• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Tegangan Lentur Efektif Balok Komposit Dengan Variasi Rasio Ketinggian Pelat Beton Dan Profil Baja Berdasarkan Metode LRFD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisa Tegangan Lentur Efektif Balok Komposit Dengan Variasi Rasio Ketinggian Pelat Beton Dan Profil Baja Berdasarkan Metode LRFD"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA TEGANGAN LENTUR EFEKTIF BALOK KOMPOSIT

DENGAN VARIASI RASIO KETINGGIAN PELAT BETON DAN

PROFIL BAJA BERDASARKAN METODE LRFD

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk Melengkapi Syarat Penyelesaian

Pendidikan Sarjana Teknik Sipil

Disusun Oleh:

JOHN PIRMA SAHATA SITORUS

09 0404 060

Dosen Pembimbing:

Ir. TORANG SITORUS, MT

NIP. 19571012 198601 1 001

BIDANG STUDI STRUKTUR

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

Pada balok non komposit yaitu yang terdiri dari satu jenis material: misalnya baja,

keruntuhan balok akan ditandai oleh terlampauinya tegangan leleh baja tersebut.

Pada balok komposit: misalnya tersusun dari beton dan baja, keruntuhan balok

akan ditandai oleh terlampauinya tegangan leleh pada salah satu material

penyusunnya, pada beton atau baja. Dalam perencanaan struktur balok komposit

perencanaan balok komposit belum memiliki standar yang memperhatikan

keseimbangan persentase tegangan terjadi dari material penyusunnya. Keadaan

ketidakseimbangan ini akan menyebabkan kegagalan struktur komposit akibat

terlampauinya salah satu tegangan leleh material, sekalipun tegangan yang terjadi

pada material yang lain masih jauh dari tegangan lelehnya. Tegangan akibat lentur

yang terjadi pada balok sangat dipengaruhi oleh tinggi penampang. Maka

kesetimbangan tegangan dianalisis melalui rasio ketinggian pelat beton dan balok

baja. Analisis menghasilkan berbagai nilai rasio untuk berbagai kombinasi kuat

tekan beton dan kuat leleh baja. Perencanaan dengan mendekati rasio efektif

untuk kesetimbangan tegangan pada masing-masing material menghasilkan profil

baja yang lebih kecil dengan tebal pelat tetap. Keadaan ini menyebabkan berat

balok yang dihasilkan lebih kecil sehingga dapat menghasilkan desain yang lebih

ekonomis. Metode pelaksanaan dengan perancah lebih baik daripada tanpa

perancah, karena tegangan yang dihasilkan lebih kecil. Hal ini disebabkan aksi

komposit, yang menjadi andalan desain ini, pada metode pelaksanaan tanpa

perancah tidak digunakan secara maksimal, hanya untuk memikul beban hidup

saja. Rata-rata penurunan tegangan yakni sebesar 4,50 %. Dalam pelaksanaan

dengan perancah, disarankan untuk menggunakan perancah pada tengah bentang,

karena metode ini menghasilkan tegangan yang lebih kecil. Hal ini disebabkan

adanya momen negatif yang timbul di tengah bentang sebelum beton mengeras,

yang mengurangi momen terjadi setelah perancah dilepaskan. Rata-rata penurunan

tegangan yakni sebesar 7,34 %.

Kata kunci: balok komposit, tegangan lentur, kesetimbangan tegangan, rasio

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang memimpin

saya dalam setiap proses penyelesaian Tugas Akhir ini sehingga dapat

terselesaikan dengan baik.

Tugas akhir ini merupakan syarat untuk mencapai gelar sarjana Teknik

Sipil bidang studi struktur Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas

Sumatera Utara, dengan judul: Analisa Tegangan Lentur Efektif Balok

Komposit Dengan Variasi Rasio Ketinggian Pelat Beton Dan Profil Baja

Berdasarkan Metode LRFD.

Saya menyadari bahwa selama pengerjaan Tugas Akhir ini, ada banyak

pihak yang terlibat dan mendukung saya hingga Tugas Akhir ini dapat

terselesaikan. Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah mengambil peranan yang

penting, yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan selaku Ketua Departemen Teknik

Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai

Dosen Pembanding yang telah banyak memberikan dukungan selama

proses perkuliahan di Departemen Teknik Sipil dan memberi masukan

untuk perbaikan Tugas Akhir ini.

2. Bapak Ir. Syahrizal, MT selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil

Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Ir. Jeluddin Daud, M. Eng selaku Pembimbing Akademik yang

(4)

4. Bapak Ir. Torang Sitorus, MT selaku Pembimbing Tugas Akhir yang

bersedia menyediakan waktu dan pikiran untuk membimbing,

mengevaluasi, dan mengarahkan saya dari awal penulisan hingga Tugas

Akhir ini dapat terselesaikan.

5. Bapak Ir. Sanci Barus, MT selaku Koordinator Sub. Jurusan Struktur dan

sebagai Dosen Pembanding yang telah memberi masukan untuk perbaikan

Tugas Akhir ini.

6. Bapak/Ibu seluruh staf pengajar Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik

Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh pegawai administrasi Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan selama ini

kepada saya.

8. Untuk segenap keluarga besar, teristimewa untuk Ibunda R. N.

Tampubolon yang memberikan dukungan yang sangat besar secara moril

dan materil, untuk abang dan kakak J. Sitorus/H. Br Siregar, J. Sitorus/H.

Br. Sinurat, R. Sinaga, SE/H. Br. Sitorus, S. Kom, Jadiman Sitorus, Amd.

Kom, Hendranita Sitorus, Amd. Kom, dan saudara kembar Jendro M.

Sitorus, S. Si yang selalu memotivasi, mendukung, mengarahkan, dan

mendoakan selama masa studi sampai pada penyelesaian tugas akhir ini.

Saya menyadari besarnya peranan keluarga dalam pembentukan diri

hingga saya bisa seperti saya saat ini.

9. Untuk rekan-rekan seperjuangan yang sudah saya anggap sebagai saudara:

Ovit, Mariance, Junwesdy, Christian, Antonius, Adi, Maria, Sumihar,

(5)

Hasoloan, Agrifa, Suparta, Edwin, Abraham yang telah banyak membantu

selama masa studi sampai dalam penyelesaian tugas akhir ini.

10. Untuk seluruh rekan-rekan stambuk 2009 yang tidak dapat disebutkan satu

per satu. Rekan-rekan seperjuangan yang telah banyak membantu selama

proses perkuliahan bahkan dalam pengerjaan tugas akhir ini.

11. Adik KK saya Disciple of Christ (Juang Telaumbanua), Reonrefim Jr (Ecy

Damanik, Michael Candra, Luccas Saragih), Aqua La Vida (Astri Lubis,

Fitri Hutagalung, Donald Manik, Reny Linda Kristy), dan Viva La Vida

(Parna Sitanggang dan Jagardo Damanik), juga untuk PKK Roy A.

Pakpahan, ST dan semua rekan sepelayanan di UKM KMK USU UP FT

yang telah mendukung saya dalam doa seiring di pelayanan dan

mengerjakan tugas akhir ini.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan tugas akhir ini masih jauh dari

kata sempurna. Oleh karena itu saya menerima kritik dan saran yang bersifat

membangun dalam penyempurnaan tugas akhir ini.

Akhir kata saya mengucapkan terima kasih dan semoga tugas akhir ini

dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, April 2015

Penulis

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR GRAFIK ... xi

DAFTAR NOTASI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Umum ... 1

1.2 Latar Belakang Masalah ... 3

1.3 Tujuan ... 5

1.4 Batasan Masalah ... 5

1.5 Metodologi ... 6

1.6 Sistematika Pembahasan ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Umum ... 9

2.2 Perkembangan Struktur Komposit ... 9

2.3 Pengenalan Balok Komposit ... 11

2.3.1 Aksi Komposit ... 11

2.3.2 Hubungan Elastis dan Plastis Saat Terjadi Aksi Komposit ... 14

2.3.3 Keuntungan dan Kerugian ... 19

2.3.4 Lebar Efektif ... 21

2.4 Metode Konstruksi Balok Komposit ... 23

2.5 Konsep LRFD dalam Perencanaan Struktur ... 24

2.5.1 Faktor Beban dan Kombinasi Pembebanan ... 26

2.5.2 Faktor Tahanan ... 27

(7)

2.5.3.1 Balok Terkekang Lateral ... 30

2.5.3.2 Desain Balok Terkekang Lateral ... 32

2.5.3.3 Beban Terpusat pada Balok ... 34

2.6 Konsep LRFD pada Balok Komposit ... 37

2.6.1 Garis Netral Berpotongan pada Pelat ... 39

2.6.2 Garis Netral Berpotongan pada Balok ... 41

2.7 Alat Penyambung Geser ... 42

2.8 Lendutan ... 49

BAB III METODE ANALISA DAN APLIKASI ... 52

3.1 Umum ... 52

3.2 Model Penampang ... 52

3.3 Material ... 53

3.3.1 Baja ... 50

3.3.2 Beton ... 57

3.4 Pembebanan ... 58

3.4.1 Beban Mati ... 59

3.4.2 Beban Hidup ... 60

3.5 Prosedur Analisis ... 63

3.5.1 Menentukan Karakteristik Umum Balok Komposit ... 63

3.5.1.1 Menentukan Lebar Efektif ... 63

3.5.1.2 Menentukan Nilai Rasio Modulus ... 64

3.5.1.3 Menentukan Lebar Efektif Ekivalen ... 65

3.5.1.4 Menentukan Letak Garis Netral ... 65

3.5.1.5 Menentukan Momen Inersia Penampang Trasformasi ... 66

3.5.1.6 Menentukan Beban yang Bekerja ... 66

3.6 Menentukan Tegangan untuk Metode Pelaksanaan Tanpa Perancah ... 67

3.6.1 Tahap 1: Pelat Pelat Belum Mengeras ... 67

(8)

3.8 Menentukan Tegangan untuk Metode Pelaksanaan dengan

Perancah di Sepanjang Bentang ... 68

3.9 Menentukan Tegangan untuk Metode Pelaksanaan dengan Perancah di Tengah Bentang ... 69

3.9.1 Tahap 1: Pelat Beton Belum Mengeras ... 69

3.9.2 Tahap 2: Pelat Beton Sudah Mengeras ... 69

3.10 Menentukan Kuat Lentur Nominal ... 70

3.11 Pemeriksaan Lendutan ... 71

3.11.1 Lendutan untuk Metode Konstruksi Tanpa Perancah .... 71

3.11.2 Lendutan untuk Metode Konstruksi dengan Perancah .. 72

3.12 Pemeriksaan Kesetimbangan Tegangan Terjadi ... 73

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 74

4.1 Umum ... 74

4.2 Perhitungan untuk Metode Konstruksi Tanpa Perancah ... 76

4.3 Perhitungan untuk Metode Konstruksi dengan Perancah di Sepanjang Bentang ... 78

4.4 Perhitungan untuk Metode Konstruksi dengan Perancah di Tengah Bentang ... 80

4.5 Rekapitulasi Hasil Perhitungan ... 83

4.6 Tinjauan Hasil Perhitungan ... 87

4.6.1 Tinjauan Nilai Rasio Efektif (t/H) untuk Perancah di Sepanjang Bentang ... 88

4.6.2 Tinjauan Nilai Rasio Efektif (t/H) untuk Perancah di Tengah Bentang ... 90

4.7 Aplikasi dalam Perencanaan ... 94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 98

5.1 Kesimpulan ... 98

5.2 Saran ... 99

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pengaruh Aksi Komposit Pada Balok Baja-Beton ... 18

Tabel 2.2 Faktor Tahanan... 28

Tabel 3.1 Sifat Mekanis Baja Struktural ... 56

Tabel 3.2 Nilai Modulus Elastisitas Beton ... 58

Tabel 3.3 Berat Sendiri Bahan Bangunan dan Komponen Gedung ... 60

Tabel 3.4 Beban Hidup Pada Lantai Gedung ... 62

Tabel 3.5 Nilai Rasio Modulus n untuk Perencanaan Praktis ... 65

Tabel 3.6 Batas Lendutan Maksimum ... 73

Tabel 4.1 Rasio Efektif (t/H) untuk Perancah di Sepanjang Bentang ... 83

Tabel 4.2 Rasio Efektif (t/H) untuk Perancah di Tengah Bentang... 85

Tabel 4.3 Perbandingan Desain Balok dengan Beberapa Kondisi untuk Perancah di Sepanjang Bentang ... 88

Tabel 4.4 Perbandingan Desain Balok dengan Beberapa Kondisi untuk Perancah di Tengah Bentang ... 90

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Macam-Macam Struktur Komposit ... 2

Gambar 2.1 Keadaan Balok dengan dan Tanpa Aksi Komposit yang Melendut Akibat Beban Vertikal ... 12

Gambar 2.2 Variasi Regangan pada Balok Komposit ... 14

Gambar 2.3 Penampang Balok Beton dengan Diagram Tegangan ... 15

Gambar 2.4 Distribusi Tegangan Profil Baja Hingga Mencapai Keadaan Plastis ... 15

Gambar 2.5 Pengaruh Penghubung Geser Terhadap Tegangan Lentur dan Geser ... 16

Gambar 2.6 Perbandingan Respon Baja-Beton Dengan Aksi Komposit dan Tanpa Aksi Komposit ... 17

Gambar 2.7 Distribusi Tegangan Plastis dengan Aksi Komposit ... 19

Gambar 2.8 Distribusi Tegangan Tekan σx yang Tidak Merata dan Lebar Efektif be ... 22

Gambar 2.9 Lebar Efektif Struktur Komposit ... 20

Gambar 2.10 Modulus Penampang Berbagai Tipe Profil Simetri ... 30

Gambar 2.11 Distribusi Tegangan pada Level Beban Kerja ... 31

Gambar 2.12 Diagram Tegangan-Regangan Material Baja ... 31

Gambar 2.13 Tahanan Momen Nominal Penampang Kompak dan Tak Kompak ... 33

Gambar 2.14 Balok dengan Beban Terpusat ... 35

Gambar 2.15 Tekuk Web Bergoyang ... 36

Gambar 2.16 Kuat Lentur Nominal Berdasarkan Distribusi Tegangan Plastis . 38 Gambar 2.17 Alat Penyambung Geser yang Umum ... 43

Gambar 2.18 Bidang Gaya Geser untuk Beban Merata dan Distribusi Tegangan Geser pada Penampang Komposit Baja-Beton ... 44

Gambar 2.19 Gaya yang Diperlukan dari Alat Penyambung Geser pada Beban Kerja ... 45

(11)

Gambar 2.21 Papan yang Diletakkan sebagai Titian ... 50

Gambar 3.1 Model Penampang Analitis ... 52

Gambar 3.2 Kurva Tegangan Tegangan (f) – Regangan (ε) ... 54

Gambar 3.3 Bagian Kurva Tegangan – Regangan yang Diperbesar ... 55

Gambar 3.4 Diagram Tegangan pada Sistem Balok Komposit ... 64

Gambar 3.5 Simbol untuk Beberapa Variabel Penampang... 71

Gambar 4.1 Penampang Balok Komposit ... 74

Gambar 4.2 Balok Komposit Bentang 8m dan Potongan Melintang Penampang ... 94

Gambar 4.3 Diagram Tegangan yang Terjadi pada Profil WF ... 96

(12)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1 Rasio Efektif (t/H) untuk Perancah di Sepanjang Bentang ... 84

(13)

DAFTAR NOTASI

As luas penampang profil baja

bf lebar profil baja

beff lebar efektif balok komposit

C gaya tekan

cx, cy jarak dari titik berat ke tepi serat arah x dan y

D beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen,

termasuk dinding, lantai, atap, plafon, partisi tetap, tangga, dan

peralatan layan tetap

d tinggi profil baja

ds diameter stud

Δ lendutan

E beban gempa

Ec modulus elastisitas beton

Es modulus elastisitas baja

ε regangan

εsb regangan saat mulai terjadi efek strain-hardening (penguatan

regangan)

εu regangan saat tercapainya tegangan putus

f’c kuat tekan beton

fc tegangan yang terjadi pada beton

fe tegangan batas elastis

fsb tegangan pada serat bawah profil baja

fp tegangan batas proporsional

fu tegangan putus

fy tegangan leleh baja

fyu tegangan leleh atas

G modulus geser

γ faktor beban

(14)

H tinggi alat penyambung stud

I inersia penampang

Ix, Iy momen inersia arah x dan y

k tebal pelat sayap ditambah jari-jari peralihan

k jarak antara muka sayap terluar ke kaki lengkungan badan

L beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung,

termasuk kejut, tetapi tidak termasuk beban lingkungan seperti

angin, hujan, dan lain-lain

L panjang bentang balok

La beban hidup di atap yang ditimbulkan selama perawatan oleh

pekerja, peralatan, dan material, atau selama penggunaan biasa

oleh orang dan benda bergerak

λ kelangsingan penampang balok (= b/2tf)

M momen yang terjadi

Mn momen nominal

Mu momen lentur akibat beban terfaktor

Mx, My momen lentur arah x dan y

N panjang dukung/dimensi longitudinal pelat perletakan

n rasio modulus =

c s E E

ϕ faktor tahanan

ϕb faktor tahanan momen lentur = 0,90

Q beban yang harus dipikul struktur

qD beban mati

qult kapasitas alat penyambung

Rn kekuatan nominal struktur

Sx, Sy modulus penampang arah x dan y

T gaya tekan

t tebal pelat

tf tebal sayap profil baja

tw tebal badan profil baja

(15)

v tegangan geser

W beban angin

Wx momen tahanan

wb berat bekisting per satuan luas

wc berat jenis beton

ws berat jenis baja

y tinggi serat dari garis netral

(16)

ABSTRAK

Pada balok non komposit yaitu yang terdiri dari satu jenis material: misalnya baja,

keruntuhan balok akan ditandai oleh terlampauinya tegangan leleh baja tersebut.

Pada balok komposit: misalnya tersusun dari beton dan baja, keruntuhan balok

akan ditandai oleh terlampauinya tegangan leleh pada salah satu material

penyusunnya, pada beton atau baja. Dalam perencanaan struktur balok komposit

perencanaan balok komposit belum memiliki standar yang memperhatikan

keseimbangan persentase tegangan terjadi dari material penyusunnya. Keadaan

ketidakseimbangan ini akan menyebabkan kegagalan struktur komposit akibat

terlampauinya salah satu tegangan leleh material, sekalipun tegangan yang terjadi

pada material yang lain masih jauh dari tegangan lelehnya. Tegangan akibat lentur

yang terjadi pada balok sangat dipengaruhi oleh tinggi penampang. Maka

kesetimbangan tegangan dianalisis melalui rasio ketinggian pelat beton dan balok

baja. Analisis menghasilkan berbagai nilai rasio untuk berbagai kombinasi kuat

tekan beton dan kuat leleh baja. Perencanaan dengan mendekati rasio efektif

untuk kesetimbangan tegangan pada masing-masing material menghasilkan profil

baja yang lebih kecil dengan tebal pelat tetap. Keadaan ini menyebabkan berat

balok yang dihasilkan lebih kecil sehingga dapat menghasilkan desain yang lebih

ekonomis. Metode pelaksanaan dengan perancah lebih baik daripada tanpa

perancah, karena tegangan yang dihasilkan lebih kecil. Hal ini disebabkan aksi

komposit, yang menjadi andalan desain ini, pada metode pelaksanaan tanpa

perancah tidak digunakan secara maksimal, hanya untuk memikul beban hidup

saja. Rata-rata penurunan tegangan yakni sebesar 4,50 %. Dalam pelaksanaan

dengan perancah, disarankan untuk menggunakan perancah pada tengah bentang,

karena metode ini menghasilkan tegangan yang lebih kecil. Hal ini disebabkan

adanya momen negatif yang timbul di tengah bentang sebelum beton mengeras,

yang mengurangi momen terjadi setelah perancah dilepaskan. Rata-rata penurunan

tegangan yakni sebesar 7,34 %.

Kata kunci: balok komposit, tegangan lentur, kesetimbangan tegangan, rasio

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Umum

Ilmu pengetahuan terus mengalami peningkatan. Peningkatan ini terjadi

yaitu dengan semakin tingginya kualitas ilmu pengetahuan itu sendiri (secara

vertikal), maupun dengan semakin banyaknya inovasi yang bermunculan pada

satu bidang ilmu tertentu (secara horizontal). Peningkatan ini tidak lepas dari

kenyataan kebutuhan manusia yang semakin hari semakin kompleks, juga dari

segi mutu dan jumlah.

Teknik Sipil mengambil peran strategis dalam perkembangan peradaban

(civilization) manusia. Perkembangan dalam bidang ilmu Teknik Sipil akan

berpengaruh secara signifikan bagi kondisi peradaban manusia. Dalam dunia

konstruksi, kebutuhan terutama dalam hal kekuatan struktur yang dipengaruhi

pertambahan beban karena pertumbuhan jumlah manusia. Di sisi lain, kekuatan

ini pun harus tetap memenuhi kebutuhan efisiensi pemakaian material.

Perkembangan dalam bidang konstruksi diantaranya pada perencanaan

dengan menggunakan sistem komposit. Sistem ini memungkinkan perencanaan

yang akan menghasilkan kekuatan struktur yang semakin baik dan pemakaian

material dengan lebih efisien.

Struktur komposit (composite) merupakan struktur yang terdiri dari dua

material atau lebih dengan sifat bahan yang berbeda dan membentuk satu

(18)

komposit sudah diterapkan pada berbagai elemen bangunan gedung,

diantaranya elemen pelat lantai, struktur kolom, sampai pondasi.

Umumnya stuktur komposit dapat berupa:

1. Kolom baja terbungkus beton / balok baja terbungkus beton (Gambar

1.1a/d).

2. Kolom baja berisi beton/tiang pancang (Gambar 1.1b/c).

3. Balok baja yang menahan pelat beton (Gambar 1.1e).

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 1.1 Macam-macam Struktur Komposit

Perencanaan komposit mengasumsi bahwa baja dan beton bekerja sama

dalam memikul beban yang bekerja, sehingga akan menghasilkan desain

profil/elemen yang lebih ekonomis (Alfin: 2013). Di samping itu struktur

komposit juga mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya adalah lebih kuat

(19)

1.2 Latar Belakang Masalah

Pada balok non komposit yaitu yang terdiri dari satu jenis material:

misalnya baja, keruntuhan balok akan ditandai oleh terlampauinya tegangan leleh

baja tersebut. Pada balok komposit: misalnya tersusun dari beton dan baja,

keruntuhan balok akan ditandai oleh terlampauinya tegangan leleh pada salah satu

material penyusunnya, pada beton atau baja.

Perhatikan contoh hasil perencanaan balok komposit yang terdiri dari

beton (pelat atas) dan profil baja berikut ini:

Contoh 1 Hasil Perencanaan:

 t = 12 cm

 d = 45 cm

 b = 150 cm

f’c = 20 MPa

 fy = 250 Mpa

Dari hasil perencanaan ini didapati bahwa tegangan yang terjadi pada

material beton (fc) adalah 2,06 MPa atau sebesar 10,3% dari nilai f’c.

Sementara itu tegangan yang terjadi pada serat bawah material baja (fsb)

(20)

Contoh 2 Hasil Perencanaan:

 t = 10 cm

 d = 30 cm

 b = 25 cm

f’c = 20 MPa

 fy = 240 MPa

Tegangan yang terjadi pada material beton (fc) adalah 5,32 MPa atau

sebesar 26,6% dari nilai f’c. Sementara itu tegangan yang terjadi pada

serat bawah material baja (fsb) adalah 192,15 MPa atau sebesar 80,6% dari

nilai fy.

Dari kedua contoh hasil perencanaan di atas didapat bahwa perencanaan

balok komposit belum memiliki standar yang memperhatikan keseimbangan

persentase tegangan terjadi dari material penyusunnya. Keadaan

ketidakseimbangan ini akan menyebabkan kegagalan struktur komposit akibat

terlampauinya salah satu tegangan leleh material, sekalipun tegangan yang terjadi

pada material yang lain masih jauh dari tegangan lelehnya. Karena itu sangat baik

dalam perencanaan balok komposit untuk memiliki keseimbangan tegangan yang

terjadi pada masing-masing material penyusunnya untuk memaksimalkan

kekuatan balok.

Tegangan akibat lentur yang terjadi pada balok sangat dipengaruhi oleh

(21)

I y M.

 

dimana:

σ = Tegangan lentur

M = Momen yang terjadi

y = Tinggi serat dari garis netral

I = Inersia penampang

Atas dasar hal tersebut di atas, maka tugas akhir ini akan memeriksa tegangan

yang terjadi pada material dengan variasi ketinggian penampang.

1.3 Tujuan

Tujuan dari penulisan tugas akhir ini adalah untuk mengetahui rasio efektif

perencanaan balok komposit untuk mendapatkan persentase tegangan terjadi yang

relatif sama pada masing-masing material.

1.4 Batasan Masalah

Pada analisa ini, penulis membatasi permasalahan untuk penyederhanaan

(22)

1. Balok komposit terbuat dari baja dengan fy = 210 MPa, 240 MPa, 250 MPa,

290 MPa, 410 MPa dan beton dengan f’c = 20 MPa, 25 MPa, 30 MPa, 35 MPa,

40 MPa.

2. Dimensi profil baja diambil pada b = 200 mm dan beff = 3000 mm.

3. Pembebanan diambil untuk perencanaan bangunan gedung.

4. Penghubung geser dianggap tersedia dengan baik untuk komposit penuh.

5. Analisa akan dilakukan untuk metode pelaksanaan dengan perancah dan tanpa

perancah.

1.5 Metodologi

Metode yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini adalah dengan

analisa yang didasarkan teori perencanaan balok komposit menurut metode LRFD

(Load Resistence Factor Design) dan disesuaikan dengan Standar Nasional

Indonesia.

1.6 Sistematika Pembahasan

Sistem penulisan tugas akhir ini adalah dengan mengumpulkan berbagai

teori, keterangan, maupun data yang berkaitan dengan perencanaan balok

komposit serta dengan berbagai saran dari dosen pembimbing.

Sistematika ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara umum

(23)

Penulisan tugas akhir ini dilakukan dengan mengikuti sistematika

pembahasan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, tujuan

penelitian, batasan masalah, metodologi penelitian, dan

sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang pengenalan sifat material beton

dan baja, teori aksi komposit, dan teori perencanaan

balok komposit dengan mengacu pada metode Load

Resistence Factor Design.

BAB III : METODE ANALISA & APLIKASI

Bab ini berisi persamaan-persamaan, standar acuan

perencanaan, dan standar pembebanan yang digunakan

dalam perencanaan balok komposit.

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang tampilan proses analisa dan

hasilnya berupa rasio penampang balok komposit yang

ideal berdasarkan tegangan yang seimbang pada

masing-masing material penyusun balok komposit.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran yang dapat

(24)

berfokus pada perencanaan balok komposit yang lebih

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

Balok komposit adalah balok yang terdiri dari dua atau lebih material yang

bekerja sama dalam memikul beban kerja. Material yang digunakan

bermacam-macam, seperti beton, baja, aluminium, juga kayu. Berbagai bahan ini

dikombinasi dengan memperhatikan sifat-sifat unggul masing-masing material

tersebut sehingga diperoleh sistem balok dengan sifat yang lebih baik dari sifat

masing-masing material penyusunnya. Sebagai catatan, balok yang dibuat dari

material sama tetapi dengan kekuatan berbeda juga dikategorikan sebagai balok

komposit.

Pada penampang non komposit, pelat beton akan mengalami lendutan

yang cukup besar. Hal ini disebabkan oleh besarnya beban yang harus dipikul oleh

pelat beton tersebut. Komponen struktur komposit dapat menahan beban sekitar

33%-50% lebih besar daripada beban yang dapat dipikul oleh balok baja saja

tanpa adanya perilaku komposit (Setiawan: 2008).

2.2 Perkembangan Struktur Komposit

Perkembangan struktur balok komposit tidak terlepas dari perkembangan

bidang industri, khususnya dalam hal teknik pengelasan. Kerangka baja yang

(26)

biasanya direncanakan dengan anggapan bahwa pelat beton dan balok baja

bekerja secara terpisah dalam menahan beban.

Pengaruh komposit dari baja dan beton yang bekerja sama dahulu tidak

diperhitungkan. Pengabaian ini didasarkan pada alasan bahwa lekatan antara

lantai atau pelat beton dan puncak balok baja tidak dapat diandalkan. Namun,

dengan berkembangnya teknik pengelasan, pemakaian alat penyambung geser

makanis menjadi praktis untuk menahan gaya geser horisontal yang timbul pada

bidang kontak pelat lantai beton dan balok baja ketika batang terlentur.

Sejak awal abad 19, balok baja yang dicor dalam beton banyak digunakan.

Balok seperti model tersebut direncanakan secara komposit, sedangkan untuk

bentuk model yang lain tidak direncanakan secara komposit. Pada awal dekade

1930, konstruksi jembatan sudah mulai menggunakan penampang komposit.

Meskipun baru pada tahun 1944 dikeluarkan secara resmi peraturan oleh

AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Officials)

tentang spesifikasi jembatan jalan raya dengan struktur komposit.

Pada sekitar tahun 1950, penggunaan lantai jembatan komposit mulai

berkembang dengan pesat (terutama di Amerika). Pada jembatan ini gaya geser

longitudinal ditransfer dari balok baja kepada pelat beton bertulang dengan

menggunakan penghubung geser. Hal ini mengakibatkan pelat beton tersebut akan

turut membantu memikul momen lentur yang timbul. Sebelum awal dekade 1960,

pemakaian konstruksi komposit masih dipandang tidak ekonomis. Namun pada

1979, konstruksi sudah memanfaatkan aksi komposit pada hampir semua keadaan

di mana baja dan beton saling melekat, baik pada jembatan maupun gedung

(27)

2.3 Pengenalan Balok Komposit

Balok komposit adalah balok yang terdiri dari dua atau lebih material yang

bekerja sama dalam memikul beban kerja. Berbagai material yang digunakan

untuk balok komposit hanya akan berfungi sebagai komposit jika adanya interaksi

diantara material tersebut pada bidang kontaknya. Interaksi ini dimungkinkan

dengan keberadaan suatu alat bantu yang dinamakan penghubung geser. Interaksi

ini berupa gaya geser yang disebut sebagai aksi komposit.

2.3.1 Aksi Komposit

Aksi komposit timbul bila dua batang struktural pemikul beban disambung

secara integral dan melendut secara satu kesatuan. Perilaku komposit dapat

dipahami dengan terlebih dahulu meninjau balok yang tidak komposit seperti

diperlihatkan pada Gambar 2.1a.

Pada keadaan tidak komposit ini, jika gesekan antara plat beton dan profil

baja diabaikan, balok dan pelat memikul beban secara terpisah (perhatikan

Gambar.2.2a). Ketika struktur mengalami deformasi akibat beban vertikal,

permukaan bawah plat akan tertarik dan memanjang sedang permukaan atas profil

akan tertekan dan memendek. Jadi, pada bidang kontak antara pelat beton dan

profi baja terjadi diskontinuitas. Karena gaya gesekan diabaikan, maka hanya

(28)

(a) Balok non-komposit (b) Balok komposit

Gambar 2.1 Keadaan balok dengan dan tanpa aksi komposit yang melendut

akibat beban vertikal (Charles G. Salmon: 1995)

Pada sistem yang bekerja secara komposit seperti diperlihatkan pada

Gambar 2.1b, Gambar 2.2b dan 2.2c, pelat dan balok tidak akan menggelincir

relatif satu dengan yang lain. Terjadi gaya geser pada bidang kontak antara plat

beton dan profil baja. Gaya ini menyebabkan permukaan bawah pelat tertekan dan

memendek, sementara pada saat yang sama gaya horisontal tersebut membuat

permukaan atas profil baja tertarik dan memanjang.

Dengan memperhatikan distribusi regangan yang terjadi bila tidak ada

interaksi antara pelat beton dan profil baja seperti diperlihatkan Gambar 2.2a,

maka momen perlawanan total dapat dinyatakan dengan persamaan seperti berikut

ini.

MMpelatMbalok (2.1)

Pada kondisi ini terdapat dua garis netral, yang pertama pada titik berat

(29)

penggelinciran horisontal akibat tarikan pada dasar pelat dan tekanan pada

permukaan atas balok.

Aksi komposit yang bekerja tidak selalu sempurna. Tetap ada keadaan

dimana aksi komposit yang bekerja hanya sebagian (parsial). Pada keadaan yang

hanya memiliki interaksi parsial seperti pada Gambar 2.2b, terjadi pergeseran

garis netral pada masing-masing bahan. Garis netral pelat bergeser mendekati

beton, sebaliknya garis netral beton bergeser mendekati pelat. Dengan keberadaan

interaksi parsial, terjadi pengurangan penggelinciran horisontal antara pelat dan

balok. Interaksi parsial ini juga menimbulkan gaya tekan dan tarik parsial C’ dan

T’ yakni kapasitas maksimum masing-masing pelat beton dan balok baja.

Sehingga, momen penahan pada penampang sekarang meningkat sebesar T’e’

atau C’e’.

Untuk kondisi interaksi penuh, maka tidak terjadi penggelinciran antara

pelat dan balok. Diagram regangan diperlihatkan pada Gambar 2.2c. Pada kondisi

ini, garis netral hanya satu, garis netral gabungan yang terletak di atas garis netral

balok dan di bawah garis netral pelat. Pada kenyataannya, semua penghubung

geser tetap memiliki kelemahan sehingga tetap saja terjadi pergeseran meskipun

sangat kecil. Oleh karena itu, interaksi parsial tetap yang terjadi (Yam: 1981).

Dalam analisa perencanaan, pergeseran ini sering diabaikan sehingga

perencanaan diambil untuk keadaan komposit penuh. Gaya tekan C’’ dan gaya tarik T’’ yang timbul juga lebih besar dari gaya tekan C’ dan gaya tarik T’ yang timbul pada interaksi parsial. Sehingga, momen penahan yang timbul pada

penampang komposit penuh, yaitu:

(30)
[image:30.595.151.496.85.405.2]

Gambar 2.2 Variasi regangan pada balok komposit (Charles G. Salmon: 1995)

Dengan sifat beton yang sangat baik dalam memikul tekan sementara baja

sangat baik dalam memikul tarik, maka aksi komposit dengan melibatkan

penghubung geser ini terbukti dapat memaksimalkan kekuatan masing-masing

material sehingga didapat balok dengan sifat yang lebih baik.

2.3.2 Hubungan Elastis dan Plastis Saat Terjadi Aksi Komposit

Aksi komposit hanya terjadi ketika dipenuhi dua syarat, yaitu: penghubung

geser telah terpasang dengan baik pada sayap atas profil baja dan pelat beton

(31)

tegangan-tegangan pada material penyusun balok, baik pada pelat beton maupun

pada balok baja.

Jika penghubung geser tidak dipasang pada profil baja sehingga aksi

komposit tidak bekerja, maka masing-masing material akan mengalami distribusi

tegangan secara terpisah sesuai dengan perilaku material tersebut hingga

[image:31.595.119.502.477.622.2]

mencapai keadaan plastisnya.

Gambar 2.3 Penampang Balok Beton dengan Diagram Tegangan (Vis: 1994)

Gambar 2.4 Distribusi Tegangan Profil Baja pada Level Beban Bekerja

(32)

Penghubung geser yang dipasang pada sayap atas profil baja akan

membuat kedua material bekerja bersama. Keadaan ini akan menghasilkan garis

netral yang baru untuk keseluruhan sistem komposit. Gambar berikut ini

menunjukkan perbedaan diagram tegangan lentur dan geser dengan penghubung

[image:32.595.182.443.254.640.2]

geser dan tanpa penghubung geser.

Gambar 2.5 Pengaruh Penghubung Geser Terhadap Tegangan Lentur dan Geser

(33)

Keadaan diagram tegangan dengan garis netral yang baru ini akan tetap

berlangsung untuk pembebanan yang terus bertambah sampai struktur komposit

[image:33.595.115.516.197.475.2]

mencapai keadaan plastisnya.

Gambar 2.6 Perbandingan Respon Baja-Beton Dengan Aksi Komposit dan Tanpa

Aksi Komposit (ESDEP: 2015)

(34)
[image:34.595.107.518.106.709.2]

Tabel 2.1 Pengaruh Aksi Komposit Pada Balok Baja-Beton

Balok Baja-Beton

Diagram Tegangan

Keadaan Elastis Keadaan Plastis

Tanpa Aksi Komposit

Dengan Aksi Komposit

Garis Netral Pada

Pelat Beton

Garis Netral Pada

(35)

(a) (b) (c)

Gambar 2.7 Distribusi Tegangan Plastis dengan Aksi Komposit

(Agus Setiawan: 2008)

2.3.3 Keuntungan dan Kerugian

Sifat yang lebih unggul akibat kerja aksi komposit secara nyata

memberikan berbagai keuntungan. Penggunaan sistem komposit dalam desain

struktur dapat memberi keuntungan sebagai berikut (Salmon: 1995):

a. Penghematan berat baja

b. Penampang balok baja dapat lebih rendah

c. Kekakuan lantai meningkat

d. Panjang bentang untuk batang tertentu dapat lebih besar

e. Kapasitas pemikul beban meningkat

Reduksi berat sekitar 20-30% dapat diperoleh dengan memanfaatkan

perilaku sistem komposit penuh. Dengan adanya reduksi berat ini maka secara

langsung juga dapat mengurangi tinggi profil baja yang dipakai. Hal ini

(36)

pada penghematan pemakaian material bangunan, terutama untuk dinding luar dan

tangga.

Lantai komposit memiliki kekakuan yang lebih besar dari kekakuan lantai

beton dengan balok penyanggahnya bekerja secara terpisah. Biasanya pelat beton

bekerja sebagai pelat satu arah yang membentang antara balok-balok baja

penyanggah. Pada lantai dengan balok penyanggah bekerja sebagai sistem

komposit, aksi pelat beton dalam arah sejajar balok dimanfaatkan dan

digabungkan dengan balok baja penyanggah. Hal ini mengakibatkan momen

inersia konstruksi lantai dalam arah balok baja meningkat secara signifikan.

Kekakuan yang meningkat ini banyak berpengaruh pada pengurangan lendutan

akibat beban hidup. Pada keadaan elastis, kekakuan balok komposit bisa mencapai

dua sampai tiga kali lebih kaku daripada kekakuan balok non-komposit (Gaylord:

1972).

Jika perancah diberikan selama proses pembangunan, kekakuan yang

meningkat ini juga dapat mengurangi lendutan akibat beban mati. Pada kondisi

aksi komposit penuh, kekuatan penampang jauh lebih besar dari jumlah kekuatan

pelat dan balok penyanggah yang bekerja secara terpisah sehingga menimbulkan

adanya kapasitas cadangan yang tinggi.

Selain berbagai keuntungan yang bisa didapat dari sistem komposit di atas,

juga ada beberapa hal yang harus jadi pertimbangan dalam merencanakan balok

komposit (Salmon: 1995), yaitu:

a. Pengaruh kontinuitas, karena hanya bagian pelat beton tertekan yang

dianggap efektif sehingga pada daerah momen negatif pada balok menerus

(37)

b. Lendutan jangka panjang, jika sistem komposit memikul sebagian besar

beban hidup atau jika beban hidup terus bekerja dalam waktu lama.

2.3.4 Lebar Efektif

Konsep lebar efektif sangat berguna dalam proses desain suat komponen

struktur, terutama ketika proses desain harus dilakukan terhadap suatu elemen

yang mengalami distribusi tegangan yang tidak seragam, seperti pada balok

komposit. Untuk memahami konsep lebar efektif, tinjaulah penampang komposit

dengan lebar pelat tidak berhingga yang mengalami tegangan seperti Gambar 2.3.

Intensitas tegangan tekan maksimum terjadi di atas balok baja, kemudian menurun

secara tidak linear sampai pada serat terluar pelat bila jarak tepi pelat ke balok

penyanggah membesar.

Lebar efektif sayap untuk balok komposit dapat diambil sebesar

bEbf 2b' (2.3)

(38)
[image:38.595.129.499.86.495.2]

Gambar 2.8 Distribusi tegangan tekan σx yang tidak merata dan lebar efektif bE

(Charles G. Salmon: 1995)

Besarnya lebar efektif dari suatu komponen struktur komposit dapat

ditentukan sesuai dengan SNI 03-1729-2002 tentang Tata Cara Perencanaan

Struktur Baja untuk Bangunan Gedung pasal 12.4.1 sebagai berikut:

1. Untuk balok-balok interior:

4

(39)

o

E b

b

2. Untuk balok-balok eksterior:

8

L

bE  + (jarak pusat balok ke tepi pelat)

o

E b

b

2 1

 + (jarak pusat balok ke tepi pelat)

Lebar efektif yang dipakai dipilih yang terkecil.

Gambar 2.9 Lebar Efektif Struktur Komposit (Agus Setiawan: 2008)

2.4. Metode Konstruksi Balok Komposit

Perancangan balok komposit disesuaikan dengan metode pelaksanaan yang

digunakan di lapangan. Tegangan yang terjadi akibat beban pada balok komposit

bergantung pada cara pelaksanaan (konstruksi) balok tersebut. Ada dua metode

yang biasanya digunakan dalam pelaksanaan di lapangan, yaitu dengan

pendukung (perancah) dan/atau tanpa pendukung. Perancah sementara adalah

(40)

diletakkan pada interval tertentu di sepanjang bentang balok dan diantara

perletakan tetap balok (Smith: 1991).

Pada metode konstruksi tanpa perancah, balok baja akan mendukung beban

mati primer selama beton belum mengeras. Konstruksi ini adalah metode

pelaksanaan yang paling sederhana. Konstruksi dimulai dengan meletakkan balok

baja yang akan dipakai untuk menyanggah atau mendukung bekisting pelat beton.

Dalam hal ini balok baja yang bekerja secara tidak komposit (yakni berdiri

sendiri) memikul berat bekisting, beton basah, dan beratnya sendiri. Setelah beton

mengering dan perancah dilepaskan, maka aksi komposit mulai bekerja pada

balok. Semua beban mati dan beban hidup yang bekerja setelah perancah dilepas,

dipikul oleh balok yang telah bekerja secara komposit ini.

Untuk metode konstruksi dengan perancah, selama beton belum mengeras,

beban mati primer akan dipikul oleh pendukung sementara. Dalam hal ini

perancah akan memikul balok baja, bekisting, dan beton basah sehingga tidak ada

tegangan yang terjadi pada balok baja selama beton belum mengeras dan sebelum

perancah dilepaskan. Setelah beton mengeras dan penunjang dilepas, maka aksi

komposit akan bekerja pada balok komposit untuk memikul seluruh beban, baik

beban mati maupun beban hidup (Salmon: 1995).

2.5 Konsep LRFD dalam Perencanaan Struktur

Dua filosofi yang sering digunakan dalam perencanaan struktur baja

adalah perencanaan tegangan kerja/working stress design (Allowable Stress

(41)

Resistance Factor Design/LRFD). Metode ASD dalam perencanaan struktur baja

telah digunakan dalam kurun waktu kurang lebih 100 tahun. Dan dewasa ini,

prinsip perencanaan struktur baja mulai beralih kepada konsep LRFD yang jauh

lebih rasional dengan berdasarkan pada konsep probabilitas.

Penelitian yang dilakukan terhadap kedua metode ini dengan meninjau

penggunaan penghubung geser menunjukkan bahwa perencanaan dengan

menggunakan metode LRFD lebih baik daripada metode ASD. Dari hasil

penelitian, didapati bahwa penghematan penggunaan penghubung geser dengan

metode LRFD dari segi jumlah penghubung geser maupun jarak penghubung

geser rata-rata mencapai 25-30%. Dengan penghematan yang diperoleh maka

penggunaan metode ASD sudah dapat ditinggalkan dan diganti dengan

merencanakan menggunakan metode LRFD (Marsiono: 2009).

Dalam metode LRFD tidak diperlukan analisa probabilitas secara penuh,

terkecuali untuk situasi-situasi yang tidak umum yang tidak diatur dalam

peraturan. Secara umum, suatu struktur dikatakan aman apabila memenuhi

persyaratan sebagai berikut:

Rn iQi (2.4)

Persamaan kiri dari persamaan 2.4 di atas menggambarkan tahanan atau

kekuatan dari sebuah komponen atau sistem struktur. Sedangkan bagian kanan

persamaan menggambarkan beban yang harus dipikul struktur tersebut.

Jika tahanan nominal Rn dikalikan suatu faktor tahanan ϕ maka akan

diperoleh tahanan rencana. Namun demikian, berbagai macam beban (beban mati,

(42)

dikalikan dengan suatu faktor beban γi untuk mendapatkan jumlah beban terfaktor ∑γiQi (Setiawan: 2008).

2.5.1 Faktor Beban dan Kombinasi Beban

Dalam persamaan 2.4 di atas terlihat dengan jelas bahwa tahanan rencana

harus melebihi jumlah dari beban-beban kerja dikalikan dengan suatu faktor

beban. Penjumlahan beban-beban kerja ini yang dinamakan sebagai kombinasi

pembebanan. Menurut peraturan baja Indonesia, SNI 03-1729-2002 pasal 6.2.2

mengenai kombinasi pembebanan, dinyatakan bahwa dalam perencanaan suatu

struktur baja haruslah diperhatikan jenis-jenis kombinasi pembebanan yang

ditetapkan sebagai berikut:

a. 1,4D (2.4-1)

b. 1,2D + 1,6L + 0,5(Laatau H) (2.4-2)

c. 1,2D + 1,6(Laatau H) + (γL .L atau 0,8W) (2.4-3)

d. 1,2D + 1,3W + γL .L + 0,5(Laatau H) (2.4-4)

e. 1,2D ± 1,0E + γL .L (2.4-5)

f. 0,9D ± (1,3W atau 1,0E) (2.4-6)

Keterangan:

D adalah beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen,

termasuk dinding, lantai, atap, plafon, partisi tetap, tangga, dan peralatan

(43)

L adalah beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung, termasuk

kejut, tetapi tidak termasuk beban lingkungan seperti angin, hujan, dan

lain-lain

La adalah beban hidup di atap yang ditimbulkan selama perawatan oleh

pekerja, peralatan, dan material, atau selama penggunaan biasa oleh orang

dan benda bergerak

H adalah beban hujan, tidak termasuk yang diakibatkan genangan air

W adalah beban angin

E adalah beban gempa, yang ditentukan menurut SNI 03–1726–1989, atau penggantinya

dengan,

γL= 0,5 bila L< 5 kPa, dan γL= 1 bila L≥ 5 kPa.

Kekecualian: Faktor beban untuk L di dalam kombinasi pembebanan pada

persamaan 2.4-3, 2.4-4, dan 2.4-5 harus sama dengan 1,0 untuk garasi parkir,

daerah yang digunakan untuk pertemuan umum, dan semua daerah di mana beban

hidup lebih besar daripada 5 kPa.

2.5.2 Faktor Tahanan

Faktor tahanan dalam perencanaan struktur berdasarkan metode LRFD,

(44)
[image:44.595.119.503.111.559.2]

Tabel 2.2 Faktor Tahanan

(Sumber: Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung, 2002)

2.5.3 Struktur Lentur

Balok adalah komponen struktur yang memikul beban-beban gravitasi,

seperti beban mati dan beban hidup. Komponen struktur balok merupakan

(45)

struktur tarik dan tekan akan dikombinasikan dalam analisa struktur lentur

(Setiawan: 2008).

Persamaan umum perhitungan tegangan akibat lentur dapat digunakan

pada kondisi yang umum, yaitu:

I c M    (2.5)

Tegangan lentur pada penampang profil yang mempunyai minimal satu sumbu

simetri, dan dibebani pada pusat gesernya, dapat dihitung dengan persamaan:

y y x x S M S M

f   (2.6)

dengan x y y y x x c I S dan c I

S   (2.7)

sehingga y x y x y x I c M I c M

f     (2.8)

Dengan:

f = tegangan lentur

Mx, My = momen lentur arah x dan y

Sx, Sy = modulus penampang arah x dan y

Ix, Iy = momen inersia arah x dan y

cx, cy = jarak dari titik berat ke tepi serat arah x dan y

Berikut ini ditampilkan beberapa penampang yang mempunyai minimal

(46)

y x x

c I

S

x y y

c I

S

y x x

c I

S

Gambar 2.10 Modulus Penampang Berbagai Tipe Profil Simetri

(Agus Setiawan: 2008).

2.5.3.1 Balok Terkekang Lateral

Distribusi tegangan pada sebuah penampang WF akibat momen lentur,

diperlihatkan pada Gambar 2.6. Pada daerah beban layan, penampang masih

elastis (Gambar 2.6a), kondisi elastik berlangsung hingga tegangan pada serat

terluar mencapai kuat lelehnya (fy). Setelah penampang mencapai regangan leleh

(εy), regangan akan terus naik tanpa diikuti kenaikan tegangan (Gambar 2.7).

Gambar 2.11 Distribusi Tegangan pada level Beban Bekerja

(47)

Pada saat kuat leleh tercapai pada serat terluar (Gambar 2.6b), tahanan

momen nominal sama dengan momen lelehMyx, yang besarnya adalah:

MxMyxSxfy (2.9)

Ketika keadaan pada Gambar 2.6d tercapai, semua serat dalam penampang

melampaui regangan lelehnya, dan keadaan ini dinamakan kondisi plastis.

Tahanan momen nominal dalam kondisi ini dinamakan momen plastis Mp, yang

besarnya:

M f y dA fy Z A

y

p  

   (2.10)

Dengan Z dikenal sebagai modulus plastis.

Gambar 2.12 Diagram Tegangan-Regangan Material Baja (Agus Setiawan: 2008)

Ketika tahanan momen plastis Mp tercapai, penampang akan terus

mengalami deformasi dengan tahanan lentur konstan sebesar Mp. Kondisi ini

dinamakan sendi plastis. Pada suatu balok dengan perletakan sederhana

(48)

suatu kondisi yang tidak stabil. Keadaan ini dinamakan sebagai mekanisme

keruntuhan. Secara umum, kombinasi dari 3 sendi (sendi sebenarnya dan sendi

plastis) akan mengakibatkan mekanisme keruntuhan (Setiawan:2008).

2.5.3.2 Desain Balok Terkekang Lateral

Tahanan balok dalam desain LRFD harus memenuhi persyaratan:

bMnMu (2.11)

Dengan:

ϕb = 0,90

Mn = tahanan momen nominal

Mu = momen lentur akibat beban terfaktor

Dalam perhitungan tahanan momen nominal dibedakan antara penampang

kompak, tak kompak, dan langsing seperti halnya saat membahas batang tekan.

Batasan penampang kompak, tak kompak, dan langsing adalah:

1. Penampang kompak : λ < λp

2. Penampang tak kompak : λp < λ < λr

3. Langsing : λ < λr

Tahanan momen nominal untuk balok terkekang lateral dengan

penampang kompak adalah:

MnMpZfy (2.12)

(49)

Mp = tahanan momen plastis

Z = modulus plastis

fy = kuat leleh

Gambar 2.13 Tahanan Momen Nominal Penampang Kompak dan Tak Kompak

(Agus Setiawan: 2008).

Tahanan momen nominal pada saat λ < λr adalah:

MnMr

fyfr

S (2.13)

Dengan:

fy = tahanan leleh

fr = tegangan sisa

S = modulus penampang

Besarnya tegangan sisa untuk penampang gilas panas fr = 70 MPa, dan untuk

(50)

Untuk penampang tak kompak dengan nilai λp < λ < λr, maka besarnya

tahanan momen nominal dihitung dengan melakukan interpolasi linear. Langkah

ini menghasilkan persamaan sabagai berikut:

r

p r

p p

p r

r

n M M

M

 

  

  

   

 (2.14)

Dengan:

λ = kelangsingan penampang balok (= b/2tf)

λr ,λp = ditampilkan dalam tabel 7.5-1 Peraturan Baja SNI 03-1729-2002

2.5.3.3 Beban Terpusat pada Balok

Ketika menerima beban terpusat, balok akan mengalami leleh lokal akibat

tegangan tekan yang tinggi diikuti dengan terjadinya tekuk inelastik pada daerah

web yaitu di sekitar lokasi beban terpusat tersebut. Gaya tumpu perlu (Ru) pada

pelat web harus memenuhi:

Ru Rn (2.15)

Dengan:

ϕ = faktor reduksi

Rn = kuat tumpu nominal pelat web akibat beban terpusat

Jika persamaan 2.15 dipenuhi, maka tidak diperlukan pengaku (stiffener) pada

pelat web. Besarnya Ru ditentukan menurut SNI 03-1729-2002 dan ditampilkan

sebagai berikut:

1. Lentur lokal pada flens (flange local buckling)

(51)

ϕ = 0,90

tf = tebal pelat sayap yang dibebani gaya tekan tumpu

2. Leleh lokal pada web (local web yielding)

Rn

kN

fywtw (2.17)

  

  

d j

d j

5 , 2 5

ϕ = 1,0

k = tebal pelat sayap ditambah jari-jari peralihan (mm)

N = dimensi longitudinal pelat perletakan, minimal sebesar k (mm)

N= panjang dukung ≥ k

k = jarak antara muka sayap terluar ke kaki lengkungan badan

[image:51.595.132.495.395.635.2]

R = beban terpusat yang disalurkan ke gelagar

Gambar 2.14 Balok dengan Beban Terpusat (Agus Setiawan: 2008)

(52)

u f yf f w w n t t f E t t t

R  

                   5 , 1 2 1   (2.18)

ϕ = 0,75

                      2 , 0 / : 2 , 0 4 2 , 0 / : 3 2 / 39 , 0 3 ; 2 / 79 , 0 d N bila d N d N bila d N d j d N d j    

4. Tekuk web bergoyang (sidesway web buckling)

Gambar 2.15 Tekuk Web Bergoyang (Agus Setiawan: 2008).

Ada dua kondisi pada tekuk web bergoyang:

a. Jika sisi tekan flens dikekang terhadap rotasi pada posisi kerja Ru:

untuk  2,3

(53)

Jika  2,3 b f w L b t h

Rn→ ∞

b. Jika sisi tekan flens tak dikekang terhadap rotasi

untuk  1,7

b f w L b t h                    3 2 3 4 , 0 b f w f w r n L b t h h t t E C R (2.20)

Jika  1,7

b f w L b t h

Rn→ ∞

       y y r M M untuk M M untuk C : 62 , 1 : 25 , 3

ϕ = 0,85

5. Lentur pada pelat web

n w E fyw

h t

R   

3 08 , 24

(2.21)

ϕ = 0,90

2.6 Konsep LRFD pada Balok Komposit

Perencanaan struktur baja dengan metode LRFD mengacu pada penentuan

kekuatan batas penampang. Kekuatan batas penampang komposit bergantung

pada kekuatan leleh dan sifat penampang balok baja, kekuatan pelat beton, dan

kapasitas interaksi alat penyambung geser yang menghubungkan balok dengan

(54)

Pengertian yang lebih jelas tentang kelakuan komposit akan diperoleh

dengan baik ketika kekuatan batas sistem komposit dinyatakan dalam kapasitas

momen batas. Penetapan kapasitas momen batas ini juga akan memberi ukuran

faktor keamanan sistem komposit yang lebih tepat. Faktor keamanan yang

sebenarnya adalah rasio kapasitas momen batas dengan momen yang

sesungguhnya bekerja. Pada pembahasan berikut ini, sambungan antara pelat dan

balok dianggap memadai, baik untuk untuk kondisi pelat beton “memadai” atau “tidak memadai” dibanding dengan kapasitas leleh tarik dari balok. Pemindahan

gaya geser juga dianggap terjadi secara sempurna di pertemuan baja-beton.

Untuk penyederhanaan analisis, dibuatlah beberapa asumsi dasar yang

akan membantu perumusan kapasitas momen batas komposit ini. Dalam

penentuan kapasitas momen batas, beton dianggap hanya menerima tegangan

tekan. Walaupun beton juga memiliki kemampuan menahan tegangan tarik dalam

tingkat tertentu yang terbatas, kekuatan tarik beton pada regangan yang terjadi

selama perumusan kapasitas momen plastis ini dapat diabaikan (Salmon: 1995).

(a) (b) (c)

Gambar 2.16 Kuat Lentur Nominal Berdasarkan Distribusi Tegangan Plastis

(55)

Penentuan kapasitas momen batas bergantung pada letak garis netral.

Garis netral dapat berpotongan pada pelat beton atau dapat juga berpotongan pada

balok baja. Jika garis netral berpotongan pada pelat beton, maka pelat beton dapat

dikatakan memadai, yang berarti bahwa pelat mampu menahan gaya tekan total.

Jika garis netral berpotongan pada balok baja, maka pelat beton dianggap tidak

memadai, yang berarti bahwa pelat beton hanya mampu menahan sebagian dari

gaya tekan dan sisanya ditahan oleh balok baja.

2.6.1 Garis Netral Berpotongan pada Pelat Beton

Keadaan untuk garis netral yang berpotongan pada pelat ditunjukkan oleh

Gambar 2.11b. Dengan memakai anggapan blok tegangan segi empat Whitney,

yaitu tegangan merata sebesar 0.85f’c yang bekerja sepanjang tinggi a, maka gaya

tekan batas C didapat melalui persamaan:

C 0,85.f'c.beff.a (2.22)

Gaya tarik batas T adalah kekuatan leleh balok kali luasnya:

TAs.fy (2.23)

Dengan menyamakan antara harga C dan T maka didapat harga a, yaitu sebesar:

eff c y s

b f

F A a

. ' . 85 , 0

 (2.24)

Dengan:

t a

(56)

2

2

1

a

t

d

d

(2.25)

Dengan demikian didapat kapasitas momen batas Mu menjadi:

MuC.d1T.d1 (2.26)

Karena pelat beton dianggap memadai, maka pelat mampu menahan gaya tekan

yang sama dengan kapasitas leleh balok baja penuh. Dengan merumuskan momen

batas sebagai fungsi dari gaya pada baja, diperoleh persamaan:

2

2

.

f

d

t

a

A

M

u s y (2.27)

dengan:

C = gaya tekan pada balok baja

f’c = tegangan ijin tekan beton

fy = tegangan leleh baja

beff = lebar efektif pelat

d = tinggi balok baja

t = tebal pelat

Prosedur yang umum ialah menentukan tinggi blok tegangan a dengan Persamaan

2.24, dan jika didapati bahwa a lebih kecil dari tebal pelat t, maka asumsi harus

diubah. Hal ini menyatakan bahwa pelat beton tidak cukup kuat untuk

(57)

2.6.2 Garis Netral Berpotongan pada Balok Baja

Pada keadaan dimana didapati bahwa tinggi blok tegangan a yang dihitung

dengan persamaan 2.24 melampaui tebal pelat t, distribusi tegangan akan seperti

diperlihatkan pada Gambar 2.11c. Pada keadaan ini, maka garis netral

berpotongan pada balok baja. Dengan demikian maka gaya tekan batas pada pelat

beton Cc menjadi:

Cc 0,85.f'c.beff.t (2.28)

Gaya tekan pada balok baja yang dihasilkan oleh bagian balok yang berada di atas

garis netral ditunjukkan pada Gambar 2.11c sebagai Cs sebesar:

CsAs'.fy (2.29)

Gaya tarik batas T’ yang sekarang menjadi lebih kecil dari Asfy. Gaya tarik ini

harus sama dengan jumlah gaya-gaya tekan, seperti ditunjukkan persamaan

berikut:

T'CcCs (2.30)

Juga diketahui:

T'As.fyCs (2.31)

Dengan menyamakan Persamaan 2.30 dan 2.31 sebagai berikut:

CcCsAs.fyCs (2.32)

Maka diperoleh nilai Cs menjadi:

2

c y s s

C f A

C   (2.33)

(58)

2

. . ' . 85 ,

0 f b t f

A

Css yc eff (2.34)

Dengan menyertakan gaya tekan Cc dan Cs, persamaan kapasitas momen batas Mu

untuk keadaan garis netral yang berpotongan pada balok menjadi:

MuCc.d'2Cs.d"2 (2.35)

Dimana d’2 dan d”2 adalah lengan momen seperti ditunjukkan pada Gambar

2.11c.

Pada keadaan garis netral yang berpotongan pada balok, balok baja

dianggap mengalami regangan plastik tarik dan tekan pada keadaan batas. Hal ini

berarti bahwa penampang baja tersebut memenuhi persyaratan penampang

terpadu(compact). Penampang terpadu adalah penampang yang memiliki proporsi

yang memungkinkan penampang tersebut mengembangkan kapasitas momen

plastisnya (Salmon: 1995).

2.7 Alat Penyambung Geser

Sistem komposit, yang dalam hal ini adalah balok komposit, yang

menerima pembebanan akan mengalami gaya geser horisontal yang timbul antara

pelat beton dan balok baja. Gaya geser horisontal ini harus ditahan selama

(59)

Gambar 2.17 Alat penyambung geser yang umum (Charles G. Salmon: 1995)

Untuk mengatasinya dibuatlah alat penyambung geser mekanis yang

disambungkan ke puncak balok. Gambar 2.12 menunjukkan berbagai alat

penyambung geser yang umum digunakan.

Untuk mencapai kesatuan pada penampang komposit, alat penyambung

geser harus cukup kaku untuk menghasilkan interaksi penuh seperti ditunjukkan

pada Gambar 2.2c. Kondisi ideal ini akan membutuhkan alat penyambung yang

sangat kuat. Berdasarkan bidang geser balok dengan beban merata seperti

ditunjukkan pada Gambar 2.13, maka dapat disimpulkan bahwa alat penyambung

geser yang dibutuhkan pada daerah ujung-ujung bentang lebih banyak dari pada

[image:59.595.121.507.89.425.2]
(60)

Gambar 2.18 Bidang gaya geser untuk beban merata dan distribusi tegangan

geser pada penampang komposit baja-beton (Charles G. Salmon: 1995)

Perhatikan distribusi tegangan geser yang ditunjukkan pada Gambar 2.13b

di mana tegangan v1 harus ditahan oleh sambungan antara pelat dan balok.

Tegangan akibat beban kerja pada balok seperti ditunjukkan pada Gambar 2.13

bervariasi mulai dari nol sampai maksimum di tumpuan. Selanjutnya, tinjaulah

keseimbangan potongan elementer pada balok seperti ditunjukkan pada Gambar

2.14. Gaya geser per satuan jarak sepanjang bentang adalah:

I VQ b

v dx dC

eff

1 (2.36)

Karena itu, jika suatu alat penyambung memiliki kapasitas ijin sebesar q, maka

jarak antara p maksimum untuk menghasilkan kapasitas yang diperlukan adalah:

I VQ

q p

/

(61)

Gambar 2.19 Gaya yang diperlukan dari alat penyambung geser pada beban kerja

(Charles G. Salmon: 1995)

Dengan menerapkan konsep kekuatan batas, maka setiap alat penyambung

geser pada momen lentur batas akan memikul bagian yang sama besar dari gaya

tekan maksimum total yang timbul pada pelat beton. Dengan memperhatikan

Gambar 2.13a, maka hal ini berarti bahwa alat penyambung geser diperlukan

untuk memindahkan gaya tekan yang timbul pada pelat beton di tengah bentang

ke balok baja dalam jarak L/2, karena tidak terjadi gaya tekan pada pelat beton di

ujung bentang yang besar momennya nol.

Gaya tekan batas yang harus ditahan oleh alat penyambung geser tidak

bisa melampaui gaya yang dapat dipikul oleh beton:

Cmaks 0,85.f'c.beff.t (2.38)

Atau jika gaya tarik batas di dasar pelat beton lebih kecil dari Cmaks, maka:

TmaksAs.fy (2.39)

Jadi, jika suatu alat penyambung memiliki kapasitas batas qult, jumlah total alat

penyambung N yang diperlukan antara titik momen lentur maksimum dan momen

(62)

ult maks

q C

N  (2.40)

atau

ult maks

q T

N  (2.41)

Nilai yang diambil dari persamaan di atas adalah yang terkecil. Menurut metode

kekuatan batas, jumlah alat penyambung total yang diperlukan disebar merata

sepanjang daerah balok antara titik momen lentur nol dan titik momen lentur

maksimum.

Secara analitis, penentuan kapasitas alat penyambung geser sangat rumit.

Hal ini disebabkan karena alat penyambung geser yang dapat mengalami

perubahan bentuk ketika menerima pembebanan. Demikian juga dengan beton

yang mengelilinginya juga merupakan material yang dapat mengalami perubahan

bentuk. Selanjutnya, besarnya deformasi yang dialami alat penyambung geser

juga bergantung pada faktor-faktor lain, seperti:

- bentuk alat penyambung geser,

- ukuran alat penyambung geser,

- letak alat penyambung geser pada balok,

- letak momen maksimum, dan

- cara pemasangan alat penyambung geser ke sayap atas balok baja.

Selain itu, ada juga alat penyambung geser tertentu yang dapat meleleh

sedemikian rupa pada saat menerima pembebanan. Keadaan ini menimbulkan

gelinciran antara pelat beton dan balok baja. Apabila hal ini terjadi, alat

penyambung geser yang letaknya bersebelahan akan menerima gaya geser

(63)

Gambar

Gambar 2.2 Variasi regangan pada balok komposit (Charles G. Salmon: 1995)
Gambar 2.3 Penampang Balok Beton dengan Diagram Tegangan (Vis: 1994)
Gambar 2.5 Pengaruh Penghubung Geser Terhadap Tegangan Lentur dan Geser
Gambar 2.6 Perbandingan Respon Baja-Beton Dengan Aksi Komposit dan Tanpa
+7

Referensi

Dokumen terkait