• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konservasi Lahan Pertanian Dan Dampaknya Trhadap Pelaku Konversi (Studi Kasus Di Desa Tegalwaru Dan bojong Rangkas Kecamatan Ciampea)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konservasi Lahan Pertanian Dan Dampaknya Trhadap Pelaku Konversi (Studi Kasus Di Desa Tegalwaru Dan bojong Rangkas Kecamatan Ciampea)"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

KONVERSI LAHAN PERTANIAN DAN DAMPAKNYA

TERHADAP PELAKU KONVERSI

(Studi Kasus di Desa Tegalwaru dan Bojong Rangkas Kecamatan Ciampea)

DIAN A. RAHIM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

KONVERSI LAHAN PERTANIAN DAN DAMPAKNYA

TERHADAP PELAKU KONVERSI

(Studi Kasus di Desa Tegalwaru dan Bojongrangkas Kecamatan Ciampea)

Oleh :

DIAN A. RAHIM

NRP. 99399

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan struktur perekonomian Indonesia sejak tahun 1970-an merupakan fenomena yang semakin jelas mewarnai era Pembangunan Jangka Panjang II. Perubahan struktur ini ditandai dengan berubahnya orientasi pembangunan, yakni dari dominasi sektor pertanian menuju ke sektor industri dan jasa. Terjadinya perubahan struktural ini secara otomatis memberi tekanan pada permintaan lahan di luar sektor pertanian, khususnya lahan- lahan yang berdekatan dengan kawasan perkotaan. Sehingga dengan adanya perubahan struktural ekonomi ini akan memperbesar alih fungsi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian. Khususnya karena lahan- lahan sawah yang beririgasi sejak pengembangannya dilengkapi infrastruktur jalan- jalan inspeksi yang kemudian menjadi jalan desa dan berkembang ada yang menjadi jalan kabupaten bahkan ditingkatkan menjadi jalan- jalan propinsi dan interregional seperti sepanjang jalur Pantura. Peningkatan kualitas jalan-jalan disekitar wilayah persawahan meningkatkan rente (Rent = surplus keuntungan) dari lahan (land rent) berupa locational rent yang jauh melebihi Ricardian rent (menurut kesuburannya), sehingga dengan mudah akan mengalami konversi lahan.

(4)

menurut Baswir et al. (1999) berkisar antara 20,000 – 30,000 ha per tahun. Sementara menurut hasil Sensus Pertanian 1993 luas lahan sawah di Jawa yang telah dikonversi selama sepuluh tahun terakhir mencapai 0.5 juta hektar atau 50,000 hektar per tahun.

Konversi lahan menimbulkan dua konsekwensi yaitu langsung dan tidak langsung. Secara langsung, konversi lahan menjadikan hilangnya lahan pertanian yang baik, berdampak kepada hilangnya kesempatan kerja di sektor pertanian, hilangnya infrastruktur irigasi, hancurnya bentangan sumberdaya alam dan terjadi kelebihan eksploitasi air bawah tanah. Sedangkan konsekuensi tidak langsung, adalah meliputi migrasi penduduk dari daerah perkotaan ke daerah pinggiran kota. Dan sebaliknya bagi mereka yang kehilangan pekerjaan akibat konversi lahan memungkinkan untuk melakukan arus urbanisasi dan yang kehilangan lahannya untuk memasuki sektor informal di pedesaan .

Proses konversi tersebut menjadi masalah nasional yang bersifat strategis berdasarkan tiga alasan berikut :

1. Sawah merupakan salah satu rekayasa teknologi sumber daya lahan dengan investasi besar, misalnya untuk membangun irigasi, pembangunan waduk, pengembangan struktur sosial, terutama dalam bentuk pembangunan kelembagaan kerjasama yang menjadi soko guru sistem produksi beras di Indonesia.

(5)

kawasan perkotaan dan sekitarnya mengalami tekanan penduduk yang semakin berat. Artinya perlu penciptaan lapangan kerja baru serta kebutuhan pemukiman yang semakin besar. Dua kebutuhan mendasar tersebut memerlukan tanah atau lahan untuk kegiatan industri, sarana prasarana serta perumahan atau pemukiman.

3. Konflik pemanfaatan sumberdaya lahan (khususnya sawah dalam konteks ini) di Indonesia, membutuhkan suatu strategi pemecahan secara integratif antarsektor. Kebutuhan lahan untuk sektor non pertanian khususnya yang berada di sekitar perkotaan, yang paling sering dikonversi adalah sumber daya lahan yang berkualitas tinggi (dalam artian ekonomi).

(6)

1.2 Perumusan Masalah

Indonesia merupakan negara yang pertumbuhan penduduknya termasuk tinggi. Pada dekade 1970-1980 tingkat pertumbuhan penduduknya 2,3 % per tahun atau sekitar empat juta penduduk per tahun, sedang tahun 1980 hingga 1990 sekitar 1.98 % per tahun. Jumlah penduduk yang besar dengan struktur dominasi orang muda, jika disertai tingkat pertumbuhan yang tinggi mengakibatkan pertumbuhan angkatan kerja baru yang tinggi pula. Berdasarkan hasil sensus penduduk 1990 diperkirakan pertumbuhan angkatan kerja baru tahun 1990-1994 sekitar 2.5 juta per tahun. Disamping itu masih banyak pencari kerja dari tahun-tahun sebelumnya yang belum memperoleh pekerjaan. Hal ini merupakan masalah besar terhadap upaya penciptaan kesempatan kerja baru.

(7)

Di pulau Jawa pertumbuhan ekonomi dimulai dari kawasan kota yang hinterland-nya adalah wilayah pertanian melalui proses aglomerasi. Aglomerasi sebagai kekuatan penghimpun berbagai aktivitas ekonomi dan industri mampu memanfaatkan ekonomi eksternal. Karena produktivitas dan produksi sektor pertanian sudah tidak bisa berkembang, bahkan sudah terlihat menurun, maka sektor pertanian terutama di kawasan dekat perkotaan semakin terdesak. Keputusan untuk mengkonversi lahan sawah tersebut secara teoritis merupakan hasil keputusan individu/petani yang bersangkutan, sehingga dengan adanya berbagai kelemahan yang dimiliki si individu (baik struktural hingga teknis) proses konversi lahan cenderung menimbulkan banyak dinamika perubahan.

Konversi lahan sendiri pada akhirnya sering menimbulkan kerusakan lingkungan. Daerah-daerah serapan air banyak dijadikan lokasi pemukiman ataupun daerah industri atau mall, sehingga berakibat pada terjadinya banjir. Sebagai contoh dapat dilihat kawasan konservasi yang berfungsi untuk menyerap dan menangkap air, seperti jalur puncak di daaerah selatan Jakarta, yang jelas- jelas memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Ataupun daerah-daerah pertanian yang dikonversikan banyak mengakibatkan hilangnya produktivitas lahan tersebut, sehingga mengakibatkan manfaat lahan tersebut tidak optimal.

1.3 Tujuan Penelitian

(8)

3. Mengkaji sistem kelembagaan yang mengatur mekanisme perubahan pemiliki lahan.

1.4 Kegunaan Penelitian

(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi

Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (1988), pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan salah satu dari Trilogi Pembangunan yang harus dipenuhi sebagai landasan pembangunan tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang-bidang lain seperti politik, sosial dan kebudayaan. Tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang mantap, maka pertumbuhan di bidang yang lain akan sulit untuk dicapai dengan baik; karena tanpa adanya kondisi ekonomi yang memadai, bangsa Indonesia akan selalu berorientasi pada tujuan jangka pendek dan ruang lingkup yang sempit pula (myopic).

Konsep pertumbuhan dan pembangunan ekonomi telah mengalami perubahan makna sejalan dengan waktu dan kegagalannya dalam menterjemahkan konsepnya di beberapa negara yang sedang berkembang. Sejalan dengan itu Anwar (1999) menegaskan bahwa pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang berkualitas adalah pertumbuhan yang memberikan kemaslahatan kepada orang banyak. Untuk itu maka konsep tersebut mempunyai dua defenisi berdasarkan fase waktu, yaitu paradigma lama dan paradigma baru.

2.2 Pardigma Lama

(10)

(1999) menyatakan bahwa pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dibuat definisi pembangunan sebagai pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan dan pedoman pembangunan nasional. Suparmoko (1995) mendefinisikan pertumbuhan dengan produksi nasional secara fisik atau dalam istilah umum adalah peningkatan Produk Nasional Bruto dan lebih lagi yaitu Produk Nasional Bruto.

Sementara itu Winoto (1999) mengartikan pembangunan sebagai suatu proses pembebasan dari kemiskinan dan kuatnya kepentingan diri terhadapnya. Lebih lanjut, menurutnya pembangunan berarti proses peningkatan kepercayaan diri dan kemampuan diri untuk membuat keputusan-keputusan masa depan. Todaro (1999) mempunyai defenisi yang berbeda tentang pembangunan, yaitu kapasitas dari suatu perekonomian nasional, yang kondisi awalnya lebih kurang statis dalam jangka waktu yang cukup lama untuk berupaya menghasilkan dan mempertahankan kenaikan tahunan Gross National Product.

Todaro (Rostow dalam Todaro, 1999) menerangkan bahwa Rostow membagi pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahap yaitu :

(11)

• masa prasyarat untuk lepas landas ke arah pertumbuhan yang

berkesinambungan • masa kematangan

• dan masa konsumsi massa yang tinggi.

Namun Rostow menekankan tahapan ini tidak melulu deskriptif, artinya negara maju telah melalui masa prasyarat untuk lepas landas kearah pertumbuhan yang berkesinambungan, sementara negara terbelakang sedang berada pada masa masyarakat tradisional.

2.3 Paradigma Baru

Pergeseran paradigma pembangunan diartikan sebagai perubahan-perubahan fundamental dalam cara pandang dan praksis pembangunan akibat adanya perubahan, baik internal maupun eksternal serta perubahan bobot relatif yang akan diberikan masyarakat terhadap keyakinannya untuk berbagai aspek pembangunan. Seers ( Seers dalam Winoto 1999) meyakini bahwa pada akhir tahun 70-an telah terjadi pergeseran paradigma dari cara pandang pembangunan yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi yang bersandarkan investasi dan tekhnologi luar dengan korbanan ketergantungan ke arah pembangunan pada suatu kondisi yang menyandarkan diri pada self reliance.

Paradigma baru pembangunan ini lebih diarahkan kepada terjadinya pemerataan (equity) yang lebih baik, pertumbuhan (eficiency) dan keberlanjutan

(12)

pembangunan ini dapat mengacu kepada apa yang disebut dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan (The Second fundamental of Walfare Economics), dimana dalil ini menyatakan bahwa sebenarnya pemerintah dapat memilih target pemerataan ekonomi yang diinginkan melalui transfer, perpajakan dan subsidi, sedangkan ekonomi selebihnya dapat diserahkan melalui mekanisme pasar. Dengan demikian penterjemahan dari dalil tersebut pada paradigma baru pembangunan adalah dengan dikembangkan hal-hal berikut :

1. Pembangunan lebih berorientasi pada pembangunan spatial pada tingkat wilayah dan lokal dengan mengutamakan sektor pertanian sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kapasitas masyarakat lokal. 2. Pada dasarnya Indonesia merupakan negara agraris dimana kegiatan pertanian

merupakan sektor ekonomi basis dalam masyarakat, maka dengan menekankan kepada pembangunan sektor pertanian dan perdesaan, berarti mengarahkan pembangunan kepada kepentingan masyarakat kebanyakan Indonesia. Terutama dalam rangka mengurangi pengangguran dan setengah pengangguran, pengentasan kemiskinan sehingga kebijakan ini dari segi pemerataan dalam pembangunan dapat tercapai.

(13)

4. Dengan menurunnya skala ekonomi di kawasan perkotaan ( yang umumnya berlokasi di daratan) menyebabkan paradigma pembangunan sebagian dapat bergeser dari orientasi pada daratan kepada orientasi kearah maritim sehingga tidak terjadi pengurasan yang berlebihan pada sumberdaya daratan.

2.4 Teori Lokasi Von Thunen, Burges dan Homer Hoyt

Von Thunen mengemukakan teori dapat dijadikan model tata guna lahan sederhana, didasarkan pada satu titik permintaan dalam suatu lingkungan ekonomi pedesaan yang mempunyai struktur pasar sempurna baik pasar output maupun input. Selain itu diasumsikan bahwa seluruh wilayah dapat dijangkau tetapi terisolasi (tertutup), sehingga tidak ada eksport dan import. Berdasarkan asumsi tersebut, maka lokasi lahan akan mengikuti pola kawasan komoditi berbentuk lingkaran konsentrik dengan kota sebagai pusatnya sekaligus tempat pemukiman, kemudian diikuti oleh areal sawah, tegalan, kebun dan terakhir adalah hutan. Bentuk lingkaran tidak harus simetris, tetapi tergantung kepada akses jalan atau sungai.

(14)

Untuk analisis serupa Von Thunen yang menggunakan di kawasan perkotaan, dilakukan oleh Burges. Burges menganalogikan pusat pasar dengan pusat kota

(Central Business District atau CBD). CBD merupakan tempat yang lebih banyak

digunakan untuk gedung pertokoan, bank dan perhotelan. Berbeda dengan Von Thunen yang menggambarkan pola kawasan untuk berbagai komoditi, bagi Burges pola tersebut untuk berbagai kegiatan ekonomi. Asumsi yang dipakai tetap sama. Semakin jauh dari kawasan CBD, nilai rent kawasan tersebut akan semakin kecil. Tetapi Burges menekankan pada faktor jarak komutasi ke tempat kerja dan tempat belanja merupakan faktor utama dalam tata guna lahan di perkotaan. Jadi Burges memusatkan pada tempat orang bermukim terhadap tempat bekerja dan belanja. Dalam area Burges, pusat area merupakan kawasan CBD, dikelilingi kawasan industri, kemudian kawasan perumahan kelas rendah. Lingkaran selanjutnya perumahan menengah kelas atas, terakhir kawasan pinggiran.

(15)

jaringan transportasi yang baik akan membuat kawasan perumahan kelas atas bersambung dengan kawasan CBD. Sedang lahan yang aksesnya kurang baik, akan dihuni oleh kelompok bawah yang letaknya diluar lingkaran kawasan grosir dan industri.

Kedua teori terakhir ini belum mampu menjelaskan hubungan fungsional antara ekonomi perkotaan disatu pihak dengan ekonomi pedesaan di pihak lain. Disamping itu teori-teori diatas belum mampu menjelaskan faktor-faktor yang biasa disebut faktor non ekonomi seperti zoning.

2.5 Teori Alfred Weber

Teori Weber biasa disebut teori biaya terkecil. Dalam teori tersebut Weber mengasumsikan bahwa; pertama, daerah yang menjadi objek penelitian adalah daerah yang terisolasi. Konsumennya terpusat pada lokasi- lokasi tertentu dan semua unit perusahaan dapat memasuki pasar yang tidak terbatas dan persaingan sempurna.

Kedua, sumber daya alam tersedia secara tidak terbatas. Ketiga, barang-barang lain seperti minyak bumi dan mineral adalah sporadik tersedia secara terbatas pada sejumlah tempat. Keempat, tenaga kerja tidak tersedia secara luas, ada yang menetap tetapi ada juga yang mobilitasnya tinggi.

(16)

segi tata guna lahan, model Weber berguna untuk merencanakan lokasi industri dalam rangka mensuplai pasar wilayah, pasar nasional dan pasar dunia. Dalam model ini fungsi tujuan biasanya meminimkan ongkos transportasi sebagai fungsi jarak dan berat barang yang harus diangkut (input dan output).

2.6 Land Rent Lokasi dan Sektor Ekonomi

Barlowe (1978) menggambarkan hubungan antara nilai land rent dan alokasi sumber daya lahan diantara berbagai kompetisi penggunaan kegiatan. Sektor-sektor yang komersial dan strategis mempunyai land rent yang tinggi. Sehingga sektor-sektor tersebut berada dikawasan strategis. Sebaliknya, sektor-sektor-sektor-sektor yang kurang mempunyai nilai komersil, nilai land rent-nya semakin kecil. Land rent disini diartikan sebagai locational rent. Kalau digambarkan secara grafis, sektor-sektor yang strategis fungsinya lebih curam. Sebaliknya sektor yang kurang strategis fungsinya lebih mendatar.

(17)

Land Rent E F A

G B

C H

D

Pusat(O) P* P jarak dari pusat

Gambar 1. Hubungan Antara Land Rent, Jarak dari Pusat Pada Berbagai Sektor Ekonomi

Sumber : Anwar, 1993 .

2.7 Land Rent dan Pasar Lahan

Lahan, termasuk didalamnya lahan sawah dalam kegiatan produksi merupakan salah satu faktor tetap. Untuk dapat melihat nilai land rent dalam teori sumber daya disebut rente. Menurut Barlowe (1978), nilai rente sumber daya lahan dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu sewa kontrak (contract rent), sewa lahan (land

rent) dan nilai rente ekonomi dari lahan (economic rent). Economic rent

(18)

management tertentu dan dalam suatu kurun waktu tertentu secara formal (biasanya satu tahun). Suparmoko (1989) menganalogikan land rent sama dengan economic rent .

Menurut Anwar (1990), suatu bidang lahan sekurang-kurangnya mempunyai empat bid ang rent yaitu : pertama Ricardian rent yakni menyangkut fungsi kualitas kesuburan dan kelangkaan lahan. Kedua locational rent yakni menyangkut fungsi eksesibilitas lahan. Ketiga ecological rent yakni menyangkut fungsi ekologi lahan

dan keempat sosiological rent yakni menyangkut fungsi sosial dari lahan. Namun

pada umumnya land rent yang merupakan cermin dari mekanisme pasar hanya mencakup Ricardian rent dan Locational rent. Sedang ecological dan sosiological rent tidak sepenuhnya terjangkau mekanisme pasar. Dengan demikian ditinjau dari sudut pandang masyarakat, secara hakiki mekanisme pasar gagal dalam mengalokasikan lahan secara optimal.

Secara teoritis alokasi pemanfaatan lahan dapat dilaksanakan melalui beberapa mekanisme, yaitu :

1. penataan ruang oleh pemerintah melalui undang-undang 2. melalui mekanisme pasar

3. kombinasi antara pengaturan pemerintah dan mekanisme pasar

(19)

Sebaliknya mekanisme pasar alokasi ruang (lahan) biaya formalnya relatif kecil, tetapi jika ditinjau dari titik pandang masyarakat, mekanisme pasar cenderung mengakibatkan missalokasi sumber daya lahan. Misalokasi ini terjadi karena struktur pasar sumber daya lahan tidak sempurna. Mekanisme ini juga tidak mampu mencakup penilaian eksternalitas. Oleh sebab itu mekanisme ketiga seringkali lebih

feasible untuk diterapkan.

Kegagalan mekanisme pasar khususnya pasar lahan sangat merugikan pem-bangunan yang dilaksanakan di Indonesia. Terutama jika ditinjau dari perspektif jangka panjang. Hal ini dikarenakan opportunitas penggunaan lahan relatif sangat besar. Lahan, khususnya lahan sawah tipologi penggunaanya sangat strategis bagi Indonesia.

2.8 Kota sebagai Pusat Pertumbuhan dan Konversi Lahan

Kota timbul dan berkembang, melalui proses yang oleh Hoteling disebut proses aglomerasi. Mengumpulnya usaha-usaha sejenis menimbulkan penghematan-penghematan interen dan eksteren yang menyebabkan terjadinya keuntungan akibat pertukaran, tersedianya berbagai pasar termasuk pasar kapital, tenaga kerja dan sebagainya. Pusat-pusat kawasan tersebut merupakan sumber pertumbuhan bahkan merupakan prasyarat bagi suatu transisi perekonomian di kawasan pedesaan (rural)

yang umumnya didominasi sektor pertanian kepada suatu perekonomian yang maju, dimana terdapat produktivitas yang tinggi dan berbagai aktivitas yang luas.

(20)

penghubung (transmitter) masuknya pemikiran-pemikiran maupun tindakan yang berasal dari luar. Kemudian sistem transportasi yang dibangun untuk menghubungkan kawasan kota dengan hinterland merupakan faktor pendorong berkembangnya kedua kawasan. Melalui proses waktu, semakin berkembangnya kota induk akan mengembangkan kawasan penyangga menjadi kota-kota kecil. Lewat suatu proses aglomerasi ganda, maka antara kota induk dan kota kecil tersebut akan saling bisa menyatu. Hal ini menurut Anwar (1994) terjadi karena faktor transportasi dan “ketidakmampuan” kota induk memenuhi tuntutan kebutuhan warganya, terutama dalam menyediakan lahan untuk pemukimam tempat tinggal dan tempat bekerja. Sehingga kawasan penyangga menjadi sangat penting, baik oleh kemungkinan tersedianya lahan, lingkungan yang bersih dan lahan-lahan di kota induk menjadi langka, sulit didapat serta mahal harganya.

(21)

Rent

Jarak Keterangan :

1 = kawasan komersial/finansial 4 = kawasan pertanian 2 = kawasan industri = jalan kereta

3 = kawasan perumahan = jalan raya

Gambar 2. Pembentukan Kota Inti Secara Berganda

Proses aglomerasi kota mendorong terjadinya suatu proses yang oleh Gunar Myrdal (Jinghan, 1988) disebut spread effect dan backwash effect. Spread effect

(22)

terjadi proses penyedotan berbagai faktor input seperti tenaga kerja potensial, faktor kapital bahkan sumber daya potensial lain.

Kaum klasik percaya bahwa proses aglomerasi melalui mekanisme pasar akan meratakan pembangunan antar wilayah. Myrdal berkeyakinan bahwa kawasan maju akan mengalami proses eksternal diseconomics, karena terjadi misorganisasi, lalu lintas macet, lingkungan yang semakin rusak bahkan kejahatan semakin subur akibat tekanan penduduk yang semakin tinggi. Akibatnya pemukim-pemukim golongan mapan keatas maupun perusahaan membutuhkan kawasan baru yang akan menjadi kawasan pertumbuhan baru nantinya.

Seluruh rangkaian proses ini memungkinkan terjadinya realokasi lahan ter-masuk lahan sawah khususnya di sekitar kawasan pertumbuhan. Karena lahan se-perti lahan sawah mempunyai land rent per satuan luasnya lebih rendah, kemudian dialokasikan kesektor lain yang land rent-nya tinggi. Tekanan yang lebih luas khususnya akan terjadi didaerah pertanian yang dekat kawasan pertumbuhan.

(23)

Kondisi tersebut akan ber implikasi pada kesenjangan yang semakin melebar. Tetapi pada jangka pendek, kesenjangan ini akan merangsang pertumbuhan eko-nomi yang semakin besar dan realokasi lahan yang besar juga. Hal ini dimungkinkan karena proses diatas akan melahirkan tiga kelompok masyarakat yaitu :

1. Masyarakat kelompok elit, kaya dan makmur. Mereka mengkonsumsi barang dan jasa yang berlebih dan berkualitas, tinggal di pemukiman nyaman dan jauh dari kebisingan. Mereka juga membutuhkan perluasan usaha sebagai akibat dari akumulasi kapital.

2. Masyarakat kelompok menengah umumnya yang membutuhkan kawasan pemukiman yang memadai dan cukup berkualitas di kawasan baru (perumahan hingga real estate). Konsumsi barang dan jasa mereka, akibat

Demand Effect, semakin besar seiring dengan pertumbuhan ekonomi

kawasannya.

3. Masyarakat kelompok yang hanya mampu mengkonsumsi pada tingkat marginal dan berada di kawasan kumuh atau tersingkir jauh dari pusat pertumbuhan sesuai dengan kemampuan ongkos sewa, ongkos transport dan daya beli mereka.

(24)

Gambar 3. Hubungan Perkembangan Kota dan Konversi Lahan

2.9 Aspek Ekonomi Sumber Daya Lahan

Sumberdaya lahan mempunyai peran yang semakin penting dalam kehidupan manusia karena pertumbuhan penduduk yang tinggi akan terus memberi tekanan-tekanan kepada permintaannya. Sementara dari sisi persediaan (supply) sumber daya lahan bersifat tetap. Dengan berkembangnya ekonomi dan pertambahan populasi penduduk serta meluasnya kegiatan ekonomi di luar pertanian, maka penggunaan

Eksternal

1. Membutuhkan lahan baru

2. Timbul kota baru

Konversi lahan sawah

Kawasan perdesaan dan wilayah pinggiran elit dan menengah berintegrasi ke kota.

Kelas bawah semakin menyingkir ke pinggiran atau migrasi ke kawasan kumuh

(25)

lahan- lahan semakin bersaing, misalnya untuk penggunaan industri, pemukiman, perdagangan, infrastruktur dan lain-lain (Anwar, 1994).

Secara ekonomi manajemen pemanfaatan ruang memperhatikan kapasitas penggunaan ruang, khususnya bila ditinjau dari penggunaan lahan dan lingkungan bagi suatu tujuan tertentu yang terdefinisikan. Dan tujuan manajemen sumber daya lahan dan lingkungan adalah untuk mencapai “highest and best use” yaitu prinsip penggunaan alokasi sumber daya lahan yang terbaik dan yang memberikan nilai yang tertinggi (Winoto, 1998). Tujuan yang dimaksud ini harus senantiasa diletakkan dalam perspektif tujuan rumah tangga, tujuan masyarakat dan tujuan wilayah atau nasional. Kapasitas penggunaan lahan mencerminkan kemampuan re-latif sumber daya lahan untuk menghasilkan kepuasan. Secara ekonomi konsep ini diartikan sebagai land rent atau surplus ekonomi yang dapat dihasilkan oleh penggunaan lahan berdasarkan struktur biaya yang dikembangkan. Konsep ini memperhitungkan semua faktor yang mempengaruhi kemampuan lahan, seperti aksebilitas dan kualitas sumber daya lahan dan lingkungan. Penggunaan lahan ter-tinggi dan terbaik (highest and

best use ) diukur dari kemampuan lahan dalam memberikan kepuasan tertinggi bagi

(26)

Perubahan penggunaan lahan merupakan bagian dari proses urbanisasi. Hal ini dikarenakan dalam memenuhi kebutuhan manusia akan pangan, sandang, papan, aminity dan kebutuhan dasar lainnya memerlukan lahan baik sebagai faktor produksi maupun sebagai ruang yang mewadahi aktivitasnya (Nasution dan Saefulhakim, 1995). Davis dalam Rustiadi (1996) beberapa issue pokok tentang penggunaan lahan. Salah satu masalahnya adalah persaingan penggunaan lahan untuk aktivitas perkotaan dan pertanian di pinggiran kota dan pedesaan. Persaingan ini terjadi akibat urbanisasi dan industri yang begitu pesat, sehingga lahan yang baik dengan produktivitas yang tinggi terkonversi ke penggunaan aktivitas urban.

Konversi lahan sebagai bagian dari proses suburbanisasai berkaitan dengan terjadinya alih fungsi dan alih penguasaan lahan. Hal ini berarti mengandung konsekuensi menyempitnya lahan yang dimiliki masyarakat setempat, sehingga akan memberi dampak yang besar terhadap tingkat kehidupan masyarakat sekitarnya. Selanjutnya bahwa penggunaan lahan di pinggiran perkotaan seringkali dicirikan dengan yang melibatkan berbagai komunitas/masyarakat dari para pemilik lahan, para pengembang, bahkan juga pemerintah lokal. Berbagai konflik tersebut sering diakhiri dengan pengusiran terhadap penghuni lama (pemilik lahan).

2.10 Kaitan Antara Penggunaan Lahan dengan Ekonomi

Hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan antara penggunaan lahan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat, dengan menggunakan Model

simulasi memberikan hasil estimasi parameter yaitu: 1) peningkatan penduduk

(27)
(28)

2.11 Konversi Lahan Pertanian dan Kaitannya dengan Kinerja Pembangunan Ekonomi

Selama periode 1979-1999 laju pertumbuhan pertanian menunjukkan penurunan yaitu dari 5,60% menjadi 2,73 %, sektor non pertanian menunjukkan terjadinya peningkatan dari 6,25% menjadi 8,37%. Penurunan pertumbuhan sektor pertanian ini, berkaitan dengan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian sebesar 1,55 juta Ha, seiring dengan peningkatan penduduk perkotaan di Indonesia yang cukup signifikan dari 26,2% menjadi 42,1%. Konversi lahan pertanian, merupakan konsekuensi perluasan kota yang membutuhkan lahan untuk pertumbuhan ekonomi kota. Lahan pertanian mengasilkan land rent yang lebih rendah dari penggunaan lahan industri, sehingga penggunaan lahan pertanian akan digeser oleh lahan industri. (berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2004) bahwa nilai land rent untuk penggunaan pertanian 1:500 dan untuk perumahan dan kawasan industri sebesar 1:622, sehingga konversi lahan pertanian ke penggunaan lainnya tidak dapat dicegah.

2.12 Faktor-Faktor Utama Pemicu Konversi Lahan Sawah

Suatu fenomena konversi lahan dapat dijelaskan dengan menggunakan teori land

rent. Dengan pendekatan linier diterministik dari teori land rent, gambar dibawah mampu

mengilustrasikan secara sederhana tentang fenomena konversi lahan dari penggunaan a

(29)

land rent (Rp/ha/thn) LR a’

LR a

a a’ LR b

b

jarak (km) J b

lokasi J ab J a’ utama J a J a’ b

Gambar 4. Land Rent dan Fenomena Konversi Lahan Sumber : Saefulhakim dan Nasution (1996)

Rumus umum dari land rent untuk suatu penggunaan lahan dapat dinyatakan sebagai berikut :

LRi = Pi (Hi – Bi – ti Ji)

LRi : Land rent dari penggunaan (Rp/ha/tahun)

Pi : Produktivitas komoditas (t/ha/tahun)

Hi : Harga dari komoditas i di pusat pemasaran (Rp/tahun)

Bi : Biaya produksi komoditas i (Rp/tahun)

ti : Biaya untuk transportasi komoditas i ke pusat pasar (Rp/tahun/km)

(30)

Sebagian lahan akan dibudidayakan dengan suatu komoditas tertentu, apabila pembudidayaan komoditas tersebut dapat memberikan land rent yang positif. Dengan menggunakan prinsip bahwa suatu aktivitas budi daya adalah mencari nafkah untuk memenuhi budget kehidupan keluarga (misalnya keluarga tani), maka land rent tersebut akan positif manakala nilainya lebih besar dari nilai minimum fungsi budget tersebut. Apabila tersedia lebih dari satu kemungkinan alternatif komoditas yang dapat dibudidayakan, maka sebidang lahan akan dibududayakan dengan komoditas yang dapat memberikan land rent yang lebih tinggi. Dengan menggunakan prinsip dasar ini, untuk kasus komoditas a dan b seperti gambar diatas, akan terjadi pola penggunaan lahan sebagai berikut :

1. Pada kondisi awal komoditas a akan dibudidayakan sampai dengan radius J ab km dari pusat pasar, sedangkan komoditas b dibudidayakan di luar radius J ab tersebut sampai dengan radius J b.

2. Bila kurva land rent dari komiditas a bergeser ke a’, maka areal budidaya a meluas dari radius J ab menjadi J a’b. Dalam hal ini sejumlah luasan tertentu dari penggunaan lahan b akan dikonversikan ke penggunaan a.

Menurut Saefulhakim dan Nasution (1996) ada beberapa faktor utama pemicu konversi lahan sawah sebagai berikut :

1. Perkembangan Standard Tuntutan Hidup

Petani akan cenderung mengkonversikan sawahnya ke penggunaan lain apabila pembudidayaan sawah tersebut tidak mampu memberikan land rent yang dapat memenuhi perkembangan standard hidup tuntutan hidupnya.

(31)

Petani akan cenderung mengkonversikan sawahnya ke penggunaan lain apabila harga-harga dari komoditas yang dapat dihasilkan dari pembudidayaan sawah (misalnya padi dan palawija) tetap lebih rendah.

3. Struktur Biaya Produk

Biaya produksi dari aktivitas budi daya lahan sawah yang semakin mahal akan cenderung memperkuat proses pengkonversian lahan sawah ke penggunaan lain. Salah satu factor pendorong meningkatnya biaya produksi ini adalah berkaitan dengan skala usaha. Pengusahaan lahan yang sempit tidak mampu menangkap apa yang dikenal dengan economies of scale. Tanpa adanya introduksi kelembagaan, semakin menyempitnya skala penguasaan lahan, akan berimplikasi pada semakin tidak efisiennya usaha pertanian petani. Pengkonversian lahan-lahan ini ke penggunaan lain yang jauh lebih efisien menjadi susah untuk dielakkan.

4. Tekhnologi

Kemandegan perkembangan tekhnologi intensifikasi terutama pada penggunaan lahan yang permintaannya terus meningkat (seperti perumahan seiring dengan perkembangan penduduk, areal bisnis dan industri seiring dengan laju transformasi struktur perekonomian), akan mengakibatkan proses ekstensifikasi yang lebih dominan. Proses ekstensifikasi dari penggunaan lahan demikian yan gakan terus mendorong proses konversi lahan sawah.

5. Aksesibilitas

(32)

(seperti pemukiman, areal bisnis dan industri). Penggunaan lahan yang mempunyai bidrent curve yang lebih landai (seperti umumnya kegiatan pertanian termasuk wilayah didalamnya akan semakin tersingkir).

6. Risiko dan Ketidakpastian

Land rent dari penggunaan lahan akan melibatkan aspek risiko dan ketidakpastian dari segi produksi, harga maupun keuntungan bisnis. Tingkat resiko dan ketidakpastian yang lebih tinggi akan menurunkan nilai harapan dari tingkat produksi, harga dan keuntungak sehingga nilai harapan land rent menjadi rendah. Dengan demikian, penggunaan lahan yang mempunyai tingkat resiko dan ketidakpastian yang lebih tinggi cenderung dikonversikan ke penggunaan lahan lain yang tingkat resiko dan ketidakpastian lebih rendah.

7. Tanah Sebagai Asset

(33)

BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN

Proses pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, akan menciptakan faktor pendorong (push factor) maupun faktor penarik (pull factor) yang mampu menimbulkan migrasi. Hal ini dimungkinkan karena tempat dan awal pertumbuhan adalah kawasan perkotaan dengan dukungan hinterland sawah. Perubahan struktural melalui pertumbuhan ekonomi lewat kawasan perkotaan tersebut, diharapkan mampu menjawab tantangan pertumbuhan angkatan kerja baru. Sehingga dalam proses tersebut terjadi proses pembentukan lahan terutama lahan yang berada di kawasan kota. Artinya pada tahap ini terjadi pendesakan lahan- lahan pertanian oleh aktivitas non-pertanain yang semakin tumbuh dan berkembang lewat proses aglomerasi.

Selama sawah merupakan kawasan hinterland bagi kota, maka sawah tersebut masih bisa diharapkan terus kontribusinya, dan kawasan kota tersebut akan terus dipacu perkembangannya. Sebaliknya jika sawah menunjukkan semakin kurang nilai ekonomisnya, maka intesitas pendesakan terhadap sawah tersebut akan semakin cepat. Hal tersebut akan menimbulkan banyak masalah; selain terhadap petani juga yang tidak kalah penting terhadap lingkungan.

(34)

dari 34,1 % menjadi 19 % pada tahun yang sama, tetapi sektor tersebut menanggung 50 % dari tenaga kerja yang ada. Sebaliknya sektor industri hanya menampung sekitar 20 % sementara sumbangannya terhadap PDRB terus meningkat. Tidak berkembangnya upah riil di pedesaan dapat dijadikan indikator bahwa kesempatan kerja di pedesaan adalah sangat terbatas. Menurunnya peranan pangan sebagai sumber pendapatan masyarakat juga mengisyaratkan bahwa peranan padi yang selama ini menjadi tumpuan peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan di perdesaan tidak lagi dapat diandalkan.

Kondisi tersebut pada akhirnya akan mendorong penduduk perdesaan mulai beralih ke sektor non-pertanian. Maka salah satu alternatifnya adalah mereka melakukan migrasi atau bekerja ke sektor informal, baik di perdesaan ataupun di perkotaan. Karena sektor pertanian kurang memberi insentif, maka suatu hal yang lumrah jika para petani menjual sawah / lahannya atau bahkan mengkonversi lahan tersebut menjadi lahan non-pertanian.

Pertumbuhan ekonomi dan industri yang lamban di perdesaan semakin memperkecil pangsa sektor pertanian termasuk sub sektor pangan, mendorong penduduk perdesaan melakukan migrasi. Hal tersebut akan semakin memperberat tekanan penduduk kawasan perkotaan. Beratnya tekanan penduduk akan menimbulkan proses alokasi lahan terutama di kawasan perkotaan yang semakin padat, melalui kawasan pinggiran kota.

3.1 Faktor Penentu Konversi Lahan Secara Wilayah

(35)

Berdasar-kan atas asumsi persediaan lahan tetap, maka pertumbuhan ekonomi yang tercermin oleh tumbuhnya beberapa sektor ekonomi akan membutuhkan banyak lahan baru. Apabila lahan sawah tersebut berada di dekat pusat pertumbuhan ekonomi, terutama dekat kawasan perkotaan, maka secara langsung atau tidak langsung, lahan pertanian akan dikonversikan ke arah penggunaan lain seperti pemukiman, industri, maupun sarana prasarana. Hal ini disebabkan oleh karena rent per satuan luas lahan yang diperoleh oleh aktivitas baru akan lebih tinggi dari sektor pertanian. Secara logika, hal ini berimplikasi pada terjadinya realokasi lahan yang semakin cepat dan meluas.

Mengingat produktivitas sektor pertanian relatif rendah, dilain pihak nilai tukar sektor pertanian terhadap sektor lain semakin menurun, maka jumlah pekerja di sektor pertanian cenderung menjadi pengangguran tidak kentara. Akibatnya secara teoritis proporsi tenaga kerja pertanian terhadap total pekerja diduga berkorelasi dengan konversi lahan sawah secara negatif, artinya semakin besar proporsi pekerja pertanian tersebut, justru akan mengurangi proporsi sawah secara keseluruhan.

(36)

ini, artinya bahwa tidak setiap wilayah yang padat penduduknya berpotensi mempunyai permintaan efektif yang besar terhadap lahan sekitarnya. Jadi hanya kawasan padat di sekitar kota yang berpotensi mempunyai permintaan efektif kuat terhadap lahan. Faktor tersebut diduga mempengaruhi terjadinya konversi lahan secara agregat. Berdasarkan hal ini diduga pula hanya pertumbuhan penduduk perkotaan saja yang mempunyai peranan proses konversi lahan sawah di sekitarnya.

Untuk kasus kabupaten Bogor juga, dikarenakan pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia terpusat di Jakarta, maka Jakarta dengan sendirinya menjadi penarik bagi para pendatang untuk bekerja disana. Sebagai konsekwensinya masyarakat pendatang yang secara ekonomis tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggalnya di Jakarta ataupun penduduk Jakarta sendiri yang tergusur, maka Bogor ( baik kabupaten ataupun kota) menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat untuk dijadikan tempat tinggal. Sebagai akibatnya konversi lahan di Bogor tidak lagi dapat dibendung.

Petani dan Konversi Lahan Sawah

(37)

tidak dapat diandalkan lagi, sehingga di tingkat rumah tangga petani, pertanian tidak lagi menjadi sandaran untuk mendapatkan penghasilan. Permasalannya menjadi semakin kompleks, karena lahan sawah berada di daerah pertumbuhan , sehingga nilai rent lahan semakin tinggi karena faktor lokasi. Masuknya nilai locational rent

cenderung mempertinggi nilai rent secara keseluruhan. Secara toritis suatu kawasan yang potensial secara lokasi, walaupun kondisinya subur, dalam pasar bebas akan cenderung memperbesar dorongan relokasi lahan untuk penggunaan kegiatan yang menghasilkan rent tertinggi.

3.3 Dampak Konversi Lahan Sawah

Secara makro masalah konversi lahan sawah adalah suatu dilema dan aplikasinya sering menjadi kontradiktif. Di satu pihak diizinkan untuk melakukan konversi lahan, padahal nilai opportunitas lahan sawah tersebut sangat tinggi. Di lain pihak ada usaha pencetakan sawah baru sebagai usaha penggantian sawah yang telah dikonversi tersebut. Seperti telah diketahui biaya mencetak sawah sangat mahal per hektarnya, apalagi potensi lahan yang tersedia untuk pencetakan tersebut sangat bersifat spekulasi. Akibatnya proses konversi lahan sawah ke non-pertanian jelas mengurangi kemampuan swasembada beras karena berkurangnya kemampuan produksi dan produktivitas pangan khususnya padi. Untuk itu dicoba melihat dampak konversi lahan terhadap produktivitas lahan tersebut.

(38)

management pengelolaan uang hasil lahan. Diduga proses konversi lahan sawah oleh petani banyak mengakibatkan terjadinya proses pemiskinan petani.

Selain itu konversi lahan sering menimbulkan dampak negatif yang tidak kecil. Mulai dari rusaknya lingkungan, hilangnya daerah resapan air, hingga ling-kungan yang tidak nyaman. Semua kerusakan ini pada akhirnya merupakan biaya yang harus ditanggung masyarakat sekitar.

3.4 Disparitas Penguasaan Lahan Pertanian

3.4.1 Penurunan Skala Penguasaan Lahan Pertanian

(39)

0

Gambar 5 : Perbandingan Pertumbuhan Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan dan Rumah Tangga Petani Gurem Tahun 1993 dan Tahun 2003 (%/10tahun)

Sumber: Hasil Sensus Pertanian 2003.

3.4.2 Ketimpangan Distribusi Kepemilikan Lahan Pertanian

Rata-rata gini ratio kepemilikan lahan pertanian di Indonesia adalah sebesar 0,479%, dan Jawa sebesar 0,460 serta luar Pulau Jawa sebesar 0,469. Gini ratio di pulau Jawa dan Papua adalah lebih rendah, yaitu DKI 0,299, Jawa barat 0,267, Jawa tengah 0,198 DIY 0,295, Jawa timur 0,38, Papua 0,292. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi kepemilikan lahan untuk provinsi yang berada di Pulau Jawa dan Papua adalah merata, dibanding dengan provinsi lainnya di Indonesia kecuali Pulau Bali, yang gini rationya bahkan mencapai 0,89 (distribusi kepemilikan lahan adalah sangat tidak merata). Meskipun distribusi kepemilikan lahan lebih merata untuk provinsi di Pulau Jawa dan Papua, namun rata-rata mempunyai skala kepemilikan lahan yang kecil (70% berada dibawah 0,5%) bahkan mengalami polarisasi.

(40)

dengan harga yang murah sebagai akibat informasi yang diterima petani tidak sempurna (asymetris information) terutama pada lahan- lahan pertanian yang berada pada kawasan pinggiran kota yang tinggi perkembangannya. Hal ini sependapat dengan Lipton (1977) dalam Anwar dan Rustiadi (2000) bahwa kaum elit di kawasan urban mempertahankan keadaan perdesaan tetap lemah dalam posisi bargaining, yaitu dengan mengorganisasikan dan mengendalikan kekuasaaan politik dan ekonomi.

3.5 Dampak Disparitas Penguasaan Lahan terhadap Pendapatan Petani 3.5.1 Rumah Tangga Petani dan Pendapatan Petani di Indonesia

Tingkat pertumbuhan rumah tangga di Indonesia dari tahun 1993 sampai 2003 rata-rata adalah sebesar 2,46% per tahun, sementara rumah tangga pertanian peningkatannya adalah sebesar 2,10% per tahun. Lebih rendahnya tingkat pertumbuhan rumah tangga petani untuk Jawa (1,81% per tahun) dibanding dengan luar Jawa (2,45% per tahun), mengindikasikan bahwa penduduk di Jawa lebih cepat tingkat transformasinya ke sektor non pertanian dibanding dengan luar Jawa.

Meskipun jumlah rumah tangga pertanian di Indonesia meningkat, persentase banyaknya rumah tangga pertanian terhadap banyaknya rumah tangga justru menurun dari 50,45% (tahun 1993) menjadi 48,66% (tahun 2003). Data ini sepintas menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi tumpuan utama dari sebagian besar penduduk Indonesia.

(41)

sektor pertanian merupakan jenis pekerjaan yang tidak mempunyai pilihan lain (merupakan alt ernatif apabila di sektor lain tidak tersedia lapangan kerja). Rumah tangga petani tahun 2003 mencapai 25,58 juta KK (48,67%), jika dihubungkan dengan rata-rata upah dan gaji tenaga kerja pertanian Rp 4,14 juta/tahun dan Rp 5,13 juta/tahun yang merupakan penerima upah yang paling rendah, menunjukkan bahwa hampir setengah dari penduduk Indonesia berpenghasilan rendah. Sedangkan tenaga kerja profesional, teknisi, manager dan militer merupakan penerima upah dan gaji yang paling tinggi yaitu sekitar Rp 14 juta.

3.5.2 Dampak Disparitas terhadap Pertumbuhan Ekonomi

(42)

menunjukkan angka yang lebih kecil yang berarti adalah lebih merata, namun kondisinya adalah merata dalam skala kepemilikan yang kecil-kecil (seperti di Jawa Timur rumah tangga yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar pada tahun 2003 mencapai 72,60 %. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun ada pemerataan aset, namun dengan skala kepemilikan yang kecil maka economies of scale tidak akan tercapai, sehingga hasil usaha tani pada kondisi tersebut adalah merugi.

3.6 Fragmentasi Lahan dan Kepemilikan Lahan

(43)

Tabel 1. Nilai Rataan Berbobot dari Variabel-Variabel Karakteristik Kepemilikan Usaha Pertanian di

Sumber: Saefulhakim, 1997 3.7 Aspek Property Right Lahan

Secara umum, keberadaan suatu kepemilikan harus mempunyai pengakuan akan hak milik atau dengan bahasa lain disebut property right. Property right ini dapat bebrbentuk pengukuhan kekuasaan dengan menegaskan hak – hak atas individu melalui dokumentasi legal, dimana hak – hak tersebut dapat dilaksanakan Hak – hak lahan yang didokumentasikan menyatakan bahwa keadaan lahan dimana pemilik dapat mengancam orang lain yang melanggar atau menjadi saingan dalam mengklaim lahan tersebut, maka orang yang mencoba menggunakan lahan tersebut dapat dikenakan ancaman hukuman. Pada keadaan lahan mengalami perbaikan dan peningkatan nilai, property right ini dapat dijadikan tameng bagi pemiliknya jika para spekulator berusaha untuk memiliki lahan tersebut.

(44)

mentransfer lahan, maka pemilik lahan tidak dapat mewujudkan nilai atas lahan. Kedua, jika nilai lahan semakin meningkat, pengguna lahan mungkin tidak dapat menahan tekanan para spekulator lahan untuk mengambil lahan yang bersangkutan, tindakan ini juga sering dilakukan oleh petani- petani kaya di pedesaan. Ketiga, lahan yang tidak jelas haknya tidak akan dapat dijual di pasar lahan secara terbuka, yang berarti lahan tidak akan mendapatkan nilai tambah dalam penggunaannya. Keempat, tidak adanya lhak atas lahan berarti bahwa penguasa atas lahan tidak dapat menggunakan lahan tersebut sebagai agunan jika ia mengajukan pinjaman kepada lembaga perkreditan formal. Dengan adanya tekanan penduduk yang bertumbuh terus, maka property right yang lebih tegas dan jelas sampai mencapai pemilikan yang ekslusif dan nantinya akan mengarah kepada pemilikan individual.

Adapun persyaratan dalam memenuhi hak- hak atas lahan adalah :

1. Hak–hak harus dispesifikasikan secara penuh. Hal ini berarti pemiliknya harus dapat dibeda – bedakan secara jelas. Demikian juga pembatasan – pembatasan terhadap hak – hak kepemilikan dan sanksi – sanksi terhadap pelanggaran hak –hak tersebut.

2. Suatu property right harus mengandung arti bahwa kepemilikan harus ekslusif. Ekslusifitas ini menentukan siapa – siapa saja, jika ada, yang boleh menggunakan sumberdaya atau barang yang dimilikinya dan apa persyaratan yang dapat dipergunakan.

3. Pemilik lahan mempunyai hak untuk mentransfer barang miliknya.

4. Property right secara efektif harus dapat dipaksakan, karena tanpa adanya

(45)

.BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian direncanakan di desa Tegalwaru dan Bojongrangkas, kecamatan Ciampea, kabupaten Bogor. Kedua desa ini dipilih karena merupakan desa yang relatif dekat dari pusat kota Bogor dan kampus IPB Darmaga, letaknya persis di tepi jalan raya Ciampea dan kedua desa mempunyai karakteristik yang berbeda dalam pemilihan mata pencaharian. Untuk desa Tegalwaru sebagian besar masyarakatnya adalah petani dan masyarakat Bojong Rangkas sebagai pekerja industri.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian diperkirakan selama 6 (enam) bulan, mulai dari tahap persiapan hingga pelaporan.

4.2 Data dan Sumber Data

(46)

pembangunan. Selain itu wawancara juga dilakukan dengan masyarakat sekitar yang berkaitan langsung dengan konversi lahan.

4.3 Penentuan Sampel Responden Penelitian

Sampel penelitian dibagi atas dua kelompok yaitu kelompok pembeli lahan dan penjual lahan. Penentuan sampel yang menjadi responden dilakukan secara

stratified sampling. Jumlah sampel secara keseluruhan adalah 43 orang dari

kelompok pembeli dan 27 orang dari kelompok penjual.

4.4 Metode Analisis

1. Analisis Kuantifikasi Hayashi I

(47)

2. Analisis Deskriptif

Analisa deskriptif ini digunakan untuk melihat dampak penggunaan lahan yang dikonversi masyarakat serta ada atau tidaknya perubahan pada pelaku konversi.

Analisa ini juga digunakan untuk menggambarkan mekanisme yang terjadi dalam proses pengalihan fungsi lahan mulai dari stakeholder yang terlibat, peran masing-masing stakeholder termasuk peranan calo (perantara) dan kebiasaan masyarakat setempat dalam proses pengalihan fungsi lahan tersebut. Analisa ini ditulis berdasarkan wawancara/pengisian kisioner dengan instansi terkait dan pelaku konversi.

3. Analisis yang Berkaitan dengan Input – Output (I- O)

Pada dasarnya, tabel I-O adalah gambaran lebih rinci dari sistem neraca ekonomi wilayah / nasional. Tabel I-O dapat digunakan untuk :

1. memperkirakan dampak permintaan akhir dan perubahannya (pengeluaran rumah tangga, pengeluaran pemerintah, investasi dan eksport) terhadap berbagai output sektor produksi, nilai tambah, pendapatan masyarakat, kebutuhan tenaga kerja, pajak dan sebagainya.

2. mengetahui komposisi penyediaan dan penggunaan barang dan jasa sehingga mempermudah analisis tentang kebutuhan import dan kemungkinan subsitusinya.

(48)

Tabel I-O ini dapat dijadikan alat analisis untuk melihat struktur keterkaitan (linkage)

ekonomi antar sektor dalam suatu perekonomian serta efek multiplier suatu sektor terhadap sektor ataupun perekonomian secara keseluruhan. Berikut beberapa istilah tekhnis analisis I-O :

1. Kaitan langsung ke belakang (direct backward linkage) menunjukkan efek langsung dari perubahan output (tingkat produksi) suatu sektor terhadap total tingkat produksi sektor-sektor yang menyediakan input bagi sektor tersebut. 2. Kaitan langsung ke depan (direct forward linkage) menunjukkan efek

langsung dari perubahan output (tingkat produksi) suatu sektor terhadap total tingkat produksi sektor-sektor yang menggunakan output sektor tersebut. 3. Kaitan tidak langsung ke depan (indirect forward linkage) menunjukkan

(49)

Gambar 6. Kerangka Berfikir 1. Populasi yang

tinggi

2. Aktivitas manusi meningkat

Ruang / Jumlah lahan tetap

1. Kebutuhan akan bahan makanan meningkat

2. kebutuhan infrastruktur meningkat

Permintaan akan lahan meningkat

Terjadi konversi lahan pertanian, untuk memenuhi peningkatan kebutuhan

Berdampak pada struktur sosial ekonomi masyarakat

Analisis :

1. Analisa Kuantifikasi Hayashi I : untuk melihat faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi

2. Analisa Deskriptif : untuk mengetahui alokasi dan dampak penggunaan lahan konversi dan peranan perantara dalam proses jual beli

(50)

BAB V

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Kabupaten Bogor secara geografis sebagian besar wilayahnya berada pada dataran rendah utara Pulau Jawa dan sebagian kecil berada pada dataran tinggi. Luas keseluruhan wilayahnya 334,378 hektar (3,342.78 km 2) dan terletak antara 60 19` - 60 47` Lintang Selatan dan 1060 1` - 1070 103` Bujur Timur. Secara administrasi terdiri dari 30 kecamatan, 424 desa dan 9 kelurahan dengan batas administrasi sebagai berikut :

1. Sebelah utara : DKI Jakarta, Kotamadya Depok 2. Sebelah Selatan : Kabupaten Sukabumi dan Cianjur 3. Sebelah Barat : Kabupaten Serang, Lebak dan Tangerang

4. Sebalah Timur : Kabupaten Bekasi dan Karawang 5. di Tengah : Kotamadya Bogor

Sementara dalam konteks Pembangunan Regional Kabotabek, kabupaten Bogor berfungsi sebagai berikut :

1. Daerah penyangga DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia 2. Pusat pengembangan pertanian, khususnya hortikultura dengan

memanfaatkan sumber daya alam letak geografis kabupaten Bogor dan peluang pasar Jakarta

(51)

Berdasarkan hasil regisrtasi tahun 2000, Kabupaten Bogor memiliki jumlah penduduk sebanyak 3 juta jiwa; yaitu laki- laki sebesar 1,52 juta jiwa dan perempuan 1,48 juta jiwa.

Kecamatan Ciampea merupakan salah satu dari 30 kecamatan yang ada di kabupaten Bogor. Ciampea sebagai kecamatan memiliki 19 desa dan jumlah penduduk sebesar 166,280 jiwa berdasarkan hasil registrasi tahun 2000. Adapun jumlah penduduk dan luas lahan di kecamatan Ciampea ditampilkan pada tabel berikut

Tabel 2: Jumlah Penduduk dan Luas Lahan di Kecamatan Ciampea Tahun 2000

No Desa Jumlah Penduduk

(jiwa)

Luas Lahan (ha)

1 Tapos I 7,244 570

2 Gunung Malang 10,486 720

3 Tapos II 6,066 142

4 Ciampea Udik 6,609 342

5 Cibitung Tengah 7,952 410

6 Situ Daun 7,491 226

7 Cinangneng 6,665 257

8 Cinangka 9,605 246

9 Cibuntu 6,756 333

10 Cicadas 9,052 283

11 Tegalwaru 9,881 441

12 Bojong Jengkol 8,968 215

13 Cihideung Udik 11,305 324

14 Cihideung Ilir 9,247 265

15 Cibanteng 13,228 182

16 Bojong Rangkas 10,079 130

17 Cibadak 7,882 114

18 Banteng 9,082 162

19 Ciampea 8,682 197

(52)

5.1 Analisa Spasial Kabupaten Bogor 5.1.1 Kemampuan Lahan Pertanian

Kabupaten Bogor mempunyai potensi pengembangan pertanian jika dilihat dari segi kemampuan lahan dengan proporsi sebagai berikut :

1. termasuk kelas I, yaitu lahan – lahan yang mempunyai potensi pengembangan pertanian secara sangat intensif, seluas 10.9 %.

2. termasuk kelas II, yaitu lahan – lahan yang berpotensi untuk pengembangan pertanian secara intensif, seluas 19.6%.

3. termasuk kelas III, yaitu lahan – lahan yang berpotensi untuk pengembangan pertanian dengan intensitas terbatas, seluas 20.1%.

4. termasuk kelas IV dan V, yaitu lahan – lahan yang tidak layak untuk pengembangan pertanian dan seyogyanya harus dihutankan atau merupakan lahan konservasi, seluas 21.31%.

5.1.2 Permasalahan dalam Pengembangan Wilayah

Daerah yang dijadikan penelitian yaitu desa Tegalwaru dan Bojongrangkas, berada di kabupaten Bogor Barat. Kabupaten Bogor Barat sendiri mempunyai beberapa permasalahan dalam pengembangan wilayah, yaitu :

1. adanya disparitas pembangunan antara kabupaten Bogor Barat dengan daerah lain, seperti infrastruktur, sumber daya lalam dan lain – lain.

2. interaksi antardesa (inter rural linkage) dan desa – kota (rural – urban linkage) relatif rendah.

(53)

4. belum dikembangkan secara optimal

5. potensi sektor / komoditas unggulan belum digali dan dikelola secara optimal 6. akses pemasaran produk unggulan belum optimal

7. aliran investasi di wilayah kabupaten Bogor Barat masih rendah

5.1.3 Potensi Sumberdaya

Untuk wilayah kabupaten Bogor Barat, potensi sumber dayanya cukup banyak, yaitu :

1. pertanian tanaman pangan : seperti padi, ubukayu, jagung, dan kacang tanah.

2. peternakan : seperti kambing, domba, sapi perah, sapi potong, ayam petelur dan ayam pedaging.

3. perikanan : seperti ikan sawah, air tenang, air deras, keramba dan pembenihan.

4. industri : makanan dan minuman. Khusus kecamatan Ciampea terdapat industri besi bekas, aki bekas, makanan, batu kapur dan kerajinan tas.

5.1.4 Rencana Pengembangan

(54)

1. Penyusunan rencana tata ruang dan prasaranan wilayah; tercakup didalamnya :

- kajian pembangunan dan pmanfaatan lahan eksisting - analisis kebutuhan dan penyediaan lahan / ruang - analisis kebutuhan dan penyediaan prasarana wilayah - penyusunan rencana tata ruang wilayah

- penyusunan rencana pengembangan prasarana dan jaringan utilitas kawasan

2. Penyusunan rencana pengembangan investasi; tercakup didalamnya : - analisis perkiraan pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan investasi - identifikasi peluang sektor / komoditas unggulan

- identifikasi iklim investasi dan bentuk – bentuk insentif - penyusunan rencana investasi

3. penyusunan rencana pengembangan sumberdaya manusia dan kelembagaan ; tercakup didalamnya :

- kajian kebutuhan dan ketersediaan sumberdaya manusia - kajian sistem kelembagaan (formal – informal)

- rencana pengembangan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia untuk mendukung sektor – sektor strategis

(55)

5.2 Gambaran Umum Desa Tegalwaru

Desa Tegalwaru merupakan salah satu desa yang berada di kecamatan Ciampea. Desa ini berbatasan dengan desa Bojong Jengkol, Cinangka dan Bojong Rangkas. Adapun jarak desa Tegalwaru ke ibukota kecamatan sejauh 2,5 km, ke ibukota kabupaten/ kotamadya sejauh 25 km. Sedangkan jumlah penduduk di desa ini sebanyak 9,865 jiwa dengan klasifikasi sebagai berikut :

Tabel 3 : Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin di Desa Tegalwaru Tahun 2000

No Golongan Umur Laki - laki Perempuan Jumlah (orang)

1 0 –12 bulan 55 48 103

2 13 bulan – 4 tahun 531 533 1,064

3 5 – 6 tahun 225 235 460

4 7 – 12 tahun 644 647 1,291

5 13 – 15 tahun 261 234 495

6 16 – 18 tahun 236 229 465

7 19 – 25 tahun 361 319 680

8 26 – 35 tahun 431 414 845

9 36 – 45 tahun 581 589 1,170

10 46 – 50 tahun 623 510 1,133

11 51 – 60 tahun 583 574 1,157

12 61 – 75 tahun 431 400 831

13 Lebih dari 76 tahun 106 65 171

Jumlah 5,068 4,797 9,865

Sumber : Profil Desa / Kelurahan Buku I Tahun 2000

(56)

desa ini tidak mempunyai lahan yang kritis atau tidak subur. Tabel berikut dengan rinci akan memuat penggunaan lahan di desa Tegalwaru.

Tabel 4 : Luas Wilayah Desa Tegalwaru Menurut Penggunaannya Tahun 2000

No Penggunaan Luas (ha) %

3 Pertanian sawah a. sawah irigasi b. sawah tadah hujan

220,027 Sumber : Profil Desa / Kelurahan Buku I Tahun 2000

(57)

Tabel 5 : Struktur Mata Pencaharian Penduduk Desa Tegalwaru Tahun 2000

No Mata Pencaharian Jumlah

(orang)

% 1 Sub sektor pertanian tanaman pangan

a. pemilik tanah sawah b. pemilik tanah tegal/ ladang c. buruh tani

3 Sub sektor peternakan a. ternak kambing 4 Sub sektor perikanan / pelayaran

a. pemilik kolam 5 Sub sektor pertambangan galian C

a. usaha pertambangan galian C

b. usaha perdagangan hasil pertambangan galian C

c. buruh pada pertambangan galian C

17 6 Sub sektor industri kecil / kerajinan

a. pemilik usaha kerajinan b. usaha industri rumah tangga c. usaha industri kecil

d. buruh pada industri kecil

103

8 Sektor jasa / perdagangan

a. jasa pemerintahan / non pemerintahan b. jasa lembaga keuangan

c. jasa perdagangan

(58)

5.3 Gambaran Umum Desa Bojong Rangkas

Sama seperti desa Tegalwaru, desa Bojong Rangkas ini termasuk salah satu desa yang berada di kecamatan Ciampea. Desa ini berbatasan dengan desa Ciampea Benteng, Cicadas, Cibadak, Tegalwaru dan Bojong Jengkol. Jarak ke ibukota kecamatan dari desa ini berkisar antara 0.5 km sedangkan ke ibukota kabupaten sekitar 28 km. Dibandingkan dengan desa Tegalwaru, desa Bojong Rangkas memiliki jumlah penduduk yang lebih besar yaitu 10.328 jiwa. Tabel berikut akan memuat jumlah penduduk berdasarkan golongan umur dan jenis kelamin.

Tabel 6 : Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin di Desa Bojong Rangkas Tahun 2000

No Golongan Umur Laki - laki Perempuan Jumlah (orang)

1 0 –12 bulan 205 178 383

2 13 bulan – 4 tahun 618 533 1,151

3 5 – 6 tahun 345 336 681

4 7 – 12 tahun 631 616 1,247

5 13 – 15 tahun 421 412 833

6 16 – 18 tahun 272 264 536

7 19 – 25 tahun 576 543 1,119

8 26 – 35 tahun 643 642 1,285

9 36 – 45 tahun 705 663 1,368

10 46 – 50 tahun 387 427 814

11 51 – 60 tahun 135 106 241

12 61 – 75 tahun 272 231 503

13 Lebih dari 76 tahun 88 79 167

Jumlah 5,298 5,030 10,328

Sumber : Profil Desa / Kelurahan Buku I Tahun 2001

(59)

bangunan 1.33 hektar dan terakhir untuk perikanan darat sebesar 0.50 hektar. Tingkat kesuburan tanah di desa ini adalah subur yaitu sebesar 47.52 hektar. Berikut perincian penggunaan lahan di desa Bojong Rangkas.

Tabel 7: Luas Wilayah Desa Bojong Rangkas Menurut Penggunaannya Tahun 2000

No Penggunaan Luas (ha) %

1 Pemukiman

a. Pemukiman umum b. Pemukiman KPR- BTN

58.10 3 Pertanian sawah

a. sawah irigasi

b. sawah pengairan setengah tekhnis

47.52 Sumber : Profil Desa / Kelurahan Buku I Tahun 2001

(60)

menjadikannya sebagai mata pencaharian. Struktur mata pencaharian penduduk Bojong Rangkas dapat dilihat pada tabel 8 dibawah.

Tabel 8: Struktur Mata Pencaharian Penduduk Desa Bojong Rangkas Tahun 2000

No Mata Pencaharian Jumlah

(orang)

%

1 Sub sektor pertanian tanaman pangan a. pemilik tanah sawah

b. pemilik tanah tegal/ ladang c. buruh tani

3 Sub sektor peternakan a. ternak kambing

4 Sub sektor perikanan / pelayaran a. pemilik kolam

5 Sub sektor pertambangan galian C a. usaha pertambangan galian C

b. usaha perdagangan hasil pertambangan galian C

c. buruh pada pertambangan galian C

- - -

-

-

6 Sub sektor industri kecil / kerajinan a. pemilik usaha kerajinan b. usaha industri rumah tangga c. usaha industri kecil

d. buruh pada industri kecil

615

8 Sektor jasa / perdagangan

a. jasapemerintahan/non pemerintahan b. jasa lembaga keuangan

c. jasa perdagangan

d. jasa komunikasi dan angkutan e. jasa hiburan

(61)
(62)

BAB VI HASIL PENELITIAN

6.1 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Konversi

(63)

6.1.1 Faktor yang Mempengaruhi Pembeli

Ringkasan Hasil Analisis Kuantifikasi Hasyashi I terhadap peubah – peubah yang diduga mempengaruhi konversi lahan terhadap pembeli ditampilkan pada tabel 8.

Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa analisis Kuantifikasi Hayashi I dapat menjelaskan 76.85 % dari ragam peubah – peubah yang dianalisis. Hal ini berarti, sebanyak 76.85 % dari seluruh keragaman data dapat diterangkan oleh model dalam analisis ini. Beberapa fenomena yang dapat dilihat dari hasil Kuantifikasi Hayashi I ini adalah :

(64)

Tabel 9 : Hasil Analisis Kuantifikasi Hayashi I; Peubah – Peubah Dugaan yang Terkait dengan Konversi Lahan untuk Responden Pembeli

Peubah Kategori Frekwensi Skor

kategori

Jenis Pekerjaan Non tani

(65)

Luas lahan usaha juga mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap konversi lahan. Pemilik lahan usaha yang berkisar antara 501 – 1000 meter cenderung melakukan konversi yang lebih besar dari yang lainnya. Kemudian diikuti oleh masyarakat yang tidak mempunyai lahan. Kemungkinan hal ini terjadi karena bagi mereka yang tidak punya lahan usaha, lahan yang ada itulah yang dikonversi.

Akses ke jalan ternyata tidak mempunyai pengaruh terhadap konversi lahan. Hal ini dikarenakan, tanpa melihat jauh dekatnya lokasi, masyarakat tetap akan melakukan konversi. Apalagi jika dilihat bahwa sarana transportasi di desa Tegalwaru cukup baik dan tersedia 24 jam, yaitu angkutan kota dan ojek untuk masuk ke RT/RW yang lebih jauh.

Ketersediaan air mempunyai pengaruh yang sangat nyata dan linier terhadap konversi lahan. Semakin berlebihan ketersediaan air, maka konversi lahan akan semakin besar. Hal ini sangat mungkin mengingat bahwa air adalah kebutuhan utama sehingga masyarakat akan mencari tempat tinggal yang mempunyai ketersediaan air yan minimal cukup.

(66)

Tujuan konversi tidak mempunyai pengaruh terhadap konversi lahan. Kemungkinan terjadinya hal ini karena bagaimanapun jika dilihat dari manfaatnya, maka masyarakat tetap harus melakukan konversi.

Manfaat konversi juga mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhada konversi lahan. Konversi lahan memberikan manfaat terbesar pada kategori lainnya yaitu menjual lahan untuk menggantinya dengan lahan yang lain. Selanjutnya konversi lahan memberikan manfaat besar bagi masyarakt untuk dijadikan tempat tinggal. Pada umumnya responden yang mewakili masyarakat melakukan konversi lahan untuk dijadikan tempat tinggal.

Jenis pekerjaan yang dibagi menjadi dua kategori ternyata tidak memberikan pengaruh apapun terhadap pelaku konversi lahan. Hal ini mungkin terjadi karena apapun pekerjaan masyarakat maka dia akan tetap membutuhkan ltempat tinggal, untuk itulah dia melakukan konversi.

Umur mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap konversi lahan. Keterkaitan ini tidak bersifat linier, hal ini dapat diketahui dari hasil yang ditampilkan pada tabel 8 diatas. Usia yang paling besar mengkonversi lahan yaitu pada usia lebih dari 50 tahun. Hal ini mungkin terjadi karena pada saat usia itu masyarakat cenderung tidak mempunyai beban tanggungan sehingga penghasilannya bisa dialokasikan untuk membeli lahan dan mengkonversikannya.

(67)

Daerah asal mempunyai hubungan yang sangat nyata terhadap konversi lahan. Masyarakat pendatang melakukan konversi yang paling besar. Hal ini terjadi karena sebagai pendatang mereka jelas membutuhkan tempat tinggal.

Lokasi tidak mempunyai pengaruh terhadap konversi lahan, artinya dimanapun masyarakat tinggal, mereka tetap akan melakukan konversi lahan.

Jumlah tanggungan mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap konversi lahan. Konversi lahan terbesar dilakukan oleh kepala keluarga yang mempunyai jumlah tanggungan lebih dari 3 orang. Hal ini mungkin terjadi karena semakin besar tanggungan seorang kepala keluarga maka kebuthan akan tempat tinggal juga akan semakin besar.

Lama konversi ternyata tidak mempunyai pengaruh terhadap perilaku masyarakat untuk melakukan konversi.

Berdasarkan hasil Analisis Kuantifikasi Hayashi I ini dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi konversi lahan bagi responden pembeli adalah pendapatan, luas lahan usaha, ketersediaan air, pendapatan usaha tani, manfaat konversi, umur, daerah asal dan jumlah tanggungan. Sedangkan akses ke jalan, tujuan konversi, jenis pekerjaan, pendidikan, lokasi dan lama konversi ternyata tidak mempunyai pengaruh terhadap tingkat konversi.

6.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Penjual

(68)

Tabel 10 : Hasil Analisis Kuantifikasi Hayashi I; Peubah – Peubah Dugaan yang Terkait dengan Konversi Lahan untuk Responden Penjual

Peubah Kategori Frekwensi Skor

kategori

(69)

dalam analisis ini. Beberapa fenomena yang dapat dilihat dari hasil Kuantifikasi Hayashi I ini adalah :

Peubah pendapatan mempunyai hubungan yang sangat nyata dengan tingkat konversi lahan. Pendapatan terbesar melakukan konversi yang besar juga. Hal ini mungkin terjadi karena semakin besar pendapatan maka akan semakin besar tingkat konversi lahan yang dilakukan.

Luas lahan usaha juga mempunyai pengaruh sangat nyata terhadap konversi lahan. Responden pembeli yang mempunyai luas lahan 1 – 500 m2 melakukan konversi yang terbesar. Hal ini mungkin terjadi karena dengan luas lahan sebesar ini maka kemungkinan untuk dibeli setelah dikonversi juga semakin besar.

Berbeda dengan responden pembeli, akses ke jalan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap konversi lahan. Lahan yang mempunyai akses terdekat dari jalan utama (0 – 250) mempunyai peluang yang terbesar untuk dikonversi bagi penjual. Hal ini dikarenakan harga lahan yang lebih dekat ke jalan mempunyai peluang harga yang lebih mahal, apalagi jika lahan tersebut telah berbentuk bangunan atau rumah.

Peubah ketersediaan air mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap konversi lahan. Masyarakat yang mempunyai ketersediaan air kurang justru melakukan konversi yang paling besar.

Pendapatan usaha tani tidak mempunyai pengaruh terhadap konversi lahan yang dilakukan oleh pembeli.

(70)

Manfaat konversi mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap tingkat konversi lahan. Pada umumnya penjual melakukan konversi untuk meningkatkan pendapatan atau untuk usaha.

6.2 Alokasi dan Dampak Konversi Lahan

Secara umum, masyarakat di desa Tegalwaru dan Bojong Rangkas tidak berpenghasilan dari mengelola lahan atau dari sektor pertanian. Mata pencaharian mereka pada umumnya sebagai pedagang, pekerja di sektor jasa atau industri. Sehingga tujuan mereka dalam mengkonversi adalah semata –mata untuk dijadikan tempat tinggal (81.66%), ladang atau hutan (13.34%), industri (3.33%) dan lainnya (1.67%). Sedangkan asal lahan cukup beragam yaitu dari lahan pertanian, lahan kosong dan pabrik kapur. Tabel 11 dibawah menerangkan asal dan alokasi lahan yang dikonversi.

Tabel 11 : Asal dan Alokasi Penggunaan Lahan di Desa Tegalwaru dan Bojong Rangkas Tahun 2000

(71)

tempat tinggal. Kemudian 6.67% untuk ladang / hutan, industri 3.33% dan lainnya 1.67%. Hal ini menunjukkan bahwa pengkonversian lahan pertanian hampir sekitar 77%. Sebagai pendukung, gambar dibawah akan menunjukkan perubahan lahan pertanian.

Perubahan Lahan

-5 10 15 20 25 30 35 40 45

Tempat tinggal Ladang/Hutan Industri Lain-lain Alokasi

Jlh responden

Lahan Pertanian Lahan Kosong Pabrik Kapur

Gambar 7 : Perubahan Lahan Pertanian Sumber : Data diolah dari lampiran 1

(72)

dan Bojong Rangkas, 70% menyatakan bahwa mereka melakukan konversi lahan untuk tempa tinggal. Gambar dibawah menerangkan tentang tujuan dan manfaat dalam mengkonversi bagi masyarakat.

Tujuan Konversi

0 10 20 30 40 50

Tempat Tinggal Usaha Meningkatkan

Pendapatan

Lain-LainTujuan

Jlh Responden

Gambar 8 : Tujuan Masyarakat dalam Melakukan Konversi

Sumber : Data diolah dari lampiran 1

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Jlh responden

Tempat tinggal Usaha Asset Pendapatan

meningkat

Manfaat konversi Manfaat Konversi

(73)

Dari keterangan diatas jelas terlihat bahwa kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal sangat besar, suatu hal yang rasional mengingat tempat tinggal adalah kebutuhan primer, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut masyarakat banyak yang mengkonversi lahan, terutama lahan pertanian.

Gambar

Gambar 1.  Hubungan Antara Land Rent,  Jarak dari Pusat Pada Berbagai Sektor
Gambar 2.  Pembentukan Kota Inti Secara Berganda
Gambar 3.  Hubungan Perkembangan Kota dan Konversi Lahan
Gambar 4.  Land Rent dan Fenomena Konversi Lahan Sumber : Saefulhakim dan Nasution (1996)
+7

Referensi

Dokumen terkait