ANALISA TEGANGAN LENTUR EFEKTIF BALOK KOMPOSIT
DENGAN VARIASI RASIO KETINGGIAN PELAT BETON DAN
PROFIL BAJA BERDASARKAN METODE LRFD
TUGAS AKHIR
Diajukan untuk Melengkapi Syarat Penyelesaian
Pendidikan Sarjana Teknik Sipil
Disusun Oleh:
JOHN PIRMA SAHATA SITORUS
09 0404 060
Dosen Pembimbing:
Ir. TORANG SITORUS, MT
NIP. 19571012 198601 1 001
BIDANG STUDI STRUKTUR
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Pada balok non komposit yaitu yang terdiri dari satu jenis material: misalnya baja,
keruntuhan balok akan ditandai oleh terlampauinya tegangan leleh baja tersebut.
Pada balok komposit: misalnya tersusun dari beton dan baja, keruntuhan balok
akan ditandai oleh terlampauinya tegangan leleh pada salah satu material
penyusunnya, pada beton atau baja. Dalam perencanaan struktur balok komposit
perencanaan balok komposit belum memiliki standar yang memperhatikan
keseimbangan persentase tegangan terjadi dari material penyusunnya. Keadaan
ketidakseimbangan ini akan menyebabkan kegagalan struktur komposit akibat
terlampauinya salah satu tegangan leleh material, sekalipun tegangan yang terjadi
pada material yang lain masih jauh dari tegangan lelehnya. Tegangan akibat lentur
yang terjadi pada balok sangat dipengaruhi oleh tinggi penampang. Maka
kesetimbangan tegangan dianalisis melalui rasio ketinggian pelat beton dan balok
baja. Analisis menghasilkan berbagai nilai rasio untuk berbagai kombinasi kuat
tekan beton dan kuat leleh baja. Perencanaan dengan mendekati rasio efektif
untuk kesetimbangan tegangan pada masing-masing material menghasilkan profil
baja yang lebih kecil dengan tebal pelat tetap. Keadaan ini menyebabkan berat
balok yang dihasilkan lebih kecil sehingga dapat menghasilkan desain yang lebih
ekonomis. Metode pelaksanaan dengan perancah lebih baik daripada tanpa
perancah, karena tegangan yang dihasilkan lebih kecil. Hal ini disebabkan aksi
komposit, yang menjadi andalan desain ini, pada metode pelaksanaan tanpa
perancah tidak digunakan secara maksimal, hanya untuk memikul beban hidup
saja. Rata-rata penurunan tegangan yakni sebesar 4,50 %. Dalam pelaksanaan
dengan perancah, disarankan untuk menggunakan perancah pada tengah bentang,
karena metode ini menghasilkan tegangan yang lebih kecil. Hal ini disebabkan
adanya momen negatif yang timbul di tengah bentang sebelum beton mengeras,
yang mengurangi momen terjadi setelah perancah dilepaskan. Rata-rata penurunan
tegangan yakni sebesar 7,34 %.
Kata kunci: balok komposit, tegangan lentur, kesetimbangan tegangan, rasio
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang memimpin
saya dalam setiap proses penyelesaian Tugas Akhir ini sehingga dapat
terselesaikan dengan baik.
Tugas akhir ini merupakan syarat untuk mencapai gelar sarjana Teknik
Sipil bidang studi struktur Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas
Sumatera Utara, dengan judul: Analisa Tegangan Lentur Efektif Balok
Komposit Dengan Variasi Rasio Ketinggian Pelat Beton Dan Profil Baja
Berdasarkan Metode LRFD.
Saya menyadari bahwa selama pengerjaan Tugas Akhir ini, ada banyak
pihak yang terlibat dan mendukung saya hingga Tugas Akhir ini dapat
terselesaikan. Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah mengambil peranan yang
penting, yaitu:
1. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan selaku Ketua Departemen Teknik
Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai
Dosen Pembanding yang telah banyak memberikan dukungan selama
proses perkuliahan di Departemen Teknik Sipil dan memberi masukan
untuk perbaikan Tugas Akhir ini.
2. Bapak Ir. Syahrizal, MT selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Ir. Jeluddin Daud, M. Eng selaku Pembimbing Akademik yang
4. Bapak Ir. Torang Sitorus, MT selaku Pembimbing Tugas Akhir yang
bersedia menyediakan waktu dan pikiran untuk membimbing,
mengevaluasi, dan mengarahkan saya dari awal penulisan hingga Tugas
Akhir ini dapat terselesaikan.
5. Bapak Ir. Sanci Barus, MT selaku Koordinator Sub. Jurusan Struktur dan
sebagai Dosen Pembanding yang telah memberi masukan untuk perbaikan
Tugas Akhir ini.
6. Bapak/Ibu seluruh staf pengajar Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik
Universitas Sumatera Utara.
7. Seluruh pegawai administrasi Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan selama ini
kepada saya.
8. Untuk segenap keluarga besar, teristimewa untuk Ibunda R. N.
Tampubolon yang memberikan dukungan yang sangat besar secara moril
dan materil, untuk abang dan kakak J. Sitorus/H. Br Siregar, J. Sitorus/H.
Br. Sinurat, R. Sinaga, SE/H. Br. Sitorus, S. Kom, Jadiman Sitorus, Amd.
Kom, Hendranita Sitorus, Amd. Kom, dan saudara kembar Jendro M.
Sitorus, S. Si yang selalu memotivasi, mendukung, mengarahkan, dan
mendoakan selama masa studi sampai pada penyelesaian tugas akhir ini.
Saya menyadari besarnya peranan keluarga dalam pembentukan diri
hingga saya bisa seperti saya saat ini.
9. Untuk rekan-rekan seperjuangan yang sudah saya anggap sebagai saudara:
Ovit, Mariance, Junwesdy, Christian, Antonius, Adi, Maria, Sumihar,
Hasoloan, Agrifa, Suparta, Edwin, Abraham yang telah banyak membantu
selama masa studi sampai dalam penyelesaian tugas akhir ini.
10. Untuk seluruh rekan-rekan stambuk 2009 yang tidak dapat disebutkan satu
per satu. Rekan-rekan seperjuangan yang telah banyak membantu selama
proses perkuliahan bahkan dalam pengerjaan tugas akhir ini.
11. Adik KK saya Disciple of Christ (Juang Telaumbanua), Reonrefim Jr (Ecy
Damanik, Michael Candra, Luccas Saragih), Aqua La Vida (Astri Lubis,
Fitri Hutagalung, Donald Manik, Reny Linda Kristy), dan Viva La Vida
(Parna Sitanggang dan Jagardo Damanik), juga untuk PKK Roy A.
Pakpahan, ST dan semua rekan sepelayanan di UKM KMK USU UP FT
yang telah mendukung saya dalam doa seiring di pelayanan dan
mengerjakan tugas akhir ini.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan tugas akhir ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu saya menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun dalam penyempurnaan tugas akhir ini.
Akhir kata saya mengucapkan terima kasih dan semoga tugas akhir ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Medan, April 2015
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR GRAFIK ... xi
DAFTAR NOTASI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Umum ... 1
1.2 Latar Belakang Masalah ... 3
1.3 Tujuan ... 5
1.4 Batasan Masalah ... 5
1.5 Metodologi ... 6
1.6 Sistematika Pembahasan ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Umum ... 9
2.2 Perkembangan Struktur Komposit ... 9
2.3 Pengenalan Balok Komposit ... 11
2.3.1 Aksi Komposit ... 11
2.3.2 Hubungan Elastis dan Plastis Saat Terjadi Aksi Komposit ... 14
2.3.3 Keuntungan dan Kerugian ... 19
2.3.4 Lebar Efektif ... 21
2.4 Metode Konstruksi Balok Komposit ... 23
2.5 Konsep LRFD dalam Perencanaan Struktur ... 24
2.5.1 Faktor Beban dan Kombinasi Pembebanan ... 26
2.5.2 Faktor Tahanan ... 27
2.5.3.1 Balok Terkekang Lateral ... 30
2.5.3.2 Desain Balok Terkekang Lateral ... 32
2.5.3.3 Beban Terpusat pada Balok ... 34
2.6 Konsep LRFD pada Balok Komposit ... 37
2.6.1 Garis Netral Berpotongan pada Pelat ... 39
2.6.2 Garis Netral Berpotongan pada Balok ... 41
2.7 Alat Penyambung Geser ... 42
2.8 Lendutan ... 49
BAB III METODE ANALISA DAN APLIKASI ... 52
3.1 Umum ... 52
3.2 Model Penampang ... 52
3.3 Material ... 53
3.3.1 Baja ... 50
3.3.2 Beton ... 57
3.4 Pembebanan ... 58
3.4.1 Beban Mati ... 59
3.4.2 Beban Hidup ... 60
3.5 Prosedur Analisis ... 63
3.5.1 Menentukan Karakteristik Umum Balok Komposit ... 63
3.5.1.1 Menentukan Lebar Efektif ... 63
3.5.1.2 Menentukan Nilai Rasio Modulus ... 64
3.5.1.3 Menentukan Lebar Efektif Ekivalen ... 65
3.5.1.4 Menentukan Letak Garis Netral ... 65
3.5.1.5 Menentukan Momen Inersia Penampang Trasformasi ... 66
3.5.1.6 Menentukan Beban yang Bekerja ... 66
3.6 Menentukan Tegangan untuk Metode Pelaksanaan Tanpa Perancah ... 67
3.6.1 Tahap 1: Pelat Pelat Belum Mengeras ... 67
3.8 Menentukan Tegangan untuk Metode Pelaksanaan dengan
Perancah di Sepanjang Bentang ... 68
3.9 Menentukan Tegangan untuk Metode Pelaksanaan dengan Perancah di Tengah Bentang ... 69
3.9.1 Tahap 1: Pelat Beton Belum Mengeras ... 69
3.9.2 Tahap 2: Pelat Beton Sudah Mengeras ... 69
3.10 Menentukan Kuat Lentur Nominal ... 70
3.11 Pemeriksaan Lendutan ... 71
3.11.1 Lendutan untuk Metode Konstruksi Tanpa Perancah .... 71
3.11.2 Lendutan untuk Metode Konstruksi dengan Perancah .. 72
3.12 Pemeriksaan Kesetimbangan Tegangan Terjadi ... 73
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 74
4.1 Umum ... 74
4.2 Perhitungan untuk Metode Konstruksi Tanpa Perancah ... 76
4.3 Perhitungan untuk Metode Konstruksi dengan Perancah di Sepanjang Bentang ... 78
4.4 Perhitungan untuk Metode Konstruksi dengan Perancah di Tengah Bentang ... 80
4.5 Rekapitulasi Hasil Perhitungan ... 83
4.6 Tinjauan Hasil Perhitungan ... 87
4.6.1 Tinjauan Nilai Rasio Efektif (t/H) untuk Perancah di Sepanjang Bentang ... 88
4.6.2 Tinjauan Nilai Rasio Efektif (t/H) untuk Perancah di Tengah Bentang ... 90
4.7 Aplikasi dalam Perencanaan ... 94
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 98
5.1 Kesimpulan ... 98
5.2 Saran ... 99
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Pengaruh Aksi Komposit Pada Balok Baja-Beton ... 18
Tabel 2.2 Faktor Tahanan... 28
Tabel 3.1 Sifat Mekanis Baja Struktural ... 56
Tabel 3.2 Nilai Modulus Elastisitas Beton ... 58
Tabel 3.3 Berat Sendiri Bahan Bangunan dan Komponen Gedung ... 60
Tabel 3.4 Beban Hidup Pada Lantai Gedung ... 62
Tabel 3.5 Nilai Rasio Modulus n untuk Perencanaan Praktis ... 65
Tabel 3.6 Batas Lendutan Maksimum ... 73
Tabel 4.1 Rasio Efektif (t/H) untuk Perancah di Sepanjang Bentang ... 83
Tabel 4.2 Rasio Efektif (t/H) untuk Perancah di Tengah Bentang... 85
Tabel 4.3 Perbandingan Desain Balok dengan Beberapa Kondisi untuk Perancah di Sepanjang Bentang ... 88
Tabel 4.4 Perbandingan Desain Balok dengan Beberapa Kondisi untuk Perancah di Tengah Bentang ... 90
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Macam-Macam Struktur Komposit ... 2
Gambar 2.1 Keadaan Balok dengan dan Tanpa Aksi Komposit yang Melendut Akibat Beban Vertikal ... 12
Gambar 2.2 Variasi Regangan pada Balok Komposit ... 14
Gambar 2.3 Penampang Balok Beton dengan Diagram Tegangan ... 15
Gambar 2.4 Distribusi Tegangan Profil Baja Hingga Mencapai Keadaan Plastis ... 15
Gambar 2.5 Pengaruh Penghubung Geser Terhadap Tegangan Lentur dan Geser ... 16
Gambar 2.6 Perbandingan Respon Baja-Beton Dengan Aksi Komposit dan Tanpa Aksi Komposit ... 17
Gambar 2.7 Distribusi Tegangan Plastis dengan Aksi Komposit ... 19
Gambar 2.8 Distribusi Tegangan Tekan σx yang Tidak Merata dan Lebar Efektif be ... 22
Gambar 2.9 Lebar Efektif Struktur Komposit ... 20
Gambar 2.10 Modulus Penampang Berbagai Tipe Profil Simetri ... 30
Gambar 2.11 Distribusi Tegangan pada Level Beban Kerja ... 31
Gambar 2.12 Diagram Tegangan-Regangan Material Baja ... 31
Gambar 2.13 Tahanan Momen Nominal Penampang Kompak dan Tak Kompak ... 33
Gambar 2.14 Balok dengan Beban Terpusat ... 35
Gambar 2.15 Tekuk Web Bergoyang ... 36
Gambar 2.16 Kuat Lentur Nominal Berdasarkan Distribusi Tegangan Plastis . 38 Gambar 2.17 Alat Penyambung Geser yang Umum ... 43
Gambar 2.18 Bidang Gaya Geser untuk Beban Merata dan Distribusi Tegangan Geser pada Penampang Komposit Baja-Beton ... 44
Gambar 2.19 Gaya yang Diperlukan dari Alat Penyambung Geser pada Beban Kerja ... 45
Gambar 2.21 Papan yang Diletakkan sebagai Titian ... 50
Gambar 3.1 Model Penampang Analitis ... 52
Gambar 3.2 Kurva Tegangan Tegangan (f) – Regangan (ε) ... 54
Gambar 3.3 Bagian Kurva Tegangan – Regangan yang Diperbesar ... 55
Gambar 3.4 Diagram Tegangan pada Sistem Balok Komposit ... 64
Gambar 3.5 Simbol untuk Beberapa Variabel Penampang... 71
Gambar 4.1 Penampang Balok Komposit ... 74
Gambar 4.2 Balok Komposit Bentang 8m dan Potongan Melintang Penampang ... 94
Gambar 4.3 Diagram Tegangan yang Terjadi pada Profil WF ... 96
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Rasio Efektif (t/H) untuk Perancah di Sepanjang Bentang ... 84
DAFTAR NOTASI
As luas penampang profil baja
bf lebar profil baja
beff lebar efektif balok komposit
C gaya tekan
cx, cy jarak dari titik berat ke tepi serat arah x dan y
D beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen,
termasuk dinding, lantai, atap, plafon, partisi tetap, tangga, dan
peralatan layan tetap
d tinggi profil baja
ds diameter stud
Δ lendutan
E beban gempa
Ec modulus elastisitas beton
Es modulus elastisitas baja
ε regangan
εsb regangan saat mulai terjadi efek strain-hardening (penguatan
regangan)
εu regangan saat tercapainya tegangan putus
f’c kuat tekan beton
fc tegangan yang terjadi pada beton
fe tegangan batas elastis
fsb tegangan pada serat bawah profil baja
fp tegangan batas proporsional
fu tegangan putus
fy tegangan leleh baja
fyu tegangan leleh atas
G modulus geser
γ faktor beban
H tinggi alat penyambung stud
I inersia penampang
Ix, Iy momen inersia arah x dan y
k tebal pelat sayap ditambah jari-jari peralihan
k jarak antara muka sayap terluar ke kaki lengkungan badan
L beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung,
termasuk kejut, tetapi tidak termasuk beban lingkungan seperti
angin, hujan, dan lain-lain
L panjang bentang balok
La beban hidup di atap yang ditimbulkan selama perawatan oleh
pekerja, peralatan, dan material, atau selama penggunaan biasa
oleh orang dan benda bergerak
λ kelangsingan penampang balok (= b/2tf)
M momen yang terjadi
Mn momen nominal
Mu momen lentur akibat beban terfaktor
Mx, My momen lentur arah x dan y
N panjang dukung/dimensi longitudinal pelat perletakan
n rasio modulus =
c s E E
ϕ faktor tahanan
ϕb faktor tahanan momen lentur = 0,90
Q beban yang harus dipikul struktur
qD beban mati
qult kapasitas alat penyambung
Rn kekuatan nominal struktur
Sx, Sy modulus penampang arah x dan y
T gaya tekan
t tebal pelat
tf tebal sayap profil baja
tw tebal badan profil baja
v tegangan geser
W beban angin
Wx momen tahanan
wb berat bekisting per satuan luas
wc berat jenis beton
ws berat jenis baja
y tinggi serat dari garis netral
ABSTRAK
Pada balok non komposit yaitu yang terdiri dari satu jenis material: misalnya baja,
keruntuhan balok akan ditandai oleh terlampauinya tegangan leleh baja tersebut.
Pada balok komposit: misalnya tersusun dari beton dan baja, keruntuhan balok
akan ditandai oleh terlampauinya tegangan leleh pada salah satu material
penyusunnya, pada beton atau baja. Dalam perencanaan struktur balok komposit
perencanaan balok komposit belum memiliki standar yang memperhatikan
keseimbangan persentase tegangan terjadi dari material penyusunnya. Keadaan
ketidakseimbangan ini akan menyebabkan kegagalan struktur komposit akibat
terlampauinya salah satu tegangan leleh material, sekalipun tegangan yang terjadi
pada material yang lain masih jauh dari tegangan lelehnya. Tegangan akibat lentur
yang terjadi pada balok sangat dipengaruhi oleh tinggi penampang. Maka
kesetimbangan tegangan dianalisis melalui rasio ketinggian pelat beton dan balok
baja. Analisis menghasilkan berbagai nilai rasio untuk berbagai kombinasi kuat
tekan beton dan kuat leleh baja. Perencanaan dengan mendekati rasio efektif
untuk kesetimbangan tegangan pada masing-masing material menghasilkan profil
baja yang lebih kecil dengan tebal pelat tetap. Keadaan ini menyebabkan berat
balok yang dihasilkan lebih kecil sehingga dapat menghasilkan desain yang lebih
ekonomis. Metode pelaksanaan dengan perancah lebih baik daripada tanpa
perancah, karena tegangan yang dihasilkan lebih kecil. Hal ini disebabkan aksi
komposit, yang menjadi andalan desain ini, pada metode pelaksanaan tanpa
perancah tidak digunakan secara maksimal, hanya untuk memikul beban hidup
saja. Rata-rata penurunan tegangan yakni sebesar 4,50 %. Dalam pelaksanaan
dengan perancah, disarankan untuk menggunakan perancah pada tengah bentang,
karena metode ini menghasilkan tegangan yang lebih kecil. Hal ini disebabkan
adanya momen negatif yang timbul di tengah bentang sebelum beton mengeras,
yang mengurangi momen terjadi setelah perancah dilepaskan. Rata-rata penurunan
tegangan yakni sebesar 7,34 %.
Kata kunci: balok komposit, tegangan lentur, kesetimbangan tegangan, rasio
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Umum
Ilmu pengetahuan terus mengalami peningkatan. Peningkatan ini terjadi
yaitu dengan semakin tingginya kualitas ilmu pengetahuan itu sendiri (secara
vertikal), maupun dengan semakin banyaknya inovasi yang bermunculan pada
satu bidang ilmu tertentu (secara horizontal). Peningkatan ini tidak lepas dari
kenyataan kebutuhan manusia yang semakin hari semakin kompleks, juga dari
segi mutu dan jumlah.
Teknik Sipil mengambil peran strategis dalam perkembangan peradaban
(civilization) manusia. Perkembangan dalam bidang ilmu Teknik Sipil akan
berpengaruh secara signifikan bagi kondisi peradaban manusia. Dalam dunia
konstruksi, kebutuhan terutama dalam hal kekuatan struktur yang dipengaruhi
pertambahan beban karena pertumbuhan jumlah manusia. Di sisi lain, kekuatan
ini pun harus tetap memenuhi kebutuhan efisiensi pemakaian material.
Perkembangan dalam bidang konstruksi diantaranya pada perencanaan
dengan menggunakan sistem komposit. Sistem ini memungkinkan perencanaan
yang akan menghasilkan kekuatan struktur yang semakin baik dan pemakaian
material dengan lebih efisien.
Struktur komposit (composite) merupakan struktur yang terdiri dari dua
material atau lebih dengan sifat bahan yang berbeda dan membentuk satu
komposit sudah diterapkan pada berbagai elemen bangunan gedung,
diantaranya elemen pelat lantai, struktur kolom, sampai pondasi.
Umumnya stuktur komposit dapat berupa:
1. Kolom baja terbungkus beton / balok baja terbungkus beton (Gambar
1.1a/d).
2. Kolom baja berisi beton/tiang pancang (Gambar 1.1b/c).
3. Balok baja yang menahan pelat beton (Gambar 1.1e).
(a) (b) (c)
(d) (e)
Gambar 1.1 Macam-macam Struktur Komposit
Perencanaan komposit mengasumsi bahwa baja dan beton bekerja sama
dalam memikul beban yang bekerja, sehingga akan menghasilkan desain
profil/elemen yang lebih ekonomis (Alfin: 2013). Di samping itu struktur
komposit juga mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya adalah lebih kuat
1.2 Latar Belakang Masalah
Pada balok non komposit yaitu yang terdiri dari satu jenis material:
misalnya baja, keruntuhan balok akan ditandai oleh terlampauinya tegangan leleh
baja tersebut. Pada balok komposit: misalnya tersusun dari beton dan baja,
keruntuhan balok akan ditandai oleh terlampauinya tegangan leleh pada salah satu
material penyusunnya, pada beton atau baja.
Perhatikan contoh hasil perencanaan balok komposit yang terdiri dari
beton (pelat atas) dan profil baja berikut ini:
Contoh 1 Hasil Perencanaan:
t = 12 cm
d = 45 cm
b = 150 cm
f’c = 20 MPa
fy = 250 Mpa
Dari hasil perencanaan ini didapati bahwa tegangan yang terjadi pada
material beton (fc) adalah 2,06 MPa atau sebesar 10,3% dari nilai f’c.
Sementara itu tegangan yang terjadi pada serat bawah material baja (fsb)
Contoh 2 Hasil Perencanaan:
t = 10 cm
d = 30 cm
b = 25 cm
f’c = 20 MPa
fy = 240 MPa
Tegangan yang terjadi pada material beton (fc) adalah 5,32 MPa atau
sebesar 26,6% dari nilai f’c. Sementara itu tegangan yang terjadi pada
serat bawah material baja (fsb) adalah 192,15 MPa atau sebesar 80,6% dari
nilai fy.
Dari kedua contoh hasil perencanaan di atas didapat bahwa perencanaan
balok komposit belum memiliki standar yang memperhatikan keseimbangan
persentase tegangan terjadi dari material penyusunnya. Keadaan
ketidakseimbangan ini akan menyebabkan kegagalan struktur komposit akibat
terlampauinya salah satu tegangan leleh material, sekalipun tegangan yang terjadi
pada material yang lain masih jauh dari tegangan lelehnya. Karena itu sangat baik
dalam perencanaan balok komposit untuk memiliki keseimbangan tegangan yang
terjadi pada masing-masing material penyusunnya untuk memaksimalkan
kekuatan balok.
Tegangan akibat lentur yang terjadi pada balok sangat dipengaruhi oleh
I y M.
dimana:
σ = Tegangan lentur
M = Momen yang terjadi
y = Tinggi serat dari garis netral
I = Inersia penampang
Atas dasar hal tersebut di atas, maka tugas akhir ini akan memeriksa tegangan
yang terjadi pada material dengan variasi ketinggian penampang.
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan tugas akhir ini adalah untuk mengetahui rasio efektif
perencanaan balok komposit untuk mendapatkan persentase tegangan terjadi yang
relatif sama pada masing-masing material.
1.4 Batasan Masalah
Pada analisa ini, penulis membatasi permasalahan untuk penyederhanaan
1. Balok komposit terbuat dari baja dengan fy = 210 MPa, 240 MPa, 250 MPa,
290 MPa, 410 MPa dan beton dengan f’c = 20 MPa, 25 MPa, 30 MPa, 35 MPa,
40 MPa.
2. Dimensi profil baja diambil pada b = 200 mm dan beff = 3000 mm.
3. Pembebanan diambil untuk perencanaan bangunan gedung.
4. Penghubung geser dianggap tersedia dengan baik untuk komposit penuh.
5. Analisa akan dilakukan untuk metode pelaksanaan dengan perancah dan tanpa
perancah.
1.5 Metodologi
Metode yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini adalah dengan
analisa yang didasarkan teori perencanaan balok komposit menurut metode LRFD
(Load Resistence Factor Design) dan disesuaikan dengan Standar Nasional
Indonesia.
1.6 Sistematika Pembahasan
Sistem penulisan tugas akhir ini adalah dengan mengumpulkan berbagai
teori, keterangan, maupun data yang berkaitan dengan perencanaan balok
komposit serta dengan berbagai saran dari dosen pembimbing.
Sistematika ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara umum
Penulisan tugas akhir ini dilakukan dengan mengikuti sistematika
pembahasan sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, tujuan
penelitian, batasan masalah, metodologi penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang pengenalan sifat material beton
dan baja, teori aksi komposit, dan teori perencanaan
balok komposit dengan mengacu pada metode Load
Resistence Factor Design.
BAB III : METODE ANALISA & APLIKASI
Bab ini berisi persamaan-persamaan, standar acuan
perencanaan, dan standar pembebanan yang digunakan
dalam perencanaan balok komposit.
BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang tampilan proses analisa dan
hasilnya berupa rasio penampang balok komposit yang
ideal berdasarkan tegangan yang seimbang pada
masing-masing material penyusun balok komposit.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran yang dapat
berfokus pada perencanaan balok komposit yang lebih
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
Balok komposit adalah balok yang terdiri dari dua atau lebih material yang
bekerja sama dalam memikul beban kerja. Material yang digunakan
bermacam-macam, seperti beton, baja, aluminium, juga kayu. Berbagai bahan ini
dikombinasi dengan memperhatikan sifat-sifat unggul masing-masing material
tersebut sehingga diperoleh sistem balok dengan sifat yang lebih baik dari sifat
masing-masing material penyusunnya. Sebagai catatan, balok yang dibuat dari
material sama tetapi dengan kekuatan berbeda juga dikategorikan sebagai balok
komposit.
Pada penampang non komposit, pelat beton akan mengalami lendutan
yang cukup besar. Hal ini disebabkan oleh besarnya beban yang harus dipikul oleh
pelat beton tersebut. Komponen struktur komposit dapat menahan beban sekitar
33%-50% lebih besar daripada beban yang dapat dipikul oleh balok baja saja
tanpa adanya perilaku komposit (Setiawan: 2008).
2.2 Perkembangan Struktur Komposit
Perkembangan struktur balok komposit tidak terlepas dari perkembangan
bidang industri, khususnya dalam hal teknik pengelasan. Kerangka baja yang
biasanya direncanakan dengan anggapan bahwa pelat beton dan balok baja
bekerja secara terpisah dalam menahan beban.
Pengaruh komposit dari baja dan beton yang bekerja sama dahulu tidak
diperhitungkan. Pengabaian ini didasarkan pada alasan bahwa lekatan antara
lantai atau pelat beton dan puncak balok baja tidak dapat diandalkan. Namun,
dengan berkembangnya teknik pengelasan, pemakaian alat penyambung geser
makanis menjadi praktis untuk menahan gaya geser horisontal yang timbul pada
bidang kontak pelat lantai beton dan balok baja ketika batang terlentur.
Sejak awal abad 19, balok baja yang dicor dalam beton banyak digunakan.
Balok seperti model tersebut direncanakan secara komposit, sedangkan untuk
bentuk model yang lain tidak direncanakan secara komposit. Pada awal dekade
1930, konstruksi jembatan sudah mulai menggunakan penampang komposit.
Meskipun baru pada tahun 1944 dikeluarkan secara resmi peraturan oleh
AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Officials)
tentang spesifikasi jembatan jalan raya dengan struktur komposit.
Pada sekitar tahun 1950, penggunaan lantai jembatan komposit mulai
berkembang dengan pesat (terutama di Amerika). Pada jembatan ini gaya geser
longitudinal ditransfer dari balok baja kepada pelat beton bertulang dengan
menggunakan penghubung geser. Hal ini mengakibatkan pelat beton tersebut akan
turut membantu memikul momen lentur yang timbul. Sebelum awal dekade 1960,
pemakaian konstruksi komposit masih dipandang tidak ekonomis. Namun pada
1979, konstruksi sudah memanfaatkan aksi komposit pada hampir semua keadaan
di mana baja dan beton saling melekat, baik pada jembatan maupun gedung
2.3 Pengenalan Balok Komposit
Balok komposit adalah balok yang terdiri dari dua atau lebih material yang
bekerja sama dalam memikul beban kerja. Berbagai material yang digunakan
untuk balok komposit hanya akan berfungi sebagai komposit jika adanya interaksi
diantara material tersebut pada bidang kontaknya. Interaksi ini dimungkinkan
dengan keberadaan suatu alat bantu yang dinamakan penghubung geser. Interaksi
ini berupa gaya geser yang disebut sebagai aksi komposit.
2.3.1 Aksi Komposit
Aksi komposit timbul bila dua batang struktural pemikul beban disambung
secara integral dan melendut secara satu kesatuan. Perilaku komposit dapat
dipahami dengan terlebih dahulu meninjau balok yang tidak komposit seperti
diperlihatkan pada Gambar 2.1a.
Pada keadaan tidak komposit ini, jika gesekan antara plat beton dan profil
baja diabaikan, balok dan pelat memikul beban secara terpisah (perhatikan
Gambar.2.2a). Ketika struktur mengalami deformasi akibat beban vertikal,
permukaan bawah plat akan tertarik dan memanjang sedang permukaan atas profil
akan tertekan dan memendek. Jadi, pada bidang kontak antara pelat beton dan
profi baja terjadi diskontinuitas. Karena gaya gesekan diabaikan, maka hanya
(a) Balok non-komposit (b) Balok komposit
Gambar 2.1 Keadaan balok dengan dan tanpa aksi komposit yang melendut
akibat beban vertikal (Charles G. Salmon: 1995)
Pada sistem yang bekerja secara komposit seperti diperlihatkan pada
Gambar 2.1b, Gambar 2.2b dan 2.2c, pelat dan balok tidak akan menggelincir
relatif satu dengan yang lain. Terjadi gaya geser pada bidang kontak antara plat
beton dan profil baja. Gaya ini menyebabkan permukaan bawah pelat tertekan dan
memendek, sementara pada saat yang sama gaya horisontal tersebut membuat
permukaan atas profil baja tertarik dan memanjang.
Dengan memperhatikan distribusi regangan yang terjadi bila tidak ada
interaksi antara pelat beton dan profil baja seperti diperlihatkan Gambar 2.2a,
maka momen perlawanan total dapat dinyatakan dengan persamaan seperti berikut
ini.
M Mpelat Mbalok (2.1)
Pada kondisi ini terdapat dua garis netral, yang pertama pada titik berat
penggelinciran horisontal akibat tarikan pada dasar pelat dan tekanan pada
permukaan atas balok.
Aksi komposit yang bekerja tidak selalu sempurna. Tetap ada keadaan
dimana aksi komposit yang bekerja hanya sebagian (parsial). Pada keadaan yang
hanya memiliki interaksi parsial seperti pada Gambar 2.2b, terjadi pergeseran
garis netral pada masing-masing bahan. Garis netral pelat bergeser mendekati
beton, sebaliknya garis netral beton bergeser mendekati pelat. Dengan keberadaan
interaksi parsial, terjadi pengurangan penggelinciran horisontal antara pelat dan
balok. Interaksi parsial ini juga menimbulkan gaya tekan dan tarik parsial C’ dan
T’ yakni kapasitas maksimum masing-masing pelat beton dan balok baja.
Sehingga, momen penahan pada penampang sekarang meningkat sebesar T’e’
atau C’e’.
Untuk kondisi interaksi penuh, maka tidak terjadi penggelinciran antara
pelat dan balok. Diagram regangan diperlihatkan pada Gambar 2.2c. Pada kondisi
ini, garis netral hanya satu, garis netral gabungan yang terletak di atas garis netral
balok dan di bawah garis netral pelat. Pada kenyataannya, semua penghubung
geser tetap memiliki kelemahan sehingga tetap saja terjadi pergeseran meskipun
sangat kecil. Oleh karena itu, interaksi parsial tetap yang terjadi (Yam: 1981).
Dalam analisa perencanaan, pergeseran ini sering diabaikan sehingga
perencanaan diambil untuk keadaan komposit penuh. Gaya tekan C’’ dan gaya tarik T’’ yang timbul juga lebih besar dari gaya tekan C’ dan gaya tarik T’ yang timbul pada interaksi parsial. Sehingga, momen penahan yang timbul pada
penampang komposit penuh, yaitu:
Gambar 2.2 Variasi regangan pada balok komposit (Charles G. Salmon: 1995)
Dengan sifat beton yang sangat baik dalam memikul tekan sementara baja
sangat baik dalam memikul tarik, maka aksi komposit dengan melibatkan
penghubung geser ini terbukti dapat memaksimalkan kekuatan masing-masing
material sehingga didapat balok dengan sifat yang lebih baik.
2.3.2 Hubungan Elastis dan Plastis Saat Terjadi Aksi Komposit
Aksi komposit hanya terjadi ketika dipenuhi dua syarat, yaitu: penghubung
geser telah terpasang dengan baik pada sayap atas profil baja dan pelat beton
tegangan-tegangan pada material penyusun balok, baik pada pelat beton maupun
pada balok baja.
Jika penghubung geser tidak dipasang pada profil baja sehingga aksi
komposit tidak bekerja, maka masing-masing material akan mengalami distribusi
tegangan secara terpisah sesuai dengan perilaku material tersebut hingga
[image:31.595.119.502.477.622.2]mencapai keadaan plastisnya.
Gambar 2.3 Penampang Balok Beton dengan Diagram Tegangan (Vis: 1994)
Gambar 2.4 Distribusi Tegangan Profil Baja pada Level Beban Bekerja
Penghubung geser yang dipasang pada sayap atas profil baja akan
membuat kedua material bekerja bersama. Keadaan ini akan menghasilkan garis
netral yang baru untuk keseluruhan sistem komposit. Gambar berikut ini
menunjukkan perbedaan diagram tegangan lentur dan geser dengan penghubung
[image:32.595.182.443.254.640.2]geser dan tanpa penghubung geser.
Gambar 2.5 Pengaruh Penghubung Geser Terhadap Tegangan Lentur dan Geser
Keadaan diagram tegangan dengan garis netral yang baru ini akan tetap
berlangsung untuk pembebanan yang terus bertambah sampai struktur komposit
[image:33.595.115.516.197.475.2]mencapai keadaan plastisnya.
Gambar 2.6 Perbandingan Respon Baja-Beton Dengan Aksi Komposit dan Tanpa
Aksi Komposit (ESDEP: 2015)
Tabel 2.1 Pengaruh Aksi Komposit Pada Balok Baja-Beton
Balok Baja-Beton
Diagram Tegangan
Keadaan Elastis Keadaan Plastis
Tanpa Aksi Komposit
Dengan Aksi Komposit
Garis Netral Pada
Pelat Beton
Garis Netral Pada
(a) (b) (c)
Gambar 2.7 Distribusi Tegangan Plastis dengan Aksi Komposit
(Agus Setiawan: 2008)
2.3.3 Keuntungan dan Kerugian
Sifat yang lebih unggul akibat kerja aksi komposit secara nyata
memberikan berbagai keuntungan. Penggunaan sistem komposit dalam desain
struktur dapat memberi keuntungan sebagai berikut (Salmon: 1995):
a. Penghematan berat baja
b. Penampang balok baja dapat lebih rendah
c. Kekakuan lantai meningkat
d. Panjang bentang untuk batang tertentu dapat lebih besar
e. Kapasitas pemikul beban meningkat
Reduksi berat sekitar 20-30% dapat diperoleh dengan memanfaatkan
perilaku sistem komposit penuh. Dengan adanya reduksi berat ini maka secara
langsung juga dapat mengurangi tinggi profil baja yang dipakai. Hal ini
pada penghematan pemakaian material bangunan, terutama untuk dinding luar dan
tangga.
Lantai komposit memiliki kekakuan yang lebih besar dari kekakuan lantai
beton dengan balok penyanggahnya bekerja secara terpisah. Biasanya pelat beton
bekerja sebagai pelat satu arah yang membentang antara balok-balok baja
penyanggah. Pada lantai dengan balok penyanggah bekerja sebagai sistem
komposit, aksi pelat beton dalam arah sejajar balok dimanfaatkan dan
digabungkan dengan balok baja penyanggah. Hal ini mengakibatkan momen
inersia konstruksi lantai dalam arah balok baja meningkat secara signifikan.
Kekakuan yang meningkat ini banyak berpengaruh pada pengurangan lendutan
akibat beban hidup. Pada keadaan elastis, kekakuan balok komposit bisa mencapai
dua sampai tiga kali lebih kaku daripada kekakuan balok non-komposit (Gaylord:
1972).
Jika perancah diberikan selama proses pembangunan, kekakuan yang
meningkat ini juga dapat mengurangi lendutan akibat beban mati. Pada kondisi
aksi komposit penuh, kekuatan penampang jauh lebih besar dari jumlah kekuatan
pelat dan balok penyanggah yang bekerja secara terpisah sehingga menimbulkan
adanya kapasitas cadangan yang tinggi.
Selain berbagai keuntungan yang bisa didapat dari sistem komposit di atas,
juga ada beberapa hal yang harus jadi pertimbangan dalam merencanakan balok
komposit (Salmon: 1995), yaitu:
a. Pengaruh kontinuitas, karena hanya bagian pelat beton tertekan yang
dianggap efektif sehingga pada daerah momen negatif pada balok menerus
b. Lendutan jangka panjang, jika sistem komposit memikul sebagian besar
beban hidup atau jika beban hidup terus bekerja dalam waktu lama.
2.3.4 Lebar Efektif
Konsep lebar efektif sangat berguna dalam proses desain suat komponen
struktur, terutama ketika proses desain harus dilakukan terhadap suatu elemen
yang mengalami distribusi tegangan yang tidak seragam, seperti pada balok
komposit. Untuk memahami konsep lebar efektif, tinjaulah penampang komposit
dengan lebar pelat tidak berhingga yang mengalami tegangan seperti Gambar 2.3.
Intensitas tegangan tekan maksimum terjadi di atas balok baja, kemudian menurun
secara tidak linear sampai pada serat terluar pelat bila jarak tepi pelat ke balok
penyanggah membesar.
Lebar efektif sayap untuk balok komposit dapat diambil sebesar
bE bf 2b' (2.3)
Gambar 2.8 Distribusi tegangan tekan σx yang tidak merata dan lebar efektif bE
(Charles G. Salmon: 1995)
Besarnya lebar efektif dari suatu komponen struktur komposit dapat
ditentukan sesuai dengan SNI 03-1729-2002 tentang Tata Cara Perencanaan
Struktur Baja untuk Bangunan Gedung pasal 12.4.1 sebagai berikut:
1. Untuk balok-balok interior:
4
o
E b
b
2. Untuk balok-balok eksterior:
8
L
bE + (jarak pusat balok ke tepi pelat)
o
E b
b
2 1
+ (jarak pusat balok ke tepi pelat)
Lebar efektif yang dipakai dipilih yang terkecil.
Gambar 2.9 Lebar Efektif Struktur Komposit (Agus Setiawan: 2008)
2.4. Metode Konstruksi Balok Komposit
Perancangan balok komposit disesuaikan dengan metode pelaksanaan yang
digunakan di lapangan. Tegangan yang terjadi akibat beban pada balok komposit
bergantung pada cara pelaksanaan (konstruksi) balok tersebut. Ada dua metode
yang biasanya digunakan dalam pelaksanaan di lapangan, yaitu dengan
pendukung (perancah) dan/atau tanpa pendukung. Perancah sementara adalah
diletakkan pada interval tertentu di sepanjang bentang balok dan diantara
perletakan tetap balok (Smith: 1991).
Pada metode konstruksi tanpa perancah, balok baja akan mendukung beban
mati primer selama beton belum mengeras. Konstruksi ini adalah metode
pelaksanaan yang paling sederhana. Konstruksi dimulai dengan meletakkan balok
baja yang akan dipakai untuk menyanggah atau mendukung bekisting pelat beton.
Dalam hal ini balok baja yang bekerja secara tidak komposit (yakni berdiri
sendiri) memikul berat bekisting, beton basah, dan beratnya sendiri. Setelah beton
mengering dan perancah dilepaskan, maka aksi komposit mulai bekerja pada
balok. Semua beban mati dan beban hidup yang bekerja setelah perancah dilepas,
dipikul oleh balok yang telah bekerja secara komposit ini.
Untuk metode konstruksi dengan perancah, selama beton belum mengeras,
beban mati primer akan dipikul oleh pendukung sementara. Dalam hal ini
perancah akan memikul balok baja, bekisting, dan beton basah sehingga tidak ada
tegangan yang terjadi pada balok baja selama beton belum mengeras dan sebelum
perancah dilepaskan. Setelah beton mengeras dan penunjang dilepas, maka aksi
komposit akan bekerja pada balok komposit untuk memikul seluruh beban, baik
beban mati maupun beban hidup (Salmon: 1995).
2.5 Konsep LRFD dalam Perencanaan Struktur
Dua filosofi yang sering digunakan dalam perencanaan struktur baja
adalah perencanaan tegangan kerja/working stress design (Allowable Stress
Resistance Factor Design/LRFD). Metode ASD dalam perencanaan struktur baja
telah digunakan dalam kurun waktu kurang lebih 100 tahun. Dan dewasa ini,
prinsip perencanaan struktur baja mulai beralih kepada konsep LRFD yang jauh
lebih rasional dengan berdasarkan pada konsep probabilitas.
Penelitian yang dilakukan terhadap kedua metode ini dengan meninjau
penggunaan penghubung geser menunjukkan bahwa perencanaan dengan
menggunakan metode LRFD lebih baik daripada metode ASD. Dari hasil
penelitian, didapati bahwa penghematan penggunaan penghubung geser dengan
metode LRFD dari segi jumlah penghubung geser maupun jarak penghubung
geser rata-rata mencapai 25-30%. Dengan penghematan yang diperoleh maka
penggunaan metode ASD sudah dapat ditinggalkan dan diganti dengan
merencanakan menggunakan metode LRFD (Marsiono: 2009).
Dalam metode LRFD tidak diperlukan analisa probabilitas secara penuh,
terkecuali untuk situasi-situasi yang tidak umum yang tidak diatur dalam
peraturan. Secara umum, suatu struktur dikatakan aman apabila memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
Rn iQi (2.4)
Persamaan kiri dari persamaan 2.4 di atas menggambarkan tahanan atau
kekuatan dari sebuah komponen atau sistem struktur. Sedangkan bagian kanan
persamaan menggambarkan beban yang harus dipikul struktur tersebut.
Jika tahanan nominal Rn dikalikan suatu faktor tahanan ϕ maka akan
diperoleh tahanan rencana. Namun demikian, berbagai macam beban (beban mati,
dikalikan dengan suatu faktor beban γi untuk mendapatkan jumlah beban terfaktor ∑γiQi (Setiawan: 2008).
2.5.1 Faktor Beban dan Kombinasi Beban
Dalam persamaan 2.4 di atas terlihat dengan jelas bahwa tahanan rencana
harus melebihi jumlah dari beban-beban kerja dikalikan dengan suatu faktor
beban. Penjumlahan beban-beban kerja ini yang dinamakan sebagai kombinasi
pembebanan. Menurut peraturan baja Indonesia, SNI 03-1729-2002 pasal 6.2.2
mengenai kombinasi pembebanan, dinyatakan bahwa dalam perencanaan suatu
struktur baja haruslah diperhatikan jenis-jenis kombinasi pembebanan yang
ditetapkan sebagai berikut:
a. 1,4D (2.4-1)
b. 1,2D + 1,6L + 0,5(Laatau H) (2.4-2)
c. 1,2D + 1,6(Laatau H) + (γL .L atau 0,8W) (2.4-3)
d. 1,2D + 1,3W + γL .L + 0,5(Laatau H) (2.4-4)
e. 1,2D ± 1,0E + γL .L (2.4-5)
f. 0,9D ± (1,3W atau 1,0E) (2.4-6)
Keterangan:
D adalah beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen,
termasuk dinding, lantai, atap, plafon, partisi tetap, tangga, dan peralatan
L adalah beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung, termasuk
kejut, tetapi tidak termasuk beban lingkungan seperti angin, hujan, dan
lain-lain
La adalah beban hidup di atap yang ditimbulkan selama perawatan oleh
pekerja, peralatan, dan material, atau selama penggunaan biasa oleh orang
dan benda bergerak
H adalah beban hujan, tidak termasuk yang diakibatkan genangan air
W adalah beban angin
E adalah beban gempa, yang ditentukan menurut SNI 03–1726–1989, atau penggantinya
dengan,
γL= 0,5 bila L< 5 kPa, dan γL= 1 bila L≥ 5 kPa.
Kekecualian: Faktor beban untuk L di dalam kombinasi pembebanan pada
persamaan 2.4-3, 2.4-4, dan 2.4-5 harus sama dengan 1,0 untuk garasi parkir,
daerah yang digunakan untuk pertemuan umum, dan semua daerah di mana beban
hidup lebih besar daripada 5 kPa.
2.5.2 Faktor Tahanan
Faktor tahanan dalam perencanaan struktur berdasarkan metode LRFD,
Tabel 2.2 Faktor Tahanan
(Sumber: Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung, 2002)
2.5.3 Struktur Lentur
Balok adalah komponen struktur yang memikul beban-beban gravitasi,
seperti beban mati dan beban hidup. Komponen struktur balok merupakan
struktur tarik dan tekan akan dikombinasikan dalam analisa struktur lentur
(Setiawan: 2008).
Persamaan umum perhitungan tegangan akibat lentur dapat digunakan
pada kondisi yang umum, yaitu:
I c M (2.5)
Tegangan lentur pada penampang profil yang mempunyai minimal satu sumbu
simetri, dan dibebani pada pusat gesernya, dapat dihitung dengan persamaan:
y y x x S M S M
f (2.6)
dengan x y y y x x c I S dan c I
S (2.7)
sehingga y x y x y x I c M I c M
f (2.8)
Dengan:
f = tegangan lentur
Mx, My = momen lentur arah x dan y
Sx, Sy = modulus penampang arah x dan y
Ix, Iy = momen inersia arah x dan y
cx, cy = jarak dari titik berat ke tepi serat arah x dan y
Berikut ini ditampilkan beberapa penampang yang mempunyai minimal
y x x
c I
S
x y y
c I
S
y x x
c I
S
Gambar 2.10 Modulus Penampang Berbagai Tipe Profil Simetri
(Agus Setiawan: 2008).
2.5.3.1 Balok Terkekang Lateral
Distribusi tegangan pada sebuah penampang WF akibat momen lentur,
diperlihatkan pada Gambar 2.6. Pada daerah beban layan, penampang masih
elastis (Gambar 2.6a), kondisi elastik berlangsung hingga tegangan pada serat
terluar mencapai kuat lelehnya (fy). Setelah penampang mencapai regangan leleh
(εy), regangan akan terus naik tanpa diikuti kenaikan tegangan (Gambar 2.7).
Gambar 2.11 Distribusi Tegangan pada level Beban Bekerja
Pada saat kuat leleh tercapai pada serat terluar (Gambar 2.6b), tahanan
momen nominal sama dengan momen lelehMyx, yang besarnya adalah:
Mx Myx Sxfy (2.9)
Ketika keadaan pada Gambar 2.6d tercapai, semua serat dalam penampang
melampaui regangan lelehnya, dan keadaan ini dinamakan kondisi plastis.
Tahanan momen nominal dalam kondisi ini dinamakan momen plastis Mp, yang
besarnya:
M f y dA fy Z A
y
p
(2.10)Dengan Z dikenal sebagai modulus plastis.
Gambar 2.12 Diagram Tegangan-Regangan Material Baja (Agus Setiawan: 2008)
Ketika tahanan momen plastis Mp tercapai, penampang akan terus
mengalami deformasi dengan tahanan lentur konstan sebesar Mp. Kondisi ini
dinamakan sendi plastis. Pada suatu balok dengan perletakan sederhana
suatu kondisi yang tidak stabil. Keadaan ini dinamakan sebagai mekanisme
keruntuhan. Secara umum, kombinasi dari 3 sendi (sendi sebenarnya dan sendi
plastis) akan mengakibatkan mekanisme keruntuhan (Setiawan:2008).
2.5.3.2 Desain Balok Terkekang Lateral
Tahanan balok dalam desain LRFD harus memenuhi persyaratan:
bMn Mu (2.11)
Dengan:
ϕb = 0,90
Mn = tahanan momen nominal
Mu = momen lentur akibat beban terfaktor
Dalam perhitungan tahanan momen nominal dibedakan antara penampang
kompak, tak kompak, dan langsing seperti halnya saat membahas batang tekan.
Batasan penampang kompak, tak kompak, dan langsing adalah:
1. Penampang kompak : λ < λp
2. Penampang tak kompak : λp < λ < λr
3. Langsing : λ < λr
Tahanan momen nominal untuk balok terkekang lateral dengan
penampang kompak adalah:
Mn Mp Z fy (2.12)
Mp = tahanan momen plastis
Z = modulus plastis
fy = kuat leleh
Gambar 2.13 Tahanan Momen Nominal Penampang Kompak dan Tak Kompak
(Agus Setiawan: 2008).
Tahanan momen nominal pada saat λ < λr adalah:
Mn Mr
fy fr
S (2.13)Dengan:
fy = tahanan leleh
fr = tegangan sisa
S = modulus penampang
Besarnya tegangan sisa untuk penampang gilas panas fr = 70 MPa, dan untuk
Untuk penampang tak kompak dengan nilai λp < λ < λr, maka besarnya
tahanan momen nominal dihitung dengan melakukan interpolasi linear. Langkah
ini menghasilkan persamaan sabagai berikut:
r
p r
p p
p r
r
n M M
M
(2.14)
Dengan:
λ = kelangsingan penampang balok (= b/2tf)
λr ,λp = ditampilkan dalam tabel 7.5-1 Peraturan Baja SNI 03-1729-2002
2.5.3.3 Beban Terpusat pada Balok
Ketika menerima beban terpusat, balok akan mengalami leleh lokal akibat
tegangan tekan yang tinggi diikuti dengan terjadinya tekuk inelastik pada daerah
web yaitu di sekitar lokasi beban terpusat tersebut. Gaya tumpu perlu (Ru) pada
pelat web harus memenuhi:
Ru Rn (2.15)
Dengan:
ϕ = faktor reduksi
Rn = kuat tumpu nominal pelat web akibat beban terpusat
Jika persamaan 2.15 dipenuhi, maka tidak diperlukan pengaku (stiffener) pada
pelat web. Besarnya Ru ditentukan menurut SNI 03-1729-2002 dan ditampilkan
sebagai berikut:
1. Lentur lokal pada flens (flange local buckling)
ϕ = 0,90
tf = tebal pelat sayap yang dibebani gaya tekan tumpu
2. Leleh lokal pada web (local web yielding)
Rn
kN
fywtw (2.17)
d j
d j
5 , 2 5
ϕ = 1,0
k = tebal pelat sayap ditambah jari-jari peralihan (mm)
N = dimensi longitudinal pelat perletakan, minimal sebesar k (mm)
N= panjang dukung ≥ k
k = jarak antara muka sayap terluar ke kaki lengkungan badan
[image:51.595.132.495.395.635.2]R = beban terpusat yang disalurkan ke gelagar
Gambar 2.14 Balok dengan Beban Terpusat (Agus Setiawan: 2008)
u f yf f w w n t t f E t t t
R
5 , 1 2 1 (2.18)
ϕ = 0,75
2 , 0 / : 2 , 0 4 2 , 0 / : 3 2 / 39 , 0 3 ; 2 / 79 , 0 d N bila d N d N bila d N d j d N d j
4. Tekuk web bergoyang (sidesway web buckling)
Gambar 2.15 Tekuk Web Bergoyang (Agus Setiawan: 2008).
Ada dua kondisi pada tekuk web bergoyang:
a. Jika sisi tekan flens dikekang terhadap rotasi pada posisi kerja Ru:
untuk 2,3
Jika 2,3 b f w L b t h
→ Rn→ ∞
b. Jika sisi tekan flens tak dikekang terhadap rotasi
untuk 1,7
b f w L b t h 3 2 3 4 , 0 b f w f w r n L b t h h t t E C R (2.20)
Jika 1,7
b f w L b t h
→ Rn→ ∞
y y r M M untuk M M untuk C : 62 , 1 : 25 , 3
ϕ = 0,85
5. Lentur pada pelat web
n w E fyw
h t
R
3 08 , 24
(2.21)
ϕ = 0,90
2.6 Konsep LRFD pada Balok Komposit
Perencanaan struktur baja dengan metode LRFD mengacu pada penentuan
kekuatan batas penampang. Kekuatan batas penampang komposit bergantung
pada kekuatan leleh dan sifat penampang balok baja, kekuatan pelat beton, dan
kapasitas interaksi alat penyambung geser yang menghubungkan balok dengan
Pengertian yang lebih jelas tentang kelakuan komposit akan diperoleh
dengan baik ketika kekuatan batas sistem komposit dinyatakan dalam kapasitas
momen batas. Penetapan kapasitas momen batas ini juga akan memberi ukuran
faktor keamanan sistem komposit yang lebih tepat. Faktor keamanan yang
sebenarnya adalah rasio kapasitas momen batas dengan momen yang
sesungguhnya bekerja. Pada pembahasan berikut ini, sambungan antara pelat dan
balok dianggap memadai, baik untuk untuk kondisi pelat beton “memadai” atau “tidak memadai” dibanding dengan kapasitas leleh tarik dari balok. Pemindahan
gaya geser juga dianggap terjadi secara sempurna di pertemuan baja-beton.
Untuk penyederhanaan analisis, dibuatlah beberapa asumsi dasar yang
akan membantu perumusan kapasitas momen batas komposit ini. Dalam
penentuan kapasitas momen batas, beton dianggap hanya menerima tegangan
tekan. Walaupun beton juga memiliki kemampuan menahan tegangan tarik dalam
tingkat tertentu yang terbatas, kekuatan tarik beton pada regangan yang terjadi
selama perumusan kapasitas momen plastis ini dapat diabaikan (Salmon: 1995).
(a) (b) (c)
Gambar 2.16 Kuat Lentur Nominal Berdasarkan Distribusi Tegangan Plastis
Penentuan kapasitas momen batas bergantung pada letak garis netral.
Garis netral dapat berpotongan pada pelat beton atau dapat juga berpotongan pada
balok baja. Jika garis netral berpotongan pada pelat beton, maka pelat beton dapat
dikatakan memadai, yang berarti bahwa pelat mampu menahan gaya tekan total.
Jika garis netral berpotongan pada balok baja, maka pelat beton dianggap tidak
memadai, yang berarti bahwa pelat beton hanya mampu menahan sebagian dari
gaya tekan dan sisanya ditahan oleh balok baja.
2.6.1 Garis Netral Berpotongan pada Pelat Beton
Keadaan untuk garis netral yang berpotongan pada pelat ditunjukkan oleh
Gambar 2.11b. Dengan memakai anggapan blok tegangan segi empat Whitney,
yaitu tegangan merata sebesar 0.85f’c yang bekerja sepanjang tinggi a, maka gaya
tekan batas C didapat melalui persamaan:
C 0,85.f'c.beff.a (2.22)
Gaya tarik batas T adalah kekuatan leleh balok kali luasnya:
T As.fy (2.23)
Dengan menyamakan antara harga C dan T maka didapat harga a, yaitu sebesar:
eff c y s
b f
F A a
. ' . 85 , 0
(2.24)
Dengan:
t a
2
2
1
a
t
d
d
(2.25)Dengan demikian didapat kapasitas momen batas Mu menjadi:
Mu C.d1 T.d1 (2.26)
Karena pelat beton dianggap memadai, maka pelat mampu menahan gaya tekan
yang sama dengan kapasitas leleh balok baja penuh. Dengan merumuskan momen
batas sebagai fungsi dari gaya pada baja, diperoleh persamaan:
2
2
.
f
d
t
a
A
M
u s y (2.27)dengan:
C = gaya tekan pada balok baja
f’c = tegangan ijin tekan beton
fy = tegangan leleh baja
beff = lebar efektif pelat
d = tinggi balok baja
t = tebal pelat
Prosedur yang umum ialah menentukan tinggi blok tegangan a dengan Persamaan
2.24, dan jika didapati bahwa a lebih kecil dari tebal pelat t, maka asumsi harus
diubah. Hal ini menyatakan bahwa pelat beton tidak cukup kuat untuk
2.6.2 Garis Netral Berpotongan pada Balok Baja
Pada keadaan dimana didapati bahwa tinggi blok tegangan a yang dihitung
dengan persamaan 2.24 melampaui tebal pelat t, distribusi tegangan akan seperti
diperlihatkan pada Gambar 2.11c. Pada keadaan ini, maka garis netral
berpotongan pada balok baja. Dengan demikian maka gaya tekan batas pada pelat
beton Cc menjadi:
Cc 0,85.f'c.beff.t (2.28)
Gaya tekan pada balok baja yang dihasilkan oleh bagian balok yang berada di atas
garis netral ditunjukkan pada Gambar 2.11c sebagai Cs sebesar:
Cs As'.fy (2.29)
Gaya tarik batas T’ yang sekarang menjadi lebih kecil dari Asfy. Gaya tarik ini
harus sama dengan jumlah gaya-gaya tekan, seperti ditunjukkan persamaan
berikut:
T'Cc Cs (2.30)
Juga diketahui:
T'As.fy Cs (2.31)
Dengan menyamakan Persamaan 2.30 dan 2.31 sebagai berikut:
Cc Cs As.fy Cs (2.32)
Maka diperoleh nilai Cs menjadi:
2
c y s s
C f A
C (2.33)
2
. . ' . 85 ,
0 f b t f
A
Cs s y c eff (2.34)
Dengan menyertakan gaya tekan Cc dan Cs, persamaan kapasitas momen batas Mu
untuk keadaan garis netral yang berpotongan pada balok menjadi:
Mu Cc.d'2Cs.d"2 (2.35)
Dimana d’2 dan d”2 adalah lengan momen seperti ditunjukkan pada Gambar
2.11c.
Pada keadaan garis netral yang berpotongan pada balok, balok baja
dianggap mengalami regangan plastik tarik dan tekan pada keadaan batas. Hal ini
berarti bahwa penampang baja tersebut memenuhi persyaratan penampang
terpadu(compact). Penampang terpadu adalah penampang yang memiliki proporsi
yang memungkinkan penampang tersebut mengembangkan kapasitas momen
plastisnya (Salmon: 1995).
2.7 Alat Penyambung Geser
Sistem komposit, yang dalam hal ini adalah balok komposit, yang
menerima pembebanan akan mengalami gaya geser horisontal yang timbul antara
pelat beton dan balok baja. Gaya geser horisontal ini harus ditahan selama
Gambar 2.17 Alat penyambung geser yang umum (Charles G. Salmon: 1995)
Untuk mengatasinya dibuatlah alat penyambung geser mekanis yang
disambungkan ke puncak balok. Gambar 2.12 menunjukkan berbagai alat
penyambung geser yang umum digunakan.
Untuk mencapai kesatuan pada penampang komposit, alat penyambung
geser harus cukup kaku untuk menghasilkan interaksi penuh seperti ditunjukkan
pada Gambar 2.2c. Kondisi ideal ini akan membutuhkan alat penyambung yang
sangat kuat. Berdasarkan bidang geser balok dengan beban merata seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.13, maka dapat disimpulkan bahwa alat penyambung
geser yang dibutuhkan pada daerah ujung-ujung bentang lebih banyak dari pada
[image:59.595.121.507.89.425.2]Gambar 2.18 Bidang gaya geser untuk beban merata dan distribusi tegangan
geser pada penampang komposit baja-beton (Charles G. Salmon: 1995)
Perhatikan distribusi tegangan geser yang ditunjukkan pada Gambar 2.13b
di mana tegangan v1 harus ditahan oleh sambungan antara pelat dan balok.
Tegangan akibat beban kerja pada balok seperti ditunjukkan pada Gambar 2.13
bervariasi mulai dari nol sampai maksimum di tumpuan. Selanjutnya, tinjaulah
keseimbangan potongan elementer pada balok seperti ditunjukkan pada Gambar
2.14. Gaya geser per satuan jarak sepanjang bentang adalah:
I VQ b
v dx dC
eff
1 (2.36)
Karena itu, jika suatu alat penyambung memiliki kapasitas ijin sebesar q, maka
jarak antara p maksimum untuk menghasilkan kapasitas yang diperlukan adalah:
I VQ
q p
/
Gambar 2.19 Gaya yang diperlukan dari alat penyambung geser pada beban kerja
(Charles G. Salmon: 1995)
Dengan menerapkan konsep kekuatan batas, maka setiap alat penyambung
geser pada momen lentur batas akan memikul bagian yang sama besar dari gaya
tekan maksimum total yang timbul pada pelat beton. Dengan memperhatikan
Gambar 2.13a, maka hal ini berarti bahwa alat penyambung geser diperlukan
untuk memindahkan gaya tekan yang timbul pada pelat beton di tengah bentang
ke balok baja dalam jarak L/2, karena tidak terjadi gaya tekan pada pelat beton di
ujung bentang yang besar momennya nol.
Gaya tekan batas yang harus ditahan oleh alat penyambung geser tidak
bisa melampaui gaya yang dapat dipikul oleh beton:
Cmaks 0,85.f'c.beff.t (2.38)
Atau jika gaya tarik batas di dasar pelat beton lebih kecil dari Cmaks, maka:
Tmaks As.fy (2.39)
Jadi, jika suatu alat penyambung memiliki kapasitas batas qult, jumlah total alat
penyambung N yang diperlukan antara titik momen lentur maksimum dan momen
ult maks
q C
N (2.40)
atau
ult maks
q T
N (2.41)
Nilai yang diambil dari persamaan di atas adalah yang terkecil. Menurut metode
kekuatan batas, jumlah alat penyambung total yang diperlukan disebar merata
sepanjang daerah balok antara titik momen lentur nol dan titik momen lentur
maksimum.
Secara analitis, penentuan kapasitas alat penyambung geser sangat rumit.
Hal ini disebabkan karena alat penyambung geser yang dapat mengalami
perubahan bentuk ketika menerima pembebanan. Demikian juga dengan beton
yang mengelilinginya juga merupakan material yang dapat mengalami perubahan
bentuk. Selanjutnya, besarnya deformasi yang dialami alat penyambung geser
juga bergantung pada faktor-faktor lain, seperti:
- bentuk alat penyambung geser,
- ukuran alat penyambung geser,
- letak alat penyambung geser pada balok,
- letak momen maksimum, dan
- cara pemasangan alat penyambung geser ke sayap atas balok baja.
Selain itu, ada juga alat penyambung geser tertentu yang dapat meleleh
sedemikian rupa pada saat menerima pembebanan. Keadaan ini menimbulkan
gelinciran antara pelat beton dan balok baja. Apabila hal ini terjadi, alat
penyambung geser yang letaknya bersebelahan akan menerima gaya geser