• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pra-Perlakuan Bahan dan Pencernaan Campuran (Co-Digestion) Jerami Padi – Lumpur pada Produksi Biogas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pra-Perlakuan Bahan dan Pencernaan Campuran (Co-Digestion) Jerami Padi – Lumpur pada Produksi Biogas"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

PRA-PERLAKUAN BAHAN DAN PENCERNAAN

CAMPURAN (CO-DIGESTION) JERAMI PADI - LUMPUR

PADA PRODUKSI BIOGAS

NIZAR ZAKARIA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pra-Perlakuan Bahan dan Pencernaan Campuran (Co-Digestion) Jerami Padi – Lumpur pada Produksi Biogas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2013

Nizar Zakaria

(4)

ABSTRAK

NIZAR ZAKARIA. Pra-Perlakuan Bahan dan Pencernaan Campuran (Co-Digestion) Jerami Padi – Lumpur pada Produksi Biogas. Dibimbing oleh MUHAMMAD ROMLI dan SUPRIHATIN

Permasalahan utama yang dihadapi saat ini di berbagai negara yaitu pada bidang energi dan lingkungan. Penggunaan energi yang berlebihan menyebabkan ketersediaannya semakin menipis dan pengrusakan lingkungan. Sehingga dibutuhkan suatu inovasi untuk menciptakan energi terbarukan yang ramah lingkungan seperti pembuatan biogas dari hasil konversi jerami padi dan sludge

Rumah Potong Hewan (RPH). Metode pembuatan dilakukan dengan proses pendahuluan biooksidasi parsial dan perbandingan komposisi campuran antara jerami dan sludge sebesar 60: 40 dan 40:60. Produksi gas spesifik jerami:sludge

60:40 sebesar 110.65 L/g TS dan jerami:sludge 40:60 sebesar 112.44 L/g TS.

Sludge memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pembentukan gas, sebab kandungan protein dan nitrogen dalam sludge lebih tinggi yaitu sebesar 1.75 % basis kering sedangkan jerami padi sebesar 0.27% basis kering.

Kata kunci: Jerami Padi, Sludge, Biogas, Pretreatment.

ABSTRACT

NIZAR ZAKARIA. Material Pretreatment and Co-Digestion of Rice Straw – Sludge in Biogas Production. Supervised by MUHAMMAD ROMLI and SUPRIHATIN

The main problem which were faced in many countries are on energy and environment sector this moment. The exploration of energy would caused its availability depleting and defect of environment. So that needed a innovation for create renewable energy which environmental friendly likely manufacture of biogas from convertion value of rice straw and sludge from Rumah Potong Hewan (RPH). Manufactured method was executed with preliminary process of partial bio-oxidation and mixed composition comparison between straw and sludge as much as 60: 40 and 40:60. The production of specific gas straw:slugde 60:40 as much as 110,65 L/g TS and straw:sludge 40:60 as much as 112,44 L/g TS. Sludge possessed influence appreciable in gas shaping, cause the protein content and nitrogen in sludge very high.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Teknologi Industri Pertanian

PRA-PERLAKUAN BAHAN DAN PENCERNAAN

CAMPURAN (CO-DIGESTION) JERAMI PADI - LUMPUR

PADA PRODUKSI BIOGAS

NIZAR ZAKARIA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Pra-Perlakuan Bahan dan Pencernaan Campuran (Co-Digestion) Jerami Padi – Lumpur pada Produksi Biogas

Nama : Nizar Zakaria NIM : F34090136

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc.St Prof. Dr-Ing. Ir. Suprihatin Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penulis mengambil tema Lingkungan, dengan judul skripsi Pra-Perlakuan Bahan dan Pencernaan Campuran Co-Digestion Jerami Padi – Lumpur pada Produksi Biogas yang telah dilakukan dari bulan April hingga Agustus 2013 .

Ucapan terimakasih serta penghargaan penulis ucapkan kepada

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc.St selaku dosen pembimbing I atas perhatian dan bimbingannya selama ini.

2. Prof. Dr-Ing. Ir. Suprihatin selaku dosen pembimbing II atas perhatian dan bimbingannya selama ini.

3. Bapak Drs. Purwoko, MSi selaku dosen pembimbing penelitian.

4. Tim dosen penguji atas masukan dan arahannya dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Staff Rumah Potong Hewan (RPH) Kabupaten Bogor yang telah membantu dalam penyediaan bahan berupa limbah cair.

6. Seluruh staff dan laboran Departemen Teknologi Industri Pertanian yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

7. Ayahanda Beny Hasyim dan Ibunda Iyar Sukmawati serta Siti Kendalia Ningrum atas doa, dukungan dan perhatiannya selama ini.

8. Aulia Anggraini dan Siti Saibah serta keluarga besar Teknologi Industri Pertanian 46 atas bantuan, kritik, dukungan, informasi, dan kebersamaannya selama ini.

9. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Bogor, November 2013

(9)

DAFTAR ISI

Waktu dan Tempat Penelitian 8

Alat dan Bahan 8

Pengaruh Bio-oksidasi terhadap Produksi Gas 12

Proses Bio-oksidasi2 16

Pengaruh Penambahan Sludge terhadap Produksi Gas 18 Karakteristik Digestat Selama Fermentasi Perbandingan

(10)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi nutrien jerami padi 3

2 Karakteristik jerami padi dan sludge 10

3 Karakteristik bahan bio-oksidasi1 12

4 Karakteristik umpan jerami tanpa bio-oksidasi dan bio-oksidasi 13 5 Karakteristik digestat fermentasi jerami tanpa bio-oksidasi dan

bio-oksidasi 15

6 Karakteristik lindi akhir fermentasi jerami tanpa bio-oksidasi dan

bio-oksidasi 16

7 Pengamatan bio-oksidasi 17

8 Karakteristik bahan bio-oksidasi2 17

9 Karakteristik umpan 60:40 dan 40:60 18

10 Karakteristik digestat fermentasi 60:40 dan 40:60 20 11 Karakteristik lindi akhir fermentasi 60:40 dan 40:60 21

12 Karakteristik digestat sampel tiap 2 pekan 22

13 Hasil Uji Mineral 26

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir metode penelitian 9

2 Jerami padi (kiri) dan sludge (kanan) 10

3 Proses bio-oksidasi 11

4 Produksi biogas tanpa bio-oksidasi (Δ) dan bio-oksidasi (□) 14

5 Produksi biogas 60:40 (O) dan 40:60 (□) 19

6 Produk Akhir Leachate (kiri) dan Digestat (kanan) 20 7 Grafik penurunan sampel digestat TS (-o-) dan VS (wb) (-□-) 22

8 Grafik Penuruan COD sampel leachate 24

9 Grafik Penuruan VFA sampel leachate 25

DAFTAR LAMPIRAN

1 Prosedur Analisis 31

2 Kromatogram VFA Standar 1 35

3 Kromatogram VFA Tanpa Bio-oksidasi 36

4 Kromatogram VFA Bio-oksidasi 37

5 Kromatogram VFA Standar 2 38

6 Kromatogram VFA H-14 39

7 Kromatogram VFA H-42 40

8 Kromatogram VFA H-97 41

9 Kromatogram VFA 40:60 B 42

10 Tabel Permentan No 28 43

11 Tabel Hasil Analisis Mineral Jerami Tanpa Bio-oksidasi 44 12 Tabel Hasil Analisis Mineral Jerami Bio-oksidasi 45

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Setiap tahunnya jumlah produksi gabah Indonesia selalu meningkat. Dari data Badan Pusat Statistik (2013) mengenai produksi tanaman padi diketahui bahwa terjadi peningkatan selama tiga tahun terakhir yaitu pada tahun 2011 hingga tahun 2013 yaitu sebesar 6.92%. Dengan meningkatnya produksi gabah Indonesia, maka meningkat pula limbah jerami padi yang dihasilkan. Limbah jerami padi yang dihasilkan masih belum termanfaatkan sepenuhnya, sebab para petani hanya membakar limbah jerami padi untuk dijadikan pupuk. Padahal proses pembakaran tersebut dapat menimbulkan polusi udara yang dapat merusak pernapasan, selain itu menurut Sutanto (2002) mengatakan bahwa apabila jerami dibakar, maka kehilangan kandungan N mencapai 93% dan K sebesar 20%.

Salah satu alternatif yang cukup baik untuk pengolahan limbah jerami padi adalah dengan membuat biogas dari bahan jerami padi. Sebab jerami padi mengandung selulosa 32-47%, hemiselulosa 19-27%, lignin 5-24% (Taherzadeh and Karimi 2008). Kedua kandungan tersebut dapat dihidrolisis menjadi senyawa yang lebih sederhana yang kemudian hasil hidrolisis tersebut dapat dilakukan proses fermentasi menjadi etanol atau metana. Akan tetapi fermentasi biomassa untuk menghasilkan bioethanol relatif lebih kompleks dan belum ada metode pra-perlakuan yang efektif , maka penggunaan biomassa sebagai sumber biogas berbasis metana merupakan pilihan yang cukup baik dan strategis. Nilai konversi jerami padi menjadi biogas mencapai 250-350 L/kg berat kering (Arati 2009).

Selain itu permasalahan limbah padat cair berupa sludge juga belum dapat teratasi dengan baik pada sistem pengolahannya. Sludge memiliki kandungan nitrogen yang cukup banyak, sehingga apabila dilakukan pencampuran antara jerami padi dengan sludge untuk menghasilkan biogas merupakan alternatif yang lebih baik lagi. Karena dengan pencampuran tersebut, maka C/N ratio biomassa dapat diperhitungkan dengan baik, dimana C/N ratio yang baik untuk membuat biogas sekitar 25-30 (Deublein dan Steinhauser).

Perumusan Masalah

(12)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui pengaruh perlakuan pendahuluan terhadap pembentukan biogas.

2. Mengetahui pengaruh penambahan sludge terhadap pembentukan gas. 3. Mengkarakteristik bahan akhir sebagai pupuk kompos.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

1. Bagi penulis sebagai sarana pengembangan wawasan serta pengalaman dalam menganalisis permasalahan khususnya di bidang lingkungan. 2. Bagi kalangan akademis dapat dijadikan bahan penyusunan penelitian

yang serupa dan lebih mendalam

3. Bagi masyarakat sebagai bahan informasi dan pertimbangan dalam mengolah limbah padat pertanian sebagai bahan energi alternatif.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mengacu pada hal-hal sebagai berikut :

1. Penelitian berfokus pada penentuan proses terbaik dalam pembentukan biogas, yaitu antara bahan yang tidak ditreatment dengan bahan yang ditreatment.

2. Perbandingan komposisi bahan jerami padi dengan sludge untuk menentukan biogas yang optimum.

3. Pengaruh penambahan umpan berupa sludge dalam memproduksi biogas.

TINJAUAN PUSTAKA

a. Jerami Padi

(13)

3 Jerami padi merupakan hijauan pakan yang banyak mengandung serat kasar seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin yang sulit dicerna, sedangkan unsur-unsur protein, lemak dan karbohidrat sangat sedikit. Komposisi nutrien jerami padi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi nutrien jerami padi Komponen Selly

Arinong (2008) menyatakan bahwa jerami padi sebagai limbah tanaman padi mengandung protein kasar (PK) 3.6%, lemak kasar (LK) 1.3%, BETN 41.6%, abu 16.4%, lignin 4.9%, serat kasar (SK) 32.0%, silika 13.5%, kalsium (Ca) 0.24%, kalium (K) 1.20%, magnesium (Mg) 0.11%, dan phosphor (P) 0.10%. Hogan dan Leche (1981) menyatakan bahwa jerami padi mengandung 95% bahan kering (BK) yang secara potensial dapat dicerna oleh ternak ruminansia, namun komponen jerami padi yang dapat dicerna secara in vitro hanya 45 - 50% saja.

Jerami padi dalam keadaan segar relatif lebih hijau, palatabilitas dan kecernaan lebih tinggi dibandingkan dengan yang sudah kering dan bertumpuk (Suminar, 2005). Upaya peningkatan nilai pakan jerami padi sebagai pakan ternak antara lain dengan penambahan pakan konsentrat, penambahan sumber protein yang berupa tanaman leguminosa dan atau dengan perlakuan biologis, fisik maupun kimia (Yulistiani et al.., 2003).

b. Sludge

(14)

4

berdasarkan nilai ekonomisnya, limbah dibedakan menjadi limbah yang mempunyai nilai ekonomis dan limbah yang tidak memiliki nilai ekonomis. Limbah yang memiliki nilai ekonomis yaitu limbah yang melalui suatu proses lanjut sehingga memberikan suatu nilai tambah, sedangkan limbah non-ekonomis adalah suatu limbah walaupun telah dilakukan proses lanjut dengan cara apapun tidak akan memberikan nilai tambah kecuali sekedar untuk mempermudah sistem pembuangan. Limbah yang mengandung bahan polutan yang memiliki sifat racun dan berbahaya dikenal dengan limbah B-3 yang dinyatakan sebagai bahan yang dalam jumlah relatif sedikit tetapi berpotensi untuk merusak lingkungan hidup dan sumber daya (Kristanto 2002). Limbah padat industri pangan terutama terdiri dari bahan-bahan organik seperti karbohidrat, protein, lemak, serat kasar, dan air merupakan bahan-bahan yang mudah terdegradasi secara biologis dalam sebuah bioreaktor baik secara aerob maupun anaerob serta menyebabkan pencemaran lingkungan, terutama menimbulkan bau busuk.

Limbah organik yang akan diterima pada umumnya berupa lumpur endapan dari proses pengolahan air limbah industri. Lumpur banyak mengandung zat pengurai sehingga sangat baik untuk memakan bahan organik yang masih baru (Kristanto, 2002). Sludge merupakan endapan padat yang secara alami berada di dalam air dan air limbah, atau benda yang bukan endapan padat tetapi secara pengentalan kimia dan flokulasi biologi dapat mengendap dan dialirkan dari tangki pembuangan limbah. Sementara menurut Sugiharto (1987), lumpur (sludge) yang dihasilkan dari pengolahan limbah cair perlu dilakukan pengolahan secara khusus agar lumpur tersebut dapat dimanfaatkan kembali untuk keperluan kehidupan manusia.

Selain limbah cair, industri juga menghasilkan limbah padat. Berdasarkan sifatnya, pengolahan limbah padat industri terbagi menjadi dua yaitu limbah padat dengan pengolahan dan limbah padat tanpa pengolahan. Limbah padat tanpa pengolahan dapat dibuang ke tempat tertentu yang difungsikan sebagai tempat pembuangan akhir karena limbah tersebut tidak mengandung unsur kimia yang beracun dan berbahaya. Berbeda dengan limbah padat yang mengandung senyawa kimia berbahaya dan beracun atau yang setidak-tidaknya menimbulkan reaksi baru, limbah semacam ini harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir. Selain itu, secara garis besar limbah padat dapat diklasifikasikan sebagai berikut: limbah padat yang mudah terbakar, limbah padat yang sukar terbakar, limbah padat yang mudah membusuk, debu, lumpur (sludge), dan limbah yang dapat di daur ulang (Kristanto 2002).

(15)

5 yang membantu flokulasi biomassa mikrobiologi. Genus yang umum dijumpai adalah Zooglea, Pseudomonas, Flavobacterium, Alcaligenes, Bacillus, Achromobacter, Corynebacterium, Comomonas, Brevibacterium, dan

Acinetobacter. Di samping itu ada pula mikroorganisme berfilamen yaitu

Sphaerotilus dan Beggiatoa, Vitreoscilla. Jumlah bakteri aktif aerobik menurun karena ukuran flok meningkat yang disebabkan oleh tingkat oksigen dalam difusi. Bagian dalam flok yang relatif besar membuat kondisi berkembangnya bakteri anaerobik seperti metanogen. Kehadiran metanogen dapat dijelaskan dengan pembentukan beberapa kantong anaerobik didalam flok atau dengan metanogen tertentu terhadap oksigen (Wu, 1987). Oleh karena itu lumpur aktif cukup baik dan cocok untuk material bibit bagi pengoperasian awal reaktor anaerobik. Sludge

memiliki manfaat yang sama dengan pupuk kandang terutama dalam memperbaiki struktur tanah dan memberikan kandungan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. Sludge memiliki kelebihan lain yaitu setelah keluar dari digester biasanya

sludge telah matang karena telah mengalami proses penguraian di dalam alat (Setiawan 1996).

c. Biogas

Biogas (gas bio) merupakan gas yang timbul dari hasil fermentasi bahan-bahan organik seperti, kotoran hewan, kotoran manusia, atau sampah direndam di dalam air dan disimpan di dalam tempat yang tertutup atau anaerob. Biogas ini sebenarnya dapat juga terjadi pada kondisi alami, namun untuk mempercepat dan menampung gas ini, maka diperlukan alat yang memenuhi syarat terbentuknya gas ini (Setiawan, 2007).

Hambali et al.. (2007) menyatakan bahwa biogas didefinisikan sebagai gas yang dilepaskan jika bahan-bahan organik (seperti, kotoran ternak, kotoran manusia, jerami, sekam dan daun-daun hasil sortiran sayuran) difermentasikan atau mengalami proses metanisasi.

Kotoran ternak atau limbah organik lainnya jika di masukkan dalam

digester (tangki pengurai) dalam beberapa hari akan mengalami proses fermentasi dan terbentuklah gas. Contohnya biogas yang digunakan sekarang kebanyakan memanfaatkan feses ternak sebagai bahan bakunya, selain itu ada juga yang menggunakan dari limbah pertanian dari pabrik. Hampir sama yang disampaikan Shiddiq (2009) bahwa biogas merupakan gas yang dihasilkan dari proses pembusukan limbah organik (dari mahluk hidup) dengan bantuan bakteri dalam keadaan anaerob. Limbah organik ini dapat berupa kotoran manusia, kotoran hewan, atau limbah agro industri.

(16)

6

suatu gas yang sebagian besar merupakan metan dan karbon dioksida dan proses dekomposisi anaerobik dibantu oleh sejumlah mikroorganisme, terutama bakteri metan.

Feses ternak yang dimasukkan dalam tangki pengurai (digester) akan mengalami pembusukan sehingga terbentuk gas yang mengandung metan, karbondioksida, hydrogen, nitrogen dan oksigen. Demikian juga halnya dengan pendapat Said (2007) menyatakan bahwa biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan biologis atau organik oleh organisme kecil pada kondisi tanpa oksigen (anaerob). Artikel yang dikutip Departemen Pertanian (2009)

menjelaskan bahwan “biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi anaerob”.

d. Proses Pembentukan Biogas

Secara umum proses pembentukan biogas yaitu fermentasi bahan organik kompleks menjadi gas oleh mikroorganisme anaerob. Berdasarkan aliran bahan baku, reaktor biogas (biodigester) dibedakan menjadi:

1. Bak (batch) – Pada tipe ini, bahan baku reaktor ditempatkan di dalam wadah (ruang tertentu) dari awal hingga selesainya proses digesti. Umumnya digunakan pada tahap eksperimen untuk mengetahui potensi gas dari limbah organik.

2. Mengalir (continuous) – Untuk tipe ini, aliran bahan baku masuk dan residu keluar pada selang waktu tertentu. Lama bahan baku selama dalam reaktor disebut waktu retensi hidrolik (hydraulic retention time/HRT).

Menurut Haq dan Soedjono (2009) penguraian bahan-bahan organik menjadi biogas dibagi menjadi 4 tahap yaitu hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis, dan metanogenesis yang berlangsung terus secara berantai sampai pada suatu keadaan dimana tidak ada lagi bahan organik yang dapat dihidrolisa.

1. Hidrolisis

Grup mikroorganisme hydrolytic mengurai senyawa organik kompleks menjadi molekul-molekul sederhana dengan rantai pendek. Senyawa tersebut diantaranya adalah glukosa, asam amino, asam organik, etanol, karbon dioksida, dan hidrokarbon yang dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan energi bagi bakteri untuk melakukan fermentasi. Proses hidrolisis dikatalis oleh enzim yang dikeluarkan bakteri seperti selullase, protease, dan lipase.

(17)

7 secara anaerob menghasilkan bermacam-macam produk fermentasi seperti asetat, propionat, butirat, H2, dan CO2.

Protein dan lemak juga dapat mengalami proses fermentasi anaerob yang menghasilkan metana. Meskipun kandungan protein dan lemak lebih sedikit daripada karbohidrat, tetapi metana yang dihasilkan dari fermentasi protein dan lemak dapat menambah jumlah metana yang digunakan untuk biogas. Semakin banyak kandungan bahan organik yang terdapat dalam slurry maka mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang dengan baik serta semakin banyak bahan organik yang dapat diubah menjadi metana.

2. Asidogenesis

Tahap hidrolisis segera dilanjutkan oleh pembentukan asam pada proses asidogenesis. Pada proses ini bakteri acidogenesis mengubah hasil dari tahap hidrolisis menjadi bahan organik sederhana (kebanyakan dari rantai pendek, keton, dan alkohol).

3. Asetogenesis (Tahap Pembentukan Asam)

Pada tahap ini terjadi pembentukan senyawa asetat, CO2, dan hidrogen dari molekul-molekul sederhana yang tersedia oleh bakteri aseton penghasil hidrogen. Bakteri pembentuk asam antara lain Pseudomonas, Escherichia, Flavobacterium, dan Alcaligenes yang mendegradasi bahan organik menjadi asam-asam lemak. Asam lemak yang teruapkan dari hasil asidogenesis akan digunakan sebagai energi oleh beberapa bakteri obligat anaerobik. Tetapi bakteri-bakteri tersebut hanya mampu mendegradasi asam lemak menjadi asam asetat. Salah satunya adalah degradasi asam propionate oleh Synthophobacter wolinii (Weismann 1991).

4. Metanogenesis (Tahap Pembentukan Metan)

Tahapan metanogenesis merupakan tahapan konversi anaerobik terakhir dan paling menentukan, yaitu dilakukan penguraian dan sintesis produk tahap sebelumnya untuk menghasilkan gas methana (CH4). Hasil lain dari proses ini berupa karbon dioksida, air, dan sejumlah kecil senyawa gas lainnya. Bakteri yang terlibat pada proses ini yaitu bakteri metanogenik dari sub divisi acetocalstic methane bacteria yang terdiri atas Methanobacterium, Methanosarcina, dan

(18)

8

(2009) menyebutkan bahwa bakteri ini memiliki pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan dengan bakteri yang ada pada tahap satu dan dua. Bakteri

methanogen sangat tergantung pada bakteri lainnya yang terdapat pada tahap sebelumnya untuk menghasilkan nutrien dalam bentuk yang sesuai. Bakteri methanogen secara alami dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti: air bersih, endapan air laut, sapi, kambing, lumpur (sludge) kotoran anaerob ataupun TPA (Tempat Pembuangan Akhir).

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Agustus tahun 2013 di Laboratorium Teknologi Industri Pertanian, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam melakukan penelitian ini yaitu Erlenmeyer, gelas piala, sudip, ember, pipa leher angsa, waterbath, gelas ukur, selang, pH-meter, cawan porselen, reaktor COD, destilata, thermometer, dan tanur.

Bahan yang digunakan dalam melakukan penelitian dan analisis yaitu jerami padi, sludge RPH, EM4, phosphate, traceelement, kotoran sapi, aquades, asam borat, NaOH, asam COD, kromat, buffer, FeCl3, CaCl2, MnSO4, tiosulfat, ajida, dan pati.

Metode Penelitian

(19)

9 g, sedangkan basis bobot untuk jerami padi bio-oksidasi dengan penambahan

sludge sebesar 300 g.

Diagram Alir Metode Penelitian

Gambar 1 Diagram Alir Metode Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam proses pembuatan biogas adalah jerami padi dan sludge yang berasal dari Rumah Potong Hewan (RPH) Kabupaten Bogor. Pengujian yang dilakukan untuk karakteristik bahan yaitu kandungan kadar air, kadar abu, TS, VS, dan TKN. Hasil yang diperoleh dari hasil analisis jerami dan

(20)

10

Tabel 2 Karakteristik jerami padi dan sludge

Jenis

Padi 2.49±0.09 17.74±0.21 97.51±0.09 79.77±0.29 0.27±0.18

Sludge 87.43±0.02 9.58±0.26 12.57±0.02 2.90±0.26 0.22±0.01 Jerami yang digunakan pada penelitian ini merupakan jerami yang telah dikeringkan terlebih dahulu oleh petani, sehingga nilai kadar air yang hasilkan rendah. Menurut Abdel-Mohdy et al (2009) menyatakan bahwa ketika musim panen tiba, kandungan air jerami padi bisa mencapai 60% berdasarkan bobt basah. Akan tetapi kandungan air jerami yang telah dikeringkan dapat mencapai 10-12%.

Sludge yang digunakan merupakan sludge yang berasal dari Rumah Potong Hewan (RPH) Kabupaten Bogor. Berdasarkan basis basah (wb) nilai parameter TKN jerami dan sludge tidak jauh berbeda, apabila perhitungan berdasarkan basis kering (db) diketahui bahwa TKN (db) jerami bernilai sama dengan TKN (wb) yaitu sebesar 0.27% sedangkan TKN (db) sludge memiliki nilai lebih tinggi yaitu sebesar 1.75%. Nilai nitrogen pada sludge lebih tinggi dibandingkan dengan jerami disebabkan karena sludge yang dihasilkan dari RPH merupakan sisa-sisa limbah dari penyembelihan hewan yang pada umumnya merupakan darah dari hewan yang telah disembelih. Sebab sisa-sisa limbah hasil sembelih hewan memiliki kandungan protein yang tinggi. Hal tersebut menjadikan alasan utama dalam memilih bahan, karena jerami memiliki kandungan karbon yang tinggi namun kandungan nitrogen yang rendah, begitu pula sebaliknya dengan sludge yang memiliki kandungan karbon yang rendah tetapi memiliki kandungan nitrogen yang tinggi, sehingga apabila kedua bahan dicampur diharapkan akan membentuk nilai C/N ratio yang optimum untuk membentuk gas yaitu sekitar 25-30 (Deublein dan Steinhauser, 2008).Gambar 2 di bawah ini menunjukkan penampakan jerami padi dan sludge.

(21)

11 Proses Bio-oksidasi1

Jerami merupakan bahan yang memiliki kandungan lingoselulosa yang cukup tinggi, komposisi kandungan jerami padi terdiri atas selulosa 32-47%, hemiselulosa 19-27%, lignin 5-24%. Proses bio-oksidasi (pretreatment)merupakan proses dekomposisi suatu senyawa baik keseluruhan maupun sebagian supaya senyawa tersebut dapat terurai atau rapuh. Bahan yang mengalami proses bio-oksidasi hanya jerami padi, sebab jerami padi merupakan sumber karbon yang tinggi dengan kandungan lignoselulosa yang tinggi pula. Tujuan dari proses

pretreatment yaitu untuk mempercepat proses degradasi bahan organik yang mengandung lignoselulosa (Taherzadeh dan Karimi 2008).

Sebelum dilakukan proses bio-oksidasi, bahan berupa jerami padi dilakukan perendaman dengan air selama 30 menit yang bertujuan untuk menyamakan kondisi awal bahan dan membuat suasana bahan menjadi lembab untuk mempermudah kinerja mikroorganisme. Air yang diserap oleh jerami selama proses perendaman sebanyak ±1.5 liter, hal ini terjadi disebabkan karena jerami yang digunakan sangat kering. Pada penampakan secara fisik, perubahan yang terjadi selama proses biooksidasi adalah struktur jerami yang menjadi lebih lunak dan rapuh dibandingkan dengan sebelumnya. Proses bio-oksidasi dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Proses Bio-oksidasi

(22)

12

Tabel 3 Karakteristik bahan bio-oksidasi1

Parameter Nilai (%)

Awal biooksidasi Akhir biooksidasi

Kadar Air 92.21±0.03 79.20±0.15

Kadar Abu 1.79±0.03 5.32±0.35

TS 7.79±0.03 20.80±0.15

VS (wb) 6.00±0.00 15.48±0.20

TKN (wb) 0.05±0.00 0.08±0.00

Tabel 3 di atas merupakan hasil analisis terhadap jerami sebelum oksidasi dan setelah oksidasi. Hasil tersebut menunjukan bahwa selama bio-oksidasi terjadi proses metabolisme oleh mikroogranisme, hal tersebut dapat ditunjukan dengan penurunan kandungan air sebesar 14.11%. Metabolisme yang dilakukan mikroorganisme adalah pedegradasian selulosa pada jerami dan menghasilkan gas buangan, hal tersebut dapat dilihat pada penurunan padatan volatile (VS) basis kering sebesar 3.37% dimana VS (db) sebelum bio-oksidasi sebesar 77.02% dan setelah bio-oksidasi sebesar 74.42%. Dengan terbentuknya gas maka diketahui bahwa struktur lignoselulosa jerami sudah rusak, karena gas yang terbentuk berasal dari senyawa kompleks yang sudah didegradasi menjadi senyawa organik sederhana, kemudian senyawa organik sederhana tersebut digunakan oleh mikroorganisme sebagai bahan makanan selama proses metabolisme.

Proses degradasian lignoselulosa yaitu menghancurkan struktur ikatan lignoselulosa yang kuat menjadi struktur ikatan yang lemah dan terbuka, sehingga porositas dari lignoselulosa menjadi meningkat dan hal tersebut dapat memudahkan mikroorganisme untuk mendegradasi bahan organik saat proses fermentasi anaerobik. Dikarenakan tidak terdapatnya pembatas selama proses pendegradasian lignoselulosa oleh mikroorganisme maka dapat menyebabkan keseluruhan senyawa kompleks yang dikonversi menjadi senyawa sederhana tadi menjadi habis dan senyawa sederhana tersebut dapat digunakan mikroorganisme dalam metabolisme selanjutnya menjadi asam-asam organik dan gas karbondioksida, sehingga pembuatan biogas pada tahapan fermentasi tidak terbentuk. Hal tersebut menjadi alasan mengapa pada penelitian ini proses biooksidasi tidak dilakukan secara keseluruhan, melainkan hanya secara parsial atau sebagian.

Pengaruh Bio-oksidasi terhadap Produksi Gas

(23)

13 maka tidak perlu penambahan air. Namun jika kadar air bahan di atas 60%, bakteri yang berperan adalah bakteri anaerobik. Tabel 4 menyajikan karakteristik umpan bahan yang masuk ke dalam digester untuk perlakuan tanpa oksidasi dan bio-oksidasi.

Tabel 4 Karakteristik umpan jerami tanpa bio-oksidasidan bio-oksidasi

Parameter Nilai (%)

Tanpa Bio-oksidasi Bio-oksidasi

Kadar Air 87.38±0.43 88.92±0.64

Kadar Abu 2.74±0.22 2.79±0.08

TS 12.62±0.43 11.08±0.64

VS (wb) 9.88±0.21 8.28±0.56

TKN (wb) 0.05±0.00 0.09±0.01

Dari tabel 4 hasil analisis diatas diketahui bahwa nilai TS sudah sesuai dengan kriteria yang diinginkan meskipun nilainya mendekati batas kritis bawah yaitu 11%. %. Hal tersebut terjadi karena ketika membuat neraca massa untuk umpan tidak memperhitungkan kandungan dari kotoran sapi yang digunakan sebagai inokulum awal. Apabila perhtiungan nilai parameter VS dan TKN secara dry basis (db) dari masing-masing sampel, maka diketahui pada sampel tanpa bio-oksidasi memiliki nilai VS (db) sebesar 78.28% dan TKN (db) sebesar 0.40%, sedangkan pada jerami bio-oksidasi nilai VS (db) sebesar 74.73% dan TKN (db) sebesar 0.81. Tujuan penambahan kotoran sapi yaitu untuk memberikan umpan berupa bakteri pembentuk metan, karena didalam kotoran sapi mengandung bakteri metan yang cukup banyak. Selain itu kotoran sapi juga merupakan inokulum yang mudah digunakan karena tidak perlu dilakukan aklimatisasi, karena kotoran sapi tersebut merupakan hasil dari perombakan lignoselulosa dari tanaman secara alami yang dimakan oleh hewan.

(24)

14

Gambar 4 Produksi Biogas Tanpa Bio-oksidasi (Δ) dan Bio-oksidasi (□) Pada Gambar 4 didapatkan tiga parameter penting untuk mengetahui perbedaan dari kedua sampel, yaitu produksi gas, laju pertumbuhan gas saat fase eksponensial, dan lamanya fase lag. Pertama, produksi gas jerami bio-oksidasi sebesar 137.70 L/kg TS sedangkan produksi gas jerami tanpa bio-oksidasisebesar 82.54 L/kg TS. Kedua, laju pertumbuhan gas saat fase eksponensial jerami bio-oksidasi pada hari ke 15 hingga hari ke 70 lebih tinggi yaitu 2.34 L/kg TS sedangkan jerami tanpa bio-oksidasi pada hari ke 32 hingga hari ke 70 yaitu 1.8 L/kg TS. Ketiga, fase lag merupakan fase dimana belum terjadi produksi gas yang cukup signifikan. Pada jerami bio-oksidasi fase lag lebih singkat yaitu selama 15 hari dibandingkan dengan fase lag jerami tanpa bio-oksidasi yaitu selama 32 hari. Dari ketiga hasil parameter tersebut dapat diketahui bahwa jerami dengan perlakuan bio-oksidasi lebih unggul dibandingkan dengan jerami tanpa bio-bio-oksidasi. Penyebab dari perbedaannya jumlah produksi gas, laju pertumbuhan, dan fase lag kedua sampel karena struktur jaringan lignoselulosa yang terdapat didalam jerami bio-oksidasi sudah rapuh karena proses biooksidasi sehingga beban bakteri untuk melakukan fermentasi jerami bio-oksidasilebih sedikit dibandingkan dengan beban bakteri yang terdapat pada digester jerami tanpa bio-oksidasi. Selain itu, pada jerami bio-oksidasi memiliki kandungan organik yang telah terdegradasi sebelumnya ketika proses hidrolisis berlangsung selama bio-oksidasi sedangkan kandungan organik jerami tanpa bio-oksidasi belum terdegradasi dan masih berbentuk senyawa kompleks sehingga diharuskan mendegradasi keseluruhan substranya sebelum dikonveri menjadi biogas.

Yadvika et al. (2004) menyatakan bahwa proses pretreatment pada bahan baku substrat perlu dilakukan untuk meningkatkan hasil biogas selama proses fermentasi berlangsung. Proses pretreatment bertujuan untuk menghancurkan

(25)

15 struktur organik kompleks yang terdapat didalam substrat menjadi molekul-molekul sederhana, sehingga mikroba yang bekerja lebih mudah dalam melakukan pendegradasian bahan. Salah satu bentuk proses pretreatment adalah dengan cara

predigestion bahan baku, yaitu dengan memotong ukuran bahan baku menjadi lebih kecil dan dilakukan proses komposting sebagian. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan luas bidang permukaan bahan sehingga proses pendegradasian bahan menjadi optimum. Berdasarkan penyataan tersebut, maka jerami padi yang digunakan dilakukan pemotongan dengna ukuran 0,5-1 cm.

Proses pengecilan ukuran juga ditegaskan dalam pernyataan Sulaeman (2007) yang menyatakan bahwa bahan dengan ukuran yang lebih kecil lebih cepat terdekomposisi dari pada bahan dengan ukuran yang lebih besar. Hal tersebut dikarenakan bahan dengan ukuran lebih kecil memliki luas kontak permukaan yang lebih besar dibandingkan dengan bahan berukuran lebih besar. Pengecilan ukuran sebagai perlakuan awal memiliki potensi untuk menghasilkan biogas yang secara signifikan meningkat. Agar didapat keseragaman kecepatan dalam mengurai, maka pengecilan ukuran bahan dapat dilakukan dengan cara dicacah manual atau mekanis (menggunakan mesin). Sehingga akses bagi substrat terhadap enzim lebih baik (Romli 2010).

Setelah proses fermentasi selesai dilakukan analisis terhadap bahan sampel baik digestat maupun air lindinya. Tabel 5 menyajikan hasil analisis karakteristik digestat fermentasi jerami tanpa bio-oksidasi dan bio-oksidasi.

Tabel 5 Karakteristik digestat fermentasi jerami tanpa bio-oksidasi dan bio-oksidasi

Parameter Nilai (%)

Tanpa Bio-oksidasi Bio-oksidasi

Kadar Air 96.33±0.31 97.75±0.14

Kadar Abu 1.02±0.06 0.78±0.01

TS 3.67±0.31 2.25±0.14

VS (wb) 2.64±0.25 1.47±0.13

TKN (wb) 0.07±0.01 0.06±0.00

(26)

16

VS (db), maka perbedaannya menjadi lebih besar, pada jerami tanpa bio-oksidasi terjadi penurunan VS (db) sebesar 8.12%, sedangkan pada jerami bio-oksidasi terjadi penurunan VS (db) sebesar 12.57%. Hal tersebut dikarenakan jumlah bahan organik yang terdapat di dalam jerami bio-oksidasilebih banyak didegradasi oleh bakteri metan untuk dikonversi menjadi biogas.

Pada air lindi dilakukan analisis COD dan VFA, hasil analisis dapat dilihat Tabel 6.

Tabel 6 Karakteristik lindi akhir fermentasi jerami oksidasi dan bio-oksidasi oksidasi masih cukup tinggi dibandingkan dengan jerami tanpa bio-oksidasi, dengan demikian potensi peningkatan biogas masih dapat terjadi pada jerami bio-oksidasi. Hal tersebut juga ditandai dengan nilai VFA dari kedua sampel yang didominasi oleh kandungan asam asetat, asam propionat, asam butirat, dan asam valerat. Apabila proses fermentasi dari kedua sampel dilanjutkan maka nilai COD dan VFA semakin menurun.

Proses Bio-oksidasi2

(27)

17 percobaan kedua bahan yang digunakan yaitu biofarm. Prinsip kerja biofarm sama dengan EM4, meskipun ada beberapa kompoisi yang mungkin berbeda, sebab kedua jenis tersebut hanyalah sebuah merk dagang perusahaan. Setelah proses biooksidasi yang dilakukan selama delapan hari selesai, maka didapatkan hasil analisis yang disajikan pada tabel 7.

Tabel 7 Pengamatan bio-oksidasi

Parameter 1 2 3 4 5 6 7 8

Suhu 30°C 34°C 31,5°C 31°C 29,5°C 31°C 31°C 33°C

pH 6 5 5 5.5 5.8 5.9 5.9 6.2

Hasil pengamatan proses bio-oksidasi yang telah dilakukan selama delapan hari diketahui bahwa proses pendegradasian bahan lignoselulosa mulai terjadi pada hari ke dua, sebab pada hari tersebut terjadi kenaikan suhu sebesar 4°C disertai dengan penurunan nilai pH. Kondisi tersebut terjadi dikarenakan metabolisme mikroorganisme yang terdapat didalam bahan sudah mulai aktif untuk melakukan proses bio-oksidasi. Setelah hari ke dua berlalu maka proses biooksidasi bahan berjalan secara stabil dan menuju pada titik akhir dimana semua bahan lignoselulosa yang terkandung didalamnya sudah habis terdegradasi. Berikut hasil analisis karakteristik jerami bio-oksidasi.

Tabel 8 Karakteristik bahan bio-oksidasi2

Parameter Nilai (%)

Awal biooksidasi Akhir biooksidasi

Kadar Air 78.12±0.80 72.38±0.83

Kadar Abu 3.60±0.18 4.98±0.29

TS 21.88±0.80 27.62±0.83

VS (wb) 18.28±0.62 22.65±0.54

TKN (wb) 0.07±0.00 0.12±0.02

(28)

18

kekurangannya. Sedangkan pada kasus ini EM4 memiliki efisiensi yang lebih baik. Perbedaan nilai parameter dengan bahan bio-oksidasi yang berbeda dapat menyebabkan tingkat pendegradasian yang berbeda pula dan menyebabkan kandungan organik yang terkandungnya menjadi tidak sesuai, sehingga produksi gas yang dihasilkan tidak optimal.

Pengaruh Penambahan Sludge terhadap Produksi Gas

Setelah proses biooksidasi selesai maka tahapan selanjutnya yaitu perhitungan neraca massa untuk menentukan besarnya umpan yang masuk. Hitungan neraca massa menghasilkan hasil karateristik bahan yang disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Karakteristik umpan 60:40 dan 40:60

Parameter Nilai (%)

60:40 40:60

Kadar Air 85.02±0.79 85.42±0.06

Kadar Abu 4.29±0.16 4.92±0.22

TS 14.98±0.79 14.58±0.06

VS (wb) 10.69±0.63 9.67±0.29

TKN (wb) 0.07±0.01 0.01±0.01

Pada penelitian kedua ini umpan memiliki nilai TS yang cukup tinggi dibandingkan dengan nilai TS pada umpan penelitian pertama. Hal tersebut dikarenakan untuk mencegah terjadinya penurunan yang sangat jauh ketika proses pencampuran antara jerami dengan sludge, sebab sludge yang digunakan sudah memiliki kandungan air yang cukup tinggi, jadi apabila penentuan batas TS terlalu rendah dapat menaikkan kandungan air dan menyebabkan kematian pada bakteri yang terdapat didalam digester.

(29)

19

Gambar 5 Produksi biogas 60:40 (O) dan 40:60 (□)

Parameter analisis yang dapat diketahui pada Gambar 5 sama dengan pembahasan pada sub bab sebelumnya yaitu parameter produksi gas, laju pertumbuhan gas saat fase eksponensial, dan lamanya fase lag. Pertama, produksi gas perlakuan 60:40 sebesar 110.65 L/kg TS sedangkan produksi gas perlakuan 40:60sebesar 112.44 L/kg TS. Kedua, laju pertumbuhan gas saat fase eksponensial perlakuan 60:40 pada hari ke 51 hingga hari ke 63 lebih tinggi yaitu 5 L/kg TS sedangkan perlakuan 40:60 pada hari ke 20 hingga hari ke 40 yaitu 4.25 L/kg TS. Akan tetapi pada perlakuan 60:40 mengalami fase eksponensial dua kali meskipun laju pertumbuhannya sedikit lebih lambat. Hal tersebut terjadi karena pada saat fase pertama merupakan pendegradasian bahan organik jerami dan sludge yang sudah dalam bentuk sederhana yaitu asam asetat, sedangkan pada fase kedua merupakan pendegradasian bahan organik jerami yang masih berbentuk asam-asam dengan rantai yang lebih panjang seperti asam propionat, butirat, maupun valerat. Ketiga, fase lag merupakan fase dimana belum terjadi produksi gas yang cukup signifikan. Pada perlakuan 40:60 fase lag lebih singkat yaitu selama 20 hari dibandingkan dengan fase lag perlakuan 60:40 yaitu selama 51 hari.

Jika produksi gas perlakuan 60:40 dan 40:60 dibandingkan dengan jerami bio-oksidasi sajaterlihat jelas bahwa pada jerami bio-oksidasi saja membutuhkan waktu 32 hari dimulai dari awal laju pertumbuhan gas yaitu hari ke-15 hingga hari ke-47 untuk mencapai produksi gas sebesar 93.77 L/kg TS, sedangkan pada perlakuan 40:60 hanya membutuhkan waktu 27 hari dimulai dari awal produksi gas yaitu hari ke-20 hingga hari ke-47 untuk mencapai produksi gas yang sama yaitu 93.77 L/kg TS. Hal yang serupa juga terjadi pada sampel 60:40. Meskipun begitu, waktu awal produksi pertumbuhan gas sampel 60:40 dan 40:60 tidak secepat dengan sampel jerami bio-oksidasi saja.

(30)

20

Dari analisis diatas dapat diketahui bahwa penambahan sludge mampu meningkatkan laju pertumbuhan gas yang begitu cepat dengan waktu yang lebih singkat. Selain itu lamanya fase lag dan jumlah produksi gas dapat disebabkan oleh bahan bio-oksidasi yang berbeda. Sebab perbedaan bahan bio-oksidasi EM4 dengan biofarm cukup signifikan pada parameter VS (db), pada EM4 terjadi penurunan VS (db) sebesar 3.38% sedangkan pada biofarm terjadi penurunan VS (db) sebesar 1.86%. Perbedaan tersebut sangat mempengaruhi produksi gas, seperti yang sudah dijelaskan pada sub bab pembahasan sebelumnya bahwa proses bio-oksidasi merupakan proses penghancuran ikatan lignoselulosa yang terdapat didalam bahan. Semakin rusak ikatan lignoselulosanya maka bahan organik sederhana semakin banyak, sedangkan semakin sedikit ikatan lignoselulosanya yang rusak makan semakin sedikit bahan organik sederhana yang dihasilkan.

Setelah proses fermentasi selesai dilakukan analisis terhadap bahan sampel baik digestat maupun air lindinya sama seperti diawal. Tabel 11 menyajikan hasil analisis karakteristik digestat fermentasi 60:40 dan 40:60.

Gambar 6 Produk Akhir Leachate (kiri) dan Digestat (kanan) Tabel 10 Karakteristik digestat fermentasi 60:40 dan 40:60

Parameter Nilai (%)

60:40 40:60

Kadar Air 91.49±0.10 90.78±1.32

Kadar Abu 3.74±0.21 4.27±0.76

TS 8.51±0.10 9.22±1.32

VS (wb) 4.77±0.12 4.95±0.57

TKN (wb) 0.07±0.04 0.06±0.02

(31)

21 14.58% pada umpan menjadi 9.22% pada digestat setelah fermentasi atau penurunan sebesar 36.76%. Bila perbandingan juga dihitung berdasarkan penurunan VS (db), maka dapat diketahui bahwa pada 60:40terjadi penurunan VS (db) sebesar 21.45%, sedangkan pada 40:60 terjadi penurunan VS (db) sebesar 19.06%.

Pada air lindi dilakukan analisis COD dan VFA, hasil analisis dapat dilihat pada tabel 11.

Tabel 11 Karakteristik lindi akhir fermentasi 60:40 dan 40:60

Parameter Nilai (mg/L) masih cukup tinggi dibandingkan dengan 60:40, dengan demikian potensi peningkatan biogas yang lebih tinggi masih dapat terjadi pada 40:60. Hal tersebut juga ditandai dengan nilai VFA dari sampel 40:60 yang didominasi oleh kandungan asam asetat, asam propionate, asam butirat, dan asam valerat yang masih tinggi. Apabila proses fermentasi dari kedua sampel dilanjutkan maka nilai COD dan VFA semakin menurun.

Karakteristik Digestat Selama Fermentasi Perbandingan Jerami:Sludge

(60:40)

Selama proses fermentasi sampel inti berlangsung, dilakukan pula pembuatan sampel sampingan tiap dua pekan untuk perbandingan jerami:sludge

(32)

22

Tabel 12 Karakteristik digestat sampel tiap 2 pekan

Parameter Nilai (%)

H-14 H-28 H-42 H-84

Kadar Air 84.54±0.00 86.70±0.07 87.14±0.08 87.82±0.27 Kadar Abu 5.02±0.06 3.85±0.04 4.72±0.08 4.87±0.15

TS 15.46±0.00 13.30±0.07 12.86±0.08 12.18±0.27 VS 10.44±0.07 9.45±0.04 8.14±0.16 7.31±0.12 TKN 0.04±0.01 0.10±0.00 0.06±0.00 0.11±0.01

Tingkat terbentuknya gas dapat dilihat pada nilai TS dan VS bahan, sebab nilai TS merupakan kandungan padatan yang terkonversi menjadi senyawa sederhana yang diakibatkan oleh aktivitas mikroorgaisme yang kemudian dirombak menjadi gas, sedangkan VS merupakan nilai fraksi padatan dari TS yang teroksidasi menjadi gas. Fraksi VS dalam digester anaerob merupakan parameter yang penting dan dapat digunakan untuk perhitungan pembebanan. Semakin tinggi konsentrasi VS maka semakin tinggi pula pembebanan. VS merupakan bahan makanan untuk proses hidrolisis dan pembentukan asam secara anaerob. Menurut Boullaghui et al.

(2003) dalam Rahman (2007) menjelaskan bahwa pada proses produksi biogas secara anaerobik, terjadi penurunan kandungan TVS dengan efisiensi pendegradasian sebesar 58-75% pada akhir proses. Penurunan nilai TVS juga menunjukkan bahwa kadungan padatan organik telah dirombak menjadi senyawa

volatile fatty acid, alkohol, CO2, dan H2 pada tahap asidogenesis, kemudian menjadi CH4 dan CO2 pada tahap metanogenesis. Nilai kandungan padatan solid (TS) dan padatan volatile (VS) dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah ini.

Gambar 7 Grafik penurunan sampel digestat TS (-o-) dan VS (wb) (-□-) Dari hasil analisis data dan garik diatas dapat diketahui bahwa penurunan total solid (TS) tertinggi terjadi pada hari ke-14 menuju hari ke-28 sekitar 13.97%.

(33)

23 Penurunan nilai TS pada hari tersebut terjadi akibat kandungan senyawa sederhana didalam reaktor sudah semakin menipis sehingga mikroorganisme melakukan proses hidrolisis dan fermentasi untuk mendapatkan asupan makanan dan kelangsungan hidupnya, hal tersebut dapat dilihat pada selisih jumlah padatan volatile yang terkandung dihari tersebut sebesar 0.99%. Sedangkan penurunan padatan volatile (VS) tertinggi terjadi pada hari ke-28 menuju hari ke-42 sebesar 13.86%. Pada selang hari tersebut terjadi proses asetogenesis dan homoasetogenesis dimana semua senyawa sederhana organik dikonversi menjadi asam asetat untuk proses metanogenesis dihari setelah ke-42, hal tersebut dapat dilihat pada grafik pembentukan gas bahwa setelah hari ke-42 gas sudah mulai terbentuk.

(34)

24

Gambar 8 Grafik Penuruan COD sampel leachate

Pengukuran nilai COD dilakukan pada sampel air lindi sebab air lindi merupakan bahan yang memiliki pengaruh terbesar dalam menentukan nilai COD, karena di dalamnya masih terkandungan bahan organik terlarut yang cukup tinggi. Pada grafik di atas menunjukkan bahwa nilai COD tiap dua pekannya mengalami penurunan. Penurunan yang drastis terdapat pada hari ke 28 hingga ke hari 42 sebesar 6546 mg/L, hal ini disebabkan karena pada selang hari tersebut terjadi pendegradasian bahan organik kompleks menjadi bahan organik sederhana yang terlarut yang belum terkonversi menjadi gas. Penurunan nilai COD pada proses anaerobik memang begitu besar dibandingan dengan proses aerob, untuk proses anaerob dapat mengolah cemaran bahan organik hingga 80 kg/m3hari sedangkan pada proses aerob hanya mampu mengolah cemaran organik sebesar 1 kg/m3hari. Tingkat penurunan nilai COD dapat disebabkan oleh dua faktor, yang pertama adalah proses hidrolisis polimer organik dan waktu penguraian senyawa sederhana dari proses hidrolisis polimer organik (Romli 2010). Semakin cepat proses hidrolisis bahan polimer organik dan waktu penguraiannya menjadi gas, maka nilai COD akan turun. Begitu pula sebaliknya, semakin lambat proses hidrolisis bahan polimer organik dan penguraian senyawanya, maka akan mengaikkan nilai COD meskipun nantinya senyawa tersebut akan dirombak menjadi gas dan menurunkan nilai COD nya tetapi membutuhkan waktu yang lebih lama.

Votile Fatty Acid (VFA) adalah asam-asam lemak menguap yang terdiri dari asam asetat, asam propionate, dan butirat yang dihasilkan pada tahap asidogenesis. Penurunan nilai COD berbanding lurus dengan penurunan nilai VFA, sebab pada pengujian VFA yang menjadi acuan adalah total asam yang menguap selama proses pembentukan gas berlangsung. Semakin rendah nilai COD maka nilai VFA semakin rendah, begitu pula sebaliknya. Pengujian VFA dilakukan pada

(35)

25 uji sampel 60:40 pada hari ke 14, 42, dan 97, sebab pada titik-titik tersebut merupakan titik dimana bahan mengalami fase lag, eksponensial, dan stasioner pembentukan gas. Grafik penurunan nilai VFA dapat dilihat pada Gambar 9 di bawah ini.

Gambar 9 Grafik Penuruan VFA sampel leachate

Dari grafik di atas menunjukkan bahwa pada hari ke 14 hingga hari ke 42 terjadi penurunan nilai VFA yang sangat tinggi yaitu sebesar 223.1 mg/L, pada selang waktu yang sama nilai COD pun turun sangat drastis. Hal tersebut terjadi karena asam-asam organik seperti propionat dan butirat dikonversi terlebih dahulu menjadi asam asetat kemudian asam asetat tersebut dikumpulkan dan dikonversi menjadi gas oleh bakteri pembentuk metana. Pengkonversian asam asetat menjadi metana tidaklah mudah, sebab bakteri pembentuk metana terdiri dari dua jenis, yaitu metanogen asetoklatik dan metanogen pengguna hidrogen. Secara termodinamika reaksi yang dilakukan bakteri metanogen asetoklatik antara asam asetat dengan air memungkinkan, tetapi energi bebas yang dihasilkan reaksi tersebut sama dengan energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 mol ATP.

CH3COO- + H2O → CH4 + HCO3- (ΔG°, = -31 kJ)

(36)

26

Kromatogram VFA standar dan keseluruhan sampel dapat dilihat pada Lampiran 2 sampai 9.

Komposisi Kimia dan Mineral Leachate

Pengujian kandungan mineral air lindi dari sampel jerami tanpa bio-oksidasi,

bio-oksidasi, dan 40:60 dilakukan untuk mengetahui pemanfataannya sebagai pupuk cair. Hasil analisis disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Hasil Uji Mineral

Parameter Satuan

Hasil Tanpa

bio-oksidasi Bio-oksidasi 40:60

Standar

(37)

27

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Proses bio-oksidasi memiliki beberapa pengaruh dalam pembentukan biogas, diantaranya yaitu menghasilkan produksi gas yang lebih banyak, mempercepat laju pertumbuhan gas, dan mengurangi waktu fase lag. Produksi gas bio-oksidasi sebesar 137.70 L/kg TS, dengan laju pertumbuhan gas saat fase eksponensial sebesar 2.34 L/kg TS, selain itu waktu fase lag jerami bio-oksidasi sekitar 15 hari.

Penambahan sludge pada pembentukan biogas memiliki beberapa pengaruh yaitu mempercepat laju pertumbuhan produksi gas saat fase eksponensial. Selain itu penmabahan sludge juga mempengaruhi lamanya fase lag. Semakin banyak

sludge yang digunakan maka waktu fase lag semakin cepat, sedangkan semakin sedikit sludge yang digunakan maka fase lag semakin lama.

Hasil akhir berupa lindi yang didapat dari hasil proses fermentasi dapat digunakan sebagai pupuk cair organik, karena kandungan mineral dan logam yang terdapat didalamnya sesuai dengan persyaratan dari Permentan No 28/SR.130/5/2009.

Saran

Perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang :

a. Pemotongan bahan berupa jerami diusahakan seragam untuk mengoptimalkan produksi gas.

(38)

28

DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Mohdy FA, Abdel-Halim ES, Abu-Ayana YM, El-Sawy SM (2009). Rice straw as a new resource for some beneficial uses. Carbohyd. Polym. 75: 44-51.

Agus AM. Jauhari, & P. Sumitro. 2000. Komposisi kimia dan degradasi in sacco

jerami padi segar fermentasi. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor 18 - 19 Oktober 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.

Amaru K. 2004. Rancang bangun dan uji kinerja bioreaktor plastik polyethilene skala kecil (Studi Kasus Ds. Cidatar Kec. Cisurupan Kab. Garut). [Skripsi].

Universitas Padjajaran, Bandung. Tidak Diterbitkan.

Arati JM. 2009. Evaluating the Economic Feasibility of Anaerobic Digestion of Kawangware Market Waste [tesis]. Manhattan: Kansas State University. Arinong R. 2008. Pemanfaatan jerami padi untuk konservasi dan pakan ternak.

http://www.stppgowa.ac.id/content/view/62/40 [6 Juli 2013].

Badan Pusat Statistik. 2013. Data produksi tanaman padi Indonesia. http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php [6 Desember 2012].

Care K. 2011. Cara Mudah Membuat Digester Biogas.

Deptan. 2009. Program Bio Energi Pedesaan. http://www. Deptan.go.id/html [6 Juli 2013].

Deublein, D. and Steinhauser, A, 2008. Biogas from Waste and Renewable Resource, Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA ,Weinheim.

Hambali E, Mudjalipah S, Tambunan A H, Pattiwiri. A W, Hendroko R. 2007.

Teknologi Bioenergi. Agro Media. Jakarta Selatan.

Haq PS dan Soedjono ES. 2009. Potensi lumpur tinja manusia sebagai penghasil biogas. Jurusan Teknik Lingkungan. FTSP-ITS, Surabaya.

Kristanto P. 2002. Ekologi Industri. Yogyakarta : Penerbit Andi.

Rahman AN. 2007. Pembuatan Biogas dari Sampah Buah-Buahan melalui Fermentasi Aerobik dan Anaerobik. [Skripsi]. Fateta, IPB.

Rohim A. 1991. Pengaruh kadar substrat pada perombakan pod kakao secara anaerobik untuk pembentukan biogas. [Skripsi]. Fateta, IPB.

Romli M. 2010. Teknologi Penanganan Limbah Anaerobik. Bogor: TML Publikasi. Said S. 2007. Membuat Biogas dari Kotoran Hewan. Bentara Cipta Prima. Jakarta. Selly. 1994. Peningkatan kualitas pakan serat bermutu rendah dengan amoniasi dan inokulasi digesta rumen. [Skripsi]. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

(39)

29 Setiawan AI. 2007. Pemanfaatan Kotoran Ternak. Edisi Revisi. Penebar Swadaya.

Jakarata.

Shiddieqy MI. 2005. Pakan ternak jerami olahan. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0305/24/cakrawala/lainnya1.htm [6 Juli 2013]. Siddiq M. 2009. Hukum Biogas. http://www. Hukum Biogas.com/html. [6 Juli

2013]

Simamora S, Salundik, Sri S, Surajuddin. 2006. Membuat Biogas Pengganti Bahan Bakar Minyak dan Gas dari Kotoran Ternak. AgroMedia Pustaka, Jakarta. Sofyan, L. A., L. Aboenawan, E. B. Laconi, A. D. Hasjmi, N. Ramli, M. Ridla, &

A. D. Lubis. 2004. Pengetahuan Bahan Makanan Ternak. Diktat Kuliah. Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah. UI Press, Jakarta.

Sulaeman D. 2007. Pengomposan: salah satu alternatif pengolahan sampah organik dalam http://agribisnis.Deptan.go.id/Pustaka/dede. (6 Juli 2013).

Suminar, A. A. 2005. Palatabilitas, kecernaan dan aktivitas ruminasi domba lokal yang diberi ransum komplit berbahan baku jerami padi hasil olahan cairan rumen dan amoniasi. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Taherzadeh MJ. and Karimi K.,2008. Pretreatment of Lignocellulosic Wastes to Improve Ethanol and Biogas : A Review, International Journal of Molecular Sci , 9, 1621-1651.

Triyanto. 1992. Mempelajari Cara Pembuatan Biogas Melalui Proses Rumen Derived Anaerobic Digestion (RUDAD). [Skripsi]. Fateta, IPB. Bogor. Van Buren A. 1979. A Chinese Biogas Manual. London: Intermediate Technology

Publication Ltd.

Weismann U. 1991. Anaerobic Tratment of Industrial Wastewater. Institut fur Verhahrentechnik, Berlin.

Wu C. 1987. A Performance Bound for Real OTEC heat Angines. Ocean Engineering, 24, 349.

Yadvika S, Sreekrishnan T.R, Sangeta K, dan Vineet R. 2004. Enchancement of Biogas Production From Solid Substrat Using Different Techniques- A Riview. J Biore Technol 95:1-10

(40)

30

(41)

31 Lampiran 1. Prosedur Analisis

A. Analisis Kadar Air (AOAC, 1995)

Sebanyak 2-5 g contoh ditimbang dalam sebuah cawan aluminium yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 105oC selama 3 jam. Setelah itu cawan didingikan dalam desikator dan ditimbang. Prosedur dilakukan berulang sehingga mendapat bobot yang konstan.

� % = − × %

Keterangan :

A = cawan + contoh sebelum dikeringkan (g) B = cawan + contoh setelah dikeringkan (g) C = bobot contoh (g)

B. Analisis Kadar Abu (AOAC, 1995)

Sebanyak 2 g contoh ditimbang dalam sebuah cawan porselin yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya, kemudian diarangkan dengan menggunakan pemanas bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan porselin yang sudah diarangkan kemudian dimasukan kedalam tanur bersuhu 550oC selama 4 jam. Cawan porselin berisi abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga mencapai bobot tetap.

C. Analisis Total Suspensi Padatan (TSS) (APHA, 2005)

Sebanyak 2-5 g contoh ditimbang dalam sebuah cawan aluminium yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 105oC selama 3 jam. Setelah itu cawan didingikan dalam desikator dan ditimbang. Prosedur dilakukan berulang sehingga mendapat bobot yang konstan.

� % = − × %

Keterangan :

A = cawan + contoh setelah dikeringkan (g) B = cawan kosong (g)

C = bobot contoh (g)

D. Analisis Padatan Suspensi Volatil (VSS) (APHA, 2005)

Sebanyak 2 g contoh ditimbang dalam sebuah cawan porselin yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya, kemudian diarangkan dengan menggunakan pemanas bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan porselin yang sudah diarangkan kemudian dimasukan kedalam tanur bersuhu 550oC selama 4 jam. Cawan porselin berisi abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga mencapai bobot tetap.

(42)

32

Keterangan :

A = cawan + contoh sebelum diabukan (g) B = cawan + contoh setelah diabukan (g) C = bobot contoh (g)

E. Analisis pH (APHA, 2005)

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan alat pH meter. Sebelum digunakan, pH meter dikalibrasi terlebih dahulu kedalam pH 4, pH 7, dan pH 10. Setelah dikalibari, pH meter dicuci dengan aquades, kemudian elektroda dapat dimasukkan kedalam contoh yang akan diukur pH-nya. Nilai pH contoh adalah nilai yang ditampilkan setelah menunjukan nilai konstan.

F. Analisis Total Kjeldahl Nitrogen (APHA, 2005) 1. Bahan-bahan yang digunakan

Pereaksi yang digunakan adalah NaOH 0.05N, HCl 0.05N, Asam Borat 2%, dan indikator Mengsell yang dibuat dengan melarutkan 0.1 g metil merah dan 0.01 g metil biru dalam 100 ml alkohol.

2. Prosedur analisis

a. Sebanyak 10 ml sample dimasukkan ke dalam peralatan destilasi dan ditambahkan sebanyak 10 ml NaOH 45%. Sebagai penampung gas yang terbentuk digunakan larutan HCl 0.05N sebanyak 25 ml yang telah ditambah dengan sekitar 3 tetes indicator Mengsel. Proses destilasi dilakukan selama sekitar 10 menit atau hingga didapatkan volume penampung sekitar 50 ml.

b. Setelah destilasi selesai, dilanjutkan dengan titrasi menggunakan NaOH 0.02 N hingga terjadi perubahan warna menjadi hijau. Kadar nitrogen total (mg/l) ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut.

� �

= � � � ℎ − � � × 4.

× � ×

G. Pengukuran Nilai COD (APHA, 1998)

Sebanyak 1 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung COD mikro, kemudian ditambahkan 1.5 ml larutan K2Cr2O7 dan 3.5 ml pereaksi H2SO4 (asam COD). Setelah itu dipanaskan selama 2 jam pada suhu 148oC. Setelah dingin, larutan dituang ke erlenmeyer 100 ml, kemudian ditambahkan dengan indikator ferroin 1 – 2 tetes. Larutan kemudian dititrasi dengan larutan Ferro Aluminium Sulfat (FAS) 0.1 M hingga warna kecoklatan. Proses diulangi pada blanko akuades. Perhitungan kadar COD dilakukan dengan rumus berikut.

�/ =[ − × × ×

(43)

33

Sebelum digunakan untuk titrasi, larutan FAS perlu distandarisasi. Standarisasi dilakukan sama seperti langkah-langkah penentuan COD, namun sampelnya adalah akuades, serta tanpa adanya pemanasan.

� � = 2 2 7 . × .

H. Analsis Volatile Fatty Acid

VFA (Volatile Fatty Acid) merupakan hasil fermentasi karbohidrat atau protein oleh mikroba dalam rumen yang terdiri dari asam ateta, propionat, iso propionat, butirat, iso butirat, valirat, dan iso valirat. Senyawa ini dapat dianalisi dengan menggunakanalat gas kromatografi (GC). Sistem pemisahan ini berdasarkan sifat partisi dan absorpsi zat terhadap dua fasa yang berbeda, yaitu fase diam (kolom) dan fase bergerak (gas). Adanya perbedaan partisi atau absoprsi pada kedua fase tersebut memunculka peak (puncak) pada layar monitor. Dengan membaca kromatogram standar VFA yang konsentrasinya sudah diketahui maka konsentrasi VFA sampel dapat diukur.

Alat-Alat :

 Gas Chromatogrraphy Chrompack 9002

 Sentrifuse IEC micromac RF type 3593

 Column Capilary : WCOT fused silica 25 m x 0.32 mm ID Coating FFAP-CB for free fatty acid

 Syringe 0-1µl

 Tabung eppendorf

Pereaksi : Asam sulfo- 5- sallisilat dihidrat Standar : VFA rumen standar (Supelco) Cara Kerja :

 Larutan contoh atau rumen dipipet sebanyak 1 ml ke dalam tabung eppendorf

 Ditambahkan kira-kira 30 mg asam sulfo- 5- sallisilat dihidrat kemudian dikocok

 Selanjutnya disentrifuse selama 10 menit pada 12000 rpmdengan suhu 7o C

 Sebelum injeksi larutan contoh atau rumen terlebih dahulu di injeksikan larutan standarVFA rumen

(44)

34

Kondisi alat :

Suhu kolumn : 115oC Suhu Injektor : 270oC Suhu Detector : 270oC Laju alir N2 : 30 ml/menit Laju alir H2 : 40 ml/menit Laju alir O2 : 250 ml/menit Perhitungan

�� = �� ℎ × �� ×� ��

dimana :

 VFA = Terdiri dari asam asetat, propionate, butirat, iso-butirat, n-valerat, dan iso-valerat.

(45)
(46)

36

(47)
(48)

38

(49)
(50)

40

(51)
(52)

42

(53)

43 Lampiran 10. Tabel Permentan No 28

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 28/Permentan/SR.130/5/2009 Tanggal : 22 Mei 2009

I. PERSYARATAN TEKNIS MINIMAL PUPUK ORGANIK

No Parameter Satuan

3 Bahan ikutan (plastic, kaca,

kerikil, endapan) % < 2 < 2 < 2 < 2 < 2 (penambat N, pelarut P, dll)

cfu/g : Keterangan : *) Kadar air berdasarkan bobot asal

**) Bahan-bahan tertentu yan berasal dari bahan organik alami diperbolehkan mengandung kadar P2O5 dan K2O > 6% (dibuktikan dengan hasl lab)

(54)

44

(55)
(56)

46

(57)

47

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Tabel 1. Komposisi nutrien jerami padi
Gambar 1 Diagram Alir Metode Penelitian
Tabel 4 Karakteristik umpan jerami tanpa bio-oksidasi dan bio-oksidasi
Gambar 4 Produksi Biogas Tanpa Bio-oksidasi (Δ) dan Bio-oksidasi (□)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Moment Pearson dan Analisis Regresi Linier Sederhana. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara pengenalan diri dan prestasi belajar Bahasa Indonesia memiliki

Pembelajaran dengan menggunakan strategi Think Aloud yang dimodelkan oleh guru kemudian dimodifikasi menjadi Thinking Aloud Pair Problem Solving secara umum dapat

Universiti Teknologi Malaysia, Universitas PGRI Semarang, Universitas Negeri Makassar, Indonesia, Regional Association for Vocational Teacher Education (RAVTE), Persatuan

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana variabel independen yaitu biaya penyusunan (X1), luas wilayah (X2), jumlah tenaga ahli (X3), sumber biaya (X4), jenis bantuan

Apabila pengeluaran pemerintah sektor industri pengolahan meningkat 1 persen (semula Rp 60.062 juta menjadi Rp 60.662 juta), pembentukan modal tetap sektor industri

Tabel 2. Karakter kualitatif sifat morfologi planlet calon mutan jeruk keprok SoE hasil iradiasi sinar gamma.. Dendrogram analisis keragaman genetik berdasar morfologi mutan

When they’re empty they’re just buildings.’ Tony Palmer took a sip of coffee and said ruefully, ‘Mostly people don’t feel like they need churches these days, which is

Sesuai dengan latar belakang masalah dan tujuan penelitian, penulis mengharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat setiap pengguna dunia maya /