• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi Pupuk Lepas Terkendali Menggunakan Pelapisan Akrilik dan Kitosan serta Aplikasinya pada Pembibitan Acacia crassicarpa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Formulasi Pupuk Lepas Terkendali Menggunakan Pelapisan Akrilik dan Kitosan serta Aplikasinya pada Pembibitan Acacia crassicarpa"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

FORMULASI PUPUK LEPAS TERKENDALI

MENGGUNAKAN PELAPISAN AKRILIK DAN KITOSAN

SERTA APLIKASINYA PADA PEMBIBITAN

Acacia crassicarpa

LILI HANDAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Formulasi Pupuk Lepas Terkendali Menggunakan Pelapisan Akrilik dan Kitosan serta Aplikasinya pada Pembibitan Acacia crassicarpa adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Lili Handayani

(4)
(5)

RINGKASAN

LILI HANDAYANI. Formulasi Pupuk Lambat Terkendali Menggunakan Pelapisan Akrilik dan Kitosan serta Aplikasinya pada Pembibitan Acacia

crassicarpa. Dibimbing oleh GUNAWAN DJAJAKIRANA, DARMAWAN, dan

CANECIO PERALTA MUNOZ.

Masalah rendahnya efisiensi pupuk dalam pemupukan dapat diatasi dengan mengendalikan kelarutan pupuk yaitu membuat pupuk tersebut dapat melepaskan unsur hara secara perlahan, sebagaimana dikenal sebagai pupuk lepas terkendali

(slow release fertilizer; SRF). Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan

dan membuat SRF dengan teknik pelapisan (coating) menggunakan akrilik dan kitosan sebagai bahan coating serta mengetahui daya tahan dan laju pelepasannya. Hasil SRF yang didapatkan diaplikasikan untuk pembibitan Acacia crassicarpa.

Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa ruang lingkup pengambilan unsur hara pada pembibitan tersebut kecil, sehingga membutuhkan pupuk yang dapat diaplikasikan secara serentak namun dapat menyediakan unsur hara secara perlahan.

Formulasi pupuk dilakukan dengan menggunakan senyawa kimia sumber hara makro (N, P, K) dan sumber hara mikro (Fe, Cu, Zn) serta pembuatannya dengan metode pencampuran (blending) dan teknik granulasi. Proses granulasi pupuk menghasilkan 74 % pupuk granul dengan diameter 2-5 mm. Hasil analisis menunjukkan bahwa SRF (pembuatan pupuk dengan coating akrilik dan kitosan) lebih tahan terhadap tumbukan air dibandingkan dengan non-SRF. Selain itu, uji pengocokan dengan akuades dan asam sitrat 2 % serta uji perkolasi dengan akuades menunjukkan bahwa SRF memiliki kelarutan unsur hara lebih rendah dibandingkan non-SRF. Uji kelarutan dengan asam sitrat 2 % menunjukkan bahwa SRF coating akrilik lebih tahan dibandingkan dengan coating kitosan, hal ini mengindikasikan bahwa coating akrilik lebih sesuai untuk tanah masam. Hasil SRF yang diformulasikan dengan penambahan kitosan, sebelum blending dengan unsur makro, granulasi, dan coating memiliki kelarutan yang lebih rendah dibandingkan SRF tanpa penambahan kitosan saat blending unsur mikro.

Penambahan SRF dan non-SRF pada pembibitan A. crassicarpa

menunjukkan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, diameter batang, bobot kering, biomassa bawah, dan root/shoot ratio dibanding kontrol dan pemupukan standar. Penambahan SRF tidak berbeda nyata dengan non-SRF, namun perlakuan SRF menunjukkan nilai yang cenderung lebih besar untuk tiap parameter pengamatan.

(6)

SUMMARY

LILI HANDAYANI. Slow Release Fertilizer Formulation using Acrylic and Chitosan Coating and Its Aplication on the Nursery of Acacia crassicarpa.

Supervised by GUNAWAN DJAJAKIRANA, DARMAWAN, and CANECIO

PERALTA MUNOZ.

Low efficiency problem in fertilizer application can be overcome by controlling the fertilizer solubility, i. e. by making fertilizer that can release nutrient slowly, that is known as slow release fertilizer (SRF). This research was aimed to formulate SRF by coating technuique using acrylic and chitosan as the coating materials and to obtain information about its resistance and nutrient releasing rate. The formulated SRFs were applied to Acacia crassicarpa nursery. The application was based on the fact that the nursery medium has limited nutrient uptake space and hence need fertilizer that can be applied once but can provide the nutrients slowly.

The results showed that formulation of fertilizer containing N, P, K, Fe, Cu, and Zn with granulation technique has resulted in 74 % of granules with 2-5 mm in diameter. The SRFs (formulated fertilizer with acrylic or chitosan) were more resistant to water collision than of the non-SRF. Furthermore, shaking test with distilled water or 2 % citric acid or percolation test with destilled water show that the SRFs has lower solubility of nutrient than that of the non-SRFs. The results of shaking test with 2 % citric acid showed that acrylic coating was more resistant than the citric acid, indicating that this coating will be more suitable for

acidic soils. The SRFs formulated with addition of chitosan during blending of

micronutrients prior to blending with macronutrients, granulation, and final coating have lower nutrient solubility than those of the SRFs without the pre-coating chitosan addition.

Application of fertilizer in nursery of A. crassicarpa showed that addition the SRFs and non-SRFs has significant effect on height, diameter, dry weight, root biomass, and root/shoot ratio than that of the control and standard fertilizer. The SRFs have no significant different effects from the non-SRF, however the SRFs addition tend to show higher values in all parameters.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB

(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agroteknologi Tanah

FORMULASI PUPUK LEPAS TERKENDALI

MENGGUNAKAN PELAPISAN AKRILIK DAN KITOSAN

SERTA APLIKASINYA PADA PEMBIBITAN

Acacia crassicarpa

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

(10)
(11)

Judul Tesis : Formulasi Pupuk Lepas Terkendali Menggunakan Pelapisan Akrilik dan Kitosan serta Aplikasinya pada Pembibitan Acacia crassicarpa

Nama : Lili Handayani NIM : A152110031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Gunawan Djajakirana, M.Sc. Ketua

Dr Ir Darmawan, M.Sc. Anggota

Canecio Peralta Munoz, BSF, M.Sc. Anggota

Diketahui oleh Ketua Program Studi

Agroteknologi Tanah

Dr Ir Suwardi, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas terselesaikannya karya ilmiah ini. Penelitian ini telah dilaksanakan selama 10 bulan oleh peneliti. Tema penelitian ini adalah memformulasikan pupuk lepas terkendali menggunakan pelapisan akrilik dan kitosan, dengan tujuan untuk mengontrol difusi unsur hara sehingga lebih efisien diambil oleh tanaman. Selanjutnya, produk diaplikasikan pada pembibitan Acacia crassicarpa.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Gunawan Djajakirana, M.Sc., Dr Ir Darmawan, M.Sc., dan Canecio Peralta Munoz, BSF, M.Sc. selaku pembimbing yang telah memberikan saran pada penelitian dan penulisan karya ilmiah ini serta Dr Ir Basuki Sumawinata, M.Agr. selaku dosen penguji yang telah menguji dan memberikan saran pada penulisan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, serta seluruh keluarga atas segala dukungan, doa, dan kasih sayangnya.

Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi positif bagi kalangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertanian.

Bogor, September 2014

(14)
(15)

DAFTAR ISI

Pengujian daya tahan dan pelepasan unsur hara pada SRF ... 5

Aplikasi SRF pada pembibitan A. crassicarpa ... 6

Pelepasan unsur hara makro (N, P, dan K) melalui pengocokan dengan akuades dan asam sitrat 2 % ... 10

Pelepasan unsur hara mikro (Fe, Cu, dan Zn) melalui pengocokan dengan akuades dan asam sitrat 2 % ... 13

Pelepasan unsur hara makro (N, P, dan K) melalui perkolasi ... 14

Pengaruh Pupuk terhadap Pertumbuhan Bibit A. crassicarpa ... 18

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Teks

1. Perbedaan karakteristik SRF coating akrilik dan kitosan pada (a) PM1

dan (b) PM2 ... 5

2. (a) Uji daya tahan pupuk dan (b) uji perkolasi ... 6

3. Persentase perbandingan ukuran hasil granulasi pupuk ... 8

4. Hasil formulasi pupuk non-SRF (PM1, PM2) dan SRF (PM1A, PM1K) PM2A, PM2K) ... 8

10. Hara P tercuci pada uji perkolasi (a) PM1, PM1A, PM1K dan (b) PM2, PM2A, PM2K ... 16

11. Hara K tercuci pada uji perkolasi (a) PM1, PM1A, PM1K dan (b) PM2, PM2A, PM2K ... 17

12. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap tinggi tanaman pada dosis 50 % ... 18

13. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap tinggi tanaman pada dosis 100 % ... 19

14. Pengaruh pemberian PM1, PM1A, dan PM1K terhadap pertumbuhan bibit A. crassicarpa dosis 50 % pada 0-12 MST ... 20

15. Pengaruh pemberian PM2, PM2A, dan PM2K terhadap pertumbuhan bibit A. crassicarpa dosis 50 % pada 0-12 MST ... 20

16. Pengaruh pemberian PM1, PM1A, dan PM1K terhadap pertumbuhan bibit A. crassicarpa dosis 100 % pada 0-12 MST ... 21

17. Pengaruh pemberian PM2, PM2A, dan PM2K terhadap pertumbuhan bibit A. crassicarpa dosis 100 % pada 0-12 MST ... 21

18. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap diameter batang pada dosis 50 % ... 22

19. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap diameter batang pada dosis 100 % ... 22

20. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap bobot kering pada dosis 50 % ... 23

21. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap diameter batang pada dosis 100 % ... 24

22. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap Root/shoot ratio pada dosis 50 % ... 25

(17)

DAFTAR TABEL

12. Hasil pengukuran diameter batang, bobot kering (daun, batang, akar), dan root/shoot ratio ... 36

(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan teknologi pupuk dan praktek pemupukan yang terus berlangsung belum sepenuhnya dapat mengatasi masalah rendahnya efisiensi pemupukan. Unsur hara dalam pupuk seperti nitrogen mudah menguap dan tercuci, kalium mudah tercuci, dan fosfor mudah terfiksasi menyebabkan tanaman tidak mudah mengambil secara optimal unsur hara yang tersedia. Hal ini antara lain dikemukakan oleh Tomaszewka dan Jarosiewicz (2002), yaitu bahwa jumlah unsur hara dari pupuk yang hilang ke lingkungan dan tidak dapat diserap oleh tanaman ialah sekitar 40-70 % untuk nitrogen, 80-90 % untuk fosfor, dan 50–70 % untuk kalium. Upaya pemupukan secara bertahap yaitu pupuk diberikan beberapa kali untuk meningkatkan efisiensi dinilai tidak ekonomis karena antara lain menyebabkan biaya tenaga kerja menjadi lebih besar.

Prinsip pemberian unsur hara secara bertahap telah diadopsi dalam pengembangan formulasi pupuk, yaitu yang dikenal dengan pupuk lepas terkendali atau Slow Release Fertilizer (SRF). Pupuk dengan formulasi SRF ini mampu menyediakan hara secara lebih efisien, yaitu unsur hara terlepas dan tersedia secara perlahan sehingga lebih berpotensi diserap tanaman. Selain itu prinsip SRF ini juga sangat sejalan dengan upaya mengatasi masalah pemupukan yang lain, yaitu menyangkut pemupukan unsur mikro yang dapat bersifat toksik jika diberikan dalam jumlah besar dan serentak. Prinsip memperlambat pelepasan unsur hara pada SRF ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti mengendalikan kelarutan bahan di dalam air (melalui pelapisan semipermeabel, oklusi, bahan protein, polimer, atau dalam bentuk senyawa kimia lainnya), hidrolisis lambat, dan sebagainya (UNIDO dan IFDC 1998).

Penelitian mengenai formulasi dan aplikasi SRF telah cukup berkembang di banyak negara. Chatzsoudis dan Rigas (1998) menggunakan polyalkene yang diberi talcum powder dan metal oxide sebagai campuran pada pupuk agar menjadi lambat tersedia. Tomaszewska dan Jarosiewicz (2002) membuat campuran

polysulfone sebagai bahan pelapis pupuk NPK granular. Fernandez et al. (2004)

menggunakan bentonit aktif dalam pembuatan SRF yang terformulasikan dari

atrazine dalam alginat, dibuat berbentuk butiran untuk memperoleh sifat pupuk

lambat tersedia. Penelitian mengenai SRF masih jarang dilakukan di Indonesia. Beberapa penelitian di Indonesia fokus pada penggunaan berbagai bahan tambahan seperti arang aktif, bentonit, dan zeolit sebagai campuran atau pelapis pupuk agar menjadi SRF. Styana (2010) memanfaatkan campuran zeolit dan pati sebagai coating untuk meningkatkan keterikatan nitrogen dan kekuatan pada pupuk granul. Rosadi (2010) memanfaatkan zeolit dan bentonit sebagai bahan

coating pada pembuatan pupuk granul SRF.

(20)

2

sebanyak 80-90 % ekspor udang dilakukan dalam bentuk udang beku tanpa kepala dan kulit sehingga limbah yang dihasilkan cukup banyak yaitu mencapai 50-60 % dari bobot udang utuh (Sugita et al. 2009).

Suatu produk SRF akan dapat diterima jika bersifat ramah lingkungan dan akan laku di pasaran jika berdasarkan pengujian terbukti dapat meningkatkan efisiensi pemupukan, yang artinya laju pelepasan haranya sesuai dengan yang diinginkan jika diaplikasikan pada tanaman. Salah satu tanaman yang dalam proses pertumbuhannya membutuhkan SRF dikarenakan ruang lingkup pengambilan unsur hara yang kecil adalah pembibitan tanaman kehutanan. SRF telah berhasil dimanfaatkan pada beberapa pembibitan tanaman kehutanan. Oliet

et al. (2004) memanfaatkan SRF pada pembibitan Pinus halepensis dengan

root/shoot ratio mencapai 3.3 (b/b) dan efisiensi penyerapan N sebesar 40 %;

Girardi et al. (2005) meningkatkan pertumbuhan vegetatif pada pembibitan Citrus

sinensis; Fernandez-Escobar et al. (2004) memberikan pupuk N lambat tersedia

untuk meningkatkan pembibitan Olea europaea L.; dan Walker dan Huntt (1999) memberikan SRF NPK pada Pinus monophylla.

Selain beberapa pembibitan tanaman tersebut, tanaman kehutanan yang bernilai ekonomi tinggi dan saat ini telah dikembangkan sebagai tanaman hutan industri ialah Acacia crassicarpa. Tanaman A. crassicarpa merupakan salah satu jenis akasia tropik dan termasuk dalam famili Leguminosae, subfamili

Mimosoidea (Turnbull 1986). Menurut Harwood et al. (1993) A. crassicarpa

termasuk jenis akasia yang cepat tumbuh, pertumbuhannya lebih dari 5 m setelah 16 bulan. Dari hasil uji jenis 12 tanaman cepat tumbuh pada umur 14 bulan setelah penanaman, penambahan tinggi dan diameter A. crassicarpa adalah yang terbaik dibanding dengan jenis-jenis akasia dan tanaman cepat tumbuh lainnya (Jayusman, 1992). Densitas kayu sebesar 600-650 kg.m-3 lebih tinggi

dibandingkan dengan A. mangium dan A. auriculiformis (Clark et al. 1991). Selain itu, tanaman A. crassicarpa merupakan tanaman dengan daya adaptasi dan toleransi tinggi terhadap kondisi lingkungan yang buruk. Tanaman ini dapat tumbuh pada tanah dengan drainase buruk, tanah berlumpur, tanah berpasir, dan tanah terdegradasi. Di Indonesia A. crassicarpa banyak ditanam pada tanah gambut.

Kemampuan tumbuh yang baik di berbagai tempat menyebabkan tanaman ini memiliki nilai penting. Untuk mendapatkan tanaman yang baik, maka perlu adanya bibit tanaman yang baik. Bibit yang baik dapat diperoleh dengan pembibitan yang baik, antara lain dapat menggunakan media pembibitan yang baik. Media pembibitan yang baik sulit diperoleh pada tanah-tanah di daerah seperti kondisi lingkungan di atas. Oleh karena itu, diperlukan media pembibitan yang dapat menyediakan unsur hara bagi bibit A. crassicarpa. Penggunaan SRF diharapkan dapat menyediakan kebutuhan unsur hara pada pembibitan A.

(21)

3

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Mem-formulasikan dan membuat SRF yang mengandung unsur hara makro dan mikro dengan teknik coating menggunakan bahan akrilik dan kitosan. 2. Mengetahui pelepasan unsur hara dari SRF melalui uji ketahanan pupuk

terhadap tumbukan air hingga pupuk pecah, uji kelarutan menggunakan akuades dan asam sitrat 2 %, dan uji perkolasi menggunakan akuades.

3. Mengetahui pengaruh penambahan pupuk terhadap pertumbuhan bibit A.

crassicarpa.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan September 2013 sampai Juli 2014. Tahap pembuatan SRF dan uji laju pelepasan unsur hara pada pupuk dilakukan di Laboratorium Bagian Pengembangan Sumberdaya Fisik Lahan dan Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tahap aplikasi SRF pada pembibitan

A. crassicarpa dilakukan di rumah plastik wing 21 level 5, Departemen Ilmu

Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan SRF adalah akrilik, kitosan, senyawa kimia sumber hara makro (urea, ZA, H3PO4, dan K2SO4),

senyawa kimia sumber hara mikro (FeSO4.7H2O, CuSO4.5H2O, dan ZnSO4.7H2O)

serta bahan lainnya. Akrilik yang digunakan ialah akrilik cair yang dijual di pasaran sedangkan kitosan dibuat sendiri dari limbah kulit udang. Bahan-bahan untuk uji kelarutan menggunakan akuades dan asam sitrat 2 % sedangkan untuk perkolasi menggunakan media campuran gambut dan tanah mineral. Analisis SRF menggunakan bahan kimia yang biasa dipakai untuk keperluan analisis di laboratorium. Aplikasi SRF pada pembibitan A. crassicarpa menggunakan benih tanaman A. crassicarpa yang diperoleh dari PT Wira Karya Sakti (WKS), Jambi. Media tanam berupa tanah gambut.

Alat yang digunakan pada proses pembuatan SRF meliputi mesin granulator, sprayer, dan dryer. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat

Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS), Flame Photometer, dan

Spectrophotometer UV Vis. Aplikasi SRF pada pembibitan A. crassicarpa

(22)

4

Metode Penelitian

Pembuatan kitosan

Kitosan dibuat dari limbah kulit udang menggunakan metode seperti yang dilakukan Suptijah (2012) dengan beberapa modifikasi pada tahap pembuatannya. Tahapan pembuatan kitosan yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Pertama-tama limbah kulit udang dicuci bersih, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60 °C sampai kering. Tahap demineralisasi menggunakan HCl 1 N yaitu 1:7 b/v yang dipanaskan selama 1 jam pada suhu sekitar 90 °C. Tahap deproteinasi untuk mendapatkan kitin menggunakan NaOH 3.5 % yaitu 1:10 b/v yang dipanaskan selama 1 jam pada suhu 90 °C. Kitin dideasetilasi menggunakan NaOH 50 % sebanyak 1:10 yang dipanaskan pada suhu sekitar 110 °C. Selanjutnya, kitosan dicuci menggunakan akuades hingga pH mendekati netral dan dikeringkan. Diagram tahap pembuatan kitosan disajikan pada Lampiran 1. Formulasi SRF

Formulasi SRF dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu tahap pembuatan pupuk majemuk dan tahap coating pupuk. Tahap pembuatan pupuk dilakukan dengan metode blending yaitu mencampurkan senyawa kimia sumber hara makro dan mikro dengan cara diaduk hingga bahan tercampur rata. Kemudian dilakukan granulasi menggunakan mesin granulator menjadi pupuk majemuk (PM). Bahan baku sumber hara makro dan mikro disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Bahan baku sumber hara pupuk makro dan mikro

Sumber hara makro dan mikro Bahan baku

Nitrogen (N) Urea dan ZA mikro secara langsung. Sementara itu formulasi PM2 merupakan hasil blending

sumber hara makro dan mikro, namun sebelum dilakukan blending dengan unsur hara makro, unsur mikro terlebih dahulu diberi tambahan kitosan sebanyak 0.5 % dari bobot keseluruhan pupuk. Hasil blending ini berupa pasta yang selanjutnya digranulasikan dengan mesin granulator dan dikeringan dengan dryer dan oven. Gambar pembuatan PM dapat dilihat pada Lampiran 2.

Tahap coating dilakukan terhadap PM hasil granulasi yaitu menggunakan bahan akrilik dan kitosan terhadap PM1 dan PM2. Coating pupuk menggunakan mesin granulator dengan kapasitas yang lebih kecil (skala laboratorium) dan

sprayer. Cara coating PM yaitu bahan caoting akrilik cair atau kitosan

(23)

5

1 %. Perbandingan kitosan dan asam sitrat 1 % yaitu 1:20 b/v dan ditera hingga 100 ml. Gambar tahap coating pupuk disajikan pada Lampiran 2.

Coating dilakukan pada PM1 yaitu PM1 coating akrilik (PM1A) dan PM1

coating kitosan (PM1K), yang digambarkan pada Gambar 1 (a). Hal sama juga

Gambar 1. Perbedaan karakteristik SRF coating akrilik dan kitosan pada (a) PM1 dan (b) PM2

Pengujian daya tahan dan pelepasan unsur hara pada SRF

Daya tahan pupuk dilakukan dengan cara meneteskan air pada pupuk dengan tetesan air dari buret pada ketinggian 20 cm hingga pupuk larut (Gambar 2 (kiri)). Uji laju pelepasan unsur hara dilakukan dengan 2 cara, yaitu pengocokan dan perkolasi. Pengocokan dilakukan dengan pengekstrak akuades dan asam sitrat 2 % pada waktu pengocokan yaitu 0, 15, 30, 45, dan 60 menit. Setelah itu dilakukan pengukuran hara terlarut. Uji pelepasan unsur hara dengan metode perkolasi (Gambar 2 (kanan)) dilakukan selama satu bulan. Tiap minggu dilakukan penyiraman sesuai curah hujan rata-rata menggunakan akuades dan dilakukan pengukuran hara terlarut (N, P, dan K) dari perkolatnya. Gambar uji kelarutan pupuk dengan metode perkolasi disajikan pada Lampiran 3.

Sumber hara makro dan mikro

Coating

akrilik/kitosan (PM1A/PM1K)

Sumber hara mikro dan kitosan

Sumber hara makro

Coating

(24)

6

(a) (b)

Gambar 2. (a) Uji daya tahan pupuk dan (b) uji perkolasi Aplikasi SRF pada pembibitan A. crassicarpa

Aplikasi SRF dilakukan pada pembibitan A. crassicarpa. Media tanam yang digunakan adalah campuran antara gambut dan tanah mineral dengan perbandingan 3:1. Benih dan media tanam A. crassicarpa diperoleh dari areal

nursery HTI PT WKS, Jambi. Benih disemai selama dua minggu, kemudian

ditanam pada media tanam dalam polybag dengan volume 250 cm3.

Penelitian menggunakan 6 perlakuan (PM1, PM1A, PM1K, PM2, PM2A, dan PM2K. Masing-masing perlakuan dibandingkan dengan kontrol (media tanam tanpa pupuk) dan standar (pemupukan dengan dosis hara N yang sama dengan perlakuan). Banyaknya dosis pupuk yang diberikan pada media percobaan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Dosis pupuk yang berikan pada media tanam

Perlakuan

Dosis pemupukan bibit A. crassicarpa menggunakan dosis rekomendasi yaitu 5 kg/m3 pupuk NPK 15:15:15. Masing-masing perlakuan terdiri dari 5 ulangan. Dosis pemupukan dilakukan dengan dua dosis yaitu dosis 100 % pemupukan dan 50 % pemupukan.

(25)

7

Rancangan penelitian disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial, dengan model rancangan sebagai berikut:

Yijk = + i + j + ( )ij + ijk

Yijk = Variabel pengamatan pada faktor pupuk tanpa coating (PM1 dan PM2),

taraf keperlakuan dosis 50 % dan 100 %, faktor pupuk dengan coating

(PM1A, PM1K, PM2A, PM2K), taraf dosis 50 % dan 100 %, dengan lima ulangan ( , i, j) merupakan komponen aditif dari rataan, pengaruh

utama faktor pupuk tanpa coating dan pengaruh utama faktor pupuk dengan coating.

i, j = Komponen interaksi dari faktor pupuk tanpa coating dan dengan coating

= Rata-rata umum

ijk = Peubah acak unit eksperimen yang menyebar normal

Berdasarkan rancangan percobaan tersebut, selanjutnya dilakukan analisis ragam. Jika hasilnya menunjukkan signifikansi pada taraf = 0.05, maka dilanjutkan dengan uji lajut metode Duncan Multiple Range Test (DMRT) untuk mengetahui pengaruh masing-masing perlakuan dan interaksinya (Sudjana 2002).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Pupuk

Ukuran butiran hasil granulasi

Hasil blending menghasilkan pupuk berbentuk pasta, bertekstur kasar, dan lembab. Selanjutnya pasta ini dibentuk menjadi butiran dengan granulator melalui beberapa kali percobaan (trial & error) yang didasarkan pada kecepatan perputaran alat, kemiringan alat, kelembaban pupuk, dan lain sebagainya hingga didapatkan butiran pupuk yang diinginkan. Persentase perbandingan ukuran butir pupuk hasil granulasi disajikan pada Gambar 3.

(26)

8

Gambar 3. Persentase perbandingan ukuran hasil granulasi pupuk Karakteristik fisik

Penampakan pupuk tanpa coating (non-SRF) dan dengan coating (SRF) secara kualitatif disajikan pada Gambar 4. Secara umum pupuk berbentuk butir dan berwarna abu-abu hingga hitam. Secara fisual tampak bahwa SRF lebih berkilap daripada non-SRF. SRF menggunakan coating kitosan memiliki kilap seperti kilap lemak dan SRF menggunakan coating akrilik memiliki kilap yang lebih terang.

Gambar 4. Hasil formulasi pupuk non-SRF (PM1, PM2) dan SRF (PM1A, PM1K, PM2A, PM2K)

2% 4%

74% 20%

Tersisa pada mesin granulator Ukuran < 2 mm

(27)

9

Kandungan hara

Kandungan unsur hara pada pupuk disajikan pada Tabel 2. Kadar N hara pada pupuk berkisar antara 26.70-28.32 %. Kandungan unsur hara N dalam pupuk yang diformulasikan ini dengan dibuat cukup tinggi karena mengacu pada kebutuhan hara untuk pembibitan tanaman yang membutuhkan unsur N lebih banyak.

Tabel 3. Hasil analisis hara pupuk

Pupuk N P K Fe Cu Zn

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa unsur hara pada masing-masing pupuk hasil formulasi SRF dan non-SRF tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini berarti bahwa penambahan coating pupuk tidak berpengaruh terhadap kandungan hara pada pupuk.

Pelepasan Unsur Hara pada SRF

Daya tahan terhadap tetesan air

Hasil pengujian daya tahan pupuk terhadap tetesan air disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Daya tahan pupuk terhadap tetesan air hingga pupuk pecah

Berdasarkan Gambar 5, daya tahan pupuk ditunjukan dalam jumlah tetesan yang dibutuhkan hingga pupuk pecah. Berdasarkan gambar tersebut diketahui bahwa SRF dengan coating akrilik lebih tahan terhadap tumbukan air yaitu 6-7

PM1 PM1A PM1K PM2 PM2A PM2K

(28)

10

kali lipat dibandingkan non-SRF dan SRF dengan coating kitosan yaitu 3-4 kali lipat dibandingkan non-SRF.

Pelepasan unsur hara makro (N, P, dan K) melalui pengocokan dengan akuades dan asam sitrat 2 %

Hasil pengujian daya pelepasan unsur hara N, P, dan K disajikan pada Gambar 6, Gambar 7, dan Gambar 8. Nitrogen terlarut dengan pengekstrak akuades dan asam sitrat 2 % disajikan pada Gambar 6 (a dan b). Pengocokan hingga menit ke-30 menunjukkan bahwa N terlarut dari pupuk non-SRF lebih tinggi dibandingkan pupuk SRF. Hasil ini menunjukkan bahwa pupuk tanpa

coating menyebabkan N lebih mudah dan cepat terlarut.

(a)

(b)

Gambar 6. Hara N terlarut (a) akuades dan (b) asam sitrat 2 %

(29)

11

Pola pelarutan sama terlihat pada kelarutan unsur hara P dan K yang dapat dilihat pada Gambar 7 (a dan b) dan Gambar 8 (a dan b). Hara P dan K terlarut, baik pengocokan dengan pengekstrak akuades dan asam sitrat menunjukkan bahwa kelarutan pupuk tanpa coating lebih tinggi dibandingkan pupuk dengan

(30)

12

(a)

(b)

Gambar 8. Hara K terlarut (a) akuades dan (b) asam sitrat 2 %

Perbandingan antara hasil pengocokan SRF menggunakan coating (PM1A, PM1K, PM2A, dan PM2K) dengan bahan pengocok akuades tidak menunjukkan perbedaan yang jelas antara SRF menggunakan coating akrilik atau kitosan. Namun demikian, hasil pengocokan dengan asam sitrat 2 % menunjukkan kelarutan hara dari pupuk yang lebih tinggi pada PM1K dan PM2K daripada PM1A dan PM2A. Hal ini disebabkan oleh sifat kitosan yang larut pada asam lemah sedangkan akrilik tidak. Mekanisme pelarutan ini mengindikasikan bahwa penggunaan SRF dengan coating akrilik lebih cocok untuk tanah-tanah di Indonesia yang umumnya ialah tanah masam.

(31)

13

Pelepasan unsur hara mikro (Fe, Cu, dan Zn) pada pupuk dengan akuades dan asam sitrat 2 %

Data unsur mikro terlarut melalui pengocokan dengan akuades dan asam sitrat 2 % disajikan pada Tabel 4 – Tabel 9. Pelepasan unsur hara mikro oleh kedua pengekstrak tersebut menunjukkan hasil yang sama seperti pada hara makro terlarut, yaitu hara mikro terlarut pupuk non-SRF lebih tinggi dibandingkan dari pupuk SRF.

Tabel 4. Kadar Fe hasil ekstraksi pupuk dengan akuades

Pupuk Kadar Fe (ppm) pada pengocokkan menit ke- Kadar Fe total (ppm)

Pelarutan Fe dengan pengekstrak akuades yang berbeda terlihat pada PM1 dan PM2 ditunjukkan pada Tabel 4. Kelarutan Fe oleh akuades dari PM2, baik non-SRF maupun SRF menggunakan coating akrilik atau kitosan lebih rendah dibandingkan dari PM1 hingga pengocokan menit ke-60. Pola sama terjadi pada unsur Cu dan Zn yang ditunjukkan pada Tabel 5 dan Tabel 6. Pemberian kitosan sebanyak 0.5 % dari bobot keseluruhan pupuk pada saat blending dapat membentuk coating sehingga terjadi double coating untuk unsur hara mikro pada PM2A dan PM2K. Mekanisme ini menyebabkan unsur hara mikro lebih terhambat pelarutannya.

Tabel 5. Kadar Cu hasil ekstraksi pupuk dengan akuades

Perlakuan Kadar Cu (ppm) pada pengocokkan menit ke- Kadar Cu total (ppm)

Tabel 6. Kadar Zn hasil ekstraksi pupuk dengan akuades

(32)

14

Pelepasan unsur hara mikro dengan pengekstrak asam sitrat 2 % disajikan pada Tabel 7, Tabel 8, dan Tabel 9. Pada perlakuan PM1, PM1A, PM1K, PM2, PM2A, PM2K memiliki kadar hara terekstrak yang hampir sama. Hal ini karena asam sitrat mampu melarutkan kitosan, sehingga baik Fe, Cu, maupun Zn dapat terlepas dan berada pada larutan asam sitrat.

Tabel 7. Kadar Fe hasil ekstraksi pupuk dengan asam sitrat 2 %

Perlakuan Kadar Fe (ppm) pada pengocokan menit ke- Kadar Fe total (ppm)

Tabel 8. Kadar Cu hasil ekstraksi pupuk dengan asam sitrat 2 %

Perlakuan Kadar Cu (ppm) pada pengocokkan menit ke- Kadar Cu total (ppm)

Tabel 9. Kadar Zn hasil ekstraksi pupuk dengan asam sitrat 2 %

Perlakuan Kadar Zn (ppm) pada pengocokkan menit ke- Kadar Zn total (ppm)

Hal lainnya yang terlihat pada Tabel 8 dan Tabel 9 yaitu unsur mikro Cu dan Zn yang diekstrak dengan pengekstrak asam sitrat 2 % menunjukkan hasil ekstraksi yang mendekati kadar hara total di dalam pupuk. Hal ini sebenarnya tidak terjadi pada konsentrasi asam organik di lingkungan perakaran, karena konsentrasi asam organik pada lingkungan perakaran tidak mencapai konsentrasi pada asam sitrat 2 %. Oleh karena itu, ketersediaan unsur mikro di dalam lingkungan perakaran akan kurang dari kadar unsur mikro yang dilarutkan dengan asam sitrat 2 %. Akan tetapi pola ini tidak terjadi pada Fe.

Pelepasan unsur hara makro (N, P, dan K) melalui perkolasi

(33)

15 lebih lambat dibandingkan non-SRF pada minggu pertama hingga minggu keempat. Pola yang sama terjadi pada unsur hara P dan K yang ditunjukkan pada Gambar 10 dan Gambar 11. Selanjutnya dapat dilihat pula bahwa pada minggu

Total N PM1, PM1A, dan PM1K

0

(34)

16

keempat sudah terjadi pencucian N sebesar 71.03 % dari total hara pada pupuk PM1, 53.67 % dari PM1A, 53.27 % dari PM1K, 72.33 % dari PM2, 54.93 % dari PM2A, dan 51.32 % dari PM2K. Hal ini menunjukkan bahwa sampai minggu keempat, sekitar separuh unsur hara masih tertahan di dalam pupuk.

(a)

Total P PM1 Total P PM1A Total P PM1K

0

(35)

17

Lambatnya pelepasan hara hingga minggu keempat juga terlihat pada unsur hara P. Berdasarkan Gambar 10 diketahui bahwa data perkolasi pada

Total K PM1 Total K PM1A Total K PM1K

0

(36)

18

Hal yang sama juga terlihat pada unsur hara K. Berdasarkan Gambar 11 diketahui bahwa pada minggu ke-4 sudah terjadi pencucian sebesar 83.05 % dari total hara pada pupuk dari PM1, 52.26 % dari PM1A, 41.93 % dari PM1K, 77.94 % dari PM2, 53.54 % dari PM2A, dan 52.09 % dari PM2K.

Pengaruh Pupuk terhadap Pertumbuhan Bibit A. crassicarpa

Pengaruh pupuk terhadap pertumbuhan bibit A. crassicarpa dilakukan dengan mengevaluasi pertumbuhan tinggi tanaman, diameter batang, bobot kering tanaman, biomassa akar, dan root/shoot ratio. Pengamatan pertumbuhan tinggi tanaman dilakukan pada 0-12 minggu setelah tanam (MST). Sedangkan pengukuran diameter batang, bobot kering tanaman, dan root/shoot ratio

dilakukan bibit A. crassicarpa umur 12 MST.

Tinggi tanaman

Pengaruh pemberian pupuk pada dosis 50 % terhadap tinggi bibit A.

crassicarpa pada 12 MST disajikan pada Gambar 12 (a). Berdasarkan hasil

analisis statistik, perlakuan pupuk (PM1 dan PM2) berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman daripada kontrol (K) dan standar (STD). Gambar 12 (b) terlihat bahwa perlakuan SRF tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman dibandingkan dengan non-SRF. Walaupun demikian, secara umum terlihat ada kecenderungan tinggi bibit A. crassicarpa pada SRF lebih besar daripada non-SRF. Pola pengaruh pemberian pupuk ini juga tampak sama pada dosis 100 % (Gambar 13). (a) (b)

Angka pada diagram batang yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 % menurut uji DMRT (uji selang berganda Duncan)

Keterangan : N (PM1, PM2) = non-SRF (tanpa coating pupuk) A (PM1A, PM2A) = SRF menggunakan coating akrilik K (PM1K, PM2K) = SRF menggunaka coating kitosan

Gambar 12. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap tinggi tanaman pada dosis 50 %

c

Perlakuan pupuk dosis 50 %

(37)

19

Gambar 12 menunjukkan bahwa perlakuan pupuk STD meningkatkan tinggi tanaman sebesar 33.01 % terhadap K, sedangkan perlakuan PM1 sebesar 76.07 %, PM1A sebesar 89.47 %, PM1K sebesar 80.38 %, PM2 sebesar 66.99 %, PM2A 82.77 %, dan PM2K 82.30 %.

Pengaruh pemberian pupuk terhadap tinggi tanaman pada dosis 100 % disajikan pada Gambar 13 (a) dan pengaruh coating pupuk pada Gambar 13 (b). Berdasarkan gambar tersebut diketahui bahwa pemberian PM1 meningkatkan tinggi tanaman sebesar 97.13 % daripada K %, PM1A sebesar 86.60 %, PM1K sebesar 99.52 %, PM2 sebesar 100.96 %, PM2A sebesar %, dan 110.53 %.

(a) (b)

Gambar 13. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap tinggi tanaman pada dosis 100 %

Hal menarik lainnya dapat dilihat pada Gambar 14, Gambar 15, Gambar 16, dan Gambar 17. Pertumbuhan tinggi bibit A. crassicarpa dengan perlakuan non-SRF lebih tinggi dibandingkan SRF pada 1-6 MST, baik pada dosis pemupukan 50 % maupun 100 %. Hal ini dapat terjadi karena unsur hara pada perlakuan non-SRF lebih cepat larut dan tersedia bagi tanaman pada awal penanaman daripada perlakuan SRF. Secara kualitatif, gambar bibit A.

crassicarpa pada 5 MST dapat dilihat pada Lampiran 5, Lampiran 6, Lampiran 7,

dan Lampiran 8.

Perlakuan SRF mulai lebih tinggi pertumbuhannya daripada non-SRF pada 7 MST dan seterusnya hingga 12 MST. Hal ini terjadi karena perlakuan SRF masih konsisten memberikan unsur hara untuk tanaman hingga 12 MST. Sebaliknya, pencucian unsur hara yang cepat pada perlakuan non-SRF menyebabkan tanaman kekurangan unsur hara sehingga pertumbuhan tanaman melambat. Gambar bibit A. crassicarpa 12 MST dapat dilihat pada Lampiran 9

Perlakuan pupuk dosis 100 %

0

(38)

20

Gambar 14. Pengaruh pemberian PM1, PM1A, dan PM1K terhadap pertumbuhan bibit A. crassicarpa dosis 50 % pada0-12 MST

(39)

21

Gambar 16. Pengaruh pemberian PM1, PM1A, dan PM1K terhadap pertumbuhan bibit A. crassicarpa dosis 100 % pada 0-12 MST

Gambar 17. Pengaruh pemberian PM2, PM2A, dan PM2K terhadap pertumbuhan bibit A. crassicarpa dosis 100 % pada 0-12 MST

Diameter batang

Pengaruh pupuk terhadap diameter batang pada perlakuan dosis 50 % dan 100 % disajikan pada Gambar 18 dan Gambar 19. Diameter batang perlakuan SRF dan non-SRF berpengaruh nyata terhadap K dan STD. Perlakuan SRF tidak berbeda nyata dengan perlakuan non-SRF. Namun, pada masing-masing perlakuan terlihat bahwa perlakuan SRF memiliki diameter batang lebih besar dibandingkan perlakuan non-SRF. Tampak pula bahwa pada perlakuan SRF

(40)

22

coating kitosan (PM1K dan PM2K) memiliki diameter batang lebih besar

dibanding dengan SRF coating akrilik (PM1A dan PM2A).

(a) (b)

Gambar 18. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap diameter batang pada dosis 50 %

Berdasarkan Gambar 18, yaitu pada dosis 50 % diketahui bahwa pemberian pupuk STD hanya meningkatkan diameter batang sebesar 6.86 % daripada K, sedangkan PM1 meningkatkan diameter batang hingga 54.90 %, PM1A sebesar 66.18 %, PM2K sebesar 70.88 %, PM2 sebesar 70.59 %, PM2A sebesar 69.12, dan PM2K sebesar 78.43 %.

(a) (b)

Gambar 19. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap

diameter batang pada dosis 100 % b b

Perlakuan pupuk dosis 50 %

0,15

Perlakuan pupuk dosis 100 %

0,15

(41)

23

Gambar 19 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan diameter batang pada perlakuan PM1 sebesar 81.37 % daripada K, PM1A sebesar 85.78 %, PM1K sebesar 87.25 %, PM2 sebesar 62.25 %, PM2A sebesar 78.92 %, dan PM2K sebesar 92.65 %.

Bobot kering

Pengaruh pemberian pupuk terhadap bobot kering bibit A. crassicarpa

pada perlakuan dosis 50 % dan dosis 100 % disajikan pada Gambar 20 dan Gambar 21. Berdasarkan Gambar 20 terlihat bahwa perlakuan SRF dan non-SRF, baik pada PM1 dan PM2 berpengaruh nyata terhadap bobot kering bibit A.

crassicarpa daripada K, tetapi tidak berbeda nyata dengan STD. Pemberian SRF

pada perlakuan dosis 50 % dan 100 % berpengaruh tidak nyata terhadap non-SRF. Namun SRF cenderung lebih tinggi dibandingkan non-SRF.

(a) (b)

Gambar 20. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap bobot kering pada dosis 50 %

Gambar 20 menunjukkan bahwa pemberian pupuk STD meningkatkan bobot kering tanaman sebesar 233 % daripada K. Sedangkan pemberian pupuk dosis 50 % pada PM1 meningkatkan bobot kering tanaman sebesar 399 %, PM1A sebesar 463 %, PM1K sebesar 450 %, PM2 sebesar 413 %, PM2A sebesar 364 %, dan PM2K sebesar 469 %.

Berdasarkan Gambar 21 tampak bahwa perlakuan SRF dan non-SRF pada dosis pupuk 100 % berpengaruh sangat nyata daripada K dan berpengaruh nyata daripada STD. Perlakuan SRF tidak berbeda nyata dengan non-SRF yang dapat dilihat pada Gambar 18 (kanan). Pemberian PM1 meningkatkan bobot kering tanaman sebesar 453 % terhadap K, PM1A sebesar 464 %, PM1K sebesar 516 %, PM2 sebesar 515 %, PM2A sebesar 586 %, dan PM2K sebesar 723 %.

Perlakuan pupuk dosis 50 %

(42)

24

(a) (b)

Gambar 21. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap bobot kering pada dosis 100 %

Biomassa akar dan root/shoot ratio

Biomassa akar merupakan rasio tajuk-akar yang umumnya memiliki sumbangan biomassa berbeda-beda. Hairiah et al. (2007) menyatakan bahwa nilai ratio tajuk akar tergantung dari kondisi lahan. Pada suatu keadaan tanah yang buruk, estimasi kadar biomassa di bawah tanah untuk keadaan pohon yang baik yaitu tidak kurang dari 15 % dari biomassa di atas tanah (Mac Dicken, 1997). Cairns et al. (1997) mengemukakan bahwa biomassa di bawah permukaan tanah yang baik yaitu memiliki sumbangan hingga 40 % dari total biomassa.Persentase biomassa akar terhadap biomassa tanaman dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Biomassa dan persentase biomassa akar

Perlakuan pada perlakuan dosis 50 % dan 100 %. Selain itu, tampak bahwa perlakuan PM2 memiliki biomassa yang lebih besar dbandingkan PM1.

c

Perlakuan pupuk dosis 100 %

(43)

25

Root/shoot ratio dari biomassa bibit A. crassicarpa merupakan

perbandingan antara biomassa akar dengan biomassa pucuk (batang dan daun). Pengaruh pupuk terhadap root/shoot ratio bibit A. crassicarpa pada perlakuan dosis 50 % dan dosis 100 % disajikan pada Gambar 22 dan Gambar 23.

(a) (b)

Gambar 22. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap

root/shoot ratio pada dosis 50 %

(a) (b)

Gambar 23. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap

root/shoot ratio pada dosis 100 %

Berdasarkan Gambar 22 terlihat bahwa masing-masing perlakuan saling tidak berbeda nyata satu dengan yang lainnya. Akan tetapi tampak bahwa perlakuan PM1 dan PM2 cenderung lebih besar dibandingkan K dan STD. Pada perlakuan coating pupuk terlihat bahwa pupuk dengan coating kitosan memiliki

root/shoot ratio yang lebih besar dibandingkan dengan pupuk tanpa coating dan

dengan coating akrilik.

0,10

Perlakuan pupuk dosis 50 %

0,10

Perlakuan pupuk dosis 100 %

0,10

(44)

26

Berdasarkan Gambar 23 ditunjukkan bahwa SRF dan non-SRF pada PM2 berpengaruh nyata terhadap root/shoot ratio daripada K dan STD, namun SRF dan non-SRF pada PM1 tidak berbeda nyata. Seperti halnya pada perlakuan dosis 50 %, perlakuan coating pupuk tidak berbeda nyata dengan tanpa coating. Walaupun demikian, tampak jelas bahwa perlakuan coating, baik akrilik maupun kitosan memiliki root/shoot ratio yang lebih besar dibandingkan non-SRF.

KESIMPULAN

1. Formulasi pupuk mengandung hara N, P, K, Fe, Cu, dan Zn yang digranulasi menghasilkan 74 % pupuk berbentuk granul dengan ukuran 2-5 mm.

2. Formulasi SRF lebih resisten terhadap tumbukan air daripada non-SRF. Uji kelarutan pupuk dengan pengekstrak akuades dan asam sitrat 2 % serta uji perkolasi menggunakan akuades menunjukkan bahwa SRF dapat menahan kelarutan unsur hara lebih lama dibandingkan non-SRF.

3. Formulasi pupuk SRF coating akrilik lebih resisten terhadap kelarutan dengan asam sitrat 2 %; hal ini mengindikasikan bahwa coating akrilik lebih cocok untuk tanah masam.

4. Pupuk SRF dengan penambahan kitosan saat pencampuran unsur mikro, sebelum dicampurkan dengan unsur makro, granulasi, dan coating memiliki kelarutan hara mikro yang lebih rendah dibandingkan pupuk tanpa kitosan saat pra-coating.

5. Perlakuan pemberian SRF dan non-SRF berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, diameter batang, bobot kering, biomassa akar, dan root/shoot ratio

bibit A. crassicarpa dibandingkan dengan K dan STD. Perlakuan pemberian SRF tidak berbeda nyata dengan non-SRF, namun perlakuan pemberian SRF cenderung lebih besar pada tiap parameter pengamatan.

DAFTAR PUSTAKA

Cairns MA, Brown S, Helmer EH, Baumgardner GA. 1997. Root Biomass

allocation in the World’s Upland Forest. Oecologia 111: 1-11.

Chatzoudis G K, Rigas F. 1998. Macroreticular hydrogel effects on dissolution rate of controlled-release fertilizers. J. Agric. Food Chem. 46: 2830-2833. Clark NB, Balodis V, Guigan F and Jingsia W. 1991. Pulping properties of

tropical acacias, in : Turnbull JW (Ed.), Advances in Tropical Acacias Research: Proceedings of a Workshop held in Bangkok, Thailand, ACIAR Proceeding 35, pp.138-144.

(45)

27

Fernandez P M, Flores C F, Gonzalez P E, Villafranca S M, P6rez G S, Garrido H F J. 2004. Use of activated bentonites in controlled-release formulations of atrazine.J.Agric. Food Chem. 52: 3888-3893.

Girardi EA, Mourao Filho FAA, Graf CCD, Olic FB. 2005. Influence of soluble and slow-release fertilizers on vegetative growth of containerized citrus nursery trees. J Plant Nutr. 28:1465-1480.

Hairiah K dan Rahayu S. 2007. Pengukuran ‘karbon tersimpan’ di berbagai

macam penggunaan lahan. Bogor. World Agroforestry Centre – ICRAF,

SEA Regional Office, University of Brawijaya, Indonesia. 77p.

Hardwood CE, Haine MW and William ER. 1993. Early growth of Acacia crassicarpa in a seedling orchard at Melville Island, Australia, FAO/IBPGR For, Gen. Res. Inform. 21:46-53.

Huacai G, Wan P, Dengke L. (2006). Graft copolymerization of chitosan with acrylic acid under microwave irradiation and its water absorbency. Carbohydrate Polymers. 66: 372–378.

Jayusman. 1992. Laju pertumbuhan 12 jenis tanaman cepat tumbuh di Sialiali. Buletin Penelitian Kehutanan. 10:313-327.

MacDicken KG. 1997. A Guide to Monitoring Carbon Storage in Forestry and

Agroforestry Projects. USA: Winrock International Institute for

Agricultural Development. P: 56-58.

Oliet J, Planelles R, Segura M L, Artero F, Jacobs DF. 2004. Mineral nutrition and growth of containerized Pinus halepensis seedlings under controlled-release fertilizer. Sci Hort. 103:113-129.

Rosadi I. 2010. Studi Pemanfaatan Zeolit dan Bentonit Sebagai Bahan Coating

pada Pembuatan Pupk Granul “Slow Release Fertilizer” [tesis].

Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Press.

Styana UIF. 2010. Penggunaan Metode Coating Campuran Zeolit dan Pati untuk Meningkatkan Keterikatan Nitrogen dan Kekuatan Pada Pupuk Granul [tesis].Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Press.

Sudjana. 2002. Desain dan Analisis Eksperimen. Bandung: Tarsito.

Sugita P, Sjahriza TWA, Wahyono, D. 2009. Kitosan Sumber Biomaterial Masa Depan. Bogor: IPB Press.

Suptijah P. 2012. Pengembangan Kitosan sebagai Absorben Pengotor dalam Aplikasi Pemurnian Agar dan Keragenan [disertasi]. Bogor (ID): IPB Press.

Tomaszewska M, Jarosiewicz A. 2002. Use of poly sulfone in controlled-release NPK fertilizer formulations. J. Agric. Food Chem. 50: 4634-4639.

Turnbull JW. 1986. Multipurpose australia trees and shrubs. Lesser known species for fuel wood agroforestry. Australia Centre for International Agriculture Research (ACIAR), Canberra.

[UNIDO] United Nations Industrial Development Organization, [IFDC] International Fertilizer Development Center. 1998. Fertilizer Manual. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Walker RF, Huntt CD. 1999. Growth and nutrition of containerized singleleaf pinyon seedlings in response to controlled released fertilization. Arid Soil

(46)

28

LAMPIRAN

(a)

(b)

Lampiran 1. (a) Skema tahapan pembuatan kitosan dan (b) struktur kimia kitosan

Demineralisasi

Dekantasi dan Pencucian

Deproteinasi

Dekantasi dan Pencucian Limbah Udang

Pencucian dan pengeringan

Kitin

Deasetilasi

Dekantasi dan Pencucian HCl 1 N 1:7

NaOH 3.5 % 1:10

NaOH 50 % 1:10

90°, 1 Jam

90° C, 1 Jam

110 °C; 2 jam

(47)

29

a. Pencampuran bahan sumber hara N dengan bahan humat

b. Pencampuran sumber hara P, K, Fe, Cu, Zn dan filler

c. Pencampuran semua bahan pupuk

d. Granulasi pupuk menggunakan granulator

(48)

30

Lampiran 3. Gambar tahap coating pupuk

Lampiran 4. Gambar uji kelarutan pupuk dengan metode perkolasi Granulator skala

laboratorium

Sprayer Dryer

(49)

31

Lampiran 5. Gambar bibit A.crassicarpa 5 MST (K, STD, PM1, PM1A, dan

PM1K) pada dosis 50 %

(50)

32

Lampiran 7. Gambar bibit A.crassicarpa 5 MST (K, STD, PM1, PM1A, dan

PM1K) pada dosis 100 %

(51)

33

Lampiran 9. Gambar bibit A. crassicarpa 12 MST pada dosis 50 %

(52)

34

Lampiran 11. Pertumbuhan tinggi tanaman (cm) tiap satuan MST

(53)
(54)

36

Lampiran 12. Hasil pengukuran diameter batang, bobot kering (daun, batang, akar), dan root/shoot ratio

(55)
(56)

38

Lampiran 13. Tabel ANOVA pengaruh pupuk terhadap berbagai parameter pengamatan bibit A. crassicarpa

a. Tinggi tanaman dosis 50 %

Source DF SS MS F Value Pr > F

Pupuk 3 1425.964417 475.321472 16.40 <.0001

Coating 2 49.13866700 24.569333 0.85 0.4378

Interaction 2 7.410667000 3.705333 0.13 0.8804

Error 32 927.5040000 28.984500

Corrected total 39 2410.017750

b. Tinggi tanaman dosis 100 %

Source DF MS F Value Pr > F

Pupuk 3 19.02371083 6.34123694 4.60 0.0087

Coating 2 0.37016000 0.18508000 0.13 0.8749

Interaction 2 0.47954667 0.23977333 0.17 0.8412

Error 32 44.12556000 1.37892375

Corrected total 39 63.99897750

c. Diameter batang dosis 50 %

Source DF SS MS F Value Pr > F

Pupuk 3 0.13440571 0.04480190 18.39 <.0001

Coating 2 0.00298327 0.00149163 0.61 0.5483

Interaction 2 0.00086660 0.00043330 0.18 0.8379

Error 32 0.07795920 0.00243623

Corrected total 39 0.21621478

d. Diameter batang dosis 100 %

Source DF SS MS F Value Pr > F

Pupuk 3 0.19156750 0.06385583 27.78 <.0001

Coating 2 0.00690500 0.00345250 1.50 0.2379

Interaction 2 0.00312500 0.00156250 0.68 0.5139

Error 32 0.07355000 0.00229844

Corrected total 39 0.27514750

Corrected total 39 63.29949750

f. Bobot kering dosis 100 %

(57)

39

g. Root/shoot ratio dosis 50 %

Source DF SS MS F Value Pr > F

Pupuk 3 0.04271973 0.01423991 1.79 0.1683

Coating 2 0.02425562 0.01212781 1.53 0.2326

Interaction 2 0.00129417 0.00064709 0.08 0.9219

Error 32 0.25412663 0.00794146

Corrected total 39 0.32239615

h. Root/shoot ratio dosis 100 %

Source DF SS MS F Value Pr > F

Pupuk 3 0.20570093 0.06856698 5.68 0.0031

Coating 2 0.03940091 0.01970045 1.63 0.2112

Interaction 2 0.00252752 0.00126376 0.10 0.9009

Error 32 0.38608583 0.01206518

Corrected total 39 0.63371518

(58)

40

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar
Gambar 1. Perbedaan karakteristik SRF coating akrilik dan kitosan pada (a) PM1
Tabel 2. Dosis pupuk yang berikan pada media tanam
Gambar 3. Persentase perbandingan ukuran hasil granulasi pupuk
+7

Referensi

Dokumen terkait