• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anatomi tengkorak orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Anatomi tengkorak orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus)"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

ANATOMI TENGKORAK ORANGUTAN KALIMANTAN

(Pongo pygmaeus pygmaeus)

TRI SUSANTI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

TRI SUSANTI. The Anatomy of the skull of Kalimantan Orangutan (Pongo

pygmaeus pygmaeus). Under direction of NURHIDAYAT and CHAIRUN NISA’.

The aim of the study was revealed the anatomy of the skull of male

Kalimantan orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus) related to the function of the

elements of the head and the daily behavior of the orangutan. The study was conducted by observing the anatomical features of the orangutan skull and compared it with literatures related to the anatomy of the skull in human and animals such as gorilla and chimpanzee that have close taxonomis and anatomical relationship with orangutan and the skulls of other animals. The results showed that some characteristics of orangutan skull were observed. The sutures between the bone were unclearly and presumed that orangutan was old. On the other hand, there was highly developed crest in the calvaria of the skull: the frontal crest, the external sagittal crest, and the nuchal crest. The frontal crest suggested the origin of cheek pad that was highly developed in the male orangutan. The external sagittal crest suggested as the origin of the temporale muscle and the nuchal crest suggested as the origin of the extensor muscles of the neck and head. In addition, the most developed of zygomatic arch was formed by the zygomatic process of temporal bone and the temporal process of zygomatic bone. The most developed parts of the orangutan skull was the splanchnocranii than that of the neurocranii portion, which looked prominent and lengthened of the mouth area. Teeth formula of this animal was 2 (I 2 / 2, C 1 / 1, P 2 / 2, M 3 / 3), that looked highly developed of canine teeth which was showed as orangutan sexual dimorphism.

Keywords: Pongo pygmaeus pygmaeus, skull, frontal crest, external sagittal crest,

(3)

TRI SUSANTI. Anatomi Tengkorak Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus). Dibimbing oleh NURHIDAYAT dan CHAIRUN NISA’.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari anatomi tengkorak orangutan

Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) jantan yang dikaitkan dengan fungsi

unsur-unsur di kepala dan perilaku kesehariannya. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaji ciri-ciri anatomi tengkorak orangutan dan membandingkannya dengan literatur tengkorak manusia dan hewan yang memiliki kedekatan taksonomi dan anatomi dengannya, yaitu gorilla dan simpanse serta dengan tengkorak hewan lain. Hasil penelitian menunjukkan beberapa karakteristik tengkorak orangutan yang diamati, diantaranya sutura yang tidak terlihat jelas dan diduga tengkorak ini berasal dari orangutan yang sudah berumur tua. Disamping

itu, juga terdapat krista yang sangat berkembang pada daerah calvaria tengkorak,

yaitu crista frontalis, crista sagittalis externa, dan crista nuchae. Crista frontalis

diduga sebagai tempat pertautan cheek pad yang sangat berkembang pada

orangutan jantan, crista sagittalis externa diduga sebagai tempat pertautan

m. temporale dan crista nuchae diduga sebagai tempat pertautan otot-otot

ekstensor leher dan kepala. Selain itu, arcus zygomaticus yang sangat kuat dan

berkembang, dibentuk oleh processus zygomaticus dari os temporale dan

processus temporale dari os zygomaticus. Bagian tengkorak yang paling

berkembang pada orangutan adalah pars splanchnocranii yang terlihat pada

daerah mulut yang menonjol dan panjang. Formula gigi dari hewan ini adalah 2 (I

2/2, C 1/1, P 2/2, M 3/3) dengan dentes canini yang terlihat sangat berkembang

dan merupakan ciri sexual dimorphism-nya.

Keywords: Pongo pygmaeus pygmaeus, tengkorak, crista frontalis, crista

(4)

RINGKASAN

TRI SUSANTI. Anatomi Tengkorak Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus

pygmaeus). Dibimbing oleh NURHIDAYAT dan CHAIRUN NISA’.

Orangutan memiliki ukuran kepala yang relatif besar. Pada daerah kepala, terlihat area mulut yang luas dengan bentuk mulut yang panjang dan menonjol. Hewan ini memiliki kekuatan yang besar pada daerah mulut yang sangat

mendukung ketika makan (mastikasi) dan berkelahi. Disamping itu, sexual

dimorfism (ciri yang membedakan antara individu jantan dan betina) orangutan tampak paling menonjol pada daerah kepala, seperti bantalan pipi yang besar dan kantong leher yang sangat berkembang pada jantan dewasa serta gigi taring yang juga terlihat sangat subur. Hal ini menjadikan kepala orangutan jantan dewasa terlihat lebih besar dibandingkan dengan kepala betina dewasa.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari anatomi tengkorak orangutan, mempelajari hubungan karakteristik anatomi tengkorak orangutan dengan fungsi unsur-unsur di kepala dan perilaku orangutan, serta mengkaji ciri-ciri anatomi tengkorak orangutan dengan membandingkannya dengan literatur mengenai anatomi tengkorak manusia dan hewan yang memiliki kedekatan taksonomi dengannya, yaitu gorilla dan simpanse serta dengan tengkorak hewan lain. Penelitian ini menggunakan satu set preparat tengkorak orangutan Kalimantan jantan dewasa koleksi Laboratorium Anatomi FKH IPB yang diperkirakan sudah berumur tua. Penetilian ini dilakukan melalui pengamatan terhadap karakteristik tengkorak orangutan yang kemudian dibandingkan dengan literatur tengkorak manusia, simpanse, gorilla dan beberapa hewan lainnya. Disamping itu, juga digunakan dua set preparat tengkorak orangutan Kalimantan (jantan dan betina berumur muda) koleksi Museum Zoologi LIPI Cibinong, sebagai komparasi untuk menentukan bagian-bagian penyusun tengkorak orangutan. Pengukuran terhadap panjang, tinggi dan lebar tengkorak serta bobot kering tengkorak dilakukan hanya pada tengkorak orangutan jantan dewasa dan dilakukan pengambilan gambar tengkorak dari beberapa sisi seperti ventral, lateral, dorsal, kranial, dan kaudal. Gambar yang diperoleh kemudian diolah dengan Adobe Photoshop dan diberi nama berdasarkan Nomina Anatomica Veterinaria (WAVA 2005).

Hasil pengamatan menunjukkan tengkorak orangutan berukuran relatif besar, dengan panjang ± 24,5 cm, lebar ± 19,5 cm dan tinggi ± 19 cm, serta bobot kering 1.3 kg. Ukuran tengkorak yang besar ini juga didukung oleh ukuran tubuh yang besar, sehingga tubuhnya tetap dapat menopang kepala dengan baik dan tetap dapat bergerak leluasa terutama ketika berada di atas pohon. Permukaan tulang tengkorak hewan ini terlihat kasar karena memiliki banyak penjuluran dan rigi sehingga diduga berfungsi sebagai tempat untuk perlekatan (origo atau insertio) beberapa otot dan jaringan kulit kepala.

Tengkorak orangutan disusun oleh beberapa tulang yang terdiri atas tengkorak bagian atas dan bagian bawah. Tengkorak bagian atas disusun oleh

os frontale, os ethmoidale, os lacrimale, os nasale, os maxilla, os incisivum, os zygomaticum, os palatinum, os pterygoideum, os vomer, os sphenoidale, os parietale, os occipitale, os temporale, sedangkan tengkorak bagian bawah

(5)

splancnocranii. Pars neurocranii adalah bagian tulang yang turut membentuk

cavum cranii dengan atapnya disebut dengan calvaria. Bagian tulang ini disusun

oleh os occipitale, os parietale, os temporale, os frontale, os sphenoidale, dan

os ethmoidale. Pada daerah calvaria bagian tulang ini, terdapat tiga buah

penjuluran yang sangat berkembang, yaitu crista frontalis, crista sagittalis

externa, dan crista nuchae. Crista frontalis diduga sebagai tempat pertautan cheek

pad (bantalan pipi) yang sangat berkembang pada orangutan jantan dewasa yang

merupakan sexual dimorphism yang dimiliki olehnya, crista sagittalis externa

diduga sebagai tempat pertautan m. temporale dan crista nuchae diduga sebagai

tempat pertautan otot-otot ekstensor leher dan kepala. Disamping itu, pada daerah

lateral bagian tulang ini terlihat fossa temporalis yang sangat luas dan diduga

sebagai tempat pertautan m. temporale yang sangat berfungsi membantu

pergerakan rahang (proses mastikasi). Selanjutnya pada bagian kaudal tengkorak

juga terlihat pars squama occipitalis dari os occipitale yang luas dan memiliki

permukaan yang kasar. Pada tulang ini diduga bertaut beberapa otot ekstensor kepala yang diperkirakan sangat berkembang pada tengkorak orangutan. Otot ini sangat berfungsi dalam membantu pergerakan kepala orangutan terutama ketika

memanjat pohon karena hewan ini termasuk hewan arboreal (biasa hidup di atas

pohon) dan ketika berjalan karena hewan ini biasa berjalan secara quadrupedal

(menggunakan empat alat geraknya untuk lokomosi). Pada bagian dorsal pars

squama occipitalis ini terdapat penonjolan tulang, yaitu protuberantia occipitalis externa yang sangat berkembang dan berjumlah dua buah serta diperkirakan

sebagai tempat pertautan yang erat dari ligamentum nuchae yang berfungsi

menjaga posisi tegak kepala orangutan.

Pars splanchnocranii adalah bagian tulang yang turut membentuk daerah

wajah. Bagian tulang ini meliputi regio orbitalis, nasalis, dan oralis dan disusun

oleh beberapa tulang, yaitu os maxilla, os zygomaticum, os lacrimale, os nasale,

os incisivum, os palatinum, os pterygoideum, os vomer dan os mandibula. Pada tengkorak orangutan, bagian tulang ini terlihat lebih berkembang dibandingkan

dengan pars neurocranii. Bagian tengkorak ini juga lebih berkembang pada

gorilla dan simpanse, tetapi sebaliknya pada manusia. Bagian tulang yang paling

berkembang pada manusia adalah pars neurocranii. Pada regio orbitalis

tengkorak hewan ini terlihat orbita yang mengarah ke depan dengan jarak antara

orbita kanan dan kiri saling berdekatan. Hal ini memperlihatkan bahwa orangutan

memiliki kemampuan melihat binokuler, yaitu mampu melihat dengan dua

matanya untuk melihat lapang pandang yang sama dengan persepsi yang

mendalam. Selanjutnya, pada regio nasalis terlihat rongga hidung orangutan yang

berbentuk piriform. Rongga ini dibatasi oleh tiga tulang, yaitu os nasale pada

bagian dorsal, os maxilla pada bagian lateral, dan os incisivum pada bagian

ventral. Kemudian pada regio oralis terlihat daerah mulut orangutan yang sangat

(6)

dentes canini yang terlihat sangat berkembang dibandingkan dengan gigi yang

lain. Gigi ini juga merupakan sexual dimorphism yang dimiliki oleh orangutan

jantan dewasa. Pada gorilla, gigi ini juga merupakan sexual dimorfism seperti

halnya orangutan tetapi tidak pada manusia dan simpanse  

Keywords: Pongo pygmaeus pygmaeus, tengkorak, crista frontalis, crista

(7)

ANATOMI TENGKORAK ORANGUTAN KALIMANTAN

(Pongo pygmaeus pygmaeus)

TRI SUSANTI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Anatomi Tengkorak Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus

pygmaeus)

Nama : Tri Susanti

NIM : B04070025

Disetujui,

Dr. drh. Nurhidayat, MS, PAVet Pembimbing I

Dr. drh. Chairun Nisa’, MSi, PAVet Pembimbing II

Diketahui,

Dr. Dra. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

(9)

PRAKATA

Segala puji dan syukur senantiasa penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul Anatomi Tengkorak

Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus). Skripsi ini disusun sebagai

salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. drh. Nurhidayat, MS, PAVet dan Dr. drh. Chairun Nisa’, MSi, PAVet sebagai dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, motivasi, saran, dan pengarahan pada penulis selama proses penelitian dan penyelesaian penelitian ini, begitu juga kepada Dr. drh. H. Heru Setijanto, PAVet(K) selaku dosen pembimbing akademik dan sekaligus dosen penilai yang selalu memberikan bimbingan, motivasi, saran, dan pengarahan pada penulis. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf dan pegawai Laboratorium Anatomi, FKH IPB yang telah banyak membantu dalam proses penelitian ini.

(10)

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan, sehingga perlu kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan di masa mendatang.

Bogor, September 2011 Tri Susanti

(11)

Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Juni 1989 di Pakan Sinayan Kabupaten Agam Sumatera Barat. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan ayahanda Jafri dan ibunda Nurdarmailis.

Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Muhammadiyah Pakan Sinayan tahun 1995, lalu melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 51 Pakan Sinayan. Pada tahun 2001, penulis memasuki pendidikan di SLTP N 4 Tilatang Kamang dan menyelesaikan pendidikan di SMA N 1 Tilatang Kamang pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima Sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI).

Selama menjadi mahasiswa FKH IPB, penulis pernah aktif menjadi asisten praktikum matakuliah Anatomi Veteriner I tahun ajaran 2008/2009 dan 2009/2010, Anatomi Veteriner II tahun 2009/2010, dan Anatomi Topografi tahun ajaran 2010/2011. Dalam organisasi, penulis tergabung dalam anggota DKM An-Nahl FKH IPB dan sebagai pengurus divisi pendidikan tahun 2008/2009 dan divisi Informasi Komunikasi dan Usaha (INFOKOM) tahun 2009-2010 dalam himpunan minat profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA). Selain

itu, penulis pernah menjadi peserta survei infestasi Cimex sp. di asrama TPB IPB

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Klasifikasi Orangutan ... 4

2.2 Biologi Orangutan ... 5

2.3 Habitat dan Tingkah Laku ... 6

2.4 Komparasi Tengkorak ... 8

2.4.1 Pars neurocranii ... 10

2.4.2 Pars splanchnocranii ... 13

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 17

3.1 Waktu dan Tempat ... 17

3.2 Alat dan Bahan ... 17

3.3 Metode Penelitian ... 17

BAB 4 HASIL ... 19

 4.1 Pars neurocranii ... 20

4.2 Pars splanchnocranii ... 26

BAB 5 PEMBAHASAN ... 34

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN ... 44

5.1 Simpulan ... 44

5.2 Saran ... 44

(13)

Halaman

1 Peta penyebaran orangutan Kalimantan (P.p. pygmaeus) di pulau

Kalimantan dan orangutan Sumatera (P.p. abelli) di pulau Sumatera yang

ditandai dengan daerah yang diarsir hitam ... 4

2 Orangutan Kalimantan (P.p. pygmaeus) yang sedang berjalan secara bipedal (A) dan sedang bergerak di atas pohon menggunakan keempat alat geraknya (B) ... 5

3 Komparasi wajah orangutan Kalimantan jantan (A) dan Betina (B) dewasa. Bantalan pipi dan kantong suara terlihat sangat berkembang pada orangutan Kalimantan jantan dewasa ... 7

4 Pengukuran panjang (A), lebar (B) dan tinggi (C) dari tengkorak orangutan Kalimantan jantan koleksi Laboratorium Anatomi FKH IPB .... 17

5 Komparasi tengkorak orangutan Kalimantan ... 20

6 Tengkorak bagian atas tampak dorsal ... 21

7 Tengkorak bagian atas tampak lateral ... 23

8 Tengkorak bagian atas tampak kaudal ... 24

9 Tengkorak bagian atas tampak ventral dari sudut pandang posterior ... 26

10 Tengkorak bagian atas tampak kranial ... 27

11 Tengkorak tampak ventral ... 30

12 Sudut pandang lateral dan kranial os madibula ... 32

13 Susunan gigi rahang atas dan rahang bawah ... 33

 

(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Orangutan (Pongo sp.) termasuk dalam famili pongidae dan digolongkan

sebagai kera besar selain gorilla dan simpanse (Kleiman 2010). Hewan ini merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia dan di Indonesia hanya hidup di hutan hujan tropis Kalimantan (Borneo) dan Sumatera (Doyen dan Supriatna 2010). Hewan ini memiliki dua subspesies, yaitu orangutan Sumatera (Pongo pygmaeus abelli) dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) (Simons 2007).

Data badan konservasi dunia, the International Union for the Conservation

of Nature and Nature Resources (IUCN), menyatakan orangutan masuk dalam

kategori hewan terancam punah atau endangered karena rendahnya populasi

hewan ini di alam (Soorae 2010). Rendahnya populasi hewan ini disebabkan oleh kehilangan habitat karena kegiatan perusakan dan fragmentasi hutan tropis untuk

kegiatan perkebunan dan pendirian tempat pemukiman (Soehartono et al. 2009).

Selain itu, disebabkan juga oleh kegiatan perdagangan orangutan secara illegal

untuk dijadikan hewan kesayangan (Cowlishaw dan Dunbar 2000; Knop et al.

2004). Oleh karena itu, kera besar ini telah dilindungi sejak tahun 1931 melalui peraturan perlindungan hewan liar No. 233 (Supriatna dan Wahyono 2000) dan diperkuat lagi melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1990 dan Peraturan

Pemerintah nomor 8 tahun 1999 (Soehartono et al. 2009). Untuk melindungi

hewan ini di alam, Convention on International Trade in Endangered Species of

Wild Fauna and Flora (CITES) telah memasukkan orangutan ke dalam kategori

non human primates appendix I (extremely restricted), yaitu dilarang untuk

diperdagangkan (Bennet et al. 1995).

Orangutan memiliki ukuran kepala yang relatif besar. Pada daerah kepala, terlihat area mulut yang luas dengan bentuk mulut yang panjang dan menonjol (Simons 2007). Menurut Shea (1986), hewan ini memiliki kekuatan yang besar pada daerah mulut yang sangat mendukung hewan ini ketika makan (mastikasi)

(15)

individu jantan dan betina) orangutan tampak paling menonjol pada daerah kepala, seperti bantalan pipi yang besar dan kantong leher yang sangat berkembang pada jantan dewasa serta gigi taring yang juga terlihat sangat subur. Hal ini menjadikan kepala orangutan jantan dewasa terlihat lebih besar dibandingkan dengan kepala betina dewasa (Galdikas 1984).

Tengkorak orangutan merupakan bahan yang sangat menarik dan sangat

berguna untuk diteliti karena tengkorak merupakan axial skeleton dan fungsinya sangat kompleks sebagai pelindung utama dari otak dan panca indera yang terdapat di daerah kepala. Tengkorak memiliki bentuk yang sangat kompleks karena terdiri atas beberapa tulang yang menjadi satu kesatuan sehingga terbentuk seperti satu tulang yang kompak. Selain itu, tengkorak spesies hewan memiliki banyak variasi terutama pada strukturnya, walaupun tulang-tulang yang menjadi pembentuk tengkorak tiap spesies itu adalah sama. Variasi ini dapat menjadi suatu ciri khas yang membedakan tiap spesies yang kemudian dapat dikaitkan dengan pola perilaku dari spesies tersebut dan juga dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan taksonomi.

Sebagai salah satu satwa yang menjadi bagian penting dari kekayaan dan

keanekaragaman hayati Indonesia (Soehartono et al. 2009), data-data anatomi

orangutan sampai saat ini masih sangat sedikit termasuk data-data tentang anatomi tengkorak. Berdasarkan statusnya di alam, hewan ini masuk dalam kategori terancam punah. Oleh karena itu, penelitian anatomi khususnya tentang anatomi tengkorak perlu dilakukan untuk mendukung upaya konservasi satwa ini guna mencegah dari kepunahan.

1.2 Tujuan

(16)

3

1.3 Manfaat

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Orangutan

Ordo primata terdiri atas tiga subordo, yaitu prosimii, tarsiidea, dan anthropoidea. Orangutan termasuk ke dalam subordo anthropoidea dengan superfamili hominoidea dan famili pongidae (ape) (Napier dan Napier 1985). Di

Indonesia terdapat dua subspesies orangutan (Pongo pygmaeus), yaitu orangutan

Sumatera (Pongo pygmaeus abelli) dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus

pygmaeus) (Supriatna dan Wahyono 2000, Simons 2007). Penamaan orangutan diambil dari bahasa Indonesia atau bahasa Melayu, yaitu dari kata manusia (orang) dan hutan (utan) yang berarti “manusia hutan” (Galdikas 1981).

Orangutan ini dibedakan menjadi dua subspesies berdasarkan daerah

penyebarannya (Gambar 1) dan perbedaan genetik yang cukup jelas (Fischer et al.

2006). Perbedaan daerah penyebaran ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan morfologi tubuh orangutan karena dipengaruhi oleh pola adaptasi dan tingkah

laku yang disesuaikan dengan tempat hewan ini berada (Zhi et al. 1996).

Misalnya, perbedaan makanan yang dikonsumsi dapat mempengaruhi struktur dan kecepatan pertumbuhan gigi. Akibatnya struktur anatomi tengkorak hewan ini juga berubah (Walker 1987).

Gambar 1 Peta penyebaran orangutan Kalimantan (P.p. pygmaeus) di pulau

Kalimantan dan orangutan Sumatera (P.p. abelli) di pulau Sumatera

(18)

5

Klasifikasi orangutan (Napier dan Napier 1985; Supriatna dan Wahyono 2000):

Class : Mammalia

Ordo : Primata

Subordo : Anthropoidea

Family : Pongidae

Genus : Pongo

Spesies : Pongo pygmaeus

Subspesies : Pongo pygmaeus pygmaeus (orangutan Kalimantan)

: Pongo pygmaeus abelii (orangutan Sumatera)

2.2 Biologi Orangutan

Orangutan adalah salah satu kera besar dari famili pongidae (Napier dan Napier 1985; Kleiman 2010). Hewan ini memiliki ukuran tubuh yang besar, tidak mempunyai ekor, tangan lebih panjang dari kaki, dan kepala yang relatif besar. Tingginya dapat mencapai 1.4 m (kira-kira 2/3 kali tinggi gorilla) dengan berat

badan antara 30-90 kg (Maryanto et al. 2008). Jika dilihat dari ciri morfologi

tubuh, dua subspesies orangutan ini dapat dibedakan dari rambutnya (Maple

1980). Orangutan Sumatera memiliki rambut yang lebih halus dan berwarna

coklat kekuningan, sedangkan orangutan Kalimantan memiliki rambut yang lebih

kasar dan berwarna coklat tua sampai kehitaman (Supriatna dan Wahyono 2000). B

A

Gambar 2 Orangutan Kalimantan (P.p. pygmaeus) yang sedang berjalan secara

(19)

Orangutan memiliki kaki dengan susunan jari yang mirip dengan kaki

manusia, yaitu plantigradi (bentuk digit dan metatarsal yang rata dengan tanah)

(Simons 2007). Tetapi, orangutan dan manusia memiliki kebiasaan berjalan yang

berbeda. Orangutan dengan cara quadrupedal (menggunakan keempat anggota

geraknya sebagai alat lokomosi) sedangkan manusia dengan bipedal

(menggunakan dua alat gerak sebagai alat lokomosi). Orangutan juga memiliki

kemampuan berjalan dengan bipedal seperti pada manusia, tetapi jarang dilakukan

(Maple 1980; Platt dan Ghazanfar 2010). Disamping itu, kaki orangutan juga memiliki kemampuan seperti tangan, yaitu dapat memegang atau merenggut sesuatu. Kemampuan ini sangat mendukung hewan ini untuk dapat berpegangan dengan erat ketika berayun atau memanjat pohon dan berpindah ke dahan yang lain (Simons 2007) (Gambar 2).

Orangutan jantan memiliki sexual dimorfism yang tampak mencolok dari

ukuran tubuhnya (Galdikas 1984). Ukuran tubuh orangutan jantan dewasa bisa

mencapai dua kali ukuran tubuh betina dewasa (Bennet et al. 1995). Selain itu,

juga dapat terlihat dari bentuk kepalanya. Kepala orangutan jantan dewasa terlihat lebih besar dibandingkan dengan betina dewasa. Hal ini karena orangutan jantan

dewasa memiliki bantalan pipi (cheek pad) yang besar dan kantong leher

menyerupai balon sehingga ukuran kepalanya tampak semakin besar (Galdikas

1984) (Gambar 3). Ciri lainjuga ditemukan pada gigi orangutan, yaitu gigi taring

jantan dewasa terlihat lebih besar dan kuat dibandingkan pada betina dewasa (Maple 1980).

Rata-rata lama hidup orangutan adalah 40 tahun dengan tingkatan umur,

yaitu bayi (infant) 0-4 tahun, anak (juvenile) 4-7 tahun, remaja (adolescent) 7-15

tahun, dewasa (adult) 15-35, dan tua (old) lebih dari 35 tahun. Orangutan akan

mencapai masa pubertas pada umur 7 tahun, kematangan seksual pada umur 6-8 tahun dan melahirkan pertama kali pada umur 12 tahun. Dengan jumlah anak yang dilahirkan biasanya adalah satu atau dua ekor. Disamping itu, bantalan pipi dan kantung suara pada orangutan jantan akan mulai berkembang pada tahun

(20)

7

A B

Gambar 3 Komparasi wajah orangutan Kalimantan jantan (A) dan Betina (B) dewasa. Bantalan pipi dan kantong suara terlihat sangat berkembang pada orangutan Kalimantan jantan dewasa (Sumber: Simons 2007; Anonim 2011).

2.3 Habitat dan Tingkah Laku

Orangutan sesuai dengan namanya, memiliki habitat di hutan. Hewan ini sering mendiami daerah banjir, rawa gambut, tanah aluvial di sepanjang sungai, dan sedikit di dataran tinggi. Umumnya daerah yang didiami oleh hewan ini memiliki ketinggian di bawah 1000 m dpl dan lebih banyak dijumpai di sekitar 500 m dpl. Namun, di Sabah Malaysia, hewan ini hidup di ketinggian 700-1300

m dpl. Daerah jelajah orangutan jantan 1-6 km2 dan betina 0,5-6 km2. Dalam satu

hari hewan ini dapat berjalan lebih dari 1300 m (Supriatna dan Wahyono 2000).

Orangutan adalah hewan diurnal, yang aktif pada siang hari dan juga

merupakan hewan arboreal, yang biasanya menghabiskan waktunya di atas pohon

(Goodal 1996; Platt dan Ghazanfar 2010). Hal ini dibuktikan dengan aktivitas keseharian yang biasa dilakukannya, yaitu berpindah di atas pohon dan hanya

sesekali di permukaan tanah (teresterial), beristirahat atau tidur dengan bersandar

dan duduk pada sebuah cabang, serta makan dan membuat sarang juga dilakukan di atas pohon (Galdikas 1984).

Orangutan termasuk ke dalam golongan hewan omnivora yang cenderung

(21)

buah-buahan, selebihnya adalah berupa daun muda, tunas pohon, kulit kayu, serangga, telur, anak burung, dan tupai. Diperkirakan terdapat lebih dari 400 jenis tumbuhan yang menjadi sumber makanan hewan ini (Galdikas 1984; Goodal 1996).

Orangutan merupakan hewan yang memiliki kebiasaan hidup soliter (Rodman 1973). Hal ini ditandai dengan sebagian besar masa hidupnya adalah sendiri. Satuan dasar populasi hewan ini terdiri atas, satu sampai dua anak yang belum mandiri, atau hewan muda dalam masa peralihan (pradewasa) yang hidup dalam kesatuan dengan induk yang melahirkannya, atau jantan dan betina dewasa yang hidup soliter. Satu-satunya kelompok sosial orangutan yang berlangsung lama adalah seekor induk dan anak sampai mandiri (Galdikas 1984).

Dalam melakukan interaksi atau berkomunikasi, orangutan memiliki kemampuan dalam mengekpresikan wajahnya seperti primata lainnya. Ekspresi

wajah pada orangutan biasanya berupa memperluas daerah bibir ke depan (funnel

face), memperlihatkan gigi (bare teeth), menyeringai, menguap, dan merayu atau

bercanda (playface) (Maple 1980). Tetapi kebiasaan mengekpresikan wajah ini

lebih sedikit dibandingkan primata lainnya karena orangutan merupakan primata yang hidup soliter. Bentuk komunikasi lain yang sering dilakukan oleh orangutan

adalah melakukan seruan panjang (long call). Seruan ini biasanya sangat keras

dan berlangsung lama kira-kira satu sampai dua menit, sehingga dapat terdengar dari jarak sejauh 2 km. Seruan ini biasanya dilakukan oleh orangutan jantan untuk menandai daerah kekuasannya. Orangutan betina kadang-kadang juga mengeluarkan seruan yang mirip dengan seruan ini yang dilakukan ketika berinteraksi dengan anak yang sedang disapih (Galdikas 1984).

2.4 Komparasi Tengkorak

Tengkorak merupakan bagian yang paling kompleks dari kerangka tubuh (Deblase dan Martin 1974). Bentuknya yang kompleks ini juga memiliki fungsi yang sangat kompleks, yaitu sebagai pelindung otak dan beberapa alat indera yang penting di daerah kepala (Warwick dan William 1973). Otak terdapat di dalam

cavum cranii, alat pendengaran dan keseimbangan di dalam pars petrosa dari

(22)

9

dalam rongga hidung (cavum nasi), alat pengecapan atau lidah terdapat di rongga

mulut (cavum oris) dan tempat permulaan dari saluran makanan serta saluran

pernapasan yang terdapat di kaudal rongga mulut dan hidung (Frandson dan Whitten 1981). Selain itu, tengkorak juga memiliki fungsi khusus lainnya, seperti tempat memroses makanan (mengunyah atau mastikasi) dan tempat pembersitan otot untuk ekspresi wajah (Warwick dan Williams 1973).

Tengkorak merupakan bagian tubuh yang sangat penting dalam identifikasi dan klasfikasi ordo primata (Notosusanto 2008). Selain itu, juga digunakan dalam menentukan taksonomi dan indikator perkembangan evolusi manusia. Tengkorak memiliki banyak variasi, baik dari segi bentuk maupun ukuran, dan keberadaan suatu bagian tengkorak pada suatu spesies. Variasi ini terjadi karena beberapa faktor, misalnya faktor makanan, alat indera, pola adaptasi, dan tingkah laku (Willey dan Mantagna 1963).

Tulang-tulang penyusun tengkorak umumnya dihubungkan oleh sutura

(Shier et al. 2001). Hubungan tulang ini bersifat kaku atau tidak dapat bergerak

(Colville dan Bassert 2002). Beberapa macam tipe sutura, yaitu sutura serrata,

sutura squamosa, sutura foliata, sutura harmonia, dan sutura coronal (Tortora dan Derrickson 2009). Selain itu, ditemukan juga hubungan persendian, yaitu

antara tulang rahang atas dengan rahang bawah (os mandibula). Hubungan antar

tulang ini dapat bergerak bebas dan tidak bersifat kaku (Collville dan Bassert 2002).

Tengkorak merupakan tulang yang kompleks dan dapat dibagi menjadi dua

bagian berdasarkan daerahnya, yaitu pars neurocranii (tulang-tulang yang turut

membentuk cavum cranii) dan pars splanchnocranii (tulang wajah) (Shier et al.

2001). Tengkorak manusia memiliki perkembangan yang cukup besar pada bagian

neurocranii. Perkembangan ini menggambarkan bahwa manusia memiliki volume otak yang besar. Berbeda dengan papio dan simpanse, bagian tengkorak yang

memiliki perkembangan yang cukup besar adalah pars splanchnocranii. Pada

primata ini, gigi dan rahangnya terlihat lebih berkembang sehingga mulut terlihat lebih besar dan panjang (Krieger 1982). Begitu juga dengan hewan piara terutama

sekali pada herbivora (kuda, pemamah biak) dan babi, pars splanchnocranii juga

(23)

berkembang bagian tengkorak ini, maka didapat banyak tempat pertautan otot-otot pengunyah dan untuk penempatan gigi (Walker 1987).

2.4.1 Pars neurocranii

Pars neurocranii adalah tulang-tulang yang turut membentuk cavum cranii (Leeson dan Leeson 1989). Bagian ini terdiri atas beberapa tulang, yaitu

os occipitale, os interparietale, os parietale, os temporale, os frontale, os sphenoidale dan os ethmoidale (Tortora dan Derrickson 2009).

Os occipitale

Os occipitale adalah tulang yang membentuk bagian kaudal dan dasar tengkorak. Pada sapi, bagian kaudal tengkorak tidak hanya dibentuk oleh

os occipitale tetapi juga dibentuk oleh os parietale, os frontale, os interparietale,

dan os temporale (May 1955). Pada bagian dorsal dinding kaudal tengkorak disilang secara transversal oleh suatu peninggian tulang atau rigi yang disebut

dengan crista nuchae. Rigi ini merupakan suatu peninggian garis yang

memisahkan os parietale dengan os occipitale (Simons 2007). Berbeda pada

manusia, yang memisahkan os occipitale dengan os parietale bukan berupa rigi

atau peninggian tulang tetapi hanya berupa garis, yang disebut dengan sutura

lambdoidea (Shier et al. 2001). Di bagian ventral dari crista nuchae terdapat suatu

peninggian tulang yang disebut dengan protuberantia occipitalis externa.

Peninggian ini berfungsi sebagai tempat bertautnya ligamentum nuchae yang

dapat mendukung tegaknya kepala (Tortora dan Derrickson 2009). Os interparietale

Os interparietale merupakan tulang kecil diantara os parietale dan squama occipitalis. Tulang ini jelas terlihat pada hewan muda, sedangkan pada hewan tua tulang ini bergabung menjadi satu tulang yang tidak dapat dibedakan (Colville dan Bassert 2002). Tulang ini tidak terdapat pada tengkorak manusia (Tortora dan

Derrickson 2009). Pada bagian tengah os interparietale ini berjalan suatu rigi

yang disebut dengan crista sagittalis externa (crista parietalis externa). Rigi ini

(24)

11

anjing yang berkepala panjang, rigi ini terlihat sempit dan tinggi sedangkan anjing yang berkepala pendek rigi ini terlihat tebal dan lebar (Colville dan Bassert 2002). Os parietale

Os parietale adalah sepasang tulang yang sebagian besar menempati daerah dorsolateral tengkorak kecuali pada sapi dan babi, tulang ini menempati

dinding kaudal tengkorak (May 1955). Tulang ini berukuran besar terutama pada

kucing, anjing dan manusia, tetapi relatif berukuran kecil pada kuda dan sapi (Conville dan Bassert 2002). Pada manusia, sepasang tulang ini dipisahkan oleh

sutura sagittalis (Tortora dan Derrickson 2009). Os temporale

Os temporale adalah tulang yang membentuk dinding lateral dari

tengkorak dan berlokasi di bagian ventral os parietale. Tulang ini terdiri atas tiga

bagian, yaitu pars petrosa, pars squamosa, dan pars tympanica. Pars petrosa dari

os temporale adalah bagian tulang yang berada di bagian interna tengkorak, yang

berada di antara os occipitale dan os parietale. Sebagian besar dari bagian ini

terdapat di cavum cranii (ruang otak). Pars squamosa adalah bagian os temporale

yang merupakan bidang luar (facies temporalis) yang berbentuk konveks dan turut

membentuk fossa temporalis. Kemudian pars tympanica adalah bagian

os temporale yang turut membentuk struktur telinga (Palastanga et al. 2002). Os frontale

Os frontale adalah tulang yang membentuk bagian kening (dorsokranial

tengkorak) (Warwick dan Williams 1973). Manusia memiliki satu os frontale

(Tortora dan Derrickson 2009), tetapi kuda, sapi dan beberapa hewan piara

memiliki sepasang os frontale (Walker 1987). Pada sapi, tulang ini sangat luas

dan membentuk dinding dorsal, posterior, dan lateral dari tengkorak. Pertemuan

antara os frontale dengan os parietale pada hewan ini dinamakan eminentia

(torus) frontale dan di sebelah lateral dari torus ini terdapat processus cornualis

(May 1955; Frandson 1992). Berbeda dengan sapi, os frontale pada kuda terletak

di batas antara bagian wajah dan tengkorak, serta tidak memiliki processus

cornualis. Disamping itu, os frontale pada ruminansia di bagian kaudal orbita

(25)

zygomaticus dari os frontale. Penjuluran ini kemudian berhubungan dengan

processus frontalis dari os zygomaticus (Getty 1975).

Os frontale yang berbatasan dengan orbita disebut dengan daerah

supraorbitalis (Warwick dan Williams 1973). Daerah ini pada beberapa primata

mengalami suatu peninggian yang disebut dengan torus supraorbitale

(Notosusanto 1986). Peninggian ini merupakan bagian yang cukup menonjol dan menjadi suatu bagian yang dipertimbangkan dalam menentukan filogeni primata.

Keberadaan peninggian ini berhubungan dengan daerah neurocranium, orbita,

dan wajah. Peninggian ini umumnya dimiliki oleh papio dan simpanse, sedangkan pada orangutan dan manusia peninggian ini kurang berkembang dan bahkan tidak ada (Shea 1986). Pada daerah ini terdapat suatu lubang yang disebut dengan

foramen supraorbitalis yang berfungsi sebagai tempat lewatnya jaringan saraf dan

pembuluh darah yang senama. Lubang ini terdapat pada tengkorak manusia, tetapi

tidak terdapat pada tengkorak papio dan simpanse, sehingga diperkirakan manusia memiliki tingkat sensitifitas terhadap rangsangan yang lebih besar pada daerah

orbita dibandingkan dua primata ini (Krieger 1982). Os sphenoidale

Os sphenoidale adalah tulang yang berlokasi di bagian ventral kranium

dan rostral os occipitale. Tulang ini terdiri atas corpus, dua pasang ala, dan

sepasang processus pterygoideus (Getty 1975). Pada tulang ini terdapat fossa

pituitari, tempat terdapatnya glandula pituitari yang merupakan kelenjar endokrin yang sangat penting. Jika tulang ini dipisahkan dari tulang kepala, tulang ini akan berbentuk kelelawar dengan sayap dan kaki yang panjang (Colville dan Bassert 2002).

Os ethmoidale

Os ethmoidale adalah tulang yang berlokasi di rostral os sphenoidale.

Tulang ini terdiri atas, lamina cribrosa, lamina perpendicularis, dan labirynthus

ethmoidalis. Tulang ini memiliki cribriform-cribriform (rongga-rongga) yang dilalui oleh banyak cabang saraf-saraf olfaktorius yang berasal dari bagian atas rongga hidung yang menuju ke otak dan berperan dalam membewa rangsangan

(26)

13

lamina perpendicularis adalah sekat median yang tegak lurus dan menjadi bagian

posterior dari septum nasi, dan labirynthus ethmoidalis adalah bagian

os ethmoidale yang memiliki banyak keeping-keping tulang halus yang

membentuk lingkaran-lingkaran dan terletak di anterior Lamina cribrosa (Colville

dan Bassert 2002).

2.4.2 Pars splanchnocranii

Pars splanchnocranii tulang-tulang yang membentuk daerah wajah. Bagian

tulang ini meliputi regio orbitalis, nasalis, dan oralis dan disusun oleh beberapa

tulang, yaitu os incisivum, os nasale, os maxilla, os lacrimale, os zygomaticum,

os mandibula, os palatinum, os pterygoideum, dan os vomer (Frandson dan Whitten 1981).

Os incisivum (os praemaxilla)

Os incisivum adalah tulang yang terdapat di rostral tengkorak dan pada

tulang ini tertanam dentes incisivi yang dimiliki oleh semua hewan domestik

kecuali ruminansia, seperti sapi, kambing dan domba. Walaupun ruminansia ini

tidak memiliki dentes incisivi pada rahang atas, os incisivus pada hewan ini

memiliki dental pad yang keras (May 1955). Tulang ini masih terdapat pada

primata, tetapi pada manusia os incisivum telah bergabung dengan os maxilla pada

awal kehidupan sebelum lahir (Krieger 1982).

Di kaudal dari dentes incisivi, pada beberapa hewan terdapat dua buah

lubang yang berhubungan dengan cavum nasi, yaitu canalis interincisivus (Kent

dan Carr 2001). Saluran ini merupakan tempat lewatnya udara pernapasan menuju

ductus nasopalatinus tempat terdapatnya organum vomeronasale (organon jacobson). Organ ini sangat berkembang pada ular dan bangsa lizard. Anjing, kucing dan hewan piraan lain juga memiliki organ ini sebagai alat penciuman tambahan (Walker 1987; Kent dan Carr 2001). Pada bangsa burung, manusia dan beberapa primata organ ini kurang berkembang bahkan mengalami rudimenter,

sehingga spesies ini tidak memiliki canalis interincisivus ini (Napier dan Napier

(27)

Os nasale

Os nasale adalah tulang hidung yang terdapat di bagian dorsal dari rongga hidung. Tulang ini berbentuk jembatan yang terdiri atas dua bagian kiri dan kanan

yang dihubungkan oleh suatu garis tengah yang disebut dengan sutura

internasalis. Pada simpanse dan papio, hubungan antara tulang ini segera bersatu setelah lahir. Berbeda pada manusia, tulang tidak bersatu setelah lahir dan menjadi dua bagian tulang yang terpisah (Krieger 1982). Tulang ini memiliki beberapa variasi ukuran dan bentuk, tergantung spesies dan ras hewan. Pada papio dan simpanse tulang ini terlihat lebih pendek dan tipis jika dibandingkan pada manusia, sehingga lubang hidung dua primata ini terlihat lebih luas (Krieger

1982). Binatang dengan wajah yang panjang (dolichocephalic) seperti kuda,

anjing ras borzoi dan whippet, os nasale-nya terlihat lebih panjang, sedangkan

hewan yang wajahnya pendek (brachicephalic) seperti kucing dan ras anjing

buldog, os nasale-nya terlihat lebih pendek dan triangular (Colville dan Bassert

2002). Os maxilla

Os maxilla adalah tulang yang membentuk rahang dan langit-langit keras (hard palate). Pada tulang ini tertanam gigi rahang atas kecuali dentes incisivi

yang tertanam pada os incisivum (Colville dan Bassert 2002). Pada kuda, di

bagian kaudal tulang ini terdapat suatu rigi yang dikenal dengan crista facialis

(Getty 1975). Di bagian dorsoanterior rigi ini terdapat suatu lubang yang penting,

yaitu foramen infraorbitalis, sebagai tempat keluarnya n. infraorbitalis yang

berfungsi untuk menginervasi daerah muka (Shier et al 2001; Tortora dan

Derrickson 2009). Pada papio jumlah lubang ini bervariasi, dari tiga sampai sepuluh lubang. Pada simpanse dan manusia, lubang ini jumlahnya tidak sebanyak yang terdapat pada papio. Hal ini diduga pada daerah wajah, papio memiliki tingkat sensitifitas terhadap rangsangan yang lebih besar dibandingkan pada

manusia dan simpanse. Pada tengkorak manusia, os maxilla membentuk

penjuluran ke arah sutura zigomaticomaxillaris, dengan nama penjulurannya

disebut dengan processus zygomaticus dari os maxilla (Warwick dan Williams

(28)

15

Ukuran os maxilla pada hewan ini besar dan memiliki permukaan yang rata.

Dinding lateral dari os maxilla mengalami suatu lekukan yang dalam sehingga

membentuk fossa maxilla. Lekukan ini berfungsi sebagai tempat perlekatan

beberapa otot ekspresi wajah yang diduga cukup berkembang pada hewan ini (Krieger 1982).

Os lacrimale

Os lacrimale adalah tulang kecil dan tipis yang membentuk bagian medial

orbita dan terletak di antara os ethmoidale dan os maxilla. Pada tulang ini

terdapat suatu ruangan yang disebut dengan saccus lacrimalis (suatu kantong

yang menghasilkan air mata) (Shier et al. 2001).

Os zygomaticum

Os zygomaticum disebut juga dengan os malare (Colville dan Bassert 2002).

Tulang ini berbentuk segitiga tidak beraturan yang terletak diantara os lacrimale

(dorsal) dan os maxilla (ventral dan anterior). Pada bagian lateral tengkorak tulang

ini membentuk penjuluran ke arah kaudal, yaitu processus temporalis dari

os zygomaticum. Penjuluran ini berhubungan dengan processus zygomaticus dari

os temporale sehingga membentuk arcus zygomaticus (Shier et al. 2001). Pada

kuda, terdapat processus zygomaticus dari os frontale yang berjalan ke arah dorsal

yang juga turut membentuk arcus zygomaticus. Pada ruminansia, os zygomaticus

juga memiliki penjuluran yang berjalan ke arah dorsal, yaitu processus frontalis.

Penjuluran ini pada lateral orbita bertemu dengan processus zygomaticus dari os

frontale. Jadi pada ruminansia os frontale tidak ikut membentuk arcus zygomaticus. Lengkungan ini hanya dibentuk oleh processus temporalis dari

os zygomaticum dan processus zygomaticus dari os temporale (Getty 1975). Os mandibula

Os mandibula adalah tulang yang membentuk rahang bawah dan merupakan tulang terbesar yang membentuk daerah wajah (Conville dan Bassert 2002).

Tulang ini terdiri atas korpus dan rami. Corpus mandibulae adalah badan anterior

(29)

coronoideus. Processus condylaris dari os mandibula ini berhubungan dengan

fossa mandibularis dari os temporale (Shier et al. 2001; Tortora dan Derrickson

2009). Hubungan antara dua tulang ini disebut dengan articulatio

temporomandibularis yang dapat bergerak bebas (Sherwood et al. 2002). Os palatinum

Os palatinum adalah tulang yang terletak di sebelah lateral choanae (pintu

hidung belakang) dan di sebelah posterior os maxilla (Tortora dan Derrickson

2009). Tulang ini pada bagian posterior os maxilla membentuk bagian dari

langit-langit keras yang disebut dengan palatum durum. Tulang ini memiliki dua bagian,

yaitu pars horizontalis dan pars perpendicularis. Pars horizontalis membentuk

bagian posterior dari palatum durum dan lantai dari rongga hidung, sedangkan

pars perpendicularis membentuk dinding lateral dari rongga hidung (Shier et al.

2001).

Os pterygoideum

Tulang yang memiliki bidang kecil, panjang, dan terletak di sebelah

medial os palatinum dan processus pterygoideus dari os sphenoidale. Di bagian

anterior tulang ini terdapat suatu penjuluran tulang yang berbentuk kait ke arah

ventral, yang disebut dengan hamulus pterygoideus (Palastanga 2002).

Os vomer

Os vomer merupakan tulang tunggal yang terlihat tipis yang turut

membentuk bagian ventral septum nasii (Colville dan Bassert 2002). Tulang ini

terdapat di dalam cavum nasii yang memanjang dari ujung anterior corpus

sphenoidale sampai processus palatinus dari os incisivum. Bagian posterior tulang

ini akan berhubungan dengan lamina perpendicularis dari os ethmoidale dan

(30)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2010 sampai Maret 2011 di Laboratorium Anatomi, Bagian Anatomi, Histologi, dan Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, dan Museum Zoologi LIPI Cibinong.

3.2 Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah satu set preparat tengkorak orangutan Kalimantan jantan dewasa koleksi Laboratorium Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan dua set preparat tengkorak orangutan Kalimantan (betina dan jantan) muda koleksi Museum Zoologi LIPI Cibinong. Adapun peralatan lain yang digunakan adalah kamera Canon EOS

400D, penggaris, dan timbangan.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan cara mengamati preparat tengkorak orangutan Kalimantan jantan dewasa dan membandingkan dengan literatur tengkorak manusia, dan hewan yang memiliki kedekatan taksonomi dengan hewan ini, yaitu gorilla dan simpanse, serta dengan tengkorak hewan lain. Untuk mengetahui batasan antar tulang dan untuk memetakan bagian-bagian tulang penyusun tengkorak orangutan Kalimantan, digunakan dua set preparat tengkorak orangutan jantan dan betina muda koleksi Museum Zoologi LIPI Cibinong sebagai pembanding karena suturanya masih terlihat jelas. Pengukuran terhadap panjang, tinggi, dan lebar serta penimbangan terhadap bobot kering tengkorak hanya dilakukan terhadap tengkorak orangutan koleksi laboratorium Anatomi FKH IPB. Pengukuran dilakukan pada bagian terpanjang dan terlebar dari tengkorak.

Panjang tengkorak diukur dari os occipitale sampai dentes incisivi, tinggi

tengkorak diukur dari os mandibula sampai peninggian crista sagittalis externa

(31)

zygomaticus kanan (Gambar 4). Selanjutnya dilakukan pengambilan gambar tengkorak dari beberapa arah, yaitu dorsal, kranial, kaudal, ventral, dan lateral dengan menggunakan kamera Canon EOS 400D. Gambar selanjutnya diolah dengan Adobe Photoshop CS4 dan bagian tengkorak diberi nama berdasarkan Nomina Anatomica Veterinaria (WAVA 2005).

A B C

2 cm

(32)

BAB 4

HASIL

Tengkorak orangutan Kalimantan jantan dewasa berukuran relatif besar dengan permukaan tulang yang terlihat kasar. Tengkorak mempunyai panjang ± 24,5 cm, lebar ± 19,5 cm dan tinggi ± 19 cm, serta bobot 1,3 kg. Selain itu, struktur bangun tengkorak terlihat sangat kompak dan keras, mengindikasikan sangat kuat dan kokoh. Pengamatan dari arah kranial memperlihatkan tengkorak

berbentuk persegi, sedangkan dari arah dorsal terlihat memanjang dari corpus

alveolaris dan meninggi sampai di crista nuchae (kaudal os parietale).

Tengkorak orangutan terdiri atas tengkorak bagian atas dan bawah.

Tengkorak bagian atas disusun oleh beberapa tulang, yaitu os frontale,

os temporale, os parietale, os occipitale, os sphenoidale, os ethmoidale,

os maxilla, os incisivum, os palatinum, os pterygoideum, os nasale, os vomer,

os lacrimale, dan os zygomaticum, sedangkan tengkorak bagian bawah hanya

dibentuk oleh satu tulang, yaitu os mandibula. Pada tengkorak terdapat suatu garis

tengah (midline) yang memotong tengkorak menjadi dua bagian kiri dan kanan.

Hal ini memperlihatkan bahwa tengkorak berbentuk simetri bilateral yang disusun oleh tulang-tulang yang saling berpasangan. Akan tetapi, terdapat beberapa pasang tulang yang posisinya berdampingan saling menyatu sehingga terlihat

seperti sebuah tulang, contohnya adalah os frontale, os incisivum, os sphenoidale,

os occipitale, os vomer, os palatinum, dan os mandibula. Diantara tulang-tulang penyusun tengkorak ini dihubungkan oleh sutura, tetapi pada preparat ini suturanya kurang jelas, bahkan sudah tidak terlihat sama sekali. Berbeda dengan tengkorak orangutan koleksi Museum Zoologi LIPI Cibinong suturanya masih jelas terlihat (Gambar 5).

Tengkorak merupakan tulang yang sangat kompleks karena terdiri atas beberapa tulang yang menjadi satu kesatuan sehingga berbentuk seperti satu tulang yang kompak. Berdasarkan daerahnya, tulang tengkorak dibagi menjadi

dua kelompok, yaitu pars neurocranii dan pars splanchnocranii. Batas antara dua

kelompok tulang ini adalah garis transversal yang ditarik pada bagian dorsal

(33)

 

A  B  C

4.1 Pars neurocranii

Pars neurocranii adalah bagian tengkorak yang turut membentuk ruang

otak (cavum cranii) dan disusun oleh beberapa tulang, yaitu os occipitale,

os parietale, os temporale, os frontale, os sphenoidale, dan os ethmoidale. Bagian

tengkorak ini berada di sebelah dorsal tengkorak, yang terdiri atas calvaria (atap

tengkorak), dinding lateral, dinding kaudal dan basis tengkorak (Gambar 6).

Bagian calvaria tengkorak ini dibentuk oleh beberapa tulang, yaitu

os frontale, os parietale, dan os temporale. Os frontale adalah tulang yang

membentuk daerah kening (kranial calvaria). Tulang ini berbentuk segitiga

(piramida) dan memiliki posisi miring terhadap garis tegak lurus kepala. Di

ventral tulang ini, yang berbatasan dengan orbita disebut daerah supraorbitalis.

Daerah ini memiliki permukaan yang lebih kasar dan sedikit mengalami

penonjolan untuk melingkari orbita. Namun, pada daerah ini tidak terdapat torus

supraorbitalis dan foramen supraorbitalis. Selanjutnya, pada masing-masing sisi

lateral tulang ini terdapat suatu rigi, yaitu crista frontalis (Gambar 6).

Pada tengkorak kepala orangutan jantan dewasa crista frontalis terlihat

sangat berkembang. Rigi ini relatif tinggi, permukaannya sangat kasar dan tidak rata, berjalan ke kaudal dan bersatu pada garis tengah tengkorak yang

memisahkan antara sepasang os parietale. Pada daerah ini, rigi berubah nama

menjadi crista sagittalis (parietalis) externa. Selanjutnya, rigi ini terbagi dua dan

 

[image:33.595.122.500.101.239.2]

2 cm  2 cm  2 cm

Gambar 5 Komparasi tengkorak orangutan Kalimantan.

A. Tengkorak orangutan Kalimantan jantan muda dan B. Tengkorak orangutan Kalimantan betina muda yang masih tampak sutura (panah hitam), C Tengkorak orangutan Kalimantan jantan tua yang tidak tampak lagi suturanya (A dan B: tengkorak koleksi Museum Zoology LIPI Cibinong, C: koleksi Laboratorium

Anatomi FKH IPB) (Bar A: 2,5 cm, Bar B dan C: 2 cm).

        

                 

C

A B

 

(34)

21  

 

 

berjalan ke arah kaudolateral sisi tengkorak. Rigi berbentuk konkaf dan

memisahkan antara os parietale dengan os occipitale, yang disebut crista nuchae.

Permukaan rigi ini pada bagian kaudomedial calvaria terlihat tebal, luas, dan

kasar, sedangkan pada bagian kaudolateral calvaria terlihat tipis, tajam, dan

melengkung ke arah kranial. Rigi berjalan ke arah lateroventral sampai pada

os temporale (Gambar 6).

  9 

10 

 11 

      

      b 

       c         f         7         3         1         2              e                 6         4         g         5 

   d 

8

[image:34.595.107.445.208.662.2]

9 10

Gambar 6 Tengkorak bagian atas tampak dorsal.

a. Os parietale, b. Os temporale, c. Os frontale, d. Os nasale,

e. Os maxilla, f. Os zygomaticum, g. Os incisivum,

1. Crista sagittalis externa, 2. Crista frontalis, 3. Crista nuchae, 4. Orbita

5. Cavum nasi,6. Processus temporale (os zygomaticum),

7. Processus zygomaticus (os temporale), 8. Corpus ossis incisivi,

9. Dentes incisivi, 10. Dentes canini (Bar: 2 cm).

Os parietale pada tengkorak orangutan merupakan sepasang tulang yang

berbentuk konveks yang sebagian besar membentuk calvaria. Tulang ini terletak

di kaudal os frontale dan di dorsal os temporale. Dilihat dari morfologi eksterna

(35)

 

 

 

lebih menonjol, licin, dan terang jika dibandingkan dengan os temporale. Oleh

karena itu, perbedaan ini dapat dijadikan dasar untuk membedakan tulang-tulang ini karena sutura yang menghubungkannya sudah tidak terlihat jelas (Gambar 6).

Os temporale adalah tulang yang sebagian besar membentuk dinding

lateral tengkorak dan hanya menempati sebagian kecil daerah calvaria. Tulang ini

terdiri atas tiga bagian, yaitu pars squamosa, pars tympanica, dan pars petrosa.

Pars squamosa tulang ini memiliki permukaan yang kasar seperti sisik dan pada

bagian ventralmembentuk fossa mandibularis. Di sebelah kranial dari lekukan ini

terdapat suatu penjuluran, yaitu processus zygomaticus dari os temporale.

Penjuluran ini kemudian di kraniomedial tengkorak bertemu dengan penjuluran

dari os zygomaticum, yaitu processus temporalis dari os zygomaticum. Pertemuan

antara dua penjuluran ini membentuk suatu lengkungan yang disebut dengan

arcus zygomaticus. Lengkungan ini pada tengkorak orangutan terlihat sangat kuat dan kokoh dengan permukaan bagian dorsalnya terlihat lebih kasar (Gambar 7).

Pars tympanica dari os temporale terdapat di bagian kaudal dari fossa mandibularis. Daerah ini ditandai dengan suatu lubang yang disebut dengan

meatus acousticus externus. Lubangini merupakan muara dari lubang telinga luar.

Bagian kranial dan kaudal dari lubang ini dibatasi oleh dua penjuluran, yaitu

processus retroarticularis pada bagian kranial dan processus mastoideus pada

bagian kaudal. Pada bagian kranial processus retroarticularis dan bagian ventral

processus zygomaticus terdapat suatu lekukan yang mengadakan persendian

dengan caput mandibulae, yaitu fossa mandibularis. Persendian ini disebut

dengan articulatio temporomandibulae (Gambar 7). Pars petrosa dari

os temporale adalah bagian tulang yang berada di interna terkorak, yang berada di

antara os occipitale dan os parietale. Sebagian besar dari bagian ini terdapat di

cavum cranii (ruang otak).

Pada sisi lateral tengkorak juga terlihat os sphenoidale. Tulang ini berada

di ventral (basis) tengkorak yang mengalami penjuluran sampai ke lateral tengkorak. Penjuluran tulang ini ke arah lateral tengkorak ini disebut dengan

os presphenoidale yang memiliki dua pasang sayap (ala), yaitu satu pasang ala orbitalis dan satu pasang ala temporalis. Ala orbitalis menjulur ke dorsolateral

(36)

23  

 

 

os temporale. Pada ala orbitalis terdapat suatu peninggian tulang yang berjalan

kaudoventral disebut dengan crista infratemporale, dengan bagian ventral yang

menjorok disebut dengan fissura orbitale inferior. Pada bagian medial lekah ini,

terdapat foramen rotundum. Pada ala temporalis terdapat penjuluran

os sphenoidale pada sisi lateral os pterygoideum, sehingga penjuluran ini disebut

[image:36.595.112.510.173.494.2]

dengan processus pterygoideus dari os sphenoidale (Gambar 7).

Gambar 7 Tengkorak bagian atas tampak lateral.

Insert gambar A dan B: Os sphenoidale pada lateral tengkorak

a. Os parietale, b. Os temporale (pars squamosa), c. Os frontale,

d. Os sphenoidale, e. Os occipitale, f. Os zygomaticum, g. Os maxilla,

h. Os incisivum, i. Os mandibula, 1. Crista sagittalis externa,

2. Crista frontalis, 3. Processus mastoideus, 4. Processus retroarticularis,

5. Fossa mandibularis, 6. Meatus acusticus externus, 7. Arcus zygomaticus,

8. Processus coronoideus, 9. Incisura mandibulae, 10. Processus condylaris,

11. Facies buccalis, 12. Ramus mandibulae, 13. Angulus mandibulae,

14. Corpus mandibulae, 15. Foramen mentale, 16. Dentes incisivi,

17. Dentes canini, 18. Dentes premolares, 19. Dentes molares,

20. Margo alveolaris, 21. Crista infratemporale dari ala sphenoidale,

22. Fissura orbitale inferior, 23. Foramen rotundum,

24. Processus pterygoideus dari os sphenoidale, 25. Hamulus pterygoideus

(Bar: 2 cm).     3          23             22         21        d   24  25  22 23 21 24   d        a

       c 

        7          8          9 

       10 

       

14

       11 

       13 

       12         15

        5         16        17         18                  19           20          f

       i        

       

                4

       e 

       h     g        b   

       

6  3

   B

(37)

 

 

 

Dinding kaudal tengkorak dibentuk oleh os temporale dan os occipitale.

Os temporale pada dinding kaudal tengkorak terdapat di sisi lateral os occipitale

dan hanya menempati sebagian kecil daerah kaudal tengkorak. Tulang ini memiliki permukaan yang tidak rata. Pada bagian ventral, tulang ini membentuk

suatu penjuluran, yaitu processus mastoideus. Penjuluran tulang ini berbentuk

agak bulat dan terlihat cukup berkembang pada tengkorak ini (Gambar 8).

       3 

       2

       4 

       5 

       b 

       7

       6 

       8         1

       9

       10 

[image:37.595.110.459.201.577.2]

      a 

Gambar 8 Tengkorak bagian atas tampak kaudal.

a. Os occipitale, b. Os mandibula, 1. Condylus occipitalis,

2. Foramen magnum, 3. Protuberantia occipitalis externa,

4. Processus mastoideus, 5. Angulus mandibulae,

6. Processus pterygoideus os sphenoidale,

7. Foramen mandibulae, 8. Arcus zygomaticus,

9. Foramen mastoideus, 10. Meatus acousticus externus

(Bar: 2 cm).

Os occipitale pada dinding kaudal tengkorak disebut dengan squama occipitalis. Tulang ini merupakan sepasang tulang yang dipisahkan oleh suatu

garis medial tengkorak yang berjalan dari dorsal tulang ini sampai dorsal foramen

(38)

25  

 

 

sangat berkembang dan memiliki permukaan yang kasar, disebut dengan

protuberantia occipitalis externa. Jarak antar dua buah penonjolan tulang ini

adalah ± 2 cm. Foramen magnum adalah suatu liang yang besar dan bulat, dengan

diameter liang bagian ventral terlihat lebih luas dibandingkan dengan diameter

liang bagian dorsalnya. Liang ini berada di ventral os occipitale dan merupakan

tempat keluarnya jaringan saraf yang berasal dari otak, yaitu medula spinalis.

Bagian kiri dan kanan liang ini dibatasi condylus occipitalis (Gambar 8).

Daerah basis tengkorak pada pars neurocranii dibentuk oleh os occipitale

dan os sphenoidale. Pada perbatasan antara dua tulang ini terdapat suatu

penonjolan tulang, yaitu tuberculum musculare. Pada daerah ini, os occipitale

disebut dengan pars basillaris, sedangkan os sphenoidale disebut dengan

os basis sphenoidale. Pada daerah lateral dari kedua tulang ini banyak terdapat lubang dan penjuluran tulang, sehingga permukaan tulang pada daerah ini terlihat

sangat kasar. Beberapa lubang yang terdapat pada daerah ini, yaitu foramen

jugulare, canalis n. hypoglossi, foramen mastoideum, foramen lacerum, foramen ovale, foramen spinosum dan canalis caroticus. Lubang ini terdapat lebih di

medial dari posterior basis tengkorak. Foramen jugulare berada di sisi lateral dari

pars basilaris os occipitale dengan bentuk yang tidak beraturan. Di sisi medial

dari lubang ini terdapat canalis n. hypoglossi dan di sisi lateralnya, yaitu pada

processus mastoidea terdapat foramen mastoideum yang mengarah ke

laterokaudal basis tengkorak. Di antara foramen jugulare dan foramen

mastoideum terdapat suatu penjuluran tulang yang berbentuk duri dan terlihat

kurang berkembang, yaitu processus styloideus. Penjuluran ini berada di anterior

dari perbatasan dua lubang ini. Kemudian di bagian kranial penjuluran ini terdapat

dua buah lubang, yaitu canalis caroticus pada bagian kraniomedial dan foramen

spinosum pada bagian kraniolateral. Setelah itu, lebih ke anterior lagi sampai ke

lateral tuberculum musculare os sphenoidale juga terdapat dua pasang lubang,

yaitu foramen lacerum di bagian medial dan foramen ovale di bagian lateral

(Gambar 9).

Selain beberapa pasang lubang, pada basis tengkorak ini juga terdapat tiga

pasang penjuluran, yaitu processus jugularis, processus styloideus, processus

(39)

 

 

 

terlihat kurang berkembang.Processus styloideus posisinya lebih di medial basis

tengkorak yaitu di sebelah kaudal canalis caroticus, sedangkan processus

mastoideus dan processus retroarticularis lebih ke lateral basis tengkorak.

Processus mastoideus terdapat di bagian kaudal meatus acousticus externus

sedangkan processus retroarticularis terdapat di bagian ke kranial meatus

acousticus externus. Processus styloideus pada orangutan terlihat kurang

berkembang jika dibandingkan dengan processus mastoideus dan processus

[image:39.595.105.523.253.445.2]

retroarticularis (Gambar 9).

Gambar 9 Tengkorak bagian atas tampak ventral dari sudut pandang posterior.

Insert gambar A: beberapa foramen di basis tengkorak

a. Os occipitale, b. Os sphenoidale, 1. Foramen magnum,

2. Condylus occipitalis, 3. Pars basilaris os occipitale,

4. Proccessus styloideus, 5. Foramen jugulare, 6. Canalis caroticus,

7. Canalis n. hypoglossi, 8. Foramen lacerum, 9. Foramen ovale,

10. Foramen spinosum, 11. Foramenmastoideum,

12. Processus mastoideus, 13. Meatus acousticus externus,

14. Proccessus retroarticularis, 15. Fossa articulatio temporomandibulae,

16. Tuberculum musculare (Bar: 2 cm).

4.2 Pars splanchnocranii

Pars splanchnocranii adalah tulang-tulang yang membentuk daerah wajah dan mulut. Bagian tengkorak ini terlihat sangat berkembang, terutama pada daerah

mulutnya yang terlihat sangat subur dan menonjol (prognatous). Bagian

tengkorak ini disusun oleh beberapa tulang, yaitu os maxilla, os zygomaticum,

os lacrimale, os nasale, os incisivum, os palatinum, os pterygoideum, os vomer

dan os mandibula (Gambar 10).

     5

10 

  A 

     1 

      4 

     6 

     2       

    8     9 

    5 

   7

      11 

     

10 

   1 

     2 

     

      4       12 

     14 

   15        16 

   a 

   b 

 

(40)

27  

 

[image:40.595.148.444.79.403.2]

 

Gambar 10 Tengkorak bagian atas tampak kranial.

a. Os parietale, b. Os frontale, c. Os nasale, d. Os maxilla,

e. Os zygomaticum, f. Os incisivum, g. Os mandibulla, 1. Crista nuchae,

2. Crista sagittalis (perietalis) externa, 3. Crista frontalis,

4. Foramina zygomaticofaciale, 5. Foramen infraorbitale,

6. Processus temporalis (os zygomaticum), 7. Processus zygomaticum

(os frontalis), 8. frontalis (os zygomaticum), 9. Foramen mentale,

10. Cavum nasi, 11. Orbita (ruang mata), 12. Sutura zygomaticomaxillaris,

13. Processus zygomaticus dari os maxilla (Bar: 2 cm).

Tulang wajah dibentuk oleh os maxilla pada bagian medial dan

os zygomaticus pada bagian lateral. Dua tulang ini dihubungkan oleh suatu sutura,

yaitu sutura zygomaticomaxillaris. Os maxilla pada daerah wajah tidak memiliki

tuber faciale dan crista facialis, sehingga pipi hewan ini terlihat lebih datar. Pada

daerah pipi, kira-kira 2 cm di ventral orbita terdapat suatu lubang tempat

pembersitan saraf dan pembuluh darah senama, yaitu foramen infraorbitale.

Lubang ini terlihat berukuran cukup besar pada tengkorak ini. Selanjutnya, tulang

ini melakukan penjuluran ke arah os zygomaticum, yaitu processus zygomaticum

dari os maxilla. Disamping itu, os zygomaticus yang berada di lateral tulang ini,

juga menjulur ke arah kaudal, penjuluran tersebut adalah processus temporalis

(os zygomaticum). Penjuluran ini pada sisi lateral tengkorak bertemu dengan    12

   13

   b 2

       1

   f

    g  9

       5

   4 

 8 

   6 

   3

   11 

   10

   c

   d

   e 

  a 

   12

   13 

(41)

 

 

 

penjuluran dari os temporale, yaitu processus zygomaticus (os temporale) dan

membentuk arcus zygomaticus (Gambar 10).

Orbita merupakan mangkok mata yang terletak di bagian dorsal

os maxilla. Pada orangutan, posisinya menghadap ke anterior dengan orbita kiri

dan kanan saling berdekatan. Orbita ini dibatasi oleh empat bagian, yaitu batas

orbita dorsal, lateral, ventral, dan medial. Batas orbita dorsal dibentuk oleh

os frontale, yang biasanya dikenal dengan daerah alis mata (supraorbitalis).

Os frontale pada batas orbita dorsal terlihat cukup berkembang (menonjol) dan

memiliki permukaan yang kasar. Batas orbita lateral dibentuk oleh os frontale

pada bagian laterodorsal orbita dan processus frontale dari os zygomaticum pada

bagian lateroventral orbita. Dua tulang ini pada bagian lateromedial orbita

dihubungkan oleh sutura frontozygomatica. Permukaan tulang pada laterodorsal

batas orbita ini terlihat lebih kasar dibandingkan dengan permukaan yang di

lateroventralnya. Kemudian, batas orbita ventral dibentuk oleh os maxilla pada

bagian ventromedial dan os zygomaticum pada bagian ventrolateral. Di bagian

ventrolateral batas orbita ventral terdapa

Gambar

Gambar 3  Komparasi wajah orangutan Kalimantan jantan (A) dan Betina (B)
Gambar 5 Komparasi tengkorak orangutan Kalimantan.  
Gambar 6  Tengkorak bagian atas tampak dorsal.
Gambar 7 Tengkorak bagian atas tampak lateral. Insert gambar A dan B: Os sphenoidale pada lateral tengkorak a
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut terjadi karena lokasi pegerakan yang diteliti oleh Kridijantoro berbeda dengan penelitian yang sekarang, kemudian pada saat itu salah satu pohon pakan

Bagian depan sebelah medial akan membentuk pinggir hidung yaitu apertur piriformis, ke atas depan bersendi dengan tulang frontal dan pada permukaan medial merupakan tempat