• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Keuangan daerah Perspektif Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pada Pemerintah Kota Binjai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengelolaan Keuangan daerah Perspektif Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pada Pemerintah Kota Binjai"

Copied!
234
0
0

Teks penuh

(1)

PADA PEMERINTAH KOTA BINJAI

TESIS

Oleh

SYAFRIDA FITRIE

067024023/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PADA PEMERINTAH KOTA BINJAI

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP)

dalam Program Studi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SYAFRIDA FITRIE

067024023/SP

(3)

Nama Mahasiswa : Syafrida Fitrie

Nomor Pokok : 067024023

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Drs. M. Husni Thamrin Nst, M.Si) Ketua

(Drs. Agus Suriadi, M.Si) Anggota

Ketua Program Studi,

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA)

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

(5)

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

PERSPEKTIF PERMENDAGRI NO. 13 TAHUN 2006 PADA PEMERINTAH KOTA BINJAI

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 14 April 2008 Penulis,

(6)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengelolaan Keuangan Daerah Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara yang mencakup peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Menganalisis Pengelolaan Keuangan Daerah Kota Binjai berdasarkan perpektif Permendagri No. 13 Tahun 2006 bagi kepentingan pelayanan publik dan pelayanan aparat/ penyelenggara pemerintahan.

Data yang digunakan adalah data kualitatif dari Pemerintah Kota Binjai, yang diperoleh dari setiap SKPD Kota Binjai. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif yang bersifat eksploratif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di Kota Binjai belum mencerminkan sepenuhnya aspirasi masyarakat daerah di mana arah dan kebijakan umum anggaran lebih didominasi oleh kepentingan elit lokal diatasnya serta belum optimalnya peranan panitia anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Binjai sebagai wakil rakyat di daerah.

(7)

The objective of the research is to know the regional financial administration of Binjai City, North Sumater, covering the Regional Taskforce (SKPD), and then to analyze the regional financial administration of Binjai City by perpective of Permendagri No. 13/ 2006 for interst public service and apparatus service/ administrative.

The data used is qualitative data from adminstrative authority of Binjai City, gained from each SKPD of Binjai City. This reseach uses explorative qualitative and descriptive analiysis.

The result of research indicates that the prosess of Regional Budget drafting of Binjai City does not reflect completely the regional people’s aspiration in which direction and general policy of budget is more dominated by local elite interst and suboptimum role of budgeting committee by representative boards of Binjai City.

(8)

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq serta

hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini, dengan

tujuan untuk menganalisis bagaimana Pengelolaan Keuangan Daerah Perpektif

Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pada Pemerintah Kota Binjai yang merupakan salah

satu Kota di Sumatera Utara. Dengan harapan akan bermanfaat bagi daerah tersebut

dalam rangka merumuskan kebijakan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) nantinya.

Berbagai pihak memberikan bantuan yang sangat berharga dalam

penyelesaian tesis ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K) selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis

untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku Ketua Program Studi Magister

Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai penguji.

(9)

7. Bapak Drs. Sudirman, MSP selaku dosen pembanding II yang juga telah

memberikan sumbangan dan saran pemikiran dalam penulisan tesis ini.

8. Segenap tim pengajar Program Studi Magister Studi Pembangunan (M.SP)

Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang

telah berupaya mencurahkan ilmu pengetahuannya kepada penulis.

9. Bapak Drs. H. A. Azis Angkat, MSP yang telah memberikan pemikiran dalam

penulisan tesis ini kepada penulis.

10. Para Pegawai Pemerintah Kota Binjai yang telah memberi kemudahan pada

penulis dalam proses penyusunan tesis ini.

11. Teman-teman Angkatan IX (Achmad Fadly, Ahmad Muzawwir, Analisman

Zalukhu, Andy Siregar, Dedy Rustam Alamsyah Nst, Denni Rovi S. Meliala, Eli

Sudarman, Fahri Azhari, Ghazali Rahman, Hendra Dermawan Siregar, Lantika

Purba, Latifah Hanum Daulay, Maya Soraya, Meilani Tarigan, Muhammad

Abduh Riza, Murniati, Ody Dody Prasetyo, Onggung P.G. Purba, Pardomuan

Nasution, Pinta Omastri Pandiangan, Rehia Karenina Isabella Barus, Sri

Rahmayani, Syahrul Halim, Teuku Al fiady dan Valdesz Junianto Nainggolan).

12. Seluruh Pegawai Administratif Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Program Magister Studi Pembagunan (Dina Rahma, S.Sos, Iwan dan Dadek) yang

(10)

dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda DR. H. Syahdansyah

Putra dan Ibunda Hj. Nurhalimah Nst, Suamiku Iwan Zulkarnain Lubis dan Anakku

M. Zulfiansyah Lubis serta seluruh keluarga lainnya yang telah dengan sabar

mendo’akan dan memberi motivasi bagi penulis.

Penulis menyadari dengan pengetahuan dan kemampuan yang terbatas, sudah

barang tentu terdapat banyak kekurangan dalam tesis ini, untuk itu kritik dan saran

yang konstruktif sangat penulis hargai demi kesempurnaannya, sehingga tesis ini

akan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengatahuan dan siapa saja yang membaca

serta dapat dipergunakan sebagai masukan untuk pengkajian lebih lanjut.

Medan, 14 April 2008

Penulis,

(11)

Nama : Syafrida Fitrie

Tempat Lahir : Medan

Tanggal Lahir : 17 Oktober 1967

Jenis Kelamin : Perempuan

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Status Perkawinan : Sudah Menikah

Golongan Darah : AB

Alamat : Komp. Tasbi 2 Blok XI No. 38 Medan

Nomor Telp/ HP : 061-8222349/ 0811647647/ 77563040

Pengalaman Organisasi :

1. Ketua Regu Jambore Nasional Tahun 1977

2. Manager Tim Olah Raga Gulat Sumatera Utara Pon XV Surabaya Tahun 2002

3. Bendahara Umum Himpunan Pengusaha Muda Kota Medan Tahun 1999 s/d

2003

4. Bendahara Umum Himpunan Pengusaha Muda Sumatera Utara Tahun 2003

s/d 2006

5. Ketua Persatuan Perempuan KOSGORO 57 Sumatera Utara Tahun 2002 s/d

sekarang

(12)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Kebijakan Publik ... 9

2.2 Implementasi Kebijakan ... 11

2.3 Pengelolaan Keuangan Daerah ... 13

2.4 Tujuan Pengelolaan Keuangan Daerah ……… .... 20

2.5 Prinsip-prinsip Penyusunan Anggaran Daerah... 22

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 26

3.1 Jenis Penelitian ... 26

3.2 Definisi Konsep ... 27

3.3 Operasionalisai Variabel ... 27

3.4 Informan Penelitian ... 28

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 29

3.6. Lokasi Penelitian ... 29

(13)

4.1.8. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Kota Binjai ... 40

4.1.9. Kependudukan... 42

4.1.10. Mata Pencaharian Penduduk ... 43

4.1.11. Transfortasi ... 44

4.1.12. Komunikasi ... 45

4.1.13. Air Minum... 45

4.1.14. Energi Tenaga Listrik... 46

4.1.15. Agama ... 48

4.1.16. Kesehatan ... 48

4.2 Hasil Penelitian... 49

4.3 Analisis Data dan Pembahasan ... 50

4.3.1. Proses Penyusunan APBD Kota Binjai ... 52

4.3.2. Pelaksanaan Program SKPD Kota Binjai... 56

4.3.3. Uraian Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Kota Binjai ... 59

4.3.4 Mekanisme Penyusunan APBD Kota Binjai ... 62

4.3.5. Hasil Wawancara dan Analisis Terhadap Penge- lolaan Keuangan Pemerintah Kota Binjai ... 66

BAB V PENUTUP ... 71

5.1 Kesimpulan ... 71

5.2 Saran-saran ... 72

(14)

Nomor Judul

1 Jenis Penggunaan Lahan atau Tanah di 5 (Lima) Kecamatan

Kota Binjai Tahun 2006 ... 40

2 Pembagian BWK di Kota Binjai Tahun 2001 – 2010 ... 41

3 Jumlah Penduduk Tiap Kecamatan Kota Binjai Tahun 1994 – 2004 ………... 42

4 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Pertumbuhan Penduduk Kota Binjai Tahun 1994-2004 ……….. 43

5 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Binjai di Setiap Kecamatan Tahun 2004 ………. 43

6 Pola Pencari Kerja Menurut Tingkat Pendidikan ... 44

7 Penunjuk Jalan Menurut Jenis Permukaan Tahun 1999 ... 44

8 Perkembangan Angkutan Umum yang Beroperasi ... 44

9 Perkembangan Unit Pelayanan Pelanggan ………. 45

10 Perkembangan Jumlah Pelanggan Air Minum PDAM ... 45

11 Perkembangan Jumlah Pelanggan Listrik ... 46

12 Jumlah Sekolah Perkecamatan di Kota Binjai ... 46

13 Jumlah Penduduk Masa Usia Sekolah ... 47

14 Daya Tampung Siswa Rata - rata di Tiap - tiap Sekolah Per Kecamatan ……….. 47

15 Jumlah Lokal / Ruang Kelas yang dibutuhkan di Tiap - tiap Kecamatan ………. 47

(15)

Nomor Judul

1 Laporan Keuangan ... 61

2 Mekanisme Penyusunan APBD Pemerintah Kota Binjai …... 63

(16)

Nomor Judul

1 Daftar Panduan Wawancara Penelitian ………... 78

2 Permendagri No. 13 Tahun 2006 ……… 81

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebijakan-kebijakan pemerintah pusat terutama kebijakan dalam keuangan

negara haruslah melibatkan pemerintah daerah. Sebab, kinerja dan pengelolaan

keuangan daerah saat ini menduduki posisi penting dalam strategi pemberdayaan

pemerintah daerah terlebih lagi dalam mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah dan

mewujudkan desentralisasi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Tuntutan

terhadap pengelolaan keuangan rakyat (publik money) secara baik merupakan issue

utama yang harus dilakukan pemerintah daerah dalam mewujudkan tujuan

pemerintahan yang bersih (clean goverment), dimana pengelolaan keuangan daerah

yang baik adalah kemampuan mengontrol kebijakan keuangan daerah secara

ekonomis, efisien, transparan dan akuntabel.

Dalam pengelolaan keuangan daerah telah diatur dalam Permendagri No. 13

Tahun 2006 sebagai pengganti Kepmen No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman

Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara

Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha

Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah.

Regulasi aturan-aturan tersebut dirasakan sangat menyulitkan dalam hal

(18)

memahami, kendala berikutnya adalah adanya aturan-aturan pelaksanaan yang belum

dikeluarkan, baik itu turunan dari undang-undang maupun peraturan-peraturan

pemerintah itu sendiri sampai sekarang belum diwujudkan, tapi pemerintah tentunya

tidak boleh hanya menunggu dengan tidak melaksanakan aturan yang ada.

Kalau hal ini dilakukan sudah pasti apabila ada pemeriksaaan, maka akan

menjadi temuan tentunya. Perubahan-perubahan aturan yang demikian cepat akan

banyak menimbulkan masalah-masalah dalam hal pengelolaan keuangan daerah

terutama pada pertanggungjawaban akhir kegiatan.

Akhirnya yang sangat merasakan dampaknya adalah masyarakat di daerah

pada khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya, akibat dari banyaknya

peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh regulator tapi kemudian diperbaharui,

dicabut, diganti kembali sehingga tidak ada kepastian hukum. Hal ini juga

mengakibatkan resiko bisnis di Indonesia dan khususnya di daerah-daerah,

menimbulkan banyak problem, salah satunya adalah problem institusi-institusi kunci

lemah dalam memberikan kepastian hukum.

Perubahan-perubahan pada aturan pelaksanaan inilah yang sangat merepotkan

pada tatanan implementasi di Pemerintah Kota Binajai karena perubahan-perubahan

aturan tersebut. Namun, upaya untuk itu Pemerintah Kota Binjai melakukan

(19)

aturan-aturan pelaksanaan harus juga professional dan bertanggung jawab, jadi tidak

hanya pihak-pihak yang akan melaksanakan saja yang harus mematuhi atau

mengikuti aturan-aturan tapi pihak regulator atau pembuat aturan tidak mau

mendengar, melihat dan memperhatikan best practice sekaligus diadakan uji publik

dahulu, setelah itu baru diimplementasikan. Sehingga tidak membuat aparatur di

daerah menjadi bingung. Hal ini dapat dimaklumi karena aparatur pemerintah daerah

baru memahami dan melaksanakan aturan yang diberlakukan tahun anggaran 2003

(Kepmendagri No. 29 Tahun 2002) kemudian pada tahun anggaran 2004 harus

berubah total mengikuti aturan Permendagri No. 13 tahun 2006.

Masih banyaknya daerah, termasuk aparatur Pemerintahan Kota Binjai, yang

belum memahami Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006

yang menjadi salah satu kendala implementasi penyusunan anggaran tentang

Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Tetapi masalah ini tidak akan berlangsung

lama, asalkan setiap daerah memiliki komitmen untuk segera

mengimplementasikannya.

Berbicara mengenai kebijakan pengelolaan keuangan daerah tidak terlepas

dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dilakukan dengan menekankan

pada konsekuensi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah

daerah. Terbitnya Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

sebagai pengganti Undang-undang No. 22 tahun 1999 memberikan warna baru

landasan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pengelolaan keuangan daerah

(20)

peningkatan efisiensi, efektifitas, akuntabilitas, dan transparansi pengelolaan

keuangan publik baik dari sisi pendapatan maupun belanja. Inti perubahan yang akan

dilakukan antara lain mempertajam esensi pengelolaan keuangan daerah dalam sistem

penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menyangkut penjabaran terhadap hak

dan kewajiban daerah dalam mengelola keuangan publik, meliputi mekanisme

penyusunan, pelaksanaan dan penatausahaan, pengendalian dan pengawasan, serta

pertanggungjawaban keuangan daerah.

Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance, pengelolaan

keuangan daerah Pemerintah Kota Binjai dilakukan secara profesional, terbuka, dan

bertanggungjawab sesuai dengan perudang-undangan yang berlaku. Pengelolaan

keuangan daerah meliputi seluruh kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan,

pengawasan dan pertanggung jawaban. Keuangan daerah harus dikelola secara tertib,

taat perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung

jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Dengan memperhatikan

Undang-undang No. 17 Tahun 2003 dan Permendagri No. 13 Tahun 2006

pengelolaan keuangan daerah dapat dibagi menjadi:

1. Penyusunan dan Penetapan APBD

Anggaran sebagai perencanaan dan perwujudan pengelolaan keuangan daerah

(21)

mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan

dalam rangka pencapaian tujuan.

2. Pelaksanaan APBD

Pelaksanaan APBD merupakan tindak lanjut dari perencanaan APBD yang

ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Realisasi pelaksanaan APBD selama

semester pertama harus dilaporkan dan dibuat kembali untuk pelaksanaan semester

selanjutnya. Perubahan dan penyesuaian dalam pelaksanaan APBD dapat dilakukan

apabila terjadi hal-hal berikut : perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi

kebijakan umum daerah, keadaan yang mengharuskan terjadinya pergeseran

anggaran, serta keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya

harus digunakan untuk pembiayaan anggaran berjalan.

3. Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD

Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD disampaikan dalam bentuk Laporan

Keuangan yang sekurang-kurangnya meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca,

Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan keuangan tersebut

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Pemerintah Kota Binjai merupakan salah

satu upaya konkrit pemerintah daerah dalam mewujudkan asas transparansi dan

akuntabilitas pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah. Laporan keuangan disusun

dan disajikan tepat waktu dengan bentuk dan isi yang sesuai standar akuntansi

(22)

Sebagai perwujudan akuntabilitas laporan maka Laporan Keuangan diaudit oleh

lembaga independen (dalam hal ini adalah BPK) sebelum disampaikan kepada DPRD

dan pihak yang memerlukan.

Dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Kota Binjai

nyatanya masih dijumpai kendala-kendala sebagai berikut :

1. Peraturan pemerintah sebagai tindak lanjut pelaksanaan undang-undang belum

seluruhnya diterbitkan.

2. Masih belum tersedianya sumber daya manusia yang memadai.

3. Belum optimalnya sinkronisasi jadwal penyusunan antara APBN, APBD

Propinsi, dan APBD Kabupaten/ Kota.

4. Transparansi penetapan formula pengalokasian dana-dana di luar DAU belum

nyata (daerah kesulitan menentukan asumsi penerimaan untuk tahun yang

akan datang).

5. Banyaknya dana dari pusat yang langsung diberikan kepada berbagai instansi

sementara pemerintah Kabupaten/ Kota tidak diberitahu berapa alokasi dana

yang diberikan maupun peruntukannya.

Dengan melihat kendala di atas Pemerintah Kota Binjai melakukan

(23)

2. Mengikuti pelatihan dan workshop mengenai perkembangan peraturan

pengelolaan keuangan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun

lembaga keuangan lainnya.

3. Mengupayakan adanya informasi sedini mungkin dari Pemerintah Pusat agar

prediksi penerimaan daerah yang masuk ke dalam APBD makin realistis.

4. Meningkatkan koordinasi antar instansi untuk memonitor dan melaporkan

pengelolaan keuangan yang menjadi tanggungjawabnya.

Melihat pentingnya pengelolaan keuangan daerah dalam penyelenggaraan

pembangunan daerah, serta untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pengelolaan

keuangan yang dilakukan pada Pemerintah Kota Binjai tersebut, maka penulis tertarik

untuk melakukan suatu penelitian yang berjudul : Pengelolaan Keuangan Daerah

Perspektif Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006 pada

Pemerintah Kota Binjai.”

1.2 Perumusan Masalah

Dari uraian di atas, sehubungan terjadinya permasalaha-permasalahan dalam

mengimplementasikan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun

2006, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:”Bagaimana

Pengelolaan Keuangan Daerah Perspektif Peraturan Menteri Dalam Negeri

(24)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan penelitian adalah :

a. Untuk mengetahui bagaimana Pengelolaan Keuangan Daerah Menurut

Perspektif Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun

2006 pada Pemerintah Kota Binjai.

b. Untuk melihat apa saja yang terjadi sehubungan dengan Pengelolaan

Keuangan Daerah Menurut Perspektif Peraturan Menteri Dalam Negeri

(Permedagri) No. 13 Tahun 2006 pada Pemerintah Kota Binjai.

Adapun manfaat penelitian adalah :

a. Sebagai wahana untuk menambah dan pengembangan pegetahuan dalam

membuat suatu karya tulis ilmiah.

b. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi Pemerintahn Kota Binjai dalam

mengimplementasikan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13

Tahun 2006.

c. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya dalam meneliti

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Publik

Kebijakan adalah suatu istilah yang menunjukkan adanya proses, karena

merupakan hasil keputusan atau perbuatan yang mempunyai sifat untuk dilaksanakan.

Kebijakan merupakan hasil perbuatan atau pemikiran seseorang, maka mengandung

berbagai macam kegiatan dan keputusan lainnya yang berkaitan dengan terealisirnya

tujuan kebijakan itu. Oleh karenanya kebijakan mempunyai sifat yang dinamis

(dynmic concept).

Menurut Wojowasito (2003 : 35) mengartikan kebijakan sebagai : skill

(keterampilan, ability (kemampuan), capability (kecakapan), insight (kemampuan

memahami sesuatu).

Dari uraian di atas maka jelas bahwa sifat ”bijak” adalah sifat-sifat

(character) yang melekat pada manusianya dan ”bijaksana” adalah sifat-sifat yang

melekat pada sikap, tingkah laku dan perbuatannya. Dengan demikian, maka dalam

membuat suatu kebijakan yang baik haruslah bersifat rasional, institusional,

kondisional, dan situasional dengan suatu proses sebagai berikut :

1. Rasional, maksudnya pengambilan keputusan itu benar-benar

mempergunakan data-data dan informasi-informasi yang

selengkap-lengkapnya. Data diolah dengan seksama untuk menjadi informasi yang

(26)

pengetahuan dan pengalaman-pengalaman, baik pengalan sendiri, mapun

pengalaman orang lain.

2. Institusional, maksudnya pengambilan keputusan harus senantiasa dengan

mengingat tujuan organisasi serta memperhatikan pula hak-hak dan

kewenagannya.

3. Kondisional, maksudnya harus selalu ingat bhwa suatu kejadian, masalah,

peristiwa itu tidak akan lepas dari lingkungannya, baik lingkungan alam

(natural environment), lingkungan fisik (pysical environment), maupun

lingkungan sosial (social environment).

4. Situasional, maksudnya bahwa keputusan yang diambil itu haruslah sesuai

dan dapat terselenggara dalam situasi yang hidup pada waktu itu. Suatu

keputusan yang benar, namun tidak dapat dilaksanakan, maka tentulah tidak

ada manfaatnya; keputusan yang demikian merupakan keputusan yang tidak

baik.

Sehubungan dengan itu, menurut Michael Howlet dan M. Ramesh (1995: 11)

menyatakan bahwa proses kebijakan publik terdiri dari lima tahapan sebagai berikut :

1. Penyusunan agenda (agenda setting), yaitu suatu proses agar suatu masalah

bisa mendapat perhatian dari pemerintah.

(27)

pilihan-3. Pembuatan kebijakan (decision making), yaitu proses ketika pemerintah

memilih untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu

tindakan.

4. Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu proses untuk

melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil.

5. Evalusi kebijakan (policy evalution), yaitu proses untuk memonitor dan

menilai hasil atau kinerja kebijakan.

2.2 Implementasi Kebijakan

Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh pembuat kebijakan

(policy makers) bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam

implementasinya. Ada banyak yang mempengaruhi keberhasilan implementasi

kebijakan baik yang bersifat individual maupun kelompok atau institusi.

Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy makers untuk

mempengaruhi prilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan pelayanan dan

mengatur prilaku kelompok sasaran.

Dalam berbagai sistem politik, kebijakan publik diimplementasikan oleh

badan-badan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Badan-badan tersebut

melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pemerintah dari hari ke hari yang membawa

dampak pada warga negaranya.

Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak variabel

(28)

Untuk memperkaya pemahaman, dalam kesempatan ini penulis mengutip menurut

pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 4 (empat) variabel

yang satu sama lain saling berhubungan, yaitu :

1. Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan yang mensyaratkan agar implementor

mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran

kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group)

sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.

2. Sumber Daya Manusia

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten,

tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan,

maka implementasi tidak akan berjalan efektif.

3. Disposisi

Disposisi adalah watak dan karekteristik yang dimiliki oleh implementor,

seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis.

4. Struktur Birokrasi

Struktur Birokrasi organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Stuktur

(29)

Menurut Meter dan Horn, ada 5 (lima) variabel yang mempengaruhi kinerja

implementasi kebijakan, yaitu :

1. Standart dan sasaran kebijakan

Standart dan sasaran kebijakan harus jelas dn terukur sehingga dapat

direalisir. Apabila standart dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi

multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen

implementasi.

2. Sumber daya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, yaitu sumber daya

manusia (human resources).

3. Hubungan antar organisasi

Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan

koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan

kerjasama antara instansi bagi keberhasilan suatu program.

2.3 Pengelolaan Keuangan Daerah

Dalam rangka meningkatkan kinerja anggaran daerah, salah satu aspek

penting adalah masalah pengelolan keuangan daerah dan anggaran daerah. Untuk itu

diperlukan pengelolaan keuangan daerah yang mampu mengontrol kebijakan

keuangan daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel. World

Bank (1998:46), menyebutkan bahwa dalam pencapaian visi dan misi daerah,

(30)

meliputi komprehensif dan disiplin, akuntabilitas, kejujuran, transparansi,

fleksebilitas, terprediksi, dan informatif.

Kemudian menurut Jaya (1999 : 11), keuangan daerah adalah seluruh tatanan,

perangkat kelembagaan dan kebijaksnaan anggaran daerah yang meliputi pendapatan

dan belanja daerah. Kemudian menurut Mamesah (1995 : 16) keuangan daerah adalah

semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala

sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

sepanjang belum dimiliki atau dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi,

serta pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

Mengenai pengturan pengelolaan keuangan daerah menurut Permendagri

Nomor 13 Tahun 2006 pasal 330 dijelaskan bahwa :

1. Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dengan

perturan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Berdasarkan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala

daerah menetapkan peraturan kepala daerah tentang sistem dan prosedur

pengelolaan keuangan daerah.

3. Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah sebagaiman dimaksud

pada ayat (2) mencapkup tata cara penyusunan, pelaksanaan, penataausahaan

(31)

penunjukan pejabat yang diberi wewenag BUD, kuasa BUD, pengguna

anggaran/ kuasa pengguna anggaran, bendahara penerimaan, dan bendahara

pengeluaran berhalangan.

Mardiasmo (2000 : 3), mengatakan bahwa dalam pemberdayaan pemerintah

daerah, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan

daerah dan anggaran daerah adalah :

1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik

(public oriented).

2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan

anggran pada daerah khususnya.

3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran partisipasi yang

terkait dalam pengelolaan anggaran, DPRD, Sekda, dan perangkat daerah

lainnya.

4. Kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan pengelolaan

keuangan daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money,

tranparansi dan akuntabilitas.

5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD dan PNS Daerah, baik ratio

maupun dasar perimbangannya.

6. Ketentuan bentuk dan struktur anggaran, anggaran kerja dan anggaran multi

tahunan.

(32)

8. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran

akuntan publik dan pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran,

dan transparansi informasi anggaran kepada publik.

9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran

asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme

aparat pemerintah daearah.

10. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk meyediakan

informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah

daerah terhadap penyebarluasan informasi.

Prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan daerah seharusnya

senantiasa dipegang teguh dan dilaksanaan oleh penyelenggara pemerintah, karena

pada dasarnya masyarakat memiliki hak dasar terhadap pemerintah. Hak masyarakat

tersebut menurut Waluyo (2007 : 223) antara lain adalah sebagai berikut :

1. Hak untuk mengetahui (righ to know), yaitu mengetahui kebijakan

pemerintah, apa keputusan yang diambil pemerintah dan alasan dilakukannya

kebijakan dan keputusan tersebut.

2. Hak untuk diberi informasi (right ti be informed) yang meliputi hak untuk

(33)

Selanjutnya, Waluyo (2007 : 224) menjelaskan bahwa dalam pengelolaan

keuangan daerah dilaksanakan oleh masing-masing kepala Satuan Kerja Perangkat

Daerah (SKPD) selaku pejabat pengguna anggaran atau barang daerah. Adapun tugas

pejabat pengelola keuangan daerah adalah sebagai berikut :

a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD.

b. Menyusun rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD.

c. Melaksanakan pemugutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dalam

peraturan daerah.

d. Melakukan fungsi bendaharawan daerah.

e. Menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban

pelaksanaan APBD.

Sedangkan kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menurut Waluyo

(2007 : 226) selaku pejabat pengguna anggaran atau barang daerah mempunyai tugas

sebagai berikut :

a. Menyusun anggaran SKPD yang dipimpinnya.

b. Menyusun dokumen pelaksana anggaran SKPD yang dipimpinnya.

c. Melaksanakan anggaran SKPD yang dipimpinnya.

d. Melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak.

e. Mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD yang

(34)

f. Mengelola barang milik atau kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab

SKPD yang dipimpinya.

g. Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan daerah yang dipimpinnya.

Menurut Waluyo (2007 :218), jika berbicara tentang pengelolaan keuangan

daerah tidak lepas dari sistem pengelolaan keuangan daerah yang meliputi tiga siklus

pokok yaitu antara lain:

1. Perencanaan

2. Pelaksanaan

3. Pelaporan dan pertanggungjawaban

Pada tahap perencanaan, input yang digunakan adalah aspirasi masyarakat

yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, yang hasilnya kemudian

dijabarkan dalam usulan kegiatan masing-masing satu unit kerja yang dengan

memperhatikan Standart Analisis Biaya (SAB) sehingga setiap aktivitas kegiatan

yang diusulkan mencerminkan dukungan terhadap pencapaian visi, misi tujuan dan

sasaran serta hasil yang telah ditetapkan. Selanjutnya anggaran yang diusulkan juga

akan mencerminkan anggaran yang berbasiskan kinerja. Pada tahap pelaksanaan,

(35)

Selanjutnya laporan pertanggungjawaban adalah penyampaian kepada DPRD, proses

evaluasi laporan pertanggungjawaban serta keputusan evaluasi yang telah dilakukan

bersama-sama dengan DPRD, yang kemudian akan disampaikan dalam Papat

Paripurna DPRD.

Pengelolaan keuangan daerah yang diatur dengan tata caranya dalam berbagai

macam perturan tentunya tidak lepas dari pola atau azas umum pengelolaan keuangan

daerah, yaitu :

1. Tertib, yaitu bahwa keuangan daerah dikelola secara tepat waktu dan tepat

guna yang didukung dengan bukti-bukti administrasi yang dapat

dipertanggungjawabkan.

2. Taat pada peraturan perundang-undangan, yaitu bahwa pengelolaan keuangan

daerah harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

3. Efektif, yaitu pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan

dengan membandingkan dengan keluaran dengan hasil.

4. Efisien, yaitu pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu

atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu.

5. Ekonomis, yaitu pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu

pada tingkat harga yang terendah.

6. Transparan, yaitu prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk

mengetahui dan mendapatkn akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan

(36)

7. Bertanggungjawab, yaitu perwujudan kewajiban seseoranguntuk

mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan

pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka

pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

8. Keadilan, yaitu keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya dan

atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan

yang obyektif.

9. Kepatutan, yaitu tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan

proporsional.

10. Manfaat untuk masyarakat, yaitu bahwa keuangan daerah diutamakan untuk

pemenuhan kebutuhan masyarakat.

2.4 Tujuan Pengelolaan Keuangan Daerah

Pengelolaan keuangan daerah berarti mengurus dan mengatur keuangan daerah

itu sendiri dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah menurut (Devas,

dkk., 1987; 279-280) adalah sebagai berikut :

a. Tanggung jawab (accountability)

Pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan keuangannya kepada

lembaga atau orang yang berkepentingan yang sah, lembaga atau orang itu

(37)

hukum tertentu dan pengawasan yaitu tata cara yang efektif untuk menjaga

kekayaan uang dan barang serta mencegah terjadinya penghamburan dan

penyelewengan dan memastikan semua pendapatan yang sah benar-benar

terpungut jelas sumbernya dan tepat penggunaannya.

b. Mampu memenuhi kewajiban keuangan

Keuangan daerah harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu

melunasi semua kewajiban atau ikatan keuangan baik jangka pendek, jangka

panjang maupun pinjaman jangka panjang pada waktu yang telah ditentukan.

c. Kejujuran

Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah pada prinsipnya harus

diserahkan kepada pegawai yang betul-betul jujur dan dapat dipercaya.

d. Hasil guna (efectiveness) dan daya guna (efficiency)

Merupakan tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa

sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk

mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya yang serendah-rendahnya dan

dalam waktu yang secepat-cepatnya.

e. Pengendalian

Para aparat pengelola keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawasan harus

(38)

2.5 Prinsip-prinsip Penyusunan Anggaran Daerah

Menurut Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia dan PAU-SE

(Universitas Gadjah Mada) terdiri dari :

a. Keadilan Anggaran

Keadilan merupakan salah satu misi utama yang diemban pemerintah daerah

dalam melakukan berbagai kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan

pengelolaan anggaran daerah. Pelayanan umum akan meningkat dan kesempatan

kerja juga akan makin bertambah apabila fungsi alokasi dan distribusi dalam

pengelolaan anggaran telah dilakukan dengan benar, baik melalui alokasi belanja

maupun mekanisme perpajakan serta retribusi yang lebih adil dan transparan. Hal

tersebut mengharuskan pemerintah daerah untuk merasionalkan pengeluaran atau

belanja secara adil untuk dapat dinikmati hasilnya secara proporsional oleh para

wajib pajak, retribusi maupun masyarakat luas. Penetapan besaran pajak daerah

dan retribusi daerah harus mampu menggambarkan nilai-nilai rasional yang

transparan dalam menentukan tingkat pelayanan bagi masyarakat daerah.

b. Efisiensi dan Efektivitas Anggaran

Hal yang perlu diperhatikan dalam prinsip ini adalah bagaimana memanfaatkan

uang sebaik mungkin agar dapat menghasilkan perbaikan pelayanan

(39)

landasan pertimbangannya. Oleh karenanya, dalam penyusunan anggaran harus

memperhatikan tingkat efisiensi alokasi dan efektivitas kegiatan dalam

pencapaian tujuan dan sasaran yang jelas. Berkenan dengan itu, maka penetapan

standar kinerja proyek dan kegiatan serta harga satuannya akan merupakan faktor

penentu dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas anggaran.

c. Anggaran Berimbang dan Defisit

Pada hakekatnya penerapan prinsip anggaran berimbang adalah untuk

menghindari terjadinya hutang pengeluaran akibat rencana pengeluaran yang

melampaui kapasitas penerimaannya. Apabila penerimaan yang telah ditetapkan

dalam APBD tidak mampu membiayai keseluruhan pengeluaran, maka dapat

dipenuhi melalui pinjaman daerah yang dilaksanakan secara taktis dan strategis

sesuai dengan prinsip defisit anggaran. Penerapan prinsip ini agar alokasi belanja

yang dianggarkan sesuai dengan kemampuan penerimaan daerah yang realistis,

baik berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan keuangan,

maupun pinjaman daerah. Di sisi lain, kelebihan target penerimaan tidak harus

selalu dibelanjakan, tetapi dicantumkan dalam perubahan anggaran dalam pasal

cadangan atas pengeluaran tidak tersangka, sepanjang tidak ada rencana kegiatan

(40)

d. Disiplin Anggaran

Struktur anggaran harus disusun dan dilaksanakan secara konsisten. Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah adalah rencana pendapatan dan pembiayaan

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk 1 (satu) tahun

anggaran tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sedangkan

pencatatan atas penggunaan anggaran daerah sesuai dengan prinsip akuntansi

keuangan daerah Indonesia. Tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek

yang belum/tidak tersedia kredit anggarannya dalam APBD/perubahan APBD.

Bila terdapat kegiatan baru yang harus dilaksanakan dan belum tersedia kredit

anggarannya, maka perubahan APBD dapat disegerakan atau dipercepat dengan

memanfaatkan pasal pengeluaran tak tersangka, bila masih memungkinkan.

Anggaran yang tersedia pada setiap pos/pasal merupakan batas tertinggi

pengeluaran, oleh karenanya tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek

melampaui batas kredit anggaran yang telah ditetapkan. Di samping itu pula,

harus dihindari kemungkinan terjadinya duplikasi anggaran baik antar Unit Kerja

antara Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan serta harus diupayakan terjadinya

integrasi kedua jenis belanja tersebut dalam satu indikator kinerja. Pengalokasian

anggaran harus didasarkan atas skala prioritas yang telah ditetapkan, terutama

untuk program yang ditujukan pada upaya peningkatan pelayanan masyarakat.

(41)

proyek-e. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran

Transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan anggaran, penetapan anggaran,

perubahan anggaran dan perhitungan anggaran merupakan wujud

pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada masyarakat, maka dalam proses

pengembangan wacana publik di daerah sebagai salah satu instrumen kontrol

pengelolaan anggaran daerah, perlu diberikan keleluasaan masyarakat untuk

mengakses informasi tentang kinerja dan akuntabilitas anggaran. Oleh karena itu,

anggaran daerah harus mampu memberikan informasi yang lengkap, akurat dan

tepat waktu untuk kepentingan masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah

pusat, dalam format yang akomodatif dalam kaitannya dengan pengawasan dan

pengendalian anggaran daerah. Sejalan dengan hal tersebut, maka perencanaan,

pelaksanaan dan pelaporan proyek dan kegiatan harus dilaksanakan secara

terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun ekonomis

kepada pihak legislatif, masyarakat maupun pihak-pihak yang bersifat independen

(42)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan aplikasi pengukuran

implementasi pengelolaan keuangan daerah. Melalui pendekatan ini dapat diketahui

secara obyektif tingkat efektivitas pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah

Pemerintah Kota Binjai yang dikelola oleh pemerintah daerah ditinjau dari kajian

akdemis mengenai pencapaian tujuan atau sasaran dan proses pengeleolaan serta

pertanggung jawaban keuangan daerah.

Oleh karena itu, dalam rangka pendalaman terhadap implementasi kebijakan

pengelolaan keuangan daerah dengan metode penelitian deskriptif kualitatif yaitu,

proses pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan objek penelitian

secara jelas dan lebih mendetail (konprehenshif) serta untuk menarik generalisasi

yang menjelaskan variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial.

Penelitian deskriptif kualitatif bertujuan untuk memperoleh

informasi-informasi keadaan saat ini dan kaitannya dengan variabel-variabel yang ada pada

penelitian ini. Penelitian ini tidak menguji hipotesis melainkan hanya

(43)

3.2 Definisi Konsep

Pengelolaan Keuangan Daerah, yaitu semua hak dan kewajiban daerah dalam

rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang

termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah, dalam kerangka Angaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dilakukan secara tertib, efisien, efektif,

transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan dan

kepatuhan sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan

dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran yang berorientasi bagi

kepentingan masyarakat.

3.3 Operasionalisasi Variabel

Untuk memberikan kemudahan dalam memahami variabel yang akan diukur

dalam penelitian ini, perlu dirumuskan pengertian dan istilah yang digunakan untuk

memperoleh batasan yang jelas dan memudahkan dalam menentukan indikatornya.

Variabel dalam penelitian ini menggunakan satu variabel atau variabel tunggal, yaitu

pengelolaan keuangan daerah berdasarkan proses perencanaan, pelaksanaan/

implementasi dan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah :

1. Perencanaan, yaitu suatu input yang digunakan berdasarkan aspirasi

masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, yang

hasilnya kemudian dijabarkan dalam usulan kegiatan masing-masing satu

(44)

setiap aktivitas kegiatan yang diusulkan mencerminkan dukungan terhadap

pencapaian visi, misi tujuan dan sasaran serta hasil yang telah ditetapkan.

2. Pelaksanaan/ implementasi, yaitu input yang telah direncanakan sebelumnya

digunakan dalam APBD yang telah ditetapkan, kemudian dilaksanakan dan

dicatat melalui sistem akuntansi untuk menghasilkan laporan pelaksanaan

APBD, baik berupa laporan yang sifatnya triwulan maupun tahunan bahkan

bulanan kalau mungkin sebagai laporan pertanggungjawaban kepala daerah.

3. Pertanggungjawaban, yaitu perwujudan kewajiban seseorang untuk

mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan

pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka

pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

3.4 Informan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

deskriptif kualitatif, maka dalam penelitian ini tidak dikenal adanya sampel

penelitian, melainkan informan penelitian. Informan adalah orang yang memberikan

informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian (Lexy, 1998: 80).

Untuk dapat memperoleh informasi yang lebih jelas mengenai masalah penelitian

(45)

3.5 Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data dilakukan dalam penelitian ini adalah :

a. Studi Kepustakaan

Yakni penyerapan data-data yang relevan dengan permasalahan dari buku dan

referensi dan naskah kerja yang berhubungan dengan objek yang diteliti. Data

yang diperoleh tersebut data sekunder dan digunakan sebagai pendukung

dalam analisa data.

b. Wawancara

Kegiatan berhadapan langsung dengan informan untuk mendapatkan

informasi penelitian.

3.6 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Pemerintahan Kota Binjai Propinsi Sumatera

Utara.

3.7 Analisis Data

Dalam penelitian ini data diperoleh melalui penelitian deskriptif kualitatif

artinya tehnik ini berusaha menyimpulkan data yang berhubungan dengan objek

penelitian serta berusaha menjelaskan dan menggambarkan variabel penelitian secara

mendalam dan komprehenshif (mendetail) sesuai dengan tujuan penelitian yang

(46)

dengan variabel lainnya serta tidak menghasilkan teori baru dalam melihat hubungan

antara variabel tersebut.

Atas dasar itu dapat diketahui tentang pengelolaan keuangan daerah.

Kemudian berdasarkan analisis tersebut dapat disusun dan ditentukan rekomendasi

(47)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1 Sejarah Singkat Kota Binjai

Berdasarkan penuturan orang tua yang dianggap mengetahui asal mula

timbulnya Binjai, dahulunya adalah sebuah kampung kecil yang terletak di tepi

Sungai Bingai, Binjai sebenarnya adalah nama sebuah pohon besar, rindang, tumbuh

dengan kokoh di tepi sungai Bingai yang bermuara di Sungai Wampu pada tahun

1923. Gubernur Inggris yang berkedudukan di Pulau Penang telah mengutus John

Anderson untuk pergi kepesisir Sumatera Timur dan dari catatannya disebut di

kampung yang bernama Ba Bingai (menurut buku Mission to the Eastcoast of

Sumatera – Edinburg 1826). Sebenarnya sejak tahun 1982. Binjai telah dijadikan

bandar/ pelabuhan dimana hasil pertanian lada yang di ekspor adalah berasal dari

perkebunan lada disekitar ketapang (pungai) atau kelurahan kebun lada/ damai.

Perkembangan jaman terus berjalan, pada tahun 1864 Daerah Deli telah

dicoba ditanami tembakau oleh pioner Belanda bernama J. Nienkyis dan 1866

didirikan Deli Maatschappy. Usaha untuk menguasai Tanah Deli oleh orang Belanda

tidak terkecuali dengan menggunakan politik pecah belah melalui pengangkatan

datuk-datuk. Usaha ini diketahui oleh Datuk Kocik, Datuk Jalil da Suling Barat yang

tidak mau bekerja sama dengan Belanda bahkan melakukan perlawanan. Bersamaan

(48)

Rotterdanmy oleh Sultan Deli karena tanpa persetujuan dibawah kepemimpinan

Datuk Sunggal bersama rakyatnya di Timbang Langkat (Binjai) dibuat benteng

pertahanan untuk menghadapi Belanda.

Dengan tindakan Datuk Sunggal ini Belanda merasa terhina dan

memerintahkan Kapten Koops untuk menumpas para Datuk yang menentang

Belanda. Pada tanggal 12 Mei 1872 terjadilah pertempuran yang sangat sengit antara

Datuk/ masyarakat dengan Belanda. Peristiwa perlawanan inilah yang menjadi

tonggak sejarah dan ditetapkan hari jadi Kota Binjai. Perjuangan para Datuk/

masyarakat terus berkobar dan pada akhirnya tanggal 24 Oktober 1872 Datuk Kocik,

Datuk Jalil, dan Suling Barat dapat ditangkap Belanda dan kemudian pada tahun

1873 dibuang ke Cilacap. Pada tahun 1917 oleh pemerintah Belanda dikeluarkan

Instelling Ordonantie No. 12 dimana Binjai dijadikan Gemente dengan luas 267 Ha.

Pada tahun 1942 – 1945 Binjai dibawah Pemerintah Jepang dengan kepala

pemerintahannya adalah Kagujawa dengan sebutan Guserbu dan tahun 1944 – 1945

Pemerintah Kota dipimpin oleh Ketua Dewan Eksekutif J. Runnanbi dengan anggota

Dr. RM Djulham, Natangsa Sembiring dan Tan Hong Poh.

Pada tahun 1945 (saat revolusi) sebagai Kepala Pemerintahan Kota Binjai

adalah RM. Ibnu dan pada 29 Oktober 1945 T. Amir Hamzah diangkat menjadi

(49)

Tahun 1950 – 1956 Binjai menjadi Kota Administrasi Langkat dan sebagai

Walikota adalah OK. Salamiddin kemudian T. Ubaudullah tahun 1953 – 1956.

Berdasarkan Undang-undang darurat No. 9 Tahun 1956 Kota Binjai menjadi Otonom

Kotapraja dengan Walikota pertama SS. Parumuhan.

Dalam perkembanagan Kota Binjai sebagai salah satu Daerah Tingakat II di

Provinsi Sumatera Utara telah membenahi dirinya dengan melakukan pemekaran

wilayahnya.

Semenjak di tetapkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1986 tentang

Wilayah Kota, Daerah Kota Binjai telah diperluas menjadi 9,023 km2 dengan 5 (lima)

wilayah kecamatan yang terdiri dari 11 desa dan 19 kelurahan pada tahun 1993 maka

jumlah desa menjadi 17 dan kelurahan 20. Berdasarkan keputusan Gubernur

Sumatera Utara No. 1401395/ SK/ 1993 Tanggal 3 Juni 1993 tentang pembentukan

SK Gubernur Sumatera Utara No. 146/ 2624/ SK/ 1996 Tanggal 17 Agustus 1996, 17

desa-desa menjadi kelurahan.

Pembagian wilayah kecamatan adalah sebagai berikut :

I. Kecamatan Binjai Selatan

a. Kelurahan Tanah Merah

b. Kelurahan Binjai Estate

c. Kelurahan Tanah Seribu

d. Kelurahan Pujidadi

e. Kelurahan Rambung Dalam

(50)

g. Kelurahan Rambung Timur

h. Kelurahan Bhakti Karya

II. Kecamatan Binjai Kota

a. Kelurahan Berngam

b. Kelurahan Satria

c. Kelurahan Setia

d. Kelurahan Kartini

e. Kelurahan Tangsi

f. Kelurahan Binjai

g. Kelurahan Pekan Binjai

III. Kecamatan Binjai Timur

a. Kelurahan Mencirim

b. Kelurahan Tunggurono

c. Kelurahan Timbang Langkat

d. Kelurahan Tanah Tinggi

e. Kelurahn Sumber Muliorejo

f. Kelurahan Dataran Tinggi

g. Kelurahan Sumber Karya

(51)

d. Kelurahan Jati Karya

e. Kelurahan Damai

f. Kelurahan Kebun Lada

g. Kelurahan Cengkeh Turi

h. Kelurahan Makmur

i. Kelurahan Utomo

V. Kecamatan Binjai Barat

a. Kelurahan Bandar Sinembah

b. Kelurahan Limau Mungkur

c. Kelurahan Limau Sundai

d. Kelurahan Paya Roba

e. Kelurahan Suka Maju

f. Kelurahan Suka Ramai

Untuk menjawab tantangan penyelenggaraan pemerintahan, maka pada tahun

2005 telah dilaksanakan beberapa kebijakan antara lain melakukan penataan

organisasi/ kelembagaan.

Dengan semangat otonomi daerah berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun

1999 yang kemudian direvisi menjadi Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun

2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Dengan adanya peraturan

pemerintah ini Pemeritah Daerah melakukan restrukturisasi organisasi dalam rangka

(52)

dengan tuntutan perkembangan pelayanan agar pelayanan pemerintah semakin baik

dan kinerja semakin efisien dan efektif.

4.1.2 Geografi/ Luas Wilayah Kota Binjai

Kota Binjai adalah merupakan salah satu kota yang termasuk dalam Konsep

Kota Membidang dalam Medan Metropolitan Urban Development Project

(MMUDP). Kota Binjai sebagai salah satu kota di Propinsi Sumatera Utara yang

hanya berjarak ± 22 Km dari Kota Medan ( ± 30 menit perjalan ), berbatasan

langsung dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Langkat, serta berada pada

Jalur Trasportasi Utama yang menghubungkan Provinsi Sumatera Utara dengan

Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) serta ke Objek Wisata Bukit Lawang

Kabupaten Langkat.

Kota Binjai yang memiliki luas 9.023,62 Ha terdiri dari 5 (lima) Kecamatan

dan 37 (tiga puluh tujuh) kelurahan serta mempunyai penduduk sebanyak 216.608

jiwa yang terdiri dari berbagai etnis yang mempunyai kesadaran politik dan

keamanan yang cukup tinggi, sehingga mendukung kondisi keamanan yang sangat

konduktif.

Secara geografis Kota Binjai terletak pada posisi 3o 31' 31" - 3o 40' 2" LU

(53)

3. Sebelah Selatan : berbatas dengan Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat

dan Kabupaten Deli Serdang.

4. Sebelah barat : berbatas dengan Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat.

4.1.3 Tipologi

Kota Binjai terletak di atas permukaan laut dengan ketinggian + 28 m,

mempunyai luas 9062,23 Ha berpenduduk 218.827 jiwa. Sebahagian besar wilayah

Kota Binjai datar dengan tingkat kemiringan lahan 0 – 2 % dengan luas 8.739,72 Ha

(96,85 %). Hanya sekitar 3,15 % wilayah yang memiliki tingkat kemiringan lahan

antara 2 – 15% (283,90 Ha). Selain itu Kota Binjai secara administrasi mempunyai 5

(lima) Kecamatan dan dialiri oleh 3 (tiga) sungai yaitu Sungai Bingai, Sungai

Mencirim dan Sungai Bangkatan.

Kondisi demikian merupakan suatu kendala dalam pengembangan jaringan

drainase dan saluran air kotor, sebab dengan tingkat kemiringan yang datar

pengeringan dengan memanfaatkan gaya grafitasi relatif sulit. Hal ini akan

mengakibatkan kondisi saluran drainase relatif tidak mengalir dan selalu tergenang.

4.1.4 Iklim

Keadaan musim di Kota Binjai pada umumnya sama dengan keadaan musim

di daerah Kota lain dalam Provinsi Sumatera Utara ang dikenal dengan 2 (dua)

musim yakni musim hujan dan musim kemarau. Musim Hujan terjadi antara bulan

(54)

Mei sampai dengan bulan Oktober. Sedangkan suhu maksimum rata-rata pertahun

31,80 C dan suhu minimum rata-rata 21,30 C.

Lamanya penyinaran matahari yang terendah adalah 35 % dan yang tertinggi

sekitar 57 % yang berarti rata-rata penyinaran matahari adalah 46 %. Disamping itu

berdasarkan temperatur/ suhu udara Kota Binjai mempunyai kelembaban rata-rata

85%.

4.1.5 Hidrologi

Di wilayah Kota Binjai terdapat lima buah sungai yang mengalir dari Selatan

dan Utara. Kelima sungai tersebut adalah Sungai Bingei, Sungai Mencirim, Sungai

Bangkatan, dan Sungai Diski serta Sungai Rambai. Dari kelima sungai tersebut,

hanya Sungai Bingei dan Sungai Mencirim yang relatif besar. Sedangkan yang

terbesar adalah Sungai Bingei. Sungai Bangkatan memiliki muara pada Sungai

Mencirim, dan Sungai Mencirim memiliki muara pada Sungai Bingei.

Adapun Sungai Bingei memiliki muara pada Sungai Wampu di Wilayah

Kabupaten Langkat. Selain itu juga terdapat beberapa sungai kecil (alur) yang hanya

berair ketika musim hujan, sekitar Sungai Mencirim dan Sungai Bangkatan

merupakan wilayah banjir, yaitu Kelurahan Setia, Kartini, Rambung Barat dan Tanah

(55)

4.1.6 Geologi

Kota Binjai secara umum terdiri dari jenis tanah alluvial. Tanah alluvial

merupakan deposit yang terbesar secara luas terutama disepanjang Sungai Bingai,

Sungai Mencirim yang terletak di dalam wilayah Kota Binjai.

Oleh kerena itu, Kota Binjai tidak memiliki potensi bahan galian yang dapat

menunjang bahan baku untuk industri. Bahan tambang yang terdapat di daerah ini

adalah berupa bahan galian C terdapat di sepanjang Sungai Bingai dan Sungai

Mencirim yang tersebar di Kecamatan Binjai Utara, Binjai Barat, Binjai Selatan dan

Binjai Timur.

4.1.7 Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan dalam suatu daerah secara tidak langsung dapat digunakan

sebagai indikator mengenai kegiatan masyarakat yang bersangkutan berdasarkan

penggunaannya maka dapat diklasifikasikan seperti perumahan, persawahan,

perkebunan, tegalan/ ladang, kebun campuran dan lain-lain.

Penggunaan lahan di Kota Binjai pada tahun 2005 dikelompokkan menjadi 2

(dua) yaitu lahan terbangun dan non terbangun, dimana masing-masing 2.869,57 Ha

dan 6.154,05 Ha. Dari data yang dapat diketahui, bahwa penggunaan lahan untuk

perumahan yang terluas adalah di Kecamatan Binjai Selatan dimana mencapai 536,42

(56)

Selain dari pada itu penggunaan lahan untuk perusahaan seluas 273,41 Ha,

jasa seluas 201,21 Ha, untuk industri sebesar 55,12 Ha dan lain-lain seluas 532,29

Ha.

Sedangkan lahan non terbangun digunakan untuk sawah 2.484,27 Ha,

perkebunan 1.383,43 Ha dan ladang campuran/ tegalan seluas 2.286,35 Ha. Untuk

jelasnya dapat dilihat pada tbel di bawah ini :

Tabel. 1 Jenis Penggunaan Lahan atau Tanah di 5 (Lima) Kecamatan Kota Binjai Tahun 2006

No Jenis Penggunaan

Tanah

Luas Penggunaan Jalan Per Kecamatan (Ha) Jumlah

I Penggunaan

1. Permukiman 464,16 362,26 226,74 536,42 217,96 1.807,54

2. Jasa 57,50 43,31 34,56 32,92 32,92 201,21

3. Perusahaan 32,44 16,36 28,94 27,64 168,03 273,41

4. Industri 17,92 6,08 4,00 12,16 14,96 55,12

1. Sawah 1.363,68 275,42 35,27 752,96 56,94 2.484,27

2. Perkebunan - 1.067,51 - 315,92 - 1.383,43

3. Kebun Camp/Tegalan

314,51 270,35 18,84 1.131,95 550,70 2.286,35

Jumlah 2.359,12 2.170,00 412,00 2.996,50 1.086,00 9.023,62 Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004

(57)

penggunaan lahan, rencana pengembangan sarana dan prasarana serta rencana

penataan bangunan.

Agar pembangunan yang di lakukan di Kota Binjai dapat dilakukan secara

lebih merata, maka Kota Binjai dibagi atas 5 (lima) Bagian Wilayah Kota (BWK)

yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda.

Agar penetapan rencana di lapangan dapat di lakukan, maka batas wilayah

kelima BWK tersebut adalah batas-batas administrasi kecamatan yang ada di Kota

Binjai. Karakteristik tiap-tiap BWK tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel. 2 Pembagian BWK di Kota Binjai Tahun 2001 – 2010

No BWK Lingkup Wilayah Luas (Ha) Kegiatan Utama

2 B Kec. Binjai Timur 2.170,00 Permukiman kepadatan

sedang (perkebunan tebu),

tinggi, pusat kota, pusat pemerintah, perdagangan dan jasa, pelayanan sosial dan ekonomi, perkantoran pemerintah dan swasta

4 D Kec. Binjai Barat 1.086,00 Pemukiman kepadatan

(58)

perdagangan dan jasa,

Kepadatan Penduduk Per Kecamatan di Kota Binjai setiap tahunnya

menunjukkan peningkatan dan perlu mendapat perhatian.

Tabel. 3 Jumlah Penduduk Tiap Kecamatan Kota Binjai Tahun 1994-2004 Kecamatan Luas

Binjai Timur 21,70 10.788 49.494 4,59

Binjai Utara 23,59 13.816 67.201 4,86

Binjai Barat 10,98 8.358 38.349 4,59

(59)

Tabel. 4 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Pertumbuhan Penduduk Kota Binjai Tahun 1994-2004

Tahun Laki-Laki

1995**) 99.357 100.169 199.526 7,80

1996 101.194 102.023 203.217 1,85

1997 102.653 103.497 206.150 1,44

1998 104.264 105.211 209.475 1,61

1999 105.919 106.886 212.805 1,59

2000 106.953 106.234 213.187 0,18

2001 107.985 107.538 215.523 1,10

2002 110.459 108.686 219.145 1,68

2003 111.967 111.484 223.451 1,96

2004 116.366 115.870 232.236 3,93

Pertumbuhan Rata-rata (%) 1,77

Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004

Tabel. 5 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Binjai di Setiap Kecamatan Tahun 2004

No Kecamatan Luas

(Ha)

Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004

4.1.10 Mata Pencaharian Penduduk

Mata pencaharian penduduk Kota Binjai didominasi sektor pertanian karena

sektor tersebut tidak memerlukan modal besar serta teknologi tinggi dan merupakan

(60)

Tabel. 6 Pola Pencari Kerja Menurut Tingkat Pendidikan

Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004

4.1.11 Transfortasi

Tabel. 7 Penunjuk Jalan Menurut Jenis Permukaan Tahun 1999

No Jenis Permukaan Jalan

Negara(Km)

Jumlah 12.000 14.480 333.514 360.354

Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004

Tabel. 8 Perkembangan Angkutan Umum yang Beroperasi

No Jenis Angkutan 1996 2000 % Kenaikan

1 Mobil Penumpang 363 882 24,9

2 Mobil Gerobak 222 275 5,5

3 Mobil Bus 132 171 6,7

4 Becak Bermotor 864 2100 24,9

(61)

4.1.12 Komunikasi Kantor pos

Kantor pos yang terdapat di Kota Binjai hanya berjumlah 1 (satu) unit untuk

kantor pos besar,dan 2 (dua) unit untuk kantor pos pembantu.

Telekomunikasi

Tabel. 9 Perkembangan Unit Pelayanan Pelanggan

No Uraian 1996 2000 Persentase

1 Sentral 1 1 -

2 Kapasitas 5710 9226 12,7

3 Jaringan Kabel 5058 8200 12,8

4 Telepon Umum (Coin) 72 58 -5,3

5 Telepon Kartu 16 7 18,7

6 Telepon Swasta lainnya

(wartel)

6 12 19

Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004

4.1.13 Air Minum

Tabel. 10 Perkembangan Jumlah Pelanggan Air Minum PDAM

No Uraian 1996 2000 % Kenaikan

1 Sosial Umum / Khusus 55 127 22,0

2 Rumah Tangga 2.040 6.375 33,0

3 Instansi Pemerintah 275 340 5,5

4 Niaga 1.448 514 -23,0

5 Industri - 2 -

Jumlah 3.818 7.352

(62)

4.1.14 Energi Tenaga Listrik

Tabel. 11 Perkembangan Jumlah Pelanggan Listrik

No Jenis Pelanggan 1996 2000 % Kenaikan

1 Rumah Tangga 35.086 38.243 2,2

2 Komersil 2.017 3.513 15

3 Industri 109 43 -21

4 Publik / Umum 1.020 950 -2

Jumlah 38.232 42.749 2,8

Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004

Tabel. 12 Jumlah Sekolah Perkecamatan di Kota Binjai

Kecamatan SD SMP Madrasah Tsanawiyah

SMU Madrasah Aliyah

Total

Binjai Utara 45 16 5 12 7 85

Binjai Selatan 31 6 1 12 1 51

Binjai Timur 31 3 - 1 - 35

Binjai Barat 21 3 1 - - 25

Binjai Kota 26 9 2 6 2 45

Jumlah 154 37 9 31 10 241

Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004

Jumlah Total Sekolah yang ada dikota Binjai ada sebanyak 241 buah yang

terdiri dari 154 Sekolah Dasar, 37 Buah Sekolah Menengah Pertama, 9 Buah Sekolah

Madrasah setingkat SMP dan 31 buah Sekolah Menengah Umum serta 10 buah

(63)

Tabel. 13 Jumlah Penduduk Masa Usia Sekolah

Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004

Tabel. 14 Daya Tampung Siswa Rata - rata di Tiap - tiap Sekolah Per Kecamatan

Kecamatan SD) SMP SMU

Binjai Utara 141 106 265

Binjai Selatan 165 289 316

Binjai Timur 241 885 5.864

Binjai Barat 412 880 7.622

Binjai Kota 221 358 566

Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004

Tabel. 15 Jumlah Lokal / Ruang Kelas yang dibutuhkan di Tiap - tiap Kecamatan

(64)

4.1.15 Agama

Jumlah rumah ibadah pada tahun 2000 di Kota Binjai tercatat sebanyak 343

buah yang terdiri dari 112 mesjid, 33 buah mushalla dan 165 langgar, 22 buah gereja,

2 buah pura dan 9 vihara.

4.1.16 Kesehatan

Tabel. 17 Sarana Kesehatan yang ada di Kota Binjai pada waktu sekarang ini adalah :

Sarana Kesehatan Jumlah

Rumah Sakit Umum/ Swasta 2 Buah

Puskesmas 6 Buah

Puskesmas Pembantu 13 Buah

Poliklinik / BPU 7 Buah

Klinik Bersalin 7 Buah

Poliklinik Induk 1 Buah

Apotik 10 Buah

Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004

Dengan jumlah penduduk Kota Binjai sebanyak 215.523 penduduk maka

untuk satu Rumah Sakit akan melayani sejumlah 107.761 penduduk, sedangkan untuk

satu Puskesmas / Puskesmas Pembantu akan melayani 11.343 penduduk, jadi masih

banyak diperlukan lagi sarana kesehatan yang dibutuhkan di Kota Binjai.

Tabel. 18 Jumlah Sarana Kesehatan pada Masing - masing Kecamatan

(65)

4.2 Hasil Penelitian

Sehubungan dengan ditetapkannya Permendagri No. 13 Tahun 2006 Tentang

Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, maka dalam rangka mewujudkan

akuntabilitas dan transparansi di lingkungan pemerintah daerah dalam hal

pengelolaan keuangan daerah dituntut untuk menyusun Perencanaan Pengelolaan

Keuangan Daerah melalui RKA dan DPA. Dokumen tersebut disusun serta

disampaikan dalam laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan dengan

cakupan yang lebih luas dan tetap waktu.

Menurut Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

ditegaskan bahwa Laporan Pertanggungjawaban Keuangan dimaksud dinyatakan

dalam bentuk laporan keuangan yang setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi

Anggran, Neraca, Laporan Arus Kas, Catatan Atas Laporan Keuangan, dan disusun

berdasarkan SAP.

Aspek yang sangat penting dalam praktek Akuntansi dan Pelaporan Keuangan

di lingkungan pemeritah berhubungan dengan penetapan satuan kerja instansi yang

memiliki tanggungjawab kepada masyarakat secara eksplisit, dimana laporan

keuangan wajib di audit dengan opini dari lembaga pemeiksa yang berwenang.

Instansi demikian merupakan sebagai Entitas Pelaporan. Dalam peraturan pemerintah

ini ditetapkan bahwa yang termasuk Entitas Pelaporan adalah (1) Pemerintah Pusat,

(2) Pemerintah Daerah, (3) Setiap Kementerian Negara/ Lembaga, dan (4) Bendahara

Umum Negara. Sementara itu out dari setiap Kuasa Pengguna Anggaran, termasuk

(66)

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Bendahara Umum Daerah, dan Kuasa

Pengguna Anggaran tertentu di tingkat daerah diwajibkan menyelenggarakan

akuntansi sebagai Entitas Akuntasi.

Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,

menjabarkan lebih rinci komponen laporan keuangan yang wajib disusun dan

disampaikan oleh setiap tingkatan Pengguna Anggaran, Pengelola Perbendaharaan

serta Pemerintah Daerah. Selain itu, diatur pula hubungan kegiatan akuntansi mulai

dari tingkat satuan kerja pelaksana sampai tersusunnya Laporan Keuangan

Pemerintah Daerah dengan jadwal yang telah ditentukan.

4.3 Analisis Data dan Pembahasan

Analisis dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui proses pengelolan

keuangan daerah Pemerintah Kota Binjai dimulai dari penyusunan anggaran dengan

cara mendeskripsikan atau menggambarkan keadaan yang nyata terjadi, diamati

dengan bertitik tolak pada pemahaman konsepsi serta pandangan atas teori yang

terkait.

Untuk mengimplementasikan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tersebut,

khususnya yang terkait penyusunan Laporan Keuangan dan Penatausahaan Keuangan

Gambar

Tabel. 1 Jenis Penggunaan Lahan atau Tanah di 5 (Lima) Kecamatan Kota Binjai Tahun 2006
Tabel. 2 Pembagian BWK di Kota Binjai Tahun 2001 – 2010
Tabel. 3 Jumlah Penduduk Tiap Kecamatan Kota Binjai Tahun 1994-2004
Tabel. 4 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Pertumbuhan Penduduk Kota Binjai Tahun 1994-2004
+7

Referensi

Dokumen terkait

(4) Pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan cara mengubah peraturan Bupati tentang penjabaran APBD sebagai dasar pelaksanaan, untuk

(5) Pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan cara mengubah Peraturan Gubernur tentang Penjabaran APBD sebagai dasar pelaksanaan,

(4) Pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan cara mengubah Peraturan Bupati tentang penjabaran APBD sebagai dasar pelaksanaan,

(4) Pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan cara mengubah peraturan Bupati tentang penjabaran APBD sebagai dasar

(4) Pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan cara mengubah Peraturan Walikota tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan Belanja

(4) Pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan cara mengubah peraturan bupati tentang penjabaran APBD sebagai

(4) Pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan cara mengubah peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebagai dasar

(4) Pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan cara mengubah peraturan bupati tentang penjabaran APBD sebagai dasar pelaksanaan,