HUBUNGAN ANTARA KERAPATAN POPULASI
Globodera
spp. DENGAN TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT
DAN HASIL UMBI PADA TANAMAN KENTANG
SELAMET
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Hubungan antara Kerapatan Populasi
Globodera spp. dengan Tingkat Keparahan Penyakit dan Hasil Umbi Pada Tanaman Kentang” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2012
Selamet
ABSTRACT
SELAMET. The Relationship Between Population Density of Globodera spp. with Disease Severity and Tuber Yield of Potato Crop. Supervised by SUPRAMANA and ALI NURMANSYAH.
This study was carried out to estimate the population of Globodera spp. associated with disease severity and potato yield. This research was conducted from September 2011 until January 2012 in one of the central potato plantation in Dieng Plateau, Central Java. Identification of Potato Cyst Nematoda (PCN) species using morphological character was performed by the perennial pattern method. Research was conducted using 2-stages sampling method with the first stage as altitude and second stage as disease severity. Soil and plant sampling was taken from two levels of elevation, i.e 1250-1500 m and 1750-2000 m above sea level (asl). Three locations were selected for each elevation and 3 focus for each location. Five plant with different level of disease severity were taken. Disease severity was assessed based on the plant height, degree of chlorosis, fresh weight and tuber weight per plant. PCN population were counted based on the number of cyst per 100 ml soil and the average number of eggs and juvenile’s per cyst. The increasing of NSK density has a positive correlation with the increasing of disease severities which shown by a decrease in plant height as well as fresh plant weight, and an increase in percentage of plant chlorosis. In contrary, there was a negative correlation in number of tuber produced by plant which shown by the decrease of
tuber yield when there was an increase of NSK population. Population of
G. pallida dominated population of G. rostochiensis at both altitudes. The prevalence levels of G. pallida to G. rostochiensis were 63% at 1250-1500 m and 70% at 1750-2000 m asl.
RINGKASAN
SELAMET. Hubungan antara Kerapatan Populasi Globodera spp. dengan Tingkat Keparahan Penyakit dan Hasil Umbi Pada Tanaman Kentang. Dibimbing oleh SUPRAMANA dan ALI NURMANSYAH.
Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan komoditas yang memiliki arti penting di Indonesia dan merupakan bahan makanan alternatif yang mampu menggantikan beras. Nematoda Sista Kentang/NSK merupakan nematoda penting pada tanaman kentang karena kemampuan merusak dan mematikan tanaman kentang yang sangat besar. Di Indonesia belum pernah dilakukan estimasi untuk mengetahui pengaruh populasi NSK terhadap kerusakan yang ditimbulkan serta hasil umbi pada tanaman kentang. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan antara tingkat kerapatan Globodera spp. dengan tingkat keparahan penyakit dan hasil umbi tanaman kentang.
Survei dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 sampai dengan Januari 2012 di sentra pertanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Identifikasi spesies NSK dengan menggunakan karakter morfologi yang dilakukan dengan metode pola perineal (perineal pattern). Penelitian menggunakan metode penarikan contoh berlapis 2 tahap dengan lapisan tahap pertama adalah ketinggian tempat dan lapisan tahap kedua merupakan keparahan penyakit. Pengambilan contoh dilakukan pada dua kisaran ketinggian yaitu: 1250-1500 m (T1) diatas
permukaan laut (dpl) dan 1750-2000 m dpl (T2). Pada tiap ketinggian diambil 3
lokasi (lahan pertanaman kentang) dimana tiap lokasi diambil sebanyak 3 foci. Pada setiap foci diambil 5 tanaman contoh dengan tingkat keparahan penyakit yang berbeda yaitu: tinggi (P4); agak tinggi (P3); sedang (P2); rendah (P1) dan tidak bergejala (P0). Keparahan penyakit diduga berdasarkan tinggi tanaman, derajat klorosis, berat segar dan berat umbi per tanaman. Pertambahan populasi NSK dihitung berdasarkan jumlah sista per 100 ml tanah, rata-rata jumlah telur dan juvenil per sista.
Pengambilan contoh tanah dilakukan pada tanaman yang menunjukkan gejala kerusakan tinggi sampai tidak bergejala. Contoh tanah yang diambil pada kedalaman 0-20 cm (daerah perakaran tanaman/rizosfer) sebanyak 250 ml. Contoh tanah tersebut kemudian dilakukan homogenitas secara merata kemudian ekstraksi sista NSK dilakukan terhadap 100 ml tanah/lokasi lahan contoh. Tanah dilakukan penyaringan dengan 2 saringan bertingkat yaitu yang berukuran 850 µm (bagian atas) dan 300 µm (bagian bawah). Tanah tersebut kemudian disemprot dengan air agar dapat terpisah antara partikel besar dan kecil. Bagian yang tersaring pada mesh berukuran 850 µm dibuang, dan yang tertampung dengan mesh berukuran 300 µm ditiriskan sampai kering, kemudian dicampur dengan ethanol 96% (1:3) dan diaduk hingga sista terangkat ke permukaan. Larutan yang mengandung sista disaring, sista yang menempel di kertas saring diambil dan dihitung.
morfologi lain yang dipergunakan untuk membedakan spesies Globodera spp. adalah dengan melihat bentuk knob stilet dari J2.
Parameter yang diamati setelah proses ekstraksi ini dilakukan meliputi, jumlah sista per 100 ml tanah serta rata-rata jumlah telur dan juvenil 2 (J2) per sista. Analisis sidik ragam dan regresi menggunakan program Minitab 16 untuk mengetahui hubungan antara kerapatan populasi dengan setiap variabel yang diamati.
Kerapatan populasi NSK cenderung meningkat seiring dengan semakin tingginya tempat dimana populasi terendah berada pada ketinggian 1450 m yaitu 2897 ekor/100 ml tanah yang berada di Desa Serang Kecamatan Kejajar-Wonosobo dan tertinggi pada 1924 m dpl yaitu 563 266 ekor/100 ml tanah di Desa Karang Tengah Kecamatan Batur-Banjarnegara. Berdasarkan analisis regresi hubungan antara ketinggian tempat dan kerapatan NSK dapat dimodelkan bahwa pada ketinggian 1450 m dpl sampai 2000 m dpl, penambahan populasi NSK untuk setiap satu meter kenaikan tempat adalah sebesar 581 ekor/100 ml tanah.
Peningkatan kerapatan populasi NSK berkorelasi positif dengan peningkatan tingkat keparahan penyakit, yang ditunjukkan pada penurunan tinggi dan berat segar tanaman serta peningkatan persentase klorosis tanaman kentang, dan berkorelasi negatif dengan banyaknya umbi yang dihasilkan oleh tanaman kentang. Gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh NSK adalah daun menjadi tebal dan seluruh tangkai menjadi memendek dan kerdil serta bagian tepi daun mengalami nekrotik bahkan seluruh daun menjadi kekuningan (klorosis).
Sista NSK berisi telur dan juvenil, berwarna putih atau kuning keemasan dengan bentuk yang tidak seragam (bulat, sedikit elips atau ovoid). Juvenil berbentuk seperti cacing dan bagian kepala set off berkembang dengan baik. Satu sista berisi massa telur dan J2 sekitar 500 butir sampai 600 butir. Bagian knob stilet J2 untuk G. rostochiensis membulat ke arah belakang, sedangkan G. pallida
bentuknya agak datar/cekung. Spesies NSK yang dominan pada areal pertanaman kentang adalah G. pallida. Prevalensi G. pallida terhadap G. rostochiensis pada ketinggian 1250-1500 m dpl sebesar 63% sedangkan pada 1750 – 2000 m dpl mencapai 70%.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut kerapatan populasi NSK dapat dipergunakan untuk melakukan perkiraan terhadap potensi kerugian yang diakibatkan oleh NSK pada tanaman kentang di Indonesia.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
HUBUNGAN ANTARA KERAPATAN POPULASI
Globodera
spp. DENGAN TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT
DAN HASIL UMBI PADA TANAMAN KENTANG
SELAMET
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Hubungan Antara Kerapatan Populasi Globodera spp. Dengan Tingkat Keparahan Penyakit dan Hasil Umbi Pada Tanaman Kentang
Nama Mahasiswa : Selamet
NIM : A352100084
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr Ir Supramana, MSi Ketua
Dr Ir Ali Nurmansyah, MSi Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Fitopatologi
Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc
Dekan
Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
PRAKATA
Bismillahi rohmaani rohiim. Alhamdulillahi robbil’alamin.
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulisan tesis yang berjudul “Hubungan Antara Kerapatan Populasi Globodera spp. dengan Tingkat Keparahan Penyakit dan Hasil Umbi pada Tanaman Kentang” dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada Dr Ir Supramana, MSi dan Dr Ir Ali Nurmansyah, MSi atas bimbingan, kesabaran,
pengkayaan wawasan, saran, kritik dan dukungan moril yang sangat besar peranannya dalam penyelesaian penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ir Banun Harpini, MSc selaku kepala Badan Karantina Pertanian atas kesempatan dan sumber dana yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program S2 di Institut Pertanian Bogor dan kepada Dr Ir Arifin Tasrif, MSc MM yang bersedia menjadi Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis.
Rasa hormat yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta, ayahanda Danuji, ibunda Suhermi, kakanda Sadikin, Adinda Siti Aminah, Suyatmi dan Achmad Mulyadi yang telah mencurahkan kasih sayang, doa dan bimbingan. Ucapan terima kasih yang tidak terhingga juga penulis ucapkan kepada istri tercinta Galih Nurani Murni dan ananda tersayang Eka Auliya Ardiningrum atas kesabaran, pengertian, kasih sayang dan dukungannya. Ucapan terima kasih disampaikan pula pada Mertua Bapak Sukiran dan Ibu Tuminah, dan adik ipar Desi, Yanik dan Gentur atas doa, dorongan semangat dan bantuan moril selama ini.
Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada rekan-rekan kepada sahabat-sahabat saya Ratih, Hendro, Yuli, Arief, Riri, Aulia, Joni, Fitri, Aprida, Nurul, Uwi, Erna, Rahma dan Lulu atas persahabatan dan kerjasamanya. Kepada teman-teman di Lab. BBKP Tanjung Priok dan Wilker Kantor Pos Bogor yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas kebersamaan dalam suka dan duka. Akhir kata saya haturkan terima kasih kepada semua pihak dan semoga hasil penelitian ini bermanfaat untuk kepentingan umat manusia dan khasanah ilmu pengetahuan di Indonesia khususnya.
Wassalam.
Bogor, Mei 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sangasanga Kabupaten Kutai Kartanegara tanggal 01 Maret 1980, sebagai anak kedua dari lima bersaudara, pasangan Bapak Danuji
dan Ibu Suhermi. Penulis menikah dengan Galih Nurani Murni pada tahun 2006 dan dikaruniai anak bernama Eka Auliya Ardiningrum pada tahun 2007.
Gelar Sarjana Strata I penulis peroleh dari Program Studi Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman di Samarinda Kalimantan Timur pada tahun 2004.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR GAMBAR ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xxi
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 2
Hipotesis ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Nematoda Sista Kentang ... 5
Klasifikasi ... 5
Morfologi ... 5
Bioekologi ... 7
Sebaran Nematoda Sista Kentang ... 10
Sebaran Geografis ... 10
Sebaran Lokal ... 14
Karakteristik NSK Berdasarkan Morfologi ... 15
Pengaruh NSK pada Tanaman kentang ... 17
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 21
Metode Penelitian ... 21
Pengujian Awal ... 21
Pelaksanaan Penelitian ... 22
Analis Data ... 23
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Awal ... 25
Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit Tanaman dengan Populasi NSK ... 26
Identifikasi Spesies NSK ... 29
Sista ... 29
Telur ... 32
Juvenil ... 32
Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit dengan Pertumbuhan dan Hasil Umbi ... 33
Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit dengan Tinggi Tanaman 33 Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit dengan Persentase Klorosis Tanaman ... 35
Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit dengan Berat Segar Tanaman ... 38
KESIMPULAN DAN SARAN ... 43
DAFTAR PUSTAKA ... 45
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Daerah sebaran NSK di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah. ... 12
2 Perbedaan ciri morfologi G. rostochiensis dengan G. pallida . ... 17
3 Rata-rata kerapatan NSK pada tiga tingkat keparahan penyakit
tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng ... 25
4 Rata-rata tinggi tanaman, klorosis, berat segar dan berat umbi tanaman
kentang pada tiga tingkat keparahan penyakit di Dataran Tinggi Dieng 26
5 Rata-rata kerapatan NSK pada lima tingkat keparahan penyakit dan
dua kisaran ketinggian tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng . ... 29
6 Rata-rata persentase klorosis pada lima tingkat keparahan penyakit
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Morfologi G. rostochiensis dan G. pallida . ... 6
2 Skema siklus hidup Globodera spp. . ... 8
3 Perbedaan warna sista antara G. rostochiensis dengan G. pallida ... 15
4 Karakteristik morfologi untuk identifikasi NSK . ... 16
5 Pola pengambilan contoh tanah dan tanaman . ... 22
6 Hubungan antara ketinggian tempat dengan kerapatan populasi NSK ... 27
7 Hubungan kerapatan NSK dengan tingkat keparahan penyakit pada ketinggian 1250 m dpl -1500 m dpl dan 1750 m dpl - 2000 m dpl ... 28
8 Sista Globodera spp. pada tanaman kentang yang berasal dari Dataran Tinggi Dieng yang tidak memiliki terminal cone (lingkaran kuning) .... 30
9 Proporsi spesies NSK pada lokasi-lokasi penelitian di Dataran Tinggi Dieng; Gr: Globodera rostochiensis; GP: G. pallida ... 31
10 Sista Globodera spp.: (a) yang dipecahkan, (b) telur dan J2 ... 32
11 Bagian anterior NSK: (a) knob stilet G. rostochiensis yang bentuknya membulat kearah posterior (1000 x), (b) knob stilet G. pallida yang bentuknya agak datar/cekung (10009x) ... 33
12 Hubungan tinggi tanaman dengan tingkat keparahan penyakit pada ketinggian 1250 m dpl -1500 m dpl dan 1750 m dpl - 2000 m dpl ... 34
13 Gejala NSK: (a) pada pertanaman kentang, (b) pada individu tanaman, (c) sista NSK yang ada di perakaran tanaman kentang ... 35
14 Hubungan persentase klorosis dengan tingkat keparahan penyakit pada ketinggian 1250 m dpl -1500 m dpl dan 1750 m dpl - 2000 m dpl ... 37
15 Hubungan berat segar tanaman dengan tingkat keparahan penyakit pada ketinggian 1250 m dpl -1500 m dpl dan 1750 m dpl - 2000 m dpl ... 38
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15Hasil analisis sidik ragam tingkat keparahan penyakit terhadap tinggi, persentase klorosis, berat segar, berat umbi tanaman populasi nematoda pada penelitian pendahuluan ………..……….…
Data lokasi pengambilan sampel ………..
Hasil analisis regresi: kerapatan populasi NSK dengan ketinggian
tempat ………...
Hasil analisis sidik ragam hubungan tingkat keparahan penyakit terhadap kerapatan populasi nematoda ……….
Identifikasi morfologi sista NSK ………..………
Hasil pengamatan pola perineal NSK ………...
Jumlah telur dan J2 per sista Globodera spp. pada 6 lokasi tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng ……….
Hasil analisis sidik ragam tingkat keparahan penyakit terhadap tinggi
tanaman …...………...
Hasil analisis sidik ragam tingkat keparahan penyakit terhadap persentase klorosis ……….…...
Hasil analisis sidik ragam tingkat keparahan penyakit terhadap berat segar tanaman ……...……….…...
Hasil analisis sidik ragam tingkat keparahan penyakit terhadap hasil
umbi kentang ……….…………...
Hasil analisis regresi antara tinggi tanaman dan persentase klorosis
terhadap jumlah nematoda ………
Hasil analisis regresi antara berat segar dan hasil umbi tanaman
terhadap jumlah nematoda ……….………..
Korelasi tinggi tanaman, persentase klorosis, berat segar, dan hasil
umbi terhadap jumlah nematoda ………..
Beberapa tingkat persentase klorosis tanaman kentang karena infeksi
NSK ……….
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menurut O’Sullivan (1997), kentang (Solanum tuberosum L.) mempunyai kandungan zat karbohidrat yang lebih tinggi (205) dari sumber lain seperti beras
(138), jagung (155), sorgum (100) atau gandum (142 Mega Joule/ha/hari). Hal
tersebut menjadikan kentang sebagai bahan makanan alternatif yang mampu
mensubstitusi ketergantungan masyarakat terhadap beras. Bahkan untuk kalangan
tertentu (misalnya penderita diabetes), kentang merupakan makanan pokok untuk
diet karena kandungan kadar gulanya yang rendah sehingga kentang merupakan
komoditas yang penting dan mampu berperan untuk memenuhi gizi masyarakat.
Berdasarkan data BPS (2011), di Indonesia pada beberapa tahun terakhir
mengalami penurunan produksi kentang. Pada tahun 2007 terjadi penurunan
produksi kentang dari produksi 1 011 911 ton pada tahun 2006 menjadi 1 003 732
ton pada tahun 2007 atau turun sebesar 8179 ton. Pada tahun 2010 terjadi
penurunan produksi kentang sebesar 115 725 ton, yaitu dari produksi 1 176 304
ton pada tahun 2009 menjadi 1 060579 ton pada tahun 2010. Selain penurunan
produksi kentang secara nasional pada tahun 2010 juga terjadi penurunan
produktivitas sebanyak 0.56 ton/ha. Rendahnya produktivitas sangat dipengaruhi
oleh berbagai hal antara lain iklim, teknik budidaya, mutu benih, kesuburan tanah
serta gangguan hama dan penyakit. Gangguan hama dan penyakit ini merupakan
salah satu penyebab utama menurunnya produksi kentang di Indonesia
dibandingkan faktor-faktor lainnya.
Salah satu organisme pengganggu tumbuhan yang menjadi kendala utama
dalam penanaman kentang adalah nematoda Globodera spp.. Nematoda tersebar
di wilayah dingin di daerah tropis, subtropis dan daerah yang beriklim sedang di
dunia (Luc et al. 2005). Nematoda sista kentang/NSK (Globodera spp.)
merupakan nematoda terpenting pada pertanaman kentang pada beberapa dataran
tinggi antara lain dataran tinggi di Filipina, Amerika Serikat serta pegunungan
Andes di Amerika Selatan (EPPO 2011). Di Indonesia, penyebaran telah ada di
Sumatra Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (Hadisoeganda 2006).
Jawa Tengah, dan Jawa Barat. sedangkan G. pallida terdapat di wilayah
Pegunungan Dieng Jawa Tengah (Lisnawita 2007; Nurjanah 2009).
Globodera spp. (NSK) merupakan nematoda terpenting pada tanaman
kentang karena kemampuan merusak dan mematikan tanaman kentang yang
sangat besar. Di luar negeri, kerugian yang ditimbulkan cukup besar yaitu antara
50% sampai 80% (Mulyadi et al. 2003) bahkan di Australia biaya yang harus
dikeluarkan akibat adanya infeksi nematoda ini dalam kurun kurun waktu 20
tahun terakhir sangat besar yaitu rata-rata mencapai $18.7 milyar dengan kisaran
$11.9 – 27.0 milyar per tahun (Hodda dan Cook 2009). Di wilayah kota Batu,
Jawa Timur dari areal seluas 1.5 ha yang biasanya mampu menghasilkan sekitar
24 ton produksinya hanya sekitar 7 ton (Hadisoeganda 2006).
Kehilangan hasil oleh NSK disebabkan berkurangnya jumlah luas daun
untuk melakukan fotosintesis dan sistem perakaran yang terganggu. Sejauh ini
belum pernah dilakukan penelitian mengenai jumlah telur maupun sista nematoda
Globodera spp. yang mampu menimbulkan kehilangan hasil pada tanaman
kentang di Indonesia. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut maka perlu
dilaksanakan penelitian mengenai hubungan antara jumlah sista/telur Globodera
spp./g tanah dengan tingkat kerusakan/intensitas penyakit yang ditimbulkan pada
tanaman kentang.
Perumusan Masalah
Menurut Nurjanah (2009), di Dataran Tinggi Dieng pada ketinggian 1250 –
1500 m diketahui bahwa spesies NSK yang dominan adalah G. rostochiensis
sedangkan G. pallida lebih dominan pada pada ketinggian 1750-2000 m dpl.
Ditambahkan oleh Hadisoeganda (2006) bahwa hasil penelitian di Chili
menunjukkan bahwa apabila populasi awal NSK sebesar 12, 32, dan 128 telur per
g tanah, produksi kentang akan turun sebanyak 20, 50 dan 70%. Hasil penelitian
di Jerman memperlihatkan bahwa pada populasi awal sebesar 100, 1000, dan 10
000 juvenil per 100 g tanah, kehilangan hasil kentang mencapai 11, 27, dan 43%.
Hasil penelitian di Belarusia mencatat bahwa pada populasi awal NSK sebesar
1000, 5000, 10 000, dan 25 000 juvenil per 100 g tanah, kerugian produksi
belum pernah dilakukan estimasi untuk mengetahui pengaruh populasi sista baik
itu untuk G. rosthochiensis maupun G. pallida terhadap kerusakan yang
ditimbulkan serta hasil umbi pada tanaman kentang.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara tingkat
kerapatan Globodera spp. dengan tingkat keparahan penyakit dan hasil umbi
TINJAUAN PUSTAKA
Nematoda Sista Kentang
Klasifikasi
Globodera spp. merupakan nematoda yang membentuk sista yang
menimbulkan masalah di Eropa sejak abad XIX. Nama ‘nematoda sista’ berasal
dari tubuh betina dewasa yang mengalami penggelembungan dengan kutikula
tebal dan keras apabila mati dan tetap berada di dalam tanah sebagai sista yang
mengandung telur yang berembrio (Dropkin 1991). Menurut CABI (2007) dan
Luc et al. (2005), klasifikasi NSK dalam sistematika taksonomi adalah sebagai
berikut:
- Domain : Eukaryota
- Kingdom : Metazoa
- Phylum : Nematoda
- Ordo : Tylenchida
- Sub ordo : Tylenchina
- Superfamili : Tylenchoidea
- Family : Heteroderidae
- Genus : Globodera spp.
- Species : - G. rostochiensis (Wollenweber) Mulvey dan Stone
- G. pallida (Stone) Mulvey dan Stone
Morfologi
G. rostochiensis. Menurut CABI (2007), telur berada di dalam tubuh sista.
Nematoda ini tidak membentuk kantung telur. Permukaan telurnya halus dan tidak
terdapat mikrovili, berukuran panjang 101-104 µm dan lebar 46-48 µm. Betina
dewasa dapat terlihat di bagian korteks akar pada saat 1-6 bulan setelah invasi oleh
juvenile stadia 2 (J2). Betina dewasa memiliki tubuh berwarna putih hingga
kuning emas. Memiliki stilet yang panjangnya 23 ± 1 µm; lebar kepala 5.2 ± 0.7
µm. Knob stilet cenderung mengarah ke bagian belakang. Pori ekskresi
panjang 445 ± 50 µm dan lebar 382 ± 60 µm; panjang bagian leher 104 ± 19 µm.
Di dalam sista terdapat telur-telur. Sista terbentuk dari kutikula tubuh imago
betina. Jantan dewasa memiliki tubuh berukuran panjang 0.89-1.27 mm dan lebar
28 ± 1.7 µm; lebar kepala 11.8 ± 0.6 µm dan panjangnya 7.0 ± 0.3 µm; panjang
stilet 26 ± 1.0 µm; panjang ekor 5.4 ± 1.0 µm dan lebarnya 13.5 ± 0.4 µm; panjang
spikula 35.0 ± 3.0 µm; dan panjang gubernakulum 10.3 ± 1.5 µm. Imago jantan
tubuhnya vermiform dengan ekor yang pendek dan tidak memiliki bursa. Tubuh
berukuran 468 ± 100 µm dan lebar 18 ± 0.6 µm; panjang kepala 4.6 ± 0.6 µm;
panjang stilet 22 ± 0.6 µm; dan panjang area hialin pada ekor adalah 26.5 ± 2.0
µm. Kepalanya membulat dengan 6-7 anulus, dan berkembang dengan baik
(Gambar 1).
Gambar 1 Morfologi G. rostochiensis: (a) juvenil, (b) bagian kepala dari juvenil instar 2 (J2), (c) bagian tengah tubuh J2, (d) bagian faring dari J2, (e) bagian faring dari jantan, (f) bagian ujung/ekor dari jantan, (g) bagian lateral tubuh jantan, (h) sista, (i) bagian anterior betina, (j) jantan. G. pallida: (k) seluruh tubuh, (l) anterior, (m) kepala, (n) ekor, (o) bagian tengah tubuh, (p) bagian tengah ekor, (q) head en faceat level of lips, (r) head en face at level of base (Stone 1972 dalam Nijs dan Karssen 2011).
a b
c
d e f
g
i
k l
j
p o
n m
q
G. pallida. Telur terdapat di dalam sista tetapi tidak menghasilkan kantung telur. Permukaan telur halus dan tidak terdapat mikrovili. Telur berukuran 108.3 ± 2.0
µm x 43.2 ± 3.2 µm. Betina dewasa memiliki stilet berukuran 27.4 ± 1.1 µm,
bagian kepala melebar di bagian pangkalnya (berukuran 5.2 ± 0.5 µm). Betina
dewasa memiliki tubuh yang membulat, berwarna putih atau krem, tergantung
patotipe, fase ini terdapat di dalam sel akar dan berlangsung selama 4-6 minggu
(tidak ada fase yang berwarna kuning atau kuning emas seperti pada
G. rostochiensis). Betina dewasa dapat menghasilkan sista yang berdinding keras
yang berasal dari bagian tubuhnya yang sudah mati. Sista berwarna cokelat tua
dan merupakan pelindung bagi telur. Bentuk sista hampir identik dengan bentuk
tubuh betina dewasa, meskipun biasanya bagian kepala sudah tidak ada. Sista
berukuran lebar 534 ± 66 µm dan panjang (tidak termasuk bagian leher) 579 ± 70
µm, panjang bagian leher sendiri adalah 188 ± 20 µm. Jantan dewasa memiliki
bentuk tubuh vermiform, bagian ekornya yang pendek melingkar sebesar 90-180°,
memiliki satu testis, serta memilki satu gubernakulum yang kecil dan tidak
berornamen. Panjang tubuhnya adalah 1200 ± 100 µm, dan lebar 28.4 ± 1.0 µm,
panjang kepala 6 ± 0.3 µm dan lebar 13.5 ± 0.5 µm, panjang stilet 27.5 ± 1.0 µm,
panjang bagian ekor 5.2 ± 1.4 µm dan lebar 13.5 ± 2.1 µm. J2 merupakan fase
infektif dalam siklus hidup. Juvenil G. pallida biasanya memiliki tubuh yang
berukuran lebih besar dan panjang daripada G. rostochiensis. Selain itu, juvenil
G. pallida memiliki knob yang bentuknya membulat ke arah anterior (agak
datar/cekung), sedangkan G. rostochiensis memiliki knob stilet yang bentuknya
membulat ke arah posterior. Juvenil mengalami 4 kali ganti kulit. Bagian ujung
ekornya membulat, stiletnya berkembang dengan baik. Tubuhnya berukuran
panjang 486 ± 2.8 µm dengan lebar 19.3 ± 0.9 µm, panjang stilet 23.0 ± 1.0 µm,
panjang bagian ekor 51.1 ± 2.8 µm dan lebar 12.1 ± 0.4 µm (Gambar 1) (CABI
2007).
Bioekologi
Menurut Turner dan Evans (1998), siklus hidup NSK berlangsung antara
38-48 hari (tergantung pada suhu tanah), dan terdiri dari 3 fase yaitu: fase telur,
fase juvenil (yang terdiri dari juvenil 1-juvenil 4) dan fase dewasa yang terdiri dari
Gambar 2 Skema siklus hidup Globodera spp. (Sumber: Evans dan Stone 1977 dalam Turners dan Evans 1998).
Telur berada di dalam sista dalam keadaan 1 sel, kemudian membelah
menjadi 2 sel, 3 sel, 4, sel dan seterusnya sehingga terbentuk juvenil stadia 1 (J1)
dan mengalami pergantian kulit menjadi J2 (Lisnawita 2007). Bagian yang aktif
dari siklus hidup dimulai ketika juvenil stadia 2 (J2) menetas dari telur. J2 yang
menetas dari telur, keluar dari sista, dan melakukan penetrasi pada ujung akar
tanaman inang. Selanjutnya J2 masuk ke dalam akar di dekat ujung/tudung akar
atau akar-akar lateral dengan menusukkan stiletnya pada sel epidermis, masuk dan
bergerak dalam akar secara intraseluler dan menyebabkan kerusakan pada sel-sel
yang dilalui. Interaksi inang-parasit mempengaruhi perkembangan juvenil untuk
menjadi betina atau jantan. Jenis kelamin dipengaruhi oleh kecukupan nutrisi.
Nutrisi yang kurang akan menghasilkan NSK jantan, sebaliknya jika nutrisi cukup
tersedia akan menghasilkan betina. Pada saat terjadi infeksi berat, NSK jantan
menjadi lebih dominan, dan sebaliknya. Proses pelukaan terjadi pada saat NSK
betina membengkak, memecah korteks akar, dan bagian posterior menyembul
keluar, sedangkan bagian kepala dan leher masih tetap berada di dalam akar.
Dalam perkembangannya, NSK jantan berbentuk cacing (vermiform) melingkar di
dalam kutikula larva J4 dan memecah kutikula, kemudian keluar dari akar dan
[image:30.595.190.413.100.308.2]Penetasan J2 terjadi karena ada rangsangan dari akar tanaman inang
terutama bagian ujung akar. Rangsangan ini bersifat spesifik yaitu hanya terjadi
pada tanaman dari famili Solanaceae seperti kentang, tomat, terung dan
S. dulcamara (sejenis gulma dari famili Solanaceae) (Turner dan Evans 1998;
Jatala dan Bridge 1995). Menurut Perry (1998), sedikitnya ada 25 senyawa kimia
yang disebut faktor penetasan (hatching factors) yang berperan dalam penetasan
telur NSK. Rangsangan eksudat akar menyebabkan 60% - 80% telur menetas
(Padil 2011).
Reproduksi NSK terjadi secara seksual. Nematoda betina menghasilkan
feromon untuk memikat atau menarik jantan yang berada di dalam tanah.
Perkawinan segera terjadi beberapa saat kemudian. Setelah kawin, setiap betina
menghasilkan sekitar 200 – 500 telur, kemudian betina mati dan dinding tubuhnya
akan membungkus telur dan membentuk sista. Perkembangan embrio terjadi di
dalam telur hingga J2. Penetasan kembali terjadi bila ada rangsangan yang
dihasilkan oleh akar tanaman inang dan kondisi lingkungan yang sesuai dan siklus
hidup akan berulang kembali. Keperidian NSK yang berasal dari Jawa Timur dan
Jawa Tengah mencapai optimum pada temperatur antara 15-21 ºC, dan menurun
pada temperatur di bawah 15 ºC atau di atas 21 ºC (Lisnawita 2007).
NSK mempunyai struktur untuk mempertahankan diri di dalam tanah yang
disebut sista. Sista merupakan tubuh betina yang telah mati, yang di dalamnya
berisi telur (Lisnawita 2007). Sista dan telur merupakan stadia yang persisten dari
siklus hidup NSK. Sista yang baru terbentuk mengandung sekitar 500 telur yang
dapat bertahan hidup selama 30 tahun. Ketika tidak ada tanaman kentang, sista
tetap tinggal di dalam tanah, sebagian dari sista akan menetas secara alami untuk
mengurangi kepadatan populasi, dan sebagian sista lainnya akan tetap berada di
dalam tanah untuk waktu yang lama tanpa inang. Kemampuan bertahan hidup,
reproduksi dan dinamika populasi NSK sangat dipengaruhi oleh temperatur,
kelembaban, panjang hari dan faktor lingkungan di sekitarnya (Lisnawita 2007).
Kondisi yang mendukung perkembangan kentang juga sangat
menguntungkan bagi perkembangan dan kelangsungan hidup nematoda.
Nematoda ini berkembang sangat baik dalam suhu tanah yang sejuk, sehingga
perkembangan dan reproduksinya. Kelembaban tanah pada kapasitas lapang akan
merangsang pergerakan juvenil sedangkan kandungan unsur hara (nutrisi) tanah
tidak berpengaruh pada nematoda kecuali yang disebabkan oleh aktivitas tanaman.
Selain itu tingkat toleransi pH tanah yang sesuai untuk perkembangan tanaman
kentang juga cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan nematoda sista emas
(Jatala dan Bridge 1995).
Telur nematoda dapat tetap hidup didalam sista selama 30 tahun di dalam
tanah pada lingkungan yang tidak mendukung (CABI 2007). Mereka mampu
bertahan terhadap suhu dingin yang ekstrim (-15 0C) dan di dalam tanah yang
kering untuk jangka waktu yang lama. Sebagian besar telur akan menetas apabila
dirangsang oleh eksudat akar tanaman inang. Nematoda akan tersebar sebagai
sista di dalam tanah yang terinfestasi dan terbawa ke tempat lain oleh alat-alat
pertanian serta umbi bibit yang telah terkontaminasi ataupun oleh air irigasi (Jatala
dan Bridge 1995).
Setelah terjadi perkawinan dan selanjutnya terbentuk sista, J2 yang belum
menetas akan tetap berada di dalam sista selama bertahun-tahun (mengalami
dormansi). Dormansi yang terjadi pada NSK dapat dibedakan menjadi 2 yaitu
quiescent dan diapause. Quiescent (diam) dipicu oleh faktor lingkungan yang
tidak mendukung bagi perkembangan (misalnya suhu terlalu tinggi/rendah,
kekeringan). Jika kondisi lingkungan mendukung atau karena ada rangsangan dari
eksudat akar kentang (Potato Root Difusate) maka telur yang berada dalam sista
tersebut akan menetas. Diapause dipicu faktor genetik, walaupun faktor
lingkungan mendukung bagi perkembangan NSK ataupun adanya rangsangan dari
eksudat akar kentang namun tidak terjadi penetasan (Perry 1998).
Sebaran Nematoda Sista Kentang
Sebaran Geografis
Berdasarkan EPPO (2006) G. rostochiensis telah terdapat di negara-negara Eropa
(Albania, Armenia, Austria, Belarusia, Belgia, Bulgaria, Kroasia, Cyprus,
Republik Czech, Denmark, Estonia, Kepulauan Faroe, Finlandia, Prancis, Jerman,
Yunani, Hungaria, Islandia, Irlandia, Italia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania,
Rusia, Serbia, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Switzerland, Turki, Ukraina,
Inggis, negara-negara di Asia (India, Indonesia, Jepang, Lebanon, Oman,
Pakistan, Philippina, Sri Lanka, Tajikistan), negara-negara di Afrika (Algeria,
Mesir, Libya, Afrika Utara, Sierra Leone, Afrika Selatan, Tunisia), negara-negara
di Amerika (Pegunungan Andean, Bolivia, Amerika Tengah, Chile, Colombia,
Equador, Mexico, Panama, Peru, Amerika Selatan, Amerika Serikat dan
Venezuela), dan negara-negara di Oceania (Australia, Selandia Baru, Norfolk
Island).
G. pallida telah menyebar di negara- negara Eropa (Austria, Belgia,
Kroasia, Cyprus, Republic Chech, Kepulauan Faroe, Prancis, Jerman, Yunani,
Hungaria, Iceland, Irlandia, Italia, Luxembourg, Malta, Belanda, Polandia,
Romania, Spanyol, Swedia, Switzerland, Ukrainq, Inggris, Turki), negara-negara
di Asia (India, Jepang, Malaysia, Pakistan), negara-negara di Afrika (Algeria,
Tunisia), negara-negara di Amerika (Pegunungan Andean, Argentina, Bolivia,
Kanada, Chile, Colombia, Equador negara di Oceania, Falkland Islands, Panama,
Peru, Amerika Selatan, Amerika Serikat, Venezuela dan Selandia Baru (EPPO
2006).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lisnawita (2007) diketahui
bahwa NSK telah terdeteksi di sentra pertanaman kentang yang ada di Jawa
Tengah dengan kepadatan populasi yang bervariasi. Di Desa Pawuhan
(Kabupaten Banjarnegara) ditemukan 400 sista per 100 ml tanah, Desa Karang
Tengah (Kabupaten Banjarnegara) dengan 270 sista, Desa Kepakisan (Kabupaten
Banjarnegara) dengan 21 sista dan Desa Patak Banteng (Kabupaten Wonosobo)
ditemukan 2 sista per 100 ml tanah.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Nurjanah (2009) di sentra
pertanaman kentang yang ada di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah menemukan
sista NSK pada 17 lokasi. Hasil survei juga menunjukkan bahwa NSK tersebar
dari ketinggian tempat mulai dari 1460 m dpl sampai dengan 2123 m dpl (Tabel
Tabel 1 Daerah sebaran NSK di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah
No
Urut Desa
Ketinggian Tempat Posisi Geogafi Suhu Tanah Umur Tanaman Jumlah Sista
1 Ds. Serang
Kec. Kejajar
Kab. Wonosobo
1460 m S: 070 14' 39,7"
E: 1090 57' 04,8"
23 0C 70 hari 94
2 Dsn. Sidareja
Ds. Batur
Kec. Batur
Kab. Banjarnegara
1597 m S: 070 14' 56,0"
E: 1090 48' 08,7"
21-23 0
C
60 hari 190
3 Dsn. Kalianget
Ds. Batur
Kec. Batur
Kab. Banjarnegara
1626 m S: 070 12' 11,0"
E: 1090 48' 38,7"
20 0C 70 hari 547
4 Dsn. Bujang Sari
Ds. Batur
Kec. Batur
Kab. Banjarnegara
1651 m S: 070 12' 19,2"
E: 1090 49' 21,6"
200C 80 hari 327
5 Ds. Bakal
Kec. Batur
Kab. Banjarnegara
1787 m S: 070 13' 22,4"
E: 1090 52' 16,6"
18,50C 80 hari 287
6 Ds. Bakal
Kec. Batur
1830 m S: 070 13' 09,0"
E: 1090 52' 45,6"
20 0C 70 hari 167
7 Ds. Bakal
Kec. Batur
1895 m S: 070 13' 08,1"
E: 1090 52' 43,8"
21 0C 100
hari
397
8 Dsn. Buntu
Ds. Bakal
Kec. Batur
Kab. Banjarnegara
1952 m S: 070 13' 00,8"
E: 1090 53' 07,3"
18 0C 90 hari 289
9 Ds. Patak Banteng
Kec. Kejajar
Kab. Wonosobo
1974 m S: 070 12' 63,0"
E: 1090 55' 47,7"
18 0C 50 hari 413
10 Dsn. Buntu
Ds. Bakal
Kec. Batur
1980 m S: 070 12' 52,9"
E: 1090 53' 12,3"
Tabel 1 (Lanjutan)
No
Urut Desa
Ketinggian Tempat Posisi Geogafi Suhu Tanah Umur Tanaman Jumlah Sista
11 Ds. Karang Tengah
Kec. Batur
Kab. Banjarnegara
1994 m S: 070 12' 39,1"
E: 1090 53' 05,7"
17 0C 75 hari 1007
12 Dsn. Karang Tengah
Ds. Karang Tengah
Kec. Batur
Kab. Banjarnegara
2037 m S: 070 12' 17,2"
E: 1090 53' 13,0"
19 0C 80 hari 571
13 Dsn. Pawuhan
Ds. Karang Tengah
Kec. Batur
2053 m S: 070 11' 56,8"
E: 1090 53' 59,3"
20 0C 90 hari 636
Kab. Banjarnegara
12 Dsn. Karang Tengah
Ds. Karang Tengah
Kec. Batur
2037 m S: 070 12' 17,2"
E: 1090 53' 13,0"
19 0C 80 hari 571
13 Dsn. Pawuhan
Ds. Karang Tengah
Kec. Batur
2053 m S: 070 11' 56,8"
E: 1090 53' 59,3"
20 0C 90 hari 636
14 Dsn. Telaga Merdada
Ds. Karang Tengah
Kec. Batur
Kab. Banjarnegara
2055 m S: 070 12' 14,3"
E: 1090 53' 25,3"
160C 60 hari 718
15 Ds. Dieng Kulon
Kec. Batur
Kab. Banjarnegara
2090 m S: 070 12' 10,4"
E: 1090 54' 21,2"
220C 50 hari 57
16 Ds. Karang Sari
Kec. Batur
Kab. Banjarnegara
2089 m S: 070 12' 47,6"
E: 1090 54' 36,7"
23 0C 85 hari 157
17 Dsn. Pawuhan
Ds. Karang Tengah
Kec. Batur
Kab. Banjarnegara
2123 m S: 070 12' 15,3"
E: 1090 53' 59,3"
21 0C 100
hari
102
[image:35.595.116.505.96.734.2]Sebaran Lokal
Sebaran Horizontal. Sebaran sista di lahan yang telah terinfestasi tidak bersifat acak. Setelah terjadi infestasi pada 1 (atau lebih dari 1) titik terlihat seperti terjadi
foci sekunder yang menyebar dengan cara yang serupa. Foci-foci kecil ini tampak
seperti terisolasi, tetapi seiring berjalannya waktu, sebenarnya seluruh lahan telah
terinfestasi oleh sista NSK walaupun di beberapa titik tingkat infestasinya masih
sangat rendah. Diperlukan beberapa tahun dari awal terjadinya infestasi di
lapangan sebelum kerusakan pada areal pertanaman terlihat untuk pertama
kalinya. Foci biasanya berbentuk ellips/lonjong dengan kepadatan populasi yang
besar di pusat infeksi. Sebaran dan bentuk foci sangat ditentukan oleh kegiatan
mekanis seperti panen yang tentunya berpengaruh pada perpindahan tanah yang
sekaligus untuk persiapan untuk penanaman berikutnya. Sebaran yang merata
dari sista yang berada di suatu area dan penyebaran sista dari titik infeksi awal
menunjukkan bahwa posisi sista tidak bisa dipisahkan dengan sista lainnya yang
berada di suatu areal (Haydock dan Perry 1998).
Distribusi frekwensi jumlah nematoda tidak mengandung informasi spasial
yang benar karena lokasi unit sampel dikesampingkan. Oleh karena itu, lokasi,
bentuk, ukuran dan jarak antar foci tidak pernah dapat ditentukan dengan ditribusi
frekwensi, meskipun jumlah relatif dari unit kepadatan yang berbeda
menghasilkan beberapa unit informasi tentang terbentuknya foci (Haydock dan
Perry 1998).
Sebaran Vertikal. Whitehead (1977) dalam Haydock dan Perry (1998) menemukan bahwa ada hubungan variasi populasi NSK pada berbagai kedalaman
tanah. Populasi NSK biasanya ditemukan pada kedalaman 20-40 cm dan yang
paling banyak ditemukan pada kedalaman top soil tanah (20 cm) sedangkan pada
kedalaman lebih dari 40 cm sangat jarang dijumpai. Pada pertanaman kentang
populasi NSK banyak ditemukan di daerah sekitar perakaran. Ketika dilakukan
panen menggunakan alat/mesin pertanian terjadi pencampuran tanah secara
besar-besaran di lahan tersebut. Kapan dilakukannya pengambilan sampel pada tanaman
budidaya dan pencampuran lahan sebelum dilakukan pengambilan sampel sangat
acak pada kedalaman 20 cm dari permukaan tanah karena pengaruh teknik
budidaya.
Sebaran Temporal. Sebaran temporal nematoda sista sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan tanaman inang. Reproduksi nematoda sista akan terus berlangsung
ketika tanaman inangnya berada pada masa pertumbuhan dan perkembangan
(Yeates dan Boag 2004). NSK dapat bertahan di dalam tanah ketika tidak
ditemukan inang yang sesuai bagi perkembanganya, Juvenil instar kedua tetap
berada di dalam sista dalam keadaan dorman (Turner dan Evans, 1998).
Karakteristik NSK Berdasarkan Morfologi
Salah satu metode konvensional yang dapat digunakan untuk melakukan
identifikasi spesies Globodera spp. adalah dengan mengamati ciri-ciri morfologi.
Metode sidik perineal merupakan metode yang cukup baik untuk mengetahui
spesies NSK. Menurut Stone (1973) dalam Mulyadi et al. (2003) spesies NSK
dapat diketahui dengan mengamati warna sista dan bentuk stilet pada stadia
juvenil. Nematoda betina G. rostochiensis pada awalnya berwarna putih kemudian
berubah menjadi kuning keemasan dan setelah menjadi sista berubah warna
menjadi cokelat atau cokelat kehitaman, sedangkan G. pallida berwarna putih
setelah menjadi sista berubah menjadi coklat atau cokelat kehitaman (Gambar 3).
Identifikasi dengan menggunakan karakter morfologi juga dapat dilakukan
terhadap beberapa karakter pada J2 dan sista. Knob stilet pada juvenil
G. rostochiensis berbentuk membulat sedang sedangkan G. pallida meruncing ke
arah anterior (Gambar 4 a-d).
Gambar 3 Perbedaan warna sista NSK: (a) G. rostochiensis, (b) G. pallida
(Sumber: EPPO 2011).
[image:37.595.113.511.577.711.2]
Gambar 4 Karakteristik morfologi untuk identifikasi NSK: (a dan b) knob stilet
G. pallida, (c dan d) knob stilet G. rostochiensis, (e)dan pola perineal NSK (Sumber: Fleming dan Powers 1998).
Metode sidik perineal dilakukan terhadap nematoda betina dengan cara
mencampur sista yang ditemukan pada setiap lokasi kemudian diambil 10 sista
untuk dilakukan pengamatan pola perineal. Pembuatan preparat untuk sista
dilakukan dengan mengambil satu sista menggunakan kuas, dan diletakkan di atas
gelas objek, kemudian sista dipotong ¾ bagian dari anterior di bawah mikroskop
stereo dengan pembesaran 50 x, kemudian bagian anteriornya dibuang dan ¼
bagian ujung posterior digunakan untuk didentifikasi. Telur dan juvenil yang
berada di dalam sista dikeluarkan dengan memencet bagian posterior dengan
menggunakan jarum dan kuas. Irisan sidik perineal dibersihkan dengan
menambahkan air sambil dibersihkan lemak yang ada di bagian posterior
perlahan-lahan dengan menggunakan kuas. Irisan dipindahkan dalam gliserin dan
disayat sehingga yang tersisa hanya bagian anus dan fenestra. Sidik perineal
kemudian dipindahkan ke objek glass lain yang telah berisi gliserin dan ditutup
dengan cover glass dan diberi kutek dibagian sisi-sisinya. Kemudian dilakukan
pengamatan dibawah mikroskop compound dengan perbesaran 200 x.
Perbedaan G. rostochiensis dengan G. pallida dapat diketahui dengan
melihat ciri-ciri morfologi antara lain jumlah tonjolan kutikula (ridges) antara anus
dan vulva, diameter vulva basin, jarak antara anus dan vulva basin, rasio Graneks
(Gambar 4 e) dan bentuk knob stilet (Tabel 2).
Jumlah ridge
Jarak antara anus – vulva basin
Diameter Vulva basin
[image:38.595.86.482.64.238.2]Tabel 2 Perbedaan ciri morfologi G. rostochiensis dengan G. pallida
Morfologi Spesies
G. rostochiensis G. pallida
Bentuk knob stilet J2 Bagian anterior bentuknya bulat
Bagian anterior bentuknya
datar hingga cekung
Panjang stilet J2 21-33
(umumnya 22)
21-26
(umumnya > 23)
Jumlah tonjolan kutikula antara
anus dan vulva basin
12-31
(umumnya > 14)
8-20
(umumnya < 14)
Diameter vulva basin 8-20
(umumnya < 19)
18-21
(umumnya > 19)
Jarak anus – vulva basin 37-77
(umumnya > 55)
22-67
(umumnya > 50)
Rasio ganek 1.3-9.5
(umumnya > 3)
1.2-3.5
(umumnya < 3)
Sumber: Fleming dan Powers 1998
Pengaruh NSK pada Tanaman Kentang
Menurut petani (Hadisoeganda 2006) bahwa pertanaman kentang di Jawa
Timur terserang oleh hama gurem (NSK) dengan gejala infeksi yang dilaporkan
adalah tanaman kerdil, cenderung layu, daun menguning tetapi warna kuning
tersebut sangat cerah dan apabila rizosfer tanah digali maka akan terlihat perakaran
yang memendek, terkesan kotor, dan terlihat adanya gurem kecil-kecil berwarna
putih, kuning muda, kuning tua, coklat muda, dan coklat tua seperti tembaga.
Gurem tersebut menempel pada akar, sebagian jatuh dan terserak di tanah sekitar
perakaran tanaman.
Tanaman kentang memberikan respon yang bervariasi terhadap infeksi NSK,
namun kepadatan yang tinggi dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman. Pada tingkat populasi yang rendah tanaman mampu beradaptasi dengan
hanya menyebabkan kerusakan pada sistem perakaran tanpa mempengaruhi
perkembangan tanaman. Tanaman dapat memberikan respon lebih awal terhadap
[image:39.595.116.513.104.392.2]dari biasanya dan hasil panen umbi justru lebih meningkat. Namun pada saat
tingkat infeksi parah tanaman tidak mampu manunjukkan hal tersebut sehingga
timbul berbegai gejala sebagai akibat dari sistem perakaran yang buruk dan tidak
efisien (Turner dan Evans 1998).
Ambang ekonomi atas kehilangan hasil oleh NSK umumnya kurang dari 20
telur per g tanah dan nilai tersebut dapat bervariasi karena pengaruh faktor
lingkungan dan tingkat ketahanan tanaman inang yang berbeda-beda. Secara
umum rata-rata kehilangan hasil pada 20 telur per g tanah adalah 2.75 ton per ha
dan kehilangan hasil maksimal yang pernah tercatat adalah 2.2 ton per ha. NSK
mereduksi jumlah akar sehingga kemampuan tanaman untuk menyerap dan
menyimpan air dan nutrisi dari tanah menjadi rendah (Turner dan Evans 1998). Di
Pukekohe (Selandia Baru), kehilangan hasil baru terlihat ketika terdapat 20 telur
per g tanah dan akan meningkat hingga 60% ketika jumlah kepadatan nematoda
adalah 90 telur per g tanah (Marshall 1998).
Penelitian yang dilakukan di Latvia menunjukkan bahwa NSK
menyebabkan kehilangan hasil yang cukup besar tergantung dari kepadatan
populasinya. Dengan jumlah 3-24 sista per 100 g tanah kehilangan hasil yang
ditimbulkannya dapat mencapai 20% sampai 30% sedangkan dengan 25 sista per
100 g tanah kerugian hingga 80% sampai 90% (Marks dan Rojancovski 1998).
Kehilangan hasil umbi kentang yang ditimbulkan oleh NSK pada musim-musim
tertentu di Chile bervariasi. Pada musim panas (sekitar Februari) dengan inokulum
awal sebanyak 12, 32 dan 128 g telur per g tanah kehilangan hasilnya adalah 20,
50 dan 70% sedangkan pada musim semi dengan jumlah inokulum awal 9, 28 dan
128 telur per g tanah maka kerugian mencapai 20, 50 dan 90% (Franco et al.
1998).
Gejala khas dari kerusakan yang ditimbulkan oleh NSK di atas permukaan
tanah dapat dikelompkan menjadi 2 tahap. Tahap pertama (kepadatan populasi
rendah hingga sedang) adalah menyebabkan laju fotosintesis berkurang (karena
terganggunya serapan hara, air dan gangguan hormonal), sehingga terjadi
peningkatan berat kering akar karena pertumbuhan batang yang lebih sedikit dan
kecil, daun menjadi tebal dan seluruh tangkai menjadi memendek (kerdil). Tahap
bagian tepi daun mengalami nekrotik bahkan daun menjadi kekuningan, daun baru
yang muncul sedikit karena penyerapan air dan hara yang kurang sebagai akibat
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di sentra pertanaman kentang di Dataran Tinggi
Dieng yang berada di wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa
Tengah. Lokasi hamparan pengambilan contoh tanah ditandai dengan GPS (Global
Positioning System) untuk mengukur posisi geografis dan elevasi lahan dan
dilakukan pengukuran suhu tanah. Penelitian dilaksanakan bulan Oktober 2011
sampai Januari 2012.
Metode Penelitian Pengujian Awal
Pengujian awal bertujuan untuk mengetahui hubungan antara populasi
Globodera spp. dengan tingkat keparahan penyakit dan hasil umbi tanaman
kentang. Pengambilan contoh tanaman dan tanah dilakukan menggunakan
rancangan penarikan contoh berlapis. Lapisan dalam penarikan contoh ini adalah
tingkat keparahan penyakit yang terdiri dari tinggi (T), sedang (S) dan rendah (R)
yang berada dalam satu pusat serangan/foci.
Lahan yang digunakan untuk pengambilan contoh adalah hamparan
pertanaman kentang berumur 65 hari dan terinfestasi oleh Globodera spp..
Pengambilan contoh tanaman dan tanah dilakukan pada satu ketinggian (1800 m
diatas permukaan laut/dpl) dengan keparahan penyakit yang berbeda. Peubah
yang diamati meliputi: persentase klorosis, tinggi tanaman, berat segar tanaman,
berat umbi per tanaman, jumlah sista per 100 ml tanah, rata-rata jumlah telur dan
juvenil per sista.
Ekstraksi sista NSK dilakukan terhadap 100 ml tanah/lokasi lahan contoh.
Tanah dilakukan penyaringan dengan 2 saringan bertingkat yaitu yang berukuran
850 µm (bagian atas) dan 300 µm (bagian bawah). Tanah tersebut kemudian
disemprot dengan air agar dapat terpisah antara partikel besar dan kecil. Bagian
yang tersaring pada mesh berukuran 850 µm dibuang, dan yang tertampung
dengan mesh berukuran 300 µm ditiriskan sampai kering, kemudian dicampur
dengan ethanol 96% (1:3) dan diaduk hingga sista terangkat ke permukaan.
diambil dan dihitung. Parameter yang diamati setelah proses ekstraksi ini
dilakukan meliputi, jumlah sista per 100 ml tanah serta rata-rata jumlah telur dan
juvenil 2 (J2) per sista.
Pelaksanaan Penelitian
Rancangan Penarikan Contoh. Penarikan contoh dalam penelitian ini menggunakan metode penarikan contoh berlapis 2 tahap dengan dengan lapisan
tahap 1 adalah ketinggian tempat sedangkan lapisan tahap 2 adalah tingkat
keparahan penyakit. Ketinggian tempat dibedakan menjadi dua yaitu T1 =
ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl dan T2 = ketinggian 1750 m dpl sampai
2000 m dpl. Pada tiap ketinggian diambil 3 lokasi (lahan pertanaman kentang)
dimana tiap lokasi diambil sebanyak 3 foci. Pada setiap foci diambil 5 tanaman
contoh dengan tingkat keparahan penyakit yang berbeda, yaitu:
P4 = Tingkat keparahan tinggi (tingkat klorosis ≥ 90%)
P3 = Tingkat keparahan agak tinggi (70% ≤ tingkat klorosis < 90%)
P2 = Tingkat keparahan sedang (30% ≤ tingkat klorosis < 70%)
P1 = Tingkat keparahan rendah (1% tingkat klorosis < 30%)
P0 = Tidak bergejala (0%)
Pengumpulan Contoh Tanah. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada tanaman yang menunjukkan gejala kerusakan tinggi sampai tidak bergejala
minimal 5 tanaman yang terdapat pada satu guludan (Gambar 5). Contoh tanah
yang diambil pada kedalaman 0 - 20 cm (daerah perakaran tanaman/rizosfer)
sebanyak 250 ml. Contoh tanah tersebut kemudian dilakukan homogenitas secara
merata kemudian diambil 100 ml untuk kemudian dilakukan ekstraksi sista seperti
Gambar 5 Pola pengambilan contoh tanah dan tanaman dimana P0, P1, P2, P3 dan
P4 berada pada satu guludan dan menunjukkan tingkat keparahan
penyakit yang berbeda
Peubah yang Diamati. Data yang diambil meliputi: derajat klorosis, tinggi tanaman, berat basah tanaman, berat umbi tanaman, jumlah sista per 100 ml tanah,
rata-rata jumlah telur dan juvenil per sista serta suhu tanah dari sekelompok
tanaman dalam satu guludan/foci yang gejala infeksi nematodanya terlihat pada 5
tanaman dari yang gejalanya parah sampai yang tidak bergejala.
Identifikasi Species Berdasarkan Karakter Morfologi. Identifikasi spesies dengan menggunakan karakter morfologi dilakukan dengan metode sidik perineal
sista dan pengamatan terhadap knob J2. Spesies Globodera spp. dapat diketahui
dengan melihat ciri-ciri morfologi sidik perineal yaitu jumlah tonjolan kutikula
(ridge) antara anus dan fenestra dan penghitungan rasio ganeks. Karakter
morfologi lain yang dapat dipergunakan untuk membedakan spesies Globodera
spp. adalah dengan melihat bentuk knob stilet dari J2.
Analisis Data
Analisis hubungan antara tingkat keparahan penyakit dengan kerapatan
NSK, tinggi tanaman, berat segar tanaman, derajat klorosis, dan berat umbi
kentang dilakukan menggunakan analisis ragam dan Uji Tukey. Untuk keperluan
penghitungan dalam analisis ragam, data kerapatan NSK ditransformasi ke dalam
logaritma bilangan dasar 10 (Log (Y)) dan data persentase klorosis ditransformasi
[image:44.595.170.444.84.238.2]HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Awal
Berdasarkan analisis sidik ragam dan uji Tukey diketahui bahwa tingkat
keparahan penyakit berkorelasi positif dengan peningkatan kerapatan NSK (Tabel
3). Kerapatan nematoda terbanyak ditunjukkan oleh tanaman dengan tingkat
keparahan penyakit tinggi yaitu 351 391 ekor/100 ml tanah sedangkan kerapatan
nematoda paling sedikit ditunjukkan oleh keparahan penyakit rendah yaitu
152 580 ekor/100 ml tanah.
Tabel 3 Rata-rata kerapatan NSK pada tiga tingkat keparahan penyakit tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng
Keparahan penyakit Rata-rata kerapatan NSK
(ekor/100 ml tanah)1
Rendah
Sedang
Tinggi
152 580 a
257 279 b
351 391 b
1
Angka selajur yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (uji Tukey, α= 5%)
Hasil analisis terhadap hubungan antara tingkat keparahan penyakit dengan
tingkat kerusakan tanaman menunjukkan bahwa tingkat keparahan penyakit
secara nyata berkorelasi dengan tingkat kerusakan tanaman yang terlihat pada data
tinggi tanaman, persentase klorosis dan berat segar tanaman. Berdasarkan tabel
tersebut terlihat bahwa tinggi tanaman dan berat segar tertinggi ditunjukkan oleh
keparahan penyakit rendah yaitu 64.6 cm dan 320.3 g namun tidak berbeda nyata
dengan tingkat keparahan penyakit sedang, sementara tinggi dan berat segar
tanaman terendah ditunjukkan oleh tingkat keparahan penyakit tinggi. Pada
tingkat klorosis terlihat bahwa dengan semakin meningkatnya tingkat keparahan
penyakit maka persentase klorosis akan semakin tinggi. Peubah berat umbi yang
dihasilkan menunjukkan bahwa tingkat keparahan penyakit yang rendah
menghasilkan umbi terberat yaitu 320.0 g dan yang paling ringan terlihat pada
[image:45.595.112.509.323.430.2]Menurut Scurah et al. (2005) gejala kerusakan yang disebabkan oleh
infeksi NSK tidak spesifik pada bagian tanaman kentang yang ada di atas
permukaan tanah. Namun kerusakan akar menyebabkan tekanan dan
berkurangnya penyerapan air dan hara sehingga tanaman menjadi kerdil dan
berwarna kekuningan (klorosis). Hal ini berdampak langsung pada parameter
pertumbuhan tanaman seperti tinggi, berat segar, berat umbi, klorosis dan populasi
nematoda yang ada. Ditambahkan oleh Trudgil et al. (1998), NSK menurunkan
hasil umbi kentang dengan mengurangi pertumbuhan tanaman yang ada di atas
permukaan tanah. Nematoda mengurangi intersepsi cahaya yang diterima daun
dengan mempercepat penuaan (klorosis) sehingga berpengaruh pada menurunnya
laju fotosintesis dan efisiensi penggunaan air.
Tabel 4 Rata-rata tinggi tanaman, klorosis, berat segar dan berat umbi tanaman kentang pada tiga tingkat keparahan penyakit di Dataran Tinggi Dieng
Keparahan penyakit
Tinggi tanaman (cm)1
Klorosis (%)
Berat segar (g)
Berat umbi (g)
Rendah
Sedang
Tinggi
64.6ax
58.6ab
45.8bx
3.0a
11.0b
47.0c
320.3a
285.4a
137.8b
330.0a
276.0a
218.0a 1
Angka selajur yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (uji Tukey, α= 5%)
Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit Tanaman dengan Kerapatan Populasi NSK
Berdasarkan survei yang telah dilakukan di sentra produksi tanaman
kentang yang ada di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah pada ketinggian 1250 m
dpl sampai 1500 m dpl dan 1750 m dpl sampai 2000 m dpl yang meliputi dua
kabupaten, yaitu Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara diketahui
bahwa sebaran kerapatan populasi NSK sangat beragam (jumlah sista NSK di
lokasi survai bervariasi dari rendah sampai tinggi).
Kerapatan populasi NSK cenderung meningkat seiring dengan semakin
tingginya tempat. Hal ini terlihat dari data yang diperoleh bahwa populasi
terendah berada pada ketinggian 1450 m yaitu 2897 ekor/100 ml tanah yang
[image:46.595.83.483.356.450.2]dpl yaitu 563 266 ekor/100 ml tanah di Desa Karang Tengah Kecamatan
Batur-Banjarnegara. Pada Gambar 6 disajikan plot hubungan antara ketinggian tempat
dengan kerapatan populasi nematoda. Populasi NSK yang ditemukan pada areal
yang disurvei menunjukkan peningkatan seiring dengan bertambahnya ketinggian
[image:47.595.144.482.200.382.2]tempat.
Gambar 6 Hubungan antara ketinggian tempat dengan kerapatan populasi NSK.
Dengan melakukan analisis regresi (Lampiran 3), hubungan antara
ketinggian tempat dengan kerapatan populasi NSK dapat dimodelkan sebagai
berikut:
Kerapatan NSK = - 812 449 + 581 Ketinggian
Model di atas menunjukkan bahwa kerapatan NSK berkorelasi positif
dengan ketinggian tempat (R-Sq= 66.1%; P=0.000). Makin tinggi tempat maka
kerapatan NSK juga semakin banyak. Pada ketinggian antara 1450 m dpl sampai
2000 m dpl, penambahan populasi NSK untuk setiap satu meter kenaikan tempat
sebesar 581 ekor/100 ml tanah. Menurut Djayadiningrat (1990) ketinggian tempat
sangat mempengaruhi iklim, terutama peningkatan curah hujan dan menurunnya
suhu (temperatur) udara.
Menurut Lisnawita et al. (2007), temperatur sangat mempengaruhi faktor
biologi NSK, seperti jumlah sista baru, faktor reproduksi, daya tahan hidup,
keperidian serta perbanyakan dan di Jawa Tengah kondisi optimum berada pada
kisaran antara 15 dan 21 oC. Jumlah sista, daya tahan hidup, keperidian, dan
multiplikasi yang akan dihasilkan akan menurun secara nyata pada temperatur di
100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000
1400 1500 1600 1700 1800 1900 2000
K era pa ta n popul as i N S K (ri bu e kor/ 100 m l ta na h)
Ketinggian tempat (m dpl)
0 60000 120000 180000 240000 300000 360000 420000 480000 540000 600000
P0 P1 P2 P3 P4
Tingkat keparahan penyakit Lokasi 1
Lokasi 2 Lokasi 3
bawah 15 oC dan di atas 21 oC. Persentase kematian G. rostochiensis pada suhu
11 oC mencapai 15.2% dan 56.7% pada 22 oC sedangkan G. pallida lebih
signifikan yaitu 45.30% pada temperatur tanah 11 oC dan 79.50% pada 22 oC
(Marshall 1998).
Gambar 7 Hubungan kerapatan NSK dengan tingkat keparahan penyakit: (a) pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl, (b) 1750 m dpl
sampai 2000 m dpl. (Tingkat keparahan penyakit: P4, tinggi; P3, agak tinggi; P2, sedang; P1, rendah; 0, tidak bergejala).
Berdasarkan analisis ragam diketahui bahwa tingkat keparahan penyakit
berhubungan dengan kerapatan nematoda sedangkan terhadap faktor ketinggian
tempat tidak terlihat hubungan yang nyata, tetapi terhadap interaksi antara
keduanya menunjukkan hubungan yang nyata (Nilai P < 0.05) (Lampiran 4).
Besarnya persentase penyakit yang terjadi pada lahan yang dilakukan survei
memberikan indikasi bahwa kehadiran NSK berkorelasi positif dengan munculnya
klorosis. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kerapatan nematoda tertinggi
diperoleh pada tingkat keparahan tinggi (P4) dan berturut-turut diikuti oleh
keparahan agak tinggi (P3), keparahan sedang (P2), keparahan rendah (P1) dan
tidak bergejala (P0) yaitu berturut-turut 65 117, 47 351, 36 518, 32 317, dan
220902 ekor/100 ml tanah pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl
sedangkan pada 1750 m dpl sampai 2000 m dpl adalah 378 513, 320 399, 279
863, 258 146, dan 210 098 ekor/100 ml tanah (Gambar 7). Hal ini membuktikan
bahwa semakin jauh letak suatu tanaman dari tanaman lain yang menjadi pusat
serangan menyebabkan penurunan kerapatan populasi nematoda. Menurut
0 60000 120000 180000 240000 300000 360000 420000 480000 540000 600000
P0 P1 P2 P3 P4
K er ap at an N S K (r ib u e k o r/ 1 0 0 m l ta n ah )
Tingkat keparahan penyakit
a b
[image:48.595.85.487.184.383.2]Haydock dan Perry (1998), foci seringkali berbentuk lonjong dengan kerapatan
populasi yang besar pada pusat gejala infeksi nematoda.
Tabel 5 Rata-rata kerapatan NSK pada lima tingkat keparahan penyakit dan dua kisaran ketinggian tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng
Ketinggian tempat (m dpl)
Tingkat keparahan penyakit
P4(1) P3 P2 P1 P0
1250-1500 1750-2000
65 117 378 153 c a
47 351 320 399
cd ab
36 518 279 863
de ab
32 317 258 146
ef ab
22 903 210 098 f b (1)
Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata ( uji Tukey, α= 5%)
Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa terdapat perbedaan kerapatan antar
tingkat keparahan penyakit antara kisaran ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m
dpl dengan 1750 m dpl sampai 2000 m dpl. Perbedaan ini dapat disebabkan
karena kondisi iklim dan temperatur pada pada kisaran 1750 m dpl sampai 2000 m
dpl lebih sesuai bagi perkembangan NSK. Berdasarkan Lampiran 2 terlihat bahwa
pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl suhu tanah berada pada kisaran
18-22 oC sedangkan pada 1750 m dpl sampai 2000 m dpl antara 15-21 oC.
Menurut Lisnawita (2007) keperidian NSK yang berasal dari Jawa Timur dan
Jawa Tengah mencapai optimum pada temperatur antara 15-21 oC, dan akan
menurun pada temperatur dibawah 15 oC atau diatas 21 oC. Ditambahkan oleh
Suwardiwijaya et al. (2007) lokasi Desa Bakal dan Karang Tengah (Kecamatan
Batur) yang berada pada ketinggian 1750 m dpl sampai 2000 m dpl merupakan
daerah awal terjadinya infestasi NSK di Dataran Tingi Dieng pada tahun 2007
sehingga pada kisaran ketinggian ini jumlah NSK lebih banyak dibandingkan
pada pertanaman kentang yang berada pada kisaran 1250 m dpl sampai 1500 m
dpl.
Identifikasi Spesies NSK
Sista
Sista merupakan betina dewasa dari Globodera spp. yang terbentuk dari kutikula
yang mengeras, di dalamnya berisi telur yang akan menjadi generasi berikutnya.
kentang yang sakit dicabut, namun lama-kelamaan berubah menjadi coklat atau
coklat kehitaman. Ukuran sista tidak seragam antara satu dengan lainnya dan
bentuknya ada yang membulat, sedikit elips atau ovoid. Menurut Flemings dan
Powers (1998), sista Globodera spp. berukuran lebih pendek dibandingkan
dengan sista Heterodera dan bentuknya lebih membulat (kecuali untuk tonjolan
yang ada di bagian anterior) serta tidak memiliki terminal cone (Gambar 8).
Gambar 8 Sista Globodera spp.: (a) sista hasil ekstraksi pada tanaman kentang yang berasal dari Dataran Tinggi Dieng, (b) sista tanpa terminal cone
(lingkaran kuning).
Pengamatan pola perineal sista NSK dari sampel yang berasal dari Dataran
Tinggi Dieng untuk menentukan spesies dilakukan dengan menghitung rasio
granek (jarak antara anus dengan fenestra/ diameter fenestra) dan jumlah tonjolan
(cuticular ridge) antara anus dan fenestra. Hasil pengamatan dapat dilihat pada
Gambar 9 dan Lampiran 5 dan 6.
Dari Gambar 9 terlihat bahwa penelitian yang dilakukan pada ketinggian
1250 m dpl sampai 1500 m dpl dan 1750 m dpl sampai 2000 m dpl ditemukan
populasi campuran spesies NSK. Pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl
dominasi G. pallida terhadap G. rostochiensis sekitar 63% bahkan pada
ketinggian 1750 m dpl sampai 2000 m dpl persentase dominasi mencapai 70%.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Inggris yang menunjukkan
bahwa G. pallida merupakan NSK yang dominan dibandingkan dengan
G. rostochiensis