DESAIN SISTEM KOMPENSASI
HUMAN CAPITAL
BERBASIS
PERSON VALUE
PADA PERUSAHAAN
AGROINDUSTRI
ALEX DENNI
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Desain Sistem Kompensasi Human Capital Berbasis Person Value pada Perusahaan Agroindustri ini adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2011
ALEX DENNI. Person Value Based Human Capital Compensation System Design for Agroindustrial Company. Under direction of IRAWADI JAMARAN, YANDRA ARKEMAN, and AJI HERMAWAN
Human Resource Management system expanded in industrial era has nowadays transformed in the era of knowledge and information into human capital approach. The man, who once referred to as a resource, is currently expressed as company most valuable asset.
This study attempts to define the value of an employee; that in this research refers to a person value; based on the competency he or she has which is then referred to determinant used to calculate his or her base pay at a certain position. Until this time, compensation system for base pay has been focused more on job value determined through a series of processes called job evaluation. Person value based human capital compensation system produces formula of S = CB [wVP+ (1-w) Vj], where S is Salary, CB is Constanta of Budget Factor, w is Weight for Person Value, VPis Person Value and Vj
Base pay calculation system is developed through an Expert Panel method with the use of the decision support instruments, Focus Group Discussion (FGD) and Multi Rater AHP (Analytical Hierarchy Process). The advantages of this system is that base pay counting system with person value based is oriented more to people as the job holders so that the sense of internal equity will be easier to fulfill. In addition, since individual competency is designated as the most influence determinant of the base pay this system will automatically encourage employees to increase their competencies in order to support the company performance.
is Job Value.
The system was tested using the Net Promoter Score (NPS) method and showed excellent value of face validity: 64.87%. This base pay calculation system can only be implemented with these requirements: availability of the job descriptions, competency dictionary, job competency model and competency profile of the individual.
RINGKASAN
ALEX DENNI. Disain Sistem Kompensasi Human Capital Berbasis Person Value pada Perusahaan Agroindustri. Dibimbing oleh IRAWADI JAMARAN, YANDRA ARKEMAN, dan AJI HERMAWAN.
Sistem Manajemen Sumberdaya Manusia (SDM) yang berkembang di era industri, mengalami transformasi menuju pendekatan human capital pada era pengetahuan dan informasi sekarang ini. Manusia yang dulunya disebut sebagai sumberdaya, saat ini dinyatakan sebagai aset yang paling berharga bagi perusahaan. Dalam hal ini, sebutan aset merujuk pada kompetensi yang dimiliki oleh seorang karyawan, yakni karakteristik yang melekat pada seseorang yang memiliki hubungan sebab akibat dengan kinerjanya pada situasi, tugas atau jabatan tertentu. Adapaun karakteristik dari kompetensi ini dapat berupa ketrampilan (skill), pengetahuan (knowledge) maupun perilaku (behavior).
Penelitian ini mendefinisikan nilai dari seorang karyawan sebagai person value, berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh sebuah organisasi. Dalam penelitian ini, kompetensi yang dimiliki seorang karyawan dijadikan determinan untuk menghitung kompensasinya pada sebuah jabatan tertentu. Selama ini sistem penghitungan kompensasi lebih difokuskan kepada job value (nilai jabatan) yang ada di dalam organisasi, melalui serangkaian proses yang disebut job evaluation (evaluasi jabatan). Asumsi yang digunakan dalam proses evaluasi jabatan adalah bahwa setiap pemangku jabatan memiliki kinerja yang sama 100%. Dengan menggunakan asumsi ini gaji pokok seorang pemangku jabatan pada nilai jabatan yang sama ditetapkan sama. Dalam kenyataannya pada era informasi dan pengetahuan sekarang ini, asumsi tersebut menjadi tidak relevan. Hal ini disebabkan karena setiap pemangku jabatan yang memiliki kompetensi berbeda berpotensi untuk menghasilkan kinerja berbeda, meskipun ditempatkan pada posisi yang sama. Karena itu biasanya orang-orang yang memiliki kompetensi lebih tinggi merasa sistem penggajian semacam ini kurang adil buat mereka.
Penelitian ini berangkat dari cara pandang yang berbeda bahwa karena sesungguhnya yang menghasilkan kinerja dan yang menerima gaji itu adalah orang sebagai pemangku jabatan. Karena itu basis dari gaji pokok seharusnya lebih ditekankan pada person value sebagai pemangku jabatan daripada nilai jabatan itu sendiri. Nilai jabatan sendiri ditentukan oleh nilai yang dihasilkan dari model kompetensi sebagai persyaratan jabatan, sementara person value ditentukan oleh nilai dari atribut individu pemangku jabatan, yakni berupa kompetensi yang relevan dengan jabatan yang dipegangnya.
Setelah itu baru dilakukan pembuatan model penghitungan gaji pokok sesuai dengan determinan yang sudah dihasilkan sebelumnya. Sistem penghitungan yang dihasilkan kemudian diuji menggunakan pendekatan face validity.
Pemodelan kompetensi jabatan dilakukan dengan menggunakan pendekatan expert panel (panel ahli). Adapun para ahli yang dijadikan responden adalah Senior Manager SDM dari perusahaan sub-holding yang membawahi PT XYZ, General Manager PT XYZ dan seorang konsultan ahli manajemen SDM yang sudah berpengalaman lebih dari 18 (delapan belas) tahun dan pernah menjadi praktisi Manajer SDM di perusahaan Agroindustri selama lebih dari 5 (lima) tahun. Metodologi yang digunakan dalam pemodelan kompetensi jabatan ini adalah multi rater analytical hierarchy process. Kamus kompetensi yang digunakan adalah kamus kompetensi pembeda (differentiating competency) yang dikembangkan oleh Spencer & Spencer (1993) dan sudah dikontekstualkan dalam penelitian ini untuk keperluan PT XYZ. Keduapuluh kompetensi pembeda tersebut adalah orientasi berprestasi, kepedulian terhadap keteraturan, inisiatif, pencarian informasi, pemahaman hubungan antar manusia, orientasi pada pelayanan pelanggan, dampak dan pengaruh, pemahaman keorganisasian, membangun jejaring, mengembangkan orang lain, pengarahan, kerjasama, kepemimpinan, pemikiran analitis, pemikiran konseptual, pengendalian diri, keyakinan diri, fleksibilitas, komitmen berorganisasi dan pengembangan keahlian.
Nilai relatif masing-masing kompetensi ditetapkan dengan melakukan pair wise comparison (perbandingan berpasangan) menggunakan skala AHP, berdasarkan kebutuhan organisasi. Dalam hal ini yang menjadi rater (ahli) adalah Senior Manager SDM sub-holding, yang dianggap sebagai pihak yang paling berkepentingan dan netral, mewakili manajemen perusahaan.
Perhitungan job value masing-masing jabatan dilakukan dengan menjumlahkan semua nilai kompetensi sesuai dengan model kompetensi jabatan dengan formula : Vj = , dimana Vj
Perhitungan person value untuk masing-masing pemangku jabatan dilakukan dengan memasukkan hasil penilaian kompetensi individu ke dalam nilai relatif kompetensi sesuai dengan model kompetensi jabatan masing-masing, dengan formula : V
adalah job value, adalah nilai kompetensi ke-i sesuai model kompetensi dan adalah jumlah kompetensi pada model kompetensi jabatan.
Adapun sistem penghitungan gaji pokok dirumuskan dengan mengalokasikan faktor anggaran kepada Job Value dan Person Value, dengan dengan formula :S = CB [wVP+ (1-w) Vj], dimana S adalah Salary (gaji pokok), CB adalah Constanta of Budget Factor (konstanta factor ang-garan), w adalah Weight for Person Value (Bobot dari Person Value), VP adalah Person Value and Vj
Pengujian sistem dilakukan dengan pendekatan face validity menggunakan metode Net Promoter Score (NPS) yang dikembangkan oleh Fred Reichheld dalam bukunya The Ultimate Questions (2006). Sistem Gaji Pokok Berbasis Person Value ini dipresentasikan di hadapan praktisi SDM secara utuh, kemudian kepada mereka diberikan kuesioner dengan pertanyaan “Seberapa besar keinginan anda untuk merekomendasikan sistem ini diterapkan di perusahaan Anda?” dengan rating 0-10. Responden yang menjawab 9-10 disebut Promoter, yang menjawab 7-8 disebut Passive dan 0-6 disebut Detractor. NPS adalah jumlah Promoter (P) dikurangi dengan Detractor (D). Jika NPS lebih besar dari 0, maka dapat dikatakan bahwa sistem ini valid dan dapat diandalkan.
adalah Job Value.
Hasil NPS yang diperoleh dalam pengujian sistem yang dilakukan terhadap 37 orang responden yang merupakan para praktisi SDM dengan pengalaman rata-rata lebih dari 10 (sepuluh) tahun adalah 64.87%. Angka ini diperoleh dari 24 (duapuluh empat) orang Promoter, 13 (tiga belas) orang Passive dan tidak ada Detractor. Dengan demikian, menggunakan pendekatan Face Validity menggunakan NPS sebagai alat ukur, dapat disimpulkan bahwa sistem yang dihasilkan valid dan dapat diandalkan.
Kelebihan sistem ini dibandingkan dengan sistem konvensional penghitungan gaji pokok adalah lebih berorientasi kepada orang sebagai pemangku jabatan, sehingga rasa keadilan internal akan lebih mudah untuk dipenuhi. Disamping itu sistem ini akan mendorong karyawan untuk meningkatkan kompetensinya guna mendukung kinerja perusahaan, karena kompetensi individu ditetapkan sebagai determinan yang paling menentukan tinggi-rendahnya gaji pokok.
©
Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber :
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
AGROINDUSTRI
ALEX DENNI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE Dr. Ir. Amril Amman, M.Sc.
Nama : Alex Denni
NIM : F. 361040181
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua
Prof. Dr. Ir. Irawadi Jamaran, MSc
Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng
Anggota Anggota
Dr. Ir. Aji Hermawan, MM
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian
Dr. Ir. Machfud MS Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr
Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul Desain Sistem Kompensasi Human Capital Berbasis Person Value pada Perusahaan Agroindustri ini dengan baik.
Terima kasih yang tidak terhingga penulis haturkan kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Ir. Irawadi Jamaran selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan dukungan, bimbingan dan arahan tiada henti kepada penulis hingga penulis merasa tidak akan pernah mampu untuk membalas jasa-jasanya. Penulis juga menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada Bapak Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng. dan Bapak Dr. Ir. Aji Hermawan, MM selaku anggota komisi pembimbing atas semua saran, bimbingan, arahan dan dukungan yang besar dalam penyelesaian disertasi ini.
Dengan segala keterbatasan yang penulis miliki, penelitian ini hanya bisa diselesaikan dengan dukungan penuh dari keluarga; khususnya istri tercinta (Ernita Sari), Mama (Dra. Narcis Boer), Papa (Drs. Daftuni), Bapak mertua (Ir. M. Soekmono) dan Ibu mertua (Maryati Soekmono); rekan-rekan Dunamis; khususnya Dunamis Human Capital; rekan-rekan sebimbingan di bawah asuhan Bapak Irawadi Jamaran, manajemen tempat penelitian; Bapak Iman Santoso, Bapak Alita Ilyas, Ibu Yoomeidinar dan Bapak Ishom Subkhan; para penguji ujian tertutup dari luar komisi; Prof. Dr. Ir. Eriyatno MSAE dan Dr. Ir. Amril Amman; serta banyak pihak yang nama mereka tidak mungkin untuk penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan kemudahan, inspirasi, penajaman pemikiran, doa dan suntikan semangat pada penulis. Karena itu hanya ucapan terima kasih dan doa tulus yang bisa penulis panjatkan, semoga amal ibadah mereka dilipatgandakan hendaknya oleh Allah Yang Maha Kuasa.
Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu dan pengetahuan, serta memberikan inspirasi kepada masyarakat umum, khususnya ananda Khadijah Vivinca Alessandra dan Khadijah Jovanka Alessandra dalam mengarungi kehidupannya kelak.
Penulis dilahirkan di Lintau, Sumatera Barat, pada tanggal 27 Desember 1968 sebagai anak sulung dari 3 bersaudara pasangan Drs. Daftuni dan Dra. Narcis Boer. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1990. Pada tahun 1993 penulis melanjutkan studi di Magister Manajemen Universitas Atma Jaya Jakarta dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan studi Doktoral di Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor dengan program studi Teknologi Industri Pertanian.
Setelah menyelesaikan program sarjana pada akhir tahun 1990, penulis memulai karir di sebuah perusahaan Badan Usaha Milik Negara patungan, SUCOFINDO (Superintending Company of Indonesia) sebagai konsultan junior. Beberapa pengalaman manajerial sempat dilalui penulis selama hampir sepuluh tahun di perusahaan ini seperti Manajer Analisa dan Pengembangan Bisnis, Manajer Evaluasi Mutu, Manajer Pengembangan Usaha, Manajer Pemasaran, Chief Executive Officer Kopsucofindo, Direktur perusahaan investasi Nisessa Adhikatama dan Komisaris Sucofindo Nissessa Apraisal.
Pada tahun 2000, penulis bergabung dengan sebuah perusahaan konsultan Manajemen Sumberdaya Manusia (SDM) bernama Parardhya Mitra Karti (PMK) sebagai senior konsultan yang juga acting sebagai Managing Partner. Pada tahun 2003 penulis dipercaya sebagai President Director sekaligus Managing Partner di perusahaan tersebut.
Penulis kemudian mendirikan perusahaan konsultan pada tahun 2005, yang diberi nama A+ Consulting. Pada tahun 2006, perusahaan ini kemudian diakuisisi oleh Dunamis Organization Services yang merupakan pemegang lisensi FranklinCovey di Indonesia. Sejak saat itu, penulis menjadi Partner di Dunamis Organization Services.
Selama periode 2007-2010 penulis dipercaya sebagai Sekretaris Jendral Asosiasi Manajemen Indonesia (AMA Indonesia).
PUBLIKASI ILMIAH
Berdasarkan disertasi ini telah siap diterbitkan 2 (dua) buah publikasi ilmiah yaitu :
1. Pemodelan Kompetensi Jabatan Pada Perusahaan Agroindustri Menggunakan Multi Rater AHP, pada Jurnal Teknologi Industri Pertanian, ISSN 0216-3160
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang. ... ... 1
Tujuan Penelitian ... …..……...4
Ruang Lingkup Penelitian ... ... 4
TINJAUAN PUSTAKA.... ... ...6
Sistem Kompensasi dan Gaji Pokok … ....………...6
Gaji Pokok dan Evaluasi Jabatan… ... ………..14
Pro dan Kontra terhadap Evaluasi Jabatan … ... ………..16
Manajemen Kompetensi dalam Transformasi Human Capital ... 23
Analytical Hierarchy Process untuk Pengambilan Keputusan Multi Kriteria ... 30
Kesimpulan Tinjauan Pustaka … ... ………...33
METODOLOGI ... ... 34
Kerangka Pemikiran … ... ……… 34
Tahapan Pelaksanaan… ... ………..35
Pemodelan Kompetensi Jabatan… ... ………..37
Penghitungan Nilai Relatif Kompetensi…… .. ……… 45
Penghitungan Job Value… ... ………..46
Penghitungan Person Value… ... ………..47
Penghitungan Gaji Pokok… ... ………..51
Pengujian Sistem…... ………..52
Pengumpulan dan Pengolahan Data ……… ………53
HASIL DAN PEMBAHASAN… ... ………... 55
Uraian Singkat Perusahaan ………. ………..55
Identifikasi Sistem ……… ... ……….58
Identifikasi Uraian Jabatan ………… ... ……….59
Permodelan Kompetensi Jabatan… ... ……….59
iii
Penghitungan Job Value ……… ... ………90
Penghitungan Person Value ……… ... ………88
Penghitungan Gaji Pokok ……… ... ………91
Pengujian Sistem ……… ... ………. 94
Penghitungan Person Value ……… ... ………104
Perhitungan Gaji Pokok……… ...….107
Pengujian Sistem ... 112
Keterbatasan Sistem ……… ... ………113
KESIMPULAN DAN SARAN ……... ... ... 114
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Tabel 1 Skala nilai perbandingan berpasangan ... 42
2. Tabel 2 Perbandingan validitas metode evaluasi kompetensi ... 47
3. Tabel 3 Model Kompetensi Jabatan General Manager ... 61
4. Tabel 4 Model kompetensi jabatan Plant Manager ... 63
5. Tabel 5 Model Kompetensi JabatanSupply Chain and By Product Manager... 64
6. Tabel 6 Model Kompetensi Jabatan Finance & Administration Manager ... 65
7. Tabel 7 Model Kompetensi Jabatan HSE Superintendent ... 67
8. Tabel 8 Model Kompetensi Jabatan Maintenance Superintendent ... 68
9. Tabel 9 Model Kompetensi Jabatan Feedstock Superintendent. ... 69
10. Tabel 10 Model Kompetensi Jabatan Technology Superintendent ... 70
11. Tabel 11 Model Kompetensi Jabatan HR & GA Supervisior ... 72
12. Tabel 12 Model Kompetensi Jabatan Public Relation Supervisor ... 73
13. Tabel 13 Model Kompetensi Jabatan Process Supervisor ... 74
14. Tabel 14 Model Kompetensi Jabatan Utility Supervisor ... 76
15. Tabel 15 Model Kompetensi Jabatan Maintenance Planning & Control Supervisor ... 77
16. Tabel 16 Model Kompetensi Jabatan Mechanical Supervisor ... 78
17. Tabel 17 Model Kompetensi Jabatan Electrical Supervisor ... 80
18. Tabel 18 Model Kompetensi Jabatan Warehouse Supervisor ... 81
19. Tabel 19 Model Kompetensi Jabatan Process Engineering Supervisor . 82 20. Tabel 20 Model Kompetensi Jabatan Laboratory Supervisor ... 83
21. Tabel 21 Model Kompetensi Jabatan Pengembangan Tanaman Supervisor ... 85
22. Tabel 22 Model Kompetensi Jabatan Port Panjang & Bay Product Supervisor ... 86
23. Tabel 23 Nilai relatif kompetensi di PT XYZ ... .88
v
25. Tabel 25 Job Value untuk Jabatan General Manager ... 91
26. Tabel 26 Job Value untuk jabatan Plant Manager ... 91
27. Tabel 27 Job Value untuk jabatan Supply Chain and By Product Manager... 92
28. Tabel 28 Job Value untuk jabatan Finance & Administration Manager 93 29. Tabel 29 Job Value untuk jabatan HSE Superintendent... 93
30. Tabel 30 Job Value untuk jabatan Maintenance Superintendent... 94
31. Tabel 31 Job Value untuk jabatan Feedstock Superintendent. ... 95
32. Tabel 32 Job Value untuk jabatan Technology Superintendent ... 95
33. Tabel 33 Job Value untuk jabatan HR & GA Supervisior ... 96
34. Tabel 34 Job Value untuk jabatan Public Relation Supervisor ... 97
35. Tabel 35 Job Value untuk jabatan Process Supervisor ... 97
36. Tabel 36 Job Value untuk jabatan Utility Supervisor ... 98
37. Tabel 37 Job Value untuk jabatan Maintenance Planning & Control Supervisor ... 98
38. Tabel 38 Job Value untuk jabatan Mechanical Supervisor ... 99
39. Tabel 39 Job Value untuk jabatan Electrical Supervisor ... 100
40. Tabel 40 Job Value untuk jabatan Warehouse Supervisor ... 100
41. Tabel 41 Job Value untuk jabatanProcess Engineering Supervisor .... 101
42. Tabel 42 Job Value untuk jabatan Laboratory Supervisor ... 101
43. Tabel 43 Job Value untuk jabatan Pengembangan Tanaman Supervisor ... 102
44. Tabel 44 Job Value untuk jabatanPort Panjang & Bay Product Supervisor ... 102
45. Tabel 45 Daftar Job Value jabatan manajerial PT XYZ ... 103
46. Tabel 46 Person Value Mr X sebagai General Manager ... 105
47. Tabel 47 Person Value Mr Y sebagai Finance & Administration Manager... 108
48. Tabel 48 Person Value Mr Z sebagai HSE Superintendent... 108
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Gambar 1 Skema Umum Determinan Gaji Pokok... 34
2 Gambar 2 Tahapan Penelitian…...36
3 Gambar 3 Bagan Alir Pemodelan Kompetensi Jabatan ... 44
4 Gambar 4 Diagram Input – Output Perhitungan Nilai Relatif Kompetensi 46 5 Gambar 5 Diagram input – Output Perhitungan Job Value ... 47
6 Gambar 6 Diagram Input – Output perhitungan Person Value ... 49
7 Gambar 7 Diagram Input – Output perhitungan Gaji Pokok ... 52
8 Gambar 8 Peta Lokasi Pabrik PT XYZ... 55
9 Gambar 9. Influence Diagram Sistem Penghitungan Gaji Pokok... 58
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Uraian Jabatan ... 125
Sistem manajemen sumberdaya manusia (SDM) yang berkembang di era
industri, mengalami transformasi menuju pendekatan human capital pada era
pengetahuan dan informasi sekarang ini. Manusia yang dulunya disebut sebagai
sumberdaya, saat ini dinyatakan sebagai aset yang paling berharga bagi
perusahaan. Aset penting yang dimiliki oleh manusia pada era informasi dan
pengetahuan ini adalah berupa kompetensi yang memiliki hubungan sebab-akibat
dengan kinerja manusia tersebut di dalam sebuah organisasi. Adapun karakter dari
kompetensi ini dapat berupa keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge) dan
perilaku (behavior) yang relevan dengan pekerjaan atau jabatan tertentu.
Saat ini kompetensi telah menjadi salah satu faktor penting dalam
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan manusia di dalam
sebuah organisasi, seperti keputusan perekrutan, penempatan, pengelolaan kinerja,
pengelolaan karir dan pemberian kompensasi. Masing-masing keputusan penting
tadi didukung oleh sub-sistem tertentu, seperti sub-sistem perekrutan, sub-sistem
penempatan, sub-sistem pengelolaan kinerja, sub-sistem pengelolaan karir dan
sub-sistem kompensasi, yang terintegrasi dalam satu kesatuan Human Capital
Management System (HCMS). Setiap sub-sistem tentunya dapat dilihat sebagai
satu sistem sendiri yang berinteraksi dan berkoordinasi dengan sistem lainnya di
dalam organisasi.
Sistem kompensasi merupakan satu dari tiga alasan utama seorang
karyawan pindah dari suatu perusahaan, selain perilaku dari atasan langsung dan
ketidak-jelasan karir dan pengembangan. Berkaitan dengan hal ini Rappaport et
al, dalam Harvard Business Review on Compensation (2001) menyebutkan bahwa
yang penting bukan seberapa besar perusahaan membayar gaji karyawannya,
tetapi lebih pada bagaimana sistem pembayaran gaji tersebut dilakukan.
Tidak banyak perusahaan yang secara transparan memberitahukan sistem
penghitungan kompensasi yang diberikan kepada karyawannya. Dengan informasi
yang terbatas, karyawan biasanya mencoba membanding-bandingkan apa yang dia
2
persepsi yang muncul akan memberikan dampak pada cara pandang karyawan
tersebut terhadap perusahaan tempatnya bekerja.
Persepsi atau keterterimaan yang baik atas sistem kompensasi dapat
mendorong kinerja karyawan dan meningkatkan daya saing organisasi.
Sebaliknya, persepsi atau keterterimaan yang buruk terhadap sistem kompensasi
dapat menurunkan motivasi karyawan dan berdampak kepada rendahnya kinerja
organisasi secara keseluruhan. Lebih jauh dari itu, keterterimaan yang buruk atas
sistem kompensasi ini dapat menyebabkan organisasi kehilangan orang-orang
terbaiknya yang pindah ke pesaing. Karena itu salah satu tantangan yang dihadapi
oleh para pimpinan organisasi adalah menemukan cara-cara baru di dalam
mengelola sistem kompensasi, agar efektif mendukung strategi organisasi dan
mampu mempertahankan talenta terbaiknya untuk memenangkan persaingan yang
semakin terbuka dan kompetitif.
Sistem kompensasi total menurut Chingos (2002) harus mempertimbangkan
3P, yaitu pay for position (kompensasi atas posisi), pay for person (kompensasi
atas orang), dan pay for performance (kompensasi atas kinerja). Salah satu
komponen dari sistem kompensasi ini adalah gaji pokok, yang biasanya
ditentukan oleh nilai jabatan yang dihitung dengan serangkaian proses yang
disebut job evaluation (evaluasi jabatan). Metode evaluasi jabatan menggunakan
asumsi yang sama pada basis perhitungannya yaitu setiap pemangku jabatan
dianggap memiliki kinerja maksimal 100%. Dengan menggunakan asumsi ini gaji
pokok seorang pemangku jabatan pada nilai jabatan yang sama ditetapkan sama.
Kalaupun ada perbedaan, biasanya hanya perbedaan kecil yang timbul karena ada
pertimbangan pendidikan dan pengalaman kerja dari seorang pemangku jabatan.
Pada era informasi dan pengetahuan sekarang ini, asumsi ini sebetulnya sudah
tidak lagi relevan, karena setiap pemangku jabatan yang memiliki kompetensi
berbeda berpotensi untuk menghasilkan kinerja berbeda, meskipun ditempatkan
pada posisi yang sama.
Menurut Aplied Phsycology Journal yang dimuat pada materi lokakarya
Leadership: Great Leaders, Great Teams, Great Result yang dikembangkan oleh
poor (buruk) di era informasi dan pengetahuan ini semakin jauh rentangnya.
Perbedaan kinerja pada jenis pekerjaan yang kategorinya sederhana saja bisa
mencapai 300%. Adapun contoh dari pekerjaan yang kompleksitasnya rendah ini
adalah pramusaji. Dengan perbandingan kinerja seperti itu, perusahaan lebih baik
memiliki 1 orang pramusaji yang kinerjanya superior dibandingkan memiliki 3
pramusaji yang kinerjanya buruk. Sementara itu untuk pekerjaan yang kategori
kompleksitasnya sedang bisa mencapai 1200%. Contoh pekerjaan untuk kategori
sedang ini adalah produksi pabrik. Perbedaan kinerja yang tidak terhingga bisa
terjadi pada pekerjaan dengan kategori sangat kompleks seperti investment
banking, konsultan manajemen atau dokter spesialis.
Aspek yang dianggap paling berpengaruh kepada perbedaan kinerja ini
adalah kompetensi. Beberapa penelitian sudah dilakukan untuk merumuskan
kompetensi yang dibutuhkan organisasi; biasa disebut kamus kompetensi; atau
yang dibutuhkan oleh suatu jabatan; biasa disebut model kompetensi jabatan; agar
sukses menjalankan misinya. Begitu juga penelitian tentang bagaimana
meningkatkan efektivitas dari proses perekrutan, penempatan atau pengembangan
karir karyawan di dalam organisasi, dikaitkan dengan kompetensi yang
dibutuhkan oleh masing-masing jabatan di dalam organisasi.
Penelitian ini mencoba melihat aspek yang lain dari manajemen sumberdaya
manusia berkaitan dengan aspek kompetensi, yaitu sistem kompensasi yang
diberikan kepada human capital yang ada di perusahaan. Kebaruan dari penelitian
ini diawali dengan perubahan cara pandang terhadap sistem kompensasi yang
selama ini lebih fokus pada nilai jabatan (job value) sebagai faktor yang paling
berpengaruh, kepada person value yang ditentukan oleh kompetensinya sebagai
pemangku jabatan.
Pada sistem kompensasi yang konvensional, nilai jabatan sangat
mempengaruhi gaji seseorang. Nilai jabatan adalah nilai relatif dari suatu jabatan
dibandingkan dengan jabatan lainnya yang ada di dalam sebuah organisasi. Nilai
jabatan ini kemudian dilekatkan pada rentang gaji yang memberikan pedoman
tentang gaji maksimum dan minimum pada suatu jabatan atau klasifikasi jabatan
tertentu. Kemudian untuk menentukan gaji seorang karyawan yang duduk di suatu
4
latar belakang, pengalaman, gaji saat ini dan kompetensi dari karyawan tersebut
untuk ditempatkan pada rentang gaji sesuai dengan jabatan yang ditugaskan
kepadanya. Kebaruan dari studi ini adalah pada formula penetapan gaji pokok
seorang karyawan yang menempatkan kompetensi sebagai determinannya,
sebagai aspek yang dianggap paling berpengaruh pada kinerja. Dengan demikian
hal yang selama ini ditetapkan dengan pertimbangan manajemen; yang berpotensi
menimbulkan rasa ketidak-adilan; dapat ditetapkan menggunakan formula yang
lebih transparan guna meningkatkan keterterimaan karyawan. Disamping itu,
melalui sistem ini, yang lebih dominan mempengaruhi gaji seseorang bukanlah
nilai jabatannya, melainkan person value yang dimilikinya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan desain sistem kompensasi
human capital berbasis person value pada perusahaan Agroindustri yang
memberikan rasa keadilan kepada karyawan. Perbedaan person value secara
relatif di dalam perusahaan akan ditentukan oleh kompetensi yang dimiliki, yang
relevan dengan kebutuhan organisasi atau jabatan yang dipangku oleh karyawan
di dalam organisasi tersebut.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut :
(1) Desain sistem kompensasi dibatasi pada aspek gaji pokok sebagai
komponen utama dari sistem kompensasi.
(2) Penghitungan person value dibatasi pada aspek kompetensi sebagai
faktor yang diasumsikan bersifat paling berhubungan dengan kinerja
dan menjadi komponen utama dalam persyaratan jabatan.
(3) Ruang lingkup kompetensi dibatasi pada 20 kompetensi yang ditemukan
oleh Spenser & Spencer (1993) sebagai kompetensi pembeda
(4) Organisasi yang dijadikan tempat penelitian adalah PT. XYZ yang
merupakan perusahaan Agroindustri berbahan baku singkong, dengan
produk utamanya adalah ethanol.
(5) Ruang lingkup jabatan dan pemangku jabatan yang akan dianalisis
terbatas pada jabatan struktural yang ada di PT XYZ, sebagai jabatan
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Kompensasi dan Gaji Pokok
Tujuan utama dari sistem kompensasi adalah menyelaraskan tujuan dan
keinginan karyawan dengan tujuan dan keinginan organisasi (Heneman, 2001).
Keinginan organisasi, misalnya, adalah memiliki karyawan yang berpikir dan
berperilaku seperti pemilik bisnis. Untuk hal-hal pokok seperti tujuan organisasi
dan penghargaan untuk setiap pencapaian perlu diketahui semua karyawan
melalui strategi korporat yang membantu menentukan tujuan yang diraih
karyawan dan sistem kompensasi yang menghubungkan upaya karyawan meraih
tujuan tersebut.
Selanjutnya Heneman menjelaskan bahwa sistem kompensasi sebaiknya
dirancang sesuai strategi bisnis guna mendukung kinerja organisasi secara
efektif. Pernyataan Henneman ini mendukung apa yang sudah dijelaskan oleh
Berger (1994), bahwa organisasi dengan strategi bisnis berbeda memerlukan
strategi pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berbeda pula. Strategi
pengelolaan SDM ini termasuk di dalamnya adalah strategi kompensasi.
Penyelarasan strategi kompensasi ini dilakukan dengan mempertimbangkan
strategi bisnis, perencanaan strategis operasional dan nilai-nilai organisasi
dengan pertimbangan tuntutan (konstrain) yang ada. Beberapa pilihan strategi
pengelolaan sumberdaya sebagai daya saing dalam menghasilkan produk atau
jasa yang akan mempengaruhi pilihan strategi kompensasi selanjutnya diuraikan
oleh Heneman sebagai berikut :
a. Strategi Pelayanan Pelanggan
Perusahaan yang menggunakan strategi ini mencoba untuk
menghasilkan keunikan produk atau jasanya melalui fokus pada
faktor-faktor utama pelayanan pelanggannya, seperti pelayanan
secara fisik dan keandalan produk atau jasa yang diberikan.
Pelayanan pelanggan yang baik dapat didefinisikan dalam berbagai
faktor. Salah satunya adalah berupa wujud dari pelayanan yang
seperti tanggapan yang cepat, keramahan dan sikap tubuh yang
bersahabat. Faktor lain misalnya adalah keandalan dari produk atau
jasa yang diberikan, dikaitkan dengan tingkat pemenuhan atas
kualitas yang diminta oleh pelanggan, pada kegiatan bisnis yang
berulang.
b. Strategi Kualitas
Perusahaan berkompetisi dengan basis kualitas produk atau jasa.
Dalam hal ini, pendekatan Total Quality Management (TQM) sering
digunakan bersama dengan aktivitas pengendalian proses (Statistical
Process Control), aktivitas komunikasi dengan pelanggan perihal
pemenuhan kebutuhan, aktivitas perencanaan proses bisnis terhadap
sasaran-sasaran mutu, dan aktivitas proses pengambilan keputusan.
Dengan menggunakan Statistical Process Controll (SPC) atau
pengendalian proses secara statistik perusahaan dapat mengukur
seberapa baik kwalitas produk atau jasa yang mereka hasilkan atau
bilamana produk tersebut gagal memenuhi spesifikasi yang sudah
ditetapkan, untuk kemudian dilakukan tindakan koreksi atau
perbaikan. Dengan menjalin komunikasi yang rutin, perusahaan
dapat memastikan kebutuhan pelanggannya terpenuhi. Melalui
rekayasa perusahaan dapat memastikan bilamana proses bisnis
sejalan dengan sasaran-sasaran mutu yang ditetapkan. Melalui proses
pengambilan keputusan, perusahaan dapat mendapat masukan
langsung dari karyawan yang berhubungan langsung dengan
pelanggan sehingga situasi yang muncul dapat dengan cepat
ditanggapi.
c. Strategi Inovasi dan Waktu
Produk atau jasa hasil inovasi yang berkelanjutan dari suatu
perusahaan tidak dengan mudah ditiru pesaing, sehingga
8
menuntut kemampuan perusahaan untuk melakukan pembelajaran
dalam melakukan inovasi secara berkelanjutan. Ketika inovasi
tercipta, tidak menjamin keunggulan bersaing dimiliki selamanya.
Disamping itu, gagasan yang baik harus bisa dihantarkan ke pasar
secara cepat. Perusahaan perlu memiliki kemampuan untuk
melakukan inovasi secara terus menerus. Beberapa hal harus
dipersiapkan terlebih dahulu. Pertama, harus ada sistem yang
ditetapkan untuk proses pengembangan produk atau jasa. Misalnya,
dibentuknya tim lintas fungsi untuk melakukannya. Kedua, harus ada
sistem yang memungkinkan perusahaan melakukan alih
pengetahuan. Dalam hal ini proses pembelajaran pada suatu bagian
di perusahaan dapat diteruskan ke bagian lain di perusahaan tersebut.
Beberapa perusahaan, seperti General Electric misalnya, mempunyai
Chief Learning Officer yang bertanggung jawab untuk memastikan
proses alih pengetahuan ini berjalan dengan baik. Ketiga,
pengetahuan harus dilembagakan sehingga dapat digunakan secara
berulang.
d. Strategi Produktivitas
Strategi ini mengupayakan peningkatan produk atau jasa yang
dihasilkan (output) dan menurunkan jumlah sumber daya manusia
yang digunakan untuk menghasilkan produk atau jasa tersebut
(input). Peningkatan output berarti peningkatan kualitas produk/jasa,
penurunan input berarti peningkatan kompetensi SDM untuk lebih
produktif. Output dapat ditingkatkan dengan menghasilkan produk
atau jasa yang lebih berkualitas, sementara input dapat diturunkan
dengan mengurangi jumlah orang yang terlibat dalam produksi
produk atau jasa tersebut. Upaya menurunkan jumlah SDM yang
dibutuhkan dalam proses produksi, perlu upaya peningkatan
kompetensi SDM sehingga karyawan memiliki kemampuan untuk
bekerja lebih produktif dan mengembangkan cara-cara yang lebih
e. Strategi Biaya
Cara umum dan mudah ditiru ini mengupayakan penurunan biaya
untuk menghasilkan peningkatan jumlah pelanggan. Hal ini
mengakibatkan, perusahaan dapat terjebak pada kondisi perang harga
yang berdampak pada penurunan kualitas produk atau jasa.
f. Strategi Keuangan
Dengan memanfaatkan secara lebih produktif aset yang ada melalui
model Economic Value Added (EVA), strategi ini mengupayakan
perusahaan menghasilkan pengembalian aset yang diinvestasikan
dibanding alternatif investasi lain.
g. Strategi Human Capital
Cara pandang bahwa karyawan adalah aset untuk menghasilkan
pendapatan bagi perusahaan memiliki hubungan yang positif dengan
kinerja keuangan dan tingkat kepuasan pelanggan. Semakin banyak
temuan yang menunjukkan bahwa iklim kekaryawanan di sebuah
perusahaan ternyata memiliki hubungan yang positif dengan kinerja
keuangan perusahaan tersebut. Disamping itu, juga ditemukan bahwa
sikap karyawan dalam bekerja memiliki hubungan yang positif pula
dengan tingkat kepuasan pelanggan. Kondisi ini mengarah pada
kenyataan bahwa tingkat kepuasan pelanggan memiliki hubungan
yang sangat kuat dengan pertumbuhan pendapatan perusahaan.
h. Balanced Scorecard
Perspektif terhadap penggunaan lebih dari satu strategi bersaing
memungkinkan sebuah perusahaan memberikan penekanan berbeda
tergantung pada situasi persaingan saat itu. Pendekatan ini disebut
dengan Balanced Scorecard. Pendekatan ini juga memungkinkan
terbentuknya kombinasi yang relatif unik dibandingkan dengan
10
Pilihan strategi bisnis akan mempengaruhi perilaku dari organisasi
(Gibson et al, 2000). Perilaku organisasi ini tercermin dari keputusan-keputusan
yang dibuat oleh manajemen dan tindakan atau respon yang dilakukan oleh
karyawan terhadap keputusan dimaksud atau terhadap cara atau proses
keputusan itu dibuat. Salah satu keputusan penting yang sangat mempengaruhi
perilaku organisasi adalah keputusan tentang sistem kompensasi.
Menurut Case (2001) di era informasi dan pengetahuan sekarang ini
dimana informasi tentang gaji sangat sulit untuk dirahasiakan, maka manajemen
perlu lebih berhati-hati di dalam menyusun kebijakan dan sistem kompensasi
agar tidak menimbulkan kontraproduktif di kalangan karyawan. Di samping itu
manajemen perlu untuk meningkatkan inovasi dan kreativitasnya di dalam
penyusunan kebijakan dan sistem kompensasi agar perusahaan mampu
mempertahankan orang-orang terbaiknya dan bahkan mampu menarik
talenta-talenta unggul dari luar untuk mau bergabung dengan perusahaannya.
Pendapat Case dikaitkan juga dengan teori internal equity. Menurut teori
ini seorang karyawan memiliki kecenderungan untuk membandingkan dirinya
dengan orang lain yang dianggap pantas untuk sebanding dengan dirinya.
Adapun aspek yang dibandingkan adalah rasio dari outcomes (hasil) dengan
input (masukan). Outcomes adalah segala sesuatu yang dia terima dari
perusahaan. Segala sesuatu ini dapat berupa gaji, tunjangan-tunjangan, insentif,
bonus, status, kebanggaan dan lain sebagainya. Sedangkan input adalah segala
sesuatu yang dia bawa ke perusahaan, mencakup pendidikan, pengalaman,
kompetensi, energi semangat dan lain sebagainya. Apabila seorang karyawan
merasa rasio outcomes terhadap input-nya lebih besar atau sama dengan
pembanding yang dia tetapkan, maka dia akan merasa perusahaan berlaku adil
kepadanya. Tetapi apabila terjadi hal yang sebaliknya, dimana rasio outcomes
terhadap input-nya lebih kecil dibandingkan dengan pembanding yang dia
tetapkan, maka dia akan merasa sedang diperlakukan tidak adil oleh perusahaan.
Dalam situasi seperti ini, setiap karyawan biasanya berusaha untuk
Keinginan untuk mendapatkan keadilan internal ini biasanya dimulai
dengan berupaya untuk mendapatkan outcomes yang lebih besar. Caranya
adalah dengan berdialog dengan atasan langsung, bagian sumberdaya manusia
atau pihak-pihak yang menurutnya akan berpengaruh atas keputusan
peningkatan outcomes yang akan diterimanya. Apabila upaya ini tidak berhasil,
maka biasanya karyawan memilih untuk mengurangi input yang diberikannya
ke perusahaan. Perilaku yang muncul bisa dengan mengurangi jam kerja
efektifnya, sering mangkir, apatis dan perilaku-perilaku lainnya yang bisa sangat
merugikan perusahaan.
Pilihan terakhir bagi seorang karyawan untuk memperjuangkan rasa
keadilannya adalah keluar dari perusahaan. Dalam hal ini perusahaan
kehilangan aset paling berharga yang sudah dibina mungkin selama beberapa
tahun.
Christensen dan Raynor (2003) menjelaskan bahwa peran senior
manejemen dalam hal inovasi; termasuk inovasi sistem kompensasi; ini
sangatlah penting. Peran pertama adalah untuk berdiri diantara kenyamanan
situasi bisnis saat ini dengan keberanian untuk keluar dari zona tersebut, serta
kemudian memutuskan mana yang perlu dirubah dan mana yang tidak. Peran
kedua adalah menciptakan mesin perubahan dan memastikan setiap individu
mendukung rencana perubahan tersebut. Peran ketiga menurut Christensen
adalah memastikan organisasi senantiasa peka terhadap perubahan dan secara
terus-menerus memotivasi organisasi untuk melakukan perubahan baru sesuai
kebutuhannya.
Sejalan dengan itu Ross (2003) menyatakan bahwa salah satu nilai yang
paling berharga dari seorang pimpinan perusahaan adalah kemampuannya untuk
melakukan pembaharuan yang mempertimbangkan tren masa depan. Begitupun
Dotlich dan Cairo (2003) memperkuat argumen tersebut dengan menyatakan
bahwa salah satu penyebab gagalnya seorang pemimpin dalam era sekarang ini
adalah terlalu arogan dan tidak peka dengan lingkungannya yang berubah.
Pengembangan dan transformasi organisasi sepertinya sudah menjadi
12
Cummings dan Worley (2001) para manajer sebaiknya memiliki pendekatan
yang sistematis dalam melakukan pengembangan dan perubahan organisasinya.
Pandangan ini memperkuat temuan Kotter (1998) yang mengatakan bahwa salah
satu penyebab gagalnya transformasi organisasi adalah tidak adanya
perencanaan yang sistematis atas kemenangan-kemenangan jangka pendek. Di
samping itu Kotter juga menemukan bahwa kurangnya rasa sence of urgency
untuk berubah, menjadi penyebab lain dari gagalnya transformasi.
Menurut Wilson (2003) inovasi sistem kompensasi penting sekali untuk
dilakukan pada situasi kerja yang sedang melakukan perubahan, karena
perubahan seringkali membawa ketidaknyamanan bagi karyawan.
Ketidaknyamanan ini perlu distimulasi dengan sistem kompensasi yang
mendukung arah dan kebijakan perusahaan sesuai perubahan yang
direncanakan. Perubahan pada sistem kompensasi biasanya akan mempengaruhi
sub-sistem lain dari organisasi. Karena secara keseluruhan organisasi ada untuk
mencapai tujuan tertentu, maka perilaku para anggotanya dapat dijelaskan
sebagai pengejaran rasional terhadap tujuan tersebut. Dalam hal ini Robbins
(2001) memberikan teorinya bahwa organisasi terdiri dari kelompok-kelompok
yang masing-masing mencoba untuk memuaskan kepentingannya sendiri.
Kelompok-kelompok tersebut menggunakan kekuasaan mereka untuk
mempengaruhi distribusi sumberdaya dalam organisasi. Menyeimbangkan
kebutuhan karyawan sebagai suatu kelompok dan kemampuan perusahaan yang
diwakili oleh manajemen pada kelompok lainnya menjadi tantangan sendiri
dalam aspek kompensasi.
Pilihan-pilihan yang dibuat oleh manajemen sebaiknya menumbuhkan
kepercayaan yang tinggi dari anggota organisasi, agar dukungan optimal dapat
diperoleh sebagai konsekuensinya. Menurut Covey (2006), tingkat kepercayaan
akan berhubungan dengan kecepatan dan biaya yang ditanggung oleh
organisasi. Apabila kepercayaan tinggi, maka kecepatan organisasi akan
meningkat dan biaya yang ditimbulkan akan rendah. Sedangkan bila tingkat
kepercayaan rendah, maka kecepatan organisasi akan berkurang dan organisasi
Sementara itu menurut Krames (2003), seorang pemimpin perusahaan
harus mampu menciptakan budaya berkinerja tinggi yang didukung oleh
kemampuan belajar organisasi. Budaya berkinerja tinggi ini juga memerlukan
dukungan dari sistem organisasi, tidak terkecuali sistem kompensasi.
Sistem kompensasi sendiri oleh Berger & Berger (2000) dikelompokkan
ke dalam empat komponen utama, yaitu Base Pay (Gaji Pokok), Benefit
(Manfaat dan Tunjangan), Short Term Incentive (Insentif Jangka Pendek) dan
Long Term Incentive (Insentif Jangka Panjang). Gaji pokok merupakan
komponen utama dari sebuah sistem kompensasi yang dibayarkan secara tetap
setiap satu kurun waktu tertentu yang disepakati antara pemberi kerja dan
pekerja. Sementara itu manfaat dan tunjangan merupakan tambahan kenikmatan
yang diberikan oleh pemberi kerja kepada pekerjanya, dapat berupa uang tunai
atau dapat pula dalam bentuk kemanfaatan non tunai, seperti cuti, kupon bensin,
pulsa telepon, asuransi, kendaraan, rumah, dan lain sebagainya. Adapun insentif
merupakan stimulus yang diberikan oleh pemberi kerja kepada pekerjanya
dengan tujuan untuk mendorong kinerja, baik jangka pendek maupun jangka
panjang.
Pemberian kompensasi kepada karyawan merupakan kewajiban dan upaya
perusahaan untuk memenuhi kebutuhan dari karyawannya. Menurut Covey
(2004) karyawan sebagai manusia memiliki 4 (empat) kebutuhan yang ingin dia
puaskan dari waktu ke waktu, yaitu kebutuhan body (fisik) untuk hidup,
kebutuhan mind (pikiran) untuk tumbuh dan berkembang, kebutuhan heart
(perasaan) untuk membangun hubungan yang lebih kuat dan kebutuhan spirit
(jiwa) untuk berkontribusi dan meninggalkan warisan. Semakin baik karyawan
merasa kebutuhannya dipenuhi, semakin tinggi pula komitmen karyawan pada
perusahaannya. Manajemen dihadapkan pada pilihan-pilihan di dalam
menerapkan sistem kompensasi ini guna memenuhi kebutuhan karyawan
tersebut. Apabila dikaitkan dengan pilihan-pilihan yang dibuat oleh manusia
setiap harinya, Covey (2006) menyebutkan bahwa sadar atau tidak kita
dihadapkan pada choice of act (pilihan bertindak), choice of purpose (pilihan
atas tujuan) dan choice of principle (pilihan atas prinsip). Dalam konteks sistem
14
utama. Rasa keadilan yang ditimbulkan oleh sistem kompensasi yang diberikan
akan mendorong komitmen karyawan dalam memberikan kontribusi terbaiknya
kepada organisasi. Zender (2001) menjelaskan bahwa kesempatan yang sama
yang diberikan kepada para konsultan mereka untuk memperoleh penghasilan
sesuai dengan perilaku mereka di dalam organisasi, telah membuat kinerja
mereka tumbuh secara baik dan turn over konsultan yang sangat rendah.
Pemberian sistem kompensasi total menurut Chingos (2002) harus
mempertimbangkan 3P, yaitu Pay for Position (kompensasi atas posisi), Pay for
Person (kompensasi atas orang), dan Pay for Performance (kompensasi atas
kinerja). Kompensasi atas posisi dan atas orang biasanya mempengaruhi
komponen gaji pokok dan manfaat atau tunjangan yang diberikan. Sedangkan
kompensasi atas kinerja biasanya mempengaruhi insentif jangka pendek atau
insenstif jangka panjang.
Menurut Ellis et al, (2004) kombinasi pemberian kompensasi kepada
karyawan berkorelasi dengan produktivitas karyawan di dalam organisasi.
Selanjutnya Ellis menjelaskan teorinya mengenai peningkatan produktivitas
kompensasi dengan menggunakan sistem penilaian kerja strategik. Sementara
itu Sallie (2004) juga menyatakan bahwa salah satu tantangan utama di dalam
sistem kompensasi adalah mendapatkan internal equity (rasa keadilan internal).
Smith dan Mazim (2004) lebih jauh menjelaskan bahwa perasaan karyawan atas
kompensasi yang diterimanya merupakan sinyal kuat atas keputusan penting
yang akan dibuat oleh karyawan tersebut berkaitan dengan masa depannya di
organisasi tersebut. Meskipun kompensasi bukanlah alasan nomor satu dari
keluarnya seorang karyawan dari organisasi, namun pada setiap survey
karyawan selalu saja ditemukan ruang untuk perbaikan dari aspek ini.
Gaji Pokok dan Evaluasi Jabatan
Gaji pokok biasanya ditetapkan dengan menghitung nilai jabatan terlebih
dahulu. Nilai jabatan diperoleh melalui proses evaluasi jabatan, yakni
relatif suatu jabatan terhadap jabatan-jabatan lainnya yang ada di dalam suatu
organisasi. Beberapa metode yang biasa dilakukan dalam proses evaluasi
jabatan adalah metode ranking, metode grading (classification) dan metode
point system (Berger & Berger, 2000).
Menurut Sushil (2009), metode ranking adalah metode yang paling
mudah dan sederhana. Setiap jabatan yang ada diranking berdasarkan tingkat
kepentingannya di dalam organisasi, yang mencerminkan nilai relatif dari
jabatan tersebut dibandingkan dengan jabatan lain yang ada di organisasi
tersebut. Kelemahan dari metode ranking adalah ketidakmampuannya
membedakan jarak antar ranking. Kita tidak bisa mengetahui apakah jarak
antara ranking 1 (satu) ke ranking 2 (dua) sama atau tidak dengan jarak antara
ranking 2 (dua) ke ranking 3 (tiga) dan seterusnya. Disamping itu, metode ini
tidak efektif untuk diterapkan pada perusahaan besar yang jumlah jabatannya
lebih dari 30 (tiga puluh).
Metode grading (classification) muncul untuk menjawab kebutuhan
perusahaan yang jumlah jabatannya banyak. Dengan metode ini, jabatan-jabatan
yang dianggap memiliki karakteristik yang sama dikelompok-kelompokkan
kedalam kelas tertentu. Misalnya kelas general manager, kelas senior manager,
kelas manager dan seterusnya.
Metode yang paling banyak digunakan saat ini adalah metode point
system (sistem poin). Dengan metode ini setiap jabatan yang ada di dalam
organisasi dapat ditentukan poinnya sebagai acuan nilai relatif dari jabatan
tersebut terhadap jabatan lain yang ada. Poin nilai jabatan ini diperoleh dengan
menetapkan faktor penting yang disebut sebagai compensible factor. Pada
perusahaan-perusahaan besar yang jumlah jabatannya ratusan, seringkali metode
grading dan point system dikombinasikan penerapannya.
Secara konseptual, metode evaluasi jabatan juga dijadikan dasar dalam
pertimbangan nilai kesetaraan dan menghilangkan kesenjangan upah
berdasarkan gender. Namun sejauh mana evaluasi jabatan tersebut bisa menjadi
alat yang efektif untuk upah yang setara dalam organisasi saat ini mulai
16
kontra dari penggunaan evaluasi jabatan sebagai instrument keputusan utama
dalam pemberian kompensasi.
Pro dan Kontra terhadap Evaluasi Jabatan
Sejak diperkenalkan dan digunakan secara luas, sampai dengan saat ini
banyak sekali studi yang membahas metode, kegunaan dan manfaat yang
diberikan oleh proses evaluasi jabatan kepada organisasi. Muara dari studi
tersebut adalah adanya pro dan kontra dengan argumentasi dan paradigma yang
terus berkembang di dalamnya.
Mahoney (1983) menyebutkan bahwa penggunaan istilah nilai relatif
dalam evaluasi jabatan harus bisa menjawab tantangan dari aspek sosial dan
aspek legal di dalam organisasi. Kita mengetahui bahwa pada masa itu banyak
sekali praktek diskriminasi yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerjanya,
baik berupa jender ataupun ras.
Sementara itu Ahmed (1989) menyebutkan bahwa evaluasi jabatan
merupakan proses yang sistematik dalam menentukan nilai relatif jabatan di
dalam organisasi. Beberapa pendekatan analitis kuantitatif diterapkan untuk
mempelajari kompleksitas tugas, pendidikan yang diperlukan, tingkat supervisi
yang dibutuhkan dan mental atau kebutuhan lain yang relevan dengan tugas
pemangku jabatan untuk bisa menghasilkan kinerja secara efektif.
Chang dan Kleiner (2002) menyebutkan bahwa sebagai suatu proses yang
sistematik untuk memperoleh informasi yang valid, evaluasi jabatan harus
mampu membantu manajemen dalam mengambil keputusan. Karena itu
pendekatan sistematik ini harus didukung oleh kerjasama yang baik dari
karyawan dan metode yang dapat diterima oleh fungsi SDM di dalam
organisasi. Beberapa langkah yang disarankan Chang adalah (1) identifikasi dan
isolasi komponen tugas dalam sebuah jabatan, (2) kaji bagaimana tugas
dilaksanakan oleh pemangku jabatan, (3) identifikasi area penting tanggung
jawab, (4) beri catatan lingkungan kerja yang dihadapi, menyangkut aspek fisik,
sosial dan finansial, serta (5) identifikasi persyatatan yang harus dimiliki oleh
sama disajikan oleh Balderrama (2003) dalam publikasinya yang berjudul
rediscovering job evaluation.
Dengan memperhatikan konsep yang dilakukan Taber dan Peters (1991),
menyebutkan bahwa akurasi dari proses evaluasi jabatan sangat ditentukan oleh
kelengkapan informasi yang disajikan. Semakin lengkap informasi yang
disajikan, semakin tinggi tingkat akurasi proses yang dilakukan oleh para analis.
Pada tahun 1986, Levine melakukan penelitian terhadap metode analisa
jabatan berbeda untuk kepentingan yang berbeda. Ada 7 (tujuh) metode evaluasi
jabatan yang dipilih dalam penelitian ini, yaitu critical incident technique
(teknik kejadian kritis), position analysis questionnaire (kuesioner analisa
jabatan), job element method (metode unsur jabatan), ability requirement scales
(skala persyaratan kemampuan), functional job analysis (analisa jabatan
fungsional), task inventory-CODAP (kumpulan tugas-CODAP), threshold trait
analysis (analisa persyaratan minimum). Metode-metode ini dipilih karena
penggunaannya yang luas dan perbedaan kedalaman diantaranya. Metode yang
berbeda dari analisa jabatan ternyata memberikan rating yang berbeda pada
kepentingan yang berbeda. Misalnya untuk kepentingan job description
(deskripsi jabtan), kombinasi metode task inventory dan functional job analysis
memiliki rating yang paling tinggi. Sementara itu untuk kepentingan job
classification (klasifikasi jabatan), disamping task inventory dan functional job
analysis, position analysis questionnaire juga menunjukkan rating yang tinggi.
Davis et al, (1991) menyebutkan bahwa metode pembobotan dapat
dijadikan alternatif untuk memperkuat metode lainnya dalam implementasi.
Sedangkan Skenes dan Kleiner (2003) menjelaskan bahwa metode evaluasi
jabatan yang paling banyak digunakan saat ini adalah metode poin.
Studi yang dilakukan oleh Wilde (1992) terhadap sebuah hypermarket
(kulakan) besar yang memiliki puluhan gudang yang tersebar di seluruh daerah
memberikan makna lain dari proses evaluasi jabatan. Perusahaan ini memiliki
29 (dua puluh Sembilan) departemen yang berbeda yang masing-masingnya
membutuhkan spesialis tertentu. Jumlah karyawannya adalah sekitar 1.670
18
puluh orang) tergantung musim. Faktor yang disepakati sebagai compensable
factor (faktor penentu kompensasi) adalah pendidikan dan pengetahuan dasar
yang dibutuhkan, pengalaman, kompleksitas tugas, tanggungjawab pada
material atau dampak dari kesalahan, kontak dengan pihak lain atau lingkungan
kerja, kerahasiaan data, supervisi yang diterima dan tanggung jawab untuk
melakukan supervisi. Wilde menyimpulkan bahwa manfaat dari evaluasi jabatan
akan optimal jika metode yang digunakan adalah metode yang sudah dikenal,
mudah dimengerti dan mudah diterapkan. Sejalan dengan ini Hornsby et al,
(1994) melakukan kajian atas dampak dari sistem pengambilan keputusan
terhadap metode evaluasi jabatan. Dalam hal ini Hornsby menyimpulkan bahwa
keterlibatan karyawan dalam pemilihan metodologi akan memberikan tingkat
kepercayaan dan keterterimaan lebih tinggi dibandingkan metode yang dipilih
oleh manajemen dengan tidak melakukan pelibatan.
Sementara itu Collins dan Muchinsky (1993) menyebutkan bahwa ada 4
(empat) aspek yang perlu dipertimbangkan dalam evaluasi jabatan, yaitu
keterampilan, tanggungjawab, upaya yang dituntut dan kondisi kerja. Meskipun
demikian tidak ada batasan yang jelas terhadap keempat hal tersebut secara
pasti, melainkan berupa judgment (pendapat subjektif) dari para evaluator yang
selalu menimbulkan pertanyaan berkaitan dengan akurasinya. Terhadap aspek
yang perlu dievaluasi, Buonasera (1994) kemudian mengembangkan beberapa
kemungkinan metode skoring yang bisa digunakan.
Kelemahan dari proses evaluasi jabatan yang ditemukan oleh Benson dan
Hornsby (1988) adalah adanya pengaruh yang kuat dari politik kantor terhadap
hasil evaluasi jabatan yang dilakukan oleh komite evaluasi. Pengaruh politik
kantor ini sangat mungkin dimanfaatkan oleh orang yang memiliki kemampuan
untuk mempengaruhi orang lain dengan pandangan-pandangan yang
dirasionalkan melalui kemampuan komunikasi verbal.
Montemayor dan Rose (1994) secara tegas menyatakan bahwa kajian yang
bertujuan untuk memberikan rasa kesetaraan sebetulnya hanyalah mitos.
Kejadian yang sesungguhnya adalah bahwa setiap proses evaluasi jabatan tidak
diperoleh. Dia bahkan menyatakan diskriminasi tetap akan terjadi dalam bentuk
ras, jender, warna kulit atau kecacatan.
Pendapat ini diperkuat oleh Behrooz dan Kalantar (1995) yang
menyebutkan bahwa dilema dalam perbedaan upah merupakan dinamika yang
terjadi melalui proses evaluasi jabatan. Bahkan di Amerika pekerja wanita tetap
mengalami ketidakadilan sampai saat ini, sebagai bukti nyata dari gagalnya
evaluasi jabatan.
Senada dengan ini, Naughton dan Thomas (1998) juga menemukan bahwa
satu dari dua jabatan yang berkaitan dengan wanita memiliki nilai 5.6% lebih
rendah. Hal ini biasanya dikaitkan dengan aspek upaya dan aspek
tanggungjawab yang dibutuhkan dalam bekerja, bukan pada aspek pendidikan
atau pengetahuan. Chen dan Brasher (1999) bahkan menemukan tingkat
kesalahan yang lebih besar pada proses evaluasi jabatan yang terjadi karena bias
jender, yakni 34%-44% terhadap jabatan-jabatan yang didominasi oleh pekerja
wanita.
Sementara itu Grams dan Schwab (1986) melakukan kajian yang agak
berbeda dari kajian-kajian yang dilakukan oleh peneliti lainnya. Kalau
kebanyakan peneliti mengkaji bias jender yang terjadi pada jabatan-jabatan yang
memiliki preferensi jender, maka Grams justru melakukan kajian atas bias hasil
evaluasi jabatan yang terjadi karena perbedaan jender evaluatornya. Perbedaan
komposisi jender dalam evaluasi jabatan ternyata menunjukkan beberapa
perbedaan pada hasil evaluasi jabatan tersebut. Seperti diketahui perbedaan hasil
evaluasi jabatan akan membawa implikasi kepada penetapan gaji.
Welbourne dan Trevor (2000) menjelaskan bahwa peran dari suatu
departemen atau posisi tawar dari evaluator juga sangat berpengaruh pada hasil
evaluasi jabatan. Hal ini diperkuat oleh Arnault et al, (2001) yang menyatakan
bahwa setiap jabatan memiliki nilai inheren yang bebas dari harga pasar dan
pengaruh supply –demand. Namun ternyata dari penelitian yang dilakukannya,
satu dari 3 (tiga) evaluator gagal mengukur nilai relatif ini secara akurat.
Kesimpulan yang ditarik oleh Arnault adalah bawah penilaian nilai relatif
20
Studi lain yang dilakukan oleh Rutt dan Doverspike (1999) adalah
dampak gaji dan hirarki organisasi yang terjadi terhadap hasil evaluasi jabatan.
Kecenderungan yang terjadi adalah semakin tinggi hirarki organisasi maka akan
semakin tinggi pula nilai evaluasi yang diberikan oleh evaluator. Hal ini
menimbulkan efek vertikal pada karyawan, yakni keinginan untuk mendapatkan
promosi ke hirarki yang lebih tinggi guna mendapatkan gaji yang lebih tinggi
pula.
Yu dan Kleiner (1992) melakukan kajian atas peraturan yang dikeluarkan
pada 20 desember 1994 oleh Department of Labor (departemen tenaga kerja) di
Amerika yang berisi tentang Labor Condition Application (LCA). Dalam hal ini
pemerintah mengharuskan para pekerja untuk memperoleh sertifikasi tertentu,
yang sebetulnya bertujuan untuk melindungi pekerja lokal dari pekerja migran.
Hal ini membuktikan bahwa kecenderungan untuk terjadinya bias tetap belum
bisa dieliminasi sepenuhnya.
Figart (2000) menyatakan bahwa sebetulnya evaluasi jabatan dirancang
untuk mengeliminasi praktek-praktek manajemen yang paternalistik, yang
kadang-kadang melihat pekerja dari lingkungan keluarga dari pekerja tersebut,
sejarah bekerjanya selama ini dan segala hal yang bersifat personal yang
kemudian dikaitkan dengan penentuan gaji. Pada tahun 2001, Figart melakukan
kajian yang cukup komprehensif atas evaluasi jabatan. Dia menyebutkan bahwa
sebetulnya penggunaan evaluasi jabatan secara luas mulai dikenal antara tahun
1920-an dan 1930-an. Kemudian ramai kembali dibicarakan pada era pasca
perang dunia ke dua antara tahun 1940 sampai dengan 1960. Era pasca perang
dunia kedua ini juga sering disebut sebagai era Fordism. Fordism adalah
semacam penyebutan terhadap era dimana Henry Ford, pemilik perusahaan
otomotif terkemuka pada saat itu di Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan
berkaitan dengan hubungan pabrik otomotif yang dimilikinya dengan para
pekerja. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Henry adalah kebijakan 5
dollar a day, dimana pekerja mendapatkan upah sebesar 5 (lima) dolar perhari.
Kesimpulan dari penelitian Figart adalah bahwa saat ini pendekatan evaluasi
Salah satu contoh dari kesimpulan Figart mungkin bisa dilihat dari
ilustrasi yang disampaikan oleh Ang et al, (2002) yang melakukan penelitian
terhadap IT Professional (professional teknologi infromasi) sebanyak1576
(seribu lima ratus tujuh puluh enam) orang dari 39 (tiga puluh sembilan)
institusi berbeda. Kajian yang dilakukannya menunjukkan bahwa gaji secara
signifikan ditentukan oleh nilai human capital yang diperoleh melalui
pendidikan dan pengalaman. Perusahaan besar membayar lebih mahal
dibandingkan perusahaan kecil kepada orang yang memiliki pendidikan lebih
tinggi, sedangkan perusahaan kecil membayar lebih mahal dibandingkan
perusahaan besar kepada orang yang memiliki pendidikan lebih rendah.
Pembayaran gaji ternyata tidak ada korelasinya terhadap nilai evaluasi jabatan
yang dilakukan sebelumnya.
Prinsip dari evaluasi jabatan adalah membandingkan pekerjaan dengan
menggunakan prosedur formal dan sistematis untuk menentukan posisi relatif
dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain dalam hirarki upah dengan
Evaluasi jabatan merupakan prosedur formal yang secara hirarki
mengatur serangkaian pekerjaan sesuai dengan kapabilitas masing-masing
pekerja. Semakin besar nilai sebuah jabatan dalam sebuah organisasi, semakin
besar gaji yang didapat oleh pemangku jabatannya. Inti dari evaluasi jabatan ini
lebih difokuskan kepada pembayaran yang didasarkan atas 'nilai tarif' dari asumsi bahwa
setiap pemangku jabatan dianggap memiliki kinerja maksimal 100%. Dengan
menggunakan asumsi ini gaji pokok seorang pemangku jabatan pada nilai
jabatan yang sama ditetapkan sama. Kalaupun ada perbedaan, biasanya hanya
perbedaan kecil yang timbul karena ada pertimbangan pendidikan dan
pengalaman kerja dari seorang pemangku jabatan. Pada era informasi dan
pengetahuan sekarang ini, asumsi ini sebetulnya sudah tidak lagi relevan, karena
setiap pemangku jabatan yang memiliki kompetensi berbeda berpotensi untuk
menghasilkan kinerja berbeda, meskipun ditempatkan pada posisi yang sama.
Seperti yang sudah disampaikan pada bagian pendahuluan bahwa perbedaan
kinerja pada jenis pekerjaan yang kategorinya sederhana saja bisa mencapai
300%. Semakin rumit suatu pekerjaan, semakin besar jarak kinerja antara
22
jabatan dan bukan didasarkan kepada nilai perorangan dari pemangku
jabatannya.
Sementara itu kita mengetahui bahwa yang menghasilkan kinerja
sesungguhnya adalah orang atau karyawan sebagai pemangku jabatan.
Begitupun yang menerima gaji adalah orangnya dan bukan jabatannya. Hal
inilah yang kemudian menjadi penyebab munculnya rasa ketidakadilan di antara
karyawan yang merasa memiliki kompetensi lebih dibandingkan orang lain.
Heneman et al, (2003) menyatakan bahwa dengan banyak sekali kritik
yang dilontarkan kepada praktek evaluasi jabatan ini maka perlu dicari alternatif
baru yang lebih bisa menjawab tantangan ini secara berkelanjutan. Sistem
kompensasi perlu mempertimbangkan strategi organisasi dan lingkungan bisnis
yang berubah dari waktu ke waktu.
Salah satu alternatif yang ditawarkan oleh Hughes (2003) adalah
mengaitkan pembayaran gaji secara langsung dengan keterampilan atau
pendidikan pekerja. Dalam hal ini dia kemudian melakukan kajian atas mana
yang sebaiknya lebih menentukan gaji, apakah keterampilan, ataukah diploma
yang diperoleh dari proses pendidikan. Kesimpulan yang diperoleh Hughes
mengindikasikan bahwa pada banyak kasus, keterampilan mendapatkan
Manajemen Kompetensi dalam Transformasi Human Capital
Sistem Manajemen SDM yang berkembang di era industri, mengalami
transformasi menuju pendekatan human capital pada era pengetahuan dan
informasi sekarang ini. Manusia yang dulunya disebut sebagai sumberdaya, saat
ini dinyatakan sebagai aset yang paling berharga bagi perusahaan. Adapun
wujud aset yang dimiliki oleh manusia adalah berupa kompetensi; ketrampilan
(skill), pengetahuan (knowledge) dan perilaku (behavior); yang diyakini
memiliki hubungan sebab-akibat dengan kinerja manusia tersebut di dalam
sebuah organisasi. Pengelolaan kompetensi sebagai wujud aset yang dimiliki
oleh manusia di dalam organisasi menjadi faktor kunci keberhasilan organisasi
di era ini. Fitz-enz (2002) menyatakan bahwa dalam pendekatan human capital,
inisiatif pengelolaan manusia di dalam organisasi haruslah bisa diukur
perkembangannya. Dengan dilakukannya pengukuran ini, manajemen dapat
mengambil keputusan-keputusan penting berkaitan dengan aset yang paling
berharga tersebut.
Kompetensi didefinisikan oleh Spencer & Spencer (1993) sebagai
karakteristik melekat yang dimiliki oleh seseorang yang berhubungan sebab
akibat dengan kinerjanya pada situasi atau standar kinerja tertentu. Kompetensi
dikelompokkan dalam Threshold Competency (Kompetensi Ambang) dan
Differentiating Competency (Kompetensi Pembeda). Kompetensi Ambang;
biasanya berupa skill (Keterampilan) atau knowledge (Pengetahuan); merupakan
karakteristik dasar minimal yang harus dimiliki oleh seseorang agar dia bisa
efektif dalam menjalankan tugas-tugasnya. Sementara itu, Kompetensi
Pembeda; biasanya berupa kumpulan perilaku; merupakan karakteristik yang
akan membedakan orang yang kinerjanya superior dengan orang yang
kinerjanya rata-rata dalam suatu tugas atau jabatan tertentu. Dari riset terhadap
200 (dua ratus) jabatan, ditemuka n 20 (dua puluh) kompetensi pembeda, yaitu
orientasi berprestasi, kepedulian terhadap keteraturan, inisiatif, pencarian
informasi, pemahaman hubungan antar manusia, orientasi pada pelayanan
pelanggan, dampak dan pengaruh, pemahaman keorganisasian, membangun
24
pemikiran analitis, pemikiran konseptual, pengendalian diri, keyakinan diri,
fleksibilitas, komitmen berorganisasi dan pengembangan keahlian.
Begitu pentingnya isu manajemen kompetensi saat ini sehingga Hansen
et al, (2001) menyarankan agar setiap organisasi merumuskan strategi khusus
untuk mengelola pengetahuan guna memenangkan persaingan di era informasi
dan pengetahuan ini. Menurut Hansen pengelolaan pengetahuan dapat dilakukan
dengan kodefikasi maupun melalui strategi personalisasi. Sejalan dengan
pemikiran ini, Krames (2008) menyebutkan bahwa salah satu hal penting yang
dilakukan oleh pemimpin hebat di era informasi dan pengetahuan ini adalah
melakukan audit terhadap kompetensi karyawannya. Audit kompetensi ini
dimaksudkan untuk menemukan kekuatan dari masing-masing karyawan untuk
selanjutnya diberdayakan secara optimal. Buckingham dan Cliffton (2001) juga
menyarankan agar organisasi lebih fokus kepada kekuatan karyawannya, untuk
membuat kelemahannya menjadi tidak relevan. Sementara itu kebanyakan
pemimpin jutsru berusaha keras untuk memperbaiki kelemahan karyawannya.
Hal ini menurut Buckingham sangatlah tidak efektif. Dari pada memboroskan
energi untuk menutupi kelemahan, dia menyarankan untuk mengembangkan
kekuatan orang-orang untuk menjadi yang terbaik di bidangnya. Apapun pilihan
yang diambil oleh sebuah organisasi, diperlukan suatu proses yang sistematis
terlebih dahulu untuk mendefinisikan kompetensi yang dibutuhkan, sebelum
melakukan audit terhadap kompetensi yang dimiliki oleh karyawan. Setelah itu
barulah dipikirkan cara-cara untuk mengembangkan kompetensi tersebut secara
cepat guna mendukung kinerja organisasi. Menurut Brown dan Duguid (2001)
pendekatan pembelajaran organisasi dapat dilakukan untuk mempercepat proses
ini. Melalui pembelajaran org