(Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor)
Oleh: Thresa Jurenzy
I34070062
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor)
Oleh:
THRESA JURENZY
I34070062
SKRIPSI
Sebagai Syarat Untuk Mendapatkan Gelar
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada
Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia
Indonesia frequently hit by disaster like flood, earthquake, tsunami, volcano eruption and many others. All of these disasters will give physical and non physical impacts. Therefore, disaster management should be implemented. In disaster management, preparedness and mitigation are very important to reduce disaster risks. This research investigates about community socioculture characteristics, preparedness and mitigating systems and correlations between them. The research was conducted in Katulampa administrative village, which is passed by Ciliwung river and potentially flooding. Research popolation is the victims of flood on February 2010. The research methods are quantitative and qualitative. The research found that community of Katulampa has socioculture characteristics that very important in disaster and environment, such as social stratification, institutions, social cohesion, local wisdom and knowledge and attitude. Preparedness and mitigating systems in Katulampa is not implemented yet. Quantitatively, sociocultural characteristics like wealth stratification, education and knowledge and attitude of community in Katulampa has no correlations with preparedness and mitigating systems because the community is surrender and some of institutions does not work properly. Therefore, the community is not ready to face the posibility of flood yet.
THRESA JURENZY.KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DALAM KAITANNYA DENGAN KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA DI DAERAH RAWAN BENCANA (Studi Kasus: Kelurahan
Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor). Di bawah bimbingan Rilus A.
Kinseng
Beberapa tahun terakhir di Indonesia sering terjadi bencana dan
meninggalkan dampak bagi orang-orang yang mengalaminya. Bencana yang
sering melanda Indonesia adalah banjir, gempa, tsunami, tanah longsor dan
gunung meletus. Dampak yang diakibatkan dapat berupa dampak fisik maupun
non fisik. Oleh karena itu perlu diadakan kegiatan penanggulangan bencana yang
berfungsi untuk mengurangi dampak yang diakibatkan oleh bencana. Kegiatan
penanggulangan bencana terdiri atas kesiapsiagaan, mitigasi, peringatan dini,
tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Akan tetapi, untuk dapat
mengurangi resiko terjadinya bencana, maka perlu dilakukan peningkatan
kesiapsiagaan dan mitigasi. Setiap masyarakat memiliki karakteristik sosial
budaya tertentu yang berhubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi terhadap
bencana. Karakteristik sosial budaya ini berbeda antara suatu masyarakat dengan
masyarakat lainnya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji karakteristik sosial budaya
masyarakat, kesiapsiagaan dan mitigasi, serta hubungan keduanya berkaitan
dengan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana di Kelurahan
Katulampa. Kelurahan Katulampa merupakan daerah yang dialiri sungai besar,
yaitu Ciliwung. Daerah ini sangat rentan untuk mengalami banjir dan sudah
pernah mengalami banjir dalam satu tahun terakhir. Penelitian ini menggunakan
didapatkan melalui wawancara mendalam dengan menggunakan panduan
pertanyaan. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data
primer didapatkan dari hasil kuesioner dan wawancara mendalam, sedangkan data
sekunder didapatkan dari buku, jurnal, hasil penelitian, monografi kelurahan dan
Ciliwung.
Karakteristik sosial budaya yang dikaji dalam penelitian ini adalah
stratifikasi sosial, kelembagaan, kohesi sosial, kearifan lokal dan pengetahuan dan
sikap yang berkembang di dalam masyarakat. Upaya pencegahan bencana yang
dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya bencana adalah dengan
kesiapsiagaan dan mitigasi. Kesiapsiagaan dan mitigasi ini diduga berhubungan
dengan karakteristik sosial budaya masyarakat, sehingga dapat dilihat sejauh
mana kesiapan masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Katulampa memiliki
karakteristik sosial yang terdiri atas kelembagaan, stratifikasi sosial, kohesi sosial,
kearifan lokal dan pengetahuan dan sikap. Akan tetapi karakteristik sosial budaya
ini tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi,
sehingga masyarakat masih belum memiliki kesiapan yang matang dalam
MASYARAKAT
Judul Skripsi : Karakteristik Sosial Budaya Masyarakat dalam Kaitannya
Dengan Kesiapsiagaan dan Mitigasi Bencana di Daerah Rawan Bencana (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor)
Nama Mahasiswa : Thresa Jurenzy Nomor Mahasiswa : I34070062
Mayor : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
dapat diterima sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA. NIP. 19590506 198703 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DALAM
KAITANNYA DENGAN KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA DI DAERAH RAWAN BENCANA” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Februari 2011
di Kota Bukittinggi. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, anak
dari pasangan suami istri Jumardi, S.Pd dan Resnetty. Penulis telah menempuh
pendidikan sekolah dasar di SDN 09 Belakang Balok, dilanjutkan di SMP Negeri
1 Bukittinggi dan SMA Negeri 2 Bukittinggi. Kemudian penulis melanjutkan
pendidikannya di Institut Pertanian Bogor, jurusan Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat dengan jalur masuk Ujian Seleksi Masuk IPB
(USMI).
Pada saat duduk di bangku SMA, penulis mengikuti Menuju Olimpiade
Sains Indonesia 2+ tingkat Kota Bukittinggi. Penulis juga aktif dalam organisasi,
baik pada masa sekolah maupun di tingkat perguruan tinggi. Pada saat SMP,
penulis mengikuti Forum Studi Islam dengan kedudukan sebagai ketua Divisi
Hubungan Masyarakat. Ketika SMA, penulis juga aktif dalam organisasi ekstra
kurikuler sekolah yaitu Sanggar Konsultasi Remaja (SKR) sebagai Ketua Umum.
Selain itu, penulis juga aktif di Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dengan
posisi sebagai Ketua Sub Unit SKR.
Di bangku kuliah, penulis juga mengikuti berbagai organisasi
kemahasiswaan. Pada tahun 2008/2009, penulis mengikuti Organisasi Mahasiswa
Daerah Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang Bogor sebagai Ketua Divisi Hubungan
Luar. Tahun 2009/2010 penulis aktif menjadi Badan Pengawas Anggota Ikatan
Pelajar Mahasiswa Minang Bogor, dan terakhir penulis juga aktif di Divisi
Jurnalistik Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan
Selain organisasi kemahasiswaan, penulis juga aktif dalam berbagai
kepanitiaan dalam acara-acara yang diadakan oleh organisasi kemahasiswaan.
Penulis aktif dalam kepanitiaan Masa Perkenalan Departemen dan Masa
Perkenalan Fakultas (2009), Indonesia Ecology Expo (2008), Bukti Cinta
Lingkungan (2009), Ecology Sport Event (2010), Let’s Get The Essential of CSR
(2010), Seminar Lahan Gambut Berkelanjutan (2010) dan Konser Amal Mini
(2010).
Peneliti juga aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan pengasahan
kemampuan di luar bidang akademis dan organisasi, yaitu pelatihan dan magang.
Peneliti pernah mengikuti Pelatihan Pendampingan Korban Bencana Alam yang
diadakan oleh Pusat Studi Bencana- IPB (2010), magang di Institute for Research
dan karunia- Nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat gelar Sarjana
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah Karakteristik Sosial Budaya
Masyarakat dalam Kaitannya Dengan Kesiapsiagaan dan Mitigasi Bencana di
Daerah Rawan Bencana (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor
Timur, Kota Bogor).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik sosial budaya yang
terdapat di dalam masyarakat serta hubungannya dengan kesiapsiagaan dan
mitigasi bencana sebagai salah satu upaya penanggulangan bencana. Dengan
melihat hubungan tersebut dapat di peroleh kesiapan masyarakat dalam
menghadapi bencana banjir, khususnya di daerah rawan bencana banjir.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkaitan
dengan penanggulangan bencana, yaitu bagi akademisi terutama penulis,
pemerintah dan masyarakat.
Bogor, Februari 2011
karunia- Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi tepat pada waktunya. Selama penelitian dan penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan dukungan materil maupun moril dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku dosen pembimbing yang telah dengan
sabar membimbing, memberikan saran dan masukan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
2. Dr Satyawan Sunito selaku dosen penguji utama yang telah memberikan
masukan dan arahan kepada penulis.
3. Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS selaku dosen penguji kedua yang juga telah
memberikan saran dan arahan kepada penulis.
4. Ir. Hadiyanto, MS selaku dosen penguji petik yang telah memberikan banyak
masukan dalam format penulisan kepada penulis.
5. Papa, Mama, dan Viona yang senantiasa mencurahkan kasih sayang,
memanjatkan do’a, memberikan dukungan, semangat dan motivasi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi.
6. Aris Safrudin, yang selalu memberikan segala motivasi, semangat, dukungan,
dan perhatiannya selama penelitian dan penulisan skripsi ini.
7. Ibu Zakiyah dan seluruh warga RT 3 RW I Kelurahan Katulampa yang
membantu penulis untuk mendapatkan informasi dan data.
8. Ma’rifatu Rodiah dan keluarga yang telah menerima dan memberikan
dukungan kepada penulis.
9. Sahabat-sahabat terbaikku Eka, Dian, Tita, Kidut, Akira, Dewi, Mutia dan Ira.
10. KPM 44 yang telah mengajarkan banyak hal kepada penulis. Semoga kita
menjadi orang-orang yang sukses. Amin.
DAFTAR ISI
1.4 Kegunaan Penelitian ... 4
2.1 Tinjauan Pustaka ... 5
2.1.1 Bencana Alam dan Daerah Rawan Bencana Alam ... 5
2.1.2 Kesiapsiagaan dan Mitigasi ... 6
2.1.3 Karakteristik Sosial ... 10
2.2 Kerangka Pemikiran ... 18
2.3 Hipotesis Penelitian ... 19
2.3.1 Hipotesis Uji ... 19
2.3.2 Hipotesis Pengarah ... 20
2.4 Definisi Operasional ... 20
BAB III PENDEKATAN LAPANG ... 23
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 23
3.2 Metode Penelitian ... 23
3.3 Jenis dan Sumber Data ... 24
3.4 Teknik Penentuan Responden dan Informan ... 24
3.5 Teknik Analisis Data ... 25
4.1 Kelurahan Katulampa ... 27
4.1.1. Kondisi Fisik ... 27
4.1.2. Kependudukan dan Kelembagaan ... 28
4.2 Sungai Ciliwung ... 31
BAB V KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT ... 33
5.1 Kelembagaan ... 33
5.3 Stratifikasi Sosial ... 39
5.4 Kearifan Lokal ... 45
5.5 Pengetahuan dan Sikap ... 47
BAB VI KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA ... 58
6.1 Kesiapsiagaan ... 58
6.2 Mitigasi ... 67
BAB VII KESIAPAN MASYARAKAT DI DAERAH RAWAN BENCANA ... 76
BAB VIII PENUTUP ... 88
8.1 Kesimpulan ... 88
8.2 Saran ... 91
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Katulampa tahun 2008 ... 28 Tabel 2. Mata Pencaharian Masyarakat Kelurahan Katulampa tahun 2008 ... 29 Tabel 3. Kelembagaan Kelurahan Katulampa tahun 2008 ... 30 Tabel 4. Pengetahuan Mengenai Rawan Bencana oleh Responden Korban Banjir,
Katulampa Tahun 2010 ... 48 Tabel 5. Pengetahuan Responden Mengenai Penyebab Banjir, Katulampa Tahun 2010
(N=30) ... 49 Tabel 6. Pengetahuan Responden Mengenai Akibat Banjir, Katulampa Tahun 2010
(N=30) ... 51 Tabel 7. Pengetahuan Responden Mengenai Cara Mengurangi Resiko Banjir, Katulampa
Tahun 2010 (N=30) ... 52 Tabel 8. Sebaran Responden Berdasarkan Tempat Pembuangan Sampah Rumah Tangga,
Katulampa Tahun 2010 ... 53 Tabel 9. Pengetahuan Responden Mengenai Partisipasi dalam Penanggulangan Banjir,
Katulampa Tahun 2010 (N=30) ... 54 Tabel 10. Sebaran Responden Berdasarkan Sikap Terhadap Alam, Katulampa Tahun
2010... 56 Tabel 11. Sebaran Responden Berdasarkan Kesiapsiagaan dan Respon Responden
terhadap Banjir Katulampa (2010) ... 60 Tabel 12. Sebaran Responden Berdasarkan Kepemilikan Asuransi ... 63 Tabel 13. Sebaran Responden Berdasarkan Usaha Pelestarian Pohon ... 68 Tabel 14. Sebaran Responden Berdasarkan Keikutsertaan Latihan dan Pendidikan Banjir,
Katulampa Tahun 2010 ... 71 Tabel 15. Hasil Korelasi Pearson antara Kesiapsiagaan dan Mitigasi dengan Ukuran
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ... 19
Gambar 2. Distribusi Debit Air Bendung Katulampa Januari-Oktober 2010 ... 32
Gambar 3. Sebaran Responden Berdasarkan Pendapatan ... 41
Gambar 4. Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 42
Gambar 5. Stratifikasi Responden Berdasarkan Kekayaan ... 43
Gambar 6. Sebaran Responden Berdasarkan Pendidikan ... 44
Gambar 7. Sebaran Responden Berdasarkan Kondisi Bangunan Rumah ... 70
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian ... 97
Lampiran 2. Panduan Pertanyaan untuk Informan ... 101
Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian ... 103
Lampiran 4. Peta Daerah Rawan Bencana Kelurahan Katulampa ... 104
1.1 Latar Belakang
Beberapa tahun terakhir Indonesia sering dilanda bencana. Posisi
Indonesia yang berada di antara tiga lempeng besar dunia telah mengakibatkan
Indonesia menjadi sangat rentan terhadap bencana. Selain itu terdapat beberapa
faktor lain yang menimbulkan bencana. Faktor lainnya adalah akibat kerusakan
ekologi, yang akar permasalahannya adalah manusia. Beberapa bencana besar
yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir adalah gempa dan tsunami Aceh
(2004), gempa Nias (2006), gempa Jogjakarta dan Jawa Tengah (2006), gempa
dan tsunami Pangandaran (2006), banjir Jakarta (2007), gempa Bukittinggi
(2007), lumpur Sidoarjo (2006), jebolnya Situ Gintung (2009), gempa
Tasikmalaya (2009), gempa Padang (2009), longsor Ciwidey (2009), dan berbagai
bencana lainnya. Semua bencana ini telah merenggut banyak korban jiwa dan
mengakibatkan berbagai kerugian fisik dan kerugian materil bagi korbannya.
Psikologis masyarakat yang menjadi korban maupun tidak menjadi korban pun
ikut terganggu.
Bencana telah mengakibatkan penderitaan yang mendalam bagi korban
dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Kerugian tidak hanya dialami oleh
masyarakat, akan tetapi juga dirasakan oleh pemerintah. Untuk mengatasi dan
mengurangi kerugian tersebut, diadakanlah kegiatan penanggulangan bencana.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, penanggulangan bencana adalah serangkaian kegiatan yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
bencana ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, tapi
juga lembaga-lembaga lain yang ikut membantu dan tanggap dalam bencana
seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bahkan, masyarakat pun juga ikut
dalam usaha penanggulangan bencana.
Usaha penanggulangan bencana harus dimulai sedini mungkin, yaitu
sebelum terjadinya bencana di daerah yang tergolong rawan bencana. Perspektif
penanggulangan bencana ini telah berubah seiring dengan pertambahan jumlah
bencana yang terjadi di Indonesia. Pada awalnya penanggulangan bencana
dipusatkan pada usaha yang dilakukan setelah terjadinya bencana, seperti tanggap
darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Akan tetapi, perspektif ini telah bergeser
menjadi penanggulangan bencana yang dimulai sejak sebelum terjadinya bencana,
yaitu peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dan upaya untuk mengurangi resiko
bencana (mitigasi). Bencana tidak pernah diketahui kapan akan melanda suatu
daerah, untuk itu dibutuhkan kesiapan orang-orang yang akan menghadapi
bencana, terutama di daerah rawan bencana.
Kesiapsiagaan dan mitigasi bencana merupakan usaha yang dilakukan
untuk dapat mengurangi dampak yang terjadi akibat bencana. Usaha pengurangan
resiko bencana ini melibatkan berbagai pihak yang sangat terkait dengan bencana.
Pihak-pihak tersebut adalah pemerintah, LSM, masyarakat dan lembaga lainnya
yang ikut membantu dalam penanggulangan bencana. Begitu pula pada usaha
yang dilakukan saat terjadinya bencana dan setelah terjadinya bencana sangat
dipengaruhi oleh pihak-pihak yang berkaitan dalam masalah ini.
Upaya peningkatan kesiapan dan tindakan penanggulangan bencana sangat
yang mempengaruhi adalah kelembagaan sosial, derajat kohesivitas, stratifikasi
sosial masyarakat, dan pengetahuan lokal masyarakat. Semua karakteristik sosial
budaya ini mungkin dimiliki oleh masyarakat dan dapat digunakan sebagai modal
bagi masyarakat untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana dan mengurangi
resiko bencana dan dapat mempengaruhi tindakan yang diambil oleh masyarakat
pada saat terjadinya bencana dan setelah terjadinya bencana, sehingga dapat
dilihat tingkat kesiapan yang dimiliki oleh masyarakat di daerah rawan bencana
dalam menghadapi kemungkinan bencana yang akan terjadi. Akan tetapi,
karakteristik sosial yang dimiliki oleh masyarakat ini juga dapat menjadi kendala
dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana.
Fokus penelitian ini adalah daerah rawan bencana yang berada di
Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Daerah ini adalah
daerah yang tergolong rawan bencana banjir karena berada pada aliran Sungai
Ciliwung dan berada pada pintu air Bendungan Katulampa yang debit airnya
sering naik pada beberapa bulan terakhir. Pada Februari 2010 lalu daerah ini
mengalami banjir bandang dan merugikan kurang lebih 80 rumah tangga yang
mengalami langsung akibat banjir ini. Daerah ini juga termasuk ke dalam daerah
rawan banjir menurut peta rawan bencana Kelurahan Katulampa.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Apa saja karakteristik sosial budaya yang ada di dalam masyarakat Kelurahan
Katulampa khususnya yang berkaitan dengan masalah bencana dan
2. Bagaimanakah hubungan karakteristik sosial budaya yang dimiliki oleh
masyarakat dengan upaya kesiapsiagaan dan mitigasi bencana di Kelurahan
Katulampa?
3. Bagaimanakah kesiapan masyarakat Kelurahan Katulampa dalam
menghadapi bencana?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat ditentukan tujuan
penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengkaji karakteristik sosial budaya masyarakat di Kelurahan
Katulampa, khususnya yang berkaitan dengan masalah bencana dan
lingkungan hidup.
2. Untuk mengkaji hubungan karakteristik sosial budaya masyarakat Kelurahan
Katulampa dengan upaya kesiapsiagaan dan mitigasi bencana.
3. Untuk mengkaji kesiapan masyarakat Kelurahan Katulampa dalam
menghadapi bencana.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dapat berguna bagi berbagai pihak yang terkait, terutama
bagi akademisi dan perguruan tinggi. Penelitian ini dapat berguna bagi perguruan
tinggi sebagai salah satu wujud dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu bidang
penelitian dan peningkatan pengetahuan mengenai kesiapan masyarakat dalam
menghadapi bencana yang dikaitkan dengan karakteritik sosial yang dimiliki oleh
masyarat sehingga dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai usaha
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Bencana Alam dan Daerah Rawan Bencana Alam
Bencana merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang memberikan
kerugian yang besar pada masyarakat, yang bersifat merusak, merugikan dan
mengambil waktu yang panjang untuk pemulihannya (Sugiantoro dan Purnomo,
2010). Pengertian ini lebih diperjelas lagi dalam UU Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, bencana merupakan peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang menganggap bencana
merupakan suatu kejadian yang murni disebabkan oleh alam. Padahal, bencana
tidak hanya diakibatkan oleh faktor alam, tapi juga nonalam dan manusia. Namun,
dalam penelitian ini akan difokuskan pada bencana alam. Menurut Lindell dan
Prater (2003), bencana alam terjadi akibat adanya suatu keadaan geologi,
metereologi dan hidrologi yang sangat besar dan mengakibatkan komunitas tidak
mampu untuk mengatasinya.
Sugiantoro dan Purnomo (2010) dalam bukunya juga mendefinisikan
bencana alam sebagai suatu kejadian yang bersifat alami dan berasal dari alam.
UU Nomor 24 tahun 2007 mengenai Penanggulangan Bencana, mendefinisikan
peristiwa yang disebabkan oleh, antara lain berupa tsunami, gempa bumu, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.
Di Indonesia, banyak daerah yang rentan atau memiliki ancaman bencana
yang cukup besar. Ancaman bencana merupakan kemungkinan suatu kejadian
dapat menimbulkan bencana. Ancaman bencana ini menimbulkan kerawanan di
daerah-daerah yang ancaman bencananya besar. Rawan bencana merupakan suatu
keadaan geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya,
politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu
yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan
mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk dari bahaya tertentu
(UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana).
2.1.2 Kesiapsiagaan dan Mitigasi
Penanggulangan bencana merupakan segala upaya dan kegiatan yang
dilakukan meliputi kegiatan pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan pada saat
sebelum terjadinya bencana serta penyelamatan pada saat bencana, rehabilitasi
dan rekonstruksi setelah terjadinya bencana (Sekretariat Bakornas PB, 2009).
Dalam tulisan Fothergill dan Peek (2004) menjelaskan kegiatan-kegiatan yang
dilakukan dalam penanggulangan bencana terdiri dari kesiapsiagaan yang terdiri
atas peringatan bahaya. Kegiatan selanjutnya adalah tanggap darurat, pemulihan,
dan terakhir rekonstruksi.
Kegiatan pencegahan merupakan usaha yang dilakukan untuk mengurangi
dan menghilangkan resiko bencana melalui tindakan pengurangan ancaman dan
usaha yang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana melalui peningkatan
kualitas fisik dan peningkatan kesadaran, pengetahuan dan kemampuan dalam
menghadapi bencana. Kesiapsiagaan merupakan suatu usaha yang dilakukan
untuk menghadapi kemungkinan datangnya bencana melalui kegiatan-kegiatan
peningkatan kemampuan untuk menghadapi kemungkinan bencana. Tanggap
darurat merupakan kegiatan yang dilakukan sesaat setelah terjadinya bencana
untuk menanggulangi semua kemungkinan dampak yang terjadi akibat bencana,
penanganan pertama terhadap korban bencana dan upaya penyelamatan korban
terhadap kemungkinan bencana susulan.
Kesiapsiagaan dan mitigasi juga didefinisikan dalam UU Nomor 24 tahun
2007 mengenai Penanggulangan Bencana. Kesiapsiagaan merupakan serangkaian
kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian
serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Mitigasi merupakan
serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana baik melalui pembangunan
fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan dalam menghadapi
bencana.
Kegiatan yang dapat dilakukan dalam kesiapsiagaan (UU No. 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana) yaitu:
1. Penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana.
2. Pengorganisasian, pengujian, dan pemasangan sistem peringatan dini.
3. Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar.
4. Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme
tanggap darurat.
6. Penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap
darurat.
7. Penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan
pemulihan prasarana dan sarana.
Sedangkan kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan adalah (UU No. 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana):
1. Pelaksanaan penataan ruang.
2. Pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur dan tata ruang.
3. Penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan baik secara modern
maupun secara konvensional.
Tindakan pencegahan dibagi menjadi dua yaitu mitigasi dan
kesiapsiagaan. Mitigasi dibagi menjadi dua, yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif
(BNPB, 2008). Kegiatan mitigasi pasif yang dapat dilakukan adalah:
1. Penyusunan peraturan perundang-undangan.
2. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.
3. Pembuatan pedoman/ standar/ prosedur.
4. Pembuatan poster/ brosur/ leaflet.
5. Penelitian/ pengkajian karakteristik bencana.
6. Pengkajian/ analisis resiko bencana.
7. Internalisasi penanggulangan bencana dalam muatan lokal pendidikan.
8. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
9. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum.
Sedangkan mitigasi aktif dilakukan dengan cara:
1. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, larangan, dan bahaya
memasuki daerah rawan bencana.
2. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan ruang,
ijin mendirikan bangunan, dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan
pencegahan bencana.
3. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.
4. Pemindahan penduduk dari daerah rawan bencana ke daerah yang lebih aman.
5. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.
6. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika
terjadi bencana.
7. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi mencegah, mengamankan, dan
mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti tanggul, dam,
penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya.
Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana terindetifikasi akan
terjadi. Upaya yang dapat dilakukan dalam kegiatan ini adalah:
1. Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya.
2. Pelatihan siaga/ simulasi/ gladi/ teknis bagi setiap sektor penanggulangan
bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum).
3. Inventarisasi sumberdaya pendukung kedaruratan.
4. Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/ logistik.
5. Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna
mendukung tugas kebencanaan.
7. Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan).
8. Mobilisasi sumberdaya (personil, dan sarana/prasarana peralatan).
2.1.3 Karakteristik Sosial 2.1.3.1 Kelembagaan
Lembaga biasa dikenal sebagai lembaga sosial, pranata sosial, atau
institusi sosial. Lembaga merupakan suatu sistem norma untuk mencapai suatu
tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau sekumpulan
kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada kegiatan pokok manusia, dan
prosesnya terstruktur untuk melakukan berbagai kegiatan tertentu (Horton dan
Hunt, 1999). Selain itu, Raharjo (2004) menyimpulkan bahwa lembaga
merupakan suatu kompleks nilai dan norma yang berpusat pada kepentingan atau
tujuan tertentu. Lembaga dapat diciptakan dengan sengaja dan tidak dengan
sengaja. Lembaga yang ditumbuhkan secara sengaja adalah lembaga pendidikan,
hutang piutang, dan lainnya. Sedangkan lembaga yang tidak sengaja ditumbuhkan
adalah adat istiadat, kepercayaan, pernikahan, dan lainnya. Tonny (2004)
menyatakan dalam laporan penelitiannya, kelembagaan mengarahkan perilaku
individu dan masyarakat agar sejalan dengan tujuan umum yang ditetapkan.
Setiap masyarakat memiliki lembaga-lembaga kemasyarakatan tanpa
memperdulikan apakah masyarakatnya adalah masyarakat bersahaja atau
masyarakat modern. Kelembagaan sosial ini memiliki wujud konkrit yaitu asosiasi
(Soekanto, 2003). Lembaga bersifat dinamis dan selalu berubah dari waktu ke
waktu seiring dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat (Raharjo,
2004). Menurut Horton dan Hunt (1999), lembaga dasar yang sangat penting
perekonomian, dan pendidikan. Hal ini hampir serupa dengan yang disampaikan
oleh Sunarto (1993), sejumlah institusi utama adalah institusi di bidang ekonomi,
politik, keluarga, pendidikan dan agama yang kemudian menghasilkan cabang
khusus dalam sosiologi.
Fungsi kelembagaan masyarakat dalam kehidupan masyarakat menurut
Soekanto (2003) adalah:
1. Memberikan pedoman bertingkah laku kepada anggota masyarakat dalam
menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat terutama mengenai
kebutuhan-kebutuhan.
2. Menjaga keutuhan masyarakat.
3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem kontrol
sosial atau pengendalian sosial, mengawasi tingkah laku anggotanya.
Menurut Horton dan Hunt (1999), fungsi lembaga terdiri atas fungsi
manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes merupakan fungsi lembaga yang
diharapkan oleh orang-orang akan terpenuhi. Misalnya, keluarga memlihara
anak-anaknya, lembaga ekonomi untuk menghasilkan dan memenuhi kebutuhan
ekonomi. Sedangkan fungsi laten kelembagaan adalah konsekuensi lembaga yang
tidak dapat dihindari dan diramalkan. Fungsi laten ini kadang mendukung fungsi
manifes, tidak relevan atau menjatuhkan fungsi manifes.
Ciri-ciri kelembagaan menurut Gillin dan Gillin dalam Soemardjan dan
Soemardi (1964) adalah:
1. Kelembagaan merupakan sebuah organisasi konseptual dan pola kebiasaan
2. Tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga
kemasyarakatan.
3. Terdiri atas satu atau beberapa tujuan tertentu.
4. Kelembagaan masyarakat merupakan alat untuk mencapai tujuan kelembagaan,
yaitu bangunan, alat-alat, mesin, perabotan dan lainnya.
5. Simbol merupakan karakterisik lembaga kemasyarakatan.
6. Lembaga kemasyarakatan memiliki tradisi tertulis atau tidak tertulis yang
merumuskan tujuan, tata tertib yang berlaku dan lainnya.
Pengembangan kelembagaan merupakan proses dimana anggota-anggota
masyarakat meningkatkan kapasitas kelembagaannya untuk memobilisasi dan
mengelola sumberdaya untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang
berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup sesuai dengan aspirasi mereka
(Tonny, 2004). Gillin dan Gillin yang dikutip oleh Soekanto (2003) lembaga
kemasyarakatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Crescive institutions dan enacted institutions. 2. Basic institutions dan subsidiary institutions.
3. Approved atau social sanctioned-institutions dan unsanctioned institutions. 4. General institutions dan restricted institutions.
5. Operative institutions dan regulative institutions.
Perbedaan antara organisasi dan kelembagaan menurut Knight (1992) adalah,
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kelembagaan merupakan aturan-aturan
sedangkan organisasi merupakan sekumpulan orang yang terlibat dalam
kelembagaan tersebut.
Persiapan dalam tahap penanggulangan bencana menurut Lindell dan
Parter (2003) salah satunya adalah dengan menentukan dan mengkoordinasikan
organisasi yang bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana. Organisasi
tersebut harus mendapatkan sumberdaya yang dapat digunakan dalam
penanggulangan bencana seperti fasilitas, anggota dan alat bantu.
2.1.3.2 Derajat Kohesi Sosial Masyarakat
Kohesivitas kelompok atau masyarakat merupakan karakteristik sosial
yang sangat penting didalam masyarakat. Menurut Cartwright dan Zander (1968)
yang dikutip oleh Hadipranata (1986), kohesivitas merupakan derajat kekuatan
ikatan yang berperan dalam keanggotaan kelompok. Lebih lanjut lagi, kohesivitas
merupakan kekuatan interaksi diantara anggota kelompok dalam suatu kerjasama.
Masyarakat lebih ditentukan oleh sosialisasi atau interaksi yang memiliki
kohesivitas sehingga kelompok tersebut berdiri bersama-sama (Shaw, 1971 dalam
Hadipranata, 1986).
Johnson dan Johnson (1975) sebagaimana dikutip oleh Ramdhani dan
Martono (1996) mengartikan kohesivitas kelompok sebagai suatu keadaan
kelompok yang sudah membentuk kohesi, yang ditandai dengan kapasitas
kelompok tersebut untuk mempertahankan keanggotaan anggotanya sehingga
akan bekerjasama dengan kompak dalam mencapai tujuan bersama. Di lain pihak,
kelompok merupakan keadaan yang mendorong anggota kelompok untuk tetap
tinggal dalam kelompok dan mencegahnya meninggalkan kelompok. Sebuah
kelompok dikatakan sudah kohesif apabila terdiri dari anggota yang berusaha
untuk mengaktualisasikan berbagai kemampuan untuk mencapai kehendak
bersama (Ramdhani dan Martono, 1996).
Dion (1973) dalam Ramdhani dan Martono (1996) melaporkan bahwa
dalam kelompok yang kohesif, komunikasi lebih lancar, kooperatif, dan lebih
dimungkinkan untuk memberikan koreksi yang positif. Kohesivitas juga membuat
anggota kelompok saling mempengaruhi dengan kuat, bahkan membuat
kesepakatan kelompok yang kompak dalam pengambilan keputusan kelompok
(Festinger dkk, 1950 dalam Hadipranata, 1986).
Penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2005) mengenai penanggulangan
bencana berbasis masyarakat menemukan bahwa hubungan kekerabatan yang
sangat erat dan nilai gotong royong yang sangat tinggi dapat membantu
masyarakat dalam kesiapsiagaan bencana.
2.1.3.3 Stratifikasi Sosial
Pada setiap masyarakat terdapat stratifikasi sosial atau pelapisan sosial.
Stratifikasi sosial menurut Sorokin (1959) dalam Soekanto (1990) adalah
pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat,
sedangkan menurut Sunarto (1993) stratifikasi sosial merupakan pembedaan
anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya
Ukuran yang biasa digunakan untuk menggolongkan anggota masyarakat
1. Unsur kekayaan, dimana lapisan teratas biasanya yang memiliki kekayaan
paling banyak. Kekayaan bisa berbentuk rumah, kendaraan, dan pakaian.
2. Ukuran kekuasaan, lapisan teratasnya adalah yang paling memiliki kekuasaan
atau wewenang terbesar.
3. Ukuran kehormatan, dimana orang-orang yang paling dihormati dan disegani
berada di lapisan teratas.
4. Ukuran ilmu pengetahuan, dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu
pengetahuan. Terkadang berakibat negatif karena yang dihargai adalah
gelarnya bukan ilmu yang dimilikinya.
Fothergill dan Peek (2004) dalam tulisannya menyatakan bahwa
penanggulangan bencana dipengaruhi oleh status sosial ekonomi masyarakat.
Pendidikan dan pendapatan memiliki hubungan dengan kegiatan-kegiatan yang
dilakukan dalam tahap persiapan untuk menghadapi bencana. Ditemukan bahwa
masyarakat yang memiliki pendapatan yang lebih tinggi lebih siap dalam
menghadapi bencana seperti kepemilikan terhadap asuransi, alat-alat yang
digunakan dalam masa tanggap darurat dan memperkuat keadaan rumah mereka.
Hal ini juga dijelaskan oleh Brym (2009) dalam tulisannya yang berjudul
Hurricane Katrina and The Myth of Natural Disaster dalam bukunya Sociology as a Life or Death Isuues bahwa antara masyarakat yang berada pada kelas lebih tinggi dengan masyarakat yang berada pada kelas lebih rendah tidak memiliki
keseimbangan kekuatan dalam menghadapi badai Katrina. Masyarakat yang
berada di kelas lebih rendah bertempat tinggal di daerah yang sangat rentan untuk
mengalami banjir, sedangkan masyarakat yang berada di kelas lebih tinggi dapat
lebih rendah adalah masyarakat berkulit hitam yang telah lama didiskriminasi dan
masyarakat miskin serta orang-orang tua.
2.1.3.4 Kearifan Lokal
Kearifan lokal atau istilah lainnya yaitu pengetahuan lokal, pengetahuan
tradisional, local knowledge, atau local wisdom. Pengertiannya menurut Shaw
(2008) adalah segala sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya
tertentu dan mencerminkan gaya hidup suatu masyarakat tertentu. Dalam hal
pelestarian lingkungan, terdapat aturan tertentu dalam pengeksploitasian
lingkungan biofisik, dengan hukum sosial tertentu berdasarkan pengalaman
empirik manusia dan pelanggaran terhadap aturan tersebut memberikan sanksi
kepada pelanggarnya, sehingga kelestarian alam dapat dijaga (BPP-PSPL, 2005).
Pada umumnya masyarakat memiliki kearifan tradisional dalam mengelola
sumberdaya alam sekaligus dalam hal pemanfaatannya (Wirasena, 2010).
Kearifan lokal merupakan cara-cara dan praktik-praktik yang dikembangkan oleh
sekelompok masyarakat, yang berasal dari pemahaman mendalam mereka
mengenai lingkungan setempat, yang terbentuk dari tempat tinggal mereka secara
turun menurun (Shaw, 2008).
Karakteristik penting yang dimiliki oleh kearifan lokal di dalam
masyarakat adalah berasal dari dalam masyarakat itu sendiri, disebarluaskan
secara non formal, dimiliki secara kolektif oleh masyarakat yang bersangkutan,
dikembangkan selama beberapa generasi dan mudah diadaptasi, dan tertanam di
dalam kehidupan masyarakat untuk bertahan hidup (Shaw, 2008). Kearifan lokal
masa sekarang. Nilai-nilai budaya diturunkan dari nenek moyang, berkembang
dari lahir dan dari generasi ke generasi (Pattinama, 2009).
Berdasarkan penelitian yang diadakan Gunawan (2007) ditemukan bahwa
kearifan lokal dan semangat gotong royong masyarakat sangat berperan dalam
sistem peringatan dini sebelum terjadinya bencana, karena masyarakat telah lama
tinggal di daerah tersebut dan mengenal keadaan alam lebih baik dibandingkan
dengan yang lainnya.
2.1.3.5 Pengetahuan dan Sikap
Soekanto (2003) menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil
penggunaan panca indranya sehingga menimbulkan kesan di dalam pikirannya.
Pengetahuan masyarakat mengenai hutan diklat dalam penelitian Garnadi (2004)
hanya terkait dengan hal-hal yang menyangkut kebutuhan hidup mereka saja,
sedangkan mengenai pengelolaan hutan masih kurang diketahui oleh masyarakat.
Masyarakat juga memiliki sikap yang tidak terlalu menentang dan juga tidak
terlalu mendukung terhadap hutan diklat dan pengelolaannya.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Yusra (1998) mengenai
pengetahuan dan sikap pasangan usia subur mengenai gizi seimbang dan
pemasaran sosial ditemukan bahwa pengetahuan mereka masih tergolong rendah,
sedangkan sikapnya sudah tergolong tinggi. Akan tetapi dalam prakteknya,
pasangan usia subur masih tergolong rendah. Praktek gizi seimbang tersebut
2.2 Kerangka Pemikiran
Bencana datang kepada masyarakat secara tiba-tiba dan tidak dapat
diprediksi kapan akan melanda suatu masyarakat. Dampak yang diakibatkan oleh
bencana sangat besar dan bersifat merugikan. Bagi masyarakat yang mengalami
bencana, dapat mengalami kehilangan nyawa, harta benda dan gangguan
psikologis. Untuk itu diperlukan suatu upaya yang bertujuan untuk mengurangi
dampak yang akan melanda masyarakat tersebut. Upaya tersebut adalah upaya
penanggulangan bencana yang terdiri atas upaya pencegahan, tanggap darurat dan
penanggulangan pasca bencana. Perspektif penanggulangan bencana yang
awalnya berpusat pada penanggulangan pasca bencana, kini telah berubah
menjadi perspektif penanggulangan bencana melalui tindakan pencegahan.
Tindakan pencegahan yang bertujuan untuk mengurangi resiko bencana ini terdiri
atas kesiapsiagaan dan mitigasi.
Kegiatan pencegahan ini ditujukan untuk meningkatkan kesiapan
masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. Akan tetapi,
kesiapan masyarakat ini yang terintegrasi dalam upaya mitigasi dan kesiapsiagaan
dapat dipengaruhi oleh karakteristik sosial budaya yang dimiliki oleh
masyarakat.Karakteristik sosial tersebut adalah kelembagaan, kohesi sosial,
stratifikasi sosial, kearifan lokal, dan pengetahuan dan sikap yang sudah tertanam
di dalam masyarakat. Kelima dimensi karakteristik sosial budaya ini
mempengaruhi upaya pencegahan dan pengurangan resiko bencana dan akan
Hubungan antara karakteristik sosial budaya dengan kesiapan masyarakat
dalam menghadapi bencana dapat dijelaskan pada Gambar 1 berikut ini:
Keterangan:
Hubungan
2.3 Hipotesis Penelitian 2.3.1 Hipotesis Uji
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis
penelitian sebagai berikut:
1. Kelembagaan memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi.
2. Derajat kohesi sosial masyarakat memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan
dan mitigasi.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Karakteristik sosial dan budaya
Kelembagaan Kohesi Sosial Sratifikasi Sosial Kearifan Lokal
Kesiapan Pencegahan Bencana
Kesiapsiagaan
Mitigasi
3. Stratifikasi sosial di dalam masyarakat memiliki hubungan dengan
kesiapsiagaan dan mitigasi.
4. Kearifan lokal masyarakat memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan
mitigasi.
5. Pengetahuan dan sikap masyarakat memliki hubungan dengan kesiapsiagaan
dan mitigasi.
2.3.2 Hipotesis Pengarah
Kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana di daerah rawan bencana
berhubungan positif dengan karakteristik sosial budaya yang dimiliki oleh
masyarakat, terkait dengan pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pengurangan
resiko bencana.
2.4 Definisi Operasional
Rumusan definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Individu/ Rumah Tangga
a.Stratifikasi Sosial
Unsur kekayaan, dapat diukur melalui aset rumah tangga, dengan skor:
Rentang Kelas 1 : Rendah
Rentang Kelas 2 : Sedang
Rentang Kelas 3 : Tinggi
Ukuran ilmu pengetahuan, dapat diukur melalui tingkat pendidikan
dengan skor:
Tidak bersekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD : Rendah
Tamat SMA dan Perguruan tinggi : Tinggi
b.Pengetahuan, sikap dan tindakan mengenai lingkungan dan bencana
Pengetahuan mengenai rawan bencana
Penyebab banjir
Akibat banjir
Cara mengurangi resiko banjir
Aktor yang berperan serta dalam penanggulangan banjir
Sikap terhadap tanaman/ pohon
Sikap terhadap kelestarian alam
Ketergantungan hidup terhadap alam
Sikap terhadap alam yang memberikan manfaat
Sikap terhadap pohon-pohon yang memiliki penunggu
c.Kesiapsiagaan merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya
bencana.
Asuransi
Jenis asuransi
Pengamanan barang berharga saat banjir
Pelaksanaan evakuasi
Persiapan persediaan makanan ketika ada tanda-tanda banjir
Pengamanan barang berharaga ketika ada tanda-tanda banjir
Pendidikan mengenai kebencanaan kepada anggota keluarga
d.Mitigasi merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk mengurangi resiko
terjadinya bencana.
Keadaan fisik rumah
Jarak rumah dari pinggiran sungai
Kegiatan penebangan pohon
Kegiatan pelestarian pohon
Latihan pencegahan dan penanganan banjir
Jenis rumah
Pendidikan umum mengenai banjir
Pembangunan tanggul, bendungan atau dam
e. Kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana yaitu suatu keadaan
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor
Timur. Pemilihan lokasi ini didasarkan atas potensi bencana yang terdapat di desa
tersebut atau daerah yang tergolong rawan bencana. Kelurahan Katulampa
tergolong daerah rawan bencana berdasarkan peta daerah rawan bencana Kota
Bogor. Daerah Katulampa memiliki potensi yang sangat besar untuk dilanda
banjir karena posisinya yang berada di daerah aliran Sungai Ciliwung yang sudah
seringkali menenggelamkan Kota Jakarta. Daerah ini juga pernah mengalami
banjir bandang yang sangat merugikan masyarakat pada bulan Februari 2010 lalu.
Daerah penelitian dilaksanakan khususnya di RT 5 RW I dan RT 3 RW IX yang
merupakan daerah rawan banjir sesuai dengan peta rawan bencana yang dapat
dilihat pada Lampiran 4 dan Lampiran 5. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Juli-Agustus 2010 untuk penjajakan awal dan penelitian lanjutan akan
dilaksanakan pada bulan Oktober- November 2010.
3.2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian survai dengan tipe
decriptive-explanotory research, yaitu penelitian penjelasan yang menghubungkan antar variabel-variabel penelitian dengan menguji hipotesa yang telah dirumuskan
sebelumnya (Singarimbun dan Effendi, 1989) dan menjelaskan secara deskriptif
keadaan yang ditemukan di lapangan. Pendekatan dalam penelitian ini
Pendekatan kualitatif ini menggunakan kuesioner yang dibagikan kepada
responden. Sedangkan pendekatan kualitatif digunakan dengan pengumpulan data
melalui wawancara mendalam dan menggali pemahaman responden secara
subjektif sehingga dapat mendukung data kuantitatif.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer berasal dari kuesioner yang dibagikan kepada responden
dan data pendukung berupa wawancara mendalam terhadap responden. Data
sekunder diperoleh dari hasil dokumentasi dan studi literatur melalui hasil
penelitian sebelumnya, dapat berupa jurnal, skripsi, tesis, disertasi, makalah,
informasi dari internet dan karya ilmiah lainnya.
Kuesioner yang dibagikan kepada responden terdiri atas pertanyaan
tertutup dan pertanyaan semi tertutup. Selain itu pertanyaan yang diberikan juga
dalam bentuk skala Lickert sehingga dapat diketahui mengenai sikap responden
mengenai objek penelitian.
3.4 Teknik Penentuan Responden dan Informan
Populasi studi ini mencakup masyarakat yang berada di daerah rawan
bencana yaitu Kelurahan Katulampa di Kecamatan Bogor Timur, khususnya
masyarakat yang pernah mengalami bencana banjir pada Februari 2010 lalu.
Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik convenience sampling dimana
sampel yang diambil adalah orang yang ada ditempat tersebut dan berdasarkan
data korban banjir Februari 2010 lalu yang terdaftar di dalam daftar korban banjir.
penelitian sudah berkurang akibat banjir, sehingga responden diambil berdasarkan
ketersediaan. Sebelumnya telah dilakukan teknik pengambilan responden secara
acak, kemudian dilanjutkan dengan teknik convenience sampling untuk
melanjutkan pengambilan responden karena jumlah rumah tangga yang tetap
tinggal di daerah penelitian sudah berkurang atau pindah rumah karena banjir.
Jumlah responden yang diambil adalah sebanyak 30 rumah tangga.
Wawancara dilakukan pada salah satu anggota rumah tangga yaitu suami atau
istri. Kuesioner untuk data kuantitatif diberikan kepada responden dan ditinggal di
tempat penelitian karena responden merasa lebih baik untuk ditinggal, sehingga
mereka dapat mengisi data dengan tenang dan tidak terburu-buru. Responden juga
merasa tidak nyaman dalam menjawab pertanyaan apabila ditanyakan langsung.
Informan yang diwawancarai adalah tokoh masyarakat yang ada di daerah
tersebut serta orang yang memiliki hubungan dengan penelitian ini. Data kualitatif
juga didapatkan melalui wawancara kepada informan melalui pendekatan
terhadap informan dengan cara tinggal di daerah penelitian dan ikut kegiatan yang
dilaksanakan di daerah tersebut.
3.5 Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh secara kuantitatif dianalisis terlebih dahulu dengan
pengkodean data agar data lebih seragam. Setelah itu dilakukan penghitungan
persentase jawaban responden yang dibuat dalam bentuk tabel frekuensi. Data
tersebut dimasukkan ke dalam lembar kerja Microsoft Excel dan dilakukan
pengolahan data. Dari data kuantitatif yang telah terkumpul akan dilakukan
analisis uji korelasi dengan menggunakan uji korelasi Pearson untuk mengetahui
Untuk menentukan kelas responden maka digunakan rentang kelas
berdasarkan data yang didapatkan dari lapangan dengan rumus:
Klasifikasi = Nilai Maksimum-Nilai Minimum Banyaknya Kelas
Dengan menggunakan rumus ini maka didapatkan klasifikasi responden
berdasarkan banyak kelas yang diinginkan.
Data kualitatif dianalisis dengan mengumpulkan data yang telah dihimpun
selama penelitian berdasarkan wawancara mendalam dengan informan dan
responden. Setelah data dikumpulkan kemudian dilakukan pemisahan data-data
penting dan kemudian disimpulkan. Kemudian data tersebut digunakan sebagai
4.1 Kelurahan Katulampa 4.1.1. Kondisi Fisik
Kelurahan Katulampa merupakan salah satu kelurahan yang berada di
Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Kelurahan ini dialiri oleh salah satu sungai
besar di Jawa Barat, yaitu Ciliwung. Kelurahan Katulampa berada tidak jauh dari
pusat kota Bogor dengan jarak tempuh sekitar 15 menit. Kelurahan ini memiliki
luas 491 ha dengan jumlah Rukun Tetangga (RT) sebanyak 82 RT dan Rukun
Warga (RW) sebanyak 13 RW. Curah hujan rata-rata tiap tahunnya adalah 250
mm dengan suhu rata-rata harian 25o C. Kelurahan ini berada pada ketinggian 300
meter diatas permukaan laut. Berdasarkan letak geografis, Kelurahan Katulampa
berbatasan dengan kelurahan lain, yaitu:
a. Sebelah utara : Kelurahan Cimahpar
b. Sebelah timur : Kelurahan Tajur
c. Sebelah barat : Kelurahan Baranangsiang
d. Sebelah selatan : Desa Cibaon/ Sukaraja
Kelurahan Katulampa berada di dekat pusat Kota Bogor sehingga sangat
berpotensi untuk menjadi tempat pemukiman bagi orang-orang yang bekerja di
sekitar Kota Bogor maupun luar Kota Bogor karena aksesnya yang dekat dengan
Tol Jagorawi. Keadaan ini sangat mempengaruhi keadaan sosial dan ekonomi
penduduk Kelurahan Katulampa.
Sarana dan prasarana yang tersedia di kelurahan ini berupa sarana
Sarana transportasi yang tersedia di daerah ini berupa sarana transportasi darat
berupa ojeg sebanyak 65 buah. Sarana komunikasi dan informasi yang tersedia
berupa telepon umum, telepon rumah dan telepon genggam. Kelurahan
Katulampa memiliki 1 Puskesmas pembantu, 19 Posyandu, dan 2 rumah bersalin.
Sarana dan prasarana pendidikan yang ada di Kelurahan Katulampa berupa 2 buah
gedung SMA, 4 buah gedung SMP, 5 buah gedung SD, 2 buah TK dan 2 buah
lembaga pendidikan agama. Sarana dan prasarana kebersihan di Kelurahan
Katulampa berupa tempat pembuangan sementara yang tersebar di lima lokasi dan
13 tong sampah dengan 10 orang anggota Satgas kebersihan.
4.1.2. Kependudukan dan Kelembagaan
Luas Kelurahan Katulampa cukup besar, yaitu 491 Ha dengan jumlah
penduduk yang lumayan padat, yaitu 25.065 jiwa. Jumlah penduduk laki-lakinya
adalah 12.527 jiwa sedangkan penduduk perempuannya sebanyak 12.539 jiwa.
Total kepala keluarga yang mendiami kelurahan ini adalah 6.462 kepala keluarga
dengan kepadatan penduduk sebesar 510 jiwa per km2. Pendidikan masyarakat
Katulampa cukup merata dari tamatan SD hingga perguruan tinggi. Akses
terhadap sarana dan prasarana pendidikan tergolong mudah sehingga pendidikan
yang ditempuh juga cukup baik.
Tabel 1. Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Katulampa tahun 2008 No. Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk (orang)
1. Tidak tamat SD 146
2. Tamat SD 5598
3. Tamat SMP/ sederajat 4230
4. Tamat SMA/ sederajat 3864
5. Tamat perguruan tinggi 681
Sebagian besar masyarakat Katulampa beragama Islam. Agama lainnya
seperti Kristen, Hindu dan Budha hanya sebagian kecil saja. Mata pencaharian
masyarakat Kelurahan Katulampa paling banyak pada sektor informal yaitu
berdagang, tukang bangunan, tukang ojeg, petani dan buruh tani. Sedangkan pada
sektor formal hanyalah sebagian kecil saja.
Tabel 2. Mata Pencaharian Masyarakat Kelurahan Katulampa tahun 2008
No. Mata Pencaharian Jumlah
1. Petani 1851
2. Buruh tani 651
3. Pegawai negeri sipil 154
4. Pengrajin industri rumah tangga 7
5. Pedagang keliling 41
13. Pengusaha kecil dan menengah 10
14. Pengacara 7
15. Notaris 2
16. Dukun kampung terlatih 6
17. Jasa pengobatan alternatif 2
18. Dosen swasta 22
19. Arsitektur 7
20. Karyawan perusahaan swasta 3843
21. Karyawan perusahaan pemerintah 479
22. Lainnya (pedagang, tukang ojeg,
tukang bangunan)
9205
Organisasi masyarakat yang berkembang di Kelurahan Katulampa adalah
organisasi pemerintahan, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi ekonomi.
Organisasi yang berkembang di daerah ini di dukung oleh anggotanya.
Organisasi-organisasi yang berkembang di Kelurahan Katulampa dapat dilihat
dalam Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Kelembagaan Kelurahan Katulampa tahun 2008
No. Organisasi Masyarakat Jumlah Anggota (orang) Organisasi Pemerintahan
9. Organisasi keagamaan (MUI) 10
Organisasi Ekonomi
10. KUD 60
11. Simpan Pinjam 60
Sumber: Profil Desa dan Kelurahan Katulampa (2008)
Penelitian ini difokuskan di daerah yang mengalami banjir di Kelurahan
Katulampa yaitu RT 5 RW I dan RT 3 RW IX yang berada di pinggir sungai
Ciliwung. Rata-rata penduduk RT 5 RW I adalah pendatang yang berasal dari luar
daerah Bogor, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di daerah ini banyak
terdapat rumah yang disewakan atau dikontrakkan dan tidak banyak penduduk asli
penduduknya adalah penduduk asli. Kebanyakan dari penduduknya memiliki
hubungan darah satu sama lainnya.
4.2 Sungai Ciliwung
Sungai Ciliwung merupakan sungai yang berada dalam Satuan Wilayah
Sungai Ciliwung- Cisadane, dengan daerah tangkapan (daerah aliran sungai)
sepanjang lebih kurang 337 Km2. Daerah aliran Sungai Ciliwung dibagi menjadi
tiga (Munaf, 1992) yaitu:
a) DAS Ciliwung bagian I yang dimulai dari hulu sampai ke stasiun pengamat
Katulampa meliputi Kecamatan Kedunghalang, Cisarua dan Ciawi.
b) DAS Ciliwung bagian II yang dimulai dari stasiun pengamat Katulampa hingga
ke stasiun pengamat Ratujaya (Depok) meliputi Kecamatan Kedunghalang,
Kota Bogor, Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Depok.
c) DAS Ciliwung bagian III yang dimulai dari stasiun pengamat Ratujaya sampai
ke stasiun pengamat Rawajati (Kalibata) meliputi wilayah Kecamatan Depok,
Kecamatan Cimanggis, dan Jakarta.
Penelitian ini difokuskan di daerah aliran Sungai Ciliwung bagian
Katulampa. Bendungan Katulampa dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran yang
berfungsi untuk irigasi dan aliran Sungai Ciliwung yang mengalir ke Jakarta.
Rata-rata debit air yang mengaliri bendungan Katulampa dari Januari hingga
Gambar 2. Distribusi Debit Air Bendung Katulampa Januari-Oktober 2010 0
5.1Kelembagaan
Kelurahan Katulampa memiliki lembaga-lembaga yang berkembang di
tengah masyarakat. Lembaga ini merupakan wadah bagi
kelembagaan-kelembagaan yang tidak disadari telah menjadi bagian dari masyarakat, mengatur
dan memberi nilai-nilai dan norma-norma tertentu. Horton dan Hunt (1999)
menyatakan bahwa lembaga merupakan suatu sistem norma untuk mencapai suatu
tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau sekumpulan
kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada kegiatan pokok manusia, dan
prosesnya terstruktur untuk melakukan berbagai kegiatan tertentu.
Kelembagaan-kelembagaan yang terlihat lebih kuat mempengaruhi masyarakat adalah pada
bidang keagamaan. Kegiatan yang dilaksanakan sebagai aktifitas sosial dalam
kelembagaan berupa pengajian. Pengajian diadakan rutin dalam seminggu. Setiap
RT memiliki jadwal yang berbeda dengan jumlah pertemuan yang berbeda setiap
minggunya.
Nilai dan norma yang berkembang dalam kelembagaan ini adalah nilai dan
norma mengenai keagamaan. Nilai-nilai yang dianut diwujudkan dalam
kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama pengajian. Kegiatan pengajian ini gunanya adalah
untuk memanjatkan syukur dan do’a-do’a kepada Sang Pencipta agar kehidupan
mereka diberkahi serta memanjatkan do’a bagi orang-orang terdahulu.
Kelembagaan agama ini memperkuat hubungan masyarakat karena masyarakat
berbagi pengalaman. Namun dalam pengajian ini tidak ada materi yang
disampaikan baik dalam bidang agama maupun bidang kehidupan lainnya.
Sesuai yang dikemukakan oleh Gillin dan Gillin dalam Soemardjan dan
Soemardi (1964), kelembagaan agama ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Kelembagaan merupakan organisasi konseptual dan pola kebiasaan yang
terwujud melalui aktifitas sosial dan hasil-hasilnya. Kelembagaan agama yang
terwujud melalui aktifitas sosial berupa pengajian ini telah menjadi pola
kebiasaan masyarakat setempat. Kegiatan ini rutin dilakukan dan jarang
ditinggalkan oleh masyarakat. Pengajian merupakan organisasi yang terkonsep
dan memiliki kegiatan yang jelas dan dikonsep dengan rapi oleh anggotanya.
Pengonsepan kegiatan ini dilakukan bersama-sama seperti membahas masalah jadwal pelaksanaan dan pengonsepan do’a-do’a yang akan dipanjatkan. Selain
itu, mereka juga menentukan tempat dilaksanakannya pengajian. Biasanya
setiap rumah dalam RT tersebut mendapatkan giliran untuk menyediakan
tempat pengajian.
2. Tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga masyarakat.
Kegiatan pengajian ini telah lama dilaksanakan oleh masyarakat dan tidak
berubah dari dulu sampai saat ini.
3. Terdiri atas satu atau beberapa tujuan tertentu. Kegiatan pengajian ini
dilaksanakan atas tujuan tertentu. Tujuan yang ingin dicapai dengan adanya
pengajian ini adalah meningkatkan pendalaman mengenai agama, mendekatkan
4. Kelembagaan masyarakat merupakan alat untuk mencapai tujuan kelembagaan,
seperti alat-alat, bangunan, perabotan dan lainnya. Fungsi kelembagaan
masyarakat sama seperti alat-alat, bangunan dan perabotan yang membantu
untuk mencapai tujuan kelembagaan itu sendiri. Pada lembaga pengajian rutin
yang dilakukan oleh masyarakat setempat, kelembagaan menjadi wadah bagi
masyarakat dan juga menjadi alat yang digunakan untuk mencapai
tujuan-tujuannya.
5. Simbol merupakan karakteristik lembaga kemasyarakatan. Simbol yang
digunakan dalam kelembagaan ini adalah simbol keagamaan yaitu do’a-do’a
yang dipanjatkan. Simbol-simbol do’a ini dituangkan ke dalam tulisan yang
dimiliki oleh setiap anggota pengajian, dibawa dan dipanjatkan setiap kali
mereka mengadakan pengajian. Simbol yang berbentuk logo atau gambar tidak
ditemukan di dalam kelembagaan ini.
6. Lembaga masyarakat memiliki tradisi tertulis atau tidak tertulis yang
merumuskan tujuan, tata tertib yang berlaku dan lainnya. Pengajian yang
dilakukan secara rutin oleh masyarakat memiliki aturan-aturan yang tidak
tertulis. Dalam merumuskan aturan, masyarakat menggunakan musyawarah
dan mufakat dalam menentukan jadwal pelaksanaan, isi kegiatan dan tujuan
kegiatan.
Berdasarkan pengklasifikasian kelembagaan oleh Gillin dan Gillin dalam
Soekanto (2003), pengajian termasuk ke dalam Crescive Institution yaitu
kelembagaan primer yang tumbuh dari adat istiadat, yang salah satunya adalah
masyarakat dari dulu hingga sekarang dan menjadi arahan bagi masyarakat dalam
menguatkan keagamaan mereka.
Kelembagaan ekonomi lokal kurang berkembang di daerah ini. Kegiatan
yang berhubungan dengan perekonomian hanyalah sekitar jual-beli dan arisan.
Tidak adanya kelembagaan ekonomi ini menjadikan status ekonomi masyarakat
menjadi kurang berkembang karena tidak ada lembaga yang mampu untuk
mengekspresikan kreatifitas masyarakat dalam bidang ekonomi. Sedangkan arisan
hanyalah simpanan biasa yang kadang-kadang jumlah yang dituntut juga cukup
besar jika dibandingkan dengan penghasilan masyarakat dan tuntutan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kelembagaan ini tidak terlalu mengakar di
dalam masyarakat. Keterlibatan masyarakat tidak terlalu besar dan hanya
orang-orang tertentu yang mampu untuk mengikutinya, seperti masyarakat yang
memiliki kemampuan ekonomi yang sedikit berlebih dibandingkan dengan yang
lainnya.
Kelembagaan lain yang sangat berperan dalam kebencanaan adalah RT
dan RW sebagai perpanjangan tangan kelurahan dan penjaga bendungan.
Sistemnya adalah dari penjaga bendungan akan diberikan informasi mengenai
status debit air. Apabila debit air dirasa akan membahayakan dan dapat
mengakibatkan terjadinya banjir, maka pemerintah kelurahan akan menyampaikan
kepada masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan akan datangnya banjir
melalui ketua RT dan ketua RW. Selain RT dan RW, lembaga lain yang juga
sangat berperan adalah TAGANA (Taruna Siaga Bencana) yang dibentuk di
kecamatan. Anggota TAGANA tersebut merupakan perwakilan dari setiap
anggota TAGANA. Mereka berperan dalam meningkatkan kesiapsiagaan dan
mitigasi bencana bersama dengan pemerintah dan menjadi jembatan antara
pemerintah dengan masyarakat bersama ketua RT dan ketua RW apabila terjadi
banjir seperti yang diungkapkan oleh Bapak K (38 Tahun) sebagai anggota
TAGANA,
“... waktu air di Bendungan Katulampa naik, Bapak An yang ngejaga bendungan bakal ngasih kabar ke orang kelurahan. Dari kelurahan disampein ke Ketua RW, trus diterusin ke Ketua RT, baru disebar ke masyarakat untuk bersiap-siap. Kelurahan sama TAGANA juga bersiaga untuk kemungkinan terjadinya banjir...”
TAGANA bersama RT dan RW dilihat sebagai suatu kelembagaan yang
memiliki fungsi sebagai pengendali sosial, dimana mereka secara bersama-sama
mengendalikan masyarakat untuk dapat melakukan kegiatan kesiapsiagaan dalam
menghadapi kemungkinan terjadinya banjir apabila debit air Sungai Ciliwung
mulai meningkat.
5.2Derajat Kohesi Sosial
Masyarakat di dalam suatu daerah memiliki derajat ikatan antar individu
yang disebut dengan derajat kohesi sosial. Masyarakat dianggap sebagai suatu
kelompok besar yang anggotanya adalah individu-individu yang tergabung di
dalam masyarakat tersebut. Derajat kohesivitas dapat dilihat melalui interaksi
pada anggota masyarakat yang melakukan kerjasama (Cartwright dan Zander,
1968). Derajat kohesi sosial di daerah penelitian khususnya RT 5 RW I dan RT 3
RW IX memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut adalah derajat ikatan
masyarakatnya. Pada RT 5 RW I, masyarakatnya cenderung untuk berpindah dari
satu tempat ke tempat lain, sedikit yang menetap di daerah tersebut. Mobilitas