• Tidak ada hasil yang ditemukan

Private Forest Development Strategy in Kecamatan Logas Tanah Darat, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau Province.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Private Forest Development Strategy in Kecamatan Logas Tanah Darat, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau Province."

Copied!
255
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir dengan judul !"

#! $% #! # & # '( &)" *&* )" + $ # ,! * #

-%&. # & # # "#!"#!" ,/"#*" " &0 adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tugas ini.

Bogor, Februari 2011

(3)

Gusti Ratih Indriati, Private Forest Development Strategy in Kecamatan Logas Tanah Darat, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau Province. Under supervision of YUSMAN SYAUKAT and LUKMAN M. BAGA.

Private forest is a planted forest or natural forest that located on the formal documented of private land. Based on the formal regulation, the development of private land accommodates forestry species both from planted stands and natural stands. The development of private land in Kuantang Singingi is less than provided land due to the other uses such as agriculture. However, the performance of the development of private forest in Kecamatan Logas Tanah Darat still can be improved through the implementation of strategic private forest development. The aim of the research is to identify the constrains and barriers of the implementation of private forest development in Kabupaten Kuantan Singingi, identify the strengths, weaknesses, opportunities, and threats of its development and formulate the most relevant strategies and aspects of sustainability in the development of private forest in Riau Province. Based on the result of the research, it is identified: internal strategic factors, external strategic factors, the alternatives of private forest development strategies, and the two alternatives of main development strategies. Internal strategic factors identified are as follows:

1. The strength factors are the provided land for private forest, land suitability, local market for private land products, effective land protection, and local species cultivated traditionally; 2. The weakness factors are the less status of land ownership, the less assistances and roles of local government, financial limitation, relatively long of plant rotation (557) years, and the limited skills of silviculture system.

While, the external strategic factors consisted of opportunities and threats are recognized as:

2. Opportunity factors are the high of wood demand, the central government policy over private forest development, subjective preference toward wood product, the existence of formal regulation and local authority related to private forest development; 2. The threat factors are the conflicting of land ownership and uses, the less support of local authorities, no or less assistance from local authorities, the limited marketing (monopoly), and manipulative cooperation.

Based on analyzing of SWOT Matrix, it is founded eight alternatives of private forest strategic developments in Kabupaten Kuantan Singingi as follow:

a. The inventarisation of private forest distribution; b. The inventarization and proposed species collection of private forest species; c. The crash program of the improvement of private forest land status; d. The application of the modified silviculture system (economical sustainability); e. The supports and assistance from local authority; f. The regulation of the cooperation pattern over private forest development; g. The diversification of private forest products; h. The provision of financial scheme of private forest development.

(4)

GUSTI RATIH INDRIATI. Strategi Pengembangan Hutan Rakyat di Kecamatan Logas Tanah Darat, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan LUKMAN M. BAGA.

Hutan rakyat merupakan hutan tanaman dan atau hutan alam yang berada di atas lahan milik Masyarakat yang ditandai oleh hak atas tanah berupa alas titel/hak. Pada awalnya terminologi hutan rakyat dikenal melalui program penanaman tanaman hutan yang dicanangkan oleh pemerintah melalui program seperti Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan (GNRHL), penghijauan, penanamanblahan kritis dan lain5lain. Namun berdasarkan ketentuan yang ada hutan rakyat mengacu pada hutan hak yang mengakomodir jenis tegakan pada hutan hak yang berupa baik tegakan tanaman (hasil budidaya) dan ataupun tegakan alam (tumbuh secara alami).

Pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi dilaksanakan pada lahan masyarakat seluas 108.958 ha. Tetapi realisasi dari kegiatan tersebut sampai sekarang belum tercapai karena adanya pemanfaatan untuk keperluan yang lain seperti pertanian semusim. Pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi khususnya di Kecamatan Logas Tanah Darat masih dapat ditingkatkan apabila memperoleh upaya5upaya pembenahan terhadap aspek strategis pembangunan hutan rakyat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kendala dan masalah pelaksanaan pembangunan hutan rakyat di kabupaten Kuantan Singingi, mengindetifikasi kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi serta merumuskan strategi yang relevan dalam pengelolaan hutan rakyat dalam rangka mencipatakan pembangunan hutan rakyat yang berkelanjutan di Provinsi Riau.

Data diperoleh dengan metode wawancara mendalam kepada responden terpilih dengan menggunakan kuesioner (pedoman pertanyaan). Pada tahap selanjutnya melakukan pengolahan data awal antara lain editing data yang dilakukan terhadap jawaban yang telah ditulis dalam kuesioner dan catatan hasil wawancara serta dari (FGD), selanjutnya dengan melakukan koding data yaitu mengadakan klasifikasi terhadap jawaban5jawaban responden dengan membubuhkan suatu kode pada jawaban tertentu yang pada dasarnya berarti menetapkan kategori yang sesuai dengan suatu jawaban tertentu. Selanjutnya melakukan. identifikasi faktor5faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi dengan menggunakan analisis matriks SWOT. Untuk menentukan prioritas strategis pengembangan Hutan Rakyat Pul di Provinsi Riau digunakan matriks QSPM.

(5)

tradisional, serta faktor5faktor yang menjadi kelemahan dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi adalah: status kepemilikan lahan yang lemah, kurangnya pemahaman dan bimbingan oleh lembaga formal di daerah, keterbatasan permodalan daur tanaman yang lama (557) tahun dan kurangnya kemampuan teknis sistem silvikultur;

, faktor5faktor strategi eksternal meliputi peluang dan ancaman. Faktor5faktor peluang dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi adalah: kebutuhan hasil hutan kayu yang tinggi, kebijakan Dephut menggalakkan hutan rakyat, preverensi sujektif produk kayu daripada produk subsitudi, dan tersediannya ketentuan (peraturan) dan instansi formal yang menangani hutan rakyat, serta faktor5faktor ancaman dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi adalah: tumpang tindih kepemilikan lahan dan peruntukkan lahan, kurangnya keberpihakkan Pemda terhadap hutan akyat, kurangnya penyuluhan dari Pemerintan dan Instansi lain, keterbatasan pemasaran hasil hutan rakyat (monopoli) dan pola kerjasama yang bersifat manupulatif.

, berdasarkan hasil analisis terhadap Matrik SWOT diperoleh delapan alternative strategi pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi yakni: a. Iventarisasi pesebaran hutan rakyat; b. Inventarisasi dan usulan jenis tanaman hutan rakyat; c. Crash program penetapan status lahan hutan rakyat; d. Aplikasi modifikasi sistem silvikultur (aspek kelestarian ekonomi); e. Dukungan dan bimbingan dari Pemerintah Daerah; f. Pengaturan pola kerjasama hutan rakyat; g. Diversifikasi hasil hutan dari hutan rakyat dan h. Penyediaan skema permodalan hutan rakyat.

, berdasarkan analisis terhadap Matrik QSPM diperoleh hasil dua alternative strategi utama yang harus mendapatkan perhatian yakni: penyediaan skema permodalan hutan rakyat dan pelaksanaan crash program penetapan status lahan hutan rakyat.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang5undang

(7)

GUSTI RATIH INDRIATI

Tugas Akhir

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Profesional pada

(8)
(9)

Judul Tugas Akhir : Strategi Pengembangan Hutan Rakyat Studi Kasus di Kecamatan Logas Tanah Darat, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau

Nama : Gusti Ratih Indriati

NRP : A153050215

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Ketua

Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi

Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M. Ec

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, MS

(10)

Selama lebih dari dua puluh tahun saya terlibat dalam kegiatan pembangunan hutan sebagai pegawai pemerintah dengan segala liku5likunya. Pengalaman ini telah memberikan saya wawasan dan pengetahuan yang luas tentang manajemen hutan dan esensi pembangunan itu sendiri. Dalam perspektif tersebut dapat dipahami bahwa pembangunan seharusnya meliputi : pembangunan social dan ekonomi masyarakat sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungannya.

Belajar dari wawasan pembangunan tersebut dapat disimpulkan bahwa kunci pembangunan hutan yang berwawasan lingkungan salah satunya adalah pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Untuk itulah saya memperdalam pengetahuan saya dengan belajar pada Sekolah Pasca Sarjana dimana melalui program ini saya dapat memperoleh perspektif teoritis dan praktek pembangunan yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat sesuai dengan profesi dan sector yang saya jalani.

Atas apa yang telah saya capai ini pertama5tama saya bersyukur kepada Allah SWT atas segala rachmatNya sehingga saya dapat menyelesaikan Tesis saya dan Studi saya pada Magister Profesional Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Dan saya bersaksi bahwa Allah SWT adalah Maha Pemurah dan Pemberi kepada semua umatNya.

Dengan selesainya Tesis ini tidak lupa lupa saya ucapkan terima kasih kepada segenap Pembimbing dari Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor atas segala arahan dan masukan yang berharga yakni :

1. Bapak sebagai ketua komisi pembimbing

sekaligus sebagai Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

IPB, serta Bapak sebagai anggota komisi

pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk, masukan dan nasehat sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan.

2. ! , Selaku Dekan Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor.

3. Staf Pengajar dan Staf Administrasi Program Studi MPD IPB.

Dalam rangka memperoleh perspektif formal dari pembangunan hutan rakyat, saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kuantan Singingi, Segenap Pejabat Eselon dan Stafnya seperti :

! ! " # !

! $%& serta Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan Singingi

khususnya yang telah menyediakan waktunya untuk membagikan pemahamannya tentang hutan rakyat yang telah berlangsung di Kabupaten Kuantan Singingi,

Kepada Para Kelompok Tani dan Perusahaan Mitra Masyarakat seperti

(11)

! ' & ! , dan lain5lain, saya

mengucapkan terima kasih atas kesediaannya membagikan pengalaman dan pendapatnya tentang praktek pembangunan hutan rakyat di Kecamatan Logas Tanah Darat Kabupaten Kuantan Singingi.

Terakhir, saya juga mengucapkan terima kasih kepada ! & &

atas doa dan dukungannya. Saya berhutang banyak atas segala yang telah kalian lakukan selama hidup saya dan kalianlah yang sungguh5sungguh mencintai saya. Buat teman5teman satu kelas, saya ucapkan terima kasih atas diskusi dan dukungan spiritnya. Akhirnya, saya mendedikasikan Tesis ini untuk

yang tercinta dan buah hati saya : ( ( (

Kalian adalah “Cinta Abadi saya” yang telah membuat hidup saya menjadi lebih berwarna dan lebih bermakna.

Bogor, Juni 2010

(12)

1

1.1 Latar Belakang………... 1

1.2 Perumusan Masalah……….. 3

1.3 Tujuan Penelitian………... 6

1.4 Manfaat Penelitian………. 6

1 2.1 Hutan Rakyat...………... 7

2.1.1 Bentuk Hutan Rakyat... 7

2.1.2 Peranan Hutan Rakyat ... 8

2.1.3 Pengelolaan Hutan Rakyat……… 9

2.1.4 Pola Pengembangan Hutan Rakyat……….... 9

2.2 Desentralisasi Dalam Pembangunan Hutan Rakyat... 10

2.2.1 Kebijakan Pembangunan Hutan ... 14

2.2.2 Kebijakan Pembangunan Hutan Rakyat ... 16

2.2.3 Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan ... 20

2.2.4 Manajemen Hutan Lestari ... 27

2.3 Manajemen Strategi ... 30

2.4 Penelitian Terdahulu... 33

1 3.1 Kerangka Pemikiran……….. 40

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……… 41

3.3 Metode Pengumpulan Data………... 43

3.4 Metode Analisis Data……… 45

(13)

3.6 Metode Analisis Data ……….. 48

3.7 Analisis Eksternal dan Internal……….. 48

3.7.1 Analisis Eksternal………... 50

3.7.2 Analisis Internal……… 51

3.8 Penentuan Bobot Variabel………. 53

3.9 Analisis Matriks SWOT……… 54

3.10 Analisis QSPM (" # $ % &)……… 55

1 4.1 Pembangunan Hutan Rakyat………. 57

4.1.1 Kebijakan Pemerintah Terhadap Hutan Rakyat……… 57

4.1.2 Peran Pemerintah Daerah……….. 59

4.1.3 Penciptaan Peraturan Daerah………. 60

4.2 Pembangunan Hutan Rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi……….. 61

4.2.1 Sejarah dan Statistik Hutan Rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi……….. 61

4.2.2 Konflik Lahan antara Masyarakat dengan Perusahaan……….. 66

4.2.3 Pola Pembangunan Hutan Rakyat………. 67

4.2.4 Persepsi Masyarakat terhadap Hutan Rakyat……… 69

4.3 Perspektif Perusahaan terhadap Pembangunan Hutan Rakyat (Strategi Penyelesaian Masalahan Melalui Aplikasi Tujuan Perusahaan)……… 71

4.3.1 Pembentukan Departemen Pembangunan Hutan Rakyat……… 71

4.3.2 Strategi Perluasan Areal Efektif Tanaman……… 72

4.4 Kerjasama Pembangunan Hutan Rakyat di Kecamatan Logas Tanah Darat ……… 73

1 5.1 Analisis Lingkungan Internal………. 77

(14)

5.1.2. Kelemahan………. 79

5.2 Analisis Lingkungan Eksternal……….. 82

5.2.1 Peluang……….. 82

5.2.2 Ancaman……… 85

5.3 Hasil Evaluasi Faktor5Faktor Lingkungan Internal……… 87

5.3.1 Kekuatan……… 88

5.3.2 Kelemahan………. 90

5.4 Hasil Evaluasi Faktor5Faktor Lingkungan Eksternal………. 91

5.4.1 Peluang……….. 92

5.4.2 Ancaman……… 94

5.5 Alternatif Strategi Dalam Pengembangan Hutan Rakyat Di Kabupaten Kuantan Singingi……… 96

5.5.1 Strategi S5O……….. 96

5.5.2 Strategi W5O……….. 100

5.5.3 Strategi S5T……… 101

5.5.4 Strategi W5T……….. 103

5.5.5 Prioritas Strategi Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi……… 104

5.5.6 Implikasi Manajerial……….. 105

1 6.1 Kesimpulan……… 109

6.2 Saran………... 111

(15)

1. Realisasi pembangunan Hutan Rakyat per Tahun 2009

di kabupaten Kuantan Singingi………... 10

2. Penelitian Terdahulu Tentang Hutan Rakyat ……… 37

3. Jumlah Kepala Keluarga (KK) dari Masing5Masing Desa ……… 44

4. Data dan Metode Analisis ………. 47

5. Kriteria Penilaian Faktor Internal dan Eksternal……… 48

6. Contoh Matrik FE (External Faktor Evaluation)……… 52

7. Contoh Matriks IFE ( '# (... 53

8. Pembobotan Terhadap Faktor Strategis Eksternal dan Internal…………. 55

9. Matriks SWOT ($ ) * + ) 56 10. Matriks QSPM (" # $ % &)………. 57

11. Beberapa Peraturan Dalam Pembangunan Hutan Rakyat ... 60

12. Realisasi Pembangunan Hutan Rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi Tahun 2009……… 63

13. Penggunaan Lahan di Kabupaten Kuantan Singingi……….. 64

14. Pemanfaatan Lahan Pertanian (Tanaman Pangan)…………... 65

15. Pemanfaatan Lahan Pertanian (Tanaman Sayur5sayuran) ... .. 66

16. Jenis Komoditi, Luas Lahan dan Produksi Tanaman yang Dibudidayakan 80 17. Analisis Matriks Internal Faktor Evaluation (IFE)……… 91

18. Analisis Matriks Eksternal Faktor Evaluation (EFE) ………... 95

19. Analisis QSPM………... 108

(16)

1. Kerangka Analisis Penyusunan Strategi ... 31

2. Tahap Masukan Proses Pengambilan keputusan ... 31

3. Tahap Penggabungan (Matching Stage) ... 32

4. Tahap Pengambilan Keputusan ... 33

5. Alur Pikir Penelitian………. 42

6. Matriks SWOT………. 46

7. Kategori Faktor Internal dan Eskternal ………... 50

(17)

1. Jawaban Responden Untuk Perhitungan Bobot Evaluasi Faktor Strategis (Internal dan Eksternal) dan Perhitungan Peringkat

(18)

1

2 ' #!

Hutan sebagai modal pembanguan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Hutan merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi kehidupan manusia, baik manfaat tangible yang dirasakan secara lansung, maupun intangible yang dirasakan secara tidak langsung. Manfaat langsung seperti penyediaan kayu, satwa dan hasil tambang, sedang manfaat tidak langsung mencakup manfaat rekreasi, perlindungan tata air serta pencegahan erosi. Untuk itu hutan harus di urus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Semakin bertambahnya penduduk dan semakin banyak industri yang membutuhkan bahan baku kayu menuntut semakin besarnya kebutuhan bahan baku kayu yang harus dipasok, sehingga banyak mendorong timbulnya ekses negatif seperti perambahan hutan, penebangan liar, perladangan berpindah dan sebagainya yang akan mengancam kelestarian sumberdaya hutan. Disisi lain, sumber bahan baku kayu yang selama ini berasal dari kawasan hutan produksi semakin berkurang oleh karena itu sewajarnya dalam memenuhi kebutuhan bahan baku kayu dan pengamanan lingkungan pemerintah mengajak masyarakat yang berkepentingan langsung untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan kehutanan yang berwawasan lingkungan.

(19)

masyarakat dalam bidang kehutanan yang harus didorong oleh pemerintah antara lain adalah pembangunan hutan rakyat.

Kehadiran hutan rakyat dewasa ini dirasakan semakin meningkat karena manfaat yang bersifat ekologis, ekonomi maupun sosial. Secara ekologis hutan rakyat berfungsi sebagai pelindung dan perbaikan tata air, konservasi tanah serta mempercepat proses rehabilitasi lahan kritis. Manfaat ekonomi dan sosisal dari hutan rakyat antara lain berperan penting dalam penyediaan bahan baku industri, sumber pendapatan, menciptakan lapangan dan kesempatan kerja. Selain itu hasil dari hutan rakyat merupakan komoditas yang harus dapat diubah menjadi hasil olahan dalam upaya mendapat nilai tambah serta membuka peluang kesempatan berusaha. Istilah hutan rakyat sudah lebih lama digunakan dalam program5 program pembangunan kehutanan di Indonesia. Dalam UU Pokok Kehutanan tahun 1967 dan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999, istilah hutan rakyat disamakan dengan terminologi hutan milik. Sampai saat ini hutan rakyat telah diusahakan di tanah milik yang diakui secara formal oleh pemerintah maupun tanah milik yang diakui pada tingkat local (tanah adat). Didalam hutan rakyat ditanam aneka pepohonan yang hasil utamanya bisa beraneka ragam. Untuk hasil kayu misalnya;

sengon ( , ) jati ( ), akasia (- ),

mahoni ( ) dan lain sebagainya. Pepohonan yang hasil utamanya getah antara lain kemenyan ($ & ! ), dammar ($

# ), sementara yang hasil utamanya berupa buah amtara lain kemiri, durian, kelapa dan bambo (Suharjito dan Darusman, 1998).

(20)

Hardjoseputro (1980) menyebutkan hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada di Indonesia yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah yakni hutan yang dimiliki oleh rakyat. Proses terjadinya hutan rakyat bisa dibuat oleh manusia, bisa juga terjadi secara alami, tetapi proses hutan rakyat terjadi adakalanya berawal dari upaya untuk merehabilitasi tanah5tanah kritis. Jadi hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh pada tanah milik rakyat dengan jenis tanaman kayu5kayuan yang pengelolaannya dilakukan oleh pemiliknya atau suatu badan usaha dengan bepedoman kepada ketentuan yang telah digariskna oleh pemerintah.

Melalui Gerakan Nasional Rehabilitas Hutan dan Lahan (GN5RHL/Gerhan) selama tahun 200352005 telah dibangun hutan rakyat khususnya di kawasan budidaya seluas 219.000 hektar dan hutan rakyat model kemitraan pada tahun 2005 seluas 2.000 hektar. Disamping dari hutan tanaman rakyat, Departemen Kehutanan selama periode 200652009 menargetkan penambahan hutan rakyat model kemitraan seluas 12 ribu hektar di 12 propinsi yaitu: Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Namun agar target tersebut bisa tercapai, perlu adanya kebijakan regulasi dan sejumlah intervensi pemerintah (Winarno, 2009).

Pada saat ini karakteristik pengelolaan hutan rakyat di lapangan adalah bersifat individual, oleh keluarga, tidak memiliki manajemen yang mantap, tidak responsive, sub5sistem dan dipandang sebagai tabungan bagi keluarga pemilik hutan rakyat. Karakteristik seperti ini dalam perkembangannya ke depan kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki posisi tawar terhadap industri, tidak terencana, dan tidak sinkron dengan semangat ”kelestarian” khususnya aspek ekonomi dan lingkungan. Oleh karena itu diperlukan strategi baru untuk mengelola hutan rakyat.

1 &$&* # * 2

(21)

kayu industri, maupun kayu bakar. Selain itu pembangunan hutan rakyat juga berfungsi secara ekologis yaitu meniru untuk menanggulangi lahan kritis, konservasi lahan, perlindungan hutan, serta fungsi sosial dan ekonomi yaitu sebagai salah satu upaya mengentaskan kemiskinan dengan memberdayakan masyarakat setempat.

Hutan rakyat juga dianggap sebagai salah satu alternatif dalam pembangunan sumberdaya hutan (SDH) seiring dengan kurang berhasilnya sistem pengelolaan yang selama ini diterapkan di Indonesia. Pembangunan hutan rakyat selain ditentukan oleh motivasi dari komunitas pemilik hutan rakyat, juga sangat ditentukan oleh strategi dan kebijakan pembangunan hutan rakyat serta peran otoritas terhadap upaya5upaya pembangunan hutan rakyat. Lebih lanjut hutan rakyat dapat dipertimbangkan sebagai sarana pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan baik untuk berperan aktif dalam pembangunan kehutanan melalui keterlibatan dalam proses pembangunannya sekaligus meningkatkan kesejahteraannya.

Dalam prakteknya keterbatasan kapasitas dan kapabilitas masyarakat di dalam dan sekitar hutan (kelompok tani hutan rakyat) menyebabkan pembangunan hutan rakyat sering mengalami kendala. Hal ini menyebabkan praktek keikutsertaan dalam pembangunan kehutanan kadang bersifat semu serta sarat dengan manipulasi sumberdaya yang dimilikinya. Pada akhirnya, paradigma yang bertujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan massyarakat yang menjadi tujuan awal tidak dapat terlaksana.

(22)

seperti pertanian semusim. Pembangunan hutan rakyat pada awalnya terinspirasi dari kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan yang dilaksanakan oleh pemerintah baik khususnya pemerintah daerah dimana kegiatan tersebut selain berupaya memperbaiki kondisi lahan juga memberikan kesadaran pada masyarakat akan kesempatan untuk meningkatkan produktivitas lahan melalui penanaman tanaman. Kesadaran masyarakat untuk melaksanakan pembangunan hutan rakyat melalui penanaman tanaman tahunan. Kondisi ini didorong juga oleh adanya lahan masyarakat yang belum dimanfaatkan secara optimal sehingga terbengkalai berupa lahan semak belukar dengan produktivitas yang rendah

Pembangunan hutan rakyat yang dilaksanakan selama ini berupa pola kerjasama antara masyarakat dengan pihak perusahaan. Dalam hal kerjasama antara masyarakat dengan PT. Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP). Pola kerjasama ini dianggap sebagai pola yang paling mungkin dilaksanakan bila mengingat kepentingan dari masing5masing pihak. Bagi perusahaan dengan adanya pembangunan hutan rakyat dapat memenuhi bahan baku pulp dan kertas. Sementara bagi masyarakat, kerjasama ini merupakan kesempatan untuk meningkatkan produktivitas lahannya.

Namun ketimpangan dalam kepemilikan sumber daya antara masyarakat dan perusahaan, mengakibatkan masyarakat sebagai pihak yang sangat bergantung pada pihak lain. Posisi masyarakat selama ini hanya sebagai penyedia lahan saja sehingga hanya sebagai obyek dan bukan pelaku dalam pembangunan hutan rakyat. Apabila hal ini berlangsung terus maka semangat pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan hutan rakyat akan sulit terlaksana. Namun melihat potensi lahan yang masih besar yang dapat dijadikan lahan hutan rakyat dan kebutuhan akan kayu bagi industri memberikan peluang akan kemudahan dalam pemasaran sehingga masyarakat akan mudah dalam memasarkan hasil hutan rakyatnya, sedangkan bagi perusahaan akan mendapatkan pasokan bahan baku demi keberlanjutan produksi.

(23)

pembangunan hutan rakyat. Penelitian ini mencoba merumuskan alternatif strategi dan program pengembangan hutan rakyat yang lebih baik.

13 &4& # # 2" " # Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi kendala dan masalah pelaksanaan pembangunan hutan rakyat di kabupaten Kuantan Singingi.

2. Mengindetifikasi kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi.

3. Merumuskan strategi yang relevan dalam pengelolaan hutan rakyat dalam rangka mencipatakan pembangunan hutan rakyat yang berkelanjutan di Provinsi Riau.

15 #6 # 2" " #

Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat bagi petani hutan rakyat terutama mencari solusi permasalahan yang dihadapi selama ini. Bagi pengembang ilmu, studi ini bisa menambah khasanah Kajian Pembangunan Daerah (KPD), teruatam yang terkait dengan hutan rakyat.

(24)

1

1

& #

'(

Hutan rakyat adalah tegakan hutan yang di miliki oleh masyarakat baik secara individu maupun berkelompok yang berada pada lahan pribadi dengan status kepemilikan lahan yang bervariasi. Sementara Manajemen Hutan berkaitan dengan segala daya dan upaya yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengelola tegakan tanaman hutan dengan melakukan suatu praktek sistem silvikultur mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pemanenannya. Manajemen yang dilakukan paling tidak berkaitan dengan upaya untuk perbaikan kesejahteraan dan sekaligus memelihara ekosistem hutan.

Bila dikaitkan dengan karakteristik partisipasi tersebut Martinus (2000) menjelaskan bahwa dalam pembangunan hutan rakyat:

a. Masyarakat memiliki akses dan control terhadap lahan dan sumberdaya hutan;

b. Memiliki kontrol terhadap keputusan lokal, dapat memiliki inisiatif sendiri, dan berusaha sendiri;

c. Memiliki cara penyelesaian terhadap permintaan atas sumberdaya yang meminimalkan konflik;

d. Memiliki hubungan yang bersifat komplementar dan sinergik diantara pemilik hutan;

e. pembagian yang merata atas keuntungan yang berkaitan dengan hutan.

2.1.1 Bentuk Hutan Rakyat

Purwanto (2004) menyatakan bahwa Lembaga Penelitian IPB (1983) membagi hutan rakyat kedalam tiga bentuk, yaitu :

(1) Hutan rakyat murni ( ), yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam secara homogen atau monokultur.

(25)

(3) Hutan rakyat wana tani ( , ), yaitu yang mempunyai bentuk usaha kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan lain5lain yang dikembangkan secara terpadu.

Disamping pola5pola tersebut terhadap beberapa model hutan rakyat yang dikelola berdasarkan karakteristik dan potensi daerah masing5masing untuk mengembangkan tanaman kayu pada lahan masyarakat seperti hutan rakyat getah merah ( . ) di P. Lingga, pengelolaan Hutan Kemenyan di Kabupaten Toba Samosir, Hutan Damar Mata Kucing di Lampung Barat, dan hutan rakyat campuran yang didominasi oleh tegakan “boangin” (/

). Hal ini menunjukan bahwa pengelolaan hutan rakyat sudah membudaya dibeberapa daerah.

2.1.2 Peranan Hutan Rakyat

Mengingat latar belakang sekarang pembangunan hutan rakyat, maka setiap kegiatan hutan rakyat selalu berhubungan dengan perbaikan aspek sosial ekonomi rakyat yang terlibat beserta aspek lingkungan fisik dimana hutan rakyat itu berada. Dua aspek ini merupakan dua kelompok yang saling mempengarui satu sama lain. Upaya perbaikan pada satu aspek saja dengan mengabaikan aspek yang lain tidak akan memberikan hasil. Tetapi upaya perbaikan satu aspek dengan memperhatikan aspek yang lain akan memberikan efek yang simultan/ saling mendukung satu sama lain.

Purwanto (2004) menyatakan bahwa hutan rakyat memiliki potensi untuk : (1) peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. (2) pemenfaatan secara maksimal dan lestari lahan yang tidak produktif dan mengelolanya menjadi lahan yang subur. (3) Peningkatan produksi kayu bakar dan penyediaan kayu perkakas, bahan bangunan dam alat rumahtangga. (4) Penyedia bahan baku industri seperti kertas, korek api, dan lain5lain. (5) Menciptakan lapangan kerja bagi penduduk pedesaan. (6) mempercepat rehabilitasi lahan kritis.

Direktur BIKPHH (2006) menjelaskan bahwa sejalan dengan upaya pemberantasan illegal logging, Uni Eropa telah memberikan respon melalui

(26)

- (FLEGTVPA) bahwa Negara5negara di eropa masyarakat status legalitas produk hasil hutan bagi pengekspor produk hasil hutannya ke eropa. Hal ini tentunya juga membuka peluang bagi hutan rakyat untuk dapat lebih berkembang diwaktu5waktu yang akan datang.

2.1.3 Pengelolaan Hutan Rakyat

Berdasarkan ketentuan formal yang ada maka pembangunan hutan rakyat sesungguhnya didasarkan pada semangat desentralisasi melalui pelimpahan kewenangan dan administrasi pada pemerintahan daerah. Hal ini didasari pada pertimbangan bahwa pemerintah kabupaten, kecamatan dan desa serta instansi formal disektor kehutanan daerah dianggap lebih mengetahui potensi dan persebaran hutan rakyat. Keterlibatan pemerintah daerah dalam pengurusan administrasi formal pembangunan hutan rakyat merupakan bukti dari semangat tersebut. Oleh karena itu efektivitas dan efisiensi peran daerah menjadi sangat penting untuk memfasilitasi, mengkoordinasi, dan meregulasi pengembangan hutan rakyat1.

Sejalan dengan semangat desentralisasi, pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi juga sedang mencari bentuk administrasi pemerintahan daerah pada umumnya dan di sektor kehutanan khususnya. Dimana Kabupaten Kuantan Singingi merupakan kabupaten baru yang dibentuk tahun 1999 yang juga terinspirsi dari eforia pelimpahan kewenangan pada pemerintah daerah. Secara umum, luasnya kawasan hutan dan praktek pengelolan sumberdaya hutan di daerah sedikit banyak memberikan inspirasi bagi praktek management hutan pada lahan di luar kawasan hutan Negara.

2.1.4 Pola Pengembangan Hutan Rakyat

Pola pengembangan hutan rakyat, pada prakteknya masih berjalan sampai dengan saat ini baik dari aspek pelaksanaannya di lapangan serta kesediaan data realisasi kegiatannya. Hutan rakyat yang dilaksanakan melalui program lain

(27)

seperti GNRHI, penghijauan dan lain5lain tidak menjadi objek studi mengingat pada hutan rakyat dengan pola tersebut tidak terekam data yang pasti dilapangan. Studi hutan rakyat pada studi ini mengacu kepada praktek pembangunan hutan rakyat yang dilaksanakan secara intensif oleh masyarakat dan lembaga non pemerintah/swasta yang secara intensif dilaksanakan di lapangan.

Perkembangan pembangunan hutan rakyat yang masih terjadi di Kabupaten Kuantan Singingi mengindikasikan bahwa pola pembangunan yang ada akan menjadi tren ataupun pola yang akan dilaksanakan diwaktu5waktu yang akan datang. Untuk itu evaluasi terhadap pelaksanaannya merupakan upaya yang bermanfaat guna perbaikan dan pembenahannya di waktu yang akan datang. Berdasarkan data yang ada maka realisasi pembangunan hutan rakyat setiap tahun disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1.Realisasi pembangunan Hutan Rakyat per Tahun 2009 di kabupaten Kuantan Singingi

No Nama HR Lokasi (Desa) Luas (ha) Jumlah peserta Kerjasama awal Kerjasama baru

1 HR Lubuk kKebun Lubuk Kebun 120.00 60.00 2 daur 6 daur

2 HR Rambahan Rambahan 470.00 239.00 2 daur 6 daur 3 HR Sikijang Sikijang 160.00 124.00 2 daur

4 Singaruntang Petapusan Sigaruntang 140.00 70.00 2 daur 6 daur

5 PHBM Petapusan Setiang 517.00 133.00 2 daur 6 daur

6 Teratak Baru Teratak Baru 450.00 176.00 2 daur 6 daur

7 Gunung Melintang Gn.Melintang 295.00 295.00 1 daur 6 daur

jumlah 2,160.00 1,097.00

Sumber : Departemen Planning PT. Riau Andalan Pulp and Paper

1 * # 2"* *" 2 $ #! $% #! # & # '(

(28)

daerah, dari pemerintah tingkat yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah.

Sejak diimplementasikan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, ada beberapa pergeseran administrasi pada banyak sektor kecuali ”Lima Sektor” yang masih dipegang oleh Pemerintah Pusat yakni urusan luar negeri, pertahanan dan keamanan, pengadilan, moneter dan fiskal serta agama. Kedua undang5undang ini menentukan kebijakan baru yang berhubungan dengan pergeseran desentralisasi otoritas dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan keseimbangan fiskal antara tingkat pemerintahan. Usman (2001) mengklarifikasi lima prinsip dasar bagi desentralisasi yakni “Demokrasi, Keterlibatan, Masyarakat dan pemberdayaan, Kesetaraan dan Keadilan, Pengenalan akan potensi dan keberagaman dalam agama dan Penguatan Legistatif daerah” yang menjadi batas minimal dalam implementasi desentralisasi. Diantara beberapa sektor, sektor kehutanan adalah salah satu sektor yang didesentralisasi ke pemerintah daerah. Implementasi desentralisasi sektor kehutanan ini telah menyedot perhatian dari masyarakat baik dalam negeri maupun internasional yang mengharapkan perlunya implementasi yang baik dari aspek prosesnya2

1 * # 2"* *" )$"#"* *"

Ada beberapa perubahan peran dan tanggungjawab antara tingkat pemerintahan pusat, pemerintah provinsi, pemerintah daerah khususnya pemerintah kabupaten/kota dalam manajemen sumberdaya hukum berdasarkan perspektif ini maka pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sehingga pelaksanaan/ petugas yang memiliki otoritas berada di lapangan yakni oleh pemerintah daeerah (Usman, 2001)

Pemerintah provinsi memiliki peran ganda yakni merupakan daerah otonom sekaligus sebagai representasi dari pemerintah pusat di daerah. Pemerintah provinsi bertanggug jawab dalam mengelola beberapa aspek khususnya yang berkaitan dengan administrasi lintas kabupaten ataupun beberapa otoritas yang belum ditangani oleh pemerintah kabupaten (Usman, 2001)

(29)

Kabupaten memegang peran dan tanggung jawab sebagaimana di tentukan dalam UU No. 2/1999 dalam batas wilayah. Dalam pelaksanaannya, ada kepentingan ekonomi dan politisi yang mempengaruhi kebijakan5kebijakan daerah dalam rangka memegang kontrol dan manajemen sumberdaya hutan yang mengakibatkan penataan ulang terhadap struktur institusional (Simarmata, 2000) dimana lebih jauh dijelaskan bahwa struktur pemerintah baru dan cenderung lebih memantapkan kebijakan kabupaten. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi/ menciptakan “ketegangan wewenang” antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten.

%1 * # 2"* *" -& # #

Pembahasan tentang ketentuan formal yang terkait dengan sektor kehutanan sesungguhnya tidak dapat terlepas dari isu pergeseran kewenangan antara pemerintah daerah serta pendelegasian administrasi pemerintahan. Kehutanan adalah salah satu sektor yang telah didesentralisasikan ke pemerintah daerah tentunya studi tentang hutan rakyat juga tidak terlepas dari semangat tersebut. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan formal yang dibuat pemerintah sedikit banyak menujukan semangat yang sama. Berdasarkan hal tersebut maka untuk memberikan wawasan tentang administrasi formal tentang hutan rakyat perlu penjelasan pendorong dan semangat pemerintahan daerah dalam menangani masalah sektor kehutanan.

A. Pendorong Desentralisasi Kehutanan

Sejelan dengan proses desentralisasi di Indonesia, terjadi tekanan pada pemerintah pusat untuk memantapkan kerangka pada system politik yang demokratis dan fungsi pemerintahan yang demokratis. (Usman, 2001). Proses ini mempengaruhi sektor kehutanan yang dicirikan oleh peran yang lebih pada pemerintah daerah terhadap manajemen sumber daya hutan. Salah satu tujuan yang paling utama dari desentralisasi adalah pelaksanaan administrasi dan pelayanan yang lebih efektif (Usman, 2001) yang menganggap bahwa pemerintah daerah lebih mengerti dan lebih responsif terhadap keinginan dari masyarakat dibandingkan dengan pemerintah pusat.

(30)

dan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat yang memperkuat semangat desentralisasi. Masyarakat lokal mengklaim keuntungan atas sumber daya hutan yang dieksploitasi di wilayahnya yang sebelumnya dianggap tidak fair dimana manajement hutan sebelumnya dianggap lebih menguntungkan pemerintah pusat. Karena hal ini maka dianggap perlu untuk memberikan kuota yang lebih akan sumberdaya hutan bagi daerah. Sehingga disentralisasi dijadikan momentum untuk memberikan legitimasi formal bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas pemerintah secara lebih signifikan. Simarmata (2001) menyimpulkan bahwa desentralisasi paling tidak memberikan efek perubahan pada peraturan daerah, peningkatan pendapatan daerah, kontrol terhadap manajemen sumber daya alam dan pemerintah dan institusi lokal.

Untuk itu berdasarkan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No. 31/2002 tentang pemerintahan Daerah, desentralisasi manajemen hutan dilaksanakan melalui:

5 Desentralisasi melalui distribusi wewenang dan tanggung jawab pada peran dinas kehutanan provinsi dan kabupaten / kota.

5 Dekonsentrasi yang dilaksanakan melalui unit pelaksana teknis dibawah Kementrian Kehutanan.

5 Tugas perbantuan oleh kehutanan daerah terhadap otoritas Kementrian Kehutanan.

Hal5hal tersebut diatas menyebabkan peningkatan peran pemerintah daerah dan pelimpahan wewenang pada pemerintah daerah yang lebih rendah. Hal ini dilaksanakan guna melaksanakan peran5peran baru dari pemerintah daerah untuk malaksanakn upaya5upaya yang berkaitan dengan kebijakan dan peraturan serta pemberdayaan masyarakat.

B.Penciptaan Peraturan Daeerah

(31)

yang berkaitan dengan sumberdaya alam yang nampaknya menjadi topik utama diskusi antar pemerintah daerah dengan pemerintah pusat3

Tujuan yang nyata dari penciptaan peraturan daerah adalah untuk meningkatan pendapatan daerah (Saad, 2001) dimana “penciptaan peraturan berkaitan dengan pajak lokal dan levie namun tidak mempertimbangkan income dan asset”. Lebih jauh Usman (2001) menyatakan bahwa otonomi lebih berkaitan dengan “otoritas untuk mengelola dan peningkatan pendapatan” yang dilakukan oleh pemerintah daeah sebagai indikasi keberhasilan implementasi proses desentralisasi. Walaupun sampai saat ini masih terdapat masalah yang berkaitan antara peningkatan pajak dan levi dengan penyediaan layanan oleh pemerintah daerah (Usman, 2001).

Simarmata (2000) menyimpulkan bahwa paling tidak 6000 peraturan daerah telah diterbitkan oleh 368 kabupaten dimana 3000 diantaranya telah dan dalam revisi karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Lebih jauh studi yang dilakukan oleh Chistanty (2004) disebutkan bawa kurang lebih 340 peraturan daerah ditahun 2001 dari 28 provinsi dianggap tidak konsisten dan bahkan menyalahi aturan yang lebih tinggi yakni sebanyak 35 (10 %) sampai serius, 144 (42 %), dan 58 (17 %) agak serius.

2.2.1 Kebijakan Pembangunan Hutan

Berkaitan dengan management hutan oleh pemerintah, sebagai mana dijelaskan Perencanaan Kehutanan Nasional menetapkan kebijakan utama disektor kehutanan yakni pemberantasan illegal logging, pencegahan dan mangemen kebakaran hutan, rekstrukturisasi industri kehutanan, rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan dan desetralisasi sektor kehutanan4. (Wardoyo, 2004) menyatakan bahwa kebijakan kehutanan sejak 1999 mengarah pada praktek maneagemen hutan yang sejalan dengan prinsip kelestarian sebagai respon pada kesepakatan nasional dan internasional dalam management sumberdaya hutan.

3 Adanya beberapa negosiasi antara beberapa pemerintah daerah dengan pemerintah pusat terhadap sumber daya alam yang dimiliki walaupun secara formal telah peraturan yang menetapkan tentang hal tersebut. Hal ini biasanya terjadi pada daerah5daerah yang memliki kekayaan alam yang banyak. (contoh: Pemerintah Kalimantan Tengah tentang Eksploitasi Hutan).

(32)

Kebijakan ini ditunjukan dalam Peraturan MentriNo.576/1993 yang menetapkan kriteria dan indikator Manajement Sumberdaya Alam yang Lestari Peraturan Menteri No. 610/1993 yang menetapkan kriteria dan indikator bagi Manajemen Sumberdaya Hutan Lestari pada tingkat unit.

Implementasi manajemen hutan terdiri dari manajemen hutan, penyusunan perencanaan manajemen hutan, perencanaan pengusahaan hutan dan perencanaan kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.34/2002 dimana implementasi pengusahaan hutan yang lestari adalah syarat utama dalam perpanjangan ijin pengusahaan hutan sebagaimana dicantumkan pada Ayat 50. untuk itu, pemerintah melakukan penilaian pada kinerja managemen hutan pada konsesi sebagaimana diatur dalam pasal 81 ayat 1.

Penilaian kinerja manajemen hutan pada konsesi dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri No. 4795/2002 dan No.206/2002 dimana menentukan kriteria dan indikator bagi pengusahaan hutan alam yang lestari. Sementaara penilaian kelestarian hutan tanaman dilaksanakan dalam Peraturan Mentri No.177/2003 dan No.178/2003 dimana masing5masing menetapkan kriteria dan indikator dari kelestarian pengusahaan hutan tanaman.

Sistem konsesi yang telah dilaksanakan sejak 1970 memungkinkan pemegang konsesi untuk memungut kayu di hutan (Christanty, 2004) dimana hal ini menjadi cikal bakal skema pengusahaan hutan di Indonesia. Dimana dalam pelaksanaannya kepada pemegang diwajibkan menyusun Rencana Pengusahaan Hutan, Rencana Karya Lima Tahunan dan Rencana Karya Tahunan dibawah bimbingan dan arahan dari Pemerintah (Dinas Kehutanan).

(33)

tertuang dalam (Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri). Hal ini merupakan perubahan kebijakan yang ditunjukan untuk mempermudah ketentuan perijinan oprasional industri disektor kehutanan.

2.2.2 Kebijakan Pembangunan Hutan Rakyat

Pembangunan hutan rakyat pada awalnya adalah merupakan strategi pemerintah untuk mengurangi tekanan terhadap hutan alam dalam bentuk eksploritasi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri. Departemen kehutanan mengagendakan bahwa tahun 2010 52024 akan melakukan penanganan hutan rakyat secara lebih serius. Kebutuhan bahan baku industri kehutanan yang mencapai 80 juta m3 pertahun masih jauh dalam kemampuan hutan Negara untuk memenuhinya yakni baru sebesar 25 juta m3 pertahun5. Lebih jauh ditetapkan bahwa pola kemitraan yang telah dibangun (seperti:di Bandar Lampung sejak tahun 2007) dan akan dilaksanakan sebagai pilar utama yakni : kelompok tani hutan rakyat, pengusaha industri kehutanan dimana pemerintah baik berupa pola kemitraan umum maupun kemitraan inti plasma akan menjadi perhatian utama pemerintah. Disamping itu, akan difokuskan kebijakan yang mendukung berdirinnya sentra5sentra industri kehutanan dan basis data tentang hutan rakyat.

Namun dalam prespektif yang lebih luas, proses penurunan kualitas hutan yang terus berlangsung selama ini di sebabkan oleh illegal logging, perambahan, kelangkaan bahan baku industri, dan penurunan kualitas ekosistem hutan, serta isu kesejahteraan masyarakat sekitar yang menyebabkan pemerintah harus memformulasikan program5program prioritas untuk mengatasinya. Sementara (Purwanto,2004) menyatakan bahwa pembangunan hutan rakyat terinspirasi dari kisah sukses dari proyek kegiatan penghijauan dalam penanganan lahan kritis. Kemudian manfaat ekonomi yang telah dirasakan oleh masyarakat peserta penghijauan memberikan inspirasi bagi mereka untuk mengembangkan sendiri budidaya tanaman kehutanan sehingga berkembang sentra5sentra hutan rakyat. Namun dari dua latar belakang tersebut memiliki persamaan atau satu isu sentral

(34)

yakni kesejahteraan masyarakat.Untuk itu maka pembangunan hutan rakyat merupakan cikal bakal upaya masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya.

Kebanyakan permasalahan kehutanan adalah berpangkal dari isu kesejahtraan masyarakat sekitar hutan. Dimana taraf hidup masyarakat yang masih bersifat subsisten mengakibatkan tekanan yang besar terhadap karena hutan dianggap sebagai sumberdaya yang paling dekat dan berada di lingkungannya. Berpijak dari isu utama tersebut maka pemerintah mencanangkan program pemberdayaan masyarakat desa hutan. Dan program pembangunan hutan rakyat adalah salah satu perwujudannya. Disisi lain, kebijakan ini sekaligus memberikan peran kepada masyarakat untuk terlibat dalam upaya keberlangsungan industri kehutanan, penurunan illegal logging, perambahan dan sekaligus peningkatan kwalitas ekosistem hutan.

Syahadat (2006) menyatakan bahwa hutan rakyat mempunyai 3 (tiga) yaitu: a. Fungsi konservasi, b. Fungsi Lindung, dan c. Fungsi produksi. Sedangkan pemanfaatan hutan rakyat yang berfungsi produksi dapat berupa : a. Pemanfaatan hasil hutan kayu, b. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, dan c. Pemanfaatan jasa lingkungan. Berdasarkan hasil tersebut maka pengembangan hutan rakyat dimungkinkan budidaya tanaman hutan sebagai penghasil kayu sekaligus hasil hutan ikutan seperti buah, bungan, lebah, resin dan lain5lain. Lebih jauh dijelaskan bahwa pasal 15, ayat (2), Peraturan Mentri Kehutanan No. P.26/2005 menyataka bahwa pemanfaatan hutan hak/rakyat yang berfungsi produksi dapat berupa : a. Pemanfaatan hasil hutan kayu; b. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan c. pemanfaatan jasa lingkungan.

(35)

Kebijakan pembangunan hutan rakyat setidaknya mempertimbangkan dua aspek utama yaitu legalitas lahan dan jenis tanaman yang diusahakann. Sesuai pasal 2 P. 51/2006, legalitas lahan ditetapkan berdasarkan ketentuan kepemilikan lahan yang dibuktikan atas title/hak atas tanah sementara Pasal 4 menetapkan jenis tanaman dianggap sebagai hasil upaya budidaya masyarakat.

Semangat yang menjadi dasar pembangunan hutan rakyat mengacu pada ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam P.51/2006 adalah upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya terhadap masyarakat yang memiliki area yang secara formal memiliki setatus kepemilikan terhadap lahannya. Lahan tersebut sesuai Pasal 1 butir c menyatakan bahwa lahan masyarakat merupakan lahan perorangan atau masyarakat diluar kawasan hutan Negara berupa pekarangan, lahan pertanian dan kebun. Sehingga hutan rakyat juga merupakan hutan hak.

Sesuai pasal 1 butir a. ditetapkan bahwa Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang berada di luar kawasan hutan (hutan Negara) dan dibuktikan dengan alas title atau hak atas tanah.

Guna mencapai semangat ketentuan ini maka implementasinya dilaksanakan melalui peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan produktivitas lahan. Guna menjamin status kepemilikan terhadap hasil hutannya, ditetapkan dokumen kepemilikan hasil hutan dari hutan rakyat yang berupa Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) dimana ketentuan ini merupakan penjabaran dari Peraturan Pemerintah No. 34/2002 penerapan SKAU ini dimaksudkan sebagai upaya penerapan peredaran hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak sebagaimana ditetapkan pada Pasal 3 P.51/2006

(36)

oleh keterbatasan data base yang dimiliki oleh Departemen Kehutanan mengenai sebaran dan jenis tanaman pada hutan rakyat di daerah6. Namun untuk jenis5jenis tanaman yang sudah banyak dikenal masyarakat Indonesia dan menjadi bahan konsumsi (makanan) dankebutuhan kayu masyarakat maka pengangkutannya mempergunakan Nota yang diterbitkan penjual sebagaimana ditetapkan Pasal 10.a. P.33/2007.

Untuk jenis5jenis yang ditetapkan dalam P.51/2006 pada awalnya berpedoman pada Keputusan Mentri Kehutanan No. 126/2003 yang selama ini diterapkan pada pengusahaan hutan Negara. Namun mengingat ketentuan tersebut dirubah dengan menambahkan kode “KR” yang merupakan inisial Kayu Rakyat. Ketentuan ini untuk mengidikasikan bahwa untuk jenis5jenis yang belum dianggap /diatur sebagai kayu tanaman pada hutan rakyat masih terdapat kewajiban pemenuhan kewajiban kepada Negara berupa Provinsi Sumber Daya Hutan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa untuk jenis5jenis yang lain yang belum ditetapkan sebagai jenis5jenis tanaman pada hutan rakyat merupakan tegakan alam yang tumbuh secara alami sehingga merupakan sumberdaya alam yang dimiliki oleh Negara.

Pemerintah daerah pada tingkat desa memegang peranan penting dalam menentukan legalitas status lahan dan tanaman yang hendak dimanfaatkan dalam hutan rakyat. Sesuai dengan Pasal 5 P.51/2006, Pejabat Daerah di Desa (Kepala Desa/Lurah) diangkat sebagai penerbit Dokumen SKAU. Penetapan Pejabat Daerah sebagai asessor dalam pemanfaatan hutan rakyat didasarkan pada anggapan bahwa Pejabat Daerah adalah pihak yang paling mengetahui atas status hutan rakyat ditempatnya sekaligus bertanggung jawab terhadap kebenaran praktek pemanfaatan hasil hutan dari hutan rakyat7

6 Lampiran P.33/2007 menetapkan jenis kayu rakyat yang dapat diangkut mempergunakan Blanko SKAU dan terdapat ketentuan jenis5jenis tertentu yang dap dianggap sebagai jenis tanaman yang berasal dari hutan rakyat. Hal ini didasarkan pada karakteristik jenis05jenis tanaman pada msing5 masing daerah (ie. Bayur (Pterospermum javanicum ), Terap (Arthocarpun elasticus) dan Medang(Litsea sp) hanya diakui di Provinsi Sumatera Barat. Namun sebaliknya terdapat jenis5 jenis yang tidak dianggap sebagai tanaman rakyat)ie. Jati (Tectona grandis ) dan Mahoni (Swietenia sp) yang tidak berlaku di Banten, Jabar, Jateng, Jatim, DIY, Sulteng, NTT dan NTB. 7 Pasal 5.P.51/2006 menetapkan bahwa Kepala Desa /Lurah diangkat sebagai Pejabat Penerbit

(37)

2.2.3 Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan sesungguhnya didasari pada paradigma pemberdayaan masyarakat walaupun masih terdapat kendala dan masalah dalam aplikasinya serta terdapat variasi keterlibatan masyarakat karena adanya variasi sumberdaya yang dimilikinya.

1 *& $% ) ( # *( '

Disamping upaya peningkatan pendapatan daerah, desentralisasi juga dianggap sebagai dinggap sebagai kesenpatan untuk meningkatkan peran masyarakat dalam kegiatan sosial dan ekonomi. Usman (2001) menyatakan bahwa dua diantara lima prinsip dasar dari desentralisasi adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan pemberdayaan dan peningkatan pemerataan dan keadilan. Walaupun dalam praktekya masih terdapat kelemahan5kelemahan dalam pemberdayaan masyarakat karena desentralisasi dalam kasus tertentu masih tetap menghambat pemberdayaan masyarakat karena adanya dominasioleh elit5elit di Daerah(Simarmata, 2000). Walaupun begitu disisi lain banyak LSM nasional dan daerah telah menyesuaikan kepentingan masyarakat melalui kritik terhadap praktek administrasi pemerintah dan eksploitasi sumberdaya alam yang memberikan manfaat bagi perbaikan governance, akuntabilitas, keadilan dan lain5 lain.

%1 . ' &$ "*". *"

Dalam menjelaskan pertisipasi masyarakat dalam manajemen hutan sesungguhnya dapat dijelaskan melalui peran dan posisi masyarakat pelaksanaan pembangunan hutan masyarakat baik secara individu, posisinya dalam komunitasnya maupun peran dan posisinya dalam proses kerjasama dengan pihak lain. Karena rakyat secara indipidu tidak dapat dipisahkan dari masyarakat maka peran dan posisi rakyat dan komunitasnya akan saling mempengaruhi satu sama lain. Untuk itu maka pembangunan hutan rakyat sesungguhnya harus dilihat dalam konteks proses partisipasi yang terjadi. Martinus (2000) menyatakan ada tujuh tipe partisipasi berdasarkan (Hobley, 1996) yakni:

1. Keberadaan masyarakat dalam badan tersebut tidak dipilih dan tidak memiliki

(38)

2. Masyarakat hanya diberitahu apa yang telah diputuskan melalui pengumuman

oleh administatur ( # );

3. Masyarakat dipintai pendapatnya namun analisis dan keputusan dibuat oleh

pihak luar ( );

4. Masyarakat mengeluarkan sumberdaya berupa (yaitu lahan dan tenaga) dan memperolah penghasilan, makan dan intensif lain tetapi mereka tidak dapat memperpanjang intensif yang diterima bila partisipasinya berakhir

( , # );

5. Masyarakat dapat memberikan jawaban atas tujuan program yang dibuat oleh

pihak luar (, );

6. Masyarakat terlibat dalam proses analisis, perumusan rencana dan pembentukan dan penguatan institusi lokal. Partisipasi adalah hak dan bukan alat untuk mencapai tujuan. Satu kelompok memegang control atas keputusan dan sumberdaya dan berperan dalam mempertahankan keberlangsungan pola partisipasinya dan prakteknya ( # );

7. Inisiatif masyarakat secara mandiri dimana kontak dengan pihak luar didasarkan kepada kebutuhan masyarakat. Meereka menentukan atas keputusan dan sumberdaya yang depergunakan ( , ! );

Lebih jauh Martinus (2000) menjelaskan bahwa Inoue (1998) mengklasifikasikan partisipasi masyarakat dengan pihak luar dalam proses pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:

1. Masyarakat sebagai tenaga kerja yang diupah, sukarela, penyedia dana, dan

lain5lain ( 3 );

2. Perencanaan dibuat oleh pihak luar dan masyarakat melaksanakan dan setiap perubahan atas rencana dilakukan melalui diskusi, seminar dan lain5lain

( , 3 );

3. Proses belajar dimana professional berperan sebagai fasilitator

Martinus (2000) menyatakan bahwa tiga kategori ini merupakan penyederhanaan dari tujuh partisipasi sebagaimana tersebut di atas. Dimana

3 meliputi : # #

,

(39)

dan 3 meliputi: #

,3 !

1 &* ) # . $"2"' # - #

Istilah area hutan berdasarkan UU No. 4/1999 memberikan otoritas kepada Kementrian Kehutanan untuk menerapkan manajemen hutan pada kawasan hutan. Sebelumnya istilah kawasan hutan diterapkan untuk memantapkan area hutan melalui koordinasi yang melibatkan beberapa sektor yang terkait dan tingkat pemerintahan untuk memformulasikan kawasan hutan definitive melalui Integrasi dan harmonisasi tata ruang Provinsi (RTRWP) dan tata guna hutan kesepakatan (TGHK). Kawasan hutan didefinisikan sebagai areal ditata dan diatur oleh pemerintah dimana kawasan hutan sebagaimana dijelaskan dalam bagian 2 pasal 5 berupa Hutan Negara dan IUPHHK. Hutan rakyat sesungguhnya berada di luar kawasan sebagaimana ditetapkan dalam Undang5undang tersebut namun penetapan RTRWP menjadi hal yang krusial untuk menetapkan legal status dari lahan hutan rakyat.

Namun dalam studi ini yang dibahas adalah kawasan hutan yang diluar kawasan hutan Negara yakni areal yang memiliki alas title atau hak yang dimiliki oleh masyarakat atau badan tertentu yang disebut dengan Hutan Hak/Rakyat. Dalam hal ini pemerintah menerapkan peraturan formal tentang manajemen hutan hak yang dikeluarkan oleh Instansi Sektoral Pemerintah. Dalam implementasinya instansi sektoral baik di pusat maupun di daerah secara aktif menerapkan sistem administrasinya dengan melibatkan peran instansi non sektoral di daerah baik di tingkat pemerintahan desa, kecamatan maupun kabupaten sebagai pemegang otoritas di lapangan.

(40)

rakyat masih diawasi dan dibawahi pembinaan pemerintah dan instansi sektoral di daerah.

Lebih jauh dalam praktek di lapangan, keberadaan hutan rakyat dan hutan adat sering dipertukarkan keberadaannya untuk kepentingan tertentu khususnya berkaitan dengan konflik lahan antara masyarakat dengan pihak luar (perusahaan). Walaupun UU No. 41/1999 mengatur mengenai keberadaan hutan adat sebagaimana dituangkan dalam bagian 2 Ayat 5 tetapi pembuktian keberadaannya merupakan hal yang sulit. Hal ini disebabkan keberadaan hutan adat8 tidak tertulis dan merupakan warisan dari generasi ke generasi yang kadang5kadang tidak secara utuh ditransformasikan / dilimpahkan kepada komunitasnya karena adanya perubahan susunan komunitas karena perpindahan penduduk dan masuknya pendatang dari luar.

1 # 4 $ # & #

Manajemen hutan adalah suatu bentuk manajemen yang khusus yang menggabungkan antara manajemen pembangunan dengan aplikasi teknologi yang mengadaptasi kondisi alam dan aspek sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Untuk itu pemahaman tentang fungsi dan klarifikasi hutan serta aplikasi sistem silvilkultur adalah sesuatu modal dasar yang harus dikuasai.

31 &#!*" ) # 2 *"6"' *" & #

Manajemen hutan berhubungan dengan upaya mengelola sumber daya hutan yang sesuai dengan tujuan dari suatu perencanaan melalui implementasi beberapa kegiatan. Nugroho (2002) menyatakan bahwa manajemen hutan berhubungan dengan aplikasi aspek teknis yang sesuai terhadap tegakan hutan yang bertujuan mempertahankan dan meningkatkan kelestarian fungsi hutan.

Manajemen hutan dilaksanakan berdasarkan konsep kelestarian fungsinya yakni konservasi, perlindungan dan pengusahaan. Fungsi konservasi dan perlindungan dilaksanakan melalui pemeliharaan dan peningkatan keberadaanya sementara pengusahaan hutan dilaksanakan berupa ekstraksi atas maksimum tiap

8 Hutan adat adalah hutan dalam wilayah suatu komunitas tertentu sebagai bagian siklus hidup komunitas tersebut (Raden B. and Nababan A, 2003. at

(41)

dari produksi hutan. Berdasarkan istilah fungsi hutan kebijakan manajemen hutan telah diterapkan beberapa kebijakan yang menentukan administrasi dan praktek terhadap sumber daya hutan.

Menurut UU No.41/1999 ,fungsi hutan diklasifikasikan sebagai fungsi perlindungan, preseropasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Hutan konservasi ditunjukan untuk mempertahankan tumbuhan dan satwa yang ada di hutan tersebut dan memelihara ekosistemnya. Hutan lindung ditunjukan sistem penyangga kehidupan, memelihara sistem air, mencegah banjir, kontrol erosi, pencegahan intrusi air laut, dan menjaga kesuburan tanah. Hutan produksi difungsikan sebagai produksi hasil hutan yang terdiri dari hutan tetap, hutan produksi terbatas, hutan konversi. Fungsi5fungsi hutan tersebut didasarkan pada klasifikasi yang ditentukan oleh kelerengan, sensifitas erosi dan tingkat curah hujan9.

Dalam prakteknya pembangunan hutan rakyat yang dilaksanakan lebih berpedoman kepada menejemen fungsi hutan produksi yakni menghaslkan hasil hutan kayu. Aspek5aspek lainnya dari kondisi fisik dan lahan pada hutan rakyat seperti asfek konservasi dan preservasi tidak/ kurang diperhatikan. Hal ini dapat dilihat dari praktek system silivikultur yang diterapkan yakni berupa Sistim Silvikultur Tebang Habis (THPB). Walaupun secara fisik, masih perlu beberap pertimbangan yang mempertimbangkan aspek5aspek yang lain dari menejemen hutan.

51 "* $ "2/"'&2 &

Dalam praktek menejemen hutan,dikenal istilah system silvikultur yang mengelola tegakan tanaman. Ada beberapa definisi silvikultur namun yang paling umim adalah ditekankan pada fungsi hutan dan pemeliharaan ekosistemnya. Smith (1986) menyatakan bahwa sivikultur menerapkan perlakuan terhadap tegakan dalam rangka memelihara dan meningkatkan pengusahaan untuk berbagai tujuan sementara Nyland (1996) menekankan pada kelestarian hutan pada :Fungsi Ekologi” dan “Ekosistem Hutan”. Dalam study ini, sistem silvikultur yang

(42)

dilaksanakan adalah bertujuan untuk mengelola tegakan untuk menghasilkan kayu dengan tetap mempertahankan fungsi ekologinya.

Beberapa definisi silvikultur dapat dijelaskan sebagai berikut:

5 Praktek sivikultur adalah aplikasi berbagai perhatian terhadap tegakan hutan untuk memelihara dan meningkatkan pengusahaan untuk berbagai tujuan (Smith, 1986)10

5 Silvikultur memasukan fungsi ekologi pada jangka panjang dan kesehatan dan produktifitas ekosistem hutan (Nyland, 1996)11

5 Silvikultur adalah seni dan ilmu untuk mengontrol kemantapan, pertumbuhan, komposisi dan kualitas vegetasi hutan untuk mencapai berbagai tujuan sumberdaya hutan12

5 Silvikultur adalah seni dan ilmu untuk mengontrol kemantapan, pertumbuhan, komposisi, kesehatan dan kualitas hutan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai5nilai sipemilik dan masyarakat dalam rangka kelestarian13

Umumnya sistem silvikultur menerapkan program perencanaan yang mengelola sepanjang umur tegakan untuk mencapai tujuan tertentu seperti produksi kayu, pengembangan satwa, kualitas air, rekreasi dan estetika ataupun gabungan diantaranya. Namun secara umum aspek yang menjadi pertimbangan utama adalah produk hasil hutan dan regenerasi tegakan hutan.

Berdasarkan komposisi umum tegakan, ada dua tipe tegakan hutan dalam praktek manajeman hutan di Indonesia yakni hutan seumur ( # 3 3 ) dan tidak seumur ( # ).berdasarkan tingkat intervensi manusia, Evan (2000) mengklasivikasi sumberdaya hutan sebagai tegakan tidak terganggu ( , ), hutan yang dimodifikasi ( , ) dan hutan tanaman (, ). Hutan buatan dilaksanakan dengan melakukan

10 “Sivikultural practice consists pf the varios treatments that may be applied to forest stand to maintain and enhance their utilityfor any purpose” David M Smith (1986)

11 “Silviculture also ensures the long5term continuity pf essential ecilogic functions, and the health end productivity of forested ecosystems’ Ralph Nyland (1996)

(43)

aforestasi atau reforestasi (Evan, 2000) dengan melakukan penanaman pada lahan hutan. Ada beberapa sistem silvikultur yang digunakan seperti penebangan sistem

jalur ( ), penebangan system blok ( ),dan

lain5lain 14.Tegakan hutan ini secara umum dicirikan oleh tegakan yang seumur dengan jenis yang sama pada satu petak sebagai bagian dari konsesi.

Di Indonesia, tegakan seumur terdapat pada hutan tanaman dengan sistem tebang hasil dan permudaan buatan. Umumnya hal ini terjadi setelah perlakuan regenerasi tertentu melalui dan lain5lain dimana dimaksudkan untuk mencapai kondisi monakultur (satu jenis species tanaman). Tegakannya memiliki ukuran/ dimensi yang relative seragam “ 3

” dengan sebagian kecil tegakan yang seragam dibawah rata5 rata diameter seluruh tanaman. Dalam tegakan seumur dikenal adanya rotasi yang menentukan siklus dan regenerasi tegakan sebagaimana ditetapkan dalam rencana manejemen hutan. Beberapa ciri tegakan seumur adalah memiliki satu kelas umur, memiliki canopy dan ketinggian yang seragam15.

Sementara tegakan tidak seumur diciptakan oleh kelas umur radom dalam tegakanya seperti “ 3 ” atau 3 ” atau jika ada kelompok kecil bagian yang seumur. Distribusi umur tegakan dipenuhi oleh siklus gangguan yang bersifat radom yang menyebabkan kematian yang terbesar “

” yang membuat distribusi kelas umur yang tersebar dalam seluruh tegakan. Masing5masing tegakan bersaing memperoleh cahaya, bertahan dari gangguan angin, hama dan penyakit,. Dalam kontek Indonesia hutan alam dari hutan buatan cenderung bersifat tegakan tidak seumur.

Manajemen hutan alam menerapkan diantaranya pengurangan keberagaman hutan sehingga tegakan menjadi lebih mudah diprediksi keadaannya dalam hal pembangunan tegakan atau “ # ” dan melalui terobosan “ ” supaya memberikan kesempatan regenerasi secara terus menerus. Definisi tegakan tidak seumur dicirikan oleh adanya lebih dari satu kelas

14 Devinisi dapat diperiksa pada http://www.for.gov.bc.ca/htf/training/00014varclear.htm#clear) 15 Definisi tegakan seumur :

) *% + % % % *% % % , %

% &% % , + % % % ' % % % %

*% ,% + %*% !% ! , % ! %

(44)

umur, tinggi, dan diameter yang terdistribusi berupa seedling sapling, pole dan pohon16.

Dalam manajemen hutan ada dua tipe sistem sivikultur yang diterapkan dikenal sistem tebang pilih dari sistem tebang habis dengan sistem pemudahan buatan. Kedua sistem silvikultur ini memiliki perbedaan yang sangat signifikan.

Sistem tebang pilih diterapkan pada hutan yang merupakan tegakan klimak. Tingkat pemanenannya didasarkan pada batas tiap tegakan hutan. Tingkat ekploitasididasarkan pada batas tingkat tiap dari tegakan hukum supaya tegakan yang masih tinggal masih dapat tumbuh dan mencapai hutan klimak melalui proses alami.

Tebang habis dengan permudaan buatan dilaksanakan pada lahan hutan yang dimulai dari penanaman jenis pohon hutan dimana secara fisik sesuai dengan kebutuhan bahan baku industri ataupun keuntungan ekonomi melalui pemeliharaan dan nilai tegakan. Kepentingan fisik dan ekonomi menentukan jenis dan siklus/ rotasi penanaman hutan. Hal ini mengarah pada pemilihan jenis yang biasanya bersifat cepat tumbuh dan secara ekonomi bernilai tinggi bila dipasarkan baik kepada industri maupun pemanfaatan lainya. Rotasi jenis tanaman menentukan ukuran hutan/konsensi dan jumlah petak yang dibuat guna menetapkan tingkat pemanenan minimal yang secara ekonomi masih menguntungkan pada setiap tahunnya pada petak5petak secara bergiliran sampai kembali kepada petak semula.

2.2.4 Manajemen Hutan Lestari

Didalam sektor kehutanan ada konsep yang berhubungan dengan kelestarian dalam pengelolaan hutan. Penilaian yang dilakukan dalam manajemen hutan tersebut berhubungan dengan kemampuan/ upaya untuk mengelola tegakan hutan sehingga terdapat keberlangsungan kegiatan persiapan lahan., penanaman, pemeliharaan dan pemanenan secara kontinyu sepanjang tahun. Dan pada gilirannya keberlangsungan pengelolaan tegakan hutan memberikan dampak pada

Gambar

Gambar 2. Tahap Masukan Proses Penyusunan Strategi
Gambar 5. Alur Pikir Penelitian
Gambar 6.  Matriks SWOT
Tabel 4. Data dan Metode Analisis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Badan Pusat Statistik, Sensus Penduduk Sulawesi Selatan Tahun 2015.. Kondisi ini membutuhkan perhatian dan antisipasi dari berbagai pihak guna menjamin kualitas

Tabel 2 menyajikan nilai rata-rata pengukuran pohon pada Blok I yang menunjukkan bahwa pada plot 1 jenis pohon didominasi oleh Jati Putih (Gmelina arborea) sebanyak 14 pohon

Guru memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin pertanyaan yang berkaitan dengan gambar yang disajikan dan akan dijawab

Gambar pohon keputusan sistem pakar dapat dilihat pada gambar 3.15 (Iihat Lampiran Mesin inferensi dengan metodeforward chaining yang digunakan dalam sistem ini bertujuan untuk

Metode queue tree dipilih karena dapat melakukan pembatasan bandwidth berdasarkan group bahkan secara hirarki .[2] Sedangkan metode PCQ ( Per Connection Queue )

Gerakan-gerakan yang dilakukan adalah bucket close (silinder bucket bergerak open), stick out (silinder stick bergerak close), boom raise (silinder boom

Berdasarkan hasil analisis, sesuai Tabel 5 yang menyatakan hubungan kekuatan penampang berdasarkan mutu dapat dilihat bahwa kapasitas aksial penampang kolom baja

Kami mempresentasikan sebuah kasus ekstraksi lead CRT ventrikel kiri yang patah setelah dipasang bersama dengan wire PCI dengan tujuan stabilisasi dan untuk mendapat theshold