• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akses nelayan terhadap sumberdaya pesisir di kawasan pertambangan (studi kasus Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Akses nelayan terhadap sumberdaya pesisir di kawasan pertambangan (studi kasus Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah)"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus: Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten

Cilacap, Provinsi Jawa Tengah)

Oleh

Yossika Tantri Wandan Sari I34070125

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

ABSTRACT

YOSSIKA TANTRI WANDAN SARI Fishermen access toward coastal resources within mining area Supervised by ARIF SATRIA

The establishment of the area, which is established by determining boundaries that can be used to organize natural resources owenership, is a way to avoid natural resources conflict. The purposes of this study are: 1) to analyze the participation of fishers in determining coastal zones at Kelurahan Cilacap, 2) to analyze the impact of coastal zoning on fishers natural resoruces access in Cilacap Village, and 3) to analyze the relationship between change of fisher’s natural resources access and resource conflict in Cilacap Village. The results of this study conclude that: 1) there is lack of fishers participation in determining coastal zoning, 2) there are some impacts of zoning which influence fishers' natural resources access, and 3) the factor that causing conflicts in Cilacap Village was coastal pollution from tanker ship accidents. The conflicts in Cilacap Village, which are caused by coastal pollution from tanker ship accidents, give both negative and positive impacts for fishers. Some of the negative impacts are decreasing trust, escalating moral problems, and decreasing productivity. On the other hand, the positive impacts are reinforcment bonds within fishers group, fishers are capable to adapt within the environment, and improvement of fisheres’ knowledge improved.

(3)

RINGKASAN

YOSSIKA TANTRI WANDAN SARI. Akses Nelayan Terhadap Sumberdaya Pesisir di Kawasan Pertambangan: Studi Kasus Kelurahan Cilacap Selatan, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap (Di bawah bimbingan ARIF SATRIA).

Perairan di wilayah Cilacap merupakan salah satu kawasan yang penting bagi kebupaten tersebut. Perairan tersebut dimanfaatkan untuk tiga kegiatan

utama, yaitu sebagai daerah tangkap bagi nelayan, sebagai jalur pelayaran internasional, dan sebagai tempat pariwisata. Beragam kepentingan yang berbeda dalam suatu sumberdaya ini dapat memicu konflik kepemilikan. Untuk menghindari konflik atas sumberdaya alam salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan menentukan suatu batasan-batasan yang dapat mengatur kepemilikannya. Hal ini dilakukan karena sering kali terdapat lebih dari satu aktor yang memanfaatkan suatu sumberdaya alam tersebut. Dengan adanya zonasi yang jelas diharapkan tidak ada konflik yang terjadi dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam.

Pembentukan zonasi tidak sama dalam setiap wilayah. Hal ini dipengaruhi oleh jenis sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah serta aktor yang memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Selain itu proses pembentukan zonasi ini juga berbeda di setiap wilayah. Ada pembentukan zonasi yang melibatkan masyarakat sekitar bersama dengan aktor lain yang terlibat dan ada pula yang ditentukan oleh pemerintah. Namun ketentuan untuk pembentukan zonasi tersebut telah diatur dalam beberapa undang-undang.

Berdasarkan dari latar belakang yang telah dikemukakan, penelitian ini memiliki tiga tujuan. Pertama, untuk menganalisis peran keterkaitan akses politik nelayan dalam menentukan zonasi wilayah pesisir. Kedua, untuk menganalisis pengaruh zonasi wilayah pesisir terhadap akses sumberdaya alam nelayan. Ketiga, untuk menganalisis perubahan akses sumberdaya alam nelayan terhadap konflik yang terjadi.

(4)

diberikan kepada responden. Kuesioner tersebut ditanyakan kepada responden dengan menggunakan teknik wawancara dan peneliti menuliskan jawaban sesuai dengan yang responden katakan. Selain itu data primer juga diperoleh dari wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara. Sedangkan data skunder diperoleh dari studi literatur yang sumbernya diperoleh dari buku, skripsi, tesis, disertasi, internet, dan data dari dinas terkait. Responden dalam penelitian ini adalah 37 orang nelayan yaitu setengah dari jumlah populasi yang ada di wilayah penelitian. Penentuan responden dilakukan secara acak dengan melakukan undian dengan kertas. Sedangkan jumlah informan sebanyak tujuh orang dan penentuannya dilakukan dengan teknik bola salju.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi nelayan dapat dikatakan lemah dalam hal penentuan zonasi di wilayah tersebut. Nelayan tidak dilibatkan dalam penentuan zonasi perairan. Mereka hanya diberikan sosialisasi mengenai keberadaan zonasi antara wilayah pelayaran kapal non nelayan dengan wilayah perikanan. Walaupun benar adanya bahwa dalam hal evaluasi nelayan memiliki akses politik cukup kuat. Para nelayan dapat menyampaikan aspirasi tentang keberadaan jalur pelayarannya serta kapal non nelayan yang melintasi perairan tersebut. Akses politik ini meningkat ketika terjadi kecelakaan yang melibatkan keberadaan kapal non nelayan serta merugikan nelayan.

(5)

Perubahan akses sumberdaya alam yang dialami oleh nelayan tidak terlalu berpengaruh terhadap konflik yang terjadi. Pada dasarnya konflik yang terjadi lebih banyak dipengaruhi oleh kecelakaan kapal tanker yang mengangkut minyak mentah. Jenis konflik yang terjadi di wilayah perairan tersebut adalah konflik vertikal, konflik laten, dan konflik lingkungan. (konflik tanpa konflik dan konflik kelas tidak termasuk). Semua konflik tersebut melibatkan tiga aktor utama, yaitu nelayan, perusahaan pertambangan, dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI).

Konflik yang terjadi ini akhirnya selalu diselesaikan dengan metode konsiliasi, negosiasi, dan mediasi. Setelah mendapatkan suatu mufakat maka perusahaan pertambangan akan memberikan kompensasi atas kecelakaan yang terjadi dan membantu membersihkan minyak mentah dari perairan. Dana kompensasi itu kemudian dibagikan kepada para nelayan yang menjadi korban dari kecelakaan yang terjadi.

Konflik tersebut memiliki dua jenis dampak terhadap nelayan, yaitu dampak negatif dan dampak positif. Dampak negatif dari suatu konflik yang terjadi adalah penurunan kepercayaan di kalangan nelayan, timbul masalah moral, dan polarisasi nelayan. (waktu terbuang sia-sia, perubahan kepribadian, dominasi salah satu pihak, produktifitas menurun, dan proses pengambilan keputusan

(6)

AKSES NELAYAN TERHADAP SUMBERDAYA PESISIR

DI KAWASAN PERTAMBANGAN

(Studi Kasus: Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan,

Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah)

Yossika Tantri Wandan Sari I34070125

SKRIPSI

Sebagai Prasyarat untuk Mendapatkan Gelar

Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(7)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh : Nama : Yossika Tantri Wandan Sari

NIM : I34070125

Judul : Akses Nelayan Terhadap Sumberdaya Pesisir di Kawasan Pertambangan (Studi Kasus Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah)

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan KPM 499 pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Arif Satria, SP, M.Si

NIP 19710917 199702 1 003

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003

(8)

LEMBAR PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “AKSES NELAYAN TERHADAP SUMBERDAYA PESISIR DI KAWASAN PERTAMBANGAN: STUDI KASUS KELURAHAN CILACAP, KECAMATAN CILACAP SELATAN, KABUPATEN CILACAP, PROVINSI JAWA TENGAH” INI BENAR-BENAR HASIL KARYA YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH ADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TINDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNGJAWABKAN PERNYATAAN INI.

Bogor, Agustus 2011

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Yossika Tantri Wandan Sari lahir di Bogor, 13 November 1988. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, pasangan Bapak Djoko Purwanto dan Ibu Dwi Wahyuni.

Penulis menempuh pendidikan dari mulai Taman Kanak-Kanak di TK. Anugrah Bogor pada tahun 1993-1995. Kemudian mengenyam bangku Sekolah Dasar di SD Negeri Pengadilan 5 Bogor pada tahun 1995-2001, SMP Negeri 1 Bogor tahun 2001-2004. Penulis melanjutkan sekolah di SMA PLUS YPBH Bogor pada tahun 2004-2007.

Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Penulis telah memilih Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang berada di bawah Fakultas Ekologi Manusia sebagai angkatan ketiga.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Adapun skripsi yang penulis beri judul “Akses Nelayan Terhadap Sumberdaya Pesisir di Kawasan Pertambangan: Studi Kasus Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah” merupakan hasil penelitian yang dilakukan untuk mengetahui akses nelayan terhadap sumberdaya pesisir di tengah keberadaan perusahaan pertambangan yang menggunakan jalur pelayaran laut sebagai salah satu media transportasi dalam berproduksi.

Kelurahan Cilacap merupakan salah satu kelurahan yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia dimana sebagian besar penduduknya

bermatapencaharian sebagai nelayan. Selain itu di wilayah perairan ini pula terdapat jalur pelayaran bagi kapal non nelayan berupa kapal tanker, kapal tongkang, dan kapal kargo. Hal ini yang menurut penulis merupakan bagian yang menarik untuk dikaji.

Penelitian ini dilakukan tidak semata-mata hanya untuk memperoleh gelar sarjana, melainkan juga untuk memperoleh pengetahuan terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang berhubungan dengan dua aktor berbeda. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.

Bogor, Agustus 2011

(11)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan atas karunia dan rahmat dari Allah SWT yang telah memberikan kelancaran bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak dapat diselesaikan tanpa mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terma kasih kapada:

1. Dr. Arif Satria SP, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan dukungan, arahan, bimbingan, serta sarannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini;

2. Kedua orang tua penulis Bapak Djoko Purwanto dan Ibu Dwi Wahyuni yang selalu mendukung dan mendoakan tanpa henti kepada anakmu; 3. Kepada saudara lelakiku yaitu Mas Ari Pribadi, Mas Rian Adrianto, dan

Adik Azela Mahuka Yunarko untuk dukungan dan keceriaan yang

diberikan;

4. Keluarga besar Bapak Syukir yang telah memberikan tempat tinggal dan bantuan selama penulis melakukan penelitian di Kelurahan Cilacap;

5. Staf pemerintahan terkait di Kabupaten Cilacap yang telah memberikan bantuan berupa saran, data, dan dukungan yang dibutuhkan oleh penulis. 6. Para nelayan Kelurahan Cilacap yang sudah membantu penulis dalam

penelitian ini;

7. Monica, Trysna Satrya, Anggi Kusumahadi yang selalu ada di saat penulis butuh bantuan, dukungan, sandaran selama proses pembuatan skripsi ini; 8. Rahmawati, Hirma Azzaqeeya, Faris Priyanto, dan Koko Andiardi, Ayu

Santika yang selalu bisa buat penulis tertawa dan melepas penat sesaat; 9. Teman-teman KPM 44 terima kasih untuk pertemanan selama proses

kuliah yang menyenangkan dan berharga ini;

10.Teman sebimbingan Maya, Helmi, Didi, Novita, dan Ume untuk doa dan semangatnya;

(12)

12.Teman-teman SMA, Winda, Ambar, Cindy, dan Dina untuk doa dan dukungannya;

13.Bagi pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Bogor, Agustus 2011

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

BAB I 1PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Masalah Penelitian ... 3

1.3 Tujuan Penelitian... 4

1.4 Kegunaan Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka ... 6

2.1.1 Pesisir ... 6

2.1.2 Partisipasi ... 8

2.1.1.1 Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Nelayan ... 9

2.1.1.2 Kepemilikan Sumberdaya Alam ... 9

2.1.3 Konflik ... 11

2.1.2.1 Definisi Konflik ... 11

2.1.2.2 Jenis Konflik ... 11

2.1.2.3 Penyebab Konflik ... 13

2.1.2.4 Dinamika Konflik ... 15

2.1.2.5 Manajemen Konflik ... 16

2.1.2.6 Dampak Konflik ... 18

2.2 Kerangka Pemikiran ... 20

2.3 Hipotesis Penelitian ... 22

2.4 Definisi Konseptual ... 22

2.5 Definisi Operasional ... 23

BAB III PENDEKATAN LAPANGAN 3.1 Metode Penelitian ... 26

3.2 Jenis Data, Lokasi, dan Waktu Penelitian ... 26

3.3 Populasi dan Kerangka Sampling ... 27

(14)

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 30

3.6 Teknik Analisis Data ... 30

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Kelurahan Cilacap ... 32

4.1.1 Kondisi Geografis dan Infrastruktur Kelurahan Cilacap ... 32

4.1.2 Kependudukan Kelurahan Cilacap ... 33

4.1.3 Kegiatan Perikanan ... 36

4.2 Sejarah Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap ... 38

4.3 Kapal Tanker dan Tongkang ... 40

4.4 Karakteristik Responden ... 41

BAB V HUBUNGAN KARAKTERISTIK NELAYAN DENGAN TINGKAT PARTISIPASI NELAYAN 5.1 Hubungan Tingkat Umur dengan Tingkat Partisipasi Nelayan ... 45

5.2 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan ... 46

5.3 Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan ... 46

5.4 Hubungan Tingkat Jumlah Tanggungan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan .... 48

5.5 Analisis Hubungan Karakteristik Nelayan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan . 49 BAB VI KETERKAITAN PARTISIPASI NELAYAN DALAM MENENTUKAN WILAYAH ZONASI PESISIR 6.1 Zonasi Pertambangan ... 55

6.2 Zonasi Perikanan ... 58

6.3 Konflik Zonasi ... 60

BAB VII PENGARUH ZONASI WILAYAH PESISIR TERHADAP AKSES SUMBERDAYA ALAM NELAYAN 7.1 Akses Sumberdaya Alam Nelayan ... 64

7.2 Analisis Keterkaitan Zonasi Wilayah Pesisir Terhadap Akses Sumberdaya Alam Nelayan ... 65

(15)

8.2.4 Dinamika Konflik ... 78 8.2.5 Manajemen Konflik ... 79 8.2.6 Dampak Konflik ... 80

BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN

9.1 Kesimpulan ... 82 9.2 Saran ... 83

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Status Kepemilikan Sumberdaya ... 10 Tabel 2 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011... 27 Tabel 3 Jumlah Penduduk Menurut Glongan Umur Kelurahan Cilacap, 2010 .... 34 Tabel 4 Tingkat Pendidikan Penduduk Kelurahan Cilacap Tahun 2010 ... 35 Tabel 5 Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Cilacap Tahun 2010 ... 35 Tabel 6 Jumlah Kapal, Perahu Motor, dan Perahu Nelayan di Kelurahan Cilacap Tahun 2010 ... 36 Tabel 7 Tingkat Pendidikan Responden Kelurahan Cilacap Tahun 2010 ... 42 Tabel 8 Hubungan Tingkat Umur dengan Tingkat Partisipasi Nelayan Tahun 2010 ... 45 Tabel 9 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan, 2010 ... 46 Tabel 10 Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan, 2010 ... 47 Tabel 11 Hubungan Tingkat Pendapatan pada Masa Paceklik dengan Tingkat Partisipasi Nelayan Tahun 2011 ...47 Tabel 12 Hubungan Tingakat Jumlah Tanggungan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan Tahun 2010 ... 49 Tabel 13 Hubungan Karakteristik Sosial dengan Tahap Evaluasi Tahun 2010 .... 51

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Pemikiran ... 21

Gambar 2 Teknik Sampling dalam Pengambilan Responden ... 28

Gambar 3 Tekik Bola Salju Informan ... 28

Gambar 4 Peta Trayek Pelayaran Kapal Tanker dan Tongkang Tahun 2011 ... 39

Gambar 5 Jenis Kapal yang Berlabuh di Tanjung Intan Tahun 2011 ... 40

Gambar 6 Tingkat Umur Responden Kelurahan Cilacap Tahun 2010 ... 41

Gambar 7 Tingkat Pendapatan Responden Kelurahan Cilacap Tahun 2011 ... 42

Gambar 8 Jumlah Tanggungan Responden Kelurahan Cilacap Tahun 2011 ... 43

Gambar 9 Tingkat Partisipasi Nelayan Dalam Tiap Tahapan Tahun 2011 ... 50

Gambar 10 Jalur Pelayaran dan dermaga di Pelabuhan Tanjung Intan ... 57

Gambar 11 Diagram Jarak Tempuh Nelayan Sebelum Zonasi ... 59

Gambar 12 Diagram Jarak Tempuh Nelayan Sesudah Zonasi ... 60

Gambar 13 Waktu Tempuh Melaut Nelayan Sebelum Zonasi ... 67

Gambar 14 Waktu Tempuh Melaut Nelayan Sesudah Zonasi ... 67

Gambar 15 Jumlah Hasil Tangkapan Nelayan (Kg) Sebelum Zonasi ... 68

Gambar 16 Jumlah Hasil Tangkapan Nelayan (Kg) Sesudah Zonasi ... 69

(18)

LAMPIRAN

Lampiran 1 Kerangka Sampling ... 86 Lampiran 2 Kuesioner dan Pedoman Wawancara Mendalam ... 88 Lampiran 3 Analisis Statisitik (SPSS 17, Chi-Square)...79

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data, Indonesia memiliki pulau sebanyak 17.504 pulau dengan panjang pantai 95.181 km. Luas laut yang dimiliki Indonesia sekitar 5,8 juta km2 dengan pembagian 0,8 juta km2 perairan teritorial, 2,3 juta km2 perairan nusantara, dan 2,7 km2 perairan ZEE1. Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah: 350 fauna, 28.000 flora, 110.000 mikroba, 600 terumbu karang, dan 40 genera (termasuk di dalamnya ikan, udang, moluska, kerang mutiara, rumput laut, kepiting, mangrove, hewan karang, dan biota laut lainnya)2. Selain makhluk hidup, di pesisir dan dalam laut juga terkandung sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui, seperti: minyak bumi, pasir, timah, dan lain sebagainya. Selain

itu kualitas sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui tersebut memiliki kualitas tinggi sehingga banyak diantaranya yang diekspor.

Kekayaan alam yang melimpah ini membutuhkan suatu pengelolaan yang baik agar tidak ada konflik mengenainya. Hal ini menyebabkan pemerintah membuat berbagai macam undang-undang yang dapat mengatur sumberdaya alam tersebut. Tahun 1999 telah diresmikan dan dilaksanakan Undang-Undang Otonomi Daerah yang kemudian diamandemen menjadi UU RI Nomor 32 Tahun 2004. Landasan pelaksanaannya didasarkan pada PP Nomor 129 Tahun 2000. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan mengenai pemekaran daerah, yaitu suatu proses membagi satu daerah administratif yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonomi baru3. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 18 telah diatur batas kewenangan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota terhadap perairan laut, namun dalam pelaksanaannya masih terjadi tumpang tindih kewenangan.

Tiga tahun kemudian, pemerintah mengeluarkan undang-undang yang berhubungan dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam Undang-      

1 

Kelautan dan Perikanan dalam Angka, 2009  2 

Betapa luas laut Indonesia « RichOcean INDONESIA Blog.htm   3 

(20)

Undang No. 27 Tahun 2007 tersebut dijelaskan mengenai sistem zonasi. Sistem itu berhubungan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam pesisir di suatu wilayah. Hak zonasi tersebut merupakan bagian dari rencana pembangunan jangka panjang setiap daerah. Di dalam undang-undang tersebut diatur pula mengenai Hak Pengusahaan Perairan Pesisir serta alokasi pemanfaatan sumberdaya pesisir4.

Selain Undang-Undang No. 27 Tahun 2007, terdapat pula undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah yaitu Undang-Undang No. 26 Tahun 2007. Dalam undang-undang ini dijelaskan mengenai tata kelola ruang baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten dan kota. Selain itu pengelolaan tata ruang ini juga mencangkup wilayah perkotaan dan perdesaan5. Ketiga undang-undang tersebut merupakan pedoman bagi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah untuk menata wilayah mereka yang berkaitan dengan sumberdaya alam. Hal ini penting untuk meminimalisir terjadinya konflik atas sumberdaya alam di berbagai daerah, termasuk di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Kabupaten Cilacap merupakan daerah terluas di Jawa Tengah. Wilayah ini berbatasan dengan Samudera Indonesia di sebelah selatan, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Brebes, dan Kabupaten Kuningan di sebelah utara, Kabupaten

Kebumen di sebelah timur, dan Kabupaten Ciamis serta Kota Banjar di sebelah barat. Salah satu mata pencaharian masyarakat Cilacap adalah nelayan dengan luas sebaran penangkapan 5.200 km2. Selain itu, Cilacap juga memiliki kekayaan sumberdaya mineral yang melimpah, seperti minyak bumi dan gas bumi, batu bara, emas, pasir besi, dan gamping6. Hal ini menyebabkan Cilacap merupakan daerah yang strategis untuk investasi para perusahaan. Terdapat tujuh perusahaan pertambangan atau perusahaan yang terkait dengan barang tambang di Kabupaten Cilacap. Perusahaan-perusahaan tersebut ada yang berfungsi sebagai pengolahan BBM, penyaluran minyak, PLTU, penambangan batu untuk bahan semen, dan distributor aspal6.

(21)

Selain itu di kawasan perairan Cilacap yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia ini terdapat sebuah pelabuhan internasional bernama Pelabuhan Tanjung Intan. Berdasarkan wawancara awal yang dilakukan dengan pihak Dinas Administrasi Pelabuhan diketahui bahwa jalur pelayaran ini dilalui oleh kapal-kapal non nelayan seperti kapal tanker, kapal tongkang, dan kapal kargo yang membawa bermacam-macam muatan. Beberapa jenis muatan tersebut adalah batu bara yang digunakan sebagai bahan bakar PLTU, gamping yang berasal dari Pulau Nusakambangan, serta minyak bumi. Keberadaan kapal-kapal tersebut sering kali meresahkan nelayan. Bahkan keadaan ini juga memicu konflik antara nelayan dengan pihak pemilik kapal tanker tersebut karena nelayan merasa dirugikan. Konflik antara kedua sektor tersebut dapat menyebabkan dampak berupa hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia (Soekanto, 2002). Selain itu masyarakat nelayan dapat melakukan aksi anarki sebagai akibat dari pelayaran yang dilakukan oleh kapal tanker.

Menurut Harmantyo (2007), Indonesia memiliki potensi konflik kewilayahan yang tinggi dan meningkat setelah adanya peraturan otonomi daerah. Meskipun demikian untuk konflik horizontal di wilayah pesisir belum tentu ada hubungannya dengan otonomi daerah karena sudah berlangsung sejak dulu (Satria

et. al., 2002 dalam Hikmah, 2008).

1.2 Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas dapat diketahui bahwa dalam wilayah pesisir terdapat berbagai macam pihak pengelola, yaitu pemerintah, masyarakat, dan perusahaan (baik perusahaan swasta maupun negara). Keadaan seperti ini juga terjadi di wilayah Kabupaten Cilacap khususnya Kelurahan Cilacap dimana dalam suatu lokasi terdapat tiga pihak berkepentingan yang berhubungan dengan sumberdaya pesisir.

(22)

berupa zonasi ini dapat menyebabkan suatu konflik jika ada pihak-pihak tertentu merasa dirugikan. Konflik yang terjadi dapat menyebabkan suatu dampak yang merugikan berbagai pihak jika hal tersebut tidak diatasi dengan tepat. Konflik ini pula dapat menggambarkan bagaimana sistem zonasi itu terjadi pada awalnya. Terkait berbagai hal tersebut maka dirumuskan pertanyaan penelitian seperti di bawah ini, yaitu:

1. Bagaimana tingkat partisipasi nelayan berperan dalam menentukan zonasi wilayah pesisir?

2. Bagaimana pengaruh zonasi wilayah pesisir terhadap akses sumberdaya

alam nelayan?

3. Bagaimana pengaruh perubahan akses sumberdaya alam nelayan terhadap konflik yang terjadi?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah disampaikan sebelumnya maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis keterkaitan tingkat partisipasi nelayan dalam menentukan zonasi wilayah pesisir;

2. Menganalisis pengaruh zonasi wilayah pesisir terhadap akses sumberdaya alam nelayan; dan

3. Menganalisis perubahan akses sumberdaya alam nelayan terhadap konflik yang terjadi.

1.4Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:

1. Bagi akademisi, untuk sumbangsih pemikiran dan sebagai landasan bagi penelitian ataupun kegiatan akademis lain yang berkaitan dengan penelitian ini;

2. Bagi pemerintah, sebagai evaluasi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir yang melibatkan dua sektor yaitu sektor perikanan dan pertambangan. Jika

(23)

kepentingan kedua belah pihak. Hal ini bertujuan agar tidak ada lagi konflik yang terjadi antara kedua sektor tersebut di kemudian hari dan dapat saling menghargai akan keberadaan masing-masing aktor;

3. Bagi swasta, sebagai acuan dan evaluasi dalam menentukan kebijakan dan pengolahan tambang; dan

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pesisir

Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai, maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas, yaitu: batas yang sejajar garis pantai dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai. Sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan7. Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami ataupun buatan. Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah: terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna, dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa: tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan agroindustri, dan kawasan pemukiman.

Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan secara garis besar terdiri dari tiga kelompok: sumberdaya dapat pulih, sumberdaya tak dapat pulih, dan jasa-jasa lingkungan. Sumberdaya yang dapat pulih diantaranya adalah hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan rumput laut, sumberdaya perikanan laut, dan bahan-bahan bioaktif. Sedangkan sumberdaya tak dapat pulih meliputi seluruh mineral dan geologi. Mineral terdiri dari tiga kelas yaitu kelas A berupa mineral strategis (minyak, gas, dan batu bara), kelas B

berupa mineral vital (emas, timah, nikel, bauksit, bijih besi, dan cromite), dan kelas C berupa mineral industri (granit, kapur, tanah liat, kaolin, dan pasir). Jasa lingkungan meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pangatur

       7 

(25)

iklim, kawasan perlindungan, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya8.

Pesisir memiliki kekayaan sumberdaya alam yang sangat melimpah. Maka dari itu dibutuhkan suatu pengelolaan yang baik agar tidak terjadi konflik atas sumberdaya tersebut. Menurut Dahuri dkk (1996) perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral dapat menimbulkan konflik kepentingan antar sektor yang berkepentingan yang melakukan aktivitas pembangunan pada wilayah pesisir dan lautan yang sama. maka dari itu dibutuhkan suatu perencanaan terpadu untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor dalam perencanaan pembangunan.

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan secara terpadu guna mencapai pembangunan wilayah peisir secara berkelanjutan. Dalam hal ini keterpaduan mengandung tiga dimensi: sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.

Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlua ada koordinasi tugas, wewenang, dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu; dan antartingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, sampai tingkat pusat.

Keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu, yang melibatkan bidang ilmu: ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan.

Wilayah pesisir yang terdiri dari berbagai macam ekosistem membutuhkan suatu pengelolaan yang memperhatikan segenap keterkaitan ekologis tersebut, yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir. Mengingat bahwa suatu pengelolaan terdiri dari tiga tahap utama: perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi, maka jiwa keterpaduan tersebut perlu diterapkan sejak tahap perencanaan sampai evaluasi.

       8 

(26)

2.1.2 Partisipasi

Menurut Slamet (1992) dalam Sumardjo dan Saharudin (2003) seperti yang dikutip oleh Aprinova (2006), untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan ada tiga syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu (1) adanya kemampuan, (2) adanya kesempatan, (3) adanya kemauan untuk berpartisipasi. Aprinova (2006), menyebutkan bahwa partisipasi hanya mungkin dilakukan bila seseorang memiliki modal sosial berupa jaringan kerja, norma atau aturan-aturan yang jelas, dan kepercayaan. Sementara kepercayaan menjadi stimulus agar proses pertukaran tersebut berjalan lancar, dan norma atau aturan merupakan jaminan bahwa proses pertukaran tersebut berjalan adil atau tidak. Dengan demikian, Aprinova (2006) mengutip Sjaifudian (2002) menyimpulkan bahwa partisipasi adalah proses ketika warga komunitas, baik sebagai individu maupun kelompok sosial, organisasi atau lembaga, mengambil peran dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kebijakan-kebijakan yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka. Sedangkan menurut Rahim diacu dalam Sutrisno (1995) dalam Farid (2005) dikatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan

dapat dikelompokan dalam lima jenis, yaitu: 1) Ikut memberikan masukan dalam proses pembangunan, menerima imbalan atas masukan tersebut dan menikmati hasil pembangunan; 2) Ikut memberi masukan dan ikut menikmati hasil pembangunan; 3) Ikut memberi masukan dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan; 4) Menikmati hasil pembangunan tanpa memberikan masukan; 5) Memberi masukan tanpa menerima imbalan dan tidak ikut dalam menikmati hasil pembangunan. Cohen dan Uphoff (1979) membedakan partisipasi berdasarkan tahapannya:

1. partisipasi dalam pembuatan keputusan, kebijaksanaan, perencanaan pembangunan;

2. partisipasi dalam pelaksanaan program pembangunan;

3. partisipasi dalam memanfaatkan atau menggunakan hasil pembangunan; dan

(27)

2.1.1.1 Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Nelayan

Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat ada faktor-faktor yang berpengaruh terhadapnya. Beberapa faktor tersebut adalah tingkat pendidikan, umur, dan kesesuaian kegiatan dengan kebutuhan yang merupakan faktor pribadi (Madrie 1986 dalam Farid 2005). Menurut Soeryani, dkk (1987) dalam Farid (2005) dikatakan bahwa tingkat partisipasi dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan kemiskinan. Tingkat pendidikan tersebut akan berpengaruh pada tingkat pengetahuan masyarakat mengenai lingkungan hidup. Hal ini akan memperdalam pemahaman masyarakat terhadap manfaat yang mereka peroleh dari kelestarian

sumberdaya alam.

Syarat yang diperlukan agar masyarakat lebih berperan aktif dalam pembangunan adalah kemauan, kemampuan, dan kesempatan bagi masyrakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan (Farid 2005 mengacu pada Slamet 1985). Hal ini dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, penghasilan, kelembagaan, kepemimpinan, budaya lokal, serta pengaturan dan pelayanan pemerintah.

2.1.1.2 Kepemilikan Sumberdaya Alam

Sumberdaya alam memiliki potensi untuk menimbulkan konflik. Potensi konflik ini sangat tinggi di Indonesia dengan keanekaragaman sumberdaya alam hayati dan non hayati yang sangat melimpah ini. Untuk menghindari terjadinya konflik atas sumberdaya alam maka dibutuhkan suatu batasan-batasan yang dapat mengatur kepemilikannya. Menurut Ostrom dan Schlager dalam Satria (2009), terdapat empat tipe hak dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu:

1. Hak akses (access right) adalah hak untuk memasuki wilayah sumberdaya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non ekstraktif;

2. Hak pemanfaatan (withdrawal right) adalah hak untuk memanfaatkan sumberdaya;

(28)

4. Hak eksklusi (exclusion right) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak tersebut dialihkan ke pihak lain; dan

5. Hak pengalihan (alienation right) adalah hak untuk menjual atau menyewakan sebagian atau seluruh hak kolektif tersebut di atas.

Dalam hak-hak pengelolaan sumberdaya alam di atas terdapat aktor yang dapat memiliki hak-hak tersebut. Para aktor tersebut dibagi ke dalam lima kategori, seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 1 Status Kepemilikan Sumberdaya

Hak milik Pemilik (Owner)

Sumber: Ostrom dan Schlager (1996) dalam Satria (2009)

Selain terdapat hak kepemilikan sumberdaya alam dan aktor yang dapat memiliki hak-hak tersebut juga terdapat rezim-rezim kepemilikan sumberdaya alam (Satria 2009), yaitu:

1. Rezim negara (state property), yaitu sumberdaya alam dimiliki oleh seluruh warga negara dan pengalihan pengelolaan dilakukan oleh pemerintah;

2. Rezim swasta (private property), yaitu individu atau perusahaan memiliki hak atas sumberdaya;

(29)

4. Akses terbuka (open access), yaitu sumberdaya dapat dimiliki oleh semua orang.

2.1.2 Konflik 2.1.2.1 Definisi Konflik

Konflik atau pertentangan adalah suatu proses sosial dimana individu atau

kelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan dengan ancaman atau kekerasan (Soekanto 2002). Sementara itu, Daniel Webster dalam Pickering mendefinisikan konflik sebagai:

1. Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain;

2. Keadaan atau prilaku yang bertentangan (misalnya: pertentangan pendapat, kepentingan, atau antar individu);

3. Perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan, atau tuntutan yang bertentangan; dan

4. Perseteruan.

2.1.2.2 Jenis Konflik

(30)

Selain jenis, konflik juga memiliki tipe yang berbeda. Seperti dalam Susan (2010) yang mengacu pada Fisher (2001), tipe konflik dibagi menjadi empat, yaitu:

1. Konflik tanpa konflik adalah konflik yang memiliki situasi stabil. Dalam hal ini bukan berarti tidak terjadi konflik, melainkan terdapat situasi-situasi yang menjadikan keadaan menjadi stabil, yaitu masyarakat mampu menciptakan struktur sosial yanng bersifat mencegah ke arah konflik kekerasan serta sifat budaya yang memungkinkan anggota masyarakat menjauhi permusuhan dan kekerasan.

2. Konflik laten adalah suatu keadaan yang di dalamnya terdapat banyak permasalahan, sifatnya tersembunyi, dan perlu diangkat ke permukaan agar bisa ditangani.

3. Konflik terbuka adalah situasi ketika konflik sosial telah muncul ke permukaan yang berakar dalam dan sangat nyata serta memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. Konflik ini menimbulkan tindakan anarki dan korban jiwa seperti yang terjadi di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (Lintong 2005).

4. Konflik di permukaan yaitu konflik yang memiliki akar dangkal atau tidak berakar dan terjadi hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi.

Sedangkan dalam Satria (2009) mengacu pada Satria (2006), terdapat tujuh macam konflik nelayan, yaitu:

1. Konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi akibat perbedaan kelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan. Akibatnya ada satu pihak yang memiliki wewenang lebih tinggi, sementara itu ada pihak lainnya yang didominasi (Adhuri 2005).

2. Konflik kepemilikan sumberdaya, merupakan konflik yang terjadi dalam isu “ikan milik siapa” atau “laut milik siapa”.

(31)

maupun antara nelayan dengan pemerintah. Dalam Hikmah (2008), akibat dari konflik jenis ini, yaitu:

a. Terancamnya keberlanjutan sumberdaya perairan. b. Rusaknya kelestarian lingkungan perairan.

4. Konflik cara produksi atau alat tangkap, merupakan konflik yang terjadi karena perbedaan alat tangkap. Konflik ini mengakibatkan rusaknya lingkungan perairan (Hikmah 2008) dan adanya dominasi dari nelayan dengan alat tanggap modern pada nelayan tradisional (Kinseng 2007).

5. Konflik lingkungan, merupakan konflik yang terjadi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh praktik salah satu pihak yang merugikan nelayan.

6. Konflik usaha, merupakan konflik yang terjadi di darat akibat mekanisme harga ataupun sistem bagi hasil yang merugikan sekelompok nelayan. Menurut Hikamah (2008) akibat dari konflik ini, yaitu:

a. Kerugian materi.

b. Nelayan menjual hasil tangkapan ke pemilik modal dengan harga jauh di bawah harga pasar.

c. Nelayan didesak untuk menggunakan Trawl.

7. Konflik primordinal, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan identitas, secara etnik, asal daerah, dan seterusnya. Akan tetapi konflik primordinal tidak pernah berdiri sendiri atau menjadi penyebab utama dalam suatu konflik. Konflik ini mengakibatkan terganggunya akses suatu pihak terhadap sumberdaya (Adhuri 2005).

2.1.2.3 Penyebab Konflik

Terdapat sebuah pribahasa “tidak ada asap jika tidak ada api”, begitu pula dengan konflik. Setiap konflik berasal dari suatu permasalahan baik yang mengakar kuat ataupun tidak. Menurut Soekanto (2002), penyebab dari konflik

(32)

masyarakat, seperti kelas bangsawan dan kelas orang merdeka (Adhuri 2005). Sedangkan menurut Dorcey (1986) dalam Mitchell et al. (2007), konflik disebabkan karena: perbedaan pengetahuan atau pemahaman, perbedaan nilai, perbedaan kepentingan, persoalan pribadi atau latar belakang sejarah.

Menurut Fisher et al. (2000) dalam Satria (2002), terdapat beberapa teori mengenai berbagai penyebab konflik, yaitu:

1. Teori hubungan masyarakat. Dalam masyarakat yang heterogen sering kali terjadi kegagalan dalam interaksi sosial karena arogansi masing-masing kelompok.

2. Teori negosiasi prinsip. Perbedaan kepentingan dan ketidakselarasan di antara dua pihak. Konflik jenis ini akan semakin rumit dengan adanya perbedaan andangan di antara kedua belah pihak berkenaan konflik itu sendiri. Hal ini terjadi karena salah satu atau kedua belah pihak tidak dapat memisahkan antara perasaan pribadi dari berbagai masalah dan isu.

3. Teori kebutuhan manusia. Dalam konflik ini erat kaitannya dengan kebutuhan manusia sehari-hari. Kabutuhan manusia yang terdiri dari kebutuhan fisik, mental, dan sosial ini harus terpenuhi karena menyangkut hajat hidup manusia. Dalam kasus nelayan di Balikpapan

dijelaskan bahwa inti permasalah disebabkan karena terganggunya mata pencaharian nelayan yang pada akhirnya akan memperburuk kehidupan nelayan. Dalam Cordell yang diacu dari Kinseng (2007) persoalan pokok ini menyangkut “inti dari kehidupan nelayan” (core of fishermen’s lifelihood) atau bisa juga dikatakan sebagai sumber kehidupan nelayan.

4. Teori identitas. Dalam sejarah kehidupan manusia, sering terjadi upaya penghancuran suatu kelompok masyarakat karena kekuasaan atau apapun karena dendam sejarah karena penderitaan masa lalu. 5. Teori kesalahpahaman antar budaya. Konflik dapat muncul karena

(33)

(sterotype) negatif yang dibentuk satu pihak terhadap pihak lain yang mengurangi rasa saling menghormati antar mereka.

6. Teori transformasi konflik. Konflik muncul akibat ketidakstaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, dan ekonomi.

Menurut Satria (2009), faktor-faktor penyebab konflik yang dikemukakan oleh Ginting (1998) dapat dijelaskan sebagi berikut:

1. Faktor sosial dapat yang digambarkan dengan kesenjangan teknologi penangkapan ikan. Selain itu, faktor tersebut dapat dilihat dari banyak sedikitnya pihak yang terlibat dalam konflik, keberadaan tokoh dalam konflik, keberadaan pihak yang bertolak belakang, isu yang berkembang, populasi nelayan, latar belakang budaya dan adat istiadat, adanya keinginan tertentu, dan keberadaan peraturan dan penegakan hukum (Budiono 2005).

2. Faktor ekonomi berhubungan dengan mekanisme harga ataupun sistem bagi hasil nelayan. Namun menurut Budiono (2005), faktor ekonomi dalam konflik dapat dilihat dari kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya, persepsi masyarakat terhadap stok

sumberdaya, dan kondisi perekonomian masyarakat.

3. Faktor budaya berkaitan dengan perbedaan identitas, tetapi faktor ini tidak pernah berdiri sendiri atau menjadi penyebab utama suatu konflik.

4. Faktor bio-fisik dapat digambarkan oleh kerusakan lingkungan yang pada akhirnya dapat mengurangi ketersediaan sumberdaya ikan.

2.1.2.4 Dinamika Konflik

Analisis dinamika konflik dilakukan setelah pemetaan konflik. Untuk menganalisis dinamika konflik maka kita harus memperhatikan sumber-sumber konflik di dalamnya. Jika mengacu pada Wehr dan Bartos (2003) dalam Susan

(34)

dan mematikan. Konflik mengalami deeskalasi ketika tingkat kekerasan mengalami penurunan.

Sedangkan jika mengacu pada Fisher (2001) dalam Susan (2010), maka terdapat empat tahapan dinamika konflik, yaitu:

1. Prakonflik adalah periode pada saat terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih sehingga menimbulkan konflik. 2. Konfrontasi, dalam tahap ini memperlihatkan pada saat konflik mulai

terbuka.

3. Krisis adalah puncak konflik. Dalam tahap ini terjadi aksi kekerasan. 4. Pasca konflik adalah situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri

berbagi konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang, dan hubungan mengarah ke lebih normal di antara kedua belah pihak.

2.1.2.5 Manajemen Konflik

Terdapat beberapa karakteristik teknik penyelesaian masalah menurut Mitchell et al. (2007) yang mengacu pada Maguire dan Boiney (1994), yaitu:

1. Lebih menekankan pada kesamaan kepentingan kelompok yang saling bersengketa daripada posisi tawar menawar.

2. Berpikir kreatif untuk mencari upaya penyelesaian. 3. Mencari jalan tengah untuk menemukan tujuan bersama. 4. Menuntut kesepakatan banyak pihak untuk suatu keputusan.

Mitchell et al (2007) mengatakan, ketika sengketa muncul berkaitan dengan berbedanya kepentingan tentang alokasi sumberdaya dan lingkungan, paling tidak ada empat pendekatan dapat dipakai untuk penyelesaiannya, yaitu: politisi, administrasi, hukum, dan alternatif penyelesaian masalah. Keempatnya tidak selalu berdiri sendiri, tetapi dapat digunakan secara bersama. Hal ini tergantung kepada situasi dan kondisi konflik yang terjadi.

Pendekatan politisi dilakukan oleh politisi dan pengambil keputusan yang melihat berbagai nilai dan kepentingan yang berbeda. Dalam hal ini bantuan dan nasihat para ahli juga dibutuhkan. Pendekatan administrasi dilakukan melalui

(35)

kesempatan pada para birokrat untuk mengambil keputusan. Pendekatan hukum dilakukan melalui pengaduan dan pengadilan. Pendekatan ini diberikan penekanan pada fakta, pengalaman, prosedur, dan argumen. Hal ini mengakibatkan prosesnya memakan waktu lama, biayanya lama [sic!] banyak, dan bersifat adversarial. Sedangkan pendekatan Alternati Penyelesaian Konflik (APK) muncul sebagai jawaban atas ketidakpuasan pendekatan hukum yang menjunjung kesadaran dan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. Terdapat empat jenis APK, yaitu: konsultasi publik, negosiasi, mediasi, dan arbitrasi.

Konflik bisa juga diselesaikan melalui salah satu proses yang asosiatif, yaitu akomodasi (Soekanto 2002). Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada proses. Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti adanya suatu kesimbangan dalam interaksi antara orang perorangan atau kelopok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma sosial dan nilai sosial yang berlaku di masyarakat. Dalam suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha untuk mencapai kestabilan. Akomodasi dapat juga diartikan sebagai proses adaptasi.

Tujuan dari akomodasi adalah untuk mengurangi pertentangan, mencegah

meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu secara temprorer, untuk memungkinkan terjadinya kerja sama, dan mengusahakan peleburan antar kelompok. Terdapat beberapa bentuk akomodasi sebagai suatu proses, yaitu:

1. Paksaan (Coercion), suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan oleh karena adanya paksaan. Dalam proses ini terdapat pihak yang lebih lemah dari lainnya. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan cara fisik ataupun psikologis;

2. Kompromi (Compromise), pihak yang terlibat saling saling mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada;

(36)

belah pihak atau badan yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari pihak yang bertikai;

4. Mediasi (Mediation), dalam proses ini diundang pihak ketiga yang netral dalam soal perselisihan yang ada. Pihak ketiga bertindak sebagi penasihat dan tidak mempunyai wewenang untuk memberi keputusan; 5. Konsiliasi (Conciliation), suatu usaha untuk mempertemukan

keinginan dari pihak yang berselisih demi tercapainya suatu tujuan bersama;

6. Tenggang rasa atau toleransi (Toleration), suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal;

7. Berhenti (Stalemate), kondisi dimana pihak yang bertentangan karena mempunyai kekuatan yang seimbang berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya; dan

8. Adjudikasi atau membawa masalah ke pengadialan (Adjudication), penyelesaian pekara di pengadilan.

2.1.2.6 Dampak Konflik

Konflik yang terjadi di suatu wilayah tentu memiliki dampak yang pada akhirnya dirasakan oleh para aktor berkepentingan. Dampak yang terjadi tidak selalu buruk. Konflik juga memiliki dampak positif bagi para aktor. Menurut Pickering (2001) dikatakan bahwa konflik memiliki manfaat, yaitu:

1. Motivasi meningkat. Salah satu contoh kasusnya terjadi di perairan Selat Madura dimana hutan mangrove kembali difungsikan setelah terjadi konflik lingkungan (Hikmah 2008);

2. Identifikasi masalah atau pemecahan meningkat. Hal ini juga diungkapkan oleh Mitchell et al. (2007);

3. Ikatan kelompok lebih erat. Menurut Soekanto (2002) hal ini terjadi apabila suatu kelompok bertentangan dengan kelompok lain. Dalam Hikmah (2008), dampak ini terjadi pada nelayan lokal di perairan Kwanyar yang menghimpun kekuatan untuk melawan nelayan luar

(37)

4. Penyesuaian diri pada kenyataan. Dampak ini terjadi pada nelayan lokal yang berlayar lebih jauh untuk mendapatkan ikan dikarenakan konflik dengan pengusaha budidaya mutiara (Ginting 1998);

5. Pengetahuan atau keterampilan meningkat. Salah satu pengetahuan itu adalah informasi mengenai perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing aktor (Mitchell et al. 2007);

6. Kreativitas meningkat;

7. Membantu upaya mencapai tujuan; dan

8. Mendorong pertumbuhan. Konflik sebagai faktor yang konstruktif bukan destruktif (Mitchell et al. 2007).

Selain dampak positif, Pickering (2001) juga berpendapat bahwa konflik memiliki dampak negatif, yaitu:

1. Produktivitas menurun. Dampak ini dialami oleh nelayan tradisional dan nelayan komersil di Selat Lembeh karena pemasangan jaring raksasa oleh nelayan Taiwan (Ginting 1998);

2. Kepercayaan merosot [sic!] menurun. Hal serupa dikatakan oleh Mitchell et al. (2007), bahwa konflik memiliki dampak terciptanya saling ketidakpercayaan atau keengganan antar kelompok;

3. Pembentukan kubu-kubu. Dalam suatu kelompok, pembentukkan kubu-kubu ini dapat terjadi karena goyah dan pecahnya kelompok tersebut akibat pertikaian (Soekanto 2002);

4. Informasi dirahasiakan dan arus komunikasi berkurang;

5. Timbul masalah moral. Menurut Ginting (1998) dampak ini dirasakan oleh nelayan tradisional di Selat Lembeh. Nelayan tradisional tersebut mengalami konflik dengan nelayan Taiwan dalam hal perebutan wilayah tangkap. Hal ini mengakibatkan pengusaha berkolusi dengan pemerintah agar diberikan izin penangkapan ikan di wilayah tersebut (Matindas, 1998 dalam Ginting 1998);

(38)

terjadi setelah nelayan mengalami konflik dengan pengusaha budidaya mutiara di Talise (Ginting 1998); dan

7. Proses pengambilan keputusan tertunda.

Dampak negatif lain dari konflik menurut Soekanto (2002) adalah:

1. Perubahan kepribadian para individu. Perubahan kepribadian ini dapat dilihat pada masyarakat nelayan yang mengalami konflik pengelolaan pesisir dengan pengusaha budidaya mutiara (Ginting 1998). Perubahan kepribadian itu diperlihatkan pada penggunaan bom dan racun sianida oleh nelayan agar mendapatkan hasil tangkapan yang banyak dalam waktu yang singkat (Malik 1998 dalam Ginting 1998). Sebelumnya mereka tidak menggunakan kedua alat tangkap tersebut; 2. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia. Salah satu

contohnya adalah perampasan jaring Minitrawl di perairan Kwanyar oleh nelayan lokal (Hikmah 2008). Perampasan ini merupakan aksi balas dendam nelayan lokal. Menurut Mitchell et al. (2007), balas dendam juga merupakan dampak dari konflik; dan

3. Akomodasi, dominasi, dan takluknya salah satu pihak. Menurut Adhuri (2005), dominasi dan penaklukan salah satu pihak dapat terjadi

karena perbedaan status sosial antara dua kelompok. Seperti yang terjadi di Maluku antara kelompok bangsawan dan orang merdeka.

2.2 Kerangka Pemikiran

Sistem pemanfaatan sumberdaya alam dapat berupa kebijakan mengenai hak pengelolaan sumberdaya tersebut. Kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dapat dipengaruhi oleh akses politik nelayan yang dilihat dari partisipasi nelayan terhadap pembentukan kebijakan tersebut. Akses politik ini dapat dipengaruhi oleh karakteristik nelayan yang dilihat dari usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan jumlah tanggungan.

(39)

wilayah dan hak pemanfaatan pesisir. Akses nelayan terhadap sumberdaya alam ini juga dapat dipengaruhi oleh skala usaha nelayan yang dilihat dari skala kapal tangkap nelayan.

Perubahan akses nelayan terhadap sumberdaya alam dapat menyebabkan konflik berupa konflik kelas, konflik kepemilikan sumberdaya, konflik pengelolaan sumberdaya, dan konflik lingkungan. Konflik ini dapat diatasi atau diminimalisir dengan berbagai macam cara.

Fokus penelitian ini adalah analisis konflik yang terjadi di Cilacap dimana hal ini dipengaruhi oleh akses politik nelayan berupa partisipasi dalam hal zonasi wilayah pesisir. Penelitian ini mengambil individu sebagai unit analisisnya dengan populasi berupa nelayan. Kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Keterangan:

Mempengaruhi

Menghasilkan

Termasuk dalam

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Karakteristik 

Perubahan akses sumberdaya  alam nelayan 

Cakupan  wilayah 

Hak Pemanfaatan 

Konflik: 

‐ Konflik kelas 

‐ Konflik kepemilikan 

sumberdaya 

‐ Konflik pengelolaan 

sumberdaya 

‐ Konflik lingkungan 

(40)

2.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut:

Diduga terdapat hubungan antara karakteristik nelayan terhadap akses politik nelayan.

2.4 Definisi Konseptual

Terdapat beberapa definisi konseptual dalam penelitian ini, yaitu: 1. Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. 2. Sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumberdaya hayati,

sumberdaya nonhayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan

3. Zonasi pertambangan dalam hal ini berkaitan dengan batas pelayaran kapal-kapal tanker dan tongkang yang digunakan untuk mengankut minyak bumi serta batu bara. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri, yaitu menteri perhubungan dan menteri dalam negeri dengan nomor keputusan No. 13/1986 KM 31/AL-101/PHB-86 mengenai batas pelabuhan. 4. Zonasi perikanan dalam hal ini berkaitan dengan batas wilayah perairan

berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007.

5. Konflik adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan dengan ancaman atau kekerasan.

6. Konflik kelas adalah konflik yang terjadi akibat perbedaan kelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan.

7. Konflik kepemilikan sumberdaya, merupakan konflik yang terjadi dalam isu “ikan milik siapa” atau “laut milik siapa”.

8. Konflik pengelolaan sumberdaya, merupakan konflik yang disebabkan oleh pelanggaran aturan pengelolaan baik yang terjadi antar nelayan maupun antara nelayan dengan pemerintah.

(41)

2.5 Definisi Operasional

Definisi operasional untuk masing-masing variabel sebagai berikut:

Karakteristik nelayan dapat dilihat berdasarkan umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan tingkat tanggungan.

1. Umur adalah lama hidup nelayan di dunia ini hingga saat diwawancara. Hal ini dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu:

a. Tua: umur > 47,5 tahun

b. Sedang: 39,5 < umur <=47,5 tahun c. Muda: umur <= 39,5 tahun

2. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan yang telah ditempuh oleh nelayan. Hal ini dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu:

a. Tinggi: lulus SMA atau sederajat hingga perguruan tinggi, nilai 3. b. Sedang: lulus SMP atau sederajat, nilai 2.

c. Rendah: tidak sekolah hingga lulus SD, nilai 1.

3. Tingkat pendapatan adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh nelayan sebelum paceklik. Hal ini dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu:

a. Tinggi: pendapatan > Rp 152.500/trip, nilai 3.

b. Sedang: Rp 54.375 < pendapatan <= Rp 152.500/trip, nilai 2. c. Rendah: pendapatan <= Rp 54.375/trip, nilai 1.

4. Tingkat pendapatan adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh nelayan pada masa paceklik. Hal ini dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: a. Tinggi: pendapatan > Rp 20.000,00/trip, nilai 3.

b. Sedang: Rp 5.000<pendapatan<= Rp 20.000/trip, nilai 2. c. Rendah: pendapatan <= Rp 5.000,00/trip, nilai 1.

5. Jumlah tanggungan adalah banyaknya jumlah tanggungan dalam keluarga. Hal ini dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu:

a. Tinggi: jumlah tanggungan > 2, nilai 3. b. Sedang: jumlah tanggungan = 2, nilai 2. c. Rendah: jumlah tanggungan <=1, nilai 1.

(42)

a. Tinggi = nelayan ikut berperanserta minimal pada tiga tahap partisipasi. Nilai: 3.

b. Sedang= nelayan ikut berperanserta pada dua tahap partisipasi. Nilai: 2. c. Rendah = nelayan hanya ikut berperanserta pada salah satu tahap

partisipasi. Nilai: 1.

Akses nelayan terhadap sumberdaya alam adalah kemampuan nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Hal ini dilihat dalam cangkupan wilayah dan hak pemanfaatan. Cangkupan wilayah dibagi menjadi dua hal, yaitu:

1 Jarak tempuh adalah jauhnya wilayah tangkap nelayan dari bibir pantai.

a. Jarak tempuh sebelum zonasi adalah jauhnya wilayah tangkap nelayan dari bibir pantai ke tengah laut sebelum zonasi, dibagi menjadi tiga, yaitu:

i. Tinggi: jarak tempuh > 2 mil, nilai 3.

ii. Sedang: 0,813 mil < jarak tempuh <= 2 mil, nilai 2. iii. Rendah: jarak tempuh <= 0,813 mil, nilai 1.

b. Jarak tempuh sesudah zonasi adalah jauhnya wilayah tangkap nelayan dari bibir pantai ke tengah laut sesudah zonasi, dibagi menjadi tiga, yaitu:

i. Tinggi: jarak tempuh > 3 mil, nilai 3.

ii. Sedang: 0,813 mil < jarak tempuh <= 3 mil, nilai 2. iii. Rendah: jarak tempuh <= 0,813 mil, nilai 1.

2 Waktu tempuh adalah lamanya nelayan melaut untuk menangkap ikan.

a. Waktu tempuh sebelum zonasi adalah lamanya nelayan melaut untuk menangkap ikan sebelum adanya zonasi, dibagi menjadi dua, yaitu:

i. Tinggi: waktu tempuh > 4,5 jam, nilai 3. ii. Rendah: waktu tempuh <= 4 jam, nilai 1.

b. Waktu tempuh sesudah zonasi adalah lamanya nelayan melaut untuk menangkap ikan sesudah adanya zonasi, dibagi menjadi tiga, yaitu:

i. Tinggi: waktu tempuh > 7 jam, nilai 3. ii. Sedang: 5 < waktu tempuh <= 7, nilai 2. iii. Rendah: waktu tempuh <= 5 jam, nilai 1.

(43)

1. Hak pemanfaatan adalah hak yang dimiliki oleh nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir yang ada, dibagi menjadi dua:

a. Hak pemanfaatan sebelum zonasi yang dibagi menjadi dua, yaitu: i. Tinggi: hak pemanfaatan tinggi > 5, nilai 3.

ii. Rendah: hak pemanfaatan <= 5, nilai 1.

b. Hak pemanfaatan sesudah zonasi yang dibagi menjadi dua, yaitu: i. Tinggi: hak pemanfaatan > 7, nilai 3.

ii. Rendah: hak pemanfaatan <= 7, nilai 1.

2. Jumlah tangkapan adalah banyaknya hasil tangkapan yang diperoleh nelayan. a. Jumlah tangkapan sebelum adanya zonasi adalah banyaknya hasil tangkap

yang dapat diperoleh nelayan sebelum adanya zonasi. Hal ini dibagi menjadi tiga, yaitu:

i. Tinggi: jumlah tangkapan > 5 kg, nilai 3.

ii. Sedang: 2 kg < jumlah tangkapan <= 5 kg, nilai 2. iii. Rendah: jumlah tangkapan > 5 kg.

b. Jumlah tangkapan sesudah adanya zonasi adalah banyaknya hasil tangkap yang dapat diperoleh nelayan sesudah adanya zonasi. Hal ini dibagi menjadi tiga, yaitu:

i. Tinggi: jumlah tangkapan > 1 kg, nilai 3.

(44)

BAB III

PENDEKATAN LAPANGAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif didukung oleh analisis kualitatif. Pendekatan kuantitatif menggunakan metode survey dengan instrumen kuesioner untuk mengumpulkan data penelitian dari sejumlah sampel dalam populasi9. Sedangkan pendekatan kualitatif dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan informan terkait, pengamatan langsung, dan studi literatur. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk melihat karakteristik nelayan, akses politik masyarakat nelayan, skala usaha, dan akses masyarakat nelayan terhadap sumberdaya alam. Sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk melihat proses konflik yang terjadi di wilayah tersebut yang terungkap dari hasil penelitian kuantitatif.

3.2 Jenis Data, Lokasi, dan Waktu Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dengan menggunakan kuesioner yang disebar kepada responden melalui teknik wawancara. Selain itu data primer juga diperoleh dari wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara. Wawancara ini dilakukan kepada informan terkait seperti tokoh masyarakat, pemerintah daerah, dan koperasi. Jumlah informan sebanyak lima orang dari berbagai pihak, seperti dinas dan kelompok nelayan. Teknik yang digunakan untuk memperoleh informan adalah dengan menggunakan teknik bola salju (snowball sampling). Sedangkan data skunder diperoleh dari studi literatur yang sumbernya diperoleh dari buku, skripsi, tesis, disertasi, internet, dan data dari dinas terkait.

Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap. Lokasi tersebut dipilih secara sengaja (purposive) dengan alasan terdapat aktivitas pelayaran kapal tanker dan tongkang yang mengangkut sumberdaya mineral berupa minyak bumi dan batu bara, terdapat masyarakat yang       

9 

(45)

bermatapencaharian sebagai nelayan tangkap, dan terjadi konflik di wilayah tersebut.

Penelitian dilaksanakan dalam waktu enam bulan (Tabel 2). Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian.

Tabel 2 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011

Kegiatan

April Mei Juni Juli Agustus Sept

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2

Pengambilan data lapangan

Pengolahan dan analisis data

Penulisan draft skripsi

Sidang skripsi

Perbaikan

laporan penelitian

3.3 Populasi dan Kerangka Sampling

Mayoritas masyarakat di wilayah penelitian memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Dalam penelitian ini difokuskan kepada nelayan tradisional yang berstatus sebagai nahkoda dengan jarak tangkap pada jalur satu, yaitu sejauh enam

(46)

aspek jumlah nelayan tradisional berstatus nahkoda terbanyak sehingga dipilih RW X dengan jumlah nahkoda sebanyak 74 orang. Maka populasi penelitian ini adalah nelayan yang berstatus sebagai nahkoda serta berdomisili di RW X. Rukun Warga (RW) X ini memiliki delapan RT dimana terdapat 9 nelayan di RT 01, 10 nelayan di RT. 02, 8 nelayan di RT 03, 10 nelayan di RT 04, 13 nelayan di RT 05, 5 nelayan di RT 06, 10 nelayan di RT 07, dan 9 nelayan di RT 08. Selanjutnya dari semua RT tersebut diambil secara acak nelayan yang dijadikan responden penelitian.

3.4 Pemilihan Responden

Penelitian ini menggunakan wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat setempat dan aparat pemerintah untuk mengetahui proses terjadinya konflik. Sedangkan untuk mengetahui karakteristik nelayan, akses politik, skala usaha nelayan, dan akses sumberdaya alam nelayan dilakukan melalui survey dengan menggunakan kuesioner melalui wawancara. Untuk mendapatkan responden yang akan diwawancarai sesuai dengan kuesioner maka peneliti membuat seluruh daftar nama nelayan terlebih dahulu. Setelah itu ditentukan 37 orang nelayan yang dijadikan sebagai responden (Lampiran 1). Angka ini diperoleh dari setengah atau 50 persen dari jumlah populasi yang ada di wilayah penelitian. Hal ini dimaksudkan agar mendapatkan data yang lebih akurat dan

valid. Penentuan responden dilakukan secara acak (simple random sampling) dengan menggunakan kertas undian.

Gambar 2 Teknik Sampling dalam Pengambilan Responden Kelurahan

Cilacap

Total RW di Kelurahan Cilacap sebanyak 18 RW

Dipilih RW X

Secara acak dipilih 37 orang (50 persen) dengan 3 responden cadangan (10 persen

(47)

Selain mendapatkan data dari responden, penelitian ini juga mendapatkan informasi dari informan. Beberapa pihak terkait diwawancara secara mendalam untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Berikut ini adalah gambar proses teknik bola salju dalam mendapatkan informan.

Gambar 3. Teknik Bola Salju Informan

Ketua RW X memberikan informasi kemana peneliti harus pergi untuk wawancara agar mendapatkan data yang dibutuhkan. Pak Skr memberitahu peneliti untuk pergi ke ketua RT. 3/10. Selain mendapatkan informasi mengenai calon informan selanjutnya, Bapak Skr juga memberikan informasi mengenai cara kerja kapal tanker karena beliau pernah menjadi nahkoda kapal non nelayan.

Informasi yang peneliti dapat dari Pak Jhr mengenai jenis kapal atau

perahu yang digunakan oleh nelayan di perairan Cilacap, kejadian kecelakaan kapal tanker, serta proses yang terjadi.pak Msb menguatkan informasi dari Pak Jhr. Sedangkan Pak Yg memberikan tambahan informasi mengenai kegiatan rutin kelompok nelayan.

Informasi selanjutnya didapatkan dari Dinas Perhubungan mengenai peta alur pelayaran dan nara sumber yang lebih tepat untuk menjawab kejadian mengenai kecelakaan kapal tanker. Pak Jsn memberi tahu bahwa data mengenai pelabuhan dan kecelakaan lebih lengkap di Kantor Penjagaan Laut dan Pelabuhan. Di dinas tersebut peneliti bertemu dengan Pak Knf yang memberikan data

(48)

kecelakaan serta jumlah dan jenis kapal non nelayan. Pengambilan informasi dilanjutkan di Dinas Kelautan dan Perairan dan peneliti bertemu dengan Pak Sfl. Beliau memberikan data berupa kronologis kejadian kecelakaan.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini melibatkan dua subjek penelitian yaitu responden dan informan. Data penelitian kuantitatif diperoleh dari responden melalui kuesioner dengan teknik wawancara. Kemudian hasil dari kuesioner tersebut diolah dengan melakukan analisis serta intepretasi. Selanjutnya data tersebut dibentuk menjadi

kesimpulan dari hasil kuesioner. Sedangkan data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam pada informan, studi literatur, serta observasi lapang. Pedoman pengumpulan data penelitian dirumuskan pada Lampiran 2.

3.6 Teknik Analisis Data

Unit analisis penelitian ini adalah individu. Data yang telah diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis ini dilakukan untuk memperoleh gambaran awal mengenai keadaan atau karakteristik responden untuk masing-masing variabel. Penentuan nilai minimal pada tiap tingkatan dikerjakan dengan menggunakan prangkat lunak Minitab. Berdasarkan hasil perhitungan

tersebut diperoleh quartil satu hingga tiga yang kemudian dijadikan batas tiap tingkatan. Analisis selanjutnya menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007. Kemudian membuat tabel frekuensi untuk melihat keterkaitan aspek yang menyebabkan konflik di wilayah pesisir. Kemudian digunakan tabel silang untuk melihat hubungan antara dua variabel. Untuk menguji data kuantitatif peneliti menggunakan chi-square dengan menggunakan perangkat lunak SPSS17 agar dapat diketahu hubungan kedua variabel.

Data kualitatif yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan teknik triangulasi. Teknik ini dilakukan untuk mengurangi kesalahan intepretasi informan yang diwawancarai. Teknik ini merupakan penggabungan dari

(49)
(50)

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Kelurahan Cilacap

4.1.1 Kondisi Geografis dan Infrastruktur Kelurahan Cilacap

Kelurahan Cilacap adalah salah satu kelurahan yang ada di dalam struktur wilayah Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Kelurahan ini berbatasan dengan Kelurahan Tegalkamulyan di sebelah utara, Samudera Indonesia di sebelah selatan dan timur, serta Sungai Yasa di sebelah barat. Luas wilayah Kelurahan Cilacap adalah 171,364 Ha dengan jumlah Rukun Warga sebanyak 18 RW dan Rukun Tetangga sebanyak 93 RT. Sebagian besar wlayah ini merupakan tanah kering yang berfungsi sebagai pekarangan bangunan seluas 123,567 Ha. Sisanya adalah tanah hutan yang digunakan sebagai tempat wisata seluas 15 Ha, tanah keperluan fasum sebagai lapangan olahraga seluas 0,5 Ha dan kuburan seluas 0,2 Ha. Selain itu terdapat pula tanah pasir seluas 20 Ha.

Prasarana umum yang terdapat di Kelurahan Cilacap adalah prasarana pemerintah kelurahan, prasarana pengairan berupa sungai (Sungai Yasa), prasarana dan sarana pengangkutan dan transportasi, prasarana dan sarana perekonomian, industri dan perusahaan, dan sarana pendidikan. Prasaran pemerintah berupa satu balai desa, satu kantor desa, dan 2,9 Ha tanah sawah sebagai bengkok desa. Sebesar 90 persen sarana lalu lintas merupakan lalu lintas

(51)

buah. Selain itu terdapat pula industri kecil sebanyak sebelas buah, industri rumah tangga sebanyak 12 buah, rumah makan sebanyak 25 buah, perdagangan sebanyak 54 buah, angkutan sebanyak tiga buah, dan lainnya sebanyak sebelas buah. Dalam aspek pendidikan terdapat beberapa prasarana berupa empat buah TK, delapan SD Negeri, satu SD MI, dan satu MTS. Selain itu ada pula prasarana keagamaan, yaitu sembilan mesjid, 28 musholla, satu gereja, dan satu kuil.

Kelurahan Cilacap merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan samudera sehingga kelurahan ini memiliki sebuah pantai sebagai tempat rekreasi dan serta obyek bersejarah berupa benteng peninggalan Portugis. Lokasi ini pula yang menjadikan kelurahan ini memiliki 25 toko cindera mata yang menjual berbagai barang kerajinan hasil laut.

4.1.2 Kependudukan Kelurahan Cilacap

Kelurahan Cilacap memiliki kepadatan penduduk sebanyak 900 orang per Km2 dengan jumlah rumah tangga sebanyak 4.609 KK. Penduduk laki-laki sebanyak 9.230 jiwa dan perempuan sebanyak 8.924 jiwa. Seluruh penduduk di kelurahan tersebut merupakan Warga Negara Indonesia (WNI). Berdasarkan kepercayaan, sebagian besar penduduk menganut agama Islam yaitu sebanyak 16.509 orang. Sedangkan yang beragama Khatolik sebanyak 821 orang, Protestan

(52)

Tabel 3 Jumlah Penduduk Menurut Glongan Umur Kelurahan Cilacap, 2010

Umur Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

0-4 1313 7,23

5-9 1515 8,35

10-14 1525 8,40

15-19 1856 10,22

20-24 1422 7,83

25-29 2274 12,53

30-34 1462 8,05

35-39 1501 8,27

>=40 5286 29,12

total 18154 100

Sumber: Data Monografi Kelurahan Cilacap 2010

(53)

Tabel 4 Tingkat Pendidikan Penduduk Kelurahan Cilacap Tahun 2010 Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%)

Belum sekolah 2202 12,18

Tidak tamat sekolah 2220 12,28

Tamat SD/sederajat 5713 31,59

Tamat SLTP/sederajat 3519 19,46

Tamat SLTA/sederajat 3992 22,08

Tamat akademi/sederajat 226 1,25

Tamat perguruan tinggi/sederajat

210 1,16

Total 18082 100,00

Sumber: Data Monografi Kelurahan Cilacap 2010

Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan di Kelurahan Cilacap tergolong rendah. Hal ini dikarenakan sebanyak 12,28 persen penduduk tidak tamat sekolah dan 31,59 persen penduduk hanya tamat Sekolah Dasar. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat dapat berpengaruh pada akses politik berupa partisipasi mereka terkait dengan sumberdaya alam.

Tabel 5 Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Cilacap Tahun 2010

Mata Pencaharian Jumlah (orang) Presentase (%)

Nelayan 4063 59,06

Industri/usaha sedang/besar 9 0,13

Pengrajin industri kecil 11 0,16

Buruh bangunan 1721 25,02

Pedagang 591 8,59

Gambar

Gambar 1. pengelolaan Kebijakan Karakteristik 
Tabel 2 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011
Gambar 3. Teknik Bola Salju Informan
Tabel 3 Jumlah Penduduk Menurut Glongan Umur Kelurahan Cilacap, 2010
+7

Referensi

Dokumen terkait