v
PERBANDINGAN KESTABILAN DAN HUBUNGAN VOLATILITAS NILAI TUKAR DINAR EMAS, DIRHAM PERAK, DAN DOLAS AS
DALAM DENOMINASI RUPIAH, RINGGIT MALAYSIA, DAN DOLAR SINGAPURA
SKRIPSI
Disusun Oleh SYAIF MUHANNAD
NIM 105081002593
JURUSAN MANAJEMEN KEUANGAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
vi
“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan),
Kerjakanlah dengan Sungguh-sungguh (urusan yang lain)”
(QS. Al-Insyiroh:7)
Dengan ilmu, kehidupan menjadi enak,
dengan seni, kehidupan menjadi halus,
dan dengan agama hidup menjadi
terarah dan bermakna . . .
(Prof. Dr. H. A. Mukti Ali)
Kepersembahkan skripsi ini untuk kedua orang tuaku tercinta,
Kakak-kakakku dan teman-temanku yang selalu Memberikan
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI:
Nama : Syaif Muhannad
Tempat/Tgl Lahir : Tangerang, 22 Desember 1986 Jenis Kelamin : Pria
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Kawin
Alamat Rumah : Jl. Maulana Hasanudin No. 69 Rt. 002/03, Kel. Cipondoh Makmur Kec. Cipondoh
Kota Tangerang, 15148 Indonesia.Telp: 91082528 Email: syaifmuhannad@rocketmail.com
RIWAYAT PENDIDIKAN:
1. Sekolah Dasar Islam YASIR, Tangerang, Tamat Th. 1998
2. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama YASIR, Tangerang, Tamat Th. 2001 3. Madrasah Aliyah Ibnu Rusydi, Tangerang, Tamat Th. 2004
PENGALAMAN ORGANISASI:
1. Ketua OSIS MA Ibnu Rusydi, selama 2 tahun
vi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk: (a) membuktikan manakah diantara dinar emas, dirham perak, dan dolar AS yang mempunyai nilai tukar paling stabil dalam denominasi rupiah, ringgit Malaysia, dan dolar Singapura; (b) menentukan arah dan bentuk hubungan volatilitas antara nilai tukar dinar emas, dirham perak, dan dolar AS dalam denominasi rupiah, ringgit Malaysia, dan dolar Singapura. Berdasarkan hasil perhitungan koefisien variasi (coefficient of variation) dapat dinyatakan bahwa secara rata-rata nilai tukar dinar emas lebih stabil dibandingkan dengan nilai tukar dirham perak dan dolar AS terhadap rupiah, ringgit Malaysia, dan dolar Singapura. Hasil uji kausalitas Granger menunjukkan bahwa hanya dinar emas dan dirham perak yang saling mempengaruhi, sedangkan terhadap dolar AS tidak berpengaruh. Sementara itu, estimasi model VAR menunjukkan: (a) volatilitas nilai tukar dinar emas terhadap rupiah dan dolar Singapura dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar dirham perak, namun nilai tukar dinar emas terhadap ringgit Malaysia hanya dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar dinar emas itu sendiri; (b) volatilitas nilai tukar dirham perak terhadap rupiah dan dolar Singapura hanya dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar dirham perak itu sendiri, sementara volatilitas nilai tukar dirham perak terhadap ringgit Malaysia dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar dinar emas; (c) volatilitas nilai tukar dolar AS lebih banyak dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukarnya sendiri.
vii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya, tanpa bantuan-Nya semua ini tidak akan terwujud dengan baik.
Skripsi yang berjudul “Hubungan Kestabilan dan Pengaruh Volatilitas
Nilai Tukar Dinar Emas, Dirham Perak, dan Dolar AS dalam Denominasi Rupiah,
Ringgit Malaysia, dan Dolar Singapura”, penulis ajukan untuk melengkapi syarat
-syarat guna memperoleh gelar sarjana Ekonomi Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada ibunda tercinta Hj. Saiyah dan ayahanda (alm) H. Romlih yang senantiasa menuntun, mendorong, memotivasi serta mendidik penulis, sehingga penulis berhasil menyelesaikan studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Khusus kepada Bapak. Prof. Dr. Ahmad Rodoni dan Bapak. Arief Mufraini, Lc, M.Si. yang dengan penuh kesabaran dan keikhlasan telah membimbing penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Untuk kesemuanya itu, penulis haturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Harapan penulis semoga Allah yang Maha Pengasih melimpahkan rahmat-Nya serta membalas amal dan perbuatan mereka.
viii
1. Bapak Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ketua Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Para dosen dan staff lainnya yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Kakak, adik dan rekan-rekan mahasiswa yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat dan motivasi bagi penulis. Semoga segala amal, budi baik dan bantuan yang telah diberikan mendapat karunia dan limpahan rahmat dari Allah SWT. Dan semoga, skripsi ini dapat bermanfaat.
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN BIMBINGAN SKRIPSI ……… i
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF ……... ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ……… iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ………. iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……… v
ABSTRAKSI ……… vi
KATA PENGANTAR ……….. vii
DAFTAR ISI ………... ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ………... 1
1.2. Perumusan Masalah ………... 10
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….. 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengantar ……… 12
2.2. Konsep Uang ………. 13
2.3. Perkembangan Sistem Moneter 1. Sistem Standar Emas 1870-1914 ……… 17
2. Sistem Bretton Woods ……… 19
x
2.4. Studi-studi Terkait dengan Kestabilan Nilai Tukar … 27
2.5. Kerangka Pemikiran ………... 35
BAB III METODOLOGI DAN DATA PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian ….……… 38
3.2. Metode Penentuan Sampel ...……… 39
3.3. Metode Pengumpulan Data .………. 39
3.4. Metode Analisis dan Uji Hipotesis ……….. 41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengantar ……….. 46
4.2. Perkembangan Nilai Tukar Dolar AS ………….. 47
4.3. Perkembangan Harga Dinar Emas ………... 50
4.4. Perkembangan Harga Dirham Perak ……… 55
4.5. Perbandingan Stabilitas Nilai Tukar ……….…... 57
4.6. Keterkaitan Volatilitas Nilai Tukar ……….…… 64
4.7. Interpretasi Terhadap Hasil ………. 81
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ……….. 84
5.2. Saran-saran ……….. 86
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perdagangan merupakan aktivitas yang sangat penting dalam
perekonomian. Dengan adanya perdagangan, kelebihan produksi yang dihasilkan
satu pihak dapat disalurkan kepada pihak lain, sehingga sektor riil dapat bergerak
lebih cepat. Banyak ahli ekonomi menganggap sektor perdagangan sebagai
mesin penggerak pembangunan (engine of development) sehingga peranan
perdagangan ini perlu dipacu untuk mencapai keberhasilan pembangunan
ekonomi suatu bangsa. Sebagaimana dijelaskan Mankiw (2000:180),
negara-negara maju pada umumnya menjadikan perdagangan internasional sebagai
sentral perhatian dalam menganalisis pembangunan ekonomi dan merumuskan
kebijakan-kebijakan yang akan diambil. Hal ini tentunya terkait dengan besarnya
peranan sektor perdagangan dalam struktur perekonomian mereka. Misalnya di
Kanada, Inggris, Jerman dan Perancis kontribusi ekspor dan impor sudah
melebihi 30 persen dari PDB masing-masingnya pada tahun 1997. Bagi
negara-negara berkembang perdagangan juga memainkan peranan yang cukup penting
dalam upaya meningkatkan pendapatan nasional, penerimaan anggaran negara
dan persediaan devisa. Perkembangan jumlah barang yang diperdagangkan dan
penerimaan yang dihasilkan dari sektor ini akan berpengaruh langsung pada
2 Semakin besarnya volume dan intensitas perdagangan baik domestik
maupun luar negeri tidak terlepas dari faktor semakin cepatnya kemajuan
teknologi informasi, komunikasi dan transportasi dalam era globalisasi dewasa
ini. Akan tetapi, pesatnya perkembangan perdagangan pada dasarnya terwujud
berkat ditemukannya uang. Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya untuk
mengembangkan perdagangan jika masih menggunakan sistem tradisional
berupa barter yaitu pertukaran barang dengan barang. Pertukaran barter ini
mensyaratkan adanya keinginan yang sama pada waktu yang bersamaan (double
coincidence of wants) dari pihak-pihak yang melakukan pertukaran ini. Namun, semakin beragam dan kompleks kebutuhan hidup manusia, maka semakin sulit
menciptakan situasi yang dipersyaratkan dalam sistem barter ini. Sebaliknya,
dengan menggunakan uang kegiatan perdagangan dapat dilakukan lebih mudah,
cepat dan efisien. Selain berfungsi sebagai alat tukar (means of exchange), uang
juga bermanfaat sebagai alat penyimpan nilai (store of value), satuan hitung (unit
of account) dan ukuran untuk pembayaran masa depan (standard for deferred payments).
Peranan uang sebagai alat tukar mensyaratkan uang tersebut harus
diterima oleh masyarakat sebagai alat pembayaran. Artinya, si penjual barang
mau menerima uang sebagai pembayaran untuk barangnya karena ia percaya
bahwa uang tersebut juga akan diterima oleh orang lain (masyarakat umum)
sebagai alat pembayaran apabila ia nanti memerlukan untuk membeli barang
3 pemilihan barang apa yang bisa digunakan sebagai uang. Barang apapun bisa
digunakan asal unsur kepercayaan ini bisa dilekatkan pada barang tersebut (Lihat
Boediono, 1996:10-12).
Menurut Karnaen (2006:2), jauh sebelum ini, Ibn Miskawih (1030 M)
telah menerangkan syarat-syarat agar sesuatu dapat dijadikan uang dan diterima
masyarakat umum. Persyaratan itu adalah: tahan lama (durability); mudah (convenience) untuk dibawa; tidak dapat dikorup (incorruptibility); dikehendaki
(desirability) semua orang; dan senang orang melihatnya. Selain itu, menurut
Nasution (2006:240) ada kondisi lain yang diperlukan agar suatu barang bisa
dijadikan uang antara lain: kelangkaan (scarcity) yaitu persediaan barang itu
harus terbatas; dan nilai tinggi, maksudnya barang yang dijadikan uang harus
bernilai tinggi, sehingga tidak memerlukan jumlah yang banyak untuk melakukan
transaksi. Emas dan perak telah memenuhi berbagai persyaratan yang
dikemukakan diatas.
Dalam sejarah Islam, uang merupakan sesuatu yang diadopsi dari
peradaban Romawi dan Persia. Ini dimungkinkan karena penggunaan dan konsep
uang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dinar adalah mata uang emas
yang diambil dari Romawi dan dirham adalah mata uang perak warisan Persia.
Dalam sejarah Islam, belum pernah terjadi krisis moneter dan ekonomi
sebagaimana datang silih berganti pada masa sekarang ini. Mata uang memang
relatif stabil manakala nilainya masih disandarkan pada emas. Sejak zaman Nabi
4 dikenal uang emas (dinar) dan uang perak (dirham). ( Lihat Nasution, 2006:242;
dan Karim, 2001:146). Saat ini emas dan perak tidak lagi digunakan sebagai uang
melainkan telah diganti dengan uang kertas, uang giral dan uang elektronik yang
dijalankan dalam sistem uang fiat (fiat money) berbasis bunga dan cadangan
terbatas (fractional reserve requirement). Menurut Rabb (2002:99) uang fiat
adalah mata uang atau alat pembayaran yang sah (a legal tender) yang nilainya
ditentukan oleh kekuatan ekonomi dan kapital negara yang mempergunakannya.
Masyarakat menerima uang kertas dalam menukar barang-barang dan jasa-jasa
karena pembatasan terhadap pilihan dan penggunaan alat tukar (medium of exchange).
Dari satu sisi penggunaan uang "modern" tersebut memang mempunyai
beberapa keunggulan, namun dari sisi yang lain juga memiliki berbagai
kelemahan yang dinilai banyak ahli ekonomi sangat merugikan. Misalnya Meera
(2002:9-43) telah menjelaskan bahwa sistem moneter yang bertumpu pada
penggunaan uang fiat berbasiskan bunga dan cadangan minimum terbatas telah
menyebabkan penawaran uang selalu lebih besar dari nilai output yang
dihasilkan oleh sektor riil, sehingga menimbulkan masalah peningkatan
harga-harga. Terjadinya inflasi umum tidak akan jadi masalah bila pendapatan
seseorang juga meningkat sebesar itu pada periode yang sama. Sekelompok kecil
masyarakat akan mendapatkan keuntungan dengan peningkatan penawaran
uang tersebut, sehingga peningkatan pendapatannya jauh diatas tingkat inflasi.
5 berkembang, peningkatan upah dan gaji kurang dari angka inflasi umum tersebut
sehingga daya beli mereka akan berkurang secara bertahap. Ketimpangan
distribusi pendapatan inilah yang akan mengakibatkan berbagai masalah sosial
ekonomi. Masyarakat yang tidak mempunyai pendapatan tetap, maupun yang
pendapatan tetapnya tidak mengalami peningkatan yang cukup, lama-kelamaan
akan terdorong menjadi masyarakat yang miskin absolut yaitu tidak mampu lagi
memenuhi kebutuhan yang paling pokok bagi kehidupan. Oleh karena itu, sistem
moneter uang fiat yang berdasarkan pada bunga dapat dikatakan telah
menciptakan kemiskinan secara otomatis dan berkelanjutan.
Dalam konteks perdagangan internasional, sistem pembayaran juga
sudah meninggalkan standard emas. Sebagai gantinya, sebagian negara
menerapkan nilai tukar bebas (flexible exchange rate) dan sebagian yang lain
yang menerapkan nilai tukar tetap (fixed exchange rate). Sedangkan transaksi
ekspor dan impor pada umumnya masih menggunakan dolar AS, walaupun
sistem Bretton Wood telah lama runtuh. Artinya, ekspor kita dibayar dalam dolar
AS oleh mitra dagang di luar negeri, dan jika ingin mengimpor kita harus
menukar rupiah terlebih dahulu dengan dolar AS untuk selanjutnya dibayarkan
kepada pedagang asing. Utang-piutang luar negeri serta aliran modal asing juga
sebagian besar dalam bentuk dolar AS. Oleh karena itu, perubahan nilai tukar
dolar AS akan sangat mempengaruhi kegiatan perdagangan dan perekonomian
6 Perubahan kurs yang besar dan terjadi secara tiba-tiba terhadap mata
uang kuat dunia tersebut dapat menyebabkan malapetaka bagi perekonomian
suatu negara dan selanjutnya bisa pula menjalar ke negara lain. Contoh yang
masih hangat dalam ingatan kita adalah terjadinya krisis di Asia pada akhir tahun
1990an. Stiglizt (2003:125) menjelaskan bahwa ketika mata uang Baht Thailand
jatuh pada tanggal 2 Juli 1997, tak seorangpun tahu bahwa inilah awal dari krisis
ekonomi terbesar sejak masa depresi besar (the great depression) yaitu krisis
yang menyebar dari Asia hingga Rusia dan Amerika Latin serta mengancam
seluruh dunia. Selama sepuluh tahun mata uang Baht diperjualbelikan sebesar
25 baht dibandingkan 1 dolar AS; kemudian dalam semalam, mata uang tersebut
jatuh hingga 25 persen. Selanjutnya spekulasi mata uang menyebar dan
menyerang Malaysia, Korea, Filipina, dan Indonesia. Akhir tahun tersebut
merupakan awal mula bencana kurs yang mengancam perbankan, pasar saham,
dan bahkan keseluruhan perekonomian di wilayah tersebut.
Dalam konteks Indonesia, krisis moneter yang kemudian berkembang
menjadi krisis ekonomi tersebut memiliki dampak yang sangat besar dan
merugikan banyak pihak. Jika pada awal tahun 1990-an satu dolar AS setara
dengan sekitar Rp 2.500-an, maka pada saat krisis kurs rupiah pernah menyentuh
angka Rp 17.000 per dolar AS. Inflasi dan tingkat bunga juga melambung tinggi,
industri banyak yang bangkrut, terutama yang bahan bakunya tergantung pada
impor. Pertumbuhan ekonomi menjadi minus 13,8 persen pada tahun 1998,
7 Meskipun perekenomian Indonesia dan negara-negara Asia Timur lainnya
telah mulai pulih, namun tanpa ada perbaikan yang mendasar, krisis serupa bisa
terjadi lagi. Banyak pihak yang berpendapat akan dari krisis tersebut adalah
ketidakstabilan nilai tukar atau kerentanan nilai tukar terhadap serangan
spekulan yang mempunyai dana besar. Oleh karena itu, sistem nilai tukar yang
diterapkan sekarang ini perlu untuk dikaji ulang secara mendalam. Salah satu
langkah alternatif untuk memperbaiki sistem moneter sekarang ini adalah
penerapan dinar emas dan dirham perak untuk alat pembayaran perdagangan
luar negeri.
Menurut Mahathir (2001), harga emas memang juga berfluktuasi, tetapi
fluktuasinya minimal. Kemungkinan untuk mendevaluasi emas dengan seratus
persen atau seribu persen sekalipun tidak ada, bahkan tidak mungkin direvaluasi
dengan jumlah persentase yang sama.
Gagasan tentang Dinar Emas Islami sebenarnya, berasal dari Omar
Ibrahim Vadillo, pendiri Organisasi Internasional Morabeteen tahun 1983 di
Afrika Selatan yang dikenal luas sampai ke Eropa. Gagasan ini ditujukan untuk
mengurangi dominasi dan hegemoni dolar AS sebagai suatu mata uang
internasional yang nilainya terus merosot dan berfluktuasi. Sedangkan Dinar
Emas Islami mempunyai keunggulan sebagai alat tukar terbaik yang dapat
meredam terjadinya spekulasi dan manipulasi sehingga dapat dijadikan
8 Menurut Majid (2005:140) dalam Darwis (2006), negara yang memiliki
neraca perdagangan defisit mayoritas adalah negara-negara muslim. Artinya,
jumlah dana negara-negara muslim lebih banyak mengalir ke luar ketimbang
dana asing yang masuk ke negara-negara tersebut. Terjadinya capital flight yang
tinggi menyebabkan devisa negara akan turun, kalaupun tidak minus. Bila ini
terjadi, maka untuk menutupi defisit budget dan negara terpaksa harus didanai
dengan utang luar negeri. Keterpaksaan berutang jelas telah memerangkapkan
negara penghutang terhadap keharusan untuk memenuhi semua persyaratan
yang ditetapkan negara donor (pemberi hutang), yang sifatnya sangat mencekik
leher negara pengutang. Keharusan menggunakan Dolar AS ketika membayar
utang akan menyebabkan nilai uang negara pengutang semakin rendah.
Konsekwensinya, negara pengutang berada di pihak yang dirugikan
karena harus membayar utang dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah utang yang sesungguhnya. Ini semata-mata, karena
ketidakstabilan (appresiasi) nilai dolar AS.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, emas dan perak telah menjadi mata
uang di berbagai bangsa pada masa yang lampau. Selanjutnya mata uang yang
digunakan tidak lagi terbuat dari emas dan perak atau logam mulia lainnya,
melainkan diganti dengan uang kertas yang tidak mempunyai nilai instrinsik.
Walaupun demikian, sistem moneter internasional masih berbasiskan atau
dikaitkan dengan emas sehingga kestabilan nilai tukar mata uang antar negara
9 (fiat money) murni yang tidak mengandung nilai instrinsik serta uang-uang kredit
yang tidak berwujud. Nilai tukar pada umumnya dibiarkan mengambang (floating
exchange rate), baik yang mengambang secara bebas (freely floating exchange rate) ataupun mengambang terkendali (managed floating exchange rate).
Uang kertas memang mempunyai kelebihan dalam penggunaannya.
Menurut Hasan (2004:82) kelebihan dari uang kertas antara lain: (1) mudah
dibawa-bawa karena lebih ringan dari uang logam; (2) kemungkinan untuk
menerbitkannya dalam tipe-tipe yang sesuai dengan volume interaksi dagang
yang berbeda-beda; (3) membawa uang kertas dari satu tempat ke tempat lain
berisiko lebih kecil terhadap bahaya-bahaya jalan; (4) biaya penerbitan lebih kecil
dari biaya-biaya pencetakan logam; dan (5) sifat uang kertas lebih fleksibel dalam
penerbitan daripada uang logam.
Akan tetapi, uang kertas juga memiliki berbagai kelemahan yang
mendatangkan dampak negatif lebih besar terhadap perekonomian. Bentuk
kelemahan dari uang kertas antara lain sebagai berikut: (1) resiko penerbitan
yang berlebihan sehingga dapat menimbulkan inflasi dan kekacauan kondisi
masyarakat; (2) buruknya kinerja uang fiat sebagai alat penyimpan nilai (store of
value) karena biaya penciptaan uang yang hampir nol menyebabkan nilainya jatuh dengan cepat ketika penawaran uang meningkat melebihi
kebutuhan-kebutuhan riil ekonomi; (3) memiliki resiko kekacauan dalam kegiatan keuangan
10 Sistem uang kertas tidak menjamin stabilitas nilai tukar seperti jaminan
yang ada pada sistem uang emas yang memiliki nilai tukar relatif tetap (Lihat
Hasan, 2002:83 dan Rab, 2002:99).
Menurut Arif (2004), penggunaan uang kertas juga menimbulkan efek
samping bagi aktifitas ekonomi, dimana nilai uang (kertas) akan berubah setiap
waktu karena nilainya mengalami penyusutan. Pada akhirnya, uang kertas dapat
dipergunakan sebagai komoditi perdagangan, bukan sebagai alat pembayaran.
Dampak digunakannya uang kertas sebagai komoditi perdagangan adalah
kehancuran nilai mata uang yang dengan dijadikannya uang sebagai alat
spekulasi, sehingga menyebabkan nilai mata uang jatuh.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan didepan, maka
perumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Manakah diantara Dinar Emas, Dirham Perak dan Dolar AS yang
mempunyai nilai tukar lebih stabil dalam denominasi Rupiah, Ringgit
Malaysia, dan Dolar Singapura?
2) Bagaimana arah dan bentuk hubungan volatilitas antara nilai tukar Dinar
Emas, Dirham Perak dan Dolar AS dalam denominasi Rupiah, Ringgit
11
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1) Menganalisa tingkat kestabilan nilai tukar Dinar Emas, Dirham Perak
dan Dolar AS dalam denominasi Rupiah, Ringgit Malaysia, dan Dolar
Singapura.
2) Menganalisa arah dan bentuk hubungan atau keterkaitan antara
fluktuasi nilai tukar Dinar Emas, Dirham Perak dan Dolar AS dalam
denominasi Rupiah, Ringgit Malaysia, dan Dolar Singapura.
b. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:
1) Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang
ekonomi moneter.
2) Menjadi bahan pertimbangan ilmiah bagi para pengambil keputusan
ataupun bagi stakeholder baik pemerintah, otoritas moneter, investor, maupun para praktisi perbankan.
3) Manfaat teoritis bagi dunia penelitian yaitu sebagai sumbangan
pemikiran dengan dukungan kajian pustaka serta penggunaan model
analisis dan model statistik diharapkan dapat menjadi referensi bagi
peneliti selanjutnya terutama dibidang ekonomi dan keuangan
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengantar
Kajian literatur adalah elemen penting dari suatu penelitian ilmiah,
karena melalui tahapan inilah peneliti dapat memahami konsep-konsep yang
diteliti dan mengetahui penelitian-penelitian yang telah dilakukan orang lain
sebelumnya. Kajian literatur ini sering juga disebut dengan kajian kepustakaan.
Sebagian besar dari data sekunder yang digunakan dalam suatu penelitian
biasanya diperoleh melalui studi kepustakaan ini. Sebagaimana dijelaskan oleh
Sekaran (2000:61), literatur survei adalah kajian menyeluruh (a comprehensive
review) terhadap bahan-bahan kajian, baik yang sudah dipublikasikan ataupun belum, dalam bidang yang diminati (sedang dikerjakan) oleh peneliti
bersangkutan. Tujuan utama dari studi literatur itu adalah untuk memastikan
bahwa tidak ada variabel-variabel penting yang terlewatkan dari penelitian
sebelumnya.
Bab ini akan memaparkan hasil tinjauan kepustakaan terhadap
bahan-bahan yang terkait dengan sistem moneter uang fiat maupun dinar emas dan
dirham perak. Pada bagian awal akan diuraikan terlebih dahulu tentang konsep
uang dan sejarah perkembangannya, perkembangan sistem moneter, dan teori
13
2.2. Konsep Uang
Menurut Sanusi (2002:75) uang adalah segala sesuatu yang secara umum
diterima sebagai alat tukar (medium of exchange) untuk barang-barang dan
jasa-jasa dan untuk pembayaran utang. Imam Malik mendefinisikan uang sebagai
suatu komoditas yang diterima sebagai alat tukar. Artinya, segala sesuatu yang
tidak mempunyai nilai sebagai suatu komoditas tidak diperbolehkan untuk
dijadikan sebagai alat tukar. Secara agama, uang dilarang untuk dibungakan,
diperlakukan sebagai komoditas yang diperjualbelikan, ataupun dijual maupun
dibeli secara kredit (Sanusi, 2002:76).
Uang sangat besar arti dan manfaatnya bagi perekonomian karena
memiliki beberapa fungsi. Penjelasan ringkas tentang fungsi-fungsi tersebut akan
dijelaskan berikut ini:
a. Sebagai standar ukuran harga dan unit hitungan.
Fungsi yang paling utama dan. terpenting dan beberapa fungsi
uang adalah sebagai media pengukur nilai harga komoditas dan jasa, dan
perbandingan harga setiap, komoditas dengan komoditas lainnya. Uang
sebagai standar ukuran umum harga berlaku untuk ukuran nilai dan harga
dalam ekonomi, seperti berlakunya standar meter untuk ukuran jarak,
ampere untuk ukuran tegangan listrik, atau kilogram sebagai standar
timbangan. Demikianlah uang sebagai alat yang mesti diperlukan untuk
14 b. Sebagai Media Pertukaran (medium of exchange)
Uang adalah alat tukar yang digunakan setiap individu untuk
pertukaran komoditas dan jasa. Misalnya orang yang memiliki apel dan
membutuhkan beras, kalau dalam sistem barter pemilik apel berangkat
ke pasar untuk menemukan orang yang memiliki beras dan
membutuhkan apel sehingga bisa terjadi pertukaran diantara keduanya.
Akan tetapi, setelah orang-orang membuat uang, pemilik apel dapat
menjual barangnya dengan imbalan uang dan dengan uang itu dia dapat
membeli beras serta barang dan jasa apa saja yang dia kehendaki.
c. Sebagai Media Penyimpanan Nilai
Maksud ahli ekonomi dengan ungkapan "uang sebagai media
penyimpan nilai" adalah orang yang mendapatkan uang kadang tidak
mengeluarkan seluruhnya dalam satu waktu, tapi dia sisihkan sebagian
untuk membeli barang atau jasa yang dia butuhkan pada waktu yang dia
inginkan, atau disimpan untuk hal-hal yang tidak terduga seperti sakit
mendadak, kerugian tiba-tiba dan lain sebagainya. (lihat Hasan, 2005:12).
Setelah memperhatikan fungsi-fungsi uang tersebut, maka tidaklah
berlebihan bila sebagian orang mengisyaratkan bahwa penemuan uang
merupakan salah satu penemuan besar yang dicapai oleh manusia yang tidak
kalah penting dengan ditemukannya sistem tulis-menulis, sistem pengolahan
15
2.3. Perkembangan Sistem Moneter
Sebelum membahas sistem moneter yang pernah berlaku, terlebih
dahulu akan dijelaskan tentang konsep nilai tukar karena hal ini akan sering
disebut pada bagian berikutnya. Nilai tukar (exchange rate) adalah harga satu
mata uang (currency) dalam mata uang negara lain. Nilai tukar ini mempengaruhi
ekonomi dan kehidupan sehari-hari misalnya, ketika dolar AS menjadi lebih
berharga secara relatif terhadap mata uang asing (appreciation), maka
barang-barang asing menjadi lebih murah bagi orang Amerika dan barang-barang-barang-barang
Amerika menjadi lebih mahal bagi orang asing. Sebaliknya, ketika nilai dolar AS
jatuh (depreciation), maka barang-barang asing menjadi mahal bagi orang
Amerika dan barang-barang Amerika akan menjadi murah bagi pihak asing
(Mishkin, 2006:435).
Dengan kata lain naik turunnya nilai tukar (kurs) akan sangat berpengaruh
terhadap perkembangan perdagangan luar negeri pada khususnya, dan
perekonomian pada umumnya. Istilah apresiasi dan depresiasi digunakan apabila
suatu negara menerapkan sistem nilai tukar mengambang atau bebas (floating or
flexible exchange rate). Sedangkan dalam sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) digunakan istilah revaluasi (revaluations) dan devaluasi (devaluations). Setelah mengetahui apa yang dimaksud dengan nilai tukar, maka pembahasan
akan dilanjutkan dengan sistem moneter. Disamping sistem moneter (monetary
16 Menurut Robert Mundell, sebagaimana dikutip oleh McKinnon (1993:7),
ketika kita membicarakan sistem moneter, kita sebenarnya sedang
memperhatikan tentang interaksi perdagangan bangsa-bangsa dan khususnya
berkaitan dengan uang dan instrumen kredit masyarakat suatu bangsa dalam
bentuk kurs, kapital dan pasar komoditas. Pengontrolannya dilakukan melalui
kebijakan-kebijakan pada tingkat nasional yang berkaitan satu dengan yang lain
dalam bentuk kerjasama. Sedangkan order, dalam perbedaannya dengan sistem,
merupakan kerangka atau seting dimana sistem beroperasi. Hal ini adalah
kerangka hukum, kesepakatan, peraturan, dan lain sebagainya yang membentuk
sistem dan sudah saling dimengerti oleh pihak-pihak yang ikut berpartisipasi
dalam sistem yang bersangkutan. Secara informal, order moneter ini lebih sering
disebut sebagai aturan main (the rule of the game). Terminologi ini pada awalnya
digunakan tahun 1920-an untuk menjelaskan diterimanya aturan tentang
standar emas internasional sebelum 1914.
Sistem dan order moneter internasional ini telah mengalami perubahan
seiring perjalanan waktu, tempat, lingkungan politik, dan teknologi keuangan.
Menurut McKinnon (1993:8) aturan-aturan main tentang moneter ini secara
kronologis dapat dibedakan menjadi: (a) the International Gold Standard,
17 Greater deutsche Mark Area, 1979-1992. Akan tetapi dalam tulisan berikut ini hanya akan dikemukakan aturan-aturan main dalam bentuk pengelompokan
yang lebih umum yaitu sistem standar emas, sistem Bretton Woods dan sistem
modern.
1) Sistem Standar Emas 1870-1914
Sistem standar emas internasional muncul pada tahun 1870 di
lnggris. Pemerintah Inggris menetapkan/mengikatkan nilai poundsterling
dengan emas. Perkembangan industri yang terjadi di Inggris serta
perdagangan dunia yang makin berkembang pada abad ke-19 menambah
kepercayaan dunia terhadap emas. Kepercayaan ini diperkuat juga
dengan ditemukannya tambang emas di Amerika dan Afrika Utara.
Dengan kejadian-kejadian tersebut sistem standar emas merupakan
suatu sistem yang dipakai oleh banyak negara semenjak 1870 hingga
perang dunia I, keadaan ekonomi dan perdagangan yang relatif stabil
selama periode tersebut merupakan faktor utama keberhasilan sistem
standar emas (Lihat Nopirin, 1999:225). Dari sudut pandang yang lain
tentunya dapat pula dikatakan bahwa standar emas telah mampu
menciptakan atau paling tidak mendorong terwujudnya stabilitas
perdagangan dan perekonomian bagi negara-negara yang
menerapkannya. Menurut Mc.Kinnon (1993:3), sistem standar emas ini
18 mendeklarasikan bahwa mata uang mereka tidak dapat ditukarkan
kedalam bentuk emas, dan demikian pula sebaliknya.
Suatu negara dikatakan memakai standar emas apabila: (a) nilai
mata uangnya dijamin dengan nilai seberat emas tertentu; (b) setiap
orang boleh membuat serta melebur uang emas; (c) pemerintah sanggup
membeli atau menjual emas, dalam jumlah yang tidak terbatas pada
harga tertentu (yang sudah ditetapkan oleh pemerintah). Selain memiliki
keunggulan, sistem standard emas ini juga banyak mendapat kritikan.
Misalnya Temim (1989), sebagaimana dikutip oleh Shah (2007:9),
menyebutkan dua kelemahan dari sistem standar emas yaitu:
a) akan menyebabkan hilangnya koordinasi diantara
organisasi-organisasi internasional; dan
b) akan menimbulkan ketidakseimbangan neraca pembayaran dalam
bentuk surplus dan defisit.
Banyak ekonom berpendapat bahwa jatuhnya standar emas
disebabkan oleh disiplin keuangan yang terlalu keras terhadap ekonomi
domestik sehingga output dan kesempatan kerja dikorbankan untuk
keseimbangan eksternal. Pandangan ini, bersamaan dengan pengalaman
yang tidak menggembirakan dari penerapan nilai tukar mengambang
(floating exchange rate) dalam periode 1920-an, telah menjadi motivasi
19 internasional baru, tetapi masih mengaitkannya terhadap emas untuk
menjaga kestabilan harga (lihat Hallwood and MacDonald, 2000:353).
2) Sistem Bretton Woods
Perjanjian Bretton Woods tahun 1944 ditujukan untuk
menciptakan stabilitas dalam nilai tukar antara mata uang penting dunia.
Dalam mengejar tujuan ini, Amerika Serikat berpatokan pada harga emas
sebelum perang $35 per ons yang telah ditetapkan berdasarkan Gold Reserve Act tahun 1934. Dapat diperhatikan proses devaluasi dolar AS dari sebelumnya sebesar $20.67 per ons. Dengan implementasi nilai tukar
yang disepakati antara mata uang yang terkait dan dolar AS, emas secara
tidak langsung akan bersifat sebagai jangkar (patok) untuk menguatkan
uang beredar internasional. Sebagai bagian dari perjanjian Bretton
Woods, didirikanlah International Bank for Reconstruction and Development (World Bank) dan International Monetary Fund (IMF). Tujuan utama dari World Bank jelas untuk menyediakan dana-dana bagi negara sedang berkembang dengan suku bunga subsidi. Sementara itu,
tujuan keberadaan IMF adalah untuk mempertahankan cadangan emas
dan mata uang asing yang mencakup kontribusi negara-negara anggota
IMF. Cadangan ini bisa dipinjamkan atas permintaan negara peminjam
dan dengan pertimbangan IMF, dan digunakan untuk mempertahankan
20 Secara lebih rinci, sesuai dengan ayat-ayat persetujuan Bretton
Woods, tujuan dari sistem moneter internasional yang baru tersebut
adalah untuk:
a) meningkatkan stabilitas nilai tukar (kurs);
b) memberikan kepercayaan diri kepada negara-negara anggota
dengan menyediakan sumber-sumber oleh IMF dengan jaminan
yang seimbang;
c) meningkatkan kerjasama moneter internasional dengan konsultasi
dan kolaborasi atas permasalahan moneter internasional;
d) memfasilitasi terciptanya pertumbuhan yang seimbang dari
perdagangan internasional, kesempatan kerja dan pendapatan riil;
e) membentuk sistem pembayaran multilateral transaksi berjalan;
f) memperpendek jangka waktu dan mengurangi tingkat
ketidakseimbangan dalam neraca pembayaran; (Hallwood and
MacDonald, 2000:353).
Sistem kurs valuta asing yang dipakai IMF menurut peraturan
mula-mulanya adalah kurs tetap dan tidak memperbolehkan negara
anggota melakukan pengawasan devisa (exchange control) kecuali
kalau suatu negara mengalami krisis moneter yang hebat atau defisit
neraca pembayaran yang cukup besar. Kemudian semenjak 1944-1973
21 uang negara anggota lainnya. Perbandingan ini hanya boleh diubah
apabila negara tersebut mengalami ketidakseimbangan neraca
pembayaran setelah konsultasi dengan IMF (Nopirin, 1999:227).
Selama periode 1944-1973 tersebut dolar AS merupakan mata
uang yang sangat penting dalam lalu lintas pembayaran internasional.
Peranan dolar AS ini timbul sejak berakhirnya Perang Dunia II, dimana
pada saat itu terjadi kekurangan dana. Negara-negara Eropa sangat
memerlukan dana untuk memulihkan keadaan ekonominya.
Satu-satunya sumber adalah Amerika Serikat, sehingga dolar AS banyak
diminta konsekwensinya, emas menjadi tergeser oleh dolar AS karena
disamping mempunyai daya beli yang kuat di Amerika, cadangan
(reserves) dalam bentuk dolar akan menghasilkan bunga. Dengan
makin pentingnya fungsi dolar, maka setiap negara anggota
menetapkan perbandingan mata uangnya terhadap dolar, yang
kemudian apabila perlu dapat ditukarkan dengan emas dengan
perbandingan dolar:emas tertentu (ibid. 1999:227).
Dengan makin berkembangnya perdagangan internasional,
maka makin besar pula kebutuhan alat-alat liquid untuk pembayaran
transaksi. Untuk memenuhi tujuan ini IMF menciptakan apa yang
disebut dengan surat emas (Special Drawing Rights, SDR). Penggunaan
SDR diatur dengan menggunakan suatu rekening di IMF. Pada
22 dibagikan kepada negara anggota sesuai dengan kuota masing-masing.
1 SDR dinilai sama dengan US$ 1. Kemudian dilakukan devaluasi tahun
1971-1973, sehingga nilai SDR meningkat menjadi US$ 1,20. Pada
pertengahan tahun 1974 SDR dinilai berdasarkan rata-rata tertimbang
dari sejumlah 16 mata uang. Setiap negara anggota dapat
menggunakan SDR untuk tujuan berikut:
a. Memperoleh mata uang asing untuk mengatasi kesulitan
neraca pembayaran. Caranya dengan mentransfer rekening
SDR kepada negara yang ditunjuk oleh IMF untuk
menerimanya.
b. Memperoleh kembali mata uangnya yang dipegang oleh
negara lain.
c. Membeli kembali mata uangnya yang ada pada IMF.
Dibawah sistem Bretton Woods, nilai tukar (kurs) diperkirakan
akan berubah hanya ketika suatu negara mengalami "ketidakseimbangan
yang fundamental" yaitu ketika terjadi defisit atau surplus neraca
pembayaran dalam waktu yang lama. Untuk menjaga nilai tukar tetap
ketika suatu negara mengalami defisit neraca pembayaran dan kehabisan
cadangan internasionl, maka IMF akan meminjamkan cadangan
internasional yang diambilkan dari negara anggota lainnya. Sebagai hasil
dari kekuasannya untuk menentukan pinjaman, IMF dapat menekan
23 moneter yang bersifat kontraksi yang dapat memperkuat mata uang
mereka atau menghilangkan defisit neraca pembayaran. Apabila
pinjaman IMF tidak cukup untuk menahan depresiasi dari mata uang
bersangkutan, maka negara tersebut diperbolehkan untuk mendevaluasi
nilai mata uangnya pada tingkat yang baru yaitu kurs yang makin rendah
(Mishkin, 2006:437).
Meskipun defisit negara-negara yang kekurangan cadangan
internasional dapat ditekan dengan cara mendevaluasi mata uangnya
atau menjalankan kebijakan kontraksi, namun IMF tidak memiliki cara
untuk mendorong negara-negara yang memiliki surplus untuk
meningkatkan nilai tukar mata uang mereka atau menjalankan kebijakan
yang lebih bersifat ekspansi. Hal ini menurut Mishkin (ibid), adalah
kelemahan utama dari sistem Bretton Woods. Fakta yang sangat
mengganggu dalam hal ini adalah negara yang mata uangnya menjadi
cadangan mata uang dunia yaitu Amerika Serikat tidak dapat
mendevaluasi mata uangnya dalam sistem Bretton Woods, walaupun
dolar sudah dinilai terlalu tinggi (overvalued). Ketika Amerika Serikat
mencoba untuk mengurangi tingkat pengangguran domestik pada tahun
1960-an dengan menjalankan kebijakan moneter yang bersifat
inflasioner, maka terjadi ketidakseimbangan yang fundamental akibat
24 tidak terlaksana, sehingga sistem ini jatuh pada tahun 1971. Upaya
tambal sulam terhadap Sistem Bretton Woods dengan Smithsonian Aggreemen pada bulan Desember 1971 terbukti tidak sukses, dan semenjak 1973 Amerika Serikat dan negara-negara partner dagangnya
telah sepakat untuk mengambangkan nilai tukar mata uang mereka.
3) Sistem Moneter Modern
Sejak tahun 1973 sistem moneter internasional telah ditandai oleh
berbagai regim nilai tukar. Beberapa negara beroperasi dibawah nilai
tukar bebas (flexible exchange rate); sebagian menerapkan nilai tukar
tetap (fixed exchange standard); dan sebagian yang lainnya bolak balik
diantara kedua regim nilai tukar tersebut.
Menurut Kindleberger (1983:278) sistem yang lebih sederhana
adalah standar nilai tukar mengambang atau bebas tanpa adanya campur
tangan pemerintah dan penguasa bank sentral. Tingginya volatilitas nilai
tular dapat mengejutkan banyak orang. Tiga puluh tahun yang lalu atau
lebih, para ekonom pada umumnya percaya bahwa menyerahkan nilai
tukar kepada pasar bebas tidak akan menyebabkan fluktuasi yang besar.
Namun, pengalaman beberapa tahun belakangan ini telah
membuktikan bahwa para ekonom tersebut salah. Nilai tukar sepanjang
1980-2002 ternyata sangat berfluktuasi. Harga kurs tukar ditentukan oleh
berbagai faktor seperti ekspektasi apresiasi dan depresiasi nilai tukar,
25 hambatan perdagangan (trade barriers), permintaan impor, permintaan ekspor, produktivitas, perpindahan modal internasional, pengharapan
sebelumnya dari kaum spekulan mengenai masa depan kurs-kurs tukar,
dan penawaran uang (Mishkin, 2006:455; dan Kindleberger 1983:278).
Peningkatan penawaran uang dapat menyebabkan harga-harga
domestik menjadi meningkat dalam jangka panjang yang pada gilirannya
akan menyebabkan menurunnya ekspektasi nilai tukar. Akibat dari
penurunan ekspektasi apresiasi nilai tukar akan menyebabkan
meningkatnya ekspektasi pengembalian (expected return) memegang
deposito asing pada tingkat nilai tukar tertentu.
26 Perubahan tersebut akan menggeser kurva RF ke kanan bawah
dari RF1 ke RF2. Sementara itu, peningkatan penawaran uang akan
menyebabkan bertambahnya penawaran uang riil (M/P) karena tingkat
harga tidak dapat segera meningkat dalam jangka pendek. Dengan
demikian hasil dari peningkatan penawaran uang riil adalah jatuhnya
tingkat bunga domestik, yaitu dari ID1 ke ID2 sehingga expected return deposito domestik (dolar AS) juga ikut turun. Hal ini akan menggeser
kurva RD ke kanan bawah dari RD1 ke RD2 Akibatnya, dalam jangka pendek
akan terjadi penurunan nilai tukar dari E1 ke E2. Namun dalam jangka
panjang, bagaimanapun bunga akan meningkat ke ID1dan RD kembali ke
RD1, sehingga nilai tukar akan meningkat kembali dari E2 ke E3.
Kesimpulannya adalah peningkatan jumlah penawaran uang domestik
akan menyebabkan nilai tukar mata uang domestik terdepresiasi. (Lihat
Mishkin, 2006:454).
Stabilitas merupakan kriteria pertama yang perlu dimiliki oleh
sebuah mata uang yang kuat. Menurut Mishkin (2001:456) stabilitas
suatu mata uang bisa dilihat dari dua arah yaitu internal dan eksternal.
Sisi internal didefinisikan sebagai nilai mata uang itu bila dihubungkan
dengan harga barang dan jasa. Hal ini merefleksikan penggunaan mata
uang tersebut dalam sebuah negara dengan tipe ekonomi tertutup
27 Dalam hal ini, konsep inflasi sering dikaitkan dengan keberadaan
uang dengan barang dan jasa yang tersedia. Inflasi terjadi ketika jumlah
uang beredar meningkat secara relatif terhadap barang dan jasa yang
tersedia, yang mengakibatkan nilai uang atau daya belinya turun. Dengan
kata lain, ada kecenderungan kenaikan harga-harga barang dan jasa.
Dari sisi eksternal, nilai mata uang suatu negara dibandingkan
dengan nilai mata uang asing. Dalam kasus ini, apresiasi atau depresiasi
suatu mata uang bisa terjadi tergantung dengan siklus bisnis dan kondisi
ekonomi masing-masing. Mata uang akan terdepresiasi apabila mata
uang itu nilainya turun terhadap mata uang asing lainnya. Sebaliknya
mengalami apresiasi bila nilainya meningkat dari mata uang
pembandingnya. (lihat Hamidi, 2007:33).
2.4. Studi -Studi Terkait dengan Kestabilan Nilai Tukar
Rashid, Siswanto & Brozovsky (2002) telah melakukan penelitian tentang
perbandingan tingkat stabilitas serta korelasi antara uang berbasis emas
(gold-based currency) dengan uang berbasis fiat (Fiat Based Currency). Alat uji yang digunakan untuk mengukur tingkat stabilitas adalah koefisien variasi (coefficient
of variation). Model pengujian ini mengukur penyebaran absolut (standard deviation) terhadap nilai rata-rata (mean) dari distribusi data. Sedangkan untuk mengetahui hubungan (korelasi) diantara dinar, dirham dan SDR digunakan
28 Proksi dari gold-based currency adalah harga emas per ons, Special Drawing Rights (SDR) dan harga perak per ons dalam Dolar AS. Nilai dinar emas dapat disesuaikan sebagai nilai intrinsiknya yang terdiri dari 4,25 gram dari Emas
22 karat. Nilai dari emas 24 karat dapat dikonversi dengan emas 22 karat dengan
cara mengalikan 0.917 untuk tiap 1 gram emas 24 karat. Sementara, untuk nilai
dirham dinilai dengan 3 gram logam perak murni. Sedangkan proksi dari fiat-based currency adalah Euro, poundsterling dan Yen dalam Dolar AS. Periode pengamatan adalah dari 1 Juli 1997 sampai 31 Desember 2001.
Penelitian Rashid, dkk ini bertolak dari dua hipotesa yaitu: (1) mata uang
berbasis emas lebih stabil secara signifikan daripada nilai tukar uang berbasis
fiat; (2) terdapat korelasi yang signifikan untuk tiga proksi mata uang berbasis
emas (Dinar Emas, Dirham dan SDR IMF). Munculnya hipotesis yang kedua
disebabkan adanya perbedaan penilaian terhadap mata uang berbasis emas.
Oleh karena itu, variasi pengukuran mata uang berbasis emas
diperkirakan tidak bersifat substitusi sempurna antara yang satu dengan yang
lainnya. Temuan penting dari penelitian Rashid, dkk. adalah nilai tukar mata uang
berbasis emas (gold-based currencies) lebih stabil dari nilai tukar uang berbasis
fiat (fiat-based currencies). SDR-IMF adalah yang paling stabil diantara enam nilai
tukar dari hasil analisa dengan koefisien variasi (coefficient of variation) yang
paling rendah, yakni 0.03453. Perbandingan seluruhnya antara uang berbasis
emas dan uang berbasis fiat menunjukkan bahwa Dinar dan SDR IMF mempunyai
29 tiga proksi mata uang berbasis fiat. Koefisien variasi rata-rata untuk proksi uang
berbasis emas adalah 0.06678 yang secara signifikan lebih rendah daripada
koefisien variasi rata-rata untuk proksi uang berbasis fiat sebesar 0.08315.
Diantara ketiga sampel uang fiat, terlihat poundsterling memiliki stabilitas yang
lebih baik karena koefisien variasinya paling kecil, selanjutnya diikuti secara
berturut-turut oleh yen Jepang dan euro.
Berkenaan dengan hipotesa kedua, hubungan antara tiga proksi gold-based currencies (dinar, dirham dan SDR-IMF) secara signifikan berhubungan. Walaupun hubungannya tidak begitu kuat (kurang dari 50%), kecuali untuk dinar
dan SDR-IMF. Hal ini dapat disimpulkan walaupun ada hubungan yang signifikan
antara tiga proksi dari gold-based currencies tetapi tidak dapat disubtitusikan secara sempurna untuk dinar emas diantara tiga proksi tersebut karena
persentase hubungannya di bawah 50%, kecuali hubungan antara dirham dan
SDR-IMF. Salah satu alasan terhadap fenomena ini disebabkan kesulitan
menetapkan nilai yang sebenarnya dari dinar emas. Sekarang ini, nilai dinar emas
masih di bawah nilai intrinsik. 1 Dinar Emas sama dengan 30 SDR-IMF.
Sebaliknya, dinar mempunyai distribusi normal dari SDR-IMF. Jika dinar
digunakan maka rasio antara dinar-dirham menjadi 1 : 15, berarti nilai dirham di
atas nilai intrinsik.
Sementara itu, Hamidi (2007) melakukan penelitian tentang gold dinar dalam. perdagangan internasional. Ada tiga pertanyaan penting yang diajukan
30 tinggi? Atau dengan kata. lain, manakah yang lebih stabil antara dolar dan
emas?; (b) apakah penerapan gold dinar akan menciptakan peluang ekonomi
yang lebih luas (trade creating effect)?; (c) apakah pelaksanaan gold dinar feasible dan applicable?
Untuk menjawab pertanyaan penelitian yang pertama, (Hamidi,
2007:200-201) juga menggunakan metode coefficient of variation (CV). Penerapan metode ini menggunakan. data nilai tukar dolar terhadap emas.
Sebagai pembanding, Hamidi menggunakan nilai tukar deutsche mark (DM) dan
yen terhadap dolar. Hasil pengujian yang dilakukan Hamidi memperlihatkan
volatilitas dolar terhadap emas mendekati 60 persen di titik tertinggi dan 10
persen di titik terendah antara tahun 1972-1980. Periode berikutnya, 1980-1996,
volatilitas mulai mengalami penurunan yaitu antara 5-10 persen, dan selanjutnya
menurun lagi di bawah 5 persen sampai tahun 2002.
Selanjutnya, Hamidi (2007:111) menjelaskan bahwa volatilitas dolar
terhadap emas boleh dikatakan paling tinggi dibandingkan dengan volatilitas DM
dan yen terhadap dolar. Tingkat volatilitas dolar terhadap emas semakin
mendekati titik nol ketika memasuki tahun 1999. Hal ini berarti dolar semakin
stabil terhadap emas. Temuan ini menurut Hamidi adalah suatu hal yang aneh
karena pada tahun itu dan sesudahnya, Amerika memikul beban defisit
perdagangan yang kian tak tertanggungkan, sehingga mustahil dibayar kecuali
31 Menurut Speck (2003) hal ini terkait dengan diratifikasinya Washington Agreement pada tahun 1999 yang mempunyai maksud terselubung untuk menekan harga emas. Hal ini dilakukan supaya emas tidak menjadi pesaing bagi
dolar dan debt instrument lain yang diterbitkan oleh pemerintah Amerikat Serikat.
Akhirnya Hamidi (2007:131) menyimpulkan bahwa gold dinar lebih stabil
dibandingkan dengan fiat money manapun, termasuk dolar AS. Istilah stabil di sini merujuk pada alasan praktis, yaitu rendahnya tingkat volatilitasnya, dimana
fiat money dibandingkan dengan emas terbukti lebih volatil. Hasil empiris yang ditemukan dalam studi ini menunjukkan bahwa dolar terhadap emas cenderung
terus terdepresiasi dan nilai tukar riilnya berpengaruh pada menurunnya ekspor
dari negara-negara berkembang.
Berkaitan dengan pertanyaan penelitiannya yang kedua, Hamidi
(2007:102) menyimpulkan bahwa implementasi gold dinar dalam perdagangan internasional diproyeksikan akan mendatangkan banyak manfaat, Bentuk
manfaat yang dimaksud antara lain:
a) mengurangi dampak volatilitas yang disebabkan oleh fluktuasi mata uang;
b) trader tidak perlu lagi melakukan hedging;
c) transaksi semakin efisien karena semakin banyak negara yang bergabung,
hanya diperlukan gold dinar relatif kecil untuk volume perdagangan yang
32 d) gold dinar akan berperan sebagai mata uang bersama (common currency)
yang berimplikasi pada pengurangan biaya transaksi; dan
e) keuntungan politis dimana para pendukung gold dinar akan menjadi blok
yang solid sehingga diperhitungkan kiprahnya dalam percaturan
perdagangan internasional.
Apakah volatilitas mata uang (currency volatility) berdampak pada perdagangan internasional. Tidak sederhana untuk menjawabnya. Penelitian
tentang dampak dari volatilitas nilai tukar terhadap perdagangan internasional
telah banyak dilakukan baik dari sisi teori maupun empiris. Akan tetapi, tidak ada
konsensus yang jelas tentang dampak resiko nilai tukar terhadap volume
perdagangan. Meskipun banyak model-model perdagangan menyimpulkan
bahwa semakin besar ketidakpastian dalam pergerakan nilai tukar akan
mengurangi volume perdagangan, namun ada pula pihak yang memperkirakan
dampak sebaliknya (Pozo, 1992:1). Berikut ini akan dikemukakan beberapa
penelitian terkait dengan volatilitas nilai tukar dengan perdagangan dan
permasalahan ekonomi lainnya.
Grauwe (1998:240) sebagaimana dikutip Hamidi (2007:40-41),
menjelaskan bahwa semenjak tahun 1973, banyak negara maju yang
menerapkan sistem kurs mengambang (floating rate rezim) pada mata uang
nasional mereka. Hal yang paling mencolok dari pemberlakuan sistem baru itu
adalah kecenderungan tingginya volatilitas mata uang yang menyebabkan
33 cenderung menghindari resiko dengan mengurangi transaksi perdagangan
internasional (yang menggunakan mata uang dengan tingkat uncertainty yang tinggi) dan mengalihkan kegiatan dengan berkonsentrasi dalam perdagangan
lokal (yang resikonya lebih rendah). Langkah ini pada akhirnya memukul
perdagangan internasional secara keseluruhan dan pada gilirannya berakibat
pada melambatnya laju pertumbuhan ekonomi. Setelah pemberlakuan kurs
mengambang ini, negara-negara industri itu mulai menuai perlambatan
pertumbuhan ekonomi. Sebelum pemberlakuan sistem baru itu, antara tahun
1960-1973 pertumbuhan ekonomi tahunan mereka rata-rata mencapai 4,4
persen pertahun. Namun begitu sistem kurs mengambang itu diterapkan, selama
periode 1973-1990 pertumbuhan ekonomi mereka merosot menjadi hanya
sekitar 1.3 persen.
Orang mungkin bisa berkilah semestinya baik importir atau eksportir itu
tidak perlu mengurangi kegiatan ekspor-impornya karena mereka bisa
mengurangi resiko dengan melakukan hedging untuk melindungi dari risiko naik
dan turunnya kurs. Namun, upaya hedging itu tentu bukan sesuatu yang gratis. Hedging bagi eksportir dan importir berarti mengeluarkan tambahan biaya (additional cost) yang berarti benefit yang mereka peroleh dari perdagangan itu akan berkurang karena sebagian dari keuntungan harus dialihkan untuk menutup
biaya hedging.
Dalam kaitan dengan kestabilan nilai tukar, Meera (2002) telah
34 meyakini langkah tersebut dapat dijadikan solusi atas kelemahan sistem moneter
yang berbasis uang fiat dan bunga serta berbagai dampak negatif ikutannya.
Walaupun dalam sejarah Islam dinar dan dirham adalah uang logam, namun
sistem dinar Islam yang dimaksud dalam era modern sekarang ini pada dasarnya
adalah suatu sistem pembayaran elektronik yang disokong oleh emas. Transaksi
yang dilakukan memang melalui internet dengan peralatan transfer elektronik,
namun semua transaksi tersebut disandarkan pada emas. Inovasi dari bentuk
tradisional ini adalah untuk menghindari membawa emas dalam jumlah yang
banyak, untuk kenyamanan dan keamanan, Sistem kartu (seperti kartu debit dan
kartu kredit) juga dapat dimasukkan dalam sistem pembayaran. Dibandingkan
dengan uang fiat berbasis bunga, implementasi sistem dinar Islam akan
mempunyai implikasi sebagai berikut:
a) Penciptaan dan penghancuran uang sebagaimana terjadi pada sistem
yang sekarang ini tidak mungkin terjadi karena dinar adalah emas yang
mempunyai nilai intrinstik. Oleh karena itu, sistem moneter dan mata
uang akan menjadi stabil. Pertumbuhan penawaran uang emas
diperkirakan tidak akan melebihi pertumbuhan sektor riil, sehingga dapat
menghilangkan tekanan inflasi.
b) Dinar adalah alat tukar (Medium of Exchange) yang baik karena emas
dihargai dan berputar secara global. Dengan peningkatan jumlah
penduduk dan aktivitas ekonomi, tetapi penawaran emas yang relatif
35 c) Sistem dinar Islam akan meminimalisasi spekulasi, manipulasi dan
arbitrase.
d) Dampak-dampak dari siklus bisnis akan diminimalkan. Dengan
pertumbuhan penawaran uang dalam sistem dinar, maka pertumbuhan
harga-harga agregat dan utang akan sangat terbatasi. Dengan demikian,
aktivitas bisnis dan ekonomi akan menjadi lebih stabil.
e) Dinar akan mengurangi risiko nilai tukar dan mendorong perdagangan.
Hal ini terjadi bila dinar digunakan sebagai mata uang tunggal bagi
negara-negara muslim, sebagaimana Euro. Penyatuan mata uang
tersebut juga akan mengurangi biaya transaksi secara signifikan, karena
ketika seseorang mengimpor atau mengekspor barang, dia tidak lagi
perlu menukar mata uang yang menjadi bagian biaya transaksi.
2.5. Kerangka Pemikiran
Kestabilan nilai tukar sangat diperlukan bagi kelancaran perdagangan
internasional. Apabila nilai tukar selalu mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu,
maka kepastian dalam bisnis dan perdagangan akan sangat terganggu. Hal ini
dapat menyebabkan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi dan
berkurangnya kesempatan kerja, sehingga angka pengangguran dan kemiskinan
akan meningkat.
Dolar AS adalah mata uang yang banyak digunakan untuk pernbayaran
36 peranan ekonomi dan politik Amerika Serikat dalam percaturan internasional.
Akan tetapi, dolar AS adalah uang fiat yang tidak mempunyai nilai instrinsik
sehingga nilai tukarnya relatif tidak stabil.
Disamping itu, nilai tukar dolar AS telah mengalami penurunan atau
terdepresiasi terhadap mata uang kuat dunia lainnya. Hal ini berpotensi
mengganggu dan merugikan para pelaku bisnis yang menggunakan dolar AS.
Ketika nilai tukar dolar AS kembali mengalami penguatan (terapresiasi), maka
investor mungkin akan beralih kembali menanamkan dananya dalam bentuk
dolar AS. Penggunaan dolar AS sebagai standar global, mengakibatkan setiap
kegiatan ekonomi global seperti perdagangan, ekspor-impor, atau
hutang-piutang akan mengakibatkan dolar AS sebagai standar utama dalam sistem
keuangannya. Dalam tatanan praktis, ternyata dolar sangat rawan terhadap
gejolak ekonomi dan memiliki dampak yang signifikan terhadap dinamika
ekonomi secara luas dan cepat. Dinamika dan fluktuasi dolar AS yang demikian
cepat semakin menjadikan perekonomian global sangat sulit diprediksi.
Dengan demikian, terlihat adanya keterkaitan antara perubahan nilai
tukar dolar AS dengan perkembangan permintaan dan harga emas maupun
perak. Sebaliknya, perubahan nilai tukar atau tingkat harga emas dan perak juga
berpeluang untuk mempengaruhi keputusan investor untuk berinvestasi diantara
kedua jenis komoditas logam mulia ini dan keputusan untuk menanamkan
37
Gambar 2.2. Tahapan Proses Penelitian
Studi Literatur
Pengumpulan Data
Melalui Situs Terkait
Pengolahan Data Harian
Menjadi Bulanan
Perhitungan
Koefisien
Variasi
Uji Granger
Uji VAR
Pembahasan Hasil
Penarikan
Kesimpulan dan
38
BAB III
METODOLOGI DAN DATA PENELITIAN
3.1. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini yaitu nilai tukar dolar AS, nilai tukar
dinar emas dan nilai tukar dirham perak. Ketiga variabel tersebut diukur dalam
Rupiah, Ringgit Malaysia, dan Dolar Singapura. Penggunaan Rupiah, Ringgit, dan
dolar singapura didasarkan pada pertimbangan pengaruh dan penggunaannya
dalam transaksi perdagangan internasional khususnya wilayah Asia Tenggara,
sehingga termasuk kedalam kelompok hard currency. Dolar AS merupakan proksi
dari nilai tukar uang kertas (fiat money). Sedangkan dinar emas dan dirham perak adalah proksi dari uang komoditas (commodity money).
Sehubungan dengan dinar emas dan dirham perak saat ini tidak lagi
digunakan sebagai mata uang secara resmi, maka nilai tukarnya adalah harga
yang berlaku untuk memperoleh keduanya di bursa komoditas. Proksi dinar
emas sesuai dengan apa yang digunakan dalam penelitian Rashid, dkk (2002),
Darwis (2006) dan Hamidi (2007) yaitu emas murni 22 karat seberat 4,25 gram.
Akan tetapi, karena pada umumnya emas yang diperjualbelikan di pasar adalah
emas 24 karat, maka dilakukan penyetaraan dengan cara mengalikan nilai emas
24 karat dengan 0.917. Sedangkan untuk dirham perak digunakan nilai perak
39
3.2. Metode Penentuan Sampel
Penentuan sampel dalam penelitian dilakukan secara porposive sampling,
yaitu pengambilan sampel berdasarkan tujuan dan kriteria (Sugiyono, 1999).
Sampel yang dipilih adalah sebagai berikut:
1. Nilai tukar yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah nilai tukar
dinar emas dan dirham perak yang terdapat dalam data perkembangan
harga emas dan perak dari situs internet http://www.kitco.com.
2. Data nilai tukar atau kurs dolar AS terhadap rupiah didapatkan dari data
historis harian yang dilaporkan oleh Bank Indonesia dalam situs resminya
(www.bi.go.id), data nilai tukar ringgit Malaysia dan dolar Singapura
terhadap dolar AS didapat dari hasil konversi nilai tukar mata uang
tersebut yang didapat dari (http://www.oanda.com/historical-rates) dan
juga Data Indeks Harga Konsumen (IHK) Amerika Serikat juga diperoleh
dari situs resmi Bank Sentral (the FED).
3.3. Metode Pengumpulan Data
Data dasar nilai tukar (kurs) dolar AS terhadap rupiah, ringgit Malaysia,
dan dolar Singapura adalah dalam bentuk harian. Untuk keperluan pengujian,
data tersebut dirata-ratakan terlebih dahulu kedalam bentuk bulanan, agar
series yang digunakan tidak terlalu panjang. Sementara itu, data dasar harga
40 waktu harian. Oleh karena itu, data tersebut perlu diolah terlebih dahulu
mengikuti langkah-langkah berikut:
a) Data harian dirubah menjadi data rata-rata bulanan;
b) Data harga emas dan perak secara bulanan tersebut dikalikan dengan
nilai tukar bulanan dolar AS terhadap rupiah, ringgit, dan dolar singapura
untuk mendapatkan proksi dinar emas, harga rata-rata bulanan emas
dikalikan dengan 0.14991. Angka pengali ini didapatkan dari pembagian
jumlah gram emas untuk mendapatkan satu dinar emas (4.25 gram)
dengan jumlah gram emas dalam ukuran 1 ounce (28.35 gram). Hasil
yang didapatkan masih dalam nilai emas 24 karat, sehingga perlu
dikalikan lagi dengan 0.917 untuk mengkonversi ke dinar emas yang
mempunyai nilai intrinsik 22 karat. (c) untuk mendapatkan proksi dirham
perak, harga rata-rata bulanan perak dikalikan dengan 0.10582. Angka
pengali ini didapatkan dari pembagian jumlah gram perak untuk satu
dirham (3 gram) dengan jumlah gram perak dalam ukuran 1 ounce (28.35
gram). Untuk mendapatkan nilai tukar riil semua variabel yang masih
dalam bentuk nominal dideflasi dengan indeks harga konsumen (IHK) AS.
Data nilai tukar dinar emas, dirham perak dan dolar AS yang digunakan
dalam penelitian ini tergolong sebagai data sekunder (secondary data). Sedangkan rentang waktu atau lamanya pengamatan ini adalah selama 52 bulan
41
3.4. Metode analisis dan Uji Hipotesis
Untuk mengetahui manakah yang lebih stabil diantara nilai tukar dolar
AS, dinar emas dan dirham perak terhadap rupiah, ringgit Malaysia dan dolar
Singapura digunakan metode perhitungan koefisien variasi (coefficient of variation) dari nilai tukar ketiga mata uang yang diuji.
Menurut Levin dan Rubin (1998:126), pengukuran koefisien variasi
memberikan gambaran tentang jarak dari penyimpangan (deviation) secara relatif terhadap jarak nilai rata-rata (mean). Jika varians (the variance) dan standar deviasi (the standard deviation) menceritakan tentang suatu jarak
rata-rata antara observasi dengan rata-rata-rata-rata distribusi dari sekelompok data, maka
koefisien variasi (coefficient of variation) adalah pengukuran relatif dari penyebaran beberapa kelompok atau distribusi data.
Formula penghitungan koefisien variasi dalam penelitian ini merujuk pada
formula yang digunakan oleh Esquivel dan Larrain (2002:5) yaitu:
dimana X adalah nilai tukar riil pada bulan t+i-1; X adalah rata-rata nilai tukar riil
bilateral selama periode pengamatan; dan m adalah jumlah total sampel
diantara bulan t dan t+m-1. X dalam hal ini adalah nilai tukar riil dinar emas; nilai
42 ringgit Malaysia, dan dolar Singapura. Sedangkan m atau jumlah 52 yaitu data
bulanan dari Januari 2006 - April 2010.
Semakin kecil angka koefisien variasi (coefficient of variation) yang didapatkan berarti semakin kecil tingkat volatilitas atau gerak naik dan turunnya
data yang diukur sehingga dapat dikatakan pergerakan data tersebut semakin
stabil. Demikian pula sebaliknya, semakin besar angka koefisien variasi maka
semakin tidak stabil pergerakan data yang diukur.
Selanjutnya, untuk menjawab perumusan masalah tentang hubungan
antara fluktuasi antara nilai tukar dolar AS, dinar emas dan dirham terhadap
rupiah, ringgit Malaysia, dan dolar Singapura, maka dilakukan pengujian
hipotesis dengan menggunakan metode pengujian Kausalitas Granger (Granger Causality) dan model estimasi Vektor Otoregresi (Vektor Autoregression). Disamping untuk mengukur lemah kuatnya hubungan antara variabel bebas
dengan variabel terikat atau sebaliknya, uji kausalitas Granger juga digunakan
untuk mengetahui apakah dalam hubungan tersebut variabel bebas
(independence variable) yang memicu terjadinya perubahan variabel terikat (dependence variable), atau sebaliknya. Operasional pengujian-pengujian
menggunakan komputer dengan software Eviews 5.1.
Alasan penggunaan model pengujian Kausalitas Granger dan Vektor
Otoregresi (VAR) adalah karena secara teori belum diketahui apakah diantara
volatilitas nilai tukar dinar emas, dirham perak dan dolar AS terhadap rupiah,