• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KERAPATAN POPULASI Globodera spp. DENGAN TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT DAN HASIL UMBI PADA TANAMAN KENTANG SELAMET

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KERAPATAN POPULASI Globodera spp. DENGAN TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT DAN HASIL UMBI PADA TANAMAN KENTANG SELAMET"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KERAPATAN POPULASI

Globodera

spp. DENGAN TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT

DAN HASIL UMBI PADA TANAMAN KENTANG

SELAMET

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Hubungan antara Kerapatan Populasi

Globodera spp. dengan Tingkat Keparahan Penyakit dan Hasil Umbi Pada Tanaman Kentang” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2012

Selamet

(3)

i

ABSTRACT

SELAMET. The Relationship Between Population Density of Globodera spp. with Disease Severity and Tuber Yield of Potato Crop. Supervised by SUPRAMANA and ALI NURMANSYAH.

This study was carried out to estimate the population of Globodera spp. associated with disease severity and potato yield. This research was conducted from September 2011 until January 2012 in one of the central potato plantation in Dieng Plateau, Central Java. Identification of Potato Cyst Nematoda (PCN) species using morphological character was performed by the perennial pattern method. Research was conducted using 2-stages sampling method with the first stage as altitude and second stage as disease severity. Soil and plant sampling was taken from two levels of elevation, i.e 1250-1500 m and 1750-2000 m above sea level (asl). Three locations were selected for each elevation and 3 focus for each location. Five plant with different level of disease severity were taken. Disease severity was assessed based on the plant height, degree of chlorosis, fresh weight and tuber weight per plant. PCN population were counted based on the number of cyst per 100 ml soil and the average number of eggs and juvenile’s per cyst. The increasing of NSK density has a positive correlation with the increasing of disease severities which shown by a decrease in plant height as well as fresh plant weight, and an increase in percentage of plant chlorosis. In contrary, there was a negative correlation in number of tuber produced by plant which shown by the decrease of

tuber yield when there was an increase of NSK population. Population of

G. pallida dominated population of G. rostochiensis at both altitudes. The prevalence levels of G. pallida to G. rostochiensis were 63% at 1250-1500 m and 70% at 1750-2000 m asl.

Keywords: Disease severity, Population density, Globodera rostochiensis, G. pallida

(4)
(5)

iii

RINGKASAN

SELAMET. Hubungan antara Kerapatan Populasi Globodera spp. dengan Tingkat Keparahan Penyakit dan Hasil Umbi Pada Tanaman Kentang. Dibimbing oleh SUPRAMANA dan ALI NURMANSYAH.

Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan komoditas yang memiliki arti penting di Indonesia dan merupakan bahan makanan alternatif yang mampu menggantikan beras. Nematoda Sista Kentang/NSK merupakan nematoda penting pada tanaman kentang karena kemampuan merusak dan mematikan tanaman kentang yang sangat besar. Di Indonesia belum pernah dilakukan estimasi untuk mengetahui pengaruh populasi NSK terhadap kerusakan yang ditimbulkan serta hasil umbi pada tanaman kentang. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan antara tingkat kerapatan Globodera spp. dengan tingkat keparahan penyakit dan hasil umbi tanaman kentang.

Survei dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 sampai dengan Januari 2012 di sentra pertanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Identifikasi spesies NSK dengan menggunakan karakter morfologi yang dilakukan dengan metode pola perineal (perineal pattern). Penelitian menggunakan metode penarikan contoh berlapis 2 tahap dengan lapisan tahap pertama adalah ketinggian tempat dan lapisan tahap kedua merupakan keparahan penyakit. Pengambilan contoh dilakukan pada dua kisaran ketinggian yaitu: 1250-1500 m (T1) diatas

permukaan laut (dpl) dan 1750-2000 m dpl (T2). Pada tiap ketinggian diambil 3

lokasi (lahan pertanaman kentang) dimana tiap lokasi diambil sebanyak 3 foci. Pada setiap foci diambil 5 tanaman contoh dengan tingkat keparahan penyakit yang berbeda yaitu: tinggi (P4); agak tinggi (P3); sedang (P2); rendah (P1) dan tidak bergejala (P0). Keparahan penyakit diduga berdasarkan tinggi tanaman, derajat klorosis, berat segar dan berat umbi per tanaman. Pertambahan populasi NSK dihitung berdasarkan jumlah sista per 100 ml tanah, rata-rata jumlah telur dan juvenil per sista.

Pengambilan contoh tanah dilakukan pada tanaman yang menunjukkan gejala kerusakan tinggi sampai tidak bergejala. Contoh tanah yang diambil pada kedalaman 0-20 cm (daerah perakaran tanaman/rizosfer) sebanyak 250 ml. Contoh tanah tersebut kemudian dilakukan homogenitas secara merata kemudian ekstraksi sista NSK dilakukan terhadap 100 ml tanah/lokasi lahan contoh. Tanah dilakukan penyaringan dengan 2 saringan bertingkat yaitu yang berukuran 850 µm (bagian atas) dan 300 µm (bagian bawah). Tanah tersebut kemudian disemprot dengan air agar dapat terpisah antara partikel besar dan kecil. Bagian yang tersaring pada mesh berukuran 850 µm dibuang, dan yang tertampung dengan mesh berukuran 300 µm ditiriskan sampai kering, kemudian dicampur dengan ethanol 96% (1:3) dan diaduk hingga sista terangkat ke permukaan. Larutan yang mengandung sista disaring, sista yang menempel di kertas saring diambil dan dihitung.

Identifikasi spesies dengan menggunakan karakter morfologi dilakukan dengan metode pola perineal sista. Spesies Globodera spp. dapat diketahui dengan melihat ciri-ciri morfologi pola perineal yaitu jumlah tonjolan kutikula (ridge) antara anus dan fenestra dan penghitungan rasio ganeks. Karakter

(6)

morfologi lain yang dipergunakan untuk membedakan spesies Globodera spp. adalah dengan melihat bentuk knob stilet dari J2.

Parameter yang diamati setelah proses ekstraksi ini dilakukan meliputi, jumlah sista per 100 ml tanah serta rata-rata jumlah telur dan juvenil 2 (J2) per sista. Analisis sidik ragam dan regresi menggunakan program Minitab 16 untuk mengetahui hubungan antara kerapatan populasi dengan setiap variabel yang diamati.

Kerapatan populasi NSK cenderung meningkat seiring dengan semakin tingginya tempat dimana populasi terendah berada pada ketinggian 1450 m yaitu 2897 ekor/100 ml tanah yang berada di Desa Serang Kecamatan Kejajar-Wonosobo dan tertinggi pada 1924 m dpl yaitu 563 266 ekor/100 ml tanah di Desa Karang Tengah Kecamatan Batur-Banjarnegara. Berdasarkan analisis regresi hubungan antara ketinggian tempat dan kerapatan NSK dapat dimodelkan bahwa pada ketinggian 1450 m dpl sampai 2000 m dpl, penambahan populasi NSK untuk setiap satu meter kenaikan tempat adalah sebesar 581 ekor/100 ml tanah.

Peningkatan kerapatan populasi NSK berkorelasi positif dengan peningkatan tingkat keparahan penyakit, yang ditunjukkan pada penurunan tinggi dan berat segar tanaman serta peningkatan persentase klorosis tanaman kentang, dan berkorelasi negatif dengan banyaknya umbi yang dihasilkan oleh tanaman kentang. Gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh NSK adalah daun menjadi tebal dan seluruh tangkai menjadi memendek dan kerdil serta bagian tepi daun mengalami nekrotik bahkan seluruh daun menjadi kekuningan (klorosis).

Sista NSK berisi telur dan juvenil, berwarna putih atau kuning keemasan dengan bentuk yang tidak seragam (bulat, sedikit elips atau ovoid). Juvenil berbentuk seperti cacing dan bagian kepala set off berkembang dengan baik. Satu sista berisi massa telur dan J2 sekitar 500 butir sampai 600 butir. Bagian knob stilet J2 untuk G. rostochiensis membulat ke arah belakang, sedangkan G. pallida

bentuknya agak datar/cekung. Spesies NSK yang dominan pada areal pertanaman kentang adalah G. pallida. Prevalensi G. pallida terhadap G. rostochiensis pada ketinggian 1250-1500 m dpl sebesar 63% sedangkan pada 1750 – 2000 m dpl mencapai 70%.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut kerapatan populasi NSK dapat dipergunakan untuk melakukan perkiraan terhadap potensi kerugian yang diakibatkan oleh NSK pada tanaman kentang di Indonesia.

(7)

v

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(8)
(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA KERAPATAN POPULASI

Globodera

spp. DENGAN TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT

DAN HASIL UMBI PADA TANAMAN KENTANG

SELAMET

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(10)
(11)

ix

Judul Tesis : Hubungan Antara Kerapatan Populasi Globodera spp. Dengan Tingkat Keparahan Penyakit dan Hasil Umbi Pada Tanaman Kentang

Nama Mahasiswa : Selamet

NIM : A352100084

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr Ir Supramana, MSi Ketua

Dr Ir Ali Nurmansyah, MSi Anggota

Diketahui, Ketua Program Studi

Fitopatologi

Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc

Dekan

Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

(12)
(13)

xi

PRAKATA

Bismillahi rohmaani rohiim. Alhamdulillahi robbil’alamin.

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulisan tesis yang berjudul “Hubungan Antara Kerapatan Populasi Globodera spp. dengan Tingkat Keparahan Penyakit dan Hasil Umbi pada Tanaman Kentang” dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada Dr Ir Supramana, MSi dan Dr Ir Ali Nurmansyah, MSi atas bimbingan, kesabaran,

pengkayaan wawasan, saran, kritik dan dukungan moril yang sangat besar peranannya dalam penyelesaian penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ir Banun Harpini, MSc selaku kepala Badan Karantina Pertanian atas kesempatan dan sumber dana yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program S2 di Institut Pertanian Bogor dan kepada Dr Ir Arifin Tasrif, MSc MM yang bersedia menjadi Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis.

Rasa hormat yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta, ayahanda Danuji, ibunda Suhermi, kakanda Sadikin, Adinda Siti Aminah, Suyatmi dan Achmad Mulyadi yang telah mencurahkan kasih sayang, doa dan bimbingan. Ucapan terima kasih yang tidak terhingga juga penulis ucapkan kepada istri tercinta Galih Nurani Murni dan ananda tersayang Eka Auliya Ardiningrum atas kesabaran, pengertian, kasih sayang dan dukungannya. Ucapan terima kasih disampaikan pula pada Mertua Bapak Sukiran dan Ibu Tuminah, dan adik ipar Desi, Yanik dan Gentur atas doa, dorongan semangat dan bantuan moril selama ini.

Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada rekan-rekan kepada sahabat-sahabat saya Ratih, Hendro, Yuli, Arief, Riri, Aulia, Joni, Fitri, Aprida, Nurul, Uwi, Erna, Rahma dan Lulu atas persahabatan dan kerjasamanya. Kepada teman-teman di Lab. BBKP Tanjung Priok dan Wilker Kantor Pos Bogor yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas kebersamaan dalam suka dan duka. Akhir kata saya haturkan terima kasih kepada semua pihak dan semoga hasil penelitian ini bermanfaat untuk kepentingan umat manusia dan khasanah ilmu pengetahuan di Indonesia khususnya.

Wassalam.

Bogor, Mei 2012

(14)
(15)

xiii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sangasanga Kabupaten Kutai Kartanegara tanggal 01 Maret 1980, sebagai anak kedua dari lima bersaudara, pasangan Bapak Danuji

dan Ibu Suhermi. Penulis menikah dengan Galih Nurani Murni pada tahun 2006 dan dikaruniai anak bernama Eka Auliya Ardiningrum pada tahun 2007.

Gelar Sarjana Strata I penulis peroleh dari Program Studi Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman di Samarinda Kalimantan Timur pada tahun 2004.

Pada Tahun 2006 penulis diterima sebagai tenaga Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) di Stasiun Karantina Tumbuhan Kelas I Balikpapan. Pada tahun 2010 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan ke Program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Program Studi Fitopatologi. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian.

(16)
(17)

xv

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Nematoda Sista Kentang ... 5

Klasifikasi ... 5

Morfologi ... 5

Bioekologi ... 7

Sebaran Nematoda Sista Kentang ... 10

Sebaran Geografis ... 10

Sebaran Lokal ... 14

Karakteristik NSK Berdasarkan Morfologi ... 15

Pengaruh NSK pada Tanaman kentang ... 17

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 21

Metode Penelitian ... 21

Pengujian Awal ... 21

Pelaksanaan Penelitian ... 22

Analis Data ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Awal ... 25

Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit Tanaman dengan Populasi NSK ... 26

Identifikasi Spesies NSK ... 29

Sista ... 29

Telur ... 32

Juvenil ... 32

Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit dengan Pertumbuhan dan Hasil Umbi ... 33

Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit dengan Tinggi Tanaman 33 Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit dengan Persentase Klorosis Tanaman ... 35

Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit dengan Berat Segar Tanaman ... 38

Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit dengan Hasil Umbi Tanaman ... 40

(18)

KESIMPULAN DAN SARAN ... 43 DAFTAR PUSTAKA ... 45 LAMPIRAN ... 49

(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Daerah sebaran NSK di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah. ... 12 2 Perbedaan ciri morfologi G. rostochiensis dengan G. pallida . ... 17 3 Rata-rata kerapatan NSK pada tiga tingkat keparahan penyakit

tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng ... 25 4 Rata-rata tinggi tanaman, klorosis, berat segar dan berat umbi tanaman

kentang pada tiga tingkat keparahan penyakit di Dataran Tinggi Dieng 26 5 Rata-rata kerapatan NSK pada lima tingkat keparahan penyakit dan

dua kisaran ketinggian tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng . ... 29 6 Rata-rata persentase klorosis pada lima tingkat keparahan penyakit

(20)
(21)

xix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Morfologi G. rostochiensis dan G. pallida . ... 6

2 Skema siklus hidup Globodera spp. . ... 8

3 Perbedaan warna sista antara G. rostochiensis dengan G. pallida ... 15

4 Karakteristik morfologi untuk identifikasi NSK . ... 16

5 Pola pengambilan contoh tanah dan tanaman . ... 22

6 Hubungan antara ketinggian tempat dengan kerapatan populasi NSK ... 27

7 Hubungan kerapatan NSK dengan tingkat keparahan penyakit pada ketinggian 1250 m dpl -1500 m dpl dan 1750 m dpl - 2000 m dpl ... 28

8 Sista Globodera spp. pada tanaman kentang yang berasal dari Dataran Tinggi Dieng yang tidak memiliki terminal cone (lingkaran kuning) .... 30

9 Proporsi spesies NSK pada lokasi-lokasi penelitian di Dataran Tinggi Dieng; Gr: Globodera rostochiensis; GP: G. pallida ... 31

10 Sista Globodera spp.: (a) yang dipecahkan, (b) telur dan J2 ... 32

11 Bagian anterior NSK: (a) knob stilet G. rostochiensis yang bentuknya membulat kearah posterior (1000 x), (b) knob stilet G. pallida yang bentuknya agak datar/cekung (10009x) ... 33

12 Hubungan tinggi tanaman dengan tingkat keparahan penyakit pada ketinggian 1250 m dpl -1500 m dpl dan 1750 m dpl - 2000 m dpl ... 34

13 Gejala NSK: (a) pada pertanaman kentang, (b) pada individu tanaman, (c) sista NSK yang ada di perakaran tanaman kentang ... 35

14 Hubungan persentase klorosis dengan tingkat keparahan penyakit pada ketinggian 1250 m dpl -1500 m dpl dan 1750 m dpl - 2000 m dpl ... 37

15 Hubungan berat segar tanaman dengan tingkat keparahan penyakit pada ketinggian 1250 m dpl -1500 m dpl dan 1750 m dpl - 2000 m dpl ... 38

16 Hubungan berat umbi tanaman dengan tingkat keparahan penyakit pada ketinggian 1250 m dpl -1500 m dpl dan 1750 m dpl - 2000 m dpl ... 40

(22)
(23)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Hasil analisis sidik ragam tingkat keparahan penyakit terhadap tinggi, persentase klorosis, berat segar, berat umbi tanaman populasi nematoda pada penelitian pendahuluan ………..……….… Data lokasi pengambilan sampel ……….. Hasil analisis regresi: kerapatan populasi NSK dengan ketinggian tempat ………... Hasil analisis sidik ragam hubungan tingkat keparahan penyakit terhadap kerapatan populasi nematoda ………. Identifikasi morfologi sista NSK ………..……… Hasil pengamatan pola perineal NSK ………... Jumlah telur dan J2 per sista Globodera spp. pada 6 lokasi tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng ………. Hasil analisis sidik ragam tingkat keparahan penyakit terhadap tinggi tanaman …...………... Hasil analisis sidik ragam tingkat keparahan penyakit terhadap

persentase klorosis ……….…... Hasil analisis sidik ragam tingkat keparahan penyakit terhadap berat segar tanaman ……...……….…... Hasil analisis sidik ragam tingkat keparahan penyakit terhadap hasil umbi kentang ……….…………... Hasil analisis regresi antara tinggi tanaman dan persentase klorosis terhadap jumlah nematoda ……… Hasil analisis regresi antara berat segar dan hasil umbi tanaman terhadap jumlah nematoda ……….……….. Korelasi tinggi tanaman, persentase klorosis, berat segar, dan hasil umbi terhadap jumlah nematoda ……….. Beberapa tingkat persentase klorosis tanaman kentang karena infeksi NSK ………. 51 52 54 55 56 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67

(24)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Menurut O’Sullivan (1997), kentang (Solanum tuberosum L.) mempunyai kandungan zat karbohidrat yang lebih tinggi (205) dari sumber lain seperti beras (138), jagung (155), sorgum (100) atau gandum (142 Mega Joule/ha/hari). Hal tersebut menjadikan kentang sebagai bahan makanan alternatif yang mampu mensubstitusi ketergantungan masyarakat terhadap beras. Bahkan untuk kalangan tertentu (misalnya penderita diabetes), kentang merupakan makanan pokok untuk diet karena kandungan kadar gulanya yang rendah sehingga kentang merupakan komoditas yang penting dan mampu berperan untuk memenuhi gizi masyarakat.

Berdasarkan data BPS (2011), di Indonesia pada beberapa tahun terakhir mengalami penurunan produksi kentang. Pada tahun 2007 terjadi penurunan produksi kentang dari produksi 1 011 911 ton pada tahun 2006 menjadi 1 003 732 ton pada tahun 2007 atau turun sebesar 8179 ton. Pada tahun 2010 terjadi penurunan produksi kentang sebesar 115 725 ton, yaitu dari produksi 1 176 304 ton pada tahun 2009 menjadi 1 060579 ton pada tahun 2010. Selain penurunan produksi kentang secara nasional pada tahun 2010 juga terjadi penurunan produktivitas sebanyak 0.56 ton/ha. Rendahnya produktivitas sangat dipengaruhi oleh berbagai hal antara lain iklim, teknik budidaya, mutu benih, kesuburan tanah serta gangguan hama dan penyakit. Gangguan hama dan penyakit ini merupakan salah satu penyebab utama menurunnya produksi kentang di Indonesia dibandingkan faktor-faktor lainnya.

Salah satu organisme pengganggu tumbuhan yang menjadi kendala utama dalam penanaman kentang adalah nematoda Globodera spp.. Nematoda tersebar di wilayah dingin di daerah tropis, subtropis dan daerah yang beriklim sedang di dunia (Luc et al. 2005). Nematoda sista kentang/NSK (Globodera spp.) merupakan nematoda terpenting pada pertanaman kentang pada beberapa dataran tinggi antara lain dataran tinggi di Filipina, Amerika Serikat serta pegunungan Andes di Amerika Selatan (EPPO 2011). Di Indonesia, penyebaran telah ada di Sumatra Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (Hadisoeganda 2006). Berdasarkan Lisnawita (2007) sebaran G. rostochiensis meliputi Jawa Timur,

(25)

2

Jawa Tengah, dan Jawa Barat. sedangkan G. pallida terdapat di wilayah Pegunungan Dieng Jawa Tengah (Lisnawita 2007; Nurjanah 2009).

Globodera spp. (NSK) merupakan nematoda terpenting pada tanaman kentang karena kemampuan merusak dan mematikan tanaman kentang yang sangat besar. Di luar negeri, kerugian yang ditimbulkan cukup besar yaitu antara 50% sampai 80% (Mulyadi et al. 2003) bahkan di Australia biaya yang harus dikeluarkan akibat adanya infeksi nematoda ini dalam kurun kurun waktu 20 tahun terakhir sangat besar yaitu rata-rata mencapai $18.7 milyar dengan kisaran $11.9 – 27.0 milyar per tahun (Hodda dan Cook 2009). Di wilayah kota Batu, Jawa Timur dari areal seluas 1.5 ha yang biasanya mampu menghasilkan sekitar 24 ton produksinya hanya sekitar 7 ton (Hadisoeganda 2006).

Kehilangan hasil oleh NSK disebabkan berkurangnya jumlah luas daun untuk melakukan fotosintesis dan sistem perakaran yang terganggu. Sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai jumlah telur maupun sista nematoda

Globodera spp. yang mampu menimbulkan kehilangan hasil pada tanaman kentang di Indonesia. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut maka perlu dilaksanakan penelitian mengenai hubungan antara jumlah sista/telur Globodera

spp./g tanah dengan tingkat kerusakan/intensitas penyakit yang ditimbulkan pada tanaman kentang.

Perumusan Masalah

Menurut Nurjanah (2009), di Dataran Tinggi Dieng pada ketinggian 1250 – 1500 m diketahui bahwa spesies NSK yang dominan adalah G. rostochiensis

sedangkan G. pallida lebih dominan pada pada ketinggian 1750-2000 m dpl. Ditambahkan oleh Hadisoeganda (2006) bahwa hasil penelitian di Chili menunjukkan bahwa apabila populasi awal NSK sebesar 12, 32, dan 128 telur per g tanah, produksi kentang akan turun sebanyak 20, 50 dan 70%. Hasil penelitian di Jerman memperlihatkan bahwa pada populasi awal sebesar 100, 1000, dan 10 000 juvenil per 100 g tanah, kehilangan hasil kentang mencapai 11, 27, dan 43%. Hasil penelitian di Belarusia mencatat bahwa pada populasi awal NSK sebesar 1000, 5000, 10 000, dan 25 000 juvenil per 100 g tanah, kerugian produksi kentang mencapai bertutut-turut 18, 5, 31, 45, dan 74%. Di Indonesia sendiri

(26)

belum pernah dilakukan estimasi untuk mengetahui pengaruh populasi sista baik itu untuk G. rosthochiensis maupun G. pallida terhadap kerusakan yang ditimbulkan serta hasil umbi pada tanaman kentang.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara tingkat kerapatan Globodera spp. dengan tingkat keparahan penyakit dan hasil umbi tanaman kentang.

(27)

5

TINJAUAN PUSTAKA

Nematoda Sista Kentang

Klasifikasi

Globodera spp. merupakan nematoda yang membentuk sista yang menimbulkan masalah di Eropa sejak abad XIX. Nama ‘nematoda sista’ berasal dari tubuh betina dewasa yang mengalami penggelembungan dengan kutikula tebal dan keras apabila mati dan tetap berada di dalam tanah sebagai sista yang mengandung telur yang berembrio (Dropkin 1991). Menurut CABI (2007) dan Luc et al. (2005), klasifikasi NSK dalam sistematika taksonomi adalah sebagai berikut:

- Domain : Eukaryota

- Kingdom : Metazoa

- Phylum : Nematoda

- Ordo : Tylenchida

- Sub ordo : Tylenchina

- Superfamili : Tylenchoidea

- Family : Heteroderidae

- Genus : Globodera spp.

- Species : - G. rostochiensis (Wollenweber) Mulvey dan Stone

- G. pallida (Stone) Mulvey dan Stone

Morfologi

G. rostochiensis. Menurut CABI (2007), telur berada di dalam tubuh sista. Nematoda ini tidak membentuk kantung telur. Permukaan telurnya halus dan tidak terdapat mikrovili, berukuran panjang 101-104 µm dan lebar 46-48 µm. Betina dewasa dapat terlihat di bagian korteks akar pada saat 1-6 bulan setelah invasi oleh juvenile stadia 2 (J2). Betina dewasa memiliki tubuh berwarna putih hingga kuning emas. Memiliki stilet yang panjangnya 23 ± 1 µm; lebar kepala 5.2 ± 0.7 µm. Knob stilet cenderung mengarah ke bagian belakang. Pori ekskresi (excretory pore) terbentuk dengan baik di bagian pangkal leher. Sista berukuran

(28)

panjang 445 ± 50 µm dan lebar 382 ± 60 µm; panjang bagian leher 104 ± 19 µm. Di dalam sista terdapat telur-telur. Sista terbentuk dari kutikula tubuh imago betina. Jantan dewasa memiliki tubuh berukuran panjang 0.89-1.27 mm dan lebar 28 ± 1.7 µm; lebar kepala 11.8 ± 0.6 µm dan panjangnya 7.0 ± 0.3 µm; panjang stilet 26 ± 1.0 µm; panjang ekor 5.4 ± 1.0 µm dan lebarnya 13.5 ± 0.4 µm; panjang spikula 35.0 ± 3.0 µm; dan panjang gubernakulum 10.3 ± 1.5 µm. Imago jantan tubuhnya vermiform dengan ekor yang pendek dan tidak memiliki bursa. Tubuh berukuran 468 ± 100 µm dan lebar 18 ± 0.6 µm; panjang kepala 4.6 ± 0.6 µm; panjang stilet 22 ± 0.6 µm; dan panjang area hialin pada ekor adalah 26.5 ± 2.0 µm. Kepalanya membulat dengan 6-7 anulus, dan berkembang dengan baik (Gambar 1).

Gambar 1 Morfologi G. rostochiensis: (a) juvenil, (b) bagian kepala dari juvenil instar 2 (J2), (c) bagian tengah tubuh J2, (d) bagian faring dari J2, (e) bagian faring dari jantan, (f) bagian ujung/ekor dari jantan, (g) bagian lateral tubuh jantan, (h) sista, (i) bagian anterior betina, (j) jantan. G. pallida: (k) seluruh tubuh, (l) anterior, (m) kepala, (n) ekor, (o) bagian tengah tubuh, (p) bagian tengah ekor, (q) head en faceat level of lips, (r) head en face at level of base (Stone 1972 dalam Nijs dan Karssen 2011).

a b c d e f g i k l j p o n m q r h

(29)

7

G. pallida. Telur terdapat di dalam sista tetapi tidak menghasilkan kantung telur. Permukaan telur halus dan tidak terdapat mikrovili. Telur berukuran 108.3 ± 2.0 µm x 43.2 ± 3.2 µm. Betina dewasa memiliki stilet berukuran 27.4 ± 1.1 µm, bagian kepala melebar di bagian pangkalnya (berukuran 5.2 ± 0.5 µm). Betina dewasa memiliki tubuh yang membulat, berwarna putih atau krem, tergantung patotipe, fase ini terdapat di dalam sel akar dan berlangsung selama 4-6 minggu

(tidak ada fase yang berwarna kuning atau kuning emas seperti pada

G. rostochiensis). Betina dewasa dapat menghasilkan sista yang berdinding keras yang berasal dari bagian tubuhnya yang sudah mati. Sista berwarna cokelat tua dan merupakan pelindung bagi telur. Bentuk sista hampir identik dengan bentuk tubuh betina dewasa, meskipun biasanya bagian kepala sudah tidak ada. Sista berukuran lebar 534 ± 66 µm dan panjang (tidak termasuk bagian leher) 579 ± 70 µm, panjang bagian leher sendiri adalah 188 ± 20 µm. Jantan dewasa memiliki bentuk tubuh vermiform, bagian ekornya yang pendek melingkar sebesar 90-180°, memiliki satu testis, serta memilki satu gubernakulum yang kecil dan tidak berornamen. Panjang tubuhnya adalah 1200 ± 100 µm, dan lebar 28.4 ± 1.0 µm, panjang kepala 6 ± 0.3 µm dan lebar 13.5 ± 0.5 µm, panjang stilet 27.5 ± 1.0 µm, panjang bagian ekor 5.2 ± 1.4 µm dan lebar 13.5 ± 2.1 µm. J2 merupakan fase infektif dalam siklus hidup. Juvenil G. pallida biasanya memiliki tubuh yang berukuran lebih besar dan panjang daripada G. rostochiensis. Selain itu, juvenil

G. pallida memiliki knob yang bentuknya membulat ke arah anterior (agak datar/cekung), sedangkan G. rostochiensis memiliki knob stilet yang bentuknya membulat ke arah posterior. Juvenil mengalami 4 kali ganti kulit. Bagian ujung ekornya membulat, stiletnya berkembang dengan baik. Tubuhnya berukuran panjang 486 ± 2.8 µm dengan lebar 19.3 ± 0.9 µm, panjang stilet 23.0 ± 1.0 µm, panjang bagian ekor 51.1 ± 2.8 µm dan lebar 12.1 ± 0.4 µm (Gambar 1) (CABI 2007).

Bioekologi

Menurut Turner dan Evans (1998), siklus hidup NSK berlangsung antara 38-48 hari (tergantung pada suhu tanah), dan terdiri dari 3 fase yaitu: fase telur, fase juvenil (yang terdiri dari juvenil 1-juvenil 4) dan fase dewasa yang terdiri dari nematoda jantan dan nematoda betina (Gambar 2).

(30)

Gambar 2 Skema siklus hidup Globodera spp. (Sumber: Evans dan Stone 1977 dalam Turners dan Evans 1998).

Telur berada di dalam sista dalam keadaan 1 sel, kemudian membelah menjadi 2 sel, 3 sel, 4, sel dan seterusnya sehingga terbentuk juvenil stadia 1 (J1) dan mengalami pergantian kulit menjadi J2 (Lisnawita 2007). Bagian yang aktif dari siklus hidup dimulai ketika juvenil stadia 2 (J2) menetas dari telur. J2 yang menetas dari telur, keluar dari sista, dan melakukan penetrasi pada ujung akar tanaman inang. Selanjutnya J2 masuk ke dalam akar di dekat ujung/tudung akar atau akar-akar lateral dengan menusukkan stiletnya pada sel epidermis, masuk dan bergerak dalam akar secara intraseluler dan menyebabkan kerusakan pada sel-sel yang dilalui. Interaksi inang-parasit mempengaruhi perkembangan juvenil untuk menjadi betina atau jantan. Jenis kelamin dipengaruhi oleh kecukupan nutrisi. Nutrisi yang kurang akan menghasilkan NSK jantan, sebaliknya jika nutrisi cukup tersedia akan menghasilkan betina. Pada saat terjadi infeksi berat, NSK jantan menjadi lebih dominan, dan sebaliknya. Proses pelukaan terjadi pada saat NSK betina membengkak, memecah korteks akar, dan bagian posterior menyembul keluar, sedangkan bagian kepala dan leher masih tetap berada di dalam akar. Dalam perkembangannya, NSK jantan berbentuk cacing (vermiform) melingkar di dalam kutikula larva J4 dan memecah kutikula, kemudian keluar dari akar dan tinggal di tanah (Evans dan Turner 1998).

(31)

9 Penetasan J2 terjadi karena ada rangsangan dari akar tanaman inang terutama bagian ujung akar. Rangsangan ini bersifat spesifik yaitu hanya terjadi

pada tanaman dari famili Solanaceae seperti kentang, tomat, terung dan

S. dulcamara (sejenis gulma dari famili Solanaceae) (Turner dan Evans 1998; Jatala dan Bridge 1995). Menurut Perry (1998), sedikitnya ada 25 senyawa kimia yang disebut faktor penetasan (hatching factors) yang berperan dalam penetasan telur NSK. Rangsangan eksudat akar menyebabkan 60% - 80% telur menetas (Padil 2011).

Reproduksi NSK terjadi secara seksual. Nematoda betina menghasilkan feromon untuk memikat atau menarik jantan yang berada di dalam tanah. Perkawinan segera terjadi beberapa saat kemudian. Setelah kawin, setiap betina menghasilkan sekitar 200 – 500 telur, kemudian betina mati dan dinding tubuhnya akan membungkus telur dan membentuk sista. Perkembangan embrio terjadi di dalam telur hingga J2. Penetasan kembali terjadi bila ada rangsangan yang dihasilkan oleh akar tanaman inang dan kondisi lingkungan yang sesuai dan siklus hidup akan berulang kembali. Keperidian NSK yang berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah mencapai optimum pada temperatur antara 15-21 ºC, dan menurun pada temperatur di bawah 15 ºC atau di atas 21 ºC (Lisnawita 2007).

NSK mempunyai struktur untuk mempertahankan diri di dalam tanah yang disebut sista. Sista merupakan tubuh betina yang telah mati, yang di dalamnya berisi telur (Lisnawita 2007). Sista dan telur merupakan stadia yang persisten dari siklus hidup NSK. Sista yang baru terbentuk mengandung sekitar 500 telur yang dapat bertahan hidup selama 30 tahun. Ketika tidak ada tanaman kentang, sista tetap tinggal di dalam tanah, sebagian dari sista akan menetas secara alami untuk mengurangi kepadatan populasi, dan sebagian sista lainnya akan tetap berada di dalam tanah untuk waktu yang lama tanpa inang. Kemampuan bertahan hidup, reproduksi dan dinamika populasi NSK sangat dipengaruhi oleh temperatur, kelembaban, panjang hari dan faktor lingkungan di sekitarnya (Lisnawita 2007).

Kondisi yang mendukung perkembangan kentang juga sangat menguntungkan bagi perkembangan dan kelangsungan hidup nematoda. Nematoda ini berkembang sangat baik dalam suhu tanah yang sejuk, sehingga pada suhu tanah yang tinggi dalam waktu yang lama akan membatasi

(32)

perkembangan dan reproduksinya. Kelembaban tanah pada kapasitas lapang akan merangsang pergerakan juvenil sedangkan kandungan unsur hara (nutrisi) tanah tidak berpengaruh pada nematoda kecuali yang disebabkan oleh aktivitas tanaman. Selain itu tingkat toleransi pH tanah yang sesuai untuk perkembangan tanaman kentang juga cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan nematoda sista emas (Jatala dan Bridge 1995).

Telur nematoda dapat tetap hidup didalam sista selama 30 tahun di dalam tanah pada lingkungan yang tidak mendukung (CABI 2007). Mereka mampu bertahan terhadap suhu dingin yang ekstrim (-15 0C) dan di dalam tanah yang kering untuk jangka waktu yang lama. Sebagian besar telur akan menetas apabila dirangsang oleh eksudat akar tanaman inang. Nematoda akan tersebar sebagai sista di dalam tanah yang terinfestasi dan terbawa ke tempat lain oleh alat-alat pertanian serta umbi bibit yang telah terkontaminasi ataupun oleh air irigasi (Jatala dan Bridge 1995).

Setelah terjadi perkawinan dan selanjutnya terbentuk sista, J2 yang belum menetas akan tetap berada di dalam sista selama bertahun-tahun (mengalami dormansi). Dormansi yang terjadi pada NSK dapat dibedakan menjadi 2 yaitu

quiescent dan diapause. Quiescent (diam) dipicu oleh faktor lingkungan yang tidak mendukung bagi perkembangan (misalnya suhu terlalu tinggi/rendah, kekeringan). Jika kondisi lingkungan mendukung atau karena ada rangsangan dari eksudat akar kentang (Potato Root Difusate) maka telur yang berada dalam sista tersebut akan menetas. Diapause dipicu faktor genetik, walaupun faktor lingkungan mendukung bagi perkembangan NSK ataupun adanya rangsangan dari eksudat akar kentang namun tidak terjadi penetasan (Perry 1998).

Sebaran Nematoda Sista Kentang

Sebaran Geografis

Berdasarkan EPPO (2006) G. rostochiensis telah terdapat di negara-negara Eropa (Albania, Armenia, Austria, Belarusia, Belgia, Bulgaria, Kroasia, Cyprus, Republik Czech, Denmark, Estonia, Kepulauan Faroe, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Islandia, Irlandia, Italia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg, Malta, Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Romania, Federasi

(33)

11 Rusia, Serbia, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Switzerland, Turki, Ukraina, Inggis, negara-negara di Asia (India, Indonesia, Jepang, Lebanon, Oman, Pakistan, Philippina, Sri Lanka, Tajikistan), negara-negara di Afrika (Algeria, Mesir, Libya, Afrika Utara, Sierra Leone, Afrika Selatan, Tunisia), negara-negara di Amerika (Pegunungan Andean, Bolivia, Amerika Tengah, Chile, Colombia, Equador, Mexico, Panama, Peru, Amerika Selatan, Amerika Serikat dan Venezuela), dan negara-negara di Oceania (Australia, Selandia Baru, Norfolk Island).

G. pallida telah menyebar di negara- negara Eropa (Austria, Belgia, Kroasia, Cyprus, Republic Chech, Kepulauan Faroe, Prancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Iceland, Irlandia, Italia, Luxembourg, Malta, Belanda, Polandia, Romania, Spanyol, Swedia, Switzerland, Ukrainq, Inggris, Turki), negara-negara di Asia (India, Jepang, Malaysia, Pakistan), negara-negara di Afrika (Algeria, Tunisia), negara-negara di Amerika (Pegunungan Andean, Argentina, Bolivia, Kanada, Chile, Colombia, Equador negara di Oceania, Falkland Islands, Panama, Peru, Amerika Selatan, Amerika Serikat, Venezuela dan Selandia Baru (EPPO 2006).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lisnawita (2007) diketahui bahwa NSK telah terdeteksi di sentra pertanaman kentang yang ada di Jawa Tengah dengan kepadatan populasi yang bervariasi. Di Desa Pawuhan (Kabupaten Banjarnegara) ditemukan 400 sista per 100 ml tanah, Desa Karang Tengah (Kabupaten Banjarnegara) dengan 270 sista, Desa Kepakisan (Kabupaten Banjarnegara) dengan 21 sista dan Desa Patak Banteng (Kabupaten Wonosobo) ditemukan 2 sista per 100 ml tanah.

Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Nurjanah (2009) di sentra pertanaman kentang yang ada di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah menemukan sista NSK pada 17 lokasi. Hasil survei juga menunjukkan bahwa NSK tersebar dari ketinggian tempat mulai dari 1460 m dpl sampai dengan 2123 m dpl (Tabel 1).

(34)

Tabel 1 Daerah sebaran NSK di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah No Urut Desa Ketinggian Tempat Posisi Geogafi Suhu Tanah Umur Tanaman Jumlah Sista 1 Ds. Serang Kec. Kejajar Kab. Wonosobo 1460 m S: 070 14' 39,7" E: 1090 57' 04,8" 23 0C 70 hari 94 2 Dsn. Sidareja Ds. Batur Kec. Batur Kab. Banjarnegara 1597 m S: 070 14' 56,0" E: 1090 48' 08,7" 21-23 0 C 60 hari 190 3 Dsn. Kalianget Ds. Batur Kec. Batur Kab. Banjarnegara 1626 m S: 070 12' 11,0" E: 1090 48' 38,7" 20 0C 70 hari 547 4 Dsn. Bujang Sari Ds. Batur Kec. Batur Kab. Banjarnegara 1651 m S: 070 12' 19,2" E: 1090 49' 21,6" 200C 80 hari 327 5 Ds. Bakal Kec. Batur Kab. Banjarnegara 1787 m S: 070 13' 22,4" E: 1090 52' 16,6" 18,50C 80 hari 287 6 Ds. Bakal Kec. Batur 1830 m S: 070 13' 09,0" E: 1090 52' 45,6" 20 0C 70 hari 167 7 Ds. Bakal Kec. Batur 1895 m S: 070 13' 08,1" E: 1090 52' 43,8" 21 0C 100 hari 397 8 Dsn. Buntu Ds. Bakal Kec. Batur Kab. Banjarnegara 1952 m S: 070 13' 00,8" E: 1090 53' 07,3" 18 0C 90 hari 289 9 Ds. Patak Banteng Kec. Kejajar Kab. Wonosobo 1974 m S: 070 12' 63,0" E: 1090 55' 47,7" 18 0C 50 hari 413 10 Dsn. Buntu Ds. Bakal Kec. Batur 1980 m S: 070 12' 52,9" E: 1090 53' 12,3" 21 0C 80 hari 258

(35)

13 Tabel 1 (Lanjutan) No Urut Desa Ketinggian Tempat Posisi Geogafi Suhu Tanah Umur Tanaman Jumlah Sista 11 Ds. Karang Tengah Kec. Batur Kab. Banjarnegara 1994 m S: 070 12' 39,1" E: 1090 53' 05,7" 17 0C 75 hari 1007 12 Dsn. Karang Tengah Ds. Karang Tengah Kec. Batur Kab. Banjarnegara 2037 m S: 070 12' 17,2" E: 1090 53' 13,0" 19 0C 80 hari 571 13 Dsn. Pawuhan Ds. Karang Tengah Kec. Batur 2053 m S: 070 11' 56,8" E: 1090 53' 59,3" 20 0C 90 hari 636 Kab. Banjarnegara 12 Dsn. Karang Tengah Ds. Karang Tengah Kec. Batur 2037 m S: 070 12' 17,2" E: 1090 53' 13,0" 19 0C 80 hari 571 13 Dsn. Pawuhan Ds. Karang Tengah Kec. Batur 2053 m S: 070 11' 56,8" E: 1090 53' 59,3" 20 0C 90 hari 636 14 Dsn. Telaga Merdada Ds. Karang Tengah Kec. Batur Kab. Banjarnegara 2055 m S: 070 12' 14,3" E: 1090 53' 25,3" 160C 60 hari 718 15 Ds. Dieng Kulon Kec. Batur Kab. Banjarnegara 2090 m S: 070 12' 10,4" E: 1090 54' 21,2" 220C 50 hari 57 16 Ds. Karang Sari Kec. Batur Kab. Banjarnegara 2089 m S: 070 12' 47,6" E: 1090 54' 36,7" 23 0C 85 hari 157 17 Dsn. Pawuhan Ds. Karang Tengah Kec. Batur Kab. Banjarnegara 2123 m S: 070 12' 15,3" E: 1090 53' 59,3" 21 0C 100 hari 102 Sumber: Nurjanah (2009).

(36)

Sebaran Lokal

Sebaran Horizontal. Sebaran sista di lahan yang telah terinfestasi tidak bersifat acak. Setelah terjadi infestasi pada 1 (atau lebih dari 1) titik terlihat seperti terjadi foci sekunder yang menyebar dengan cara yang serupa. Foci-foci kecil ini tampak seperti terisolasi, tetapi seiring berjalannya waktu, sebenarnya seluruh lahan telah terinfestasi oleh sista NSK walaupun di beberapa titik tingkat infestasinya masih sangat rendah. Diperlukan beberapa tahun dari awal terjadinya infestasi di lapangan sebelum kerusakan pada areal pertanaman terlihat untuk pertama kalinya. Foci biasanya berbentuk ellips/lonjong dengan kepadatan populasi yang besar di pusat infeksi. Sebaran dan bentuk foci sangat ditentukan oleh kegiatan mekanis seperti panen yang tentunya berpengaruh pada perpindahan tanah yang sekaligus untuk persiapan untuk penanaman berikutnya. Sebaran yang merata dari sista yang berada di suatu area dan penyebaran sista dari titik infeksi awal menunjukkan bahwa posisi sista tidak bisa dipisahkan dengan sista lainnya yang berada di suatu areal (Haydock dan Perry 1998).

Distribusi frekwensi jumlah nematoda tidak mengandung informasi spasial yang benar karena lokasi unit sampel dikesampingkan. Oleh karena itu, lokasi, bentuk, ukuran dan jarak antar foci tidak pernah dapat ditentukan dengan ditribusi frekwensi, meskipun jumlah relatif dari unit kepadatan yang berbeda menghasilkan beberapa unit informasi tentang terbentuknya foci (Haydock dan Perry 1998).

Sebaran Vertikal. Whitehead (1977) dalam Haydock dan Perry (1998) menemukan bahwa ada hubungan variasi populasi NSK pada berbagai kedalaman tanah. Populasi NSK biasanya ditemukan pada kedalaman 20-40 cm dan yang paling banyak ditemukan pada kedalaman top soil tanah (20 cm) sedangkan pada kedalaman lebih dari 40 cm sangat jarang dijumpai. Pada pertanaman kentang populasi NSK banyak ditemukan di daerah sekitar perakaran. Ketika dilakukan panen menggunakan alat/mesin pertanian terjadi pencampuran tanah secara besar-besaran di lahan tersebut. Kapan dilakukannya pengambilan sampel pada tanaman budidaya dan pencampuran lahan sebelum dilakukan pengambilan sampel sangat berpengaruh terhadap perkiraan populasi NSK. Sista biasanya terdistribusi secara

(37)

15 acak pada kedalaman 20 cm dari permukaan tanah karena pengaruh teknik budidaya.

Sebaran Temporal. Sebaran temporal nematoda sista sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan tanaman inang. Reproduksi nematoda sista akan terus berlangsung ketika tanaman inangnya berada pada masa pertumbuhan dan perkembangan (Yeates dan Boag 2004). NSK dapat bertahan di dalam tanah ketika tidak ditemukan inang yang sesuai bagi perkembanganya, Juvenil instar kedua tetap berada di dalam sista dalam keadaan dorman (Turner dan Evans, 1998).

Karakteristik NSK Berdasarkan Morfologi

Salah satu metode konvensional yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi spesies Globodera spp. adalah dengan mengamati ciri-ciri morfologi. Metode sidik perineal merupakan metode yang cukup baik untuk mengetahui spesies NSK. Menurut Stone (1973) dalam Mulyadi et al. (2003) spesies NSK dapat diketahui dengan mengamati warna sista dan bentuk stilet pada stadia juvenil. Nematoda betina G. rostochiensis pada awalnya berwarna putih kemudian berubah menjadi kuning keemasan dan setelah menjadi sista berubah warna menjadi cokelat atau cokelat kehitaman, sedangkan G. pallida berwarna putih setelah menjadi sista berubah menjadi coklat atau cokelat kehitaman (Gambar 3).

Identifikasi dengan menggunakan karakter morfologi juga dapat dilakukan

terhadap beberapa karakter pada J2 dan sista. Knob stilet pada juvenil

G. rostochiensis berbentuk membulat sedang sedangkan G. pallida meruncing ke arah anterior (Gambar 4 a-d).

Gambar 3 Perbedaan warna sista NSK: (a) G. rostochiensis, (b) G. pallida

(Sumber: EPPO 2011).

(38)

Gambar 4 Karakteristik morfologi untuk identifikasi NSK: (a dan b) knob stilet

G. pallida, (c dan d) knob stilet G. rostochiensis, (e)dan pola perineal NSK (Sumber: Fleming dan Powers 1998).

Metode sidik perineal dilakukan terhadap nematoda betina dengan cara mencampur sista yang ditemukan pada setiap lokasi kemudian diambil 10 sista untuk dilakukan pengamatan pola perineal. Pembuatan preparat untuk sista dilakukan dengan mengambil satu sista menggunakan kuas, dan diletakkan di atas gelas objek, kemudian sista dipotong ¾ bagian dari anterior di bawah mikroskop stereo dengan pembesaran 50 x, kemudian bagian anteriornya dibuang dan ¼ bagian ujung posterior digunakan untuk didentifikasi. Telur dan juvenil yang berada di dalam sista dikeluarkan dengan memencet bagian posterior dengan menggunakan jarum dan kuas. Irisan sidik perineal dibersihkan dengan menambahkan air sambil dibersihkan lemak yang ada di bagian posterior perlahan-lahan dengan menggunakan kuas. Irisan dipindahkan dalam gliserin dan disayat sehingga yang tersisa hanya bagian anus dan fenestra. Sidik perineal kemudian dipindahkan ke objek glass lain yang telah berisi gliserin dan ditutup dengan cover glass dan diberi kutek dibagian sisi-sisinya. Kemudian dilakukan pengamatan dibawah mikroskop compound dengan perbesaran 200 x.

Perbedaan G. rostochiensis dengan G. pallida dapat diketahui dengan melihat ciri-ciri morfologi antara lain jumlah tonjolan kutikula (ridges) antara anus dan vulva, diameter vulva basin, jarak antara anus dan vulva basin, rasio Graneks (Gambar 4 e) dan bentuk knob stilet (Tabel 2).

Jumlah ridge

Jarak antara anus – vulva basin

Diameter Vulva basin

(39)

17 Tabel 2 Perbedaan ciri morfologi G. rostochiensis dengan G. pallida

Morfologi Spesies

G. rostochiensis G. pallida

Bentuk knob stilet J2 Bagian anterior bentuknya bulat

Bagian anterior bentuknya datar hingga cekung

Panjang stilet J2 21-33

(umumnya 22)

21-26 (umumnya > 23) Jumlah tonjolan kutikula antara

anus dan vulva basin

12-31 (umumnya > 14)

8-20 (umumnya < 14)

Diameter vulva basin 8-20

(umumnya < 19)

18-21 (umumnya > 19) Jarak anus – vulva basin 37-77

(umumnya > 55) 22-67 (umumnya > 50) Rasio ganek 1.3-9.5 (umumnya > 3) 1.2-3.5 (umumnya < 3)

Sumber: Fleming dan Powers 1998

Pengaruh NSK pada Tanaman Kentang

Menurut petani (Hadisoeganda 2006) bahwa pertanaman kentang di Jawa Timur terserang oleh hama gurem (NSK) dengan gejala infeksi yang dilaporkan adalah tanaman kerdil, cenderung layu, daun menguning tetapi warna kuning tersebut sangat cerah dan apabila rizosfer tanah digali maka akan terlihat perakaran yang memendek, terkesan kotor, dan terlihat adanya gurem kecil-kecil berwarna putih, kuning muda, kuning tua, coklat muda, dan coklat tua seperti tembaga. Gurem tersebut menempel pada akar, sebagian jatuh dan terserak di tanah sekitar perakaran tanaman.

Tanaman kentang memberikan respon yang bervariasi terhadap infeksi NSK, namun kepadatan yang tinggi dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Pada tingkat populasi yang rendah tanaman mampu beradaptasi dengan hanya menyebabkan kerusakan pada sistem perakaran tanpa mempengaruhi perkembangan tanaman. Tanaman dapat memberikan respon lebih awal terhadap luka dengan menghasilkan akar serabut sehingga struktur akar sedikit lebih besar

(40)

dari biasanya dan hasil panen umbi justru lebih meningkat. Namun pada saat tingkat infeksi parah tanaman tidak mampu manunjukkan hal tersebut sehingga timbul berbegai gejala sebagai akibat dari sistem perakaran yang buruk dan tidak efisien (Turner dan Evans 1998).

Ambang ekonomi atas kehilangan hasil oleh NSK umumnya kurang dari 20 telur per g tanah dan nilai tersebut dapat bervariasi karena pengaruh faktor lingkungan dan tingkat ketahanan tanaman inang yang berbeda-beda. Secara umum rata-rata kehilangan hasil pada 20 telur per g tanah adalah 2.75 ton per ha dan kehilangan hasil maksimal yang pernah tercatat adalah 2.2 ton per ha. NSK mereduksi jumlah akar sehingga kemampuan tanaman untuk menyerap dan menyimpan air dan nutrisi dari tanah menjadi rendah (Turner dan Evans 1998). Di Pukekohe (Selandia Baru), kehilangan hasil baru terlihat ketika terdapat 20 telur per g tanah dan akan meningkat hingga 60% ketika jumlah kepadatan nematoda adalah 90 telur per g tanah (Marshall 1998).

Penelitian yang dilakukan di Latvia menunjukkan bahwa NSK menyebabkan kehilangan hasil yang cukup besar tergantung dari kepadatan populasinya. Dengan jumlah 3-24 sista per 100 g tanah kehilangan hasil yang ditimbulkannya dapat mencapai 20% sampai 30% sedangkan dengan 25 sista per 100 g tanah kerugian hingga 80% sampai 90% (Marks dan Rojancovski 1998). Kehilangan hasil umbi kentang yang ditimbulkan oleh NSK pada musim-musim tertentu di Chile bervariasi. Pada musim panas (sekitar Februari) dengan inokulum awal sebanyak 12, 32 dan 128 g telur per g tanah kehilangan hasilnya adalah 20, 50 dan 70% sedangkan pada musim semi dengan jumlah inokulum awal 9, 28 dan 128 telur per g tanah maka kerugian mencapai 20, 50 dan 90% (Franco et al.

1998).

Gejala khas dari kerusakan yang ditimbulkan oleh NSK di atas permukaan tanah dapat dikelompkan menjadi 2 tahap. Tahap pertama (kepadatan populasi rendah hingga sedang) adalah menyebabkan laju fotosintesis berkurang (karena terganggunya serapan hara, air dan gangguan hormonal), sehingga terjadi peningkatan berat kering akar karena pertumbuhan batang yang lebih sedikit dan kecil, daun menjadi tebal dan seluruh tangkai menjadi memendek (kerdil). Tahap kedua (kepadatan populasi tinggi) gejala khas infeksi NSK di atas tanah adalah

(41)

19 bagian tepi daun mengalami nekrotik bahkan daun menjadi kekuningan, daun baru yang muncul sedikit karena penyerapan air dan hara yang kurang sebagai akibat dari dangkalnya akar dan jumlah umbi menurun (Turner dan Evans 1998).

(42)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di sentra pertanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng yang berada di wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa Tengah. Lokasi hamparan pengambilan contoh tanah ditandai dengan GPS (Global Positioning System) untuk mengukur posisi geografis dan elevasi lahan dan dilakukan pengukuran suhu tanah. Penelitian dilaksanakan bulan Oktober 2011 sampai Januari 2012.

Metode Penelitian Pengujian Awal

Pengujian awal bertujuan untuk mengetahui hubungan antara populasi

Globodera spp. dengan tingkat keparahan penyakit dan hasil umbi tanaman kentang. Pengambilan contoh tanaman dan tanah dilakukan menggunakan rancangan penarikan contoh berlapis. Lapisan dalam penarikan contoh ini adalah tingkat keparahan penyakit yang terdiri dari tinggi (T), sedang (S) dan rendah (R) yang berada dalam satu pusat serangan/foci.

Lahan yang digunakan untuk pengambilan contoh adalah hamparan pertanaman kentang berumur 65 hari dan terinfestasi oleh Globodera spp.. Pengambilan contoh tanaman dan tanah dilakukan pada satu ketinggian (1800 m diatas permukaan laut/dpl) dengan keparahan penyakit yang berbeda. Peubah yang diamati meliputi: persentase klorosis, tinggi tanaman, berat segar tanaman, berat umbi per tanaman, jumlah sista per 100 ml tanah, rata-rata jumlah telur dan juvenil per sista.

Ekstraksi sista NSK dilakukan terhadap 100 ml tanah/lokasi lahan contoh. Tanah dilakukan penyaringan dengan 2 saringan bertingkat yaitu yang berukuran 850 µm (bagian atas) dan 300 µm (bagian bawah). Tanah tersebut kemudian disemprot dengan air agar dapat terpisah antara partikel besar dan kecil. Bagian yang tersaring pada mesh berukuran 850 µm dibuang, dan yang tertampung dengan mesh berukuran 300 µm ditiriskan sampai kering, kemudian dicampur dengan ethanol 96% (1:3) dan diaduk hingga sista terangkat ke permukaan. Larutan yang mengandung sista disaring, sista yang menempel di kertas saring

(43)

22

diambil dan dihitung. Parameter yang diamati setelah proses ekstraksi ini dilakukan meliputi, jumlah sista per 100 ml tanah serta rata-rata jumlah telur dan juvenil 2 (J2) per sista.

Pelaksanaan Penelitian

Rancangan Penarikan Contoh. Penarikan contoh dalam penelitian ini menggunakan metode penarikan contoh berlapis 2 tahap dengan dengan lapisan tahap 1 adalah ketinggian tempat sedangkan lapisan tahap 2 adalah tingkat keparahan penyakit. Ketinggian tempat dibedakan menjadi dua yaitu T1 =

ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl dan T2 = ketinggian 1750 m dpl sampai

2000 m dpl. Pada tiap ketinggian diambil 3 lokasi (lahan pertanaman kentang) dimana tiap lokasi diambil sebanyak 3 foci. Pada setiap foci diambil 5 tanaman contoh dengan tingkat keparahan penyakit yang berbeda, yaitu:

P4 = Tingkat keparahan tinggi (tingkat klorosis ≥ 90%)

P3 = Tingkat keparahan agak tinggi (70% ≤ tingkat klorosis < 90%)

P2 = Tingkat keparahan sedang (30% ≤ tingkat klorosis < 70%)

P1 = Tingkat keparahan rendah (1% tingkat klorosis < 30%)

P0 = Tidak bergejala (0%)

Pengumpulan Contoh Tanah. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada tanaman yang menunjukkan gejala kerusakan tinggi sampai tidak bergejala minimal 5 tanaman yang terdapat pada satu guludan (Gambar 5). Contoh tanah yang diambil pada kedalaman 0 - 20 cm (daerah perakaran tanaman/rizosfer) sebanyak 250 ml. Contoh tanah tersebut kemudian dilakukan homogenitas secara merata kemudian diambil 100 ml untuk kemudian dilakukan ekstraksi sista seperti yang dilakukan pada pengujain awal.

(44)

Gambar 5 Pola pengambilan contoh tanah dan tanaman dimana P0, P1, P2, P3 dan

P4 berada pada satu guludan dan menunjukkan tingkat keparahan

penyakit yang berbeda

Peubah yang Diamati. Data yang diambil meliputi: derajat klorosis, tinggi tanaman, berat basah tanaman, berat umbi tanaman, jumlah sista per 100 ml tanah, rata-rata jumlah telur dan juvenil per sista serta suhu tanah dari sekelompok tanaman dalam satu guludan/foci yang gejala infeksi nematodanya terlihat pada 5 tanaman dari yang gejalanya parah sampai yang tidak bergejala.

Identifikasi Species Berdasarkan Karakter Morfologi. Identifikasi spesies dengan menggunakan karakter morfologi dilakukan dengan metode sidik perineal sista dan pengamatan terhadap knob J2. Spesies Globodera spp. dapat diketahui dengan melihat ciri-ciri morfologi sidik perineal yaitu jumlah tonjolan kutikula (ridge) antara anus dan fenestra dan penghitungan rasio ganeks. Karakter morfologi lain yang dapat dipergunakan untuk membedakan spesies Globodera

spp. adalah dengan melihat bentuk knob stilet dari J2.

Analisis Data

Analisis hubungan antara tingkat keparahan penyakit dengan kerapatan NSK, tinggi tanaman, berat segar tanaman, derajat klorosis, dan berat umbi kentang dilakukan menggunakan analisis ragam dan Uji Tukey. Untuk keperluan

penghitungan dalam analisis ragam, data kerapatan NSK ditransformasi ke dalam logaritma bilangan dasar 10 (Log (Y)) dan data persentase klorosis ditransformasi ke dalam Arcus Sinus (Arcsin (√Y)). Analisis ragam dan Uji Tukey dilakukan menggunakan Program Minitab Versi 16.

(45)

25

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Awal

Berdasarkan analisis sidik ragam dan uji Tukey diketahui bahwa tingkat keparahan penyakit berkorelasi positif dengan peningkatan kerapatan NSK (Tabel 3). Kerapatan nematoda terbanyak ditunjukkan oleh tanaman dengan tingkat keparahan penyakit tinggi yaitu 351 391 ekor/100 ml tanah sedangkan kerapatan

nematoda paling sedikit ditunjukkan oleh keparahan penyakit rendah yaitu 152 580 ekor/100 ml tanah.

Tabel 3 Rata-rata kerapatan NSK pada tiga tingkat keparahan penyakit tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng

Keparahan penyakit Rata-rata kerapatan NSK

(ekor/100 ml tanah)1 Rendah Sedang Tinggi 152 580 a 257 279 b 351 391 b 1

Angka selajur yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (uji Tukey, α= 5%)

Hasil analisis terhadap hubungan antara tingkat keparahan penyakit dengan tingkat kerusakan tanaman menunjukkan bahwa tingkat keparahan penyakit secara nyata berkorelasi dengan tingkat kerusakan tanaman yang terlihat pada data tinggi tanaman, persentase klorosis dan berat segar tanaman. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa tinggi tanaman dan berat segar tertinggi ditunjukkan oleh keparahan penyakit rendah yaitu 64.6 cm dan 320.3 g namun tidak berbeda nyata dengan tingkat keparahan penyakit sedang, sementara tinggi dan berat segar tanaman terendah ditunjukkan oleh tingkat keparahan penyakit tinggi. Pada tingkat klorosis terlihat bahwa dengan semakin meningkatnya tingkat keparahan penyakit maka persentase klorosis akan semakin tinggi. Peubah berat umbi yang dihasilkan menunjukkan bahwa tingkat keparahan penyakit yang rendah menghasilkan umbi terberat yaitu 320.0 g dan yang paling ringan terlihat pada tingkat keparahan tinggi yaitu 218.0 g.

(46)

Menurut Scurah et al. (2005) gejala kerusakan yang disebabkan oleh infeksi NSK tidak spesifik pada bagian tanaman kentang yang ada di atas permukaan tanah. Namun kerusakan akar menyebabkan tekanan dan berkurangnya penyerapan air dan hara sehingga tanaman menjadi kerdil dan berwarna kekuningan (klorosis). Hal ini berdampak langsung pada parameter pertumbuhan tanaman seperti tinggi, berat segar, berat umbi, klorosis dan populasi nematoda yang ada. Ditambahkan oleh Trudgil et al. (1998), NSK menurunkan hasil umbi kentang dengan mengurangi pertumbuhan tanaman yang ada di atas permukaan tanah. Nematoda mengurangi intersepsi cahaya yang diterima daun dengan mempercepat penuaan (klorosis) sehingga berpengaruh pada menurunnya laju fotosintesis dan efisiensi penggunaan air.

Tabel 4 Rata-rata tinggi tanaman, klorosis, berat segar dan berat umbi tanaman kentang pada tiga tingkat keparahan penyakit di Dataran Tinggi Dieng Keparahan penyakit Tinggi tanaman (cm)1 Klorosis (%) Berat segar (g) Berat umbi (g) Rendah Sedang Tinggi 64.6ax 58.6ab 45.8bx 3.0a 11.0b 47.0c 320.3a 285.4a 137.8b 330.0a 276.0a 218.0a 1

Angka selajur yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (uji Tukey, α= 5%)

Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit Tanaman dengan Kerapatan Populasi NSK

Berdasarkan survei yang telah dilakukan di sentra produksi tanaman kentang yang ada di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl dan 1750 m dpl sampai 2000 m dpl yang meliputi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara diketahui bahwa sebaran kerapatan populasi NSK sangat beragam (jumlah sista NSK di lokasi survai bervariasi dari rendah sampai tinggi).

Kerapatan populasi NSK cenderung meningkat seiring dengan semakin tingginya tempat. Hal ini terlihat dari data yang diperoleh bahwa populasi terendah berada pada ketinggian 1450 m yaitu 2897 ekor/100 ml tanah yang berada di Desa Serang Kecamatan Kejajar-Wonosobo dan tertinggi pada 1924 m

(47)

27 dpl yaitu 563 266 ekor/100 ml tanah di Desa Karang Tengah Kecamatan Batur-Banjarnegara. Pada Gambar 6 disajikan plot hubungan antara ketinggian tempat dengan kerapatan populasi nematoda. Populasi NSK yang ditemukan pada areal yang disurvei menunjukkan peningkatan seiring dengan bertambahnya ketinggian tempat.

Gambar 6 Hubungan antara ketinggian tempat dengan kerapatan populasi NSK. Dengan melakukan analisis regresi (Lampiran 3), hubungan antara ketinggian tempat dengan kerapatan populasi NSK dapat dimodelkan sebagai berikut:

Kerapatan NSK = - 812 449 + 581 Ketinggian

Model di atas menunjukkan bahwa kerapatan NSK berkorelasi positif dengan ketinggian tempat (R-Sq= 66.1%; P=0.000). Makin tinggi tempat maka kerapatan NSK juga semakin banyak. Pada ketinggian antara 1450 m dpl sampai 2000 m dpl, penambahan populasi NSK untuk setiap satu meter kenaikan tempat sebesar 581 ekor/100 ml tanah. Menurut Djayadiningrat (1990) ketinggian tempat sangat mempengaruhi iklim, terutama peningkatan curah hujan dan menurunnya suhu (temperatur) udara.

Menurut Lisnawita et al. (2007), temperatur sangat mempengaruhi faktor biologi NSK, seperti jumlah sista baru, faktor reproduksi, daya tahan hidup, keperidian serta perbanyakan dan di Jawa Tengah kondisi optimum berada pada kisaran antara 15 dan 21 oC. Jumlah sista, daya tahan hidup, keperidian, dan multiplikasi yang akan dihasilkan akan menurun secara nyata pada temperatur di

100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 1400 1500 1600 1700 1800 1900 2000 K era pa ta n popul as i N S K (ri bu e kor/ 100 m l ta na h) Ketinggian tempat (m dpl) 600 500 400 300 200 100

(48)

0 60000 120000 180000 240000 300000 360000 420000 480000 540000 600000 P0 P1 P2 P3 P4

Tingkat keparahan penyakit Lokasi 1

Lokasi 2 Lokasi 3

bawah 15 C dan di atas 21 C. Persentase kematian G. rostochiensis pada suhu 11 oC mencapai 15.2% dan 56.7% pada 22 oC sedangkan G. pallida lebih

signifikan yaitu 45.30% pada temperatur tanah 11 oC dan 79.50% pada 22 oC (Marshall 1998).

Gambar 7 Hubungan kerapatan NSK dengan tingkat keparahan penyakit: (a) pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl, (b) 1750 m dpl

sampai 2000 m dpl. (Tingkat keparahan penyakit: P4, tinggi; P3, agak tinggi; P2, sedang; P1, rendah; 0, tidak bergejala).

Berdasarkan analisis ragam diketahui bahwa tingkat keparahan penyakit berhubungan dengan kerapatan nematoda sedangkan terhadap faktor ketinggian tempat tidak terlihat hubungan yang nyata, tetapi terhadap interaksi antara keduanya menunjukkan hubungan yang nyata (Nilai P < 0.05) (Lampiran 4). Besarnya persentase penyakit yang terjadi pada lahan yang dilakukan survei memberikan indikasi bahwa kehadiran NSK berkorelasi positif dengan munculnya klorosis. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kerapatan nematoda tertinggi diperoleh pada tingkat keparahan tinggi (P4) dan berturut-turut diikuti oleh

keparahan agak tinggi (P3), keparahan sedang (P2), keparahan rendah (P1) dan

tidak bergejala (P0) yaitu berturut-turut 65 117, 47 351, 36 518, 32 317, dan

220902 ekor/100 ml tanah pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl sedangkan pada 1750 m dpl sampai 2000 m dpl adalah 378 513, 320 399, 279 863, 258 146, dan 210 098 ekor/100 ml tanah (Gambar 7). Hal ini membuktikan bahwa semakin jauh letak suatu tanaman dari tanaman lain yang menjadi pusat serangan menyebabkan penurunan kerapatan populasi nematoda. Menurut

0 60000 120000 180000 240000 300000 360000 420000 480000 540000 600000 P0 P1 P2 P3 P4 K er ap at an N S K (r ib u e k o r/ 1 0 0 m l ta n ah )

Tingkat keparahan penyakit

a b 600 540 480 420 360 300 240 180 120 60 0

(49)

29 Haydock dan Perry (1998), foci seringkali berbentuk lonjong dengan kerapatan populasi yang besar pada pusat gejala infeksi nematoda.

Tabel 5 Rata-rata kerapatan NSK pada lima tingkat keparahan penyakit dan dua kisaran ketinggian tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng

Ketinggian tempat (m dpl)

Tingkat keparahan penyakit

P4(1) P3 P2 P1 P0 1250-1500 1750-2000 65 117 378 153 c a 47 351 320 399 cd ab 36 518 279 863 de ab 32 317 258 146 ef ab 22 903 210 098 f b (1)

Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata ( uji Tukey, α= 5%)

Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa terdapat perbedaan kerapatan antar tingkat keparahan penyakit antara kisaran ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl dengan 1750 m dpl sampai 2000 m dpl. Perbedaan ini dapat disebabkan karena kondisi iklim dan temperatur pada pada kisaran 1750 m dpl sampai 2000 m dpl lebih sesuai bagi perkembangan NSK. Berdasarkan Lampiran 2 terlihat bahwa pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl suhu tanah berada pada kisaran 18-22 oC sedangkan pada 1750 m dpl sampai 2000 m dpl antara 15-21 oC. Menurut Lisnawita (2007) keperidian NSK yang berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah mencapai optimum pada temperatur antara 15-21 oC, dan akan menurun pada temperatur dibawah 15 oC atau diatas 21 oC. Ditambahkan oleh Suwardiwijaya et al. (2007) lokasi Desa Bakal dan Karang Tengah (Kecamatan Batur) yang berada pada ketinggian 1750 m dpl sampai 2000 m dpl merupakan daerah awal terjadinya infestasi NSK di Dataran Tingi Dieng pada tahun 2007 sehingga pada kisaran ketinggian ini jumlah NSK lebih banyak dibandingkan pada pertanaman kentang yang berada pada kisaran 1250 m dpl sampai 1500 m dpl.

Identifikasi Spesies NSK

Sista

Sista merupakan betina dewasa dari Globodera spp. yang terbentuk dari kutikula yang mengeras, di dalamnya berisi telur yang akan menjadi generasi berikutnya. Awalnya sista terlihat berwarna putih atau kuning keemasan ketika akar tanaman

(50)

kentang yang sakit dicabut, namun lama-kelamaan berubah menjadi coklat atau coklat kehitaman. Ukuran sista tidak seragam antara satu dengan lainnya dan bentuknya ada yang membulat, sedikit elips atau ovoid. Menurut Flemings dan Powers (1998), sista Globodera spp. berukuran lebih pendek dibandingkan dengan sista Heterodera dan bentuknya lebih membulat (kecuali untuk tonjolan yang ada di bagian anterior) serta tidak memiliki terminal cone (Gambar 8).

Gambar 8 Sista Globodera spp.: (a) sista hasil ekstraksi pada tanaman kentang yang berasal dari Dataran Tinggi Dieng, (b) sista tanpa terminal cone

(lingkaran kuning).

Pengamatan pola perineal sista NSK dari sampel yang berasal dari Dataran Tinggi Dieng untuk menentukan spesies dilakukan dengan menghitung rasio granek (jarak antara anus dengan fenestra/ diameter fenestra) dan jumlah tonjolan (cuticular ridge) antara anus dan fenestra. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 9 dan Lampiran 5 dan 6.

Dari Gambar 9 terlihat bahwa penelitian yang dilakukan pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl dan 1750 m dpl sampai 2000 m dpl ditemukan populasi campuran spesies NSK. Pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl dominasi G. pallida terhadap G. rostochiensis sekitar 63% bahkan pada ketinggian 1750 m dpl sampai 2000 m dpl persentase dominasi mencapai 70%. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Inggris yang menunjukkan

bahwa G. pallida merupakan NSK yang dominan dibandingkan dengan

G. rostochiensis pada pertanaman kentang (Bhattarai et al. 2010). Spesies yang dominan dalam populasi NSK campuran dapat disebabkan karena tekanan seleksi lingkungan, kompetisi inter spesifik atau pengaruh penggunaan varietas kentang.

Gambar

Gambar 1   Morfologi G. rostochiensis: (a) juvenil, (b) bagian kepala dari juvenil  instar  2  (J2),  (c)  bagian  tengah  tubuh  J2,  (d)  bagian  faring  dari  J2,     (e)  bagian  faring  dari  jantan,  (f)  bagian  ujung/ekor  dari  jantan,           (
Gambar 2  Skema  siklus  hidup  Globodera  spp.  (Sumber:  Evans  dan  Stone  1977  dalam Turners dan Evans 1998)
Tabel 1  Daerah sebaran NSK di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah  No
Gambar 3   Perbedaan  warna  sista  NSK:  (a)  G.  rostochiensis,    (b)  G.  pallida  (Sumber: EPPO 2011)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil: Uji statistik menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara frekuensi bangkitan dengan fungsi kognitif pada pasien epilepsi (p=0.000) dan juga terdapat

Pada penelitian hari ini terjadi penggabungan 2 kelas yakni kelas keterampilan ketik dengan mesin ketik oleh kelas VII A, dan kelas keterampilan komputer oleh kelas VIII A.

Surat Tugas merupakan salah satu jenis naskah dinas penugasan. Surat Tugas adalah naskah dinas yang dibuat oleh atasan atau pejabat yang berwenang kepada bawahan atau

Dampak atas kebijakan relokasi bagi masyarakat di area rel kereta api yaitu baik berupa sosial yaitu tidak adanya kejelasan tempat tinggal bagi warga yang

Kode Artikel Jumlah Publikasi Jumlah Pengarang Asal Negara Pengarang Bahasa Artikel..

Sampel penelitian adalah ruangan industri kerajinan kuningan”Sepeda Mulyo” pengambilan titik 4 sampel serta wawancara kepada tenaga kerjanya sebagai data pendukung

Terlihat dari adanya siswa yang mengantuk pada saat pembelajaran, siswa yang malas mengerjakan tugas yang diberikanguru sehingga menyontek di kelas, terdapat siswa

Dalam membuat penjadwalan ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian misalnya dosen, kelas, ruang belajar dan waktu perkuliahan [2]. Semua hal yang disebutkan