• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HUBUNGAN KARAKTERISTIK NELAYAN DENGAN TINGKAT

5.5 Analisis Hubungan Karakteristik Nelayan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan

Jumlah Tanggungan Tingkat Partisipasi Total

Tinggi Sedang Rendah

Tinggi 0 (0%) 0 (0%) 17 (100%) 17 (45,9%) Sedang 0 (0%) 0 (0%) 7 (100%) 7 (18,9%) Rendah 0 (0%) 1 (7,7%) 12 (92,3%) 13 (35,1%) Total 0 (0%) 1 (2,7%) 36 (97,3%) 37 (100%)

Analisis Chi-Square pada Tabel 12 menghasilkan nilai hitung sebesar 1,897 dengan derajat kebebasan (df) sebesar 2. Alfa (α) yang diambil adalah 0,1 sehingga diperoleh nilai tabel sebesai 4,61. Berdasarkan analisis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jumlah tanggungan dengan tingkat partisipasi nelayan. Penyebabnya adalah nelayan hanya dapat berpartisipasi secara aktif di tahap pemanfaatan dan evaluasi. Hal ini mengakibatakan perbedaan jumlah beban tanggungan tidak mempengaruhi keaktifan nelayan dalam partisipasi pembuatan kebijakan zonasi.

5.5 Analisis Hubungan Karakteristik Nelayan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan

Berdasarkan keempat tabel di atas dapat disimpulkan bahwa tidak terbentuk hubungan antara karakteristik nelayan dengan tingkat partisipasi nelayan. Berdasarkan data yang diperoleh, dalam pembangunan dermaga dan jalur pelayaran kapal non nelayan dapat diketahui bahwa pembangunan tersebut merupakan pembangunan yang top down. Walaupun benar adanya bahwa terdapat sosialisasi mengenai keberadaan kedua hal tersebut kepada pihak nelayan. Selain itu ada pula rapat yang diselenggarakan oleh pihak-pihak terkait seperti pemerintah lokal dengan persatuan nelayan untuk membahas soal tersebut. Namun, berdasarkan hasil kuesioner yang diperoleh, nelayan lebih banyak

berpartisipasi dalam tahap evaluasi. Berikut ini adalah gambaran mengenai tahapan tersebut.

Gambar 9 Tingkat Partisipasi Nelayan Dalam Tiap Tahapan

Berdasarkan Gambar 9 di atas dapat diketahui bahwa 100 persen responden memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan. Sedangkan pada tahap pemanfaatan, terdapat 2,5 persen responden yang memiliki peran serta yang tinggi. Pada tahap akhir, yaitu tahap evaluasi, nelayan memiliki peran serta yang tergolong tinggi dan sedang. Sebanyak 78,38 persen nelayan memiliki tingkat partisipasi sedang. Sementara 21,62 persen lainnya memiliki tingkat partisipasi tinggi. Namun walaupun begitu, karena sebagian besar dari mereka hanya aktif pada tahap evalusai saja maka hal ini tidak terlalu berpengaruh pada keseluruhan peran aktif tingkat partisipasi mereka.

Tabel 13 Hubungan Karakteristik Sosial dengan Tahap Evaluasi Karakteristik

Sosial

Evaluasi

Tinggi Sedang Rendah

Umur Tinggi 3 14 0 Sedang 3 7 0 Rendah 2 8 0 Pendidikan Tinggi 1 0 0 Sedang 4 7 0 Rendah 3 22 0 Pendapatan Tidak Paceklik Tinggi 6 12 0 Sedang 0 9 0 Rendah 2 8 0 Pendapatan Saat Paceklik Tinggi 2 4 0 Sedang 3 8 0 Rendah 3 17 0 Jumlah Tanggungan Tinggi 5 12 0 Sedang 1 6 0 Rendah 2 11 0

Tabel 13 di atas diuji dengan menggunakan Chi-Square untuk melihat hubungan variabel terkait. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa nilai hitung yang didapat atas hubungan variabel umur dan tingkapt pastisipasi dalam tahap evaluasi adalah 0,588. Derajat kebebasan (df) yang dihasilkan adalah 2 dengan alfa (α) yang digunakan adalah 0,1. Nilai tabel yang tertera adalah 4,61 sehingga dapat diketahui bahwa kedua variabel tersebut tidak memiliki hubungan yang signifikan. Keadaan ini terlihat dari mayoritas responden yang memiliki tingkat umur tinggi atau tergolong tua memiliki partisipasi dalam tahap evaluasi tergolong sedang. Keadaan serupa juga terlihat di tingkat umur sedang dan muda atau rendah.

Analisis Chi-Square memperlihatkan bahwa hubungan antara variabel tingkat pendidikan dengan tingkat partisipasi di tahap evaluasi memiliki hubungan yang signifikan. Nilai hitung yang diperoleh adalah 6,401 dengan derajat kebebasan sebesar 2 dan alfa (α) yang digunakan adalah 0,1. Nilai tabel yang

tertera adalah 4,61. Kesipulan dari analisi ini adalah semakin tinggi tingkat pendidikan nelayan maka semakin tinggi tingkat partisipasi nelayan dalam tahap evaluasi.

Sementara itu jika dilihat pada tingkat pendapatan sebelum paceklik, hasil analisis Chi-Square memperlihatkan bahwa nilai hitung adalah 3,955. Derajat kebebasan (df) yang dihasilkan adalah 2 dengan alfa (α) sebesar 0,1. Maka nilai hitung lebih kecil dibandingkan dengan nilai tabel, yaitu sebesar 4,61. Sedangkan jika dilihat pada tingkat pendapatan saat sedang paceklik dihasilkan nilai hitung adalah 1,210 dengan alfa, drajat kebebasan, dan nilai tabel yang sama dengan tingkat pendapatan saat tidak paceklik. Kesimpulannya adalah tidak ada hubungan keterkaitan yang signifikan antara kedua variabel tersebut. Penyebabnya adalah nelayan berpikir bahwa keberadaan nelayan dalam suatu rapat tidak terlalu penting. Menurut nelayan hal yang menjadi prioritas adalah melaut.

Nilai hitung hubungan antara tingkat jumlah tanggungan dengan tingkat partisipasi pada Tabel 12 adalah 1,129 dengan derajat kebebasan 2 dan alfa (α) 0,1. Nilai tabel yang tertera adalah 4,61. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada keterkaitan yang signifikan antara kedua variabel tersebut. Hal ini juga terlihat dari banyaknya angka yang tersebar hampir merata di bagian tingkat evealuasi sedang. Responden dengan tingkat jumlah tanggungan tingggi, sedang, dan rendah sama-sama menempati tingkat evaluasi pada golongan sedang. Sebagian besar nelayan lebih berpikir untuk mempersiapkan diri untuk melaut esok hari dari pada menghadiri pertemuan untuk membahas nasib nelayan.

Kesimpulan dari penelitan mengenai tahap evaluasi adalah variabel pendidikan mempengaruhi akses politik responden. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka dia akan memiliki tingkat partisipasi yang lebih tinggi pula. Sedangkan pada variabel lainnya hubungan yang terjadi tidak signifikan.

Hasil analisis kuantitatif tersebut menunjukkan nelayan yang berada di wilayah Cilacap tidak memiliki partisipasi yang cukup baik. Secara kualitatif hal ini dapat dilihat melalui penjelasan pada bab selanjutnya dimana diketahui bahwa secara keseluruhan wilayah perairan mereka dibatasi oleh pemerintah. Dalam pembuatannya tidak ada campur tangan masyarakat sama sekali. Di sini masyarakat hanya menerima kebijakan tersebut tanpa ditanya apakah hal tersebut

sesuai bagi mereka atau tidak. Walaupun begitu pada kenyataannya masih banyak nelayan yang tidak mematuhi peraturan zonasi yang telah ditentukan.

Nelayan tradisional yang melaut tidak mempedulikan keberadaa kapal non nelayan yang sedang memasang jangkar untuk menunggu giliran masuk pelabuhan. Mereka tetap melaut di jalur pelayaran dan juga ke wilayah tempat kapal non nelayan melego jangkarnya. Selain itu ada pula nelayan yang tidak mematuhi jalur yang telah ditentukan oleh Keputusan Menteri Kelautan yang mengatakan bahwa wilayah tangkap ikan mereka, para nelayan tradisional, hanya sejauh 6 mil. Alasan mereka untuk melaut lebih jauh dari batas zonasi adalah mengejar hasil tangkapan.

Partisipasi nelayan dalam batas wilayah ini hanya terlihat kuat ketika tahap evaluasi dilakukan. Menurut salah satu penuturan seorang informan yang juga berprofesi sebagai nelayan dan mempunyai jabatan di kalangan masyarakat ini diketahui bahwa setiap tiga bulan sekali ada diskusi bagi para nelayan. Dalam diskusi ini diceritakan mengenai kendala, penyuluhan, dan berbagai keluhan yang dialami oleh para nelayan. Jika ada kapal nelayan yang mengalami masalah dengan kapal non nelayan, hal tersebut juga dibahas dalam forum ini.

Namun rapat dan forum seperti ini bisa diadakan secara mendadak jika terjadi kecelakaan kapal tanker baik yang menyebabkan minyak tumpah maupun rusaknya jaring nelayan karena terkena jangkar. Jika hal itu terjadi maka para nelayan akan bersatu dan menuntut pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pada saat seperti inilah dapat terlihat bahwa akses politik nelayan baik. Biasanya mereka menyampaikan aspirasinya dalam musyawarah dengan pemerintah dan pihak swasta serta kepolisian. Walaupun ketika musyawarah tingkat kebupaten tidak semua nelayan dapat hadir melainkan hanya para pengurus kelompok nelayan, namun sebelumnya sebagian besar nelayan akan aktif berpartisipasi dalam penyelesaian permasalahan pada forum tingkat kelompok. Aspirasi mereka didengar oleh pemerintah dan industri terkait dalam proses penyelesaian permasalahan tersebut. Jika aspirasi mereka tidak didengar maka mereka akan mengambil jalan lain, yaitu berdemonstrasi ke industri terkait dan pemerintaan. Namun demonstrasi ini tergolong aman dan tidak anarki. Ketika demonstrasi berlangsung, nelayan akan menyampaikan keluhan

yang mereka rasakan lebih keras dan tegas. Walaupun ada pula beberapa nelayan yang tidak pernah ikut demonstrasi karena alasan pribadi.

Berdasarkan fakta pembentukan zonasi tersebut maka dapat dikatakan bahwa nelayan di sekitar Teluk Penyu tersebut tidak memiliki partisipasi yang tinggi. Mereka hanya masyarakat yang menerima peraturan dari pemerintah mengenai batas zonasi di perairan tersebut. Tingkat partisipasi mereka tinggi hanya ketika terjadi kecelakaan kapal non nelayan yang secara nyata merugikan nelayan secara ekonomi. Namun kesempatan tersebut tidak terlalu besar karena banyak diantara mereka yang masih mengeluhkan penyelesaiaan permasalahan yang diambil.

BAB VI

KETERKAITAN PARTISIPASI NELAYAN DALAM

MENENTUKAN WILAYAH ZONASI PESISIR

Bab sebelumnya telah dijelaskan baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif bahwa pada kenyataannya karakteristik individu nelayan tidak mempengaruhi tingkat partisipasi nelayan. Selain itu tingat partisipasi nelayan yang tergolong rendah secara keseluruhan juga tidak berpengaruh terhadap pembentukkan zonasi yang terdapat di perairan Cilacap. Penyebabnya adalah pembentukkan zonasi yang terdapat di sana merupakan hasil keputusan langsung dari pemerintah pusat (top down). Namun jika dilihat, perairan tersebut memiliki dua zonasi utama yaitu zonasi pertambangan dan zonasi perikanan. Pada bab ini akan lebih difokuskan pada zonasi dua kegiatan tersebut dan pemanfaatannya.

6.1 Zonasi Pertambangan

Cilacap merupakan salah satu wilayah yang strategis untuk pembangunan industri. Sedikitnya terdapat empat industri besar yang berada di sana dan menggunakan jalur pelayaran laut sebagai salah satu sarana transportasi dalam produksi. Masing-masing industri yang menggunakan jalur laut sebagai salah satu sarana transportasinya memiliki dermaga sendiri bagi kapal-kapal yang mengangkut barang-barang produksi mereka. Namun jalur pelayaran bagi kapal- kapal tersebut sudah ditentukan oleh pemerintah. Bagi setiap kapal yang akan keluar atau masuk dermaga harus memperoleh izin terlebih dahulu. Ketika kapal- kapal tersebut telah memperoleh izin maka setiap perjalanan keluar dan masuk dermaga, kapal-kapal itu akan dipandu oleh kapal pandu.

Batas pelayaran dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bersama 2 Menteri yaitu Menteri Perhubungan dan Menteri Dalam Negeri No. 13/1986 KM 31/AL- 101/PHB-86 yang berisi mengenai batas pelabuhan. Pada dasarnya Pelabuhan Tanjung Intan ini telah ada sejak zaman penjajahan Portugis. Selain itu sebelum adanya industri yang berdiri di sana, pelabuhan tersebut telah digunakan sebagai akses keluar masuknya kapal-kapal kargo yang membawa komoditi dari berbagai tempat untuk dipasarkan.

Sepanjang perairan Samudera Indonesia yang dekat dengan Pelabuhan Tanjung Intan dipasangi tanda seperti pelampung berwarna merah dan hijau. Tanda tersebut merupakan batas bagi kapal non nelayan untuk merapat atau meninggalkan dermaga. Selain tanda sebagai petunjuk arah berupa pelampung, ada pula lampu-lampuh berwarna merah dan hijau yang akan menyala di malam hari. Rambu apung berwarna merah ditempatkan di sebelah kanan jalur. Sementara itu rambu apung berwarna hijau ditempatkan di sebelah kiri. Pemasangan rambu tersebut dimaksudkan agar kapal mengetahu jalur yang harus dilewatinya. Mengingat wilayah perairan tersebut terdapat banyak sekali karang dan kedalaman laut yang tidak merata sehingga dapat menyebabkan kapal yang melintasinya karam. Sebelum sebuah kapal memasuki atau keluar dari dermaga, biasanya kapal tersebut harus menunggu giliran untuk berlayar atau menunggu kapal pemandu datang. Ketika kapal non nelayan tersebut akan melewati jalur pelabuhan maka akan ada pengumuman yang memberikan informasi mengenai hal tersebut. Pengumuman itu dimaksudkan agar tidak ada kapal lain yang melintasi jalur pelayaran dan terhindar dari kecelakaan. Untuk lebih jelasnya di bawah ini ditampilakan alur pelayaran Pelabuhan Tanjung Intan.

Sumber: www.scribd.com

Gambar 10 Jalur Pelayaran dan dermaga di Pelabuhan Tanjung Intan

Pada gambar diperlihatkan bahwa terdapat sembilan dermaga yang ada di pelabuhan tersebut. Sebagian besar dermaga merupakan milik industri dan ada satu dermaga umum yang salah satunya digunakan untuk kapal menuju ke Pulau Nusakambangan. Selain itu ada pula pipa yang berada di bawah laut milik salah satu industri yang ditunjukkan oleh garis putus-putus. Bagi kapal yang ingin masuk ke dermaga harus menunggu di wilayah dengan gambar jangkar. Wilayah lego jangkar tersebut berjarak dua hingga tiga mil dari garis pantai. Jarak tersebut juga termasuk pada wilayah tangkap nelayan tradisional. Setelah menunggu dan mendapatkan izin maka akan ada kapal pandu yang akan memberikan komando dari depan kapal tersebut untuk berlayar mengikutinya. Jalur yang digunakan

adalah garis yang terlihat mulai dari gambar lingkaran hingga dermaga tujuan. Sementara itu ada pelabuhan perikanan yang harus melewati jalur pelayaran dan ada pula yang di luarnya.

Dokumen terkait