapat dilihat pada Lampiran 3. Kriteria tingkat permudaanyang digunakan adalah:
a. Pohon adalah pohon muda dan dewasa yang memiliki diameter ≥ 10 cm b. Pancang adalah anakan pohon dengan diameter < 10 cm dan tinggi > 1,5 m. c. Semai adalah anakan pohon mulai berkecambah sampai tinggunya ≤ 1,5 m.
Rumus-rumus yang digunakan dalam perhitungan analisis vegetasi dengan metode garis berpetak adalah sebagai berikut:
Luas Petak Contoh (LPC)
LPC semai =2 x 2 x 3 8000
LPC pancang =5 x 5 x 3
8000
LPC pohon =10 x 10 x 3
Kerapatan Jenis
K =∑ind
LPC
Keterangan :
K = Kerapatan jenis dalam satuan Individu/Ha LPC = Luas petak contoh
Kerapatan Relatif
Kr = Ksuatu spesies
Ktotal seluruh spesies� 100 %
Frekuensi
F =∑sub petak ditemukan spesies
∑seluruh sub petak contoh
Frekuensi Relatif
Fr = Fsuatu spesies
Ftotal seluruh spesies � 100 %
Dominansi
D =LBDS
LPC
LBDS =1
4 x π x D
Keterangan :
D = Dominansi dalam satuan m2/Ha LBDS = Luas bidang dasar
Dominansi Relatif
Dr = Dsuatu spesies
Indeks Nilai Penting
Keterangan:
INP = Indeks Nilai Penting KR = Kerapatan Relatif FR = Frekuensi Relatif DR = Dominasi Relatif
Indeks Keanekaragaman Mangrove
Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks keanekaragaman mangrove setelah dilakukan metode transek adalah sebagai berikut:
H′=− �[�ni
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon Wiener Ni = Jumlah individu jenis ke-i
∑ = Jumlah
N = Total jumlah individu seluruh jenis ln = Logaritma natural
Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan keanekaragaman Shannon Wiener dalam Bengen (2000), yaitu:
H’ = < 1, Keanekaragaman tergolong rendah H’ = 1-3, Keanekaragaman tergolong sedang H’ = > 3, Keanekaragaman tergolong tinggi
Data Pendukung Kualitas Air Suhu (° C)
Pengukuran suhu dilakukan secara langsung ke dalam air dengan menggunakan termometer air raksa yang dimasukkan ke dalam air selama kurang lebih 5 menit dan kemudian dibaca skalanya.
Derajat Keasaman (pH)
pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter ke dalam sampel air yang diambil dari masing-masing kedalaman sampai angka yang tertera pada alat konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.
Salinitas (‰)
Salinitas diukur dengan menggunakan refraktometer, sebelumnya dilakukan kalibrasi dengan menggunakan aquades. Pengukuran dilakukan dengan cara memberikan beberapa tetes sampel air yang diambil dengan menggunakan pipet tetes ke tempat yang telah disediakan yaitu di ujung alat refraktometer, lalu baca angka yang tertera pada refraktometer.
Parameter Kualitas Air
Dalam penelitian ini terdapat beberapa parameter kualitas air yang diukur seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter kualitas air yang diukur dalam penelitian
No. Parameter Satuan Alat Lokasi
1. Suhu ˚C Thermometer In situ
2. pH - pH-Meter In situ
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Komposisi dan Struktur Vegetasi Mangrove
Hasil analisis data vegetasi mangrove diKawasan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang yang disampling menggunakan metode transek garis dengan beberapa plot berukuran 2x2 m, 5x5 m dan 10x10 m, pada 3 stasiun yang berbeda sehingga diperoleh hasilkomposisi dan struktur vegetasimangrove (jenis mangrove) pada masing-masing stasiun dengan total hasil identifikasi jenis berjumlah 17 spesies mangrove, yang dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Komposisi dan Jenis Mangrove
No Nama Spesies Magrove Stasiun I Stasiun II Stasiun III
Data Vegetasi Mangrove Stasiun I
Tabel 3. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Semai
No Spesies ∑ Ind K F KR (%) FR (%)
Berdasarkan perhitungan indeks keanekaragaman pada semai yang dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil yang diperoleh (H’) adalah sebesar 1.01, sehingga indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) menurut (Bengen, 2000) pada tingkat semai memiliki keanekaragaman tergolong sedang.
Tabel 4. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Pancang
No Spesies ∑ Ind K F KR (%) FR (%)
Tabel 5. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Pohon
Berdasarkan perhitungan indeks keanekaragaman pada pohon yang dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil yang diperoleh (H’) adalah sebesar 2.01, sehingga indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) menurut (Bengen, 2000) pada tingkat semai memiliki keanekaragaman tergolong sedang.
Stasiun II
Tabel 6. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Semai
No Spesies ∑ Ind K F KR (%) FR (%)
Tabel 7. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Pancang
Berdasarkan perhitungan indeks keanekaragaman pada pancang yang dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil yang diperoleh (H’) adalah sebesar 1.68, sehingga indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) menurut (Bengen, 2000) pada tingkat semai memiliki keanekaragaman tergolong sedang.
Tabel 8. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Pohon
No Spesies ∑ Ind K F KR (%) FR (%) DR (%)
Berdasarkan perhitungan indeks keanekaragaman pada pohon yang dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil yang diperoleh (H’) adalah sebesar 1.24, sehingga indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) menurut (Bengen, 2000) pada tingkat semai memiliki keanekaragaman tergolong sedang.
Stasiun III
Tabel 9. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Semai
No Spesies ∑ Ind K F KR (%) FR (%)
1 Rhizophora apiculata 14 9333 0.3 54 50
2 Rhizophora mucronata 12 8000 0.3 46 50
Berdasarkan perhitungan indeks keanekaragaman pada semai yang dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil yang diperoleh (H’) adalah sebesar 0.96, sehingga indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) menurut (Bengen, 2000) pada tingkat semai memiliki keanekaragaman tergolong rendah.
Tabel 10. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Pancang
No Spesies Jumlah K F KR (%) FR (%)
Berdasarkan perhitungan indeks keanekaragaman pada pancang yang dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil yang diperoleh (H’) adalah sebesar 1.21, sehingga indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) menurut (Bengen, 2000) pada tingkat semai memiliki keanekaragaman tergolong sedang.
Tabel 11. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Pohon
No Spesies Jumlah K F KR (%) FR (%) DR (%)
Pola Sebaran Salinitas
Pengukuran salinitas dilakukan pada tiga titik (plot) pada masing-masing stasiun pengamatan, sehingga di dapat sembilan titik sebaran salinitas. Hasil pemetaan menggambarkan perbedaan lokasi transek dan lokasi penarikan garis transek akan menghasilkan sebaran salinitas yang beragam sesuai dengan kondisi dan keadaan saat pengukuran. Pada stasiun I terdapat keragaman sebaran salinitas akan tetapi tidak terlalu jauh rangesnya, sementara pada stasiun II terdapat keragaman sebaran salinitas yang cukup variatif dan memiliki ranges yang sedikit jauh dibandingkan dengan stasiun I dan pada stasiun III tidak terdapat keragaman sebaran salinitas, dikarenakan nilai hasil pengukuran salinitas pada stasiun ini adalah bernilai sama. Hasil pemetaan salinitas di Kawasan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan dapat dilihat pada Gambar 4. dibawah ini.
Parameter Kualitas Lingkungan
Parameter yang digunakan dalam penentuan kualitas air pada kawasan ekosistem mangrove Percut Sei Tuan ini terdiri atas tiga (3) parameter, yang meliputi pengukuran suhu, pH dan salinitas yang dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil pengukuran kualitas air dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Pengukuran Parameter Kualitas Lingkungan
No Parameter Satuan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 P1 P2 P3 P1 P2 P3 P1 P2 P3 1 Suhu ⁰ C 28 27.5 28 28.5 30 29 31 28 29
2 pH - 9 8 8 8 8 8 8 8 8
3 Salinitas ‰ 28 25 23 22 25 28 26 26 26
Pengambilan Titi Salinitas
Pengambilan titik salinitas dilakukan untuk mendapatkan hasil dari pada pola sebaran salinitas, dimana dengan titik-titik tersebut akan menggambarkan sebaran salinitas di kawasan ekosistem mangrove Percut Sei Tuan. Titik dan nilai salinitas dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Titik dan Nilai Salinitas
16 98.77511 3.728556 29
Berdasarkan hasil data transek yang dilakukan pada tiga stasiun, maka diperoleh hasil kerapatan mangrove kategori pohon pada stasiun I adalah sebesar 613 ind/ha, pada stasiun II adalah sebesar 320 ind/ha dan pada stasiun III adalah sebesar 667 ind/ha. Hasil ini menunjukkan bahwa kerapatan pada ketiga stasiun tergolong jarang, hal ini menurut (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004) yang menyatakan bahwa kerapatan mangrove mulai dari ≤ 1000 dikategorikan dalam kriteria jarang. Maka dapat disimpulkan bahwa kondisi mangrove pada ketiga stasiun tersebut termasuk dalam kategori rusak (jarang).
untuk pengembangan kegiatan perikanan tambak akan berdampak pada kondisi ekonomi masyakarat disekitarnya. Noor dkk (1999) menyatakan bahwa sebagian besar kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh kegiatan manusia akibat penebangan liar dan juga mengkonversi lahan mangrove untuk pembukaan lahan baru, hal ini menyebabkan fungsi dari hutan mangrove akan berkurang. Dampak yang ditimbulkan antara lain berubahnya komposisi mangrove, erosi garis pantai, mengancam regenerasi stok sumberdaya ikan diperairan lepas pantai yang memerlukan hutan mangrove sebagai nursery ground, feeding ground dan
spawning ground. Selain itu Salam dan Rachman (1994) juga menyatakan bahwa
daerah mangrove berfungsi sebagai penyangga fisik yang kuat untuk melindungi dan mengurangi terpaan angina, gelombang dan mencegah terjadinya abrasi pantai. Disamping itu hutan mangrove dapat juga mencegah meluasnya penyebaran sedimen dari daratan kearah laut, sehingga dapat mempertahankan keutuhan ekosistem terumbu karang dan ekosistem lainnya yang ada di wilayah pesisir.
dikonversikan demi memenuhi kebutuhan, serta kurangnya kesadaran masyarakat tentang konservasi itu sendiri. Kegiatan konversi mangrove menjadi lahan pertanian dan perikanan akan mengancam regenerasi stok ikan, udang, kepiting dan biota lainnya yang memerlukan hutan mangrove sebagai nursery ground berbagai jenis juvenile (larva) organisme.
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan disekitar lokasi penelitian, banyak sekali dijumpai lahan mangrove yang sudah dikonversi menjadi tambak budidaya dengan menggunakan konsep dan cara yang baik agar tambak tidak terlihat secara langsung, para pengusaha tambak membiarkan atau menyisahkan sedikit mangrove untuk menutupi tambak agra tidak kelihatan oleh banyak orang. Sehingga saat masyarakat melewati jalur muara sungai, yang dijumpai adalah mangrove-mangrove yang masih ada disepanjang bantaran muara sungai tersebut. Apabila hal ini terus terjadi penurunan luasan mangrove dan kerusakan ekosistem mangrove akan semakin meningkat. Heroldson (2012) menyatakan bahwa dampak dari kerusakan hutan mangrove akan menurunkan fungsi ekologis mangrove, dimana fungsi terpenting hutan mangrove adalah sebagai peredam gelombang air laut, pelindung pantai, penghasil sejumlah besar dentritus dan daerah mencari makan serta daerah beraktivitasnya berbagai macam organisme laut baik yang hidup diperairan pantai maupun lepas pantai. Kerusakan total hutan mangrove dapat menimbulkan hilangnya sumber mata pencarian masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan mangrove serta menyebabkan keseimbangan ekosistem akan terganggu.
dibarisan depan mangrove yang mengarah langsung kearah laut adalah jenis
Rhizophora apiculata. Pada pengamatan ini stasiun yang didominasi oleh jenis
tersebut adalah stasiun III, dimana posisi stasiun tersebut sangat dekat kearah laut sehingga dapat dikaitakan dengan perubahan zonasi yang terjadi di ekosistem mangrove tersebut. Menurut Kusuma (1997) menyatakan bahwa hutan mangrove dibagi menjadi lima bagian berdasarkan frekuensi air pasang, yaitu: zonasi yang terdekat dengan laut, akan didominasi oleh Avicennia spp dan Sonneratia spp yang tumbuh pada substrat lunak dengan kandungan organik yang tinggi.
Avicennia spp tumbuh pada substrat yang agak keras, sedangkan Avicennia alba
tumbuh pada substrat yang agak lunak. Berdasarkan hasil dan analisi tersebut, maka dapat diduga terjadi perubahan pola zonasi jenis mangrove yang terdapat di kawasan mangrove Percut Sei Tuan dikarenakan kondisi jenis yang mendominasi di lokasi tersebut seharusnya adalah kelompok Avicennia spp dan Sonneratia spp, hal ini dapat terjadi akibat konversi lahan mangrove dan pemanfaatan lahan secara buruk tanpa memikirkan aspek ekologi dari kawasan tersebut.
Salinitas berperan penting dalam proses fisiologi yang dapat mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan mangrove, untuk itu dalam penelitian ini membuat sebaran salinitas yang di dapatkan pada masing-masing plot dari tiap stasiun yang menghasilkan tingkat sebaran salinitas yang berbeda. Pada stasiun I didominasi oleh mangrove jenis Bruguiera sexangra dengan kisaran salinitas sebesar 25 - 31 ‰, pada stasiun II didominasi oleh mangrove jenis Rhizophora
mucronata yang memiliki kisaran salinitas sebesar 23 – 29 ‰ dan pada stasiun III
salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrovemengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secaraselektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementarabeberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus padadaunnya.Avicennia merupakan marga yang memiliki kemampuan toleransi terhadap kisaransalinitas yang luas dibandingkan dengan marga lainnya. A. marina mampu tumbuhdengan baik pada salinitas yang mendekati tawar sampai 90 o/oo. Pada salinitas ekstrim, pohon tumbuh kerdil dan
kemampuanmenghasilkan buah hilang. Jenis-jenis Sonneratia umumnya ditemui hidup di daerahdengan salinitas tanah mendekati salinitas air laut, kecuali S.
caseolaris yang tumbuhpada salinitas kurang dari 10 o/oo. Beberapa jenis lain juga
dapat tumbuh pada salinitastinggi seperti Aegiceras corniculatum pada salinitas 20 – 40 o/oo, Rhizopora mucronatadan R. Stylosa pada salinitas 55 o/oo, Ceriops
tagal salinitas 60 o/oo dankondisiekstrim ini tumbuh kerdil, bahkan Lumnitzera
racemosa dapat tumbuh sampaisalinitas 90 o/oo.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan terkait kondisi kerapatan, frekuensi dan dominansi mangrove di Percut Sei Tuan tergolong jarang, hal ini menurut (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004) yang menyatakan bahwa kerapatan mangrove mulai dari ≤ 1000 dikategorikan dalam kriteria jarang, sedangkan nilai Indeks Keanekaragaman pohon mangrove pada stasiun I, II dan III tergolong dalam kriteria sedang dikarenakan menurut Bengen (2000) saat nilai H’ (indeks keanekaragaman) bernilai H’= 1-3 maka keanekaragaman tergolong dalam kategori sedang. 2. Hasil sebaran salinitas pada masing-masing stasiun berfluktuasi relatif kecil
dimana pada stasiun I didapat nilai sebaran salinitas rata-rata sebesar 27.6‰, pada stasiun II didapat nilai sebaran salinitas sebesar 26.3 ‰ dan pada stasiun III di dapat nilai sebaran salinitas sebesar 28.8 ‰.
3. Jenis Mangrove yang mendominasi pada stasiun I adalah Bruguiera sexangra dengan salinitas berkisar antara 25 - 31‰, pada stasiun II didominasi oleh mangrove jenis Rhizophora mucronata dengan salinitas berkisar antara 23 - 29‰ dan pada stasiun III didominasi oleh mangrove jenis Rhizophora
Saran
1. Diharapkan adanya pengamatan lanjutan mengenai hubungan kerapatan mangrove dengan perubahan kualitas lingkungan yang mengakibatkan perubahan garis pantai dan intrusi air laut kedaratan Percut Sei Tuan. 2. Diharapkan diadakannya monitoring mangrove setiap tahunnya agar dapat
TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang terdiri dari gabungan komponen daratan dan komponen laut, dimana termasuk didalamnya flora dan fauna yang hidup saling bergantung satu dengan yang lainnya. Ekosistem mangrove dikenal sebagai hutan yang mampu hidup beradaptasi pada lingkungan pesisir yang sangat ekstrim, tapi keberadaannnya rentan terhadap perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan tersebut disebabkan adanya tekanan ekologis yang berasal dari alam dan manusia. Bentuk tekanan ekologis yang berasal dari manusia umumnya berkaitan dengan pemanfaatan mangrove seperti konversi lahan menjadi pemukiman, pertambakan, pariwisata dan pencemaran (Pratiwi, 2009).
Mangrove adalah salah satu di antara sedikitnya tumbuh-tumbuhan tanah timbul yang tahan terhadap salinitas laut terbuka. Walaupun tidak sama dengan istilah mangrove banyak orang atau penduduk awam menyebut mangrove sebagai mangrove atau secara singkat disebut mangrove. Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon (seperti Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops,Lumnitzera,
Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa) yang mampu tumbuh
dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Huda, 2008).
air laut. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forestcoastal woodland,
vloedbos dan hutan payau yang terletak di perbatasan antara darat dan laut,
tepatnya di daerah pantai dan di sekitar muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove adalah suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang waktu air laut pasang dan bebas dari genangan pada saat air laut surut, yang komunitas tumbuhannya toleran terhadap garam. Adapun ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme yang berinteraksi dengan faktor lingkungan di dalam suatu habitat mangrove (Diana, 2011).
Ekosistem mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir terutama pulau-pulau kecil. Mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dan perubahan lingkungan utama dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota baru. Selain itu, ekosistem ini juga berfungsi dalam mengolah limbah melalui penyerapan kelebihan nitrat dan phospat sehingga dapat mencegah pencemaran dan kontaminasi di perairan sekitarnya (Huda, 2008).
tumbuh dipermukaan tanah. Dalam lingkungan yang serba berat ini, sangat sulit untuk tumuh-tumbuhan mangrove berkembang biak seperti tumbuh-tumbuhan biasa. Suatu penyesuaian perkembangan biakan yang disebut viviparitas (Romimohtarto dan Sri, 2001).
Hutan mangrove merupakan komunitas pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut baik pantai berlumpur atau berpasir Mangrove sebagai karaktersitik formasi tanaman littoral tropis dan sub tropis di sekitar garis pantai yang terlindung. Bakau untuk suatu komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak dengan kemampuan untuk tumbuh di perairan asin. Mangrove juga didefinisikan sebagai ekosistem hutan yang memiliki toleransi terhadap kadar garam pada daerah intertidal di sepanjang garis pantai (Saefurahman, 2008).
Mangrove sangat peka terhadap pengendapan atau sedimentasi, tinggi rata-rata permukaan air, pencucian serta tumpahan minyak. Keadaan ini mengakibatkan penurunan kadar oksigen dengan capat untuk kebutuhan respirasi, dan menyebabkan kematian mangrove. Perubahan faktor-faktor tersebut yang mengontrol pola salinitas substrat dapat menyenankan perubahan komposisi spesies; salinitas yang lebih dari 90 ppt mengakibatkan kematian biota dalam jumlah besar. Perubahan salinitas dapat diakibatkan oleh perubahan siklus hidrologi, aliran air tawar dan pencucian terus menerus seperti kegiatan pengerukan, bendungan dan penyekatan (Dahuri, dkk., 2004).
mangrovehanyasalah satu dari banyakjenishutan di Sumateramemilikitertutup, bahkankanopiterdiri darijenis pohonyangdidominasihijau. Kondisilingkungandi manatumbuhadalahekstrim, namun, karenamereka tunduk padasalinitasairtanah
dangenangan air. Hutan mangrovememiliki
berbagaipentingpedulilingkungandengantanah, satwa liar danperikanan, dantelah dimanfaatkanoleh manusiauntuk berbagaiproduk alami. Eksploitasioleh manusiainimemiliki efekpentingpada ekosistem. Disumatra, hutan mangrovetelahmempelajari lebih darihampir semuaekosistemalam lainnya. setiap
provinsisumatramemiliki beberapapantainya, jika
hanyadalamtelukterlindungsedikit ataupintu masuksungai ataudi sekitar pulaulepas pantaitetapidari1.470.000hahutan mangrovelebih dari 60% berada diRiaudanSumatera Selatan, danini di manapenelitian telahterkonsentrasi (Whitten, dkk., 1987).
Fungsi Mangrove
(3) biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap, sementara, sekali-kali, biasa ditemukan kebetulan maupun khusus hidup di habitat mangrove, (4) proses-proses alamiah yang berperan dalam mempertahankan ekosistem ini baik yang berada di daerah bervegetasi maupun diluarnya, dan (5) daratan terbuka/hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut (Huda, 2008).
Tumbuhan mangrove dapat tumbuh dan berkembang secara maksimum dalam kodisi dimana terjadi penggenangan dan sirkulasi air permukaan yang menyebabkan pertukaran dan pergantian sedimen secara terus menerus. Sirkulasi yang tetap (terus menerus) meningkatkan pasokan oksigen dan nutrien, untuk keperluan respirasi dan prosuksi yang dilakukan oleh tumbuhan. Perairan dengan salinitas rendah akan menghilangkan garam-garam dan bahan-bahan alkalin, mengingat air yang mengandung garam dapat menetralisir kemasaman tanah. Mangrove dapat tumbuh pada barbagai macam substrat. Mangrove tumbuh pada berbagai jenis substrat yang bergantung pada proses pertukaran air untuk memelihara pertumbuhan mengrove (Dahuri, dkk., 2004).
pertumbuhannya. Karena berada di antar perbatasan antar darat dan laut maka kawasan mangrove ini merupakan suatu ekosistem yang rumit dan mempunyai kaitan baik dengan ekosistem darat maupun dengan ekosistem lepas pantai di luarnya. Kawasan mangrove ini sering dianggap sebagai daerah yang tak bermanfaat dan karenanya sering disalahgunakan. Namun sekarang makin banyak orang menyadari betapa penting kawasan mangrove ini bukan saja sebagai sumberdaya hutan tetapi juga peranannya menunjang sumberdaya perikanan di perairan lepas pantai (Nontji, 1993).
Pola Penyebaran Mangrove
Mangrove dapat berkembang sendiri yakni tempat di mana tidak terdapat gelombang, kondisi fisik pertama yang harus terdapat pada daerah mangrove ialah gerakan air yang minimal. Kurangnya gerakan air ini mempunyai pengaruh yang nyata. Gerakan air yang lambat dapat menyebabkan partikel sedimen yang halus cenderung mengendap dan berkumpul di dasar (Huda, 2008).
Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Menurut Hutching dan Saenger (1987) telah diketahui lebih dari 20 famili flora mangrove dunia yang terdiri atas 30 genus dan lebih kurang 80 spesies. Sedangkan jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove Indonesia adalah sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit (Diana, 2011).
kerusakan atau hilang sama sekali karena ulah manusia. Tetapi di Irian Jaya terdapat hutan Mnagrove yang sangat luas, 2.94 juta Ha, atau 69% dari semua hutan mangrove Indonesia dan masih banyak hutan asli yang belum terganggu. Mangrove di Indonesia dikenal mempunyai keragaman jenis yang tinggi, seluruhnya tercatat sebanyak 89 jenis tumbuhan, 35 jenis diantaranya berupa pohon dan selebihnuya berupat terna (5 jenis), perdu (9 jenis), liana (9 jenis), epifit (29 jenis), dan parasit (2 jenis). Beberapa contoh mangrove yang dapat berupa pohon antara lain bakau (Rhizophora), api-api (Avicennia), pedada (Sonneratia), tanjang (Bruguiera), nyirih (Xylocarpus), tengar (Ceriops), buta-buta (Excoecaria) (Nontji, 1993).
Menurut Saefurahman (2008), salah satu zonasi hutan mangrove dapat dilihat pada Gambar 2., yaitu:
a. Daerah yang paling dekat dengan laut dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Di zona ini biasa berasosiasi jenis Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. b. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora
spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. c. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
Gambar 2. Pola Penyebaran Mangrove (Sumber: Saefurrahman, 2008) Hutan mangrove dapat dibagi menjadi lima bagian berdasarkan frekuensi air pasang, yaitu; zonasi terdekat dengan laut, akan didominasi oleh Avicennia spp. dan Sonneratia spp., tumbuh pada lumpur lunak dengan kandungan organik yang tinggi. Avicennia spp. tumbuh pada substrat yang agak keras, sedangkan A.
alba tumbuh pada substrat yang agak lunak; zonasi yang tumbuh pada tanah kuat
dan cukup keras serta dicapai oleh beberapa air pasang. Zonasi ini sedikit lebih tinggi dan biasanya didominasi oleh B. cylindrica; ke arah daratan lagi, zonasi yang didominasi oleh R. mucronata dan R. apiculata. Jenis R. mucronata lebih banyak dijumpai pada kondisi yang agak basah dan lumpur yang agak dalam. Pohon-pohon yang dapat tumbuh setinggi 35-40 m. Pohon lain yang juga terdapat pada hutan ini mencakup B. parviflora dan X. granatum; hutan yang didominasi oleh B. parviflora kadang-kadang dijumpai tanpa jenis pohon lainnya; hutan mangrove di belakang didominasi oleh B. gymnorrhiza (Talib, 2008).
Hutan mangrove yang ada di Indonesia tersebar di daerah pantai yang terlindungi dan di muara-muara sungai. Indonesia terdiri atas 13,677 pulau memiliki garis pantai sepanjang lebih kurang 81.000 km. Data perkiraan luas areal mangrove di Indonesia sangat beragam sehingga sulit untuk mengetahui secara pasti seberapa besar penurunan luas areal mangrove tersebut (Diana, 2011).
vegetasinya. Ekosistem hutan mangrove dengan sifatnya yang khas dan kompleks menyebabkan hanya organisme tertentu saja yang mampu bertahan dan berkembang. Kenyataan ini menunjukkan keanekaragaman jenis fauna hutan mangrove yang berafinitas laut kecil, tetapi kepadatan masing-masing jenis umumnya besar (Talib, 2008).
Zonasi Mangrove
Spesies-spesies tumbuhan mangrove dapat digolongkan ke dalam sejumlah jalur tertentu sesuai dengan tingkat toleransinya terhadap kadar garam dan fluktuasi permukaan air laut di pantai, dan jalur seperti itu disebut juga zonasi vegetasi. Jalur-jalur atau zonasi vegetasi hutan mangrove masing-masing disebutkan secara berurutan dari yang paling dekat dengan laut ke arah darat sebagai berikut:
1. Jalur pedada yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Avicennia spp. dan
Sonneratia spp.
2. Jalur bakau yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Rhizophora spp. dan kadang-kadang juga dijumpai Bruguiera spp., Ceriops spp., dan Xylocarpus spp.
3.Jalur tancang yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Bruguiera spp. dan kadang-kadang juga dijumpai Xylocarpus spp., Kandelia spp., danAegiceras spp. 4.Jalur transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah yang
umumnya adalah hutan nipah dengan spesies N. fruticans(Indriyanto, 2006).
Salinitas didefinisikan sebagai berat dalam gram dari semua zat padat yang terlarut dalam 1 kilo gram air laut. Nilai salinitas dinyatakan dalam g/kg yang umumnya dituliskan dalam ‰ atau ppt yaitu singkatan dari part-per-thousand. Salinitas air laut kira-kira 0,14 ‰ lebih kecil dibandingkan dengan kadar garam sesungguhnya yang ada di air laut. Pengertian garam tersebut ialah istilah garam dalam pengertian kimia, yaitu semua senyawa yang terbentuk akibat reaksi asam dan basa bukan hanya garam dalam arti garam dapur (Arief, 1984).
Air adalah zat pelarut yang bersifat sangat berdaya guna, yang mampu melarutkan zat-zat lain dalam jumlah lebih besar dari pada zat cair lain. Sifat ini dapat dilihat dari banyaknya unsur-unsur pokok yang terdapat dalam air laut, diperikirakan sebesar 48.000 triliun ton garam yang larut dalam air laut. Garam-garaman tersebut terdiri atas sodium chlorida 38.000 triliun ton, sulphates 3.000 triliun ton, magnesium 1.600 triliun ton, potassium 480 triliun dan bromide 83 triliun ton. Chloride merupakan zat yang paling banyak terkandung dalam air laut. Sedangkan zat sodium (NaCl) atau garam dapur merupakan zat clorida yang persentasenya paling besar. Konsentrasi rata-rata seluruh garam-garaman yang terdapat dalam air laut adalah salinitas yang menunjukkan garam-garam yang larut dalam air laut (gr/kg) (Asfiannisa dan Lesmono, 2015).
Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrovemengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secaraselektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementarabeberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus padadaunnya.Avicennia merupakan marga yang memiliki kemampuan toleransi terhadap kisaransalinitas yang luas dibandingkan dengan marga lainnya. A. marina mampu tumbuhdengan baik pada salinitas yang mendekati tawar sampai 90 o/oo. Pada salinitas ekstrim, pohon tumbuh kerdil dan
kemampuanmenghasilkan buah hilang. Jenis-jenis Sonneratia umumnya ditemui hidup di daerahdengan salinitas tanah mendekati salinitas air laut, kecuali S.
caseolaris yang tumbuhpada salinitas kurang dari 10 o/oo. Beberapa jenis lain juga
dapat tumbuh pada salinitastinggi seperti Aegiceras corniculatum pada salinitas 20 – 40 o/oo, Rhizopora mucronatadan R. Stylosa pada salinitas 55 o/oo, Ceriops
tagal salinitas 60 o/oo dankondisiekstrim ini tumbuh kerdil, bahkan Lumnitzera
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang terdapat di wilayah pesisir, dimana ekosistem ini berada lebih dekat kedaratan dibandingkan dengan ekosistem lain yang terdapat di wilayah pesisir atau dapat dikatakan berada pada daerah peralihan antara daratan dan laut. Hal tersebut menjadikan ekosistem ini selalu dipengaruhi oleh faktor dari laut seperti pasang surut dan dipengaruhi oleh segala aktivitas dari daratan, sehingga menjadikannya berperan sangat penting bagi kehidupan masyarakat pesisir yang dapat memanfaatkan ekosistem mangrove tersebut.
Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macnae, 1968). Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan dan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut (Kusmana, dkk., 2005)
Indonesia, hal ini akan mengakibatkan penurunan kualitas dan berkurangnya tingkat pemanfaatan yang dapat dilakukan pada ekosistem mangrove.
Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove berperan dalam melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut dan angin topan, serta berperan juga sebagai buffer (perisai alam) dan menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air sungai dan yang kemudian terbawa ke tengah laut oleh arus. Ekosistem mangrove selain melindungi pantai dari gelombang dan angin merupakan tempat yang dipenuhi pula oleh kehidupan lain seperti mamalia, amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan, primata, dan serangga (Talib, 2008).
Wilayah mangrove sudah dikenal memberikan berbagai jenis jasa ekosistem, termasuk produksi perikanan dan serat, pengendalian sedimen dan perlindungan pantai dari badai/tsunami, 2-4 luas kawasan mangrove menurun pesat akibat penebangan untuk perluasan budidaya tambak dan pembangunan infrastruktur. Penurunan luas sebesar 30–50% selama setengah abad terakhir memberikan perkiraan bahwa mangrove secara fungsional akan hilang sekurang-kurangnya dalam 100 tahun (Donato, dkk., 2012).
tinggi tanpa mempertimbangkan aspek ekologi mangrove dan kurangnya pengelolaan secara terpadu dapat menurunkan fungsi fisik dari mangrove.
Pemanfaatan ekosistem mangrove yang semakin besar dapat menyebabkan penurunan kualitas dan fungsi fisik mangrove, hal ini dikhawatirkan akan mengganggu kondisi ekologi dan vegetasi mangrove di Kawasan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan informasi dasar yang menunjang mengenai kondisi mangrove melalui analisis vegetasi untuk mengetahui tingkat kerapatan dan diperlukan data sebaran salinitas untuk mengetahui seberapa besar tingkat salinitas yang terdapat di ekosistem mangrove, sehingga dapat mempermudah pengelolaan (rehabilitasi) melalui penanaman kembali mangrove di kawasan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka dianggap perlu untuk melakukan penelitian mengenai Analisis Vegetasi dan Pola Sebaran Salinitas di Ekosistem Mangrove Kabupaten Deli Serdang.
Rumusan Masalah
Analisis vegetasi dan pola sebaran salinitas dapat memberikan gambaran mengenai tingkat pemanfaatan ekosistem mangrove dan perubahan lingkungan yang terjadi akibat aktivitas tersebut, salah satunya adalah perubahan salinitas dimana saat vegetasi mangrove mulai berkurang maka pemasukan air laut akan semakin besar sehingga dapat menaikkan salinitas di kawasan ekosistem mangrove.
penurunan kerapatan vegetasi mangrove dan perubahan lingkungan (fisika kimia) khusus nya perubahan salinitas dikarenakan salinitas merupakan salah satu faktor pembatas kehidupan mangrove. Sementara itu, belum ada informasi yang lengkap atau data potensi vegetasi mangrove dan pola sebaran salinitasdi kawasan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan, sehingga penelitian ini menjadi sangat penting dilakukan sebagai informasi bagi para nelayan dan instansi terkait dalam mengatur pemanfaatan dan rehabilitasi kawasan mangrove tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi vegetasi mangrove dari kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif, dominansi, dominansi relatif, indeks nilai penting dan indeks keanekaragaman jenis di kawasan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang?
2. Bagaimana pola sebaran salinitas yang terdapat di kawasan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang?
3. Bagaimana hubungan salinitas terhadap jenis mangrove yang mendominasi di kawasan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang?
Kerangka Pemikiran
sangat tinggi, serta memungkinkan akan dapat merubah pola vegetasi mangrove yang terdapat di kawasan tersebut.
Penurunan vegetasi mangrove dapat berakibat pada banyaknya pemasukan air laut sehingga akan menaikkan tingkat salinitas yang ada di kawasan mengrove, sehingga akan menghambat rencana pengelolaan yang akan dilakukan, dengan demikian perlu dilakukan upaya pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan, untuk itu perlu diketahui data mengenai analisis vegetasi dan pola sebaran salinitas. Secara ringkas kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Ekosistem Mangrove
Percut Sei Tuan
Pemanfaatan Ekosistem
Pengukuran Kualitas (Pola Sebaran Salinitas) Analisis Vegetasi
Mangrove
Penurunan Kerapatan Vegetasi Mangrove
Pengelolaan
Tujuan Penelitian
1. Mengkaji kondisi vegetasi mangrove dari kerapatan, frekuensi, dominansi dan indeks keanekaragaman jenis mangrove di kawasan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.
2. Mengkaji pola sebaran salinitas yang terdapat di kawasan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.
3. Mengkaji hubungan salinitas terhadap jenis mangrove yang mendominasi di kawasan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.
Manfaat Penelitian
KABUPATEN DELI SERDANG
SUMATERA UTARA
SKRIPSI
MUHAMMAD DAFIKRI
120302051
Skripsi Sebagai Satu Diantara Beberapa Syarat untuk dapat Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Muhammad Dafikri
NIM : 120302051
Menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Vegetasi dan Pola Sebaran Salinitas di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bagian akhir skripsi ini.
Medan, April 2016
Judul : Analisis Vegetasi dan Pola Sebaran Salinitas di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara
Nama : Muhammad Dafikri
NIM : 120302051
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yunasfi, M.Si Zulham Apandy Harahap, S.kel, M.Si
Ketua Anggota
Mengetahui,
Dr. Ir. Yunasfi, M.Si
Ketua Program StudiManajemen Sumberdaya Perairan
Penulis dilahirkan di Kota Medan, pada tanggal 31 Mei 1994 dari ayah yang bernama Syamsul Azharidan ibuyang bernama Suryani. Penulis merupakan anak kedua dari 2 bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan formal pada SD NEGERI No. 067952 MEDAN Tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMP NEGERI 28 MEDANdan lulus pada tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMA SWASTA PRIMBANA MEDAN dan lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2012 penulis diterima di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur UMB-PTN pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan dengan mengambil minat studi Konservasi Ekosistem Pesisir.
Selain mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif di dalam organisasi seperti menjadi anggota Ikatan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (IMASPERA), Pemerintah Mahasiswa Fakultas Pertanian (PEMA-FP), Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI) dan Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (HIMAPIKANI). Penulis juga aktif dan pernah menjadi Ketua Panitia Pelaksana dalam kegiatan Penerimaan Mahasiswa Muslim Baru tahun 2013 serta kegiatan Seminar Nasional dan Musyawarah Wilayah I HIMAPIKANI tahun 2014. Penulis juga aktif sebagai asisten Laboratorium Biologi Perairan tahun 2014-2015, LaboratoriumEkosistem Perairan Pesisir tahun 2015 dan Laboratorium Hama Penyakit Ikan tahun 2016.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telahmemberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikanSkripsi dengan judul “Analisis Vegetasi dan Pola Sebaran Salinitas di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk melaksanakan ujian meja hijau dalam rangka penyelesaian Tugas Akhir di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada komisi pembimbing Bapak Bapak Dr. Ir. Yunasfi, M.Si dan Bapak Zulham Apandy Harahap, S.Kel, M.Si yang telah memberikan masukan, arahan, nasehat dan saran dalam penulisan Skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat membangun untuk kesempurnaan Skripsi ini.Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih, semoga Skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.
Medan, April 2016
DAFTAR ISI
Pola Penyebaran Mangrove... 12
Zonasi Mangrove ... 15
Pengaruh Salinitas Terhadap Mangrove ... 15
METODE PENELITIAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 24
Komposisi dan Struktur Vegetasi Mangrove ... 24
Data Vegetasi Mangrove ... 25
Stasiun I ... 25
Stasiun II ... 26
Stasiun III ... 27
Pola Sebaran Salinitas ... 29
Pengambilan Titik Salinitas ... 30 Pembahasan ... 31 KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Kerangka Pemikiran ... 5 2. Pola Penyebaran Mangrove ... 13 3. Peta Lokasi Penelitian di Kawasan Ekosistem Mangrove Percut Sei
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Parameter Kualitas Air yang Diukur dalam Penelitian ... 23
2. Komposisi dan Jenis Mangrove ... 24
3. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Semai (Stasiun I) ... 25
4. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Pancang (Stasiun I) ... 25
5. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Pohon (Stasiun I) ... 26
6. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Semai (Stasiun II) ... 26
7. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Pancang (Stasiun II) ... 27
8. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Pohon (Stasiun II) ... 27
9. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Semai (Stasiun III) ... 27
10. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Pancang (Stasiun III) ... 28
11. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Pohon (Stasiun III) ... 28
12. Hasil Pengukuran Parameter Kualitas Lingkungan ... 30
DAFTAR LAMPIRAN
No. Teks Halaman
1. Rencana Jadwal Penelitian ... 38
2. Rincian Biaya Penelitian ... 39
3. Gambar Alat dan Bahan Penelitian ... 40
4. Gambar Lokasi Penelitian ... 42
5. Gambar Prosedur Penelitian ... 43
6. Gambar Spesies Mangrove yang Ditemukan ... 44
7. Perhitungan Indeks Keanekaragaman Semai, Pancang dan Pohon ... 45