• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengomposan jerami padi organik menuju "zero waste production management"

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengomposan jerami padi organik menuju "zero waste production management""

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

“ZERO WASTE PRODUCTION MANAGEMENT”

NAZIF ICHWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengomposan Jerami Padi Organik Menuju “Zero Waste Production Management” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

(3)
(4)

Production Management”. Supervised by ARIEF SABDO YUWONO and SATYANTO KRIDO SAPTOMO

Rice straw which is nowadays normally concerned as agricultural waste was used in this research as raw material to produce compost. The objectives of this research were to compost organic rice straw, to analyze the nutrient content of compost, and to justify compost quality compared with the national standard of compost quality (SNI 19-7030-2004), to analyze water and sludge quality, and to develop waste-compost mass balance. Results of this research showed that the time required to compost rice straw under aerobic condition to become compost takes approximately 8 weeks for turned piles and aerated system, app. 5 weeks for cylinder system, whereas under anaerobic condition takes app. 6 weeks. Under anaerobic condition eight weeks of composting period in plastic drum was not sufficient as indicated by unfinished biodegradation process. The compost produced from rice straw contains macro and micro nutrients required by plants. Implemented of organic fertilizer did not cause pollution in the bodies of water and the nutrition organically bound so it often was used as a soil conditioning. The waste-compost mass balance in the organic rice cultivation system was developed where the amount of rice straw was in the order of 14.1 ton/ha and the amount of the resulted compost was about 11.3 ton. In general, compost nutrients content complies with the national quality standards. It can be concluded that the rice straw composting process required approximately 5-8 weeks, and the produced compost contains nutrients required by rice field according to national standard.

(5)
(6)

Production Management”. Dibimbing oleh ARIEF SABDO YUWONO dan SATYANTO KRIDO SAPTOMO

Budidaya padi sawah merupakan kegiatan yang lazim dilakukan oleh masyarakat Indonesia, terutama daerah pedesaan. Konsep yang diterapkan petani saat ini adalah dengan memberikan kebutuhan unsur hara tanaman menggunakan pupuk kimia sintetik menurut dosis yang telah ditentukan. Pemberian pupuk kimia sintetik secara tidak langsung telah menyebabkan degradasi lahan pertanian dan dalam proses produksi pupuk tersebut juga dikeluarkan emisi gas langsung ke udara.

Budidaya padi selain menghasilkan beras, juga menghasilkan limbah berupa jerami, sekam, dan gas metana serta non metana. Jerami merupakan limbah potensial yang dihasilkan dari kegiatan budidaya padi dengan potensi 12-15 ton/ha jerami segar. Pada umumnya Jerami dibakar oleh petani untuk mereduksi volume limbah dan kegiatan ini menghasilkan emisi CO2 yang akan

meningkatkan pemanasan global sebagai gas rumah kaca dan menimbulkan limbah baru berupa abu (ash) sisa dari pembakaran.

Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan teknik pengomposan jerami yang tepat yang dapat dilakukan oleh petani, menganalisis mutu kompos yang dihasilkan dari jerami dan membandingkan kualitasnya dengan Standar Nasional Indonesia (SNI 19-7030-2004), menganalisis pengaruh pemberian pupuk terhadap kualitas air irigasi dan lumpur dari sawah, serta menyusun neraca massa limbah-kompos dalam sistem budidaya padi organik.

Pengomposan jerami dapat dilakukan dengan metoda aerob dan anaerob. Temperatur merupakan salah satu parameter penting dalam pengomposan. Analisis kompos perlu dilakukan untuk mengukur kandungan unsur hara yang terdapat dalam kompos.

Analisis air dan lumpur dari sawah perlu dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian pupuk terhadap kualitas air irigasi dan lumpur dari sawah tersebut. Penyusunan neraca massa limbah-kompos dilakukan untuk melihat ketersediaan kompos yang dihasilkan dengan bahan dasar jerami. Pemanfaatan jerami menjadi kompos diharapkan dapat mengurangi timbulnya polusi dan sekaligus sebagai salah satu upaya dalam “zero waste production management” sehingga akan terbentuk jalur pendek mata rantai pemanfaatan limbah padi sawah. Penelitian dilaksanakan di rumah kompos Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor yang terletak di Kampung Gardu Dalam, Kec. Bogor Barat, Kota Bogor. Sawah percobaan budidaya padi organik berada bersebelahan dengan rumah kompos. Pengujian sampel kompos dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Departemen Pertanian di Bogor. Pengujian kualitas air irigasi dan lumpur dilaksanakan di Laboratorium Lingkungan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Institut Pertanian Bogor.

(7)

anaerobik berada pada fase mesofilik, yaitu kisaran temperatur 28-45oC. Hanya campuran jerami dengan kotoran ayam sistem tumpukan yang mencapai fase termofilik. Proses pengomposan metoda aerobik juga dipengaruhi oleh pemberian air untuk mempertahankan kelembaban kompos dan juga pembalikan agar campuran kompos lebih merata dalam mendapatkan oksigen. Kompos mengalami dinamika perubahan temperatur dan bergerak stabil mulai hari ke-48 setelah pengomposan pertama pada sitem tumpukan dan aerasi, setelah hari-24 pada sistem silinder, dan setelah hari ke-35 pada pengomposan metoda anaerobik di atas tanah serta dibungkus terpal. Grafik temperatur kompos yang telah stabil menunjukkan bahwa kompos telah matang.

Analisis unsur hara kompos menunjukkan bahwa kompos mengandung unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan oleh tanaman dengan nisbah C/N antara 10-20. Pada umumnya kualitas kompos yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan SNI 19-7030-2004. Walaupun unsur C-organik pada kompos berbahan dasar jerami dengan campuran kotoran kambing lebih rendah dari baku mutunya, namun nisbah C/N yang dihasilkan sesuai dengan SNI 19-7030-2004. Dapat dilihat juga unsur Mg pada kompos berbahan dasar jerami dengan campuran kotoran ayam melebihi baku mutunya, namun angka tersebut masih bisa diterima karena perbedaannya tidak terlalu besar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kompos jerami memenuhi syarat dan menunjukkan kualitas kompos baik.

Hasil analisis kualitas air dan lumpur menjelaskan bahwa kandungan hara yang diberikan diserap oleh tanaman padi, dan juga terjadinya dinamika air tanah termasuk infiltrasi, perkolasi dan kapasitas air yang membawa unsur hara (leaching), serta larut pada air irigasi. Kualitas air irigasi pada sawah percobaan tidak menunjukkan gejala terjadinya pencemaran pada badan-badan air. Hal ini disebabkan konsentrasinya masih berada di bawah baku mutu kualitas air. Nutrisi pupuk terikat secara organik sehingga jauh lebih rentan terhadap pencucian hara dari pada pupuk terlarut dan karena itu sering digunakan sebagai pengkondisian tanah.

Dari neraca massa limbah-kompos diperoleh bahwa dengan mengomposkan jerami 14,1 ton ditambah dengan dekomposer, baik kotoran ayam atau kotoran kambing dengan porsi 1:1 dan berkadar air yang sama dihasilkan kompos 11,3 ton dan 16,9 ton atau 60% dari massa kompos keluar dalam bentuk uap air, air lindi, gas berbau, metana (CH4) dan CO2. Dari kompos yang

(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(9)
(10)

“ZERO WASTE PRODUCTION MANAGEMENT”

NAZIF ICHWAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)
(12)

NIM : F451090031

Disetujui Komisi Pembimbing

Ir. Arief Sabdo Yuwono, M.Sc, Ph.D Dr. Satyanto K. Saptomo, S.TP, M.Si Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknik Sipil dan Lingkungan

Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(13)
(14)

sehingga penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2011, dan karya tulis ilmiah dengan judul Pengomposan Jerami Padi Organik Menuju “Zero Waste Production Management” ini dapat diselesaikan.

Terima kasih diucapkan kepada:

1. Ir. Arief Sabdo Yuwono, M.Sc, Ph.D dan Dr. Satyanto K. Saptomo, S.TP, M.Si selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingannya.

2. Dr. Ir. M. Yanuar JP, MS selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberi saran.

3. Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA selaku Ketua Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor yang telah banyak memberikan saran.

4. Orang tua tercinta (Alm) H. Chairul Anwar dan Hj. Zubaidah, BA, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

5. Rekan-rekan Teknik Sipil dan Lingkungan angkatan 2009 yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan penelitian ini.

Disadari masih banyak kekurangan dalam penulisan ini, namun diharapkan dapat memberi kontribusi bagi dunia akademik maupun masyarakat. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2011

(15)
(16)

(Alm) H. Chairul Anwar dan Hj. Zubaidah, BA. Penulis merupakan putra keempat dari lima bersaudara.

Tahun 2003 penulis lulus dari SMA Negeri 5 Medan dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Andalas pada Jurusan Teknologi Pertanian Program Studi Teknik Pertanian melalui seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) tahun 2003. Pendidikan sarjana diselesaikan pada tahun 2008.

(17)
(18)

Halaman

2.2 Pengelolaan Limbah Padat ... 5

2.3 Pengomposan ... 6

2.4 Pertanian Organik dan Berkelanjutan ... 9

2.5 Pengaruh Pupuk Organik ... 10

2.6 Peranan Pupuk pada Padi ... 12

3.3 Pelaksanaan Penelitian ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1 Kompos Jerami ... 26

4.2 Kandungan Unsur Hara dan Kualitas Kompos ... 33

4.3 Kualitas Air Irigasi dan Lumpur ... 35

4.4 Neraca Massa Limbah-Kompos ... 38

(19)
(20)

1. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik dan Taraf Pupuk N

Terhadap Hasil dan Kualitas Tanaman Padi Sawah ... 11

2. Hasil Pengujian Pupuk Kandang pada Budidaya Padi Sawah di

Lahan Bukaan Baru ... 13 3. Kandungan Hara Jerami ... 14

4. Kandungan Unsur Hara Pupuk Kandang (Kotoran Kambing) ... 25

5. Analisis Kandungan Hara dan Justifikasi Kualitas Kompos

(21)
(22)
(23)
(24)

1. Standar Nasional Indonesia Tentang Spesifikasi Kompos dari

(25)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Budidaya padi sawah merupakan kegiatan yang lazim dilakukan oleh masyarakat Indonesia, terutama daerah pedesaan. Konsep yang diterapkan petani saat ini adalah dengan memberikan kebutuhan unsur hara tanaman menggunakan pupuk kimia sintetik menurut dosis yang telah ditentukan. Pemberian pupuk kimia sintetik secara tidak langsung telah menyebabkan degradasi lahan pertanian (Simanungkalit et al., 2006) dan berkontribusi mengeluarkan emisi gas rumah kaca (GRK) dari lahan sawah 70,9% (ADB-GEF-UNDP, 1998) dari 8,05% kontribusi pertanian secara nasional (KLH, 1999 dalam Deptan, 2007). Kondisi ini bertentangan dengan konsep kegiatan pertanian organik dan berkelanjutan yang sedang digalakkan oleh pemerintah.

Lahan sawah yang menggunakan pupuk kimia sintetik mengalami degradasi sehingga kualitas tanah semakin menurun dan menyebabkan hasil pertanian juga menurun (Sigit et al., 2007). Petani sebagai pengolah lahan melakukan usaha perbaikan kualitas tanah sawah dengan menambah dosis penggunaan pupuk kimia sintetik dengan harapan dapat menyuburkan tanah. Namun hal ini menyebabkan kualitas tanah semakin menurun dan menimbulkan polusi dari kegiatan pertanian tersebut.

Penggunaan pupuk kimia sintetik juga menimbulkan polusi dari persawahan. Secara tidak langsung, produksi pupuk kimia sintetik menyumbang emisi langsung ke udara karena dalam proses produksinya memerlukan energi. Produksi pupuk urea buatan dengan aplikasi 100 kg/ha mengeluarkan emisi gas NO sebesar 23.600 g/ha langsung ke udara per normal aplikasi (USEPA, 1998). Hal ini cukup menjadi perhatian karena gas NOx merupakan salah satu parameter

kualitas udara ambien. Dosis pupuk yang diberikan tidak semuanya dapat diserap oleh padi. Hal ini menyebabkan pupuk larut dalam air dan terbawa keluar persawahan. Apabila dosis pupuk N terlarut dalam air irigasi terlalu tinggi, maka akan menyebabkan pencemaran pada badan-badan air.

(26)

dari budidaya padi adalah sebesar 12-15 ton jerami segar per hektar sawah (BPTP, 2010). Jerami banyak dibakar oleh petani untuk mereduksi volume atau menghasilkan residu hasil pembakaran untuk pupuk yang akan mengemisikan CO2 yang berhubungan dengan pemanasan global sebagai gas rumah kaca

(Rashad et al., 2010) dan menimbulkan limbah baru berupa abu (ash) sisa dari pembakaran. Jerami memiliki kandungan Kalium yang sangat baik untuk kesuburan tanah. Kandungan Kalium yang terdapat pada 5 ton jerami setara dengan 50 kg pupuk KCL (Balai Penelitian Pengkajian Pertanian, 2010). Pemberian jerami ke tanah secara terus menerus dapat memperbaiki dan meningkatkan kesuburan tanah.

Pemanfaatan jerami bisa dilakukan dengan cara mengolah jerami menjadi kompos. Pengomposan menjadi strategi yang berharga untuk mendaur ulang berbagai limbah organik. Pemanfaatan kompos memungkinkan pemulihan tanah yang terdegradasi dan pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan (Cayuela et al., 2009). Pengomposan jerami telah dilakukan dengan mencampur pupuk kandang (Li et al., 2008); limbah lumpur susu (Perez et al., 2009); ampas penggilingan zaitun dan kotoran kelinci (Canet et al., 2008); okara dengan rock fosfat dan kotoran kerbau (Rashad et al., 2010).

Dengan demikian, jerami bisa didaur ulang menjadi sesuatu yang bermanfaat dan menerapkan prinsip pemanfaatan kembali limbah yang ada untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman serta mengurangi polusi udara yang disebabkan pembakaran jerami tersebut. Pengolahan jerami menjadi kompos menggunakan teknik pengomposan sederhana yang dapat diterapkan petani di lapangan. Pengomposan jerami dapat dilakukan dengan metoda aerob dan anaerob (Pichtel, 2005; Snape et al., 1995; Stoffella and Kahn, 2001). Temperatur merupakan salah satu parameter penting dalam pengomposan (Stoffella and Kahn, 2001). Analisis kompos perlu dilakukan untuk mengukur kandungan unsur hara yang terdapat dalam kompos.

(27)

jerami menjadi kompos diharapkan dapat mengurangi timbulnya polusi dari kegiatan padi sawah sekaligus sebagai upaya penerapan pendekatan “zero waste production management” sehingga akan terbentuk jalur pendek mata rantai pemanfaatan limbah padi sawah.

1.2 Rumusan Masalah

Dari penjelasan latar belakang diatas, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut:

1. Budidaya padi menggunakan pupuk kimia sintetik menyebabkan terjadinya degradasi lahan dan timbulnya emisi gas rumah kaca ke atmosfer.

2. Degradasi lahan sawah menyebabkan produktivitas padi menurun.

3. Jerami merupakan limbah potensial yang berasal dari budidaya padi sawah. 4. Pembakaran jerami menimbulkan abu (ash) dan mengeluarkan emisi ke

atmosfer.

5. Jerami memiliki kandungan Kalium yang sangat tinggi yang apabila dikembalikan ke lahan secara terus menerus akan menyuburkan tanah.

6. Pemanfaatan jerami bisa dilakukan dengan cara pengomposan. 7. Kompos sebagai penyedia unsur hara tanaman padi.

8. Pemanfaatan kompos bisa mensubstitusi penggunaan pupuk kimia sintetik. 1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menerapkan teknik pengomposan yang tepat yang dapat dilakukan oleh petani.

2. Menganalisis mutu kompos yang dihasilkan dari jerami dan membandingkan kualitasnya dengan Standar Nasional Indonesia (SNI 19-7030-2004).

3. Menganalisis pengaruh pemberian pupuk terhadap kualitas air irigasi dan lumpur dari sawah.

(28)

1.4 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dari penelitian ini secara skematis disampaikan pada Gambar 1. Budidaya padi menghasilkan limbah jerami yang sangat banyak. Jerami mengandung kalium yang sangat tinggi dan sangat baik apabila dikembalikan ke lahan secara terus menerus. Pemanfaatan jerami sebagai pupuk untuk memenuhi unsur hara tanaman dapat dilakukan dengan cara pengomposan jerami tersebut. Kompos yang dihasilkan akan menjadi input bagi lahan budidaya padi sawah organik kembali.

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Jerami

Pengomposan

Kompos Lahan

(29)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Limbah

Limbah terdiri dari tiga bentuk yaitu cair, padat, dan gas. Ketiga bentuk ini mempunyai hubungan putaran tertutup dalam konversinya. Limbah cair dan gas yang dihasilkan dapat berubah menjadi limbah padat, ketika pembakaran limbah padat dapat mengakibatkan produksi limbah cair dan gas (Murarka, 2000).

Limbah cair adalah kombinasi cairan atau limbah terlarut yang timbul dari penggunaan air tanah, air permukaan dan air sungai baik penggunaan domestik maupun industri (Snape et al., 1995). Metcalf and Eddy (2004) juga menambahkan air limbah dapat didefinisikan sebagai kombinasi cairan atau air limbah yang dikeluarkan dari tempat tinggal, lembaga, atau kawasan komersil dan industri, bersama dengan air tanah, air permukaan dan sungai.

Limbah dalam bentuk gas adalah sebagai polutan di atmosfer yang menyebabkan polusi udara. Polusi udara adalah senyawa kimia yang ditambahkan ke atmosfer melalui kegiatan manusia yang mengakibatkan peningkatan konsentrasi diatas ambang batas (Krupa, 1997).

Limbah padat adalah sampah, lumpur dan bahan-bahan padat buangan yang dihasilkan dari operasi industri komersial dan dari kegiatan masyarakat, tidak termasuk material padat atau terlarut pada saluran domestik atau polutan pada sumber-sumber air, seperti endapan, padatan terlarut atau mengendap pada keluaran air limbah industri, bahan terlarut pada aliran irigasi atau polutan air lainnya (Pitchel, 2005).

2.2 Pengelolaan Limbah Padat

Pengelolaan limbah padat adalah sistematik dari kegiatan yang menyediakan tempat pengumpul, pemisahan dari sumber, penyimpanan, transportasi, pemindahan, proses, dan penangan pembuangan limbah padat. Hal ini perlu dilakukan dan ditangani oleh semua pihak, baik perorangan maupun kelompok karena berhubungan dengan estetika, penggunaan lahan, kesehatan, polusi air, polusi udara, dan pertimbangan ekonomi (Salvato, 1992).

(30)

konstruksi dan pembongkaran, radioaktif, pertambangan, dan pertanian. Hal senada juga diungkapkan Murarka (2000) yang menyebutkan bahwa rumah tangga, perdagangan, industri, pertanian, pertambangan, dan aktivitas energi yang berhubungan dengan semua sumber limbah padat merupakan sumber limbah, dan yang paling besar kontribusinya adalah pengeboran tambang dan pertanian.

Hirarki penanganan limbah padat terdiri dari mengurangi jumlah limbah dan tingkat toksisitasnya, menggunakan bahan kembali, mendaur ulang bahan, mengomposkan, pembakaran dengan pemanfaatan kembali energinya, pembakaran tanpa pemanfaatan energi, dan penimbunan limbah padat (USEPA

dalam Pitchel, 2005). 2.3 Pengomposan

Pengomposan diartikan sebagai proses biologi oleh kegiatan mikroorganisme dalam mengurai bahan organik menjadi bahan semacam humus dengan bahan yang terbentuk mempunyai berat dan volume yang lebih rendah dari bahan dasarnya, stabil, dekomposisi lambat dan sumber pupuk organik (Sutanto, 2002). Hal senada juga diungkapkan Pichtel (2005) yang menyatakan pengomposan adalah sebuah aktivitas biologi dengan pengontrolan secara aerobik dari limbah organik menjadi bentuk yang lebih kompleks dan stabil dimana hasil akhirnya mempunyai nilai ekonomis yang biasa digunakan untuk pertanian dan pertamanan.

Pengomposan bisa terjadi karena adanya mikroorganisme aktif yang mengontrol proses pengomposan seperti bakteri, actynomicetes, jamur dan protozoa (Stoffella and Kahn, 2001). Mikroorganisme ini secara alami tersedia pada bahan organik termasuk limbah makanan, tanah, dedaunan dan limbah organik lainnya (Pichtel, 2005).

Pengomposan dapat dilakukan dengan sistem aerobik dan sistem anaerobik (Pichtel, 2005; Snape et al., 1995; Stoffella and Kahn, 2001). Pengomposan sistem aerobik maksudnya mikroorganisme membutuhkan oksigen (O2). Reaksi kimianya sebagai berikut:

Bahan organik + O2 + Bakteri aerob =>

(31)

Pengomposan anaerobik tidak memerlukan oksigen. Reaksi kimianya sebagai berikut:

Bahan organik + Bakteri anaerob => CO2 + NH3 + Produk + Energi + H2S + CH4

Beberapa elemen penting yang perlu diperhatikan dalam pengomposan adalah kandungan hara seperti Carbon (C), Nitrogen (N), Fosfor (P), Sulfur (S), dan hara lainnya. Carbon berfungsi sebagai sumber energi, sedangkan nitrogen untuk pertumbuhan populasi mikroba. Agar efektif, C/N ratio yang tepat diperlukan untuk pengomposan yang efisien. Apabila C/N terlalu rendah, maka akan kehilangan amonia (NH3), sedangkan jika C/N terlalu tinggi maka

pelambatan dekomposisi terjadi (Stoffella and Kahn, 2001).

Sutanto (2005) menambahkan nisbah C/N yang tinggi menunjukkan mikrooganisme akan aktif memanfaatkan nitrogen untuk membentuk protein yang apabila diaplikasikan ke dalam tanah maka mikroorganisme akan tumbuh dengan memanfaatkan N-tersedia tanah, sehingga terjadi imobilisasi N. Sedangkan apabila nisbah C/N rendah pada awal proses pengomposan maka nitrogen akan hilang melalui proses volatilisasi ammonium.

Penambahan bahan dengan nisbah C/N >30:1 (jerami, lumpur penggilingan kertas) dapat menyebabkan peningkatan pesat biomassa mikroba, dan menipisnya ketersediaan N tanah ke titik dimana kekurangan N dapat terjadi pada banyak tanaman. Sedangkan beberapa bahan organik (biosolid, kotoran kandang) dengan nisbah C/N yang rendah harus dikelola dengan baik untuk menghindari kehilangan N ke bagian sensitif dari lingkungan. Pengomposan merupakan solusi yang efekif untuk menstabilkan N (Pierzynski et al., 2005).

Menurut Djaja (2008), prinsip dasar dari pengomposan adalah mencampur bahan organik kering yang kaya karbohidrat dengan bahan organik basah yang banyak mengandung N. Proses pengomposan dipengaruhi oleh 7 faktor (Pichtel, 2005; Djaja, 2008) yaitu :

1. Oksigen dan aerasi

(32)

2. C:N ratio

Mikroba menggunakan C untuk energi dan pertumbuhan, sedangkan N dan P penting untuk protein dan reproduksi.

3. Kandungan air

Kandungan air penting untuk menunjang proses metabolik mikroba, dan sebaiknya bahan baku kompos mengandung 40 – 65 % air.

4. Porositas, struktur, tekstur, dan ukuran partikel

Porositas berkaitan dengan ukuran ruang udara bahan baku kompos. Struktur mencakup kekerasan partikel. Tekstur berkaitan dengan ketersediaan permukaan untuk aktivitas mikroba.

5. pH bahan baku

pH bahan baku kompos diharapkan berkisar 6,5 – 8. 6. Temperatur

Pengomposan terjadi pada temperatur mesofilik 10 – 40o C. Pengomposan diharapkan berlangsung pada temperatur 43 – 65o C.

7. Waktu

Waktu pengomposan bergantung pada temperatur, kelembaban, frekuensi aerasi, dan kebutuhan konsumen. C/N ratio dan frekuensi aerasi adalah cara memperpendek periode pengomposan.

Berdasarkan aktivitas mikroba, proses pengomposan dibagi dalam 4 fase. Yang pertama adalah fase mesofilik, dimana bakteri yang dominan adalah bakteri mesofilik. Hal ini menyebabkan mikroba aktif dan menimbulkan panas sehingga tamperatur tumpukan kompos meningkat. Ketika temperatur melebihi 45oC maka bakteri yang berperan adalah bakteri termofilik pada fase termofilik. Peningkatan aktivitas mikroba dapat menyebabkan temperatur meningkat ke 65-70oC. Dengan penurunan cadangan makanan, menyebabkan aktivitas bakteri berkurang dan menurunkan temperatur tumpukan, yang disebut dengan fase mesofilik kedua. Setelah suplai makanan habis maka temperatur akan turun sehingga sama dengan suhu ambien, dan menandakan pengomposan sampai pada fase matang (Stoffella and Kahn, 2001).

(33)

pengomposan dimulai, temperatur pengomposan yang menggunakan kotoran yang sudah lama akan naik secara perlahan, lebih lambat dari pengomposan yang menggunakan kotoran yang masih segar (Li et al., 2008).

2.4 Pertanian Organik dan Berkelanjutan

Pertanian organik adalah teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan kimia sintetis. Tujuan utama pertanian organik adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak merusak lingkungan (Litbang Deptan, 2002).

Sutanto (2002) menambahkan bahwa pertanian organik diartikan sebagai suatu sistem produksi pertanaman yang berdasarkan daur-ulang secara hayati, dapat melalui sarana limbah tanaman ternak, serta limbah lainnya yang mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah.

Sejalan dengan tidak merusak lingkungan, maka hal ini juga berkaitan dengan pertanian berkelanjutan. Reijntjes et al. (1992) menyebutkan bahwa pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam.

Reijntjes et al. (1992) menyatakan bahwa pertanian bisa disimpulkan berkelanjutan jika mencakup hal-hal sebagai berikut :

Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumber daya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan ditingkatkan.

Bisa berlanjut secara ekonomis, yang berarti bahwa petani bisa cukup menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan/atau pendapatan sendiri, serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan.

(34)

terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin.

Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan, dan manusia) dihargai.

Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar, dan lain-lain. 2.5 Pengaruh Pupuk Organik

Sifat tanah sangat dipengaruhi oleh bahan organik. Tanah yang kaya bahan organik bersifat lebih terbuka sehingga aerasi tanah lebih baik dan tidak mudah mengalami pemadatan, serta relatif lebih sedikit hara yang terfiksasi mineral tanah sehingga yang tersedia bagi tanaman lebih besar (Sutanto, 2005).

Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa-sisa tanaman, hewan atau manusia seperti pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos baik cair maupun padat. Pupuk organik mengandung unsur hara makro dan mikro yang diperlukan oleh tanaman, serta memiliki manfaat dapat memperbaiki kesuburan kimia, fisik dan biologis tanah (Setyorini, 2005).

Sumber pupuk organik dapat berasal dari kotoran hewan, bahan tanaman dan limbah, misalkan pupuk kandang (ternak besar dan kecil), hijauan tanaman rerumputan, semak, perdu dan pohon, limbah pertanaman (jerami padi, batang jagung, sekam padi dll), dan limbah agroindustri (Sutanto, 2002). Hal senada, Setyorini (2005) juga menjelaskan bahwa pupuk organik dapat dibuat dari berbagai jenis bahan, antara lain: sisa penen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, sabut kelapa), serbuk gergaji, kotoran hewan, limbah media jamur, limbah pasae, limbah rumah tangga, dan limbah pabrik serta pupuk hijau.

(35)

Pupuk organik berupa kompos jerami dan pupuk kandang dapat meningkatkan serapan hara N, tetapi efisiensi pemanfaatan hara N dan aktivitas reduktase daun serta hasil gabahnya relatif lebih rendah dibandingkan pupuk buatan. Meningkatkan takaran pupuk N sampai dengan 50 % dapat meningkatkan komponen fisiologi dan hasil tanaman (Iqbal, 2008).

Selanjutnya Iqbal (2008) juga menjelaskan bahwa peningkatan takaran pupuk N pada pupuk organik, pada umumnya meningkatkan jumlah gabah pertanaman, bobot 100 butir gabah, kandungan protein dan kandungan pati dalam gabah. Pengaruh pemberian pupuk organik dan taraf pupuk N terhadap hasil dan kualitas tanaman padi sawah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh pemberian pupuk organik dan taraf pupuk N terhadap hasil dan kualitas tanaman padi sawah

Pupuk kandang yang akan diberikan pada budidaya sawah, harus terlebih dahulu mengalami dekomposisi. Pupuk kandang disebar merata diatas permukaan tanah sebelum pengolahan tanah, dan selanjutnya dilakukan pembajakan. Jumlah pupuk kandang yang diberikan antara 5–10 ton/ha tergantung pada kesuburan tanah (Souri, 2001).

(36)

2006). Hal ini juga dijelaskan dalam SNI 19-7030-2004 yang menyebutkan bahwa kompos adalah bentuk akhir dari bahan-bahan organik sampah domestik setelah mengalami dekomposisi.

Menggunakan kompos memiliki beberapa keuntungan, antara lain meningkatkan dinamika air tanah termasuk infiltrasi, perkolasi dan kapasitas air, sehingga hal ini dapat mengurangi kebutuhan irigasi dan potensi yang terkait dengan pencucian unsur hara. Nutrisi secara perlahan dilepaskan dari waktu ke waktu sehingga meningkatkan kesempatan tanaman untuk mengambil nutrisi tersebut dan mengurangi masalah pencemaran air (US Composting Council, 2008).

Kebanyakan kompos terlalu rendah nutrisinya untuk digunakan sebagai pupuk, tetapi karena nutrisi tersebut terikat secara organik, kompos jauh lebih rentan terhadap pencucian hara dari pupuk terlarut dan karena itu sering digunakan sebagai pengkondisian tanah (Snape et al., 1995).

2.6 Peranan Pupuk pada Padi

Salah satu penyebab penurunan produktivitas atau rendahnya peningkatan produksi padi sawah disebabkan oleh rendahnya produktivitas tanah dan efisiensi pemupukan (Mario et al., 2008). Pupuk mempunyai peranan penting terhadap produksi dan pertumbuhan tanaman (Rauf et al., 2000) antara lain:

Peranan Unsur N

Unsur N merupakan unsur yang paling cepat kelihatan pengaruhnya terhadap tanaman. Peran utama unsur ini adalah:

o Merangsang pertumbuhan vegetatif (batang dan daun) o Meningkatkan jumlah anakan

o Meningkatkan jumlah bulir/ rumpun Peranan Unsur P

Fungsi fosfor dalam tanaman adalah sebagai berikut: o Memacu terbentuknya bunga, bulir dan malai o Menurunkan aborsitas

(37)

o Memperbaiki kualitas gabah Peranan Unsur K

Peranan utama kalium dalam tanaman ialah sebagai dekomposer berbagai enzim. Adanya kalium yang tersedia dalam tanah menyebabkan:

o Ketegaran tanaman terjamin o Merangsang pertumbuhan akar

o Tanaman lebih tahan terhadap hama dan penyakit o Memperbaiki kualitas bulir

o Dapat mengurangi pengaruh kematangan yang dipercepat oleh fosfor o Mampu mengatasi kekurangan air pada tingkat tertentu

Souri (2001) menjelaskan bahwa penggunaan pupuk kandang pada lahan bukaan baru dapat meningkatkan hasil padi. Pelaksanaan pengujian dilakukan pada petakan sawah yang sangat porus, lapisan olah sangat tipis, dan kandungan bahan organik yang rendah. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil pengujian pupuk kandang pada budidaya padi sawah di lahan bukaan baru.

Takaran Pemupukan (kg/ha) Produktivitas (t/ha)

Urea SP – 36 KCL Pupuk Kandang

200 100 50 - 3,21

200 100 50 5.000 3,92

200 100 50 10.000 4,28

200 100 50 15.000 4,42

200 100 50 20.000 4,5

Percobaan Pada Lokasi Lain

200 100 50 - 3,71

200 100 50 10.000 5,35

- - - 10.000 4,53

200 - - 10.000 5,83

(38)

2.7 Jerami

Jerami adalah bahan organik yang banyak tersedia dari kegiatan budidaya padi sawah (Doberman and Fairhurst, 2002). Jerami memiliki kandungan kalium yang sangat baik untuk kesuburan tanah. Pemberian jerami ke tanah secara terus menerus dapat memperbaiki dan meningkatkan kesuburan tanah. Kandungan kalium yang terdapat pada 5 ton jerami setara dengan 50 kg pupuk KCL (BPTP, 2010). Kandungan unsur hara dari jerami dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan hara jerami

Unsur hara Kandungan hara Satuan

N organik 0,957 %

C organik 49,2 %

C/N ratio 51,2

Natrium (Na) 0,028 %

Fosfor (P2O5) 2,48 %

Potasium (K20) 0,143 %

MgO 0,129 %

CaO 0,566 %

Fe 420 mg/kg

Mn 62,8 mg/kg

Cu 3,6 mg/kg

Zn 18,9 mg/kg

Cd <3 mg/kg

Ni 8,59 mg/kg

Pb <5 mg/kg

Cr 6,29 mg/kg

Sumber : Canet et al. (2008)

(39)

Untuk mempercepat hilangnya limbah jerami, petani sering membakar jerami tersebut (BPTP, 2010), ataupun membawa jerami keluar lahan usaha untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar, makanan ternak, bahan dasar biogas, media jamur merang maupun dijual untuk bahan basah industri kertas (Sutanto, 2002). Pembakaran jerami menyebabkan hilangnya seluruh kandungan unsur Natrium, 25 % unsur Fosfor, 20 % unsur Kalium, 5-60 % unsur Sulfur (Doberman and Fairhurst, 2002).

Jerami banyak dibakar oleh petani untuk mereduksi volume limbah dimana kegiatan ini akan mengemisikan gas CH4, N2O, NOx, dan CO (Deptan,

2007). Salah satu pencegahan agar petani tidak melakukan pembakaran terhadap jerami adalah dengan cara pengomposan (Li et al., 2008; Sutanto, 2002).

Pengomposan jerami dengan pengayaan 10 % rock fosfat dan beberapa limbah agro-industri seperti limbah kacang kedelai, bisa menjadi metode alternatif dalam pengelolaan limbah pertanian, dan kompos yang dihasilkan dapat digunakan pada pertanian organik (Rashad et al., 2010). Pencacahan jerami dibutuhkan sebelum mempersiapkan campuran agar proses pengomposan berjalan dengan baik dan menjamin kualitas kompos pada kondisi baik (Perez et al., 2009). Jerami padi ditambah kotoran ayam ataupun kotoran kambing dapat dijadikan kompos. Kegiatan pengelolaan limbah pertanian berupa jerami dilakukan dengan tujuan memanfaatkan kembali produksi limbah pertanian yang kurang bermanfaat, memperkecil biaya pengelolaan limbah pertanian, mengurangi jarak transportasi limbah pertanian, meningkatkan nilai tambah limbah pertanian (Yuwono et al., 2011).

2.8 Neraca Massa

Neraca massa adalah cabang keilmuwan yang mempelajari kesetimbangan dalam sebuah sistem. Massa yang masuk ke dalam suatu sistem akan keluar meninggalkan sistem tersebut atau terakumulasi di dalam sistem. Akumulasi massa dapat bernilai negatif atau positif.

(40)
(41)

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di lokasi persawahan dan rumah kompos Dept. Teknik Sipil dan Lingkungan IPB di Kelurahan Margajaya, Kec. Bogor Barat, Kota Bogor. Analisis kualitas kompos dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Kementerian Pertanian. Pengujian kualitas air irigasi dan lumpur dilakukan di Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB. Penelitian dilaksanakan dari bulan April 2010 sampai dengan Juni 2011.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah mesin pemotong (chopper), moisture tester merk Crown, termometer, timbangan pegas, sekop, cangkul, ember, spidol, karung, alat tulis, gelas takar 1 liter, botol sampel 1 liter dan 500 ml, plastik, kertas label, sendok, seperangkat peralatan uji kandungan hara kompos, dan seperangkat alat pengujian kualitas air irgasi dan lumpur.

Bahan yang digunakan adalah benih padi, sawah percobaan dan pupuk organik, jerami, kotoran kambing, kotoran ayam, dan EM-4. Bahan analisis air irigasi dan lumpur serta analisis kandungan unsur hara kompos adalah seperangkat bahan uji kualitas air irigasi dan lumpur serta kualitas kompos. 3.3 Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan kerja, yaitu pengomposan jerami, analisis kompos dan justifikasi kualitas kompos, analisis kualitas air irigasi dan lumpur, serta penyusunan neraca massa limbah-kompos. Bagan alir penelitian secara skematis disajikan pada Gambar 10. Masing-masing tahapan kerja tersebut akan diuraikan sebagai berikut ini.

3.3.1 Pengomposan Jerami

(42)

dengan metoda aerobik dan anaerobik. Pengamatan temperatur dilakukan untuk menentukan waktu akhir proses pengomposan.

3.3.1.1 Pengomposan jerami metoda aerobik

Pengomposan jerami menggunakan metoda aerobik dilakukan dengan mencampurkan jerami dan dekomposer dan kemudian mengkondisikannya agar mengalami biodegradasi dengan penambahan oksigen untuk mempercepat prosesnya. Pengomposan metoda aerobik menggunakan sistem terbuka yaitu tumpukan (turned piles), windrow (turned windrow), tumpukan yang diberikan oksigen (aerasi), dan pengomposan dalam silinder.

Pada pengomposan sistem tumpukan yang diberi oksigen, pemberian oksigen dilakukan melalui para-para (tunnel) yang diletakkan di bawah tumpukan campuran. Pembuatan tunnel menggunakan bahan belahan bambu dengan kerangka kayu kaso 5/7 dan dilapisi kasa aluminium halus. Para-para (tunnel) ditunjukkan pada Gambar 2.

(43)

Pengomposan sistem silinder dilakukan dengan menggunakan jaring (kasa) yang mempunyai mesh 0,5 cm dengan cara membungkus jerami dan kotoran hewan sedemikian rupa sehingga membentuk silinder. Agar tetap menjaga kondisi stabil dari campuran tersebut, maka silinder diikat menggunakan tali karet. Teknik pengomposan sistem silinder dimaksudkan agar pembalikan kompos menjadi lebih mudah dengan memanfaatkan posisi silinder yang tidak stabil. Teknik pengomposan sistem silinder ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Pengomposan sistem silinder

Jerami yang digunakan berupa cacahan dan yang tidak dicacah. Pencacahan menggunakan mesin pemotong (chopper) dengan ukuran 0,5-5 mm. Beberapa cara pengomposan yang dilakukan adalah (1) sistem tumpukan (jerami cacah tanpa campuran, jerami cacah dengan kotoran ayam, jerami cacah dengan kotoran kambing), (2) sistem aerasi (jerami cacah dengan EM4, jerami cacah dengan kotoran ayam, jerami cacah dengan kotoran kambing dan jerami tanpa cacah dengan kotoran kambing), (3) sistem windrow (jerami tanpa cacah), dan (4) sistem silinder (jerami tanpa cacah dengan kotoran kambing).

(44)

tumpukan dilakukan secara terus menerus sampai kompos matang. Secara skematis pengomposan aerobik disajikan pada Gambar 4.

Dekomposer

Pengomposan dengan kondisi anaerobik dilakukan dengan mencampurkan jerami yang tidak dicacah dengan kotoran kambing. Campuran lalu (1) dimasukkan ke dalam tong yang tertutup rapat (Gambar 5), dan (2) campuran diletakkan di atas tanah dan ditutup rapat dengan plastik terpal (Gambar 6). Pada kedua cara ini ditentukan titik-titik pengamatan temperatur kompos. Sebelum dimasukkan kedalam tempat pengomposan, campuran tersebut disiram dengan sejumlah air guna menjaga kelembaban campuran. Secara skematis, pengomposan dalam kondisi anaerobik disajikan pada Gambar 7.

(45)

Gambar 6. Pengomposan di dalam terpal

Jerami

Kotoran kambing

Campuran bahan kompos

disiram

Pengomposan 1. Di dalam tong

2. Di atas tanah menggunakan terpal

Kompos matang Penyaringan

Kompos halus

Gambar 7. Skema pengomposan anaerobik 3.3.2 Analisis Unsur Hara dan Mutu Kompos

Analisis kompos yang sudah matang dilakukan untuk mendapatkan kandungan unsur hara makro dan mikro dari pupuk kompos tersebut. Pemberian pupuk bertujuan untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman padi pada persawahan organik. Dengan adanya analisis tersebut, didapatkan nilai kandungan unsur hara yang terkandung dari pupuk kompos yang dihasilkan.

(46)

Secara skematis analisis kandungan unsur hara makro dan mikro kompos serta justifikasi kualitas kompos disajikan pada Gambar 8.

Analisis pupuk

Gambar 8. Skema analisis kompos dan justifikasi kualitas kompos 3.3.3 Analisis Kualitas Air Irigasi dan Lumpur

Pemberian pupuk pada petakan sawah berpengaruh terhadap kualitas air irigasi dan lumpur. Pengamatan unsur hara yang terkandung di sawah dilakukan

Setelah dilakukan pengujian di laboratorium didapatkan data jumlah unsur hara yang terkandung pada air irigasi dan lumpur tersebut. Dari data-data ini dilakukan analisis antara kandungan unsur hara kompos yang dihasilkan dengan data kualitas air irigasi dan lumpur.

3.3.4 Penyusunan Neraca Massa Limbah-Kompos

(47)

neraca massa limbah-kompos disajikan secara skematis pada Gambar 9. Pengomposan jerami dilakukan dengan menambahkan kotoran kambing atau kotoran ayam dengan kadar air yang sama sebagai dekomposernya dengan perbandingan 1:1.

Massa jerami

(basis kering) Pengomposan Kompos

Sistem Budidaya Padi

organik

Peruntukan lain

(48)

Analisis air irigasi dan lumpur

Lahan pertanian (sawah)

Jerami

Pengomposan

Kompos

Analisis mutu kompos

Pembandingan dengan baku mutu

(SNI 19-7030-2004)

Kompos memenuhi

standar?

Sesuai SNI

Tidak sesuai SNI Hasil analisis air

irgasi dan lumpur

Neraca massa limbah-kompos

Zero Waste Production Management

Ya

Tidak Budidaya padi

B

aGambar 10. Bagan alir penelitian

(49)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rumah kompos Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor terletak di Kampung Gardu Dalam, Kelurahan Margajaya, Kec. Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat. Rumah kompos berada pada ketinggian 188 mdpl dengan koordinat geografis 6°34'13.76" LS dan 106°44'55.48" BT. Sawah percobaan yang dimanfaatkan untuk melakukan budidaya padi organik berada bersebelahan dengan rumah kompos.

Budidaya padi organik dilakukan dengan menggunakan bibit padi varietas Ciherang. Bibit padi disemaikan dan ditanam di areal sawah percobaan seluas 452,76 m2. Aplikasi pupuk sawah menggunakan pupuk kandang dari kotoran kambing dengan dosis 7 ton/ha. Kandungan unsur hara pupuk kandang disajikan pada Tabel 4.

Tabel4. Kandungan unsur hara pupuk kandang (kotoran kambing) No Kandungan hara Nilai kandungan hara

(50)

0

Gambar 11. Produktivitas gabah dan jerami budidaya padi organik

Dari Gambar 11 dapat dilihat hasil produksi pada penanaman I sebesar 4,8 ton/ha gabah dan 14,1 ton/ha jerami. Produksi ini termasuk tinggi pada masa itu karena adanya pengaruh anomali cuaca yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Pada masa penanaman II produksi gabah menurun menjadi 1,6 ton/ha dan jerami 12 ton/ha. Pada penanaman III hasil gabah menjadi 4,1 ton/ha dan jerami 11,4 ton/ha.

Jerami dari ketiga penanaman padi menunjukkan kecenderungan menurun dari musim tanam pertama. Hal ini dikarenakan pola penanaman benih padi yang tidak beraturan, sehingga pada beberapa titik terlihat kosong dan ada beberapa titik yang renggang. Produktivitas gabah yang dihasilkan juga menurun pada penanaman kedua. Selain adanya pengaruh anomali cuaca pada waktu penanaman tersebut, penurunan bobot gabah juga disebabkan adanya gangguan burung yang memakan gabah padi serta adanya gabah yang kosong dan rontok pada saat budidaya padi.

4.1Kompos Jerami

(51)

25

biodegradasi bahan organik oleh mikroorganisme. Pengukuran temperatur pada metoda aerob dilakukan pada sistem tumpukan, aerasi dan silinder. Pengukuran temperatur pada metoda aerobik dijelaskan pada bagian berikut.

Perubahan temperatur pada sistem tumpukan (Gambar 12), jerami cacah dengan kotoran ayam dan jerami cacah dengan kotoran kambing menunjukkan kecenderungan penurunan dari awal pengomposan. Jerami cacah dengan kotoran ayam mencapai temperatur maksimum 47oC sedangkan jerami cacah dengan kotoran kambing mencapai temperatur 42oC pada awal pengomposan dan turun pada hari berikutnya. Temperatur kemudian naik kembali pada hari ke-7, tetapi kemudian menunjukkan kecenderungan turun sampai hari ke-48. Setelah itu temperatur cenderung stabil.

Pada pengomposan jerami cacah tanpa campuran, temperatur awalnya mencapai 35oC, tetapi kemudian turun pada hari ke-4 menjadi 32oC. Setelah hari ke-20, temperatur menunjukkan kecenderungan meningkat hingga mencapai 41oC, tetapi kemudian turun kembali. Temperatur menunjukkan kecenderungan datar (stabil) mulai hari ke-48. Sampai hari ke-58, terlihat bahwa pada pengomposan dengan sistem tumpukan temperatur kompos sudah mulai stabil.

Gambar 12. Temperatur sistem tumpukan

(52)

20

kambing dimana pada kedua bahan tersebut terdapat bakteri aerobik yang membutuhkan carbon (C) sebagai bahan makanannya. Pencampuran dekomposer dengan jerami menyebabkan bakteri yang ada pada kotoran tersebut melakukan aktivitas mikroorganisme dengan mendegradasi bahan organik yang terdapat pada jerami.

Aktivitas mikroorganisme menyebabkan meningkatnya temperatur dari campuran homogen tersebut. Sedangkan pada jerami cacah tanpa campuran hanya mengandalkan bakteri yang terdapat pada jerami, sehingga peningkatan temperatur lebih lambat dari kedua campuran yang lainnya. Bakteri mikroorganisme juga mendapat suplai oksigen dari proses pembalikan campuran kompos yang dilakukan dua atau tiga hari sekali sekaligus pemberian air untuk menjaga kelembabannya. Dengan tersedianya bahan organik, oksigen, dan bakteri aerobik maka terjadi biodegradasi pada campuran tersebut.

Perubahan temperatur pada sistem aerasi (Gambar 13), baik untuk campuran jerami cacah dengan kotoran ayam maupun untuk campuran jerami cacah dengan kotoran kambing menunjukkan kecenderungan yang sama, dengan kedua campuran tersebut pada sistem tumpukan.

Gambar 13. Temperatur sistem aerasi

(53)

25

jerami cacah dengan campuran EM4, temperatur awal mencapai 34oC, kemudian turun dan mulai menunjukkan kenaikan temperatur mencapai 36oC pada hari ke-18. Setelah hari ke-20, grafik menunjukkan kecenderungan penurunan temperatur dan mulai stabil pada hari ke-48. Sedangkan jerami tanpa cacah dengan kotoran kambing menunjukkan perubahan grafik yang relatif datar dari awal pengomposan.

Seperti halnya campuran kompos pada sistem tumpukan, dari Gambar 14 dapat dilihat bahwa campuran jerami cacah dengan kot. ayam/kambing memiliki pola yang sama dengan campuran jerami dengan kot. ayam/kambing pada sistem tumpukan. Pada dasarnya, tumpukan jerami memiliki panas yang mempengaruhi peningkatan temperatur pada campuran kompos.

Tingkat kepadatan campuran homogen juga mempengaruhi temperaturnya. Pengaruh kepadatan tumpukan dapat dilihat pada temperatur campuran jerami tidak dicacah dengan kot. kambing menunjukkan grafik yang relatif datar dari awal pengomposan. Kondisi campuran yang lebih renggang dari campuran lainnya menyebabkan temperaturnya tidak mengalami peningkatan. Namun campuran tersebut tetap menjadi kompos dikarenakan adanya proses pembalikan dan pemberian air serta suplai oksigen dari tunnel sehingga bakteri dapat melakukan aktivitas biodegradasi.

Gambar 14. Temperatur sistem silinder

(54)

0

diletakkan di dalam naungan menunjukkan perubahan temperatur yang stabil. Pada awal pengomposan, temperatur berada pada temperatur 34oC dan naik menjadi 35oC pada hari kedua dan stabil sampai hari kelima dan mulai menunjukkan penurunan temperatur yang bergerak perlahan dan mulai stabil pada hari ke-24 sampai hari ke-36.

Pada pengomposan silinder di luar naungan pada umumnya temperatur pengomposan lebih rendah dibandingkan dengan yang berada di dalam naungan. Pada awal pengomposan, temperatur mencapai 32oC dan naik menjadi 34oC dan turun ke 32oC pada hari ke-4, kemudian naik ke 34,5oC dan setelah hari ke-9 menunjukkan penurunan yang tajam sampai hari ke-15, kemudian grafik manunjukkan perubahan temperatur yang relatif datar. Hal ini dikarenakan campuran kompos pada silinder yang di luar naungan lebih banyak mendapatkan air dari air hujan yang turun, sehingga membuat campuran kompos menjadi lebih lembab. Temperatur mulai bergerak stabil pada hari ke-24 sampai hari ke-36.

Pengomposan dengan bentuk silinder diharapkan untuk memperoleh kemudahan dalam hal pembalikan kompos. Pengukuran gaya yang dibutuhkan untuk membalik kompos dilakukan tiga kali. Hasil pengukuran gaya dapat dilihat pada Gambar 15.

(55)

20

karena proses biodegrdasi, dan permukaan bawah pengomposan silinder yang rata dengan lantai penopangnya. Material yang digunakan dalam proses pengomposan berubah bentuk seiring dengan proses degradasi material kompos yang ada di dalamnya.

Hal yang berbeda terlihat pada proses pengomposan metoda anaerob. Bahan yang digunakan pada pengomposan anaerob ini adalah jerami yag tidak dicacah dicampur dengan kotoran kambing sebagai dekomposernya. Campuran tersebut diletakkan pada dua tempat yang berbeda, yaitu di dalam tong tertutup rapat dan di atas tanah terbungkus terpal. Perubahan temperatur pengomposan dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Temperatur kompos metoda anaerobik

Dari Gambar 16 dapat dilihat bahwa campuran di dalam terpal menunjukkan peningkatan temperatur pada awal-awal pengomposan. Pada hari pertama pengomposan, temperatur menunjukkan 35oC dan naik mencapai 37,6oC pada hari ke-3, kemudian kembali turun perlahan. Penurunan yang tajam terjadi pada hari ke-11 pada temperatur 27oC kemudian kembali naik ke 32oC dan kembali bergerak turun perlahan mencapai 30oC dan mulai bergerak stabil pada temperatur antara 29-30oC mulai hari ke-35.

(56)

39

Namun demikian, hal yang berbeda ditunjukkan pada proses pengomposan di dalam tong. Dari Gambar 16 dapat dilihat bahwa temperatur pada masa awal pengomposan cenderung turun dari temperatur 35oC ke 30oC dan turun signifikan pada hari ke-11 pada 24,5oC. Kemudian temperatur naik kembali dan bergerak naik turun diantara temperatur 25-32oC.

Sampai hari pengomposan ke-58, grafik belum menunjukkan kondisi stabil. Walaupun temperatur pengomposan berada pada fase mesofilik, namun setelah 8 minggu pengomposan, campuran belum menunjukkan perubahan yang berarti dan belum menjadi kompos. Hal ini juga ditunjukkan dengan perubahan massa kompos yang stabil (Gambar 17) dan pengamatan secara visual juga menunjukkan campuran belum menjadi kompos.

Gambar 17. Perubahan massa material kompos secara anaerobik di dalam tong Pada umumnya proses pengomposan dengan metoda aerobik dan anaerobik berada pada fase mesofilik, yaitu kisaran temperatur 28-45oC. Hanya campuran jerami dengan kotoran ayam sistem tumpukan yang mencapai fase termofilik. Proses pengomposan metoda aerobik juga dipengaruhi oleh pemberian air untuk mempertahankan kelembaban kompos dan juga pembalikan agar campuran kompos lebih merata dalam mendapatkan oksigen.

(57)

stabil menunjukkan bahwa kompos telah matang (Cayuela et al., 2009; Li et al., 2009).

Dengan membandingkan dari beberapa teknik pengomposan yang dilakukan, maka dapat disimpulkan teknik pengomposan yang efektif dan efisien dilakukan dalam mengomposkan jerami adalah dengan metoda anaerobik di atas tanah terbungkus terpal. Hal ini berdasarkan waktu pengomposan yang lebih cepat dari teknik pengomposan lainnya dan tidak memerlukan energi yang besar dalam pelaksanaannya.

4.2Kandungan Unsur Hara dan Kualitas Kompos

Hasil analisis kompos yang dihasilkan dari proses pengomposan dengan metoda aerob (sistem tumpukan, aerasi, windrow, dan silinder) dan pengomposan anaerob (di atas tanah terbungkus terpal), serta justifikasi kualitas kompos dapat dilihat pada Tabel 5.

Kandungan C-organik pada kompos yang dihasilkan sangat rendah, bahkan turun dari kandungan awalnya sebesar 49,2% (Canet et al., 2008). Hal ini menunjukkan bahwa mikroorganisme membutuhkan karbon sebagai makanan untuk melakukan aktivitas biodegradasi bahan organik. Nisbah C/N juga menunjukkan bahwa kompos telah matang dan siap untuk digunakan. Apabila jerami langsung diaplikasikan ke lahan akan mengurangi kandungan unsur hara yang ada karena nilai C/N ratio yang terlalu tinggi.

C/N ratio tidak boleh terlalu tinggi karena menyebabkan terjadinya immobilisasi N, dan apabila terlalu rendah menyebabkan volatilisai N (Stoffella and Kahn, 2001). Kehilangan unsur N dipengaruhi oleh unsur C selama dalam proses pengomposan (Barrington et al., 2002). Hal ini dapat dilihat dari kandungan C-organik dan N-organik campuran jerami cacah dengan kotoran ayam yang lebih tinggi dari campuran lainnya.

(58)

Tabel 5. Analisis kandungan hara dan justifikasi kualitas kompos jerami No Unsur

hara Satuan

Kompos jerami

Standar**

K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11

1 C-organik % 5,93* 14,68 5,52* 6,05* 13,8 6,3* 5,79* 5,54* 7,20* 6,97* 8,35* 9,8-32 2 N-total % 0,39* 1,1 0,47 0,39* 0,7 0,45 0,43 0,48 0,52 0,49 0,65 > 0,4

3 C/N 15 13 12 15 20 14 14 12 14 14 13 10-20

4 P2O5 % 0,17 1,22 0,3 0,22 2,16 0,49 0,51 0,24 0,43 0,50 0,45 > 0,1

5 K2O % 0,62 0,47 0,46 0,86 0,82 0,88 0,57 0,71 0,91 0,95 0,55 > 0,2

6 CaO % 0,48 0,74 1,37 0,46 1,34 1,61 1,37 0,31 1,57 1,7 2,57 < 25,5 7 MgO % 0,15 0,42 0,28 0,17 0,69* 0,33 0,34 0,17 0,33 0,31 0,45 < 0,6 8 Fe % 0,099 0,068 0,79 0,079 0,19 0,67 0,92 0,34 0,78 0,60 0,77 < 2,00 9 Mn % 0,032 0,024 0,050 0,029 0,036 0,042 0,051 0,025 0,066 0,043 0,040 < 0,1 10 Zn mg/kg 27 118 154 20 152 151 178 44 167 138 97 < 500

11 Co mg/kg Td Td 3 1 1 2 5 1 5 4 13 < 34

Keterangan: td : tak terdeteksi

K1: Jerami cacah (tumpukan) K6: Jerami cacah + K. kambing (aerasi) K11: Jerami + k. kambing (anaerob terpal) K2: Jerami cacah + k. ayam (tumpukan) K7: Jerami + k. kambing (aerasi) * : Tidak sesuai SNI

K3: Jerami cacah + K. kambing (tumpukan) K8: Jerami (windrow) ** : SNI 19-7030-2004 K4: Jerami cacah + EM4 (aerasi) K9: Jerami + k. kambing (silinder dalam)

K5: Jerami cacah + k. ayam (aerasi) K10: Jerami + k. kambing (silinder luar)

(59)

Dapat dilihat juga unsur Mg pada kompos berbahan dasar jerami dengan campuran kotoran ayam melebihi baku mutunya, namun angka tersebut masih bisa diterima karena perbedaannya tidak terlalu besar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kompos jerami memenuhi syarat dan menunjukkan kualitas kompos baik.

Perbaikan kualitas kompos yang belum memenuhi persyaratan SNI 19-7030-2004 dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik yang dapat meningkatkan kandungan unsur hara yang kurang, ataupun penambahan bahan organik lainnya yang dapat menurunkan kandungan unsur hara yang berlebih. Perbaikan kualitas kompos yang tidak sesuai dengan persyaratan dapat dilakukan memalui proses pengomposan kembali.

4.3Kualitas Air Irigasi dan Lumpur

Sawah percobaan diberikan pupuk organik dengan dosis 7 ton/ha yang diaplikasikan sebelum tanam. Dari analisis yang dilakukan terhadap air irigasi (Gambar 18) dan lumpur (Gambar 19) dapat dilihat pengaruh pemberian pupuk organik terhadap kualitas air irigasi dan lumpur pada sawah. Data hasil analisis kualitas air irigasi dan lumpur dapat dilihat pada Lampiran 2.

Dari Gambar 18 dapat dilihat kandungan hara yang terlarut dalam air irigasi juga menunjukkan hanya sedikit hara yang terlarut. Nitrogen dan unsur hara lain yang terkandung dalam pupuk organik dilepaskan secara perlahan. nutrisi secara perlahan dilepaskan dari waktu ke waktu sehingga meningkatkan kesempatan tanaman untuk mengambil nutrisi tersebut dan mengurangi masalah pencemaran air (US Composting Council, 2008). Konsentrasi hara yang keluar dari outlet sawah tidak terlalu berbeda dengan konsentrasi di inlet, bahkan pada unsur fosfor menunjukkan penurunan konsentrasi.

(60)

berurutan adalah 58,00 mg/L; 53,67 mg/L; dan 24,17 mg/L pada saat sampel kedua dan 35,07 mg/L; 30,33 mg/L; dan 26,90 mg/L pada saat sampel ketiga.

(a) TSS terlarut (b) Nitrogen (N) terlarut

(c) Fosfor (P) terlarut (d) Kalium (K) terlarut Gambar 18. Kualitas air irigasi sawah percobaan

(61)

mg/L; dan 400 mg/L. Maka dapat dikatakan bahwa implementasi pupuk organik tidak menyebabkan pencemaran pada badan-badan air.

(a) Nitrogen (N) tersedia (b) Fosfor (P) tersedia

(c) Kalium (K) tersedia

Gambar 19. Kualitas lumpur sawah percobaan

Pemberian pupuk organik dapat memperbaiki kesuburan tanah. Kandungan nitrogen pada lumpur sawah menggambarkan bahwa pupuk organik memperkaya kandungan hara di sawah. Kandungan fosfor dan kalium juga menunjukkan hal yang sama dengan nitrogen. Kandungan hara bersifat residual di lumpur sehingga pemberian pupuk organik secara terus menerus dapat memperbaiki dan mempertahankan kesuburan tanah.

(62)

tanaman padi, dan juga terjadinya dinamika air tanah termasuk infiltrasi, perkolasi dan kapasitas air yang membawa unsur hara (leaching), serta larut pada air irigasi (US Composting Council, 2008). Nutrisi pupuk terikat secara organik sehingga jauh lebih rentan terhadap pencucian hara dari pada pupuk terlarut dan karena itu sering digunakan sebagai pengkondisian tanah (Snape et al., 1995).

4.4 Neraca Massa Limbah-Kompos

Neraca massa limbah-kompos ditunjukkan pada tabulasi neraca massa limbah-kompos (Lampiran 3) dan secara skematis dijelaskan pada Gambar 20. Dapat dilihat bahwa dengan mengomposkan jerami 14,1 ton/ha ditambah dengan dekomposer, baik kotoran ayam atau kotoran kambing dengan perbandingan 1:1 (dengan kadar air yang sama), dengan efisiensi proses pengomposan 40 % maka akan dihasilkan kompos 11,3 ton. Dari kompos yang dihasilkan, 7 ton kompos dapat diaplikasikan kembali ke areal persawahan, sedangkan sisa kompos dapat digunakan untuk peruntukan lainnya. Massa kompos mengalami pengurangan sebesar 60% yang keluar dalam bentuk uap air, air lindi, gas berbau, metana (CH4) dan CO2 (Yuwono, 2003).

14,1 ton jerami + 14,1 ton kotoran Ayam/kambing

Pengomposan ± 2 bulan

11, 3 ton kompos

16,9 ton (uap air, air lindi, gas berbau, CH4, CO2)

7 ton diberikan

lagi ke sawah 4,3 ton peruntukan lain

(63)
(64)
(65)

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jerami dapat dijadikan kompos dengan menambahkan aktivator kotoran ayam ataupun kotoran kambing, dengan rincian sebagai berikut:

a. Pengomposan metoda aerobik sistem tumpukan dan aerasi memerlukan waktu kurang lebih 8 (delapan) minggu untuk menjadi kompos dan pengomposan berbentuk silinder membutuhkan waktu kurang lebih 5 (lima) minggu untuk menjadi kompos.

b. Pengomposan metoda anaerobik di atas tanah terbungkus terpal membutuhkan waktu kurang lebih 6 (enam) minggu untuk menjadi kompos, sedangkan di dalam tong material kompos belum terdegradasi menjadi kompos dalam waktu 8 minggu.

2. Kompos yang dihasilkan mengandung unsur hara makro dan mikro yang esensial bagi tanaman. Berdasarkan baku mutu kompos SNI 19-7030-2004 ternyata secara keseluruhan mutu kompos berbahan dasar jerami memenuhi baku mutu kompos yang dipersyaratkan.

3. Implementasi pupuk organik tidak menyebabkan pencemaran pada badan air dan nutrisi pupuk terikat secara organik sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas tanah.

4. Neraca massa limbah-kompos terkait dengan “Zero Waste Production Management” dalam sistem budidaya padi organik telah tersusun dengan hasil dari setiap hektar diperoleh jerami 14,1 ton dan hasil kompos berbasis jerami sebesar 11,3 ton, sedangkan 60% dari massa awal keluar dalam bentuk uap air, air lindi, gas berbau, metana (CH4) dan CO2.

5.2. Saran

Adapun saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

(66)

2. Pengukuran parameter seperti perubahan temperatur dan kelembaban penting untuk dilakukan setiap hari untuk mengikuti proses pengomposan.

3. Analisis kandungan unsur hara perlu dilakukan untuk seluruh parameter yang ada pada SNI 19-7030-2004.

(67)

UCAPAN TERIMA KASIH

(68)
(69)

DAFTAR PUSTAKA

ADB-GEF-UNDP. 1998. Asian Least-Cost Greenhouse Gas Abatement Strategy (ALGAS) Indonesia. ADB-GEF-UNDP, Manila.

[BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2010. Fermented Rice Straw As Ruminant’s Feed. Solok, Indonesia. http://sumbar.litbang.deptan.go.id/ [12 Oktober 2010].

Barrington, S., Choiniere, D., Trigui, M., and Knight, W. 2002. Effect of Carbon Source on Compost Nitrogen and Carbon Losses. Bioresource Technology

83:189-194.

Canet, R., Pomares, F., Cabot, B., Chaves, C., Ferrer, E., Ribo, M., and Albiach, M.R. 2008. Composting Olive Mill Pomace and Other Residues from Rural Southeastern Spain. Waste Management 28:2585-2592.

Cayuela, M.L., Mondini, C., Insam, H., Sinicco, T., and Franke-Whittle, I. 2009. Plant and Animal Wastes Composting: Effects of The N Source on Process Performance. Bioresource Technology 100:3097-3106.

[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2007. Agenda Nasional dan Rencana Aksi 2008-2009 Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian. Departemen Pertanian.

Djaja, W. 2008. Langkah Jitu Membuat Kompos dari Kotoran Ternak & Sampah. AgroMedia Pustaka, Jakarta. Vi + 86 hlm.

Dobermann, A and Fairhurst, T.H. 2002. Rice Straw Mangement. Better Corps International. Vol 16, Special Suplemen, May 2002.

Iqbal, A. 2008. Potensi Kompos dan Pupuk Kandang untuk Produksi Padi Organik di Tanah Incepticol. Jurnal Akta Agrosia 11: 13-18.

Kruva, S.V. 1997. Air Pollution, People, and Plants. APS Press, Minnesota, USA. Li, X,. Zhang, R., and Pang, Y. 2008. Characteristics of Dairy Manure

Composting With Rice Straw. Bioresource Technology 99: 359-367. [LITBANG] Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2002. Prospek

Pertanian Organik Di Indonesia. Departemen Pertanian. http://www.litbang.deptan.go.idberitaone17 [18 Mei 2010]

Mario, M.D., Zubair, A., Ahmad, A., Febrianti, T. Indah, F.S., dan Pakaya, R. 2008. Rekomendasi Pemupukan Padi Sawah Spesifik Lokasi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo. Departemen Pertanian.

Metcalf and Eddy. 2004. Wastewater Engineering, Treatment and Reuse. McGraw-Hill, New York.

(70)

Perez, L.R., Martinez, C., Marcilla, P., and Boluda, R. 2009. Composting Rice Straw with Sewage Sludge and Compost Effects On The Soil-plant System. Chemospere 75: 781-787.

Pichtel, J. 2005. Waste Management Practices: Municipial, Hazardous and Industrial. CRC press, Boca Raton, Florida.

Pierzynski, G.M., Sims, J.T., and Vance, G.F. 2005. Soils and Environmental Quality. CRC press, Boca Raton, Florida.

[PP] Peraturan Pemerintah. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. CV. Ekojaya, Jakarta.

Rauf, A.W., Syamsudin, T., dan Sihombing, S.R. 2000. Peranan Pupuk NPK pada Tanaman Padi. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Irian Jaya.

Rashad, F.M., Saleh, W.D., and Moselhy, M.A. 2010. Bioconversion of Rice Straw and Certain Agro-Industrial Wastes to Amendments for Organic Farming System: 1. Composting, Quality, Stability, and Maturity Indices.

Bioresource Technology 101: 5952-5960

Reijntjes, C. Bertus, H. dan Waters-bayers. 1992. Pertanian Masa Depan : Pengantar Untuk Pertanian Berkelanjutan Dengan Input Luar Rendah. Sukoco Y, penerjemah; Fliert EVD dan Hidayat B, editor. Yogyakarta: Kanisius. Terjemahan dari: Farming For The Future, An Introduction to Low-External-Input and Sustainable Agriculture.

Salvato, J.A., 1992. Environmental Engineering and Sanitation. John Wiley & Sons, Inc. New York.

Setyorini, D. 2005. Pupuk Organik Tingkatkan Produksi Pertanian. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 27 No. 6, 2005. Balai Penelitian Tanah, Bogor.

Sigit, Anggoro, A., dan Suharjo. 2007. Analisis proses degradasi lahan dan dampaknya terhadap produktivitas lahan pertanian di kabupaten Klaten. Forum Geografi, 21 (2). pp. 155-173. ISSN 0852-2682. http://eprints.ums.ac.id/726/ [12 Oktober 2010].

Simanungkalit, R.D.M., Suriadikarta, D.A., Saraswati, R., Setyorini, D., dan Hartatik, W. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Snape, J.B., Dunn, I.J., Ingham, J., and Prenosil, J.E. 1995. Dynamics of Environmental Bioprocesses. VCH, Weinheim.

(71)

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2004. Standar Nasional Indonesia No. 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos Dari Sampah Organik Domestik. Badan Standarisasi Nasional.

Stofella, P.J. and Kahn, B.A. 2001. Compost Utilization in Horticultural Cropping Systems. CRC press, Boca Raton, Florida.

Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius, Yogyakarta.

US Composting Council. 2008. USCC Factsheet: Using Compost Can Reduce Water Pollution. New York.

USEPA, 1998. Emission Factor Documentation for AP-42. Section 9.2.1. Fertilizer Application. Draft Report. USEPA, North Carolina.

Yuwono, A.S. 2003. Odour Pollution in the Environmental: Detection of Biogenic Odour Emissions Using a QCM Sensor Array – Based Instrument [dissertation]. Rheinischen Friedrich-Wilhelms-Universität Bonn.

Yuwono, A.S., Ichwan, N., dan Saptomo, S.K. 2011. Pengomposan Jerami Padi Organik dan Analisis Mutunya. Seminar Nasional IATPI –ITS 2011,

(72)

Gambar

Tabel 1. Pengaruh pemberian pupuk organik dan taraf pupuk N terhadap hasil dan
Tabel 2. Hasil pengujian pupuk kandang pada budidaya padi sawah di lahan
Tabel 3. Kandungan hara jerami
Gambar 2. Para-para (tunnel) aerasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

c)  buatlah satu tabel yang singkat tetapi jelas dan terperinci yang menunjukkan tentang: 1. Konsumsi potensial besi cor  - coran pada 5 daerah penjualan diatas untuk tahun 201D

Fungsi dan kewajiban masing-masing jenis kelamin, serta perbedaan latar belakang itu, disinggung oleh ayat ini dengan menyatakan bahwa: para lelaki, yakni jenis

Berangkat dari permasalahan tersebut, peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian terhadap penanganan pengaduan masyarakat dalam mendukung iklim organisasi di

L.2.5 Ekstraksi Biji Kelor Moringa oleifera dengan Pelarut NaCl Biji kelor - Sebanyak 1 g serbuk biji kelor diekstrak dalam 100 mL larutan NaCl dengan konsentrasi 1 M -

di dalam kelas sudah sesuai dengan RPP yang dibuat oleh

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, pada tahap ini proses komunikasi interpersonal yang terjadi antara penderita nomophobia dengan para sahabatnya tidak

Data lapangan dan data citra yang dipakai pada penelitian ini sama dengan data yang digunakan oleh Mulia (2007), tetapi memiliki perbedaan dalam (1) pemetaan kondisi perairan

Berdasarkan Gambar 4.16 di atas dapat dijelaskan jika hasil plot time series untuk data hasil ramalan sudah mengikuti pola plot data asli, sehingga model neural network