• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Wawancara dan Analisis Terhadap Pengelolaan Keuangan Pemerintah Kota Binjai

DPRDPemko Binjai Arah &

4.3.5 Hasil Wawancara dan Analisis Terhadap Pengelolaan Keuangan Pemerintah Kota Binjai

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan ketika melakukan wawancara kepada informan bahwa proses perencanaan anggaran yang dilakukan di Pemerintah Kota Binjai tidak terlepas dari hambatan dan permasalahan di lapangan, dimana berbagai kepentingan yang terkadang saling bertolak belakang antara pihak eksekutif dan legislatif, sehingga dapat berdampak pada lambannya proses penetapan kebijakan keuangan daerah yang selanjutnya akan mempengaruhi kegiatan pembangunan dan pelayanan di daerah ini.

Berkaitan dengan proses penyusunan anggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawaban kebijakan pengelolaan kuangan daerah ditangapi oleh Bendahara Umum Daerah sebagai berikut :

“Dari awal kami melihat bahwa penetapan APBD sebagai bagian dari kebijakan penelolaan keuangan daerah yang merupakan hal yang sangat urgen, sebab dari sini kita akan bergerak membangun Kota Binjai berdasarkan anggaran yang sehat, efektif dan efisien. Tetapi, hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah tentang bagaimana penatausahaan keuangan, bagaimana menyusun laporan dan bagaimana mekanisme pengawasan dan evaluasi karena hal ini diharapkan supaya tidak terajdi kebocoran anggaran dan praktek-parktek korupsi dapat dihindarkan atau diminimalisir.”

Dalam implementasi dan penerapan kebijakan pengelolaan keuangan daerah telah diatur tentang petunjuk teknis mengenai penatausahaan dan pelaporan

keuangan. Namun, dari proses penyusunan anggaran belanja daerah pemerintah Kota Binjai terdapat beberapa kelemahan antara lain:

1. Lemahnya pemahaman Dinas/ Instansi akan prioritas kebutuhannya dan

ketidaktahuan pedoman harga barang dan keputusan Walikota lainnya.

2. Lemahnya kualitas proses penyusunan anggaran dan lemahnya keterkaitan antara

kebijakan, perencanaan dan penganggaran seperti banyaknya proyek-proyek yang muncul menjelang tutup tahun anggaran.

3. Masih panjangnya jalur birokrasi dalam proses penyusunan anggaran. Hal ini

terlihat dari apa yang telah menjadi kesepakatan di tingkat daerah belum merupakan hasil final karena anggaran yang diajukan tersebut masih harus disetujui oleh tingkat pemerintah di atasnya. Panjangnya proses ini seringkali memunculkan jenis anggaran yang tidak sesuai dengan skala prioritas daerah.

4. Proses penyusunan APBD belum didasarkan pada potensi yang ada sehingga

penetapannya hanya didasarkan realisasi, tawar menawar (negosiasi) dan perkiraan-perkiraan. Target penerimaan ditetapkan hanya berdasarkan realisasi anggaran tahun sebelumnya (budget incremental).

5. Standar harga yang diajukan dinas/ instansi melalui DUKDA masih berdasarkan

perkiraan dan coba-coba karena penggunaan standar harga yang dapat dijadikan pedoman dan penetapan anggaran belanja rutin suatu unit kerja belum dimanfaatkan secara optimal karena kekurang tahuan, sehingga memperlambat proses penyusunan. Anggaran belanja rutin yang digunakan kadangkala terjadi

tumpang tindih (overlapping) dengan anggaran belanja pembangunan sebagai akibat sumber anggaran yang tidak jelas.

6. Proses penyusunan anggaran belanja pembangunan sebagian besar didasarkan

pada hasil musrenbang, namun ada beberapa proyek yang muncul pada saat penyusunan anggaran sehingga unit organisasi yang diserahi tugas mengelola proyek tersebut belum dapat memahami secara jelas pola dan tujuan pelaksanaan proyek tersebut. Belanja pembangunan yang dipakai kadangkala tidak berdasarkan pada karakteristik masing-masing daerah namun hanya menggunakan pola dan bentuk pihak eksekutif sebagai pelaksana pemerintah.

7. Peranan anggota DPRD dalam proses penyusunan anggaran belum dimulai dari

awal, tetapi dimulai dari hasil draf (pra APBD) yang disusun oleh pihak eksekutif sehingga permasalahan anggaran yang dihadapi tidak dikuasai dengan baik.

8. Penetapan target oleh para anggota DPRD masih berdasarkan persepsi dan

perkiraan-perkiraan karena belum mengetahui potensi dari masing-masing sumber penerimaan. Terhadap anggaran belanja rutin para anggota DPRD belum dapat memahami permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing unit kerja, sehingga pengurangan dan penambahan anggaran belum didasarkan pada data-data yang sebenarnya. Kemungkinan terjadinya overfinancing dan underfinancing dalam anggaran belanja belum diketahui.

9. Dalam pembahasan anggaran belanja rutin maupun belanja pembangunan para

SKPD (para Eksekutif Daerah) dan anggota DPRD (para Legislatif Daerah) belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang dampak eksternalitasnya dari

suatu kegiatan atau proyek, sehingga kegiatan dan proyek yang disetujui belum tentu efisien.

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa melihat bagaimana Pengelolaan Keuangan Daerah Kota Binjai dari setiap SKPD yang ada dengan pendekatan Azas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah yang terdiri dari sepuluh indikator, yaitu tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, bertanggungjawab, keadilan, kepatutan, manfaat untuk masyarakat. Dari setiap masing-masing indikator tidak sepenuhnya berjalan dengan baik, kesemuannya tidak terlepas dari hambatan dan permasalahan, dimana kepentingan adakalanya berlawanan antara pihak eksekutif dan legislatif sehingga berdampak pada lambannya proses penetapan kebijakan keuangan daerah yang selanjutnya juga akan mempengaruhi lancarnya kegiatan pembangunan di daerah ini.

Lebih lanjut, dapat dsimpulkan bahwa perumusan APBD yang dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan sampai pada pertanggungjawaban merupakan kebijakan keuangan daerah yang memang harus melalui proses yang panjang karena Pemerintah Daerah dituntut untuk melakukan Penatausahaan Keuangan, Penyusunan Laporan dan Mekanisme Pengawasan dan Evaluasi karena hal ini diharapkan kebocoran anggaran dan praktek-prktek korupsi dapat diminimalisir.

Dalam pengelolaan Keuangan Daerah telah diatur petunjuk teknis mengenai Penatausahaan Keuangan dan Penyusunan Laporan Keuangan, namun hal yang menjadi permasalahan klasik dimana peraturan pengelolaan keuangan daerah terus mengalami perubahan, terakhir dengan dikeluarkannya Permendagri No. 13 Tahun

2006 sehingga dibutuhkan pemahaman mendasar dan teknis dari seluruh pejabat Kota Binjai (para SKPD) dengan sistem pengelolaan keuangan daerah yang baru.

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan analisis data, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan tentang Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah Perpektif Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pada Pemerintah Kota Binjai sebagai berikut :

1. Proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Kota

Binjai belum sepenuhnya mencerminkan aspirasi masyarakat daerah, di mana arah dan kebijakan umum anggaran lebih didominasi dan mencerminkan aspirasi pemerintah atasan. Peranan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai wakil rakyat di daerah belum optimal, sehingga permasalahan anggaran yang dihadapi tidak tersaji secara lebih mendalam.

2. Persoalan yang mendasar dalam Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah Pada

Pemerintah Kota Binjai adalah sehubungan dengan implementasi pada proses tarik menarik antara kepentingan eksekutif dan legislatif serta kesiapan dari SKPD dalam Penatausahaan, Pelaporan dan Pertanggungjawaban serta perangkat aturan yang berubah-ubah mengakibatkan perlunya pemahaman secara mendasar tentang teknis dari seluruh pejabat Kota Binjai (para SKPD) dengan sistem pengelolaan keuangan daerah yang baru.

5.2 Saran-saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran-saran yang dapat diberikan sebagai berikut :

1. Penyusunan Anggaran Belanja di era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal

harus berorientasi kepada kepentingan publik dan menggunakan pendekatan kinerja sesuai Permendagri No. 13 Tahun 2006. DPRD perlu melakukan proses penjaringan aspirasi masyarakat (need assessment) atau mengoptimalkan fungsi dari Musrenbang untuk mengetahui kebutuhan riil masyarakat di daerah, kemudian bersama-sama dengan pemerintah daerah menetapkan arah dan kebijakan umum APBD sebagai dasar penyusunan strategi dan prioritas APBD. 2. Pengalokasian anggaran sesuai paradigma baru harus sesuai dengan prioritas dan

tuntutan masyarakat, di mana anggaran yang ada harus benar-benar digunakan untuk melaksanakan kegiatan/ proyek yang perlu dan dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam menyusun anggaran belanja rutin perlu adanya standarisasi anggaran dan prioritas pada masing-masing SKPD, sehingga dana yang teralokasi pada masing-masing unit kerja bisa mencukupi untuk menjalankan kegiatan unit kerja yang bersangkutan. Dalam pengalokasian anggaran belanja pembangunan daerah diberikan kebebasan untuk menentukan sektor/ proyek prioritas sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah dan kebutuhan masyarakat setempat.

3. Perlu adanya sosialisasi standarisasi yang dijadikan acuan yang baku guna

menyusun alokasi anggaran untuk belanja rutin agar setiap unit kerja dapat melakukan prioritas terhadap jenis kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan

unit kerjanya. Penyusunan alokasi anggaran untuk belanja pembangunan dimasa mendatang harus benar-benar sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah dan kebutuhan masyarakatnya, sehingga proyek-proyek titipan bisa dihindarkan.