ANATOMI TENGKORAK ORANGUTAN KALIMANTAN
(Pongo pygmaeus pygmaeus)
TRI SUSANTI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRACT
TRI SUSANTI. The Anatomy of the skull of Kalimantan Orangutan (Pongo
pygmaeus pygmaeus). Under direction of NURHIDAYAT and CHAIRUN NISA’.
The aim of the study was revealed the anatomy of the skull of male
Kalimantan orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus) related to the function of the
elements of the head and the daily behavior of the orangutan. The study was conducted by observing the anatomical features of the orangutan skull and compared it with literatures related to the anatomy of the skull in human and animals such as gorilla and chimpanzee that have close taxonomis and anatomical relationship with orangutan and the skulls of other animals. The results showed that some characteristics of orangutan skull were observed. The sutures between the bone were unclearly and presumed that orangutan was old. On the other hand, there was highly developed crest in the calvaria of the skull: the frontal crest, the external sagittal crest, and the nuchal crest. The frontal crest suggested the origin of cheek pad that was highly developed in the male orangutan. The external sagittal crest suggested as the origin of the temporale muscle and the nuchal crest suggested as the origin of the extensor muscles of the neck and head. In addition, the most developed of zygomatic arch was formed by the zygomatic process of temporal bone and the temporal process of zygomatic bone. The most developed parts of the orangutan skull was the splanchnocranii than that of the neurocranii portion, which looked prominent and lengthened of the mouth area. Teeth formula of this animal was 2 (I 2 / 2, C 1 / 1, P 2 / 2, M 3 / 3), that looked highly developed of canine teeth which was showed as orangutan sexual dimorphism.
Keywords: Pongo pygmaeus pygmaeus, skull, frontal crest, external sagittal crest,
TRI SUSANTI. Anatomi Tengkorak Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus). Dibimbing oleh NURHIDAYAT dan CHAIRUN NISA’.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari anatomi tengkorak orangutan
Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) jantan yang dikaitkan dengan fungsi
unsur-unsur di kepala dan perilaku kesehariannya. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaji ciri-ciri anatomi tengkorak orangutan dan membandingkannya dengan literatur tengkorak manusia dan hewan yang memiliki kedekatan taksonomi dan anatomi dengannya, yaitu gorilla dan simpanse serta dengan tengkorak hewan lain. Hasil penelitian menunjukkan beberapa karakteristik tengkorak orangutan yang diamati, diantaranya sutura yang tidak terlihat jelas dan diduga tengkorak ini berasal dari orangutan yang sudah berumur tua. Disamping
itu, juga terdapat krista yang sangat berkembang pada daerah calvaria tengkorak,
yaitu crista frontalis, crista sagittalis externa, dan crista nuchae. Crista frontalis
diduga sebagai tempat pertautan cheek pad yang sangat berkembang pada
orangutan jantan, crista sagittalis externa diduga sebagai tempat pertautan
m. temporale dan crista nuchae diduga sebagai tempat pertautan otot-otot
ekstensor leher dan kepala. Selain itu, arcus zygomaticus yang sangat kuat dan
berkembang, dibentuk oleh processus zygomaticus dari os temporale dan
processus temporale dari os zygomaticus. Bagian tengkorak yang paling
berkembang pada orangutan adalah pars splanchnocranii yang terlihat pada
daerah mulut yang menonjol dan panjang. Formula gigi dari hewan ini adalah 2 (I
2/2, C 1/1, P 2/2, M 3/3) dengan dentes canini yang terlihat sangat berkembang
dan merupakan ciri sexual dimorphism-nya.
Keywords: Pongo pygmaeus pygmaeus, tengkorak, crista frontalis, crista
RINGKASAN
TRI SUSANTI. Anatomi Tengkorak Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus
pygmaeus). Dibimbing oleh NURHIDAYAT dan CHAIRUN NISA’.
Orangutan memiliki ukuran kepala yang relatif besar. Pada daerah kepala, terlihat area mulut yang luas dengan bentuk mulut yang panjang dan menonjol. Hewan ini memiliki kekuatan yang besar pada daerah mulut yang sangat
mendukung ketika makan (mastikasi) dan berkelahi. Disamping itu, sexual
dimorfism (ciri yang membedakan antara individu jantan dan betina) orangutan tampak paling menonjol pada daerah kepala, seperti bantalan pipi yang besar dan kantong leher yang sangat berkembang pada jantan dewasa serta gigi taring yang juga terlihat sangat subur. Hal ini menjadikan kepala orangutan jantan dewasa terlihat lebih besar dibandingkan dengan kepala betina dewasa.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari anatomi tengkorak orangutan, mempelajari hubungan karakteristik anatomi tengkorak orangutan dengan fungsi unsur-unsur di kepala dan perilaku orangutan, serta mengkaji ciri-ciri anatomi tengkorak orangutan dengan membandingkannya dengan literatur mengenai anatomi tengkorak manusia dan hewan yang memiliki kedekatan taksonomi dengannya, yaitu gorilla dan simpanse serta dengan tengkorak hewan lain. Penelitian ini menggunakan satu set preparat tengkorak orangutan Kalimantan jantan dewasa koleksi Laboratorium Anatomi FKH IPB yang diperkirakan sudah berumur tua. Penetilian ini dilakukan melalui pengamatan terhadap karakteristik tengkorak orangutan yang kemudian dibandingkan dengan literatur tengkorak manusia, simpanse, gorilla dan beberapa hewan lainnya. Disamping itu, juga digunakan dua set preparat tengkorak orangutan Kalimantan (jantan dan betina berumur muda) koleksi Museum Zoologi LIPI Cibinong, sebagai komparasi untuk menentukan bagian-bagian penyusun tengkorak orangutan. Pengukuran terhadap panjang, tinggi dan lebar tengkorak serta bobot kering tengkorak dilakukan hanya pada tengkorak orangutan jantan dewasa dan dilakukan pengambilan gambar tengkorak dari beberapa sisi seperti ventral, lateral, dorsal, kranial, dan kaudal. Gambar yang diperoleh kemudian diolah dengan Adobe Photoshop dan diberi nama berdasarkan Nomina Anatomica Veterinaria (WAVA 2005).
Hasil pengamatan menunjukkan tengkorak orangutan berukuran relatif besar, dengan panjang ± 24,5 cm, lebar ± 19,5 cm dan tinggi ± 19 cm, serta bobot kering 1.3 kg. Ukuran tengkorak yang besar ini juga didukung oleh ukuran tubuh yang besar, sehingga tubuhnya tetap dapat menopang kepala dengan baik dan tetap dapat bergerak leluasa terutama ketika berada di atas pohon. Permukaan tulang tengkorak hewan ini terlihat kasar karena memiliki banyak penjuluran dan rigi sehingga diduga berfungsi sebagai tempat untuk perlekatan (origo atau insertio) beberapa otot dan jaringan kulit kepala.
Tengkorak orangutan disusun oleh beberapa tulang yang terdiri atas tengkorak bagian atas dan bagian bawah. Tengkorak bagian atas disusun oleh
os frontale, os ethmoidale, os lacrimale, os nasale, os maxilla, os incisivum, os zygomaticum, os palatinum, os pterygoideum, os vomer, os sphenoidale, os parietale, os occipitale, os temporale, sedangkan tengkorak bagian bawah
splancnocranii. Pars neurocranii adalah bagian tulang yang turut membentuk
cavum cranii dengan atapnya disebut dengan calvaria. Bagian tulang ini disusun
oleh os occipitale, os parietale, os temporale, os frontale, os sphenoidale, dan
os ethmoidale. Pada daerah calvaria bagian tulang ini, terdapat tiga buah
penjuluran yang sangat berkembang, yaitu crista frontalis, crista sagittalis
externa, dan crista nuchae. Crista frontalis diduga sebagai tempat pertautan cheek
pad (bantalan pipi) yang sangat berkembang pada orangutan jantan dewasa yang
merupakan sexual dimorphism yang dimiliki olehnya, crista sagittalis externa
diduga sebagai tempat pertautan m. temporale dan crista nuchae diduga sebagai
tempat pertautan otot-otot ekstensor leher dan kepala. Disamping itu, pada daerah
lateral bagian tulang ini terlihat fossa temporalis yang sangat luas dan diduga
sebagai tempat pertautan m. temporale yang sangat berfungsi membantu
pergerakan rahang (proses mastikasi). Selanjutnya pada bagian kaudal tengkorak
juga terlihat pars squama occipitalis dari os occipitale yang luas dan memiliki
permukaan yang kasar. Pada tulang ini diduga bertaut beberapa otot ekstensor kepala yang diperkirakan sangat berkembang pada tengkorak orangutan. Otot ini sangat berfungsi dalam membantu pergerakan kepala orangutan terutama ketika
memanjat pohon karena hewan ini termasuk hewan arboreal (biasa hidup di atas
pohon) dan ketika berjalan karena hewan ini biasa berjalan secara quadrupedal
(menggunakan empat alat geraknya untuk lokomosi). Pada bagian dorsal pars
squama occipitalis ini terdapat penonjolan tulang, yaitu protuberantia occipitalis externa yang sangat berkembang dan berjumlah dua buah serta diperkirakan
sebagai tempat pertautan yang erat dari ligamentum nuchae yang berfungsi
menjaga posisi tegak kepala orangutan.
Pars splanchnocranii adalah bagian tulang yang turut membentuk daerah
wajah. Bagian tulang ini meliputi regio orbitalis, nasalis, dan oralis dan disusun
oleh beberapa tulang, yaitu os maxilla, os zygomaticum, os lacrimale, os nasale,
os incisivum, os palatinum, os pterygoideum, os vomer dan os mandibula. Pada tengkorak orangutan, bagian tulang ini terlihat lebih berkembang dibandingkan
dengan pars neurocranii. Bagian tengkorak ini juga lebih berkembang pada
gorilla dan simpanse, tetapi sebaliknya pada manusia. Bagian tulang yang paling
berkembang pada manusia adalah pars neurocranii. Pada regio orbitalis
tengkorak hewan ini terlihat orbita yang mengarah ke depan dengan jarak antara
orbita kanan dan kiri saling berdekatan. Hal ini memperlihatkan bahwa orangutan
memiliki kemampuan melihat binokuler, yaitu mampu melihat dengan dua
matanya untuk melihat lapang pandang yang sama dengan persepsi yang
mendalam. Selanjutnya, pada regio nasalis terlihat rongga hidung orangutan yang
berbentuk piriform. Rongga ini dibatasi oleh tiga tulang, yaitu os nasale pada
bagian dorsal, os maxilla pada bagian lateral, dan os incisivum pada bagian
ventral. Kemudian pada regio oralis terlihat daerah mulut orangutan yang sangat
dentes canini yang terlihat sangat berkembang dibandingkan dengan gigi yang
lain. Gigi ini juga merupakan sexual dimorphism yang dimiliki oleh orangutan
jantan dewasa. Pada gorilla, gigi ini juga merupakan sexual dimorfism seperti
halnya orangutan tetapi tidak pada manusia dan simpanse
Keywords: Pongo pygmaeus pygmaeus, tengkorak, crista frontalis, crista
ANATOMI TENGKORAK ORANGUTAN KALIMANTAN
(Pongo pygmaeus pygmaeus)
TRI SUSANTI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Anatomi Tengkorak Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus
pygmaeus)
Nama : Tri Susanti
NIM : B04070025
Disetujui,
Dr. drh. Nurhidayat, MS, PAVet Pembimbing I
Dr. drh. Chairun Nisa’, MSi, PAVet Pembimbing II
Diketahui,
Dr. Dra. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
PRAKATA
Segala puji dan syukur senantiasa penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul Anatomi Tengkorak
Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus). Skripsi ini disusun sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. drh. Nurhidayat, MS, PAVet dan Dr. drh. Chairun Nisa’, MSi, PAVet sebagai dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, motivasi, saran, dan pengarahan pada penulis selama proses penelitian dan penyelesaian penelitian ini, begitu juga kepada Dr. drh. H. Heru Setijanto, PAVet(K) selaku dosen pembimbing akademik dan sekaligus dosen penilai yang selalu memberikan bimbingan, motivasi, saran, dan pengarahan pada penulis. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf dan pegawai Laboratorium Anatomi, FKH IPB yang telah banyak membantu dalam proses penelitian ini.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan, sehingga perlu kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan di masa mendatang.
Bogor, September 2011 Tri Susanti
Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Juni 1989 di Pakan Sinayan Kabupaten Agam Sumatera Barat. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan ayahanda Jafri dan ibunda Nurdarmailis.
Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Muhammadiyah Pakan Sinayan tahun 1995, lalu melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 51 Pakan Sinayan. Pada tahun 2001, penulis memasuki pendidikan di SLTP N 4 Tilatang Kamang dan menyelesaikan pendidikan di SMA N 1 Tilatang Kamang pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima Sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI).
Selama menjadi mahasiswa FKH IPB, penulis pernah aktif menjadi asisten praktikum matakuliah Anatomi Veteriner I tahun ajaran 2008/2009 dan 2009/2010, Anatomi Veteriner II tahun 2009/2010, dan Anatomi Topografi tahun ajaran 2010/2011. Dalam organisasi, penulis tergabung dalam anggota DKM An-Nahl FKH IPB dan sebagai pengurus divisi pendidikan tahun 2008/2009 dan divisi Informasi Komunikasi dan Usaha (INFOKOM) tahun 2009-2010 dalam himpunan minat profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA). Selain
itu, penulis pernah menjadi peserta survei infestasi Cimex sp. di asrama TPB IPB
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
1.3 Manfaat ... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4
2.1 Klasifikasi Orangutan ... 4
2.2 Biologi Orangutan ... 5
2.3 Habitat dan Tingkah Laku ... 6
2.4 Komparasi Tengkorak ... 8
2.4.1 Pars neurocranii ... 10
2.4.2 Pars splanchnocranii ... 13
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 17
3.1 Waktu dan Tempat ... 17
3.2 Alat dan Bahan ... 17
3.3 Metode Penelitian ... 17
BAB 4 HASIL ... 19
4.1 Pars neurocranii ... 20
4.2 Pars splanchnocranii ... 26
BAB 5 PEMBAHASAN ... 34
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN ... 44
5.1 Simpulan ... 44
5.2 Saran ... 44
Halaman
1 Peta penyebaran orangutan Kalimantan (P.p. pygmaeus) di pulau
Kalimantan dan orangutan Sumatera (P.p. abelli) di pulau Sumatera yang
ditandai dengan daerah yang diarsir hitam ... 4
2 Orangutan Kalimantan (P.p. pygmaeus) yang sedang berjalan secara bipedal (A) dan sedang bergerak di atas pohon menggunakan keempat alat geraknya (B) ... 5
3 Komparasi wajah orangutan Kalimantan jantan (A) dan Betina (B) dewasa. Bantalan pipi dan kantong suara terlihat sangat berkembang pada orangutan Kalimantan jantan dewasa ... 7
4 Pengukuran panjang (A), lebar (B) dan tinggi (C) dari tengkorak orangutan Kalimantan jantan koleksi Laboratorium Anatomi FKH IPB .... 17
5 Komparasi tengkorak orangutan Kalimantan ... 20
6 Tengkorak bagian atas tampak dorsal ... 21
7 Tengkorak bagian atas tampak lateral ... 23
8 Tengkorak bagian atas tampak kaudal ... 24
9 Tengkorak bagian atas tampak ventral dari sudut pandang posterior ... 26
10 Tengkorak bagian atas tampak kranial ... 27
11 Tengkorak tampak ventral ... 30
12 Sudut pandang lateral dan kranial os madibula ... 32
13 Susunan gigi rahang atas dan rahang bawah ... 33
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Orangutan (Pongo sp.) termasuk dalam famili pongidae dan digolongkan
sebagai kera besar selain gorilla dan simpanse (Kleiman 2010). Hewan ini merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia dan di Indonesia hanya hidup di hutan hujan tropis Kalimantan (Borneo) dan Sumatera (Doyen dan Supriatna 2010). Hewan ini memiliki dua subspesies, yaitu orangutan Sumatera (Pongo pygmaeus abelli) dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) (Simons 2007).
Data badan konservasi dunia, the International Union for the Conservation
of Nature and Nature Resources (IUCN), menyatakan orangutan masuk dalam
kategori hewan terancam punah atau endangered karena rendahnya populasi
hewan ini di alam (Soorae 2010). Rendahnya populasi hewan ini disebabkan oleh kehilangan habitat karena kegiatan perusakan dan fragmentasi hutan tropis untuk
kegiatan perkebunan dan pendirian tempat pemukiman (Soehartono et al. 2009).
Selain itu, disebabkan juga oleh kegiatan perdagangan orangutan secara illegal
untuk dijadikan hewan kesayangan (Cowlishaw dan Dunbar 2000; Knop et al.
2004). Oleh karena itu, kera besar ini telah dilindungi sejak tahun 1931 melalui peraturan perlindungan hewan liar No. 233 (Supriatna dan Wahyono 2000) dan diperkuat lagi melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1990 dan Peraturan
Pemerintah nomor 8 tahun 1999 (Soehartono et al. 2009). Untuk melindungi
hewan ini di alam, Convention on International Trade in Endangered Species of
Wild Fauna and Flora (CITES) telah memasukkan orangutan ke dalam kategori
non human primates appendix I (extremely restricted), yaitu dilarang untuk
diperdagangkan (Bennet et al. 1995).
Orangutan memiliki ukuran kepala yang relatif besar. Pada daerah kepala, terlihat area mulut yang luas dengan bentuk mulut yang panjang dan menonjol (Simons 2007). Menurut Shea (1986), hewan ini memiliki kekuatan yang besar pada daerah mulut yang sangat mendukung hewan ini ketika makan (mastikasi)
individu jantan dan betina) orangutan tampak paling menonjol pada daerah kepala, seperti bantalan pipi yang besar dan kantong leher yang sangat berkembang pada jantan dewasa serta gigi taring yang juga terlihat sangat subur. Hal ini menjadikan kepala orangutan jantan dewasa terlihat lebih besar dibandingkan dengan kepala betina dewasa (Galdikas 1984).
Tengkorak orangutan merupakan bahan yang sangat menarik dan sangat
berguna untuk diteliti karena tengkorak merupakan axial skeleton dan fungsinya sangat kompleks sebagai pelindung utama dari otak dan panca indera yang terdapat di daerah kepala. Tengkorak memiliki bentuk yang sangat kompleks karena terdiri atas beberapa tulang yang menjadi satu kesatuan sehingga terbentuk seperti satu tulang yang kompak. Selain itu, tengkorak spesies hewan memiliki banyak variasi terutama pada strukturnya, walaupun tulang-tulang yang menjadi pembentuk tengkorak tiap spesies itu adalah sama. Variasi ini dapat menjadi suatu ciri khas yang membedakan tiap spesies yang kemudian dapat dikaitkan dengan pola perilaku dari spesies tersebut dan juga dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan taksonomi.
Sebagai salah satu satwa yang menjadi bagian penting dari kekayaan dan
keanekaragaman hayati Indonesia (Soehartono et al. 2009), data-data anatomi
orangutan sampai saat ini masih sangat sedikit termasuk data-data tentang anatomi tengkorak. Berdasarkan statusnya di alam, hewan ini masuk dalam kategori terancam punah. Oleh karena itu, penelitian anatomi khususnya tentang anatomi tengkorak perlu dilakukan untuk mendukung upaya konservasi satwa ini guna mencegah dari kepunahan.
1.2 Tujuan
3
1.3 Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Orangutan
Ordo primata terdiri atas tiga subordo, yaitu prosimii, tarsiidea, dan anthropoidea. Orangutan termasuk ke dalam subordo anthropoidea dengan superfamili hominoidea dan famili pongidae (ape) (Napier dan Napier 1985). Di
Indonesia terdapat dua subspesies orangutan (Pongo pygmaeus), yaitu orangutan
Sumatera (Pongo pygmaeus abelli) dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus
pygmaeus) (Supriatna dan Wahyono 2000, Simons 2007). Penamaan orangutan diambil dari bahasa Indonesia atau bahasa Melayu, yaitu dari kata manusia (orang) dan hutan (utan) yang berarti “manusia hutan” (Galdikas 1981).
Orangutan ini dibedakan menjadi dua subspesies berdasarkan daerah
penyebarannya (Gambar 1) dan perbedaan genetik yang cukup jelas (Fischer et al.
2006). Perbedaan daerah penyebaran ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan morfologi tubuh orangutan karena dipengaruhi oleh pola adaptasi dan tingkah
laku yang disesuaikan dengan tempat hewan ini berada (Zhi et al. 1996).
Misalnya, perbedaan makanan yang dikonsumsi dapat mempengaruhi struktur dan kecepatan pertumbuhan gigi. Akibatnya struktur anatomi tengkorak hewan ini juga berubah (Walker 1987).
Gambar 1 Peta penyebaran orangutan Kalimantan (P.p. pygmaeus) di pulau
Kalimantan dan orangutan Sumatera (P.p. abelli) di pulau Sumatera
5
Klasifikasi orangutan (Napier dan Napier 1985; Supriatna dan Wahyono 2000):
Class : Mammalia
Ordo : Primata
Subordo : Anthropoidea
Family : Pongidae
Genus : Pongo
Spesies : Pongo pygmaeus
Subspesies : Pongo pygmaeus pygmaeus (orangutan Kalimantan)
: Pongo pygmaeus abelii (orangutan Sumatera)
2.2 Biologi Orangutan
Orangutan adalah salah satu kera besar dari famili pongidae (Napier dan Napier 1985; Kleiman 2010). Hewan ini memiliki ukuran tubuh yang besar, tidak mempunyai ekor, tangan lebih panjang dari kaki, dan kepala yang relatif besar. Tingginya dapat mencapai 1.4 m (kira-kira 2/3 kali tinggi gorilla) dengan berat
badan antara 30-90 kg (Maryanto et al. 2008). Jika dilihat dari ciri morfologi
tubuh, dua subspesies orangutan ini dapat dibedakan dari rambutnya (Maple
1980). Orangutan Sumatera memiliki rambut yang lebih halus dan berwarna
coklat kekuningan, sedangkan orangutan Kalimantan memiliki rambut yang lebih
kasar dan berwarna coklat tua sampai kehitaman (Supriatna dan Wahyono 2000). B
A
Gambar 2 Orangutan Kalimantan (P.p. pygmaeus) yang sedang berjalan secara
Orangutan memiliki kaki dengan susunan jari yang mirip dengan kaki
manusia, yaitu plantigradi (bentuk digit dan metatarsal yang rata dengan tanah)
(Simons 2007). Tetapi, orangutan dan manusia memiliki kebiasaan berjalan yang
berbeda. Orangutan dengan cara quadrupedal (menggunakan keempat anggota
geraknya sebagai alat lokomosi) sedangkan manusia dengan bipedal
(menggunakan dua alat gerak sebagai alat lokomosi). Orangutan juga memiliki
kemampuan berjalan dengan bipedal seperti pada manusia, tetapi jarang dilakukan
(Maple 1980; Platt dan Ghazanfar 2010). Disamping itu, kaki orangutan juga memiliki kemampuan seperti tangan, yaitu dapat memegang atau merenggut sesuatu. Kemampuan ini sangat mendukung hewan ini untuk dapat berpegangan dengan erat ketika berayun atau memanjat pohon dan berpindah ke dahan yang lain (Simons 2007) (Gambar 2).
Orangutan jantan memiliki sexual dimorfism yang tampak mencolok dari
ukuran tubuhnya (Galdikas 1984). Ukuran tubuh orangutan jantan dewasa bisa
mencapai dua kali ukuran tubuh betina dewasa (Bennet et al. 1995). Selain itu,
juga dapat terlihat dari bentuk kepalanya. Kepala orangutan jantan dewasa terlihat lebih besar dibandingkan dengan betina dewasa. Hal ini karena orangutan jantan
dewasa memiliki bantalan pipi (cheek pad) yang besar dan kantong leher
menyerupai balon sehingga ukuran kepalanya tampak semakin besar (Galdikas
1984) (Gambar 3). Ciri lainjuga ditemukan pada gigi orangutan, yaitu gigi taring
jantan dewasa terlihat lebih besar dan kuat dibandingkan pada betina dewasa (Maple 1980).
Rata-rata lama hidup orangutan adalah 40 tahun dengan tingkatan umur,
yaitu bayi (infant) 0-4 tahun, anak (juvenile) 4-7 tahun, remaja (adolescent) 7-15
tahun, dewasa (adult) 15-35, dan tua (old) lebih dari 35 tahun. Orangutan akan
mencapai masa pubertas pada umur 7 tahun, kematangan seksual pada umur 6-8 tahun dan melahirkan pertama kali pada umur 12 tahun. Dengan jumlah anak yang dilahirkan biasanya adalah satu atau dua ekor. Disamping itu, bantalan pipi dan kantung suara pada orangutan jantan akan mulai berkembang pada tahun
7
A B
Gambar 3 Komparasi wajah orangutan Kalimantan jantan (A) dan Betina (B) dewasa. Bantalan pipi dan kantong suara terlihat sangat berkembang pada orangutan Kalimantan jantan dewasa (Sumber: Simons 2007; Anonim 2011).
2.3 Habitat dan Tingkah Laku
Orangutan sesuai dengan namanya, memiliki habitat di hutan. Hewan ini sering mendiami daerah banjir, rawa gambut, tanah aluvial di sepanjang sungai, dan sedikit di dataran tinggi. Umumnya daerah yang didiami oleh hewan ini memiliki ketinggian di bawah 1000 m dpl dan lebih banyak dijumpai di sekitar 500 m dpl. Namun, di Sabah Malaysia, hewan ini hidup di ketinggian 700-1300
m dpl. Daerah jelajah orangutan jantan 1-6 km2 dan betina 0,5-6 km2. Dalam satu
hari hewan ini dapat berjalan lebih dari 1300 m (Supriatna dan Wahyono 2000).
Orangutan adalah hewan diurnal, yang aktif pada siang hari dan juga
merupakan hewan arboreal, yang biasanya menghabiskan waktunya di atas pohon
(Goodal 1996; Platt dan Ghazanfar 2010). Hal ini dibuktikan dengan aktivitas keseharian yang biasa dilakukannya, yaitu berpindah di atas pohon dan hanya
sesekali di permukaan tanah (teresterial), beristirahat atau tidur dengan bersandar
dan duduk pada sebuah cabang, serta makan dan membuat sarang juga dilakukan di atas pohon (Galdikas 1984).
Orangutan termasuk ke dalam golongan hewan omnivora yang cenderung
buah-buahan, selebihnya adalah berupa daun muda, tunas pohon, kulit kayu, serangga, telur, anak burung, dan tupai. Diperkirakan terdapat lebih dari 400 jenis tumbuhan yang menjadi sumber makanan hewan ini (Galdikas 1984; Goodal 1996).
Orangutan merupakan hewan yang memiliki kebiasaan hidup soliter (Rodman 1973). Hal ini ditandai dengan sebagian besar masa hidupnya adalah sendiri. Satuan dasar populasi hewan ini terdiri atas, satu sampai dua anak yang belum mandiri, atau hewan muda dalam masa peralihan (pradewasa) yang hidup dalam kesatuan dengan induk yang melahirkannya, atau jantan dan betina dewasa yang hidup soliter. Satu-satunya kelompok sosial orangutan yang berlangsung lama adalah seekor induk dan anak sampai mandiri (Galdikas 1984).
Dalam melakukan interaksi atau berkomunikasi, orangutan memiliki kemampuan dalam mengekpresikan wajahnya seperti primata lainnya. Ekspresi
wajah pada orangutan biasanya berupa memperluas daerah bibir ke depan (funnel
face), memperlihatkan gigi (bare teeth), menyeringai, menguap, dan merayu atau
bercanda (playface) (Maple 1980). Tetapi kebiasaan mengekpresikan wajah ini
lebih sedikit dibandingkan primata lainnya karena orangutan merupakan primata yang hidup soliter. Bentuk komunikasi lain yang sering dilakukan oleh orangutan
adalah melakukan seruan panjang (long call). Seruan ini biasanya sangat keras
dan berlangsung lama kira-kira satu sampai dua menit, sehingga dapat terdengar dari jarak sejauh 2 km. Seruan ini biasanya dilakukan oleh orangutan jantan untuk menandai daerah kekuasannya. Orangutan betina kadang-kadang juga mengeluarkan seruan yang mirip dengan seruan ini yang dilakukan ketika berinteraksi dengan anak yang sedang disapih (Galdikas 1984).
2.4 Komparasi Tengkorak
Tengkorak merupakan bagian yang paling kompleks dari kerangka tubuh (Deblase dan Martin 1974). Bentuknya yang kompleks ini juga memiliki fungsi yang sangat kompleks, yaitu sebagai pelindung otak dan beberapa alat indera yang penting di daerah kepala (Warwick dan William 1973). Otak terdapat di dalam
cavum cranii, alat pendengaran dan keseimbangan di dalam pars petrosa dari
9
dalam rongga hidung (cavum nasi), alat pengecapan atau lidah terdapat di rongga
mulut (cavum oris) dan tempat permulaan dari saluran makanan serta saluran
pernapasan yang terdapat di kaudal rongga mulut dan hidung (Frandson dan Whitten 1981). Selain itu, tengkorak juga memiliki fungsi khusus lainnya, seperti tempat memroses makanan (mengunyah atau mastikasi) dan tempat pembersitan otot untuk ekspresi wajah (Warwick dan Williams 1973).
Tengkorak merupakan bagian tubuh yang sangat penting dalam identifikasi dan klasfikasi ordo primata (Notosusanto 2008). Selain itu, juga digunakan dalam menentukan taksonomi dan indikator perkembangan evolusi manusia. Tengkorak memiliki banyak variasi, baik dari segi bentuk maupun ukuran, dan keberadaan suatu bagian tengkorak pada suatu spesies. Variasi ini terjadi karena beberapa faktor, misalnya faktor makanan, alat indera, pola adaptasi, dan tingkah laku (Willey dan Mantagna 1963).
Tulang-tulang penyusun tengkorak umumnya dihubungkan oleh sutura
(Shier et al. 2001). Hubungan tulang ini bersifat kaku atau tidak dapat bergerak
(Colville dan Bassert 2002). Beberapa macam tipe sutura, yaitu sutura serrata,
sutura squamosa, sutura foliata, sutura harmonia, dan sutura coronal (Tortora dan Derrickson 2009). Selain itu, ditemukan juga hubungan persendian, yaitu
antara tulang rahang atas dengan rahang bawah (os mandibula). Hubungan antar
tulang ini dapat bergerak bebas dan tidak bersifat kaku (Collville dan Bassert 2002).
Tengkorak merupakan tulang yang kompleks dan dapat dibagi menjadi dua
bagian berdasarkan daerahnya, yaitu pars neurocranii (tulang-tulang yang turut
membentuk cavum cranii) dan pars splanchnocranii (tulang wajah) (Shier et al.
2001). Tengkorak manusia memiliki perkembangan yang cukup besar pada bagian
neurocranii. Perkembangan ini menggambarkan bahwa manusia memiliki volume otak yang besar. Berbeda dengan papio dan simpanse, bagian tengkorak yang
memiliki perkembangan yang cukup besar adalah pars splanchnocranii. Pada
primata ini, gigi dan rahangnya terlihat lebih berkembang sehingga mulut terlihat lebih besar dan panjang (Krieger 1982). Begitu juga dengan hewan piara terutama
sekali pada herbivora (kuda, pemamah biak) dan babi, pars splanchnocranii juga
berkembang bagian tengkorak ini, maka didapat banyak tempat pertautan otot-otot pengunyah dan untuk penempatan gigi (Walker 1987).
2.4.1 Pars neurocranii
Pars neurocranii adalah tulang-tulang yang turut membentuk cavum cranii (Leeson dan Leeson 1989). Bagian ini terdiri atas beberapa tulang, yaitu
os occipitale, os interparietale, os parietale, os temporale, os frontale, os sphenoidale dan os ethmoidale (Tortora dan Derrickson 2009).
Os occipitale
Os occipitale adalah tulang yang membentuk bagian kaudal dan dasar tengkorak. Pada sapi, bagian kaudal tengkorak tidak hanya dibentuk oleh
os occipitale tetapi juga dibentuk oleh os parietale, os frontale, os interparietale,
dan os temporale (May 1955). Pada bagian dorsal dinding kaudal tengkorak disilang secara transversal oleh suatu peninggian tulang atau rigi yang disebut
dengan crista nuchae. Rigi ini merupakan suatu peninggian garis yang
memisahkan os parietale dengan os occipitale (Simons 2007). Berbeda pada
manusia, yang memisahkan os occipitale dengan os parietale bukan berupa rigi
atau peninggian tulang tetapi hanya berupa garis, yang disebut dengan sutura
lambdoidea (Shier et al. 2001). Di bagian ventral dari crista nuchae terdapat suatu
peninggian tulang yang disebut dengan protuberantia occipitalis externa.
Peninggian ini berfungsi sebagai tempat bertautnya ligamentum nuchae yang
dapat mendukung tegaknya kepala (Tortora dan Derrickson 2009). Os interparietale
Os interparietale merupakan tulang kecil diantara os parietale dan squama occipitalis. Tulang ini jelas terlihat pada hewan muda, sedangkan pada hewan tua tulang ini bergabung menjadi satu tulang yang tidak dapat dibedakan (Colville dan Bassert 2002). Tulang ini tidak terdapat pada tengkorak manusia (Tortora dan
Derrickson 2009). Pada bagian tengah os interparietale ini berjalan suatu rigi
yang disebut dengan crista sagittalis externa (crista parietalis externa). Rigi ini
11
anjing yang berkepala panjang, rigi ini terlihat sempit dan tinggi sedangkan anjing yang berkepala pendek rigi ini terlihat tebal dan lebar (Colville dan Bassert 2002). Os parietale
Os parietale adalah sepasang tulang yang sebagian besar menempati daerah dorsolateral tengkorak kecuali pada sapi dan babi, tulang ini menempati
dinding kaudal tengkorak (May 1955). Tulang ini berukuran besar terutama pada
kucing, anjing dan manusia, tetapi relatif berukuran kecil pada kuda dan sapi (Conville dan Bassert 2002). Pada manusia, sepasang tulang ini dipisahkan oleh
sutura sagittalis (Tortora dan Derrickson 2009). Os temporale
Os temporale adalah tulang yang membentuk dinding lateral dari
tengkorak dan berlokasi di bagian ventral os parietale. Tulang ini terdiri atas tiga
bagian, yaitu pars petrosa, pars squamosa, dan pars tympanica. Pars petrosa dari
os temporale adalah bagian tulang yang berada di bagian interna tengkorak, yang
berada di antara os occipitale dan os parietale. Sebagian besar dari bagian ini
terdapat di cavum cranii (ruang otak). Pars squamosa adalah bagian os temporale
yang merupakan bidang luar (facies temporalis) yang berbentuk konveks dan turut
membentuk fossa temporalis. Kemudian pars tympanica adalah bagian
os temporale yang turut membentuk struktur telinga (Palastanga et al. 2002). Os frontale
Os frontale adalah tulang yang membentuk bagian kening (dorsokranial
tengkorak) (Warwick dan Williams 1973). Manusia memiliki satu os frontale
(Tortora dan Derrickson 2009), tetapi kuda, sapi dan beberapa hewan piara
memiliki sepasang os frontale (Walker 1987). Pada sapi, tulang ini sangat luas
dan membentuk dinding dorsal, posterior, dan lateral dari tengkorak. Pertemuan
antara os frontale dengan os parietale pada hewan ini dinamakan eminentia
(torus) frontale dan di sebelah lateral dari torus ini terdapat processus cornualis
(May 1955; Frandson 1992). Berbeda dengan sapi, os frontale pada kuda terletak
di batas antara bagian wajah dan tengkorak, serta tidak memiliki processus
cornualis. Disamping itu, os frontale pada ruminansia di bagian kaudal orbita
zygomaticus dari os frontale. Penjuluran ini kemudian berhubungan dengan
processus frontalis dari os zygomaticus (Getty 1975).
Os frontale yang berbatasan dengan orbita disebut dengan daerah
supraorbitalis (Warwick dan Williams 1973). Daerah ini pada beberapa primata
mengalami suatu peninggian yang disebut dengan torus supraorbitale
(Notosusanto 1986). Peninggian ini merupakan bagian yang cukup menonjol dan menjadi suatu bagian yang dipertimbangkan dalam menentukan filogeni primata.
Keberadaan peninggian ini berhubungan dengan daerah neurocranium, orbita,
dan wajah. Peninggian ini umumnya dimiliki oleh papio dan simpanse, sedangkan pada orangutan dan manusia peninggian ini kurang berkembang dan bahkan tidak ada (Shea 1986). Pada daerah ini terdapat suatu lubang yang disebut dengan
foramen supraorbitalis yang berfungsi sebagai tempat lewatnya jaringan saraf dan
pembuluh darah yang senama. Lubang ini terdapat pada tengkorak manusia, tetapi
tidak terdapat pada tengkorak papio dan simpanse, sehingga diperkirakan manusia memiliki tingkat sensitifitas terhadap rangsangan yang lebih besar pada daerah
orbita dibandingkan dua primata ini (Krieger 1982). Os sphenoidale
Os sphenoidale adalah tulang yang berlokasi di bagian ventral kranium
dan rostral os occipitale. Tulang ini terdiri atas corpus, dua pasang ala, dan
sepasang processus pterygoideus (Getty 1975). Pada tulang ini terdapat fossa
pituitari, tempat terdapatnya glandula pituitari yang merupakan kelenjar endokrin yang sangat penting. Jika tulang ini dipisahkan dari tulang kepala, tulang ini akan berbentuk kelelawar dengan sayap dan kaki yang panjang (Colville dan Bassert 2002).
Os ethmoidale
Os ethmoidale adalah tulang yang berlokasi di rostral os sphenoidale.
Tulang ini terdiri atas, lamina cribrosa, lamina perpendicularis, dan labirynthus
ethmoidalis. Tulang ini memiliki cribriform-cribriform (rongga-rongga) yang dilalui oleh banyak cabang saraf-saraf olfaktorius yang berasal dari bagian atas rongga hidung yang menuju ke otak dan berperan dalam membewa rangsangan
13
lamina perpendicularis adalah sekat median yang tegak lurus dan menjadi bagian
posterior dari septum nasi, dan labirynthus ethmoidalis adalah bagian
os ethmoidale yang memiliki banyak keeping-keping tulang halus yang
membentuk lingkaran-lingkaran dan terletak di anterior Lamina cribrosa (Colville
dan Bassert 2002).
2.4.2 Pars splanchnocranii
Pars splanchnocranii tulang-tulang yang membentuk daerah wajah. Bagian
tulang ini meliputi regio orbitalis, nasalis, dan oralis dan disusun oleh beberapa
tulang, yaitu os incisivum, os nasale, os maxilla, os lacrimale, os zygomaticum,
os mandibula, os palatinum, os pterygoideum, dan os vomer (Frandson dan Whitten 1981).
Os incisivum (os praemaxilla)
Os incisivum adalah tulang yang terdapat di rostral tengkorak dan pada
tulang ini tertanam dentes incisivi yang dimiliki oleh semua hewan domestik
kecuali ruminansia, seperti sapi, kambing dan domba. Walaupun ruminansia ini
tidak memiliki dentes incisivi pada rahang atas, os incisivus pada hewan ini
memiliki dental pad yang keras (May 1955). Tulang ini masih terdapat pada
primata, tetapi pada manusia os incisivum telah bergabung dengan os maxilla pada
awal kehidupan sebelum lahir (Krieger 1982).
Di kaudal dari dentes incisivi, pada beberapa hewan terdapat dua buah
lubang yang berhubungan dengan cavum nasi, yaitu canalis interincisivus (Kent
dan Carr 2001). Saluran ini merupakan tempat lewatnya udara pernapasan menuju
ductus nasopalatinus tempat terdapatnya organum vomeronasale (organon jacobson). Organ ini sangat berkembang pada ular dan bangsa lizard. Anjing, kucing dan hewan piraan lain juga memiliki organ ini sebagai alat penciuman tambahan (Walker 1987; Kent dan Carr 2001). Pada bangsa burung, manusia dan beberapa primata organ ini kurang berkembang bahkan mengalami rudimenter,
sehingga spesies ini tidak memiliki canalis interincisivus ini (Napier dan Napier
Os nasale
Os nasale adalah tulang hidung yang terdapat di bagian dorsal dari rongga hidung. Tulang ini berbentuk jembatan yang terdiri atas dua bagian kiri dan kanan
yang dihubungkan oleh suatu garis tengah yang disebut dengan sutura
internasalis. Pada simpanse dan papio, hubungan antara tulang ini segera bersatu setelah lahir. Berbeda pada manusia, tulang tidak bersatu setelah lahir dan menjadi dua bagian tulang yang terpisah (Krieger 1982). Tulang ini memiliki beberapa variasi ukuran dan bentuk, tergantung spesies dan ras hewan. Pada papio dan simpanse tulang ini terlihat lebih pendek dan tipis jika dibandingkan pada manusia, sehingga lubang hidung dua primata ini terlihat lebih luas (Krieger
1982). Binatang dengan wajah yang panjang (dolichocephalic) seperti kuda,
anjing ras borzoi dan whippet, os nasale-nya terlihat lebih panjang, sedangkan
hewan yang wajahnya pendek (brachicephalic) seperti kucing dan ras anjing
buldog, os nasale-nya terlihat lebih pendek dan triangular (Colville dan Bassert
2002). Os maxilla
Os maxilla adalah tulang yang membentuk rahang dan langit-langit keras (hard palate). Pada tulang ini tertanam gigi rahang atas kecuali dentes incisivi
yang tertanam pada os incisivum (Colville dan Bassert 2002). Pada kuda, di
bagian kaudal tulang ini terdapat suatu rigi yang dikenal dengan crista facialis
(Getty 1975). Di bagian dorsoanterior rigi ini terdapat suatu lubang yang penting,
yaitu foramen infraorbitalis, sebagai tempat keluarnya n. infraorbitalis yang
berfungsi untuk menginervasi daerah muka (Shier et al 2001; Tortora dan
Derrickson 2009). Pada papio jumlah lubang ini bervariasi, dari tiga sampai sepuluh lubang. Pada simpanse dan manusia, lubang ini jumlahnya tidak sebanyak yang terdapat pada papio. Hal ini diduga pada daerah wajah, papio memiliki tingkat sensitifitas terhadap rangsangan yang lebih besar dibandingkan pada
manusia dan simpanse. Pada tengkorak manusia, os maxilla membentuk
penjuluran ke arah sutura zigomaticomaxillaris, dengan nama penjulurannya
disebut dengan processus zygomaticus dari os maxilla (Warwick dan Williams
15
Ukuran os maxilla pada hewan ini besar dan memiliki permukaan yang rata.
Dinding lateral dari os maxilla mengalami suatu lekukan yang dalam sehingga
membentuk fossa maxilla. Lekukan ini berfungsi sebagai tempat perlekatan
beberapa otot ekspresi wajah yang diduga cukup berkembang pada hewan ini (Krieger 1982).
Os lacrimale
Os lacrimale adalah tulang kecil dan tipis yang membentuk bagian medial
orbita dan terletak di antara os ethmoidale dan os maxilla. Pada tulang ini
terdapat suatu ruangan yang disebut dengan saccus lacrimalis (suatu kantong
yang menghasilkan air mata) (Shier et al. 2001).
Os zygomaticum
Os zygomaticum disebut juga dengan os malare (Colville dan Bassert 2002).
Tulang ini berbentuk segitiga tidak beraturan yang terletak diantara os lacrimale
(dorsal) dan os maxilla (ventral dan anterior). Pada bagian lateral tengkorak tulang
ini membentuk penjuluran ke arah kaudal, yaitu processus temporalis dari
os zygomaticum. Penjuluran ini berhubungan dengan processus zygomaticus dari
os temporale sehingga membentuk arcus zygomaticus (Shier et al. 2001). Pada
kuda, terdapat processus zygomaticus dari os frontale yang berjalan ke arah dorsal
yang juga turut membentuk arcus zygomaticus. Pada ruminansia, os zygomaticus
juga memiliki penjuluran yang berjalan ke arah dorsal, yaitu processus frontalis.
Penjuluran ini pada lateral orbita bertemu dengan processus zygomaticus dari os
frontale. Jadi pada ruminansia os frontale tidak ikut membentuk arcus zygomaticus. Lengkungan ini hanya dibentuk oleh processus temporalis dari
os zygomaticum dan processus zygomaticus dari os temporale (Getty 1975). Os mandibula
Os mandibula adalah tulang yang membentuk rahang bawah dan merupakan tulang terbesar yang membentuk daerah wajah (Conville dan Bassert 2002).
Tulang ini terdiri atas korpus dan rami. Corpus mandibulae adalah badan anterior
coronoideus. Processus condylaris dari os mandibula ini berhubungan dengan
fossa mandibularis dari os temporale (Shier et al. 2001; Tortora dan Derrickson
2009). Hubungan antara dua tulang ini disebut dengan articulatio
temporomandibularis yang dapat bergerak bebas (Sherwood et al. 2002). Os palatinum
Os palatinum adalah tulang yang terletak di sebelah lateral choanae (pintu
hidung belakang) dan di sebelah posterior os maxilla (Tortora dan Derrickson
2009). Tulang ini pada bagian posterior os maxilla membentuk bagian dari
langit-langit keras yang disebut dengan palatum durum. Tulang ini memiliki dua bagian,
yaitu pars horizontalis dan pars perpendicularis. Pars horizontalis membentuk
bagian posterior dari palatum durum dan lantai dari rongga hidung, sedangkan
pars perpendicularis membentuk dinding lateral dari rongga hidung (Shier et al.
2001).
Os pterygoideum
Tulang yang memiliki bidang kecil, panjang, dan terletak di sebelah
medial os palatinum dan processus pterygoideus dari os sphenoidale. Di bagian
anterior tulang ini terdapat suatu penjuluran tulang yang berbentuk kait ke arah
ventral, yang disebut dengan hamulus pterygoideus (Palastanga 2002).
Os vomer
Os vomer merupakan tulang tunggal yang terlihat tipis yang turut
membentuk bagian ventral septum nasii (Colville dan Bassert 2002). Tulang ini
terdapat di dalam cavum nasii yang memanjang dari ujung anterior corpus
sphenoidale sampai processus palatinus dari os incisivum. Bagian posterior tulang
ini akan berhubungan dengan lamina perpendicularis dari os ethmoidale dan
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2010 sampai Maret 2011 di Laboratorium Anatomi, Bagian Anatomi, Histologi, dan Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, dan Museum Zoologi LIPI Cibinong.
3.2 Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah satu set preparat tengkorak orangutan Kalimantan jantan dewasa koleksi Laboratorium Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan dua set preparat tengkorak orangutan Kalimantan (betina dan jantan) muda koleksi Museum Zoologi LIPI Cibinong. Adapun peralatan lain yang digunakan adalah kamera Canon EOS
400D, penggaris, dan timbangan.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan cara mengamati preparat tengkorak orangutan Kalimantan jantan dewasa dan membandingkan dengan literatur tengkorak manusia, dan hewan yang memiliki kedekatan taksonomi dengan hewan ini, yaitu gorilla dan simpanse, serta dengan tengkorak hewan lain. Untuk mengetahui batasan antar tulang dan untuk memetakan bagian-bagian tulang penyusun tengkorak orangutan Kalimantan, digunakan dua set preparat tengkorak orangutan jantan dan betina muda koleksi Museum Zoologi LIPI Cibinong sebagai pembanding karena suturanya masih terlihat jelas. Pengukuran terhadap panjang, tinggi, dan lebar serta penimbangan terhadap bobot kering tengkorak hanya dilakukan terhadap tengkorak orangutan koleksi laboratorium Anatomi FKH IPB. Pengukuran dilakukan pada bagian terpanjang dan terlebar dari tengkorak.
Panjang tengkorak diukur dari os occipitale sampai dentes incisivi, tinggi
tengkorak diukur dari os mandibula sampai peninggian crista sagittalis externa
zygomaticus kanan (Gambar 4). Selanjutnya dilakukan pengambilan gambar tengkorak dari beberapa arah, yaitu dorsal, kranial, kaudal, ventral, dan lateral dengan menggunakan kamera Canon EOS 400D. Gambar selanjutnya diolah dengan Adobe Photoshop CS4 dan bagian tengkorak diberi nama berdasarkan Nomina Anatomica Veterinaria (WAVA 2005).
A B C
2 cm
BAB 4
HASIL
Tengkorak orangutan Kalimantan jantan dewasa berukuran relatif besar dengan permukaan tulang yang terlihat kasar. Tengkorak mempunyai panjang ± 24,5 cm, lebar ± 19,5 cm dan tinggi ± 19 cm, serta bobot 1,3 kg. Selain itu, struktur bangun tengkorak terlihat sangat kompak dan keras, mengindikasikan sangat kuat dan kokoh. Pengamatan dari arah kranial memperlihatkan tengkorak
berbentuk persegi, sedangkan dari arah dorsal terlihat memanjang dari corpus
alveolaris dan meninggi sampai di crista nuchae (kaudal os parietale).
Tengkorak orangutan terdiri atas tengkorak bagian atas dan bawah.
Tengkorak bagian atas disusun oleh beberapa tulang, yaitu os frontale,
os temporale, os parietale, os occipitale, os sphenoidale, os ethmoidale,
os maxilla, os incisivum, os palatinum, os pterygoideum, os nasale, os vomer,
os lacrimale, dan os zygomaticum, sedangkan tengkorak bagian bawah hanya
dibentuk oleh satu tulang, yaitu os mandibula. Pada tengkorak terdapat suatu garis
tengah (midline) yang memotong tengkorak menjadi dua bagian kiri dan kanan.
Hal ini memperlihatkan bahwa tengkorak berbentuk simetri bilateral yang disusun oleh tulang-tulang yang saling berpasangan. Akan tetapi, terdapat beberapa pasang tulang yang posisinya berdampingan saling menyatu sehingga terlihat
seperti sebuah tulang, contohnya adalah os frontale, os incisivum, os sphenoidale,
os occipitale, os vomer, os palatinum, dan os mandibula. Diantara tulang-tulang penyusun tengkorak ini dihubungkan oleh sutura, tetapi pada preparat ini suturanya kurang jelas, bahkan sudah tidak terlihat sama sekali. Berbeda dengan tengkorak orangutan koleksi Museum Zoologi LIPI Cibinong suturanya masih jelas terlihat (Gambar 5).
Tengkorak merupakan tulang yang sangat kompleks karena terdiri atas beberapa tulang yang menjadi satu kesatuan sehingga berbentuk seperti satu tulang yang kompak. Berdasarkan daerahnya, tulang tengkorak dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu pars neurocranii dan pars splanchnocranii. Batas antara dua
kelompok tulang ini adalah garis transversal yang ditarik pada bagian dorsal
A B C
4.1 Pars neurocranii
Pars neurocranii adalah bagian tengkorak yang turut membentuk ruang
otak (cavum cranii) dan disusun oleh beberapa tulang, yaitu os occipitale,
os parietale, os temporale, os frontale, os sphenoidale, dan os ethmoidale. Bagian
tengkorak ini berada di sebelah dorsal tengkorak, yang terdiri atas calvaria (atap
tengkorak), dinding lateral, dinding kaudal dan basis tengkorak (Gambar 6).
Bagian calvaria tengkorak ini dibentuk oleh beberapa tulang, yaitu
os frontale, os parietale, dan os temporale. Os frontale adalah tulang yang
membentuk daerah kening (kranial calvaria). Tulang ini berbentuk segitiga
(piramida) dan memiliki posisi miring terhadap garis tegak lurus kepala. Di
ventral tulang ini, yang berbatasan dengan orbita disebut daerah supraorbitalis.
Daerah ini memiliki permukaan yang lebih kasar dan sedikit mengalami
penonjolan untuk melingkari orbita. Namun, pada daerah ini tidak terdapat torus
supraorbitalis dan foramen supraorbitalis. Selanjutnya, pada masing-masing sisi
lateral tulang ini terdapat suatu rigi, yaitu crista frontalis (Gambar 6).
Pada tengkorak kepala orangutan jantan dewasa crista frontalis terlihat
sangat berkembang. Rigi ini relatif tinggi, permukaannya sangat kasar dan tidak rata, berjalan ke kaudal dan bersatu pada garis tengah tengkorak yang
memisahkan antara sepasang os parietale. Pada daerah ini, rigi berubah nama
menjadi crista sagittalis (parietalis) externa. Selanjutnya, rigi ini terbagi dua dan
[image:33.595.122.500.101.239.2]
2 cm 2 cm 2 cm
Gambar 5 Komparasi tengkorak orangutan Kalimantan.
A. Tengkorak orangutan Kalimantan jantan muda dan B. Tengkorak orangutan Kalimantan betina muda yang masih tampak sutura (panah hitam), C Tengkorak orangutan Kalimantan jantan tua yang tidak tampak lagi suturanya (A dan B: tengkorak koleksi Museum Zoology LIPI Cibinong, C: koleksi Laboratorium
Anatomi FKH IPB) (Bar A: 2,5 cm, Bar B dan C: 2 cm).
C
A B
21
berjalan ke arah kaudolateral sisi tengkorak. Rigi berbentuk konkaf dan
memisahkan antara os parietale dengan os occipitale, yang disebut crista nuchae.
Permukaan rigi ini pada bagian kaudomedial calvaria terlihat tebal, luas, dan
kasar, sedangkan pada bagian kaudolateral calvaria terlihat tipis, tajam, dan
melengkung ke arah kranial. Rigi berjalan ke arah lateroventral sampai pada
os temporale (Gambar 6).
9
10
11
a
b
c f 7 3 1 2 e 6 4 g 5
d
8
[image:34.595.107.445.208.662.2]9 10
Gambar 6 Tengkorak bagian atas tampak dorsal.
a. Os parietale, b. Os temporale, c. Os frontale, d. Os nasale,
e. Os maxilla, f. Os zygomaticum, g. Os incisivum,
1. Crista sagittalis externa, 2. Crista frontalis, 3. Crista nuchae, 4. Orbita
5. Cavum nasi,6. Processus temporale (os zygomaticum),
7. Processus zygomaticus (os temporale), 8. Corpus ossis incisivi,
9. Dentes incisivi, 10. Dentes canini (Bar: 2 cm).
Os parietale pada tengkorak orangutan merupakan sepasang tulang yang
berbentuk konveks yang sebagian besar membentuk calvaria. Tulang ini terletak
di kaudal os frontale dan di dorsal os temporale. Dilihat dari morfologi eksterna
lebih menonjol, licin, dan terang jika dibandingkan dengan os temporale. Oleh
karena itu, perbedaan ini dapat dijadikan dasar untuk membedakan tulang-tulang ini karena sutura yang menghubungkannya sudah tidak terlihat jelas (Gambar 6).
Os temporale adalah tulang yang sebagian besar membentuk dinding
lateral tengkorak dan hanya menempati sebagian kecil daerah calvaria. Tulang ini
terdiri atas tiga bagian, yaitu pars squamosa, pars tympanica, dan pars petrosa.
Pars squamosa tulang ini memiliki permukaan yang kasar seperti sisik dan pada
bagian ventralmembentuk fossa mandibularis. Di sebelah kranial dari lekukan ini
terdapat suatu penjuluran, yaitu processus zygomaticus dari os temporale.
Penjuluran ini kemudian di kraniomedial tengkorak bertemu dengan penjuluran
dari os zygomaticum, yaitu processus temporalis dari os zygomaticum. Pertemuan
antara dua penjuluran ini membentuk suatu lengkungan yang disebut dengan
arcus zygomaticus. Lengkungan ini pada tengkorak orangutan terlihat sangat kuat dan kokoh dengan permukaan bagian dorsalnya terlihat lebih kasar (Gambar 7).
Pars tympanica dari os temporale terdapat di bagian kaudal dari fossa mandibularis. Daerah ini ditandai dengan suatu lubang yang disebut dengan
meatus acousticus externus. Lubangini merupakan muara dari lubang telinga luar.
Bagian kranial dan kaudal dari lubang ini dibatasi oleh dua penjuluran, yaitu
processus retroarticularis pada bagian kranial dan processus mastoideus pada
bagian kaudal. Pada bagian kranial processus retroarticularis dan bagian ventral
processus zygomaticus terdapat suatu lekukan yang mengadakan persendian
dengan caput mandibulae, yaitu fossa mandibularis. Persendian ini disebut
dengan articulatio temporomandibulae (Gambar 7). Pars petrosa dari
os temporale adalah bagian tulang yang berada di interna terkorak, yang berada di
antara os occipitale dan os parietale. Sebagian besar dari bagian ini terdapat di
cavum cranii (ruang otak).
Pada sisi lateral tengkorak juga terlihat os sphenoidale. Tulang ini berada
di ventral (basis) tengkorak yang mengalami penjuluran sampai ke lateral tengkorak. Penjuluran tulang ini ke arah lateral tengkorak ini disebut dengan
os presphenoidale yang memiliki dua pasang sayap (ala), yaitu satu pasang ala orbitalis dan satu pasang ala temporalis. Ala orbitalis menjulur ke dorsolateral
23
os temporale. Pada ala orbitalis terdapat suatu peninggian tulang yang berjalan
kaudoventral disebut dengan crista infratemporale, dengan bagian ventral yang
menjorok disebut dengan fissura orbitale inferior. Pada bagian medial lekah ini,
terdapat foramen rotundum. Pada ala temporalis terdapat penjuluran
os sphenoidale pada sisi lateral os pterygoideum, sehingga penjuluran ini disebut
[image:36.595.112.510.173.494.2]dengan processus pterygoideus dari os sphenoidale (Gambar 7).
Gambar 7 Tengkorak bagian atas tampak lateral.
Insert gambar A dan B: Os sphenoidale pada lateral tengkorak
a. Os parietale, b. Os temporale (pars squamosa), c. Os frontale,
d. Os sphenoidale, e. Os occipitale, f. Os zygomaticum, g. Os maxilla,
h. Os incisivum, i. Os mandibula, 1. Crista sagittalis externa,
2. Crista frontalis, 3. Processus mastoideus, 4. Processus retroarticularis,
5. Fossa mandibularis, 6. Meatus acusticus externus, 7. Arcus zygomaticus,
8. Processus coronoideus, 9. Incisura mandibulae, 10. Processus condylaris,
11. Facies buccalis, 12. Ramus mandibulae, 13. Angulus mandibulae,
14. Corpus mandibulae, 15. Foramen mentale, 16. Dentes incisivi,
17. Dentes canini, 18. Dentes premolares, 19. Dentes molares,
20. Margo alveolaris, 21. Crista infratemporale dari ala sphenoidale,
22. Fissura orbitale inferior, 23. Foramen rotundum,
24. Processus pterygoideus dari os sphenoidale, 25. Hamulus pterygoideus
(Bar: 2 cm). 3 23 22 21 d 24 25 22 23 21 24 d a
c
7 8 9
10
14
11
13
12 15
5 16 17 18 19 20 f
i
1
2
4
e
h g b
6 3
B
Dinding kaudal tengkorak dibentuk oleh os temporale dan os occipitale.
Os temporale pada dinding kaudal tengkorak terdapat di sisi lateral os occipitale
dan hanya menempati sebagian kecil daerah kaudal tengkorak. Tulang ini memiliki permukaan yang tidak rata. Pada bagian ventral, tulang ini membentuk
suatu penjuluran, yaitu processus mastoideus. Penjuluran tulang ini berbentuk
agak bulat dan terlihat cukup berkembang pada tengkorak ini (Gambar 8).
3
2
4
5
b
7
6
8 1
9
10
[image:37.595.110.459.201.577.2]a
Gambar 8 Tengkorak bagian atas tampak kaudal.
a. Os occipitale, b. Os mandibula, 1. Condylus occipitalis,
2. Foramen magnum, 3. Protuberantia occipitalis externa,
4. Processus mastoideus, 5. Angulus mandibulae,
6. Processus pterygoideus os sphenoidale,
7. Foramen mandibulae, 8. Arcus zygomaticus,
9. Foramen mastoideus, 10. Meatus acousticus externus
(Bar: 2 cm).
Os occipitale pada dinding kaudal tengkorak disebut dengan squama occipitalis. Tulang ini merupakan sepasang tulang yang dipisahkan oleh suatu
garis medial tengkorak yang berjalan dari dorsal tulang ini sampai dorsal foramen
25
sangat berkembang dan memiliki permukaan yang kasar, disebut dengan
protuberantia occipitalis externa. Jarak antar dua buah penonjolan tulang ini
adalah ± 2 cm. Foramen magnum adalah suatu liang yang besar dan bulat, dengan
diameter liang bagian ventral terlihat lebih luas dibandingkan dengan diameter
liang bagian dorsalnya. Liang ini berada di ventral os occipitale dan merupakan
tempat keluarnya jaringan saraf yang berasal dari otak, yaitu medula spinalis.
Bagian kiri dan kanan liang ini dibatasi condylus occipitalis (Gambar 8).
Daerah basis tengkorak pada pars neurocranii dibentuk oleh os occipitale
dan os sphenoidale. Pada perbatasan antara dua tulang ini terdapat suatu
penonjolan tulang, yaitu tuberculum musculare. Pada daerah ini, os occipitale
disebut dengan pars basillaris, sedangkan os sphenoidale disebut dengan
os basis sphenoidale. Pada daerah lateral dari kedua tulang ini banyak terdapat lubang dan penjuluran tulang, sehingga permukaan tulang pada daerah ini terlihat
sangat kasar. Beberapa lubang yang terdapat pada daerah ini, yaitu foramen
jugulare, canalis n. hypoglossi, foramen mastoideum, foramen lacerum, foramen ovale, foramen spinosum dan canalis caroticus. Lubang ini terdapat lebih di
medial dari posterior basis tengkorak. Foramen jugulare berada di sisi lateral dari
pars basilaris os occipitale dengan bentuk yang tidak beraturan. Di sisi medial
dari lubang ini terdapat canalis n. hypoglossi dan di sisi lateralnya, yaitu pada
processus mastoidea terdapat foramen mastoideum yang mengarah ke
laterokaudal basis tengkorak. Di antara foramen jugulare dan foramen
mastoideum terdapat suatu penjuluran tulang yang berbentuk duri dan terlihat
kurang berkembang, yaitu processus styloideus. Penjuluran ini berada di anterior
dari perbatasan dua lubang ini. Kemudian di bagian kranial penjuluran ini terdapat
dua buah lubang, yaitu canalis caroticus pada bagian kraniomedial dan foramen
spinosum pada bagian kraniolateral. Setelah itu, lebih ke anterior lagi sampai ke
lateral tuberculum musculare os sphenoidale juga terdapat dua pasang lubang,
yaitu foramen lacerum di bagian medial dan foramen ovale di bagian lateral
(Gambar 9).
Selain beberapa pasang lubang, pada basis tengkorak ini juga terdapat tiga
pasang penjuluran, yaitu processus jugularis, processus styloideus, processus
terlihat kurang berkembang.Processus styloideus posisinya lebih di medial basis
tengkorak yaitu di sebelah kaudal canalis caroticus, sedangkan processus
mastoideus dan processus retroarticularis lebih ke lateral basis tengkorak.
Processus mastoideus terdapat di bagian kaudal meatus acousticus externus
sedangkan processus retroarticularis terdapat di bagian ke kranial meatus
acousticus externus. Processus styloideus pada orangutan terlihat kurang
berkembang jika dibandingkan dengan processus mastoideus dan processus
[image:39.595.105.523.253.445.2]retroarticularis (Gambar 9).
Gambar 9 Tengkorak bagian atas tampak ventral dari sudut pandang posterior.
Insert gambar A: beberapa foramen di basis tengkorak
a. Os occipitale, b. Os sphenoidale, 1. Foramen magnum,
2. Condylus occipitalis, 3. Pars basilaris os occipitale,
4. Proccessus styloideus, 5. Foramen jugulare, 6. Canalis caroticus,
7. Canalis n. hypoglossi, 8. Foramen lacerum, 9. Foramen ovale,
10. Foramen spinosum, 11. Foramenmastoideum,
12. Processus mastoideus, 13. Meatus acousticus externus,
14. Proccessus retroarticularis, 15. Fossa articulatio temporomandibulae,
16. Tuberculum musculare (Bar: 2 cm).
4.2 Pars splanchnocranii
Pars splanchnocranii adalah tulang-tulang yang membentuk daerah wajah dan mulut. Bagian tengkorak ini terlihat sangat berkembang, terutama pada daerah
mulutnya yang terlihat sangat subur dan menonjol (prognatous). Bagian
tengkorak ini disusun oleh beberapa tulang, yaitu os maxilla, os zygomaticum,
os lacrimale, os nasale, os incisivum, os palatinum, os pterygoideum, os vomer
dan os mandibula (Gambar 10).
5
10
A
1
4
6
2
8 9
5
7
11
10
1
2
3
4 12
14
15 16
a
b
27
[image:40.595.148.444.79.403.2]
Gambar 10 Tengkorak bagian atas tampak kranial.
a. Os parietale, b. Os frontale, c. Os nasale, d. Os maxilla,
e. Os zygomaticum, f. Os incisivum, g. Os mandibulla, 1. Crista nuchae,
2. Crista sagittalis (perietalis) externa, 3. Crista frontalis,
4. Foramina zygomaticofaciale, 5. Foramen infraorbitale,
6. Processus temporalis (os zygomaticum), 7. Processus zygomaticum
(os frontalis), 8. frontalis (os zygomaticum), 9. Foramen mentale,
10. Cavum nasi, 11. Orbita (ruang mata), 12. Sutura zygomaticomaxillaris,
13. Processus zygomaticus dari os maxilla (Bar: 2 cm).
Tulang wajah dibentuk oleh os maxilla pada bagian medial dan
os zygomaticus pada bagian lateral. Dua tulang ini dihubungkan oleh suatu sutura,
yaitu sutura zygomaticomaxillaris. Os maxilla pada daerah wajah tidak memiliki
tuber faciale dan crista facialis, sehingga pipi hewan ini terlihat lebih datar. Pada
daerah pipi, kira-kira 2 cm di ventral orbita terdapat suatu lubang tempat
pembersitan saraf dan pembuluh darah senama, yaitu foramen infraorbitale.
Lubang ini terlihat berukuran cukup besar pada tengkorak ini. Selanjutnya, tulang
ini melakukan penjuluran ke arah os zygomaticum, yaitu processus zygomaticum
dari os maxilla. Disamping itu, os zygomaticus yang berada di lateral tulang ini,
juga menjulur ke arah kaudal, penjuluran tersebut adalah processus temporalis
(os zygomaticum). Penjuluran ini pada sisi lateral tengkorak bertemu dengan 12
13
b 2
1
f
g 9
5
4
8
6
3
11
10
c
d
e
a
12
13
penjuluran dari os temporale, yaitu processus zygomaticus (os temporale) dan
membentuk arcus zygomaticus (Gambar 10).
Orbita merupakan mangkok mata yang terletak di bagian dorsal
os maxilla. Pada orangutan, posisinya menghadap ke anterior dengan orbita kiri
dan kanan saling berdekatan. Orbita ini dibatasi oleh empat bagian, yaitu batas
orbita dorsal, lateral, ventral, dan medial. Batas orbita dorsal dibentuk oleh
os frontale, yang biasanya dikenal dengan daerah alis mata (supraorbitalis).
Os frontale pada batas orbita dorsal terlihat cukup berkembang (menonjol) dan
memiliki permukaan yang kasar. Batas orbita lateral dibentuk oleh os frontale
pada bagian laterodorsal orbita dan processus frontale dari os zygomaticum pada
bagian lateroventral orbita. Dua tulang ini pada bagian lateromedial orbita
dihubungkan oleh sutura frontozygomatica. Permukaan tulang pada laterodorsal
batas orbita ini terlihat lebih kasar dibandingkan dengan permukaan yang di
lateroventralnya. Kemudian, batas orbita ventral dibentuk oleh os maxilla pada
bagian ventromedial dan os zygomaticum pada bagian ventrolateral. Di bagian
ventrolateral batas orbita ventral terdapa