• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Pemanfaatan Biomassa Daun Kayu Putih Dan Bakteri Pereduksi Sulfat Dalam Pengolahan Air Asam Tambang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Pemanfaatan Biomassa Daun Kayu Putih Dan Bakteri Pereduksi Sulfat Dalam Pengolahan Air Asam Tambang"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PEMANFAATAN BIOMASSA DAUN KAYU PUTIH

DAN BAKTERI PEREDUKSI SULFAT DALAM

PENGOLAHAN AIR ASAM TAMBANG

ZAHRISKA DEWANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

1

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Pemanfaatan Biomassa Daun Kayu Putih dan Bakteri Pereduksi Sulfat dalam Pengolahan Air Asam Tambang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2015 Zahriska Dewani A15413001

(3)
(4)

RINGKASAN

ZAHRISKA DEWANI. Kajian Pemanfaatan Biomassa Daun Kayu Putih dan Bakteri Pereduksi Sulfat dalam Pengolahan Air Asam Tambang. Dibimbing oleh ANAS MIFTAH FAUZI dan IRDIKA MANSUR.

Batubara merupakan salah satu sumber energi yang penting bagi dunia. Keberlimpahan dan biaya yang rendah dalam menggunakan batubara telah membuatnya menjadi pilihan bahan bakar utama untuk membangun pembangkit listrik. Seiring dengan meningkatnya permintaan energi, maka ekplorasi dan eksploitasi penambangan batubara akan terus dilaksanakan. Proses penambangan ini nantinya dapat menghasilkan suatu limbah, berupa Air Asam Tambang (AAT). AAT merupakan limbah yang berbahaya sebab mengandung logam-logam berat dan sulfat yang tinggi. Pengolahan AAT dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu secara aktif maupun pasif. Pengolahan secara aktif adalah melalui penambahan bahan kimia bersifat alkali, sedangkan pengolahan secara pasif melalui pembuatan lahan basah buatan. PT. Bukit Asam telah melakukan penanganan secara pasif. Keuntungan dari sistem ini adalah biaya yang dibutuhkan relatif lebih ekonomis dibandingkan dengan sistem aktif. Namun, metode ini membutuhkan waktu yang cukup lama karena mengandalkan peran alami tanaman. Maka dari itu, dibutuhkan strategi yang diharapkan dapat memberikan keuntungan lebih besar. Strategi yang dilakukan adalah melalui pengkayaan lahan basah buatan dengan memanfaatkan Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS) dan biomassa daun kayu putih, baik limbah segar maupun yang telah mengalami proses dekomposisi.

Saat ini perkebunan kayu putih pada wilayah PT. Bukit Asam tidak kurang dari 100 hektar. Produksi hasil penyulingan daun kayu putih dihasilkan limbah berkisar 300 kg. Limbah yang melimpah tersebut belum termanfaatkan dan dibiarkan terakumulasi di sekitar pabrik penyulingan daun kayu putih. Penggunaan kompos daun kayu putih dalam penelitian adalah sebagai sumber karbon (donor elektron). Sumber karbon tersebut merupakan sumber energi bagi aktivitas metabolisme dan kehidupan BPS. Hal ini disebabkan karena BPS termasuk golongan heterotrof anaerob. Tujuan penelitian ini adalah seleksi isolat BPS dan menganalisis karakter biomassa daun kayu putih, sehingga mendapatkan rancangan proses penanganan AAT melalui pengkayaan lahan basah buatan dengan memanfaatkan peranan BPS dan biomassa daun kayu putih.

(5)

Berdasarkan uji lapang dalam skala pilot didapatkan rancangan proses penanganan AAT yang tepat, yaitu dengan memanfaatkan matrik berupa gravel yang ditambahkan kompos (tanpa BPS). Hal ini diindikasikan dengan peningkatan nilai pH yang signifikan, penurunan kadar Fe dengan efektivitas sebesar 94.89% dan Mn mencapai 99.18%, serta penurunan TSS yang paling efektif dibanding perlakuan lainnya. Matrik tersebut juga dapat memenuhi target baku mutu lingkungan dalam waktu retensi 3 hari dengan rata-rata efektivitas yang tinggi pada keseluruhan parameter, serta efisiensi biaya yang juga tinggi, sehingga dapat diterapkan pada lahan basah buatan PT. Bukit Asam.

(6)

SUMMARY

ZAHRISKA DEWANI. Study of the Eucalyptus Leaves Biomass and Sulphate Reducing Bacteria Utilisation in Acid Mine Drainage Treatment. Supervised by ANAS MIFTAH FAUZI and IRDIKA MANSUR.

Coal is one of world’s important energy sources. The coal’s availability and low cost makes it as the primary fuel in building power plants in the world. As energy demand is increasing, exploration and exploitation of coal mining continues. The mining process result in waste such as acid mine drainage (AMD). AMD is a dangerous waste because it contains high concentration of heavy metals and sulphates. AMD treatment can be done in 2 ways, active and passive. Active treatment is done by alkaline chemical addition, while passive treatment is done by constructed wetlands. PT. Bukit Asam has done passive treatment. The advantage of this system is its relatively more economic cost compared to active treatment. But this method needs longer time because it relies on natural plant’s roles. Because of that, a strategy is needed to get better advantage. Strategy that can be implemented is wetland enrichment by sulphate-reducing bacteria (SRB) and eucalyptus leaves biomass, both fresh and decomposed.

Nowadays eucalyptus plantation in PT. Bukit Asam area is not less than 100 hectare. Eucalyptus leaves distillation produces around 300 kg waste. The abundant waste has not been utilized and resulted in accumulation in the areas around distillation factory. Eucalyptus leaves compost was used in this research as carbon source (electron donor). The carbon source acts as energy source for life and metabolism activities of SRB. This is due to the fact that SRB is anaerob heterotroph that needs organic matter as carbon source. This research used eucalyptus leaves biomass, both fresh and composted. Utilization of the eucalyptus leaves biomass and SRB in AMD treatment is expected to optimize the treatment product to meet environmental quality standards. The aim of this research is to screen SRB isolates and analyze the eucalyptus leaves biomass characteristics in order to design AMD treatment process by wetland enrichment using SRB roles and eucalyptus leaves biomass (fresh and composted). This research is a descriptive semi-field scale research. Sampling was done by simple randomized and composite technique in three different depth points in constructed wetland. AMD samples were analyzed for pH, iron (Fe) content, manganese (Mn)

content, suspended residue (TSS), and SRB population’s cell density determined

by MPN method.

(7)

Based on pilot scale field test, an AMD treatment process was designed, which used gravel as matrix and supplemented by compost (without SRB). This was indicated by the significant increase in pH, decrease in Fe and Mn content with 94.98% and 99.18% effectively respectively, and decrease in TSS most effective compared to other treatments. The matrix can meet environmental quality standards in 3 days retention time of with high affectivities in all parameters, and high cost efficieny. Thus the design can be implemeted in constructed wetlands in PT. Bukit Asam.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan

KAJIAN PEMANFAATAN BIOMASSA DAUN KAYU PUTIH

DAN BAKTERI PEREDUKSI SULFAT DALAM

PENGOLAHAN AIR ASAM TAMBANG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)

Judul Tesis : Kajian Pemanfaatan Biomassa Daun Kayu Putih dan Bakteri Pereduksi Sulfat dalam Pengolahan Air Asam Tambang

Nama : Zahriska Dewani NIM : A154130041

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Anas Miftah Fauzi, MEng Ketua

Dr Ir Irdika Mansur, MForSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Bioteknologi Tanah dan Lingkungan

Prof Dr Ir Dwi Andreas Santosa, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 hingga Maret 2015 ini ialah air asam tambang, dengan judul Kajian Pemanfaatan Biomassa Daun Kayu Putih dan Bakteri Pereduksi Sulfat dalam Pengolahan Air Asam Tambang. Sumber dana penelitian berasal dari Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) – Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Anas Miftah Fauzi, MEng dan Dr Ir Irdika Mansur, MForSc selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan saran. Terima kasih kepada Prof Dr Ir Dwi Andreas Santosa, MS selaku Ketua Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan (BTL) yang telah memberi dorongan dan motivasi selama masa studi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr Ir Mohammad Yani, MEng selaku penguji luar komisi atas segala masukkannya. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr Ir Rahayu Widyastuti, MSi sebagai perwakilan dari program studi BTL yang telah memimpin ujian tesis penulis dan memberikan banyak saran. Tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Firmansyah Adi Prianto, ST dan Madaniyah, SSi sebagai rekan dalam tim penelitian. Terima kasih juga kepada seluruh staf dan teknisi pada Laboratorium Bioteknologi Tanah IPB dan Laboratorium Indonesian Center for Biodiversity and Biotechnology (ICBB), Bogor yang telah banyak membantu penulis selama pelaksanaan penelitian. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada PT. Bukit Asam yang telah memfasilitasi sarana maupun jasa teknis lapangan.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu dan ayah yang selalu

dengan sabar memberikan limpahan dorongan, kasih sayang, semangat, serta do’a

yang tiada hentinya. Kepada kedua adik penulis, Adam Maulana Dewanto dan Amalia Yuanita Dewanti terima kasih atas do’a, semangat, dan pengertiannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Air Asam Tambang 6

Sumber Pembentukkan Air Asam Tambang 7

Pengolahan Air Asam Tambang 8

Biomassa Daun Kayu Putih 9

Bakteri Pereduksi Sulfat 10

Biofilm Sel Bakteri 11

3 METODE PENELITIAN 12

Waktu dan Tempat Penelitian 12

Bahan 12

Alat 12

Prosedur Penelitian 12

Uji Lapang Lahan Basah Buatan dengan Matrik Biomassa Daun Kayu

Putih dan Bakteri Pereduksi Sulfat 14

Analisis Data 15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16

Seleksi Isolat Bakteri Pereduksi Sulfat 16

Karakter Limbah Segar dan Kompos Daun Kayu Putih 20 Uji Lapang Lahan Basah Buatan dengan Matrik Biomassa Daun Kayu

Putih dan Bakteri Pereduksi Sulfat 22

Pembentukkan Biofilm dan Kepadatan Sel Bakteri Pereduksi Sulfat 26

5 SIMPULAN DAN SARAN 27

Simpulan 27

Saran 27

DAFTAR PUSTAKA 27

LAMPIRAN 33

(14)

DAFTAR TABEL

1 Metode pengukuran parameter limbah dan kompos daun kayu putih. 14 2 Rancangan pengambilan sampel pada tiap kolam air asam tambang

dengan kombinasi perlakuan matrik yang berbeda. 15 3 Metode pengukuran parameter air asam tambang. 16 4 Kode dan asal isolat bakteri pereduksi sulfat pada Laboratorium ICBB. 16 5 Data nisbah C/N limbah segar daun kayu putih dan kompos 21 6 Karakter kimia limbah air asam tambang Stockpile-1 Air Laya. 23 7 Kepadatan sel bakteri pereduksi sulfat terimmbolisasi pada gravel. 26

DAFTAR GAMBAR

1 Kegiatan (a) penambangan batubara pada IUP TAL, (b) temuan genangan air asam tambang pada IUP Bangko Barat. 1 2 Sistem aktif (a) mixer pengapuran, sistem pasif (b) lahan basah buatan. 2 3 Tumpukkan (a) limbah segar daun kayu putih hasil penyulingan, (b)

limbah sekitar pabrik yang tidak termanfaatkan. 3 4 Perumusan masalah dalam penanganan air asam tambang 5

5 Diagram alir metode penelitian 13

6 Desain matrik lahan basah menggunakan biomassa daun kayu putih dan

bakteri pereduksi sulfat. 14

7 Indikasi awal waktu tumbuh bakteri pereduksi sulfat (a) 4 hari setelah

isolasi, (b) 9 hari setelah isolasi. 17

8 Histogran awal waktu tumbuh isolat bakteri pereduksi sulfat. 17 9 Pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat pada berbagai variasi nilai pH. 18 10 Histogram waktu rata – rata indikasi awal tumbuh isolat bakteri

pereduksi sulfat pada kondisi lingkungan pH yang berbeda. 18 11 Kerapatan optik isolat bakteri pereduksi sulfat pada pH 3. 19 12 Fluktuasi nilai pH pada pengujian konsentrasi isolat bakteri pereduksi

sulfat ICBB 8818 yang diinokulasikan pada air asam tambang. 20

13 Limbah segar dan kompos daun kayu putih. 20

14 Profil nilai pH, Fe, Mn, TSS air asam tambang pada matrik lahan basah

buatan. 24

DAFTAR LAMPIRAN

1 Statistik deskriptif dan uji normalitas serta eksponensial data 33

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Batubara merupakan salah satu sumber energi yang digunakan untuk menghasilkan listrik hampir 40% di seluruh dunia (World Coal Institute 2009). World Coal Institute meramalkan bahwa penggunaan batubara akan meningkat sebesar 60% selama 14 tahun mendatang. Keberlimpahan dan biaya yang rendah dalam menggunakan batubara telah membuatnya menjadi pilihan bahan bakar utama untuk membangun pembangkit listrik di dunia. Batubara termasuk bahan bakar fosil yang paling melimpah dari segi cadangan global, dan berjumlah 29% dari total konsumsi energi pada tahun 2009 – proporsi tertinggi sejak 1970 (ELAW 2010). Dalam IMA (2014) disebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-3 dalam ekspor batubara. Seiring dengan meningkatnya permintaan energi, maka ekplorasi dan eksploitasi penambangan batubara akan terus dilaksanakan.

Salah satu pertambangan batubara milik negara adalah PT. Bukit Asam (PT.BA). Perusahaan BUMN tersebut merupakan perusahaan tambang batubara dengan Izin Usaha Pertambangan untuk Tambang Air Laya (TAL) seluas 7.700 Ha, Muara Tiga Besar (MTB) 3.300 Ha, dan Banko Barat 4.300 Ha (Annual report PT. BA 2014). Berdasarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang ada, total cadangan yang tertambang sebesar 1,2 miliar ton. Potensi batubara di PT.BA saat ini memungkinkan untuk ditingkatkan lagi dengan memberikan prioritas yang lebih besar pada pengembangan dan pemanfaatannya. Kegiatan penambangan tersebut diawali dengan pembersihan lahan, peledakan tanah penutup dan/atau pemindahan tanah penutup, pembersihan batubara, pemuatan, dan pengangkutan batubara menuju ruang penyimpanan (stockpile-room). Proses penambangan ini nantinya akan menghasilkan suatu limbah, disamping produk yang dihasilkan. Salah satu permasalahan yang ditimbulkan adalah Air Asam Tambang (AAT) yang dihasilkan dari proses pencucian batubara untuk meningkatkan kualitas batubara, juga dari air larian yang kontak dengan mineral pirit yang terkandung dalam batubara (Gambar 1).

(a) (b)

(16)

2

Air Asam Tambang (AAT) merupakan limbah yang berbahaya sebab mengandung logam-logam berat seperti Fe, Al, Mn, Cu, Zn, Cd, Pb, As, dan sulfat yang tinggi (Achterberg et al. 2003). Bakteri yang ada secara alami dapat mempercepat reaksi yang bisa menyebabkan terjadinya AAT. Fowler et al. (1999) menyatakan bahwa proses oksidasi ion Fe2+ menjadi Fe3+ dipercepat dengan adanya mikrob pengoksida besi, seperti T. ferrooxidans. Adanya aktivitas bakteri pengoksida menyebabkan laju oksidasi meningkat hingga 106 kali lipat (Hossner dan Doolittle 2003). Keasaman dan kelarutan logam yang tinggi telah menyebabkan hilangnya beberapa jenis dari biota akuatik sehingga mempengaruhi keseimbangan ekosistem.

Keberadaan logam terlarut juga sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Gautama (2012) melaporkan bahwa pembentukan AAT di Indonesia cukup tinggi, mengingat 95% tambang di Indonesia adalah tambang terbuka dan intensitas hujan sangat tinggi. Berdasarkan Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara serta Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pelaku usaha pertambangan harus bertanggung jawab terhadap berbagai dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Maka dari itu pemerintah menetapkan baku mutu air limbah batubara yang dituangkan dalam Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 18 Tahun 2005. Di dalam baku mutu tersebut ditetapkan bahwa batas pH effluen adalah 6-9, residu tersuspensi 300 mg/L, besi total 7 mg/L, dan mangan total 4 mg/L. Terkait hal tersebut, tentunya PT. BA diwajibkan untuk bertanggung jawab terhadap limbah AAT yang dihasilkan. Pengolahan AAT dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu secara aktif maupun secara pasif. Salah satu pengolahan AAT secara aktif adalah melalui penambahan bahan kimia bersifat alkali, seperti kapur, sedangkan pengolahan secara pasif merupakan proses pengolahan yang tidak memerlukan operasi atau perawatan oleh manusia secara regular, salah satunya adalah melalui pembuatan lahan basah buatan (Gambar 2).

(a) (b)

Gambar 2 (a) Mixer pengapuran pada TAL Utara Udongan (sistem aktif), (b) lahan basah buatan pada Stockpile 1 - Cik Ayip (sistem pasif)

(17)

3 Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan rancangan proses penanganan air asam tambang yang efektif dan efisien secara biologis. Perlakuan yang ditentukan adalah melalui pengkayaan (enrichment) lahan basah dengan memanfaatkan Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS) dan biomassa daun kayu putih, baik limbah segar maupun yang telah mengalami proses dekomposisi; serta kombinasi antara keduanya. BPS digunakan sebagai salah satu variabel dalam perlakuan. Hal ini disebabkan karena BPS mampu tumbuh dan hidup di lingkungan yang banyak mengandung sulfat (Yusron 2009). Dalam proses metabolismenya, BPS memanfaatkan ion sulfat sebagai terminal akseptor elektron dan bahan organik sebagai donor elektron (Bridge et al. 1999). BPS pada sistem CW mampu meningkatkan pH dan mempercepat presipitasi logam berat (Henny 2010). Kandungan bahan organik yang tinggi dapat menyediakan lingkungan yang baik bagi populasi BPS. Oleh karena itu, sangat penting untuk mempertahankan kandungan bahan organik dalam lahan basah buatan. Bahan organik yang umum digunakan pada lahan basah buatan diantaranya kompos, lumut, gambut, akar tanaman yang dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (Leduc dan Ferroni 1994). Proses akumulasi bahan organik dalam waktu yang lama dapat meningkatkan konsumsi oksigen, sehingga membuat kondisi lahan basah menjadi bersifat anaerob (Matias et al. 2005; Neculita et al. 2006). Kondisi seperti ini dapat meningkatkan kandungan asam organik rantai pendek dan mendukung pertumbuhan BPS (Frank 2000).

Astuti (2013) melaporkan saat ini perkebunan kayu putih pada wilayah PT. Bukit Asam tidak kurang dari 100 hektar. Produksi hasil penyulingan daun kayu putih dihasilkan limbah berkisar 300 kg. Limbah daun kayu putih dapat menimbulkan bahaya sebab limbah tersebut mudah terbakar (Sutapa dan Aris 2010). Limbah tersebut belum termanfaatkan dan dibiarkan terakumulasi di sekitar pabrik penyulingan daun kayu putih (Gambar 3).

(a) (b)

Gambar 3 (a) Limbah segar daun kayu putih hasil penyulingan, (b) limbah daun kayu putih yang tidak termanfaatkan dihamparkan di sekitar pabrik minyak kayu putih PT. Bukit Asam

(18)

4

Sumber karbon merupakan sumber energi bagi aktivitas metabolisme dan kehidupan BPS. Hal ini disebabkan karena BPS tergolong dalam bakteri heterotrof anaerob (Bridge et al. 1999), sehingga membutuhkan bahan organik sebagai sumber karbon. Penelitian ini memanfaatkan biomassa daun kayu putih, baik berupa limbah segar maupun yang telah berupa kompos. Pemanfaatan biomassa daun kayu putih dan BPS dalam pengolahan AAT diharapkan dapat optimal dengan hasil olahan sesuai dengan baku mutu lingkungan.

Perumusan Masalah

Limbah AAT merupakan permasalahan lingkungan yang dihadapi di seluruh industri tambang di dunia. Menurut Gautama (2012), AAT terjadi karena tersedianya 3 hal, yaitu mineral sulfida (sebagai sumber sulfur atau asam), oksigen

(dalam udara, sebagai pengoksidasi), dan air dari pencuci hasil oksidasi. Melihat

permasalahan lingkungan yang ditimbulkan, beberapa tindakan telah dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan dampak negatif tersebut. Salah satunya adalah melaui langkah preventif, yakni menghindari terjadinya limbah AAT. Prinsip langkah preventif ini adalah menghindari terjadinya proses oksidasi bahan mineral pirit dan sulfida lainnya (Johnson dan Hallberg, 2005), yakni dengan menyimpan batuan mineral pirit dalam kondisi anaerob.

(19)

5 Teknik remediasi abiotik yang telah dikembangkan yaitu dengan cara menetralisir sifat masam dengan menambahkan bahan kimia (Coulton et al., 2003). Teknik ini dikenal dengan sistem aktif. Penambahan bahan kimia alkali pada AAT akan meningkatkan pH, mempercepat laju oksidasi kimia dari ion Fe2+ dan mengendapkan logam-logam yang ada pada larutan dalam bentuk hidroksida atau karbonat. Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan rancangan proses penanganan AAT yang efektif dan efisien secara biologis. Perlakuan yang diterapkan adalah melalui pengkayaan lahan basah dengan memanfaatkan BPS dan biomassa daun kayu putih, baik limbah segar maupun yang telah mengalami proses dekomposisi; serta kombinasi antara keduanya.

BPS digunakan sebagai salah satu variabel dalam perlakuan. Hal ini disebabkan karena BPS mampu tumbuh dan hidup di lingkungan yang banyak mengandung sulfat (Yusron 2009). Dalam proses metabolismenya, BPS memanfaatkan ion sulfat sebagai terminal akseptor elektron dan bahan organik sebagai donor elektron (Bridge et al. 1999). BPS pada sistem CW mampu meningkatkan pH dan mempercepat presipitasi logam berat (Henny 2010). Variabel lainnya adalah biomassa daun kayu putih (DKP). Limbah hasil penyulingan daun kayu putih yang melimpah pada PT.BA belum termanfaatkan. Maka dari itu, pemanfaatan biomassa daun kayu putih dan BPS dalam pengolahan AAT diharapkan menghasilkan olahan yang sesuai dengan baku mutu lingkungan. Berdasarkan permasalahan tersebut, secara ringkas disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Perumusan masalah dalam penanganan air asam tambang Air Asam Tambang

Biaya Operasional Tinggi Biaya Operasional Rendah

Proses berjalan lambat

Pengkayaan lahan basah buatan

(20)

6

Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang dipecahkan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana efektivitas dan efisiensi pengolahan AAT, melalui pemanfaatan limbah maupun kompos daun kayu putih dan BPS?

2. Bagaimana optimasi proses pengolahan AAT menggunakan limbah maupun kompos daun kayu putih dan BPS?

3. Bagaimana peranan limbah maupun kompos daun kayu putih dan BPS terhadap penurunan kadar Fe, Mn, residu tersuspensi (TSS), dan nilai pH dalam pengolahan AAT?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah seleksi isolat BPS dan menganalisis karakter biomassa daun kayu putih, sehingga mendapatkan rancangan proses penanganan AAT melalui pengkayaan lahan basah buatan dengan memanfaatkan peranan BPS dan biomassa daun kayu putih (limbah segar maupun kompos).

Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini, yaitu memperkaya pengetahuan terkait sistem pasif pada pengolahan AAT menggunakan BPS dan biomassa daun kayu putih; serta meningkatkan kinerja proses pengolahan AAT melalui sistem pasif, sehingga dapat memaksimalkan kinerja lahan basah buatan yang telah tersedia pada wilayah PT. BA.

.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Air Asam Tambang

Air Asam Tambang (AAT) adalah air limbah hasil penambangan dengan tingkat keasaman tinggi (pH rendah, < 4). AAT timbul dari hasil reaksi dari oksidasi batuan yang terpapar oleh air, sehingga menghasilkan asam sulfat dan endapan besi hidroksida (Achterberg et al. 2003). Warna kekuningan yang mengendap di dasar saluran tambang atau pada dinding kolam pengendap lumpur merupakan gambaran visual dari endapan besi hidroksida (Aube dan Payant 1997). Secara umum reaksi pembentukan air asam tambang adalah sebagai berikut (Lizama dan Suzuki 1989):

4 FeS2 + 15 O2 + 14 H2O → 4 Fe(OH)3(s) + 8 H2SO4

Pyrite + Oxygen + Water → “Yellowboy” + Sulfuric Acid

(21)

7

FeS2(s) + 7/2 O2 + H2O - Fe2+ + 2SO42- + 2H+ (1) Fe2+ + 1/4 O2 + H+ - Fe3+ + 1/4 H2O (2) FeS2 (s) + 14Fe3+ + 8H2O-15 Fe2+ + 2SO42- + 16 H+ (3) Fe3+ + 3H2O - Fe(OH)3(s) + 3H+ (4) Secara keseluruhan oksidasi pyrite mengikuti persamaan berikut:

FeS2(s) + 15/4 O2 + 7/2 H2O - Fe(OH)3(s) + 2SO42- + 4H+ + energi (5) Oksidasi terhadap pyrite akan menghasilkan besi (II) dan sulfat, kemudian besi (II) teroksidasi kembali menjadi besi (III). Reaksi akan berlangsung lambat dalam kondisi asam dan semakin cepat dengan kenaikan besi hidroksida. Besi (III) yang belum mengendap akan mengoksidasi pyrite yang belum mengalami oksidasi. Penurunan kemasaman lingkungan merupakan kondisi yang cukup sesuai bagi pertumbuhan bakteri asidofilik pengoksida besi dan sulfur. Bakteri yang ada secara alami dapat mempercepat reaksi yang bisa menyebabkan terjadinya AAT. Fowler et al. (1999) menyatakan bahwa proses oksidasi ion Fe2+ menjadi Fe3+ dipercepat dengan adanya mikrob pengoksida besi, seperti T. ferrooxidans. Hossner dan Doolittle (2003) melaporkan adanya aktivitas bakteri pengoksida dapat menyebabkan laju oksidasi meningkat hingga 106 kali lipat.

Sumber-Sumber Pembentukan Air Asam Tambang

AAT berasal dari kegiatan tambang terbuka, pengolahan batuan buangan, maupun unit pengolahan limbah tailing (World Coal Institute 2009). Pada kegiatan tambang terbuka, lapisan batuan akan terbuka akibat terkupasnya lapisan penutup. Hal ini menyebabkan unsur-unsur sulfur yang terdapat dalam batuan sulfida akan teroksidasi dan bila bereaksi dengan air dan oksigen akan membentuk AAT (Lizama dan Suzuki 1989). Material yang banyak terdapat limbah kegiatan penambangan adalah batuan buangan (waste rock). Jumlah batuan buangan ini akan semakin meningkat dengan bertambahnya kegiatan penambangan. Batuan buangan yang mengandung sulfur nantinya akan berhubungan langsung dengan udara terbuka membentuk senyawa sulfur oksida yang selanjutnya dengan adanya air akan membentuk AAT (Achterberg et al. 2003). Kandungan unsur-unsur sulfur di dalam tailing juga diketahui mempunyai potensi dalam membentuk AAT. Air yang masuk ke dalam tailing pond yang bersifat asam diperkirakan akan menyebabkan limbah asam bila merembes keluar dari tailing pond (World Coal Institute 2009).

(22)

8

sulfida (Mays dan Edwards 2000). Stockpile adalah tempat penyimpanan sementara batubara dalam bentuk timbunan maupun tumpukan. Sumber AAT berasal dari limpasan air pencucian batubara dan air hujan yang berasal dari pelapisan B2C yang mengandung mineral sulfida (Nurisman 2012). TLS merupakan tempat pengisian batubara untuk diangkut menggunakan kereta. Pada TLS, AAT dapat terbentuk dikarenakan adanya tumpahan-tumpahan batubara yang berasal dari pengisian ke dalam gerbong kereta. Tumpahan-tumpahan batubara tersebut dapat bereaksi dengan udara dan air sehingga membentuk AAT.

Pengolahan Air Asam Tambang

Jhonson and Hallberg (2005) menyatakan bahwa pengolahan AAT dapat dilakukan melalui 2 sistem yaitu sistem aktif dan sistem pasif. Pengolahan yang paling umum digunakan adalah metode sistem aktif dengan menggunakan bahan kimia alkali yang ditambahkan terus-menerus ke AAT. Proses penetralan AAT akan mengendapkan logam-logam terlarut dan membentuk selimut lumpur (sludge blanket). Kelemahan dari pengolahan aktif ini adalah membutuhkan biaya operasional yang tinggi, serta intervensi operator dalam pemindahan atau membuang selimut lumpur yang mengandung logam. Metode lainnya yaitu berupa sistem pasif. Pada sistem pengolahan pasif hanya memerlukan perawatan dan penggantian secara periodik. Prinsip perlakuan system pasif adalah membiarkan reaksi kimia dan biologi berlangsung secara alami. Munawar (2007) memaparkan perlakuan pasif lebih murah dan tidak memerlukan perawatan intensif. Henny et al. (2010) menyatakan bahwa sistem pasif adalah suatu sistem yang memanfaatkan sumber energi yang tersedia secara alami seperti gradien topografi, energi metabolisme mikrob, fotosintesis dan energi kimia.

Teknologi sistem pasif melalui lahan basah buatan sudah banyak digunakan di negara maju dengan menggunakan berbagai jenis tanaman sebagai pengolah limbah. Pada lahan basah buatan, bahan organik atau substrat, tanaman air, dan bakteri memegang peranan penting. Tujuan utama membangun lahan basah buatan sekitar tambang adalah menampung limpahan air hujan yang menghanyutkan tanah galian tambang beserta dengan senyawa logam seperti pirit. Proses pengolahan AAT pada sistem pasif yaitu menghasilkan zat anorganik dengan struktur lebih sederhana (Henny et al. 2010). Hasil penguraian zat organik menjadi anorganik diabsorpsi oleh tanaman melalui proses metabolisme untuk pertumbuhannya (Hammer dan Bastian, 1989).

(23)

9 penelitian untuk mengolah AAT dan leachate dari pertambangan batubara di Ohio, USA. Pada penelitian tersebut dihasilkan persen reduksi Fe yang mencapai 99.90% dengan kondisi pH 9. Nyquist dan Greger (2008) juga melakukan penelitian dengan menggunakan lahan basah buatan untuk mengolah AAT, sehingga diketahui bahwa lahan basah buatan dapat mereduksi Cu dalam air limbah sebesar 36-57%.

Biomassa Daun Kayu Putih

Daun kayu putih dapat menghasilkan minyak atsiri sekitar 0.5% hingga 1.5% (Sutapa dan Aris 2010). Dalam pengolahan minyak kayu putih dihasilkan limbah padat berupa sisa daun, ranting dan tanaman hasil dari proses destilasi. PT. BA telah berhasil memproduksi minyak kayu putih. Semula penanaman pohon minyak kayu putih ini hanya sebagai upaya penghijauan di lahan bekas galian tambang batu bara. Namun, seiring perkembangannya tanaman kayu putih dinilai cukup potensial dan menghasilkan, sehingga PT. BA mulai melakukan upaya serius dalam pengolahannya. Dalam proses pengolahan daun kayu putih pada PT. BA dihasilkan limbah organik sekitar 300 kg pada tiap kali produksi (Astuti 2013). Limbah tersebut belum termanfaatkan dan hanya dibiarkan terakumulasi di sekitar pabrik penyulingan, sehingga membutuhkan lahan yang luas untuk membuangnya.

Proses dekomposisi limbah daun kayu putih secara alami membutuhkan waktu lama dan menghasilkan CO2 dalam tanah (Sutapa dan Aris 2010). Adanya lignoselulosa pada dinding sel sekunder tanaman menyebabkan lamanya waktu dekomposisi (Zumrotiningrum et al. 2004). Menurut Isroi (2008), proses dekomposisi umumnya melibatkan beberapa kelompok organisme baik mikroflora, mikrofauna, makroflora, dan makrofauna. Berdasarkan penelitian Sahwan (2011), pada proses dekomposisi bahan organik terdapat 3 golongan konsorsium mikrob yang terlibat, diantaranya bakteri, Actinomycetes, dan fungi. Jenis-jenis dari kelompok mikrob tersebut, yaitu:

1. Bakteri: Aerobacter, Bacillus megatherium, B. Stearothermophillus, B. Cereus, B. Mycoides, Psedomonad sp., Flavobacterium sp., Micrococcus sp., Sarcina sp., Thiobacillus thiooxidans, T. Denitrificans.

2. Actinomycetes: Thermospora viridis, T. Curcata, Actinoplanes sp., Micromonospora parva, M. Vulgaris, Pseudonocardia, Streptomyces thermoviolaceus, S. Thermofuscus, Thermonospora fusca.

3. Fungi: Rhizopus nigricans, Rhizoctonia sp., Mucor pusillus, Mucor racemosus, Pennicilium digitatum, Aspergillus flavus, Saccharomyces sp., Pulluloria sp., Hanusenula sp., Trichoderma koningi.

(24)

10

Bakteri Pereduksi Sulfat

Kandungan sulfat dalam AAT dapat diturunkan dengan memanfaatkan aktivitas BPS. Hal ini disebabkan karena BPS mampu menggunakan ion sulfat, sulfit atau thiosulfat sebagai aseptor elektron untuk mendapatkan energi dalam proses metabolismenya (Hards dan Higgins 2004). Ion-ion tersebut akan tereduksi menjadi sulfida. Terbentuknya hidrogen sulfida juga akan sangat menguntungkan terhadap lingkungan yang mengandung logam terlarut tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Widyawati (20066) menunjukkan bahwa pada tanah bekas tambang batubara yang diberi perlakuan bahan organik yang dikoloni oleh BPS dapat menurunkan ketersediaan logam Fe, Mn, Zn dan Cu dalam tanah dengan efisiensi antara 68 - 97% setelah 15 hari inkubasi. Bahan organik berperan sebagai donor elekton dalam metabolisme yang juga berguna sebagai bahan penyusun sel BPS (Kolmert dan Johnson 2001). Berikut adalah reaksi reduksi sulfat oleh BPS menurut Postgate dan Campbell (1966):

SO4 2- + H2 + 2 H+ → H2S + 4H2O

Metabolisme BPS membutuhkan senyawa organik sederhana seperti laktat dan piruvat sebagai sumber karbon dengan sumber karbon dengan reaksi sebagai berikut:

2C3H5O3 + SO42- 2CH3COO- + 2CO2 + H2O + S

(25)

11 Biofilm Sel Bakteri

Biofilm merupakan sekumpulan sel bakteri yang melekat erat pada suatu permukaan sehingga berada dalam keadaan diam, tidak mudah terlepas atau berpindah tempat (Kolmert dan Johnson 2001). Pelekatan ini disertai dengan penumpukan bahan organik yang diselubungi oleh matrik polimer ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri tersebut (Donlan 2002). Pembentukan biofilm tersebut menciptakan kondisi lingkungan yang optimal bagi aktivitas bakteri (Santegoeds et al. 1998).

Biofilm terbentuk karena adanya interaksi antara bakteri dan permukaan yang ditempeli. Waktu yang diperlukan untuk membentuk biofilm sangat beragam, tergantung dari jenis bakteri, permukaan bahan penempelan, dan kondisi lingkungan. Santegoeds et al. (1998) melaporkan bahwa BPS mulai membentuk biofilm satu minggu setelah inokulasi, dan pada media hematit biofilm bakteri mulai terbentuk 2 minggu setelah inkubasi. Kelebihan bakteri yang membentuk biofilm adalah sel bakteri mampu bertahan pada kondisi makanan yang terbatas. Immobilisasi bakteri dalam membentuk biofilm dilakukan untuk menghasilkan kepadatan populasi sel dalam bioreaktor yang lebih tinggi, sehingga dihasilkan ukuran bioreaktor yang lebih kecil, waktu tinggal yang lebih pendek dan laju aliran yang lebih tinggi (Hrenovic et al. 2007).

Lingkungan yang ideal untuk membentuk biofilm adalah adanya kontak antara permukaan benda padat dengan cairan (Masak et al. 2003). Sel bakteri akan melekat ke permukaan dengan adanya daya tarik elektrostatis dan fisik. Sel bakteri tersebut selanjutnya menempel pada permukaan padatan dengan adanya extracellular polymeric substances (EPS). O’Toole (2003) mengemukakan EPS tidak hanya berfungsi sebagai bahan pengikat antara sel dengan permukaan padatan, tetapi berperan dalam sistem pertukaran ion . Proses tersebut berfungsi untuk mengikat nutrisi dalam air yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sel. Pada saat ketersediaan nutrisi mencukupi, sel bakteri berkembang dan sel baru membentuk EPS tersendiri. Perkembangan semacam ini terus berlanjut, sehingga membentuk kelompok koloni yang saling terkait.

(26)

12

3

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada September 2014 hingga Maret 2015. Tahap pertama merupakan persiapan bahan penelitian berupa biomassa daun kayu putih dan BPS yang dilaksanakan di Indonesian Center of Biodiversity and Biotechnology (ICBB) Laboratory – Bogor, Jawa Barat. Tahap selanjutnya merupakan aplikasi uji lapang pada skala pilot di wilayah penambangan batubara Stockpile 1 KPL Cik Ayip – IUP Air Laya PT. Bukit Asam (Persero), Tbk. - Tanjung Enim, Sumatera Selatan.

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian adalah biomassa daun kayu putih, baik berupa limbah segar maupun kompos, batu kerakal (gravel), BPS dengan kode ICBB 8813; ICBB 8815; ICBB 8816; ICBB 8818; ICBB 8819; ICBB 8825, sedimen lumpur, bokasi, media postgate B, AAT dari Stockpile 1 – IUP Air Laya PT. Bukit Asam (Persero) Tbk., larutan standart Fe, larutan standart Mn, aquadest, alkohol, dan spiritus.

Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian adalah 6 kolam buatan yang masing – masing berukuran (320x40x75) cm3 sebagai bioreaktor, plastik, AAS (Atomic Absorbtion Spectrometer), labu Erlenmeyer, gelas ukur, oven, desikator, tabung ulir, timbangan analitik, WhatmannTM No. 41 D125 mm, cellulose nitrate filter 0.45 µm, pipet ukur, botol sampel 100 ml.

Prosedur Penelitian

(27)

13

Gambar 5 Diagram alir metode penelitian

Dalam pengujian BPS, dilakukan 3 tahapan seleksi, yaitu: seleksi berdasarkan waktu tumbuh, variasi lingkungan pH, dan seleksi berdasarkan berbagai konsentrasi. Seleksi pertama yaitu berdasarkan waktu tumbuh, bakteri-bakteri tersebut diremajakan terlebih dahulu pada media Postgate B. Bakteri yang paling cepat tumbuh selanjutnya akan digunakan dalam seleksi berdasarkan variasi pH. Nilai pH yang digunakan, yaitu: pH 3, pH 4, pH 6, pH 7, kemudian dilihat absorbansi kepadatan bakteri melalui spektrofotometer. Seleksi tahap akhir adalah berupa pengujian inokulasi BPS ke dalam sampel AAT.

Perumusan Masalah

Penentuan Lokasi Penelitian

Pengumpulan Data

Data Primer Data Sekunder

Fisika : - pH - TSS - Warna

Kimia : - Kadar Fe - Kadar Mn

Biologi : Bakteri Pereduksi

Sulfat

Desain lahan basah eksisting dan data AAT pada effluent

Analisis Kualitas Air

Analisis Populasi Sel BPS

Pengolahan Data

(28)

14

Inokulasi BPS dilakukan dengan berbagai konsentrasi, yaitu 1%, 2%, 3%, dan 5% (v/v). Analisis dilakukan berdasarkan peningkatan nilai pH AAT. BPS membutuhkan bahan organik sebagai sumber karbon dalam treatment AAT. Bahan organik yang digunakan pada penelitian ini adalah biomassa daun kayu putih. Dalam menentukan karakteristik biomassa daun kayu putih yang dapat dimanfaatkan oleh BPS pada treatment AAT, maka terlebih dahulu dilakukan beberapa analisis pengujian.

Terdapat 2 jenis bahan organik yang dianalisis berdasarkan karakteristik fisika dan kimia, yaitu limbah segar daun kayu putih [L] dan kompos daun kayu putih [K]. Kompos berasal dari limbah daun kayu putih yang terdekomposisi aerob secara alamiah selama 1 tahun. Karakter limbah dan kompos daun kayu putih dilihat berdasarkan nilai pH, C-Organik, N-Total, nisbah C/N, kadar air, dan kadar kering. Berikut Tabel 1 menyajikan Standard Operating Procedure (SOP) dalam pengukuran parameter pada limbah dan kompos daun kayu putih.

Tabel 1 Metode pengukuran parameter limbah dan kompos daun kayu putih

Pengujian Metode Alat yang digunakan

pH SNI 03-6787-2002 Soil tester

C-organik Walkley dan Black Titrimeter

N-total Kjehdal Destilator

Kadar air SNI 19-3964-1995 Oven

Uji Lapang Lahan Basah dengan Matrik Biomassa Daun Kayu Putih dan Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS)

Tahap selanjutnya adalah tahap pengoperasian di lapangan. Pada tahap ini, matrik lahan basah buatan yang diterapkan oleh PT. BA direplikasi dengan ukuran yang diperkecil menjadi (320x40x75) cm3 (Gambar 6), sehingga kapasitas volume AAT yang tertampung adalah sebesar 600 L, dengan tinggi permukaan air 30cm. Jenis kolam lahan basah buatan yang digunakan adalah anaerobic wetland.

(29)

15 Gravel dimasukkan ke dalam kolam hingga mencapai ketinggian 30cm. Gravel berfungsi sebagai material dalam pembentukkan biofilm bagi BPS. Komponen selanjutnya adalah limbah daun kayu putih yang berfungsi sebagai sumber karbon bagi BPS ataupun bioakumulator logam berat dimasukkan hingga mencapai ketinggian 10 cm. Pada pengkayaan melalui penambahan isolat BPS, dilakukan penambahan sebanyak 5% dari total volume AAT yang tertampung. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode Simple Randomized and Composite pada tiga titik kedalaman 10 cm, 20 cm, 30 cm pada lahan basah buatan selama 17 HSP disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Rancangan pengambilan sampel pada tiap kolam air asam tambang dengan kombinasi pelakuan matrik yang berbeda.

Keterangan:

Penelitian ini dilakukan pada skala semi lapangan (pilot) tanpa ulangan, sehingga dapat dimungkinkan unit percobaan yang tidak homogen (heterogen). Metode ini dipilih karena keterbatasan biaya dan fasilitas dalam pembuatan kolam-kolam percobaan (Lampiran 2). Pengolahan dan penyajian data dilakukan secara deskriptif dengan mengumpulkan data - data variabel yang diplot dalam sistem koordinat. Hasil plotting berupa titik–titik penyebaran data sehingga membentuk kurva.

Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah AAT yang terdapat pada kolam lahan basah buatan. BPS dan biomassa daun kayu putih, baik berupa limbah segar maupun kompos merupakan variabel bebas, sedangkan pH, Fe, Mn, dan TSS dilakukan sebagai variabel terikat. Waktu pengamatan yang diterapkan adalah 3 HSP hingga 4 HSP. Standard Operating Procedure (SOP) dalam pengukuran Fe, Mn, pH, dan TSS berdasarkan SNI disajikan pada Tabel 3.

(30)

16

Tabel 3 Metode pengukuran parameter air asam tambang

Pengujian Metode Alat yang digunakan

pH SNI: 6989.11-2004 pH meter

Kadar Fe SNI: 6989.4-2009 AAS

Kadar Mn SNI: 6985.5-2009 AAS

Residu tersuspensi (TSS) SNI: 6989.3-2004 Kertas saring Analisis secara biologis dilakukan pula terhadap populasi kepadatan sel BPS melalui metode MPN. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara anaerob dengan memasukkan mulut botol sampel terlebih dahulu ke dalam kolam, kemudian gravel dimasukkan ke dalam botol sampel tersebut dan ditutup di dalam kolam. Sebanyak 25g gravel yang telah ditumbuhi biofilm BPS dimasukkan ke dalam botol dan ditambahkan 5ml akuades steril, kemudian dikocok hingga BPS terlepas dari gravel. Akuades yang telah mengandung sel BPS diambil sebanyak 1 ml dan ditumbuhkan pada media Postgate cair. Setelah BPS tumbuh, dilakukan pengenceran hingga 5 kali dan pada tiap tingkat pengenceran dilakukan isolasi sebanyak 10 seri tabung. Perhitungan tabung positif yang mengandung BPS, dilakukan berdasarkan perubahan warna media yang berubah menjadi warna hitam. Jumlah tabung-tabung positif tersebut hasilnya dibaca berdasarkan nilai MPN yang terdapat pada tabel MPN (Most Probable Number), kemudian nilai MPN sampel dapat dihitung, sehingga satuannya adalah CFU/ml. Berikut rumus perhitungan MPN sampel (Oblinger dan Koburger 1975):

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Seleksi Isolat Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS)

BPS koleksi ICBB diisolasi dari ekosistem sedimen di kolam penampungan AAT industri batubara PT. BA oleh peneliti sebelumnya, yaitu Yusron (2009). Terdapat 6 sampel BPS unggul yang diisolasi pada penelitian kali ini. Kode isolat BPS beserta asal isolat disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Kode dan asal isolat bakteri pereduksi sulfat koleksi Laboratorium ICBB

No. Kode Isolat Asal Isolat

1 ICBB 8813 ALP 3, Sedimen air laya PT. BA 2 ICBB 8815 KPL 4, Sedimen air laya PT. BA 3 ICBB 8816 Tower 4, Sedimen air laya PT. BA 4 ICBB 8818 KTU 1, Sedimen air laya PT. BA 5 ICBB 8819 Tupak 3, Sedimen air laya PT. BA

(31)

17

Pertumbuhan isolat bakteri pereduksi sulfat

Pertumbuhan BPS ditandai dengan perubahan warna pada media dari bening menjadi hitam pekat pada tabung reaksi. Perubahan wama media tersebut disebabkan karena reaksi reduksi sulfat, SO42- yangdireduksi oleh BPS menjadi S2-, dan bereaksi dengan ion logam membentuk logam sulfida yang berwarna hitam dan tidak larut (Yusron, 2009).

(a) (b)

Gambar 7 Indikasi awal waktu tumbuh bakteri pereduksi sulfat. (a) 4 hari setelah isolasi, (b) 9 hari setelah isolasi

Isolat BPS ICBB 8818 memiliki kemampuan waktu awal tumbuh yang lebih cepat dibandingkan dengan kelima isolat lainnya (Gambar 7). Waktu awal pertumbuhan diindikasikan dengan adanya warna kehitaman pada media. Berikut adalah histogram kecepatan pertumbuhan keenam isolat BPS (Gambar 8).

Gambar 8 Histogram awal waktu tumbuh isolat bakteri pereduksi sulfat.

Berdasarkan histogram di atas dapat dilihat bahwa isolat BPS ICBB 8818 memiliki kemampuan waktu tumbuh yang paling cepat, kemudian disusul dengan ICBB 8815 dan 8813, sehingga pada tahapan seleksi selanjutnya digunakan 3 isolat BPS tersebut. Hal ini disebabkan karena efektifitas kinerja BPS dapat dilihat berdasarkan waktu awal tumbuhnya (Widyawati 2011).

0 5 10 15 20 25 30 35

ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818 ICBB 8819 ICBB 8825

Awal waktu tumbuh (hari)

K

ode

Isol

at

B

(32)

18

Pengaruh pH terhadap pertumbuhan isolat

Tahap seleksi BPS selanjutnya adalah berdasarkan pertumbuhan pada variasi lingkungan pH. Nilai pH yang digunakan, yaitu pH 3, pH 4, pH 6, dan pH 7, kemudian dilihat absorbansi kepadatan bakteri melalui spektrofotometer. Pengaturan pH 3 dan pH 4 dilakukan dengan penambahan asam sulfat sebelum disterilisasi. Pertumbuhan BPS pada variasi nilai pH disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Pertumbuhan bakteri pereduksi sulfar pada berbagai variasi nilai pH

Isolat ICBB 8818 hanya membutuhkan waktu 4 hingga 6 hari untuk tumbuh pada pH 6 dan pH 7, sedangkan pada pH 3 dan pH 4 membutuhkan 8 hingga 10 hari untuk dapat diindikasikan mulai tumbuh. Isolat ICBB 8813 dapat terlihat indikasi mulai tumbuh pada pH 3 dan pH 4 selama 18 hingga 21 hari dan ICBB 8815 terlihat indikasi mulai tumbuh yang lebih cepat, yaitu 15 hingga 19 hari namun kedua isolat tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama dari ICBB 8818, begitu pula pertumbuhan kedua isolat tersebut pada pH 6 dan pH 7. Histogram pertumbuhan ketiga isolat BPS pada kondisi lingkungan pH yang berbeda disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Histogram waktu rata-rata indikasi awal tumbuh ketiga isolat bakteri pereduksi sulfat pada kondisi lingkungan pH yang berbeda.

Perubahan pH secara langsung dapat mempengaruhi struktur enzim dan protein lain dalam sel bakteri, karena aktivitas fisiologis intraselular selalu berada dalam kondisi mendekati netral (Yusron, 2009). Oleh karena itu, sel bakteri perlu melakukan adaptasi fisiologis atau penyesuaian apabila kondisi lingkungan di luar sel terlalu masam atau terlalu basa. Kondisi pH yang terlalu masam atau terlalu basa akan menghambat pembentukan ATP, sedangkan kondisi pH netral

(33)

19 pembentukan ATP berjalan lebih cepat (Garland 1977; Mitchell 1961). Berdasarkan hal tersebut, maka waktu tumbuh BPS pada pH rendah lebih lama dibandingkan dengan pH mendekati netral (Gambar 10).

Kondisi lingkungan yang asam juga menentukan pertumbuhan BPS. Secara kualitatif pertumbuhan biomassa BPS ditunjukkan dengan absorbansi atau kerapatan optik (pengukuran OD) melalui spektrofotometer dengan panjang gelombang 600nm (Gambar 11). Metode ini merupakan cara yang baik untuk melihat pertumbuhan bakteri tanpa harus mengganggu kultur bakteri (Black 2007). Pada tahap ini kerapatan optik diukur 28 hari setelah inkubasi pada pH 3, dengan blanko berupa media tanpa isolat BPS.

Gambar 11 Kerapatan optik isolat bakteri pereduksi sulfat pada pH 3

Pada Gambar 11 dapat dilihat bahwa isolat BPS ICBB 8818 memiliki kemampuan waktu tumbuh yang paling cepat, baik pada pH netral maupun asam. Secara kualitatif pertumbuhan biomassa BPS ICBB 8818 juga memiliki nilai kerapatan optik yang paling tinggi yaitu 0.76, sehingga isolat yang dapat diaplikasikan di lapangan adalah isolat BPS dengan kode ICBB 8818. Isolat tersebut termasuk dalam kelompok Desulfovibrio sp (Yusron 2009).

Desulfovibrio sp. adalah BPS dengan karakteristik bersifat mesofil, gram negatif, batang, tidak membentuk spora dan hanya menunjukkan pertumbuhan pada kondisi anaerob (Widdel dan Bak 1994). Bakteri ini mengoksidasi karbon organik secara tidak sempurna. Rzeczycka dan Blaszczyk (2005) melaporkan bahwa Desulfovibrio tumbuh lebih baik dengan laktat sebagai sumber karbon. Namun demikian kelompok bakteri ini juga dapat memanfaatkan sumber karbon lain, seperti malat, pyruvat, propionat, butyrat, dalam mereduksi sulfat (Postgate dan Campbell 1966).

Penentuan tetapan konsentrasi

(34)

20

Analisis dilakukan berdasarkan peningkatan nilai pH AAT. Fluktuasi nilai pH pada berbagai konsentrasi isolat BPS mulai dari 0 hari setelah inokulasi (HSI) hingga 16 HSI ditujukan pada Gambar 12.

Gambar 12 Fluktuasi nilai pH pada pengujian konsentrasi isolat bakteri pereduksi sulfat ICBB 8818 (%) yang diinokulasikan pada air asam tambang. Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa nilai pH pada kontrol terlihat adanya sedikit peningkatan. Hal ini dimungkinkan terdapat kontaminasi dari BPS terhadap AAT, sebab tidak adanya proses sterilisasi AAT terlebih dahulu. Penambahan isolat BPS ICBB 8818 sebanyak 5% memiliki kemampuan yang optimal dalam meningkatkan nilai pH bila dibandingkan dengan kontrol. Hal ini juga didukung dengan penelitian Widyawati (2011) yang memaparkan bahwa dalam menurunkan Fe dan Mn berturut-turut dosis yang paling baik adalah 5% dengan waktu inkubasi 4 hari. Oleh karena itu, tetapan konsentrasi yang dapat diaplikasikan di lapangan adalah dengan menambahkan isolat BPS ICBB 8818 sebanyak 5% dari volume AAT.

Karakter Limbah Segar dan Kompos Daun Kayu Putih

BPS membutuhkan bahan organik sebagai sumber karbon dalam treatment AAT. Bahan organik yang digunakan pada penelitian ini adalah biomassa daun kayu putih. Terdapat 2 jenis biomassa daun kayu putih, yaitu limbah segar daun kayu putih [L] dan kompos daun kayu putih [K] (Gambar 13).

(a) (b)

(35)

21 Proses dekomposisi limbah organik berupa daun kayu putih secara alami membutuhkan waktu yang lama. Proses tersebut juga menghasilkan CO2 sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman juga pencemaran udara walaupun relatif rendah (Murbandono, 1999). Lama dekomposisi limbah tersebut secara alami kurang lebih 1 tahun dikarenakan sifat daun yang sangat sulit hancur. Mudah dan sukarnya dekomposisi suatu seresah tergantung dari zat-zat yang terkandung di dalam jaringannya (Ambarwati, 2001).

Adanya lignoselulosa pada dinding sel sekunder tanaman menyebabkan lamanya waktu dekomposisi (Beguin dan Aubert 1992; Fengel dan Wegener 1995). Menurut Sutedjo (1991), bahan lignoselulosa tersebut secara alami sulit terdegradasi sehingga untuk mempercepat proses pengomposan diperlukan mikroba yang mampu mendegradasinya. Pada umumnya selulosa dapat didegradasi oleh Alternaria, Aspergillus, Fomes, Fusarium, Myrothecium, Penicillium, Polyporus,Rhizopus, dan Verticillum (Alexander, 1977).

Dalam penelitian Zumrotingrum et al. (2003) diperoleh 6 jenis isolat cendawan yang tumbuh pada limbah daun kayu putih dan tanah di tempat pembuangan limbah penyulingan daun kayu putih, yaitu: Aspergillus niger, A. oryzae, A. parasiticus, A. nidulans, Trichoderma harzianum dan Rhizopus oligoporus. Aspergillus parasiticus, A. nidulans dan Trichoderma harzianum mampu mendegradasi selulosa dan A. parasiticus mampu mendegradasi lignoselulosa limbah daun kayu putih. Di antara isolat cendawan yang diperoleh, A. parasiticus paling berpotensi mendegradasi senyawa selulosa dan lignoselulosa limbah daun kayu putih. Dalam melihat karakter biomassa daun kayu putih yang dapat dimanfaatkan oleh BPS dalam treatment AAT, maka terlebih dahulu dilakukan beberapa analisis pengujian.

Analisis nisbah C/N

Analisis C/N bertujuan untuk mengetahui lama proses dekomposisi bahan organik berdasarkan ketersediaan karbon dan nitrogen yang dibutuhkan oleh BPS. Dampak nisbah C/N yang rendah (N tinggi) menunjukkan adanya penurunan aktifitas mikrob. Mikrob memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Data rasio C/N pada limbah segar daun kayu putih dan kompos disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Data nisbah C/N limbah segar daun kayu putih dan kompos

Parameter Limbah segar Kompos

C-organik 55.7 32.9

N-total 1.31 1.46

Nisbah C/N 42.52 22.53

(36)

22

Analisis nilai pH

Analisis nilai pH merupakan faktor yang berperan pada dekomposisi bahan organik karena pada rentang pH yang tidak sesuai, maka mikob tidak dapat tumbuh dengan maksimum bahkan dapat mengakibatkan kematian. Selama tahap awal proses dekomposisi akan terbentuk asam‐asam organik. Kondisi asam ini akan mendorong pertumbuhan jamur dan akan mendekomposisi lignin dan selulosa pada bahan organik. Hal inilah yang menyebabkan pH pada proses dekomposisi mengalami penurunan hingga berada pada kondisi asam (pH < 6-7). Nilai pH limbah segar daun kayu putih [L], yaitu sebesar 5.41. Selama proses dekomposisi berlangsung, nilai pH pada asam‐asam organik akan menjadi netral. Hal ini disebabkan karena mikrob dapat menghasilkan panas akibat dekomposisi bahan organik kompleks menjadi asam organik sederhana, sehingga pada kompos daun kayu putih [K] yang telah matang dihasilkan pH 6.38. Nilai pH pada kompos daun kayu putih berfungsi sebagai indikator proses dekomposisi bahan organik. Kompos menjadi matang biasanya memiliki pH antara 6.00 hingga 7.00 (SNI: 19-7030-2004).

Analisis kadar air

Pada penelitian ini dilakukan pula analisis perbandingan kadar air dan kadar kering, untuk melihat efektifitas kinerja bioproses dari sistem dekomposisi limbah daun kayu putih secara alamiah. Dalam 1kg (berat basah) limbah segar daun kayu putih [L] diketahui mengandung 0.61kg air dan 0.39kg materi kering, sedangkan pada kompos daun kayu putih [K] tiap 1 kilogram (berat basah) mengandung 0.12kg air dan 0.88kg materi kering. Pada tahap awal dekomposisi bahan organik, mikrob sangat aktif menyerap bahan organik, dimana hasil proses degradasi ini menghasilkan air lindi. Hal inilah yang menyebabkan kadar air belum berkurang secara nyata pada awal dekomposisi. Air dihasilkan berdasarkan reaksi berikut :

Bahan organik CO2 + H2O + Humus + Hara + Energi.

Penurunan kadar air menandakan bahwa degradasi limbah daun kayu putih telah berlangsung. Hal ini juga ditandai dengan korelasi antara kadar air dan kadar volatil yang menunjukkan korelasi, yaitu semakin rendahnya kadar volatil, maka semakin rendah pula kadar air yang dihasilkan dari degradasi limbah daun kayu putih. Misi dan Forster (2001) menyatakan bahwa pengukuran kadar volatil dilakukan untuk menilai keberhasilan proses degradasi bahan organik.

Uji Lapang Lahan Basah dengan Matrik Biomassa Daun Kayu Putih dan Bakteri Pereduksi Sulfat

(37)

23 Karakter limbah air asam tambang Stockpile 1 - Air Laya, PT. Bukit Asam.

AAT yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Stockpile 1 – Air Laya. Karakterisasi AAT dilaksanakan dengan mengambil sampel dari kolam penampungan tersebut. Karakteristik limbah AAT diuji melalui analisis kandungan Fe, Mn, TSS, dan nilai pH. Hasil uji karakter kimia limbah AAT disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Karakter kimia limbah air asam tambang Stockpile 1 - Air Laya Stockpile-1 Kadar Maksimum1)

SK Gubernur Nomor 16 Tahun 2005 tentang Baku Mutu Air Sungai

Nilai pH pada limbah AAT sangat rendah sehingga menyebabkan kemasaman, yaitu 3.23. Tingginya kemasaman limbah AAT juga menyebabkan logam terlarut cukup tinggi, terutama Fe dan Mn, yaitu 4.4905mg/L dan 8.7479mg/L. Pada kadar Fe, Mn, dan nilai pH, kualitas limbah ini jauh melebihi batas ambang (bila langsung dialirkan ke sungai) yang telah ditetapkan dalam Surat Keputusan Gubernur Nomor 16 Tahun 2005 tentang Baku Mutu Air Sungai. Oleh karena itu, limbah AAT tersebut perlu diolah sebelum dibuang ke perairan. Analisis matrik lahan basah buatan berdasarkan nilai pH, Fe, Mn, dan TSS Nilai pH diukur berdasarkan – log [H+]. Pada pH rendah terdapat banyak ion H+ yang terbebas. Ion H+ dapat diikat dengan komponen ion negatif yang terdapat pada bahan organik, seperti kompos. Bahan organik tersebut diketahui mengandung bermacam-macam unsur. Salah satu hasil mineralisasi bahan organik adalah bikarbonat yang dapat berikatan dengan H+, sehingga terjadi peningkatan nilai pH (Bohn et al. 1985). Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat bahwa matrik limbah maupun kompos daun kayu putih, dan BPS dapat meningkatkan pH dan menurunkan kadar Fe, Mn, dan TSS pada AAT (Gambar 14).

Perlakuan K1 (6.60), LB (6.33), K0 (6.14) pada 3 HSP telah memenuhi batas ambang baku mutu lingkungan (pH 6 – 8). Pada perlakuan K1 (matrik kompos yang diinokulasikan BPS ICBB 8818) peningkatan nilai pH lebih unggul dibanding LB dan K0 pada 3 HSP. Namun peranan BPS ICBB 8818 yang diinokulasikan dari luar, tidak berpengaruh secara signifikan. Hal ini dapat dilihat pada 6 HSP dan seterusnya, nilai pH pada perlakuan LB berada di atas K1. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa BPS yang berperan adalah BPS yang secara alami berada pada sedimen matrik.

Pada matrik berupa Lumpur dan Bokasi (LB) secara alami terdapat banyak BPS. Hal ini disebabkan karena LB mengandung sulfat dan pH rendah yang merupakan habitat bagi pertumbuhan BPS (Matias et al. 2005). Salah satu faktor penentu pertumbuhan BPS adalah ketersediaan karbon organik. Karbon organik merupakan sumber energi bagi aktivitas metabolisme dan kehidupan mikrob. Reaksi reduksi sulfat oleh BPS mengikuti persamaan seperti berikut:

(38)

24

(39)

25 Pada reaksi tersebut, elektron yang dibutuhkan diperoleh dari aktivitas oksidasi senyawa organik (laktat, asetat, propionat, dan lain-lain) yang dilakukan oleh BPS. Pada tahap awal, sumber karbon akan dioksidasi dan menghasilkan ATP, kemudian ATP tersebut dimanfaatkan untuk mereduksi sulfat menjadi sulfida. Peningkatan pH karena aktivitas BPS alami yang mereduksi sulfat akan memberikan dampak ganda, yaitu menghasilkan H2S dan ion bikarbonat (HCO3-). H2S adalah hasil reduksi sulfat (sulfat menurun, maka pH akan meningkat) dan bikarbonat berperan sebagai yang dapat meningkatkan pH (Frank 2000).

Berdasarkan kadar logam Fe terlarut, perlakuan K0 (0.2253) dan LB (0.0010) pada 3 HSP telah memenuhi batas ambang baku mutu lingkungan (0.3000). Penurunan kadar logam tersebut terjadi akibat Fe2+ yang bereaksi dengan ion sulfida membentuk logam sulfida (FeS) yang tidak larut. Peranan BPS ICBB 8818 yang diinokulasikan dari luar (perlakuan K1 maupun L1) tidak berpengaruh secara signifikan. Penurunan kadar Fe terlarut ini terjadi karena peranan bahan organik (baik berupa kompos maupun bokasi) dan BPS yang secara alami berada pada matrik. Kompos tersebut akan membentuk kompleks atau kelasi dengan mineral logam (mengikat Fe2+). Berdasarkan uraian tersebut, maka perlakuan yang paling efektif dalam menurunkan kadar Fe terlarut adalah LB dengan efektivitas sebesar 99.98%, kemudian diikuti oleh K0 (94.89%) dalam waktu retensi 3 hari.

Penurunan logam lainnya yaitu Mn. Penurunan kedua logam tersebut terjadi karena adanya sistem pengendapan maupun pembentukan kompleks. Dalam Gambar 15 juga dapat dilihat penurunan kadar logam Mn terlarut. Perlakuan matrik baru dapat memenuhi batas ambang baku mutu lingkungan pada 13 HSP. Pengendapan logam sulfida (MnS) berjalan lambat. Reaksi dan pengendapan logam sulfida ditentukan oleh konstanta kelarutan (KSp) masing-masing senyawa. Semakin rendah nilai KSp, maka semakin cepat senyawa tersebut mengendap. Senyawa FeS dan MnS berkeseimbangan dalam larutan mengikuti reaksi:

FeS : Fe2+ + S2- ; KSp : 3.7 x 10-19 MnS : Mn2+ + S2- ; KSp : 1.0 x 10-22

Pada kondisi homogen, MnS akan mengendap lebih cepat dibanding FeS. Namun, kondisi larutan yang berada pada matrik lahan basah buatan tidak pada kondisi homogen. Hal ini tentunya proses pengendapan MnS juga dipengaruhi oleh faktor lain. Beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu: transport massa, reaksi pengikatan oleh bahan organik (kompos), pengikatan dengan bahan polimer ekstraseluler bakteri, serta sifat dari logam tersebut yang irreversible.

(40)

26

Strategi tersebut diharapkan dapat menurunkan kadar logam Mn terlarut hingga memenuhi batas maksimal dalam waktu 3 hari.

Residu tersuspensi (TSS) merupakan material dalam air yang tertahan oleh filter dengan diameter lebih kecil atau sama dengan 2 mikrometer. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik terutama yang disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi yang terbawa ke dalam badan air. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang terlarut dalam air, mineral, dan garam-garamnya. Penyebab utama terjadinya TSS adalah bahan anorganik berupa ion-ion yang umum dijumpai di perairan. Kadar TSS pada limbah AAT PT. BA tidak bermasalah jika ingin langsung dialirkan ke badan sungai. Hal ini disebabkan karena kadar TSS tersebut telah memenuhi baku mutu lingkungan (yaitu 50) meskipun tanpa pengolahan terlebih dahulu. Nilai TSS dari AAT tersebut sangat memenuhi baku mutu limbah cair dari kegiatan penambangan yang disyaratkan dalam Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 16 Tahun 2005. Nilai TSS yang memenuhi baku mutu lingkungan yang disyaratkan ini menunjukkan bahwa air limbah aman untuk dibuang ke Sungai Enim.

Pembentukan Biofilm dan Kepadatan Sel Bakteri Pereduksi Sulfat

Berdasarkan hasil pembacaan tabel MPN (Most Probable Number), nilai MPN sampel dihitung melalui rumus Oblinger dan Koburger (1975), sehingga satuannya adalah CFU/ml. Data kepadatan sel BPS pada gravel yang diinokulasikan dengan BPS ICBB 8818 selengkapnya disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Kepadatan sel bakteri pereduksi sulfat yang terimmobilisasi pada gravel

Kode sampel gravel yang diinokulasikan BPS ICBB 8818 pada akhir treatment dengan metode MPN memperlihatkan bahwa populasi pada kompos lebih tinggi dibandingkan dengan populasi pada limbah segar. Hal ini disebabkan karena kompos daun kayu putih merupakan bahan organik yang sudah mengalami mineralisasi sehingga unsur-unsur yang dibutuhkan oleh BPS sudah tersedia. BPS tidak mampu menggunakan bahan organik yang kompleks, seperti yang terdapat pada limbah segar daun kayu putih (Suflita 1997).

(41)

27

5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Isolat BPS ICBB 8818 merupakan isolat yang paling unggul dibandingkan isolat ICBB 8813, ICBB 8815, ICBB 8816, ICBB 8819, dan ICBB 8825 dalam skala laboratorium. Kebutuhan sumber karbon untuk aktivitas BPS ICBB 8818 dapat dipenuhi dari bahan organik berupa kompos daun kayu putih. Hal ini disebabkan karena kompos memiliki karakter nisbah C/N 22.53; pH 6.38; dan kadar air 12% yang artinya bahan organik telah mengalami mineralisasi sehingga unsur-unsur yang dibutuhkan oleh BPS telah tersedia. Berdasarkan uji lapang dalam skala pilot didapatkan rancangan proses penanganan AAT yang tepat, yaitu dengan memanfaatkan matrik berupa gravel yang ditambahkan kompos (tanpa BPS). Matrik tersebut dapat memenuhi target baku mutu lingkungan dalam waktu retensi 3 hari dengan rata-rata efektivitas yang tinggi pada keseluruhan parameter, serta efisiensi biaya yang juga tinggi, sehingga dapat diterapkan pada lahan basah buatan PT. Bukit Asam.

Saran

Hasil penelitian skala pilot ini dapat diaplikasikan ke skala lapang melalui pendekatan peningkatan skala (scale up). Secara alami, BPS telah ada dalam matriks lahan basah buatan yang diterapkan oleh PT. Bukit Asam (matriks kontrol, LB). Sedimen lahan basah buatan yang mengandung sulfat dan pH rendah merupakan habitat bagi pertumbuhan BPS, sehingga dalam mengolah AAT hanya diperlukan penambahan kompos (pendekatan biostimulasi) untuk menstimulasi keberadaan BPS.

DAFTAR PUSTAKA

Abfertiawan S dan RS Gautama. 2011. Development of Catchment Area Approach in Management of Acid Mine Drainage [Conference Paper] Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung [diunduh 2015 November 7]. Tersedia pada: http://www.researchgate.net/publication/268819128_ Development_of_Catchment_Area_Approach_in_Management_of_Acid_ Mine_Drainage

Achterberg EP, VMC Herzl, CB Braungardt, GE Millward. 2003. Metal behaviour in an estuary polluted by acid mine drainage: the role of particulate matter. Environ. Poll.121, 283–292

Alexander, M. 1977. Introduction Soil Microbiology.USA: John Willey and Sons Ambarwati. 2001. Biodegradasi Limbah Padat Teh oleh Kultur Mikrobia dari

(42)

28

Annual Report. 2014. Energizing the Spirit of Transformation. Laporan Tahunan [Internet] Tanjung Enim (ID): PT. Bukit Asam (Persero), Tbk. 508.

[diunduh 2015 Okt 14]. Tersedia pada:

http://ptba.co.id/public/uploads/FINAL_AR_PTBA_2014_MARET.pdf Astuti F. 2013. PT. Bukit Asam kembangkan produksi minyak kayu putih. Sindo

news [Internet] Jakarta (ID): Sindonews [diunduh 2014 Agustus 7]. Tersedia pada: http://ekbis.sindonews.com/read/770577/34/ptba-kembangkan-produksi-minyak-kayu-putih

Atlas RM. 1993. Hand book of microbiological media. Boca Raton, Florida: CRC Press Inc.

Benner SG, DW Blowes, CJ Ptacek. 1997. A Full Scale Porous Reactive Wall for Prevention of Acid Mine Drainange. GWMP. Vol 17(4): 99 – 107

Beyenal H, Z Lewandowski. 2004. Dynamics of lead immobilization in sulfate reducing biofilms. J. Water Res. 38: 2726-2736

Black J. 2007. Microbiology. Principles & Explorations. 7th Ed. [E-book] Australia [UK]: John Wiley & Sons, Inc. National Library of Australia Bridge TA, C White, GM Gadd. 1999. Extracellular metal-binding activity of the

sulphate-reducing bacterium Desulfococcus multivorans. J. Microbiol. 145: 2987-2995

Bohn HL, BL McNeal, GA O'Connor. 1985. Soil Chemistry 2nd Ed. [E-book] Australia [UK]: John Willey & Sons, Inc. National library of Australia Brown AE. 2001. Benson: Microbiological Application, Laboratory Manual in

General Microbiology 8thEd. New York: Mac Graw Hill Companies

Coulton R., C. Bullen, C. Hallet, J. Wright and C. Marsden. 2003. Wheal Jane mine water active treatment plant-design, construction and operation. Land Contam. Reclam. 11:245-252.

Donlan RM. 2002. Biofilms: Microbial life on surface. J Emerg Infect Dis. 8(9): 881–890.

[ELAW] Environmental Law Alliance Worldwide. 2010. Guidebook for Evaluating Mining Project EIAs. Eugene (US): Garden Avenue. 110. [diunduh 2015 Okt14]. Tersedia pada: https://www.elaw.org/files/mining-eia-guidebook/Full-Guidebook.pdf

Fahruddin dan Abdullah. 2013. Dinamika Populasi Bakteri pada Sedimen yang diperlakukan dengan air asam tambang. J Alam Lingk 4(7): 39-43

Faulkner B, BE Grif, JA Chermak, KF Miller. 2005. The Largest Acid Mine Drainange treatment Plant in The World. [Conference] U.S. Fish dan Wildlife Service, Kearneysville, WV. Paper presented at the 26th West Virginia Surface Mine Drainage Task Force

FDA (Food and Drug Administration). 2001. Bacteriological manual Appendix 2: Most probable number from serial dilution

Gambar

Gambar 1 (a) Kegiatan penambangan batubara pada IUP TAL, (b) temuan
Gambar 4  Perumusan masalah dalam penanganan air asam tambang
Gambar 5  Diagram alir metode penelitian
Tabel 1 Metode pengukuran parameter limbah dan kompos daun kayu putih
+7

Referensi

Dokumen terkait

Maka tentunya, upaya-upaya komunikasi yang dilakukan oleh Bank Indonesia selaku fasilitator dan pengawas pun harus lebih digencarkan lagi terkait uang elektronik

Dari data tabel kepadatan menurt kategori tersebut maka kecamatan yang mengalami perubahan pada tahun 2005-2009 adalah kecamatan miri, kecamatan

Volume bola terbesar yang dapat dimasukkan ke dalam tabung yang berdiameter 12 cm dan tinggi 15 cm adalah …A. Atap sebuah gedung berbentuk belahan bola dengan panjang

Syahputra (2008) dalam Kasno (2009) menyatakan bahwa salah satu kendala yang dihadapi pada tanah Inceptisol adalah tingkat kesuburan tanahnya.. yang rendah dengan

PERANCANGAN TAHUNAN KELAB PUSAT SUMBER TAHUN 2015.

Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa pemakaian AFO Solid dan AFO Artikulasi selama berjalan pada anak Cerebral Palsy Type Spastic terhadap fungsional

Selain adanya konflik kerja-keluarga yang dialami individu, adanya perasaan terancam atau tidak aman dari pekerjaan yang sedang dijalani juga dapat mengganggu kesejahteraan

perlakuan terbaik jamur merang adalah perlakuan KT2 (campuran tongkol jagung 250g, jerami 250g penanaman dalam keranjang) yaitu jumlah tubuh buah rata-rata 12,3 buah dan