• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak sosio-ekonomis dan sosio-ekologis konversi lahan pertanian: studi kasus Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak sosio-ekonomis dan sosio-ekologis konversi lahan pertanian: studi kasus Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

   

Astri Lestari I34070085

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

   

Astri Lestari I34070085

SKRIPSI

Sebagai Prasyarat untuk Mendapatkan Gelar

Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(3)

   

agricultural land designated into non agricultural designated. The purposes of this study are 1) to know the types of land conversion at Desa Tugu Utara, 2) to know the social-economic impact of land conversion at Desa Tugu Utara, and 3) to know the social-ecological impact of land conversion at Desa Tugu Utara. This study uses a quantitative approach supported by the use of qualitative approach. The result of the study showed that the type of land conversion in the village (2000-2010) consists of three types of land conversion: 1) land conversion type by location (open/closed), 2) land conversion type by the speed of change of land utilization (fast/slow), and 3) land conversion type by the actors involved in the land conversion (local residents/non-local resident). In general, land conversion gives a negative impact on social-economics conditions of household in the region, either in the agricultural sector or in the non-agricultural sector and also brings a negative impact on social-ecological system because it causes many environmental degradation.

(4)

   

Lahan Pertanian: Studi Kasus Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. (dibawah bimbinganARYA HADI DHARMAWAN).

Konversi lahan pertanian merupakan suatu fenomena perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian. Fenomena ini terjadi seiring dengan bertambahnya tekanan penduduk dan gencarnya pembangunan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, sehingga mengakibatkan permintaan terhadap lahan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Konversi lahan pertanian merupakan salah satu akar dari permasalahan agraria di Indonesia karena dapat menyebabkan terjadinya situasi krisis yang berdampak luas bagi sektor pertanian.

Lahan sebagai sumberdaya pertanian merupakan suatu potensi yang dimanfaatkan oleh masyarakat petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tipe perubahan peruntukkan lahan pertanian ke bentuk lain pada setiap kawasan berbeda-beda tergantung dari tujuan dilakukannya konversi. Oleh karena itu, dampak yang diterima bagi setiap kawasan juga berbeda. Perubahan peruntukkan lahan pertanian ini berdampak luas terhadap aspek ekologi dan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan konversi yang selanjutnya berdampak pada kehidupan sosial masyarakat yang memanfaatkan lahan pertanian sebagai sumber kehidupannya.

(5)

   

dengan manggunakan tabel frekuensi untuk data satu variabel dan tabel silang untuk data dua variabel.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe konversi lahan yang terjadi di Desa Tugu Utara terdiri dari tiga dimensi yaitu konversi lahan dilihat dari letak kawasan (terbuka atau tertutup), tingkat kecepatan terjadinya konversi (lambat atau cepat) dan pihak pelaku konversi (warga lokal dan atau pemilik modal). Ketiganya dirangkum menjadi dua tipe yaitu 1) Tipe I, konversi lahan yang terjadi secara terbuka dengan laju konversi yang cepat dan pelaku konversi lahan semua stakeholder (warga lokal, pemilik modal dan pemerintah) dan 2) Tipe II, konversi lahan yang terjadi secara tertutup dengan laju konversi yang lambat dan pelaku konversi sebagian besar dilakukan oleh pemilik modal. Kampung Sampay yang letak kawasannya berada dekat dengan jalan raya mengalami konversi lahan Tipe I, sedangkan Kampung Sukatani yang letak kawasannya berada jauh dari jalan raya mengalami konversi lahan Tipe II.

(6)

   

limbah rumah tangga yang merupaan dampak tidak langsung dari konversi lahan pertanian, gangguan kebisingan dan kemacetan serta terjadinya degradasi lingkungan seperti banjir dan longsor. Seperti halnya dengan dampak sosio-ekonomis, dampak sosio-ekologis bagi kawasan Kampung Sampay juga lebih buruk dibandingkan Kampung Sukatani.

(7)

   

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh : Nama Mahasiswa : Astri Lestari

NRP : I34070085

Judul : Dampak Sosio-Ekonomis dan Sosio-Ekologis Konversi Lahan Pertanian (Studi Kasus Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor)

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan KPM 499 pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M. Sc, Agr NIP. 19630914 199003 1 002

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003

(8)

   

(9)

   

merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, pasangan Bapak Asep Saepudin dan Ibu Atih Haryati.

Penulis menempuh pendidikan dari mulai Taman Kanak-Kanak di TK. Assaidiyah Cipanas pada tahun1994-1995, lalu belajar di Sekolah Dasar Negeri Dewisartika pada tahun 1995-2001, SMP Negeri 1 Pacet tahun 2001-2004 dan SMA Negeri 1 Sukaresmi tahun 2004-2007.

Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Saringan Masuk IPB). Penulis telah memilih Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang berada di bawah naungan Fakultas Ekologi Manusia sebagai angkatan ketiga.

(10)

   

memberikan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skirpsi ini tepat pada waktunya. Adapun skripsi yang penulis beri judul “Dampak Sosio-Ekonomis dan Sosio-Ekologis Konversi Lahan Pertanian: Studi Kasus Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor” merupakan hasil penelitian yang dilakukan untuk mengetahui berbagai tipe konversi lahan dan dampak dari kegiatan konversi lahan yang berlangsung di Desa Tugu Utara.

Konversi lahan merupakan suatu fenomena yang menjadi perhatian berbagai pihak apalagi untuk kegiatan konversi yang berlangsung di sekitar kawasan Puncak, termasuk Desa Tugu Utara. Desa Tugu Utara merupakan salah satu desa yang menjadi bagian paling hulu dari DAS Ciliwung. Kegiatan konversi lahan ini memberikan berbagai pengaruh dan perubahan pada wilayah disekitar konversi. Oleh karena itu, menjadi suatu kajian yang menarik jika dilakukan penelitian di kawasan ini.

Penelitian ini dilakukan tidak semata-mata hanya untuk memperoleh gelar sarjana, melainkan juga untuk memperoleh pengetahuan terkait dengan kegiatan perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.

Bogor, Februari 2011

(11)

   

Allah SWT, yang telah memberikan kelancaran bagi penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan ini tidak dapat diselesaikan tanpa mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M. Sc, Agr. Selaku dosen pembimbing yang telah memberikan dukungan, bimbingan, arahan, dan sarannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

2. Ir. Melani Abdulkadir-Sunito, M. Sc, Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, MSi dan Martua Sihaloho, SP, MSi. Selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan sarannya untuk penulisan skripsi ini;

3. Kedua orang tua penulis Mama Atih Haryati dan Bapak Asep Saepudin yang selalu memberikan dukungan dan doa yang terus menerus yang tak terhingga dari dulu hingga sekarang kepada anakmu;

4. Keluarga besar penulis yaitu Mila Linggawati, Rizza Maulana, Resya Erista, Rizky Nugraha, keponakan tersayang Arnesya Diva Azzahra yang selalu memberikan keceriaan;

5. Keluarga besar Heryadi Fardilah yang telah memberikan doa dan dukungannya baik materil maupun non materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

6. Kaur perekonomian Bapak Ym. Cheppy, PPL Kang Tirya Nugraha, Bapak Rw Dedi, dan Bapak Ujang Yahya yang telah memberikan berbagai informasi, bimbingan, arahan, dan mendampingi penulis selama penelitian di Desa Tugu Utara;

7. Sahabat-sahabat Maya, Dewi, Uty, Tiche, Oii dan Nayla terima kasih atas persahabatan yang telah terjalin selama penulis menempuh pendidikan di IPB;

(12)

   

Ummi, dan Manda;

10.Teman-teman HIMASIERA, UP2date, Tim Basket dan Tim voli FEMA IPB, yang memberikan banyak pengalaman dan pengetahuan baru yang sangat mengagumkan;

11.Teman-teman SKPM 44 Asih, Dimitra, Asri, Yoshinta, Karina, Rajib, Helmi, Arsyad, Acibo dan yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas suasana perkuliahan yang menyenangkan saat bersama-sama menempuh pembelajaran di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat;

12.Teman-teman SMA Firman, Indah, Wirfan, Nur, Reni, Lukman, Cepi, Prativi, Veni, Vera, Yolan, Adar, Irfan, Enda dan yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan dan doanya kepada penulis; dan

13.Berbagai pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Bogor, Februari 2011

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Kegunaan Penelitian ... 4

BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 5

2.1 Tinjauan Pustaka ... 5

2.1.1 Konsep dan Struktur Agraria ... 5

2.1.2 Definisi dan Manfaat Lahan ... 6

2.1.3 Definisi, Faktor Penyebab dan Tipe Konversi Lahan ... 7

2.1.4 Dampak Konversi Lahan ... 13

2.1.4.1 Dampak Sosio-Ekonomis... 13

2.1.4.2 Dampak Sosio-Ekologis... 15

2.1.5 Peraturan Pemerintah Tentang Pengendalian Konversi Lahan ... 17

2.2 Kerangka Pemikiran ... 18

2.3 Hipotesis Penelitian ... 21

2.4 Definisi Konseptual ... 21

2.5 Definisi Operasional ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 29

3.1 Metode Penelitian ... 29

3.2 Jenis Data, Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29

3.3 Kerangka Sampling ... 29

3.3 Pemilihan Responden ... 30

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 32

3.5 Teknik Analisis Data ... 32

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 33

4.1 Gambaran Umum Desa Tugu Utara ... 33

4.1.1 Sungai Ciliwung ... 33

4.1.2 Asal Nama Desa Tugu Utara ... 34

4.1.3 Kondisi Geografis dan Infrastruktur Desa Tugu Utara ... 34

4.1.4 Kependudukan Desa Tugu Utara ... 35

4.1.5 Tata Guna Tanah Desa Tugu Utara ... 38

4.1.6 Kegiatan Pertanian ... 39

4.2 Gambaran Umum Kampung Sampay dan Kampung Sukatani ... 39

4.3 Sejarah dan Fakta Konversi Lahan di Desa Tugu Utara ... 41

4.4 Karakteristik Responden ... 43

BAB V TIPE-TIPE KONVERSI LAHAN ... 46

5.1 Fenomena Konversi Lahan di Desa Tugu Utara ... 46

5.2 Tipe-Tipe Konversi Lahan ... 49

5.2.1 Kluster Konversi Lahan ... 49

(14)

5.2.3 Tipe Konversi Lahan Berdasarkan Tingkat Kecepatan ... 52

5.2.4 Tipe Konversi Lahan Berdasarkan Pelaku Konversi ... 53

5.2.4.1 Warga Lokal ... 53

5.2.4.1.1 Kebutuhan Tempat Tinggal ... 53

5.2.4.1.2 Keterdesakan Ekonomi ... 54

5.2.4.2 Warga Luar Desa (Pemilik Modal/Investor) ... 55

5.2.5 Fakta-Fakta Konversi Lahan Berdasarkan Tipe Konversi Lahan di Desa Tugu Utara ... 56

5.3 Peranan Pemerintah Terkait Konversi Lahan di Desa Tugu Utara ... 59

5.4 Ikhtisar ... 60

BAB VI DAMPAK SOSIO-EKONOMIS KONVERSI LAHAN ... 63

6.1 Struktur Agraria ... 63

6.1.1 Perubahan Penguasaan Lahan ... 63

6.1.2 Luas Lahan ... 66

6.2 Kesempatan Kerja ... 68

6.3 Pola Kerja ... 72

6.4 Struktur Pendapatan ... 76

6.5 Kondisi Tempat Tinggal ... 79

6.5.1 Status Penguasaan Tempat Tinggal ... 79

6.5.2 Kondisi Fisik Tempat Tinggal ... 81

6.6 Hubungan Antar Anggota Keluarga ... 83

6.6.1 Pengambilan Keputusan... 83

6.7 Hubungan Antar Warga ... 85

6.7.1 Prostitusi ... 88

6.8 Ikhtisar ... 89

BAB VII DAMPAK SOSIO-EKOLOGIS KONVERSI LAHAN ... 93

7.1 Akses Warga Terhadap Sumberdaya Air ... 93

7.2 Cara Warga Membuang Limbah Rumah Tangga ... 95

7.3 Degradasi Lingkungan ... 98

7.3.1 Banjir... 98

7.3.2 Longsor ... 99

7.3.3 Kebisingan dan Kemacetan ... 101

7.4 Ikhtisar ... 102

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN ... 105

8.1 Kesimpulan ... 105

8.2 Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 106

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Peraturan Pemerintah yang Terkait Upaya Pengendalian Konversi Lahan Sawah ... 18 Tabel 2 Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur Desa Tugu Utara,

2009... 36 Tabel 3 Tingkat Pendidikan Desa Tugu Utara, 2009 ... 37 Tabel 4 Penggunaan dan Luas Lahan Desa Tugu Utara, Kecamatan

Cisarua, Kabupaten Bogor ... 38 Tabel 5 Hubungan Dimensi Konversi Lahan Berdasarkan Tipe Konversi

yang terjadi di Desa Tugu Utara, 2010 ... 56 Tabel 6 Keterkaitan Dimensi Konversi dengan Kondisi dilapangan ... 61 Tabel 7 Perubahan Struktur Agraria Akibat Konversi Lahan Kampung

Sampay, 2010 ... 64 Tabel 8 Perubahan Struktur Agraria Akibat Konversi Lahan Kampung

Sukatani, 2010... 65 Tabel 9 Perubahan Luas Lahan Pertanian Warga Kampung Sampay

(2000-2010)... 66 Tabel 10 Perubahan Luas Lahan Pertanian Warga Kampung Sukatani

(2000-2010)... 67 Tabel 11 Perubahan Pola Kerja Warga Kampung Sampay Selama 10

Tahun (2000-2010) ... 73 Tabel 12 Perubahan Pola Kerja Warga Kampung Sukatani Selama 10

Tahun (2000-2010) ... 74 Tabel 13 Dampak Sosio-Ekonomis Konversi Lahan Pertanian di

Kampung Sampay dan Kampung Sukatani, 2010 ... 90 Tabel 14 Bencana Tanah Longsor dan Banjir di Wilayah Desa Tugu

Utara, 2009 ... 100 Tabel 15 Dampak Sosio-Ekologis Konversi Lahan Pertanian di Kampung

Sampay dan Kampung Sukatani, 2010 ... 103 Tabel 16 Dampak Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologis Berdasarkan Tipe

Konversi Lahan ... 104

         

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Berpikir ... 20

Gambar 2 Teknik Sampling dalam Pengambilan Responden ... 31

Gambar 3 Mata Pencaharian Penduduk Desa Tugu Utara Tahun 2009 ... 37

Gambar 4 Tingkat Pendidikan Responden Desa Tugu Utara ... 43

Gambar 5 Jumlah Responden Desa Tugu Utara Berdasarkan Kategori Pekerjaan, 2010 ... 45

Gambar 6 Proses Terjadinya Konversi ... 47

Gambar 7 Bentuk Perubahan Peruntukkan Lahan ... 48

Gambar 8 Perubahan Kesempatan kerja Sektor Pertanian Tahun 2000 dan 2010... 69

Gambar 9 Perubahan Kesempatan Kerja Non Pertanian Tahun 2000 dan 2010... 71

Gambar 10 Pendapatan Rata-Rata Warga Selama Satu Tahun Terakhir (Rupiah) ... 76

Gambar 11 Lapisan Sosial Ekonomi Berdasarkan Struktur Pendapatan ... 78

Gambar 12 Status Kepemilikan Tempat Tinggal Tahun 2010 ... 79

Gambar 13 Kondisi Fisik Tempat Tinggal Warga Tahun 2010 ... 81

Gambar 14 Jumlah Alat Elektronik yang dimiliki Warga Desa Tugu Utara ... 82

Gambar 15 Perubahan Pengambilan Keputusan Rumah Tangga ... 84

Gambar 16 Akses Warga Desa Tugu Utara Terhadap Sumberdaya Air ... 93

Gambar 17 Kualitas Air ... 94

Gambar 18 Cara warga Desa Tugu Utara Membuang Limbah Rumah Tangga... 96

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk di pulau Jawa semakin lama semakin meningkat. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Pulau Jawa mencapai 125, 91 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk ini mengakibatkan tekanan penduduk di suatu kawasan mengalami peningkatan sehingga meningkat pula kebutuhan akan lahan, ditambah lagi dengan berbagai upaya pembangunan yang dilakukan hampir di setiap daerah menimbulkan permintaan terhadap lahan yang sifatnya terbatas semakin besar. Permintaan terhadap lahan ini memicu terjadinya konversi lahan khususnya lahan pertanian menjadi lahan non pertanian.

Konversi lahan pertanian ke non pertanian menjadi salah satu akar dari permasalahan agraria di Indonesia karena dapat mengakibatkan terjadinya situasi krisis yang berdampak luas bagi sektor pertanian. Selama tahun 2000-2002 luas konversi lahan sawah yang ditujukan untuk pembangunan kegiatan non pertanian seperti kawasan perumahan, industri, perkantoran, jalan, dan sarana publik lainnya rata-rata sebesar 110, 16 ribu hektar per tahun atau 58, 68 persen dari total luas lahan sawah yang dikonversi. Konversi lahan sawah ke kegiatan non pertanian tersebut sangat dominan di pulau Jawa yang memiliki pangsa luas konversi lahan sebesar 78, 25 persen (Irawan, 2008). Perubahan peruntukkan lahan pertanian ke peruntukkan diluar pertanian dapat berpengaruh terhadap aspek ekologi dan ekonomi masyarakat di sekitar wilayah konversi yang selanjutnya berdampak pada kehidupan sosial masyarakat yang memanfaatkan lahan pertanian sebagai sumber kehidupannya.

(18)

investasi dari lahan yang terkonversi, perekonomian wilayah di bidang pertanian menurun, semakin bertambahnya pengangguran akibat petani beralih ke pekerjaan di luar sektor pertanian, terjadinya penurunan luas lahan usahatani rumah tangga pertanian, dan terancamnya ketersediaan pangan dan ketahanan pangan. Selain itu, pada aspek ekologi konversi lahan dapat menimbulkan terjadinya fenomena degradasi lingkungan, seperti longsor, erosi, penurunan penutupan lahan (vegetasi) dan sedimentasi.

Salah satu kawasan yang mengalami konversi lahan adalah Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Bogor. Desa ini berada di bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan merupakan kawasan wisata yang banyak dikunjungi wisatawan, baik wisatawan dalam negeri maupun luar negeri. Banyaknya wisatawan yang berkunjung menjadikan daerah ini sebagai tempat peristirahatan yang tepat dikala perkotaan tidak lagi memberikan keindahan panorama alam dan kenyamanan bagi penduduknya. Hal ini mendorong berbagai pihak melakukan perubahan peruntukkan lahan di kawasan itu ke bentuk diluar peruntukkan pertanian seperti bangunan-bangunan fasilitas wisata berupa villa dan restoran.

Perubahan fungsi lahan di kawasan hulu dapat menimbulkan berbagai dampak yang tidak hanya berakibat pada kawasan sekitar konversi, melainkan juga berakibat pada kawasan yang ada di bagian hilir DAS Ciliwung. Hal ini terjadi karena adanya interkoneksitas kawasan hulu dan hilir. Salah satu bencana yang sering menjadi sorotan adalah bencana banjir di hilir DAS Ciliwung tepatnya di Jakarta yang terjadi akibat perubahan tata ruang di bagian hulu yaitu wilayah Bopunjur (Bogor, Puncak, Cianjur). Jika terjadi banjir di kawasan hilir, kebanyakan orang menyebutnya sebagai “Banjir kiriman dari Bogor”. Istilah ini menandakan bahwa fungsi wilayah hulu sebagai wilayah resapan air tidak lagi berjalan dengan baik, sehingga berdampak pada ketidakmampuan daya dukung lingkungan untuk menopang berbagai bentuk aktivitas manusia.

(19)

penulisan ini juga hendak mengetahui tipe konversi lahan yang terjadi di Desa Tugu Utara.

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan konversi lahan pertanian ke non pertanian tidak terlepas dari keterbatasan sumberdaya alam dalam memenuhi kebutuhan manusia yang terus berkembang. Seiring berjalannya waktu, jumlah manusia yang hidup di bumi semakin meningkat. Hal ini tidak diiringi dengan kemampuan sumberdaya alam yang bersifat tetap jumlahnya. Dengan demikian, fenomena tersebut akan memicu terjadinya persaingan antar berbagai aktor untuk memenuhi kepentingannya dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas ini, sehingga mengakibatkan terjadinya konversi lahan, khususnya lahan pertanian.

Konversi lahan pertanian dalam konteks penelitian ini adalah perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian seperti villa, hotel, tempat tinggal, dan toko. Setiap wilayah mengalami tipe konversi yang berbeda-beda tergantung dari kebutuhan dilakukannya konversi, sehingga memberikan dampak yang berbeda pula bagi wilayah yang terkena konversi tersebut. Dampak yang ditimbulkan akibat konversi lahan dapat berupa dampak positif sekaligus dampak negatif. Namun yang lebih nyata terlihat adalah dampak negatif, khususnya untuk konversi lahan sawah yang dikemudian hari dapat menjadi suatu permasalahan yang bersifat permanen, kumulatif, dan progresif dibidang sosial ekonomi dan sosial ekologi (Irawan, 2005).

(20)

1. Apa saja tipe konversi lahan yang terjadi di lokasi penelitian?

2. Bagaimana dampak sosio-ekonomis konversi lahan terhadap masyarakat lokal?

3. Bagaimana dampak sosio-ekologis konversi lahan terhadap masyarakat lokal?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Mengetahui tipe konversi lahan yang terjadi di lokasi penelitian.

2. Mengetahui dampak sosio-ekonomis konversi lahan pada rumah tangga setempat.

3. Mengetahui dampak sosio-ekologis konversi lahan pada kawasan setempat.

1.4Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:

1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh konversi lahan dan mempelajari kondisi masyarakat yang berada di sekitar wilayah konversi dilihat dari sisi sosial dan ekonomi.

2. Bagi civitas akademik, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam melakukan penelitian-penelitian mengenai dampak konversi lahan. 3. Bagi masyarakat di tempat penelitian, penelitian ini diharapkan dapat

menjadi pengetahuan tertulis mengenai situasi dan kondisi lingkungannya sendiri karena adanya konversi lahan.

4. Bagi pemerintah dan masyarakat luas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman terkait konversi lahan serta dapat dijadikan suatu referensi untuk pembuatan program pengendalian konversi lahan.

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Tinjauan Pustaka

2.1.1 Konsep dan Struktur Agraria

Menurut UUPA 1960 (UU No.5 Tahun 1960) sebagaimana dikutip oleh Sitorus (2002), pengertian dasar agraria adalah seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Terdapat lima jenis sumber agraria menurut Sitorus (2002) yang meliputi:

1. Tanah atau permukaan bumi. Jenis sumber agraria ini merupakan modal alami utama dari kegiatan pertanian dan peternakan.

2. Perairan. Jenis sumber agraria ini merupakan modal alami dalam kegiatan perikanan, baik perikanan sungai maupun perikanan danau dan laut.

3. Hutan. Jenis sumber agraria ini merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas perhutanan.

4. Bahan tambang. Jenis sumber agraria ini merupakan sumber agraria yang terkandung di “tubuh bumi, seperti timah, bijih besi, emas, gas, minyak, dam lain sebagainya.

5. Udara. Jenis sumber agraria ini merupakan sumber agraria yang termasuk juga materi “udara” sendiri.

Konsep agraria merujuk pada berbagai hubungan antara manusia dengan sumber-sumber agraria serta hubungan antar manusia dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria (Sitorus, 2002). Selanjutnya Sitorus (2002) juga menyatakan dalam pemanfaatan sumber-sumber agraria terdapat tiga subjek agraria yang dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas, pemerintah dan swasta.

(22)

gambaran dari masyarakat (Sihaloho, 2004). Sementara itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sitorus, et.al (2008) mengenai perubahan struktur agraria dan diferensiasi kesejahteraan petani menyatakan bahwa struktur agraria yang dimaksud dalam penelitiannya adalah pola-pola hubungan sosial yang terkait dengan lahan, baik berupa penguasaan, struktur pengusahaan, dan kemudian diikuti oleh struktur distribusi hasil pengelolaan sumber-sumber agraria.

Suatu struktur agraria bukanlah suatu struktur yang tetap atau kekal sepanjang masa, tetapi secara dinamis struktur tersebut akan berubah mengikuti perubahan yang terjadi pada lingkungan sekitarnya, termasuk berlangsungnya perkembangan modal produksi yang dijalankan kaum tani (Sitorus, et.al, 2008). Konsep penguasaan lahan mencakup pengertian penguasaan tetap (pemilikan perorangan) dan penguasaan sementara (bagi hasil, sewa, buruh upah sadap, dan gadai). Misalnya jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain, maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya (Sitorus, et.al, 2008).

Selain itu, menurut Wiradi, et.al (2009) masalah penguasaan tanah yang sering dipandang sebagai masalah “hubungan manusia dengan tanahnya” sebenarnya lebih menyangkut hubungan sosial ekonomi dan politik antar manusia. Pengertian hubungan antar manusia ini dapat diterangkan dengan suatu contoh yang sederhana. Kenyataan bahwa “aku memiliki tanah ini” bukan hanya menunjukkan adanya suatu hubungan atau ikatan diantara aku dan sebidang tanah tertentu, tetapi mengandung pula berbagai implikasi, misalnya: “Kamu tidak boleh memakai tanahku ini”, atau: “Jika kamu menggarap tanahku, separuh hasilnya harus kau serahkan padaku”.

2.1.2 Definisi dan Manfaat Lahan

(23)

1) Tanah sebagai media tumbuh tanaman; 2) Tanah sebagai benda alami tiga dimensi di permukaan bumi yang terbentuk dari interaksi antara bahan induk, iklim, organisme, topografi dalam kurun waktu tertentu; dan 3) Tanah sebagai ruangan atau tempat di permukaan bumi yang digunakan manusia untuk melakukan segala macam aktivitasnya. Pada pengertian pertama, perhatian lebih ditekankan kepada kualitas tanah. Sementara pengertian kedua, tanah diperlakukan sebagai bahan galian atau tambang dan bahan bangunan yang dinyatakan dalam berat (ton, kg) atau volume (m3), sedangkan pada pengertian ketiga tanah dinilai berdasarkan luas (ha, m2). Dalam bahasa Inggris, dua pengertian yang pertama setara dengan kata soil sedangkan pengertian yang ketiga setara dengan istilah land. Dengan demikian land atau lahan merupakan tanah yang dimanfaatkan manusia untuk melakukan segala macam aktivitasnya. Soetarto et. al., (2001) sebagaimana dikutip Sihaloho (2004) menyatakan bahwa tanah merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam usahatani pertanian. Sumberdaya ini termasuk sumberdaya yang “dekat” dengan petani dalam bentuk fisik tetapi “jauh” dalam bentuk akses di antara masyarakat.

Lahan memiliki berbagai manfaat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Iqbal dan Soemaryanto (2007) menyatakan bahwa lahan difungsikan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensi. Aktivitas yang pertama kali dilakukan adalah pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam (pertanian), selain itu lahan pertanian juga bermanfaat baik secara sosial dan ekonomi maupun lingkungan (Bappenas dan PSE-KP, 2006 sebagaimana dikutip oleh Iqbal, 2007). Secara sosial, eksistensi lahan pertanian terkait dengan tatanan kelembagaan masyarakat petani dan aspek budaya lainnya. Secara ekonomi, lahan pertanian adalah masukan paling esensial dalam keberlangsungan proses produksi. Sementara itu, secara lingkungan, aktivitas pertanian pada umumnya relatif lebih selaras dengan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan (Iqbal, 2007).

2.1.3 Definisi, Faktor Penyebab dan Tipe Konversi Lahan

(24)

penggunaan lain yang dapat bersifat sementara dan permanen (Maftuchah, 2005). Menurut Winoto (1995) sebagaimana dikutip oleh Akib (2002) alih guna tanah merupakan suatu fenomena dinamik yang menyangkut aspek fisik dan aspek kehidupan masyarakat. Alih guna tanah pertanian ke non pertanian, disamping berubahnya fenomena fisik luasan tanah pertanian, juga berkaitan erat dengan berubahnya orientasi ekonomi, sosial budaya dan politik masyarakat.

Konversi lahan adalah berubahnya satu penggunaan lahan ke penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang timbul akibat konversi lahan banyak terkait dengan kebijakan tataguna tanah (Ruswandi, 2005). Pengertian tersebut menunjukkan bahwa kebijakan tataguna tanah menjadi salah satu penyebab terjadinya konversi lahan, khususnya lahan pertanian. Faktor-faktor lain yang juga menjadi penyebab berlangsungnya kegiatan konversi lahan yaitu aksesbilitas lahan, lahan sebagai aset, persaingan antara sektor pertanian dan sektor non pertanian serta penurunan produktivitas pertanian.

1. Kebijakan Pemanfaatan Lahan1

Kebijakan merupakan ketetapan pemerintah dalam berbagai hal termasuk menetapkan pengaturan pemanfaatan dan penggunaan lahan. Suatu kebijakan yang baik dapat menumbuhkan situasi atau keadaan yang kondusif. Hal ini harus didukung oleh lingkungan kebijakan itu sendiri (Irawan, 2008). Lingkungan kebijakan dapat berupa persepsi masyarakat tentang suatu kebijakan, kepedulian, dan dukungan masyarakat terhadap kebijakan yang telah dirumuskan, sistem sosial yang berlaku di masyarakat, tatanan politik, situasi ekonomi yang kondusif atau tidak kondusif, dan sistem hukum dan peradilan yang berlaku di masyarakat.

Kebijakan-kebijakan dan peraturan pemerintah tentang pemanfaatan sumberdaya alam khususnya lahan masih menjadi wacana dimana terdapat ketidaksesuaian antara peraturan tertulis dengan implementasi di lapangan. Selain itu, konversi lahan pertanian juga terjadi karena kebijaksanaan pemerintah yang kurang memprioritaskan sektor pertanian (Utama, 2006). Padahal sektor pertanian memberikan kontribusi yang tinggi terhadap ketahanan pangan, namun kurangnya perhatian pemerintah terhadap lahan pertanian menimbulkan konversi lahan yang       

1

(25)

terjadi semakin meningkat. Selain itu, adanya persaingan antara berbagai stakeholder memicu terjadinya konversi lahan. Di pihak pemerintah, terdapat kepentingan terhadap pembangunan-pembangunan seperti perumahan, pembangunan sarana dan prasarana, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Sementara itu di pihak swasta, terdapat kepentingan untuk menanam modal atau investasi terhadap usaha yang akan dibangun agar dapat mendatangkan keuntungan dimana erat kaitannya dengan kebijakan yang diberikan pemerintah. Salah satu investasi tertinggi adalah dengan pembangunan di lahan pertanian (Utama, 2006). Iqbal dan Soemaryanto (2007) menyatakan bahwa lahan pertanian yang menjadi tempat strategis untuk pembangunan adalah lahan sawah. Dari segi keuntungan bagi para investor untuk melakukan konversi lahan di areal sawah disebabkan oleh pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan. Sementara itu, masyarakat merupakan pihak yang juga memperoleh dampak dari kebijakan pemerintah.

Menurut Widiatmaka (2007) kebijakan penggunaan lahan didasarkan pada berbagai aspek antara lain: 1) Aspek teknis yaitu menyangkut potensi sumberdaya lahan yang dapat diperoleh dengan cara melakukan evaluasi kesesuaian lahan; 2) Aspek lingkungan yaitu dampaknya terhadap lingkungan; 3) Aspek hukum yaitu harus sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku; 4) Aspek sosial yaitu menyangkut penggunaan lahan untuk kepentingan sosial; 5) Aspek ekonomi yaitu penggunaan lahan secara optimal yang memberi keuntungan setinggi-tingginya tanpa merusak lahannya sendiri serta lingkungannya; dan 6) Aspek politik yaitu kebijakan pemerintah.

2. Aksesbilitas Lahan2

Aksesbilitas menurut Saefulhakim dan Nasution (1995) sebagaimana dikutip oleh Akib (2002) terkait dengan adanya pembangunan-pembangunan sarana dan prasarana transportasi yang berimplikasi terhadap meningkatnya aksesbilitas lokasi. Hal ini akan lebih mendorong perkembangan penggunaan       

(26)

tanah pertanian ke non pertanian. Wilayah yang jauh dari pusat perekonomian cenderung mengalami konversi lahan dengan dibangunnya sarana dan prasarana transportasi, karena ketika terdapat sarana transportasi dapat mempermudah akses masyarakat untuk berbagai hal. Oleh karena itu, konversi lahan pertanian menjadi lahan peruntukkan lain akan akan semakin meningkat. Selain itu, lahan yang biasanya dijadikan untuk kegiatan konversi adalah lahan yang jaraknya dekat atau berbatasan dengan perkotaan. Saefulhakim dan Nasution (1995) sebagaimana dikutip oleh Akib (2002) menyatakan bahwa penyebab terjadinya konversi lahan di wilayah yang jaraknya dekat dengan perkotaan adalah memungkinkan berlangsungnya kegiatan perekonomian dimana lahan pertanian diubah menjadi bangunan-bangunan seperti industri, pabrik, pembangunan transportasi, dan sarana pemukiman penduduk. Oleh sebab itu, aksesbilitas terhadap lahan pertanian untuk dialihfungsikan ke non pertanian mempertimbangkan jarak dengan sarana dan prasarana.

3. Lahan Sebagai Aset3

Lahan merupakan aset yang berharga bagi kehidupan manusia. Dardak (2005) mengemukakan bahwa lahan memiliki dua karakteristik unik, diantaranya adalah (1) sediaan/luas relatif tetap karena perubahan luas akibat proses alami (sedimentasi) dan proses artifisial (reklamasi) sangat kecil; (2) lahan memiliki sifat fisik (jenis batuan, kandungan mineral, topografi, dsb.) dengan kesesuaian dalam menampung kegiatan masyarakat yang cenderung spesifik. Kedua karakteristik tersebut mengakibatkan lahan menjadi suatu komoditas yang memiliki nilai yang tinggi. Oleh sebab itu, berbagai stakeholder saling bersaing untuk memperoleh manfaat lahan karena menyadari pentingnya lahan.

4. Persaingan Sektor Pertanian dan Sektor Non Pertanian4

Sektor pertanian dengan sektor non pertanian saling bersaing untuk dapat memanfaatkan lahan seoptimal mungkin. Persaingan pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu keterbatasan

       3

Berdasarkan hasil penelitian (tesis) Novi Akib Narlila (2002) Studi Keterkaitan Antara NIlai Manfaat Lahan (Land Rent) dan Konversi Lahan Pertanian di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok.  

4

(27)

sumberdaya lahan, pertumbuhan penduduk, dan pertumbuhan ekonomi (Irawan, 2008).

a. Keterbatasan Lahan

Di setiap daerah luas lahan yang tersedia relatif tetap atau terbatas. Hal ini memicu terjadinya persaingan antara berbagai aktor agar dapat memanfaatkan lahan, ditambah lagi dengan sifatnya yang tidak tergantikan.

b. Pertumbuhan penduduk

Pertumbuhan penduduk dunia semakin tinggi, sehingga akan meningkatkan kelangkaan lahan yang berimplikasi pada terbatasnya sumberdaya lahan untuk mencukupi kebutuhan manusia (Anugerah, 2005). Pertumbuhan penduduk menimbulkan terjadinya kepadatan penduduk yang akan memicu berlangsungnya konversi lahan pertanian untuk sarana tempat tinggal, yaitu pemukiman. Setiap individu membutuhkan tempat untuk menetap, maka meningkatnya jumlah penduduk mengharuskan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan yang dimanfaatkan untuk tempat tinggal. Selain itu, terdapat interkoneksitas antara penduduk pedesaan dengan penduduk perkotaan. Bertambahnya jumlah penduduk pedesaan mengakibatkan berlangsungnya arus urbanisasi. Urbanisasi merupakan proses meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di daerah perkotaan (Rusli, 1995). Beberapa penyebab terjadinya urbanisasi dirumuskan menjadi tiga yaitu adanya pertambahan alami penduduk perkotaan (pertumbuhan penduduk perkotaan), terjadinya migrasi dari desa ke kota, dan perubahan daerah pedesaan menjadi perkotaan. Penyebab yang ketiga merupakan implikasi dari berlangsungnya konversi lahan pertanian menjadi non pertanian.

c. Pertumbuhan ekonomi

(28)

pertumbuhan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) daerah tersebut. Peningkatan PDRB suatu wilayah berarti terjadi peningkatan kegiatan pada sektor non pertanian, sehingga dapat menghasilkan nilai produk lebih tinggi yang dapat meningkatkan sumbangan sektor tersebut dalam pembentukan PDRB (Utama, 2006). Hal ini menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian untuk sektor di luar pertanian agar PDRB daerah tersebut meningkat.

5. Penurunan Produktivitas Pertanian

Masyarakat petani menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, namun adanya berbagai pembangunan dan akibat dari persaingan antara sektor pertanian dengan sektor non pertanian menimbulkan keberlangsungan hidup petani di sektor pertanian terancam. Hal ini menurut Saefulhakim dan Nasution (1995) sebagaimana dikutip oleh Akib (2002) terkait dengan strukur biaya produksi pertanian dimana biaya produksi dan aktivitas budidaya tanah sawah yang semakin mahal akan cenderung memperkuat proses peralihgunaan tanah. Salah satu faktor pendorong meningkatnya biaya produksi ini adalah berkaitan dengan skala usaha. Selain itu, fluktuasi harga pertanian menyangkut aspek fluktuasi harga-harga komoditi yang dapat dihasilkan dari pembudidayaan sawah (misalnya palawija dan padi). Oleh sebab itu, tingginya biaya pengelolaan lahan pertanian memberi pengaruh pada keputusan petani untuk meninggalkan sektor pertanian dan beralih ke sektor non pertanian dengan menjual lahan mereka.

Kegiatan konversi lahan memiliki beragam pola tertentu tergantung pada kebutuhan dari usaha konversi lahan itu sendiri. Menurut Soemaryanto, et.al. (2001) memaparkan bahwa pola konversi lahan dapat ditinjau dari beberapa aspek. Pertama, menurut pelaku konversi, yang dibedakan menjadi dua yaitu:

1. Alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Lazimnya, motif tindakan ada tiga, yaitu:

(a) Untuk pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal.

(b) Dalam rangka meningkatkan pendapatan melalui alih usaha.

(29)

terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya baru significant untuk jangka waktu lama.

2. Alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan. Pemilik menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non sawah atau kepada makelar. Secara empiris, alih fungsi lahan melalui cara ini terjadi dalam hamparan yang lebih luas, terkonsentrasi dan umumnya berkorelasi positif dengan proses urbanisasi (pengkotaan). Dampak konversi terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya berlangsung cepat dan nyata.

Kedua, pola konversi lahan yang ditinjau menurut prosesnya. Menurut prosesnya kegiatan konversi lahan sawah dapat pula terjadi secara gradual dan seketika. Secara gradual, alih fungsi lazimnya disebabkan fungsi sawah tidak optimal. Umumnya hal seperti ini terjadi akibat degradasi mutu irigasi atau usaha tani padi di lokasi tersebut tidak dapat berkembang karena kurang menguntungkan. Sedangkan secara seketika (instant), alih fungsi yang umumnya berlangsung di wilayah sekitar urban, yakni berubah menjadi lokasi pemukiman atau kawasan industri.

Berdasarkan faktor pokok konversi, pelaku, pemanfaat dan prosesnya, Sihaloho (2004) membedakan konversi lahan menjadi tujuh pola atau tipologi berdasarkan penelitian yang dilakukan di kelurahan Mulyaharja. Ketujuh pola tersebut antara lain: 1) Konversi Gradual-Berpola Sporadis; 2) Konversi Sistematik berpola “enclave”; 3) Konversi Lahan sebagai Respon Atas Pertumbuhan Penduduk (population growth driven land conversion); 4) Konversi yang disebabkan oleh Masalah Sosial (social problem driven land conversion); 5) Konversi “Tanpa Beban”; 6) Konversi Adaptasi Agraris; dan 7) Konversi Multi Bentuk atau Tanpa Bentuk/Pola.

2.1.4 Dampak Konversi Lahan 2.1.4.1Dampak Sosial Ekonomi

(30)

produksi pertanian, maka petani pun semakin menjauh dari sektor pertanian. Saefulhakim dan Nasution (1995) sebagaimana dikutip oleh Akib (2002) menyatakan bahwa hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa pada kenyataannya masyarakat lokal (pemilik tanah semula dan buruh tani) banyak sekali yang tak dapat menikmati kesempatan kerja dan pendapatan dari aktivitas ekonomi yang baru. Pemetik manfaat umumnya justru pendatang. Hal ini disebabkan adanya senjang permintaan dan penawaran tenaga kerja maupun karena kalah bersaing dengan pendatang.

Wiradi (2009) menyatakan bahwa pada keluarga miskin, cenderung akan mengorbankan harta berharga mereka agar dapat memenuhi kebutuhannya yaitu dengan menjual lahan. Dalam jangka pendek, uang hasil penjualan dapat memberikan keuntungan, namun untuk jangka panjang hanya menimbulkan permasalahan baru, seperti pendapatan dan kesempatan petani di bidang pertanian hilang, hilangnya manfaat investasi dari lahan yang terkonversi, perekonomian wilayah di bidang pertanian menurun, semakin bertambahnya pengangguran akibat petani beralih ke pekerjaan di luar sektor pertanian, karena tidak diiringi dengan keterampilan dan pendidikan yang memadai, dan terjadinya penurunan luas lahan usahatani rumah tangga petani. Lahan pertanian yang semakin sempit ini mengakibatkan terjadi ”situasi krisis” di kawasan berlangsungnya konversi lahan. Krisis tersebut pada gilirannya menyebabkan meledaknya urbanisasi karena petani tersingkir dari desanya, dan tertarik oleh sektor non pertanian di kota yang memberikan pendapatan lebih tinggi terutama pada masa awal industrialisasi (Wiradi, 2009).

Akibatnya, luas lahan pertanian milik petani semakin menurun. Penurunan luas lahan milik ini mempunyai pengaruh positif terhadap penurunan tingkat kesejahteraan petani. Artinya, bila lahan milik seorang petani turun satu persen, maka akan meningkatkan resiko penurunan kesejahteraan sebesar 1,079 kali (Ruswandi et. al., 2007). Selain itu, hilangnya produksi pertanian akibat lahan pertanian yang dikonversi menyebabkan terancamnya ketahanan pangan nasional.

(31)

rangka pemulihan produksi pangan membutuhkan waktu 5-15 tahun. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat konversi lahan pertanian akan menyebabkan semakin terancamnya ketahanan pangan karena luas lahan pertanian semakin berkurang. Disamping pengaruhnya pada aspek-aspek ekonomi tersebut, konversi lahan juga memberikan pengaruh pada kondisi sosial masyarakat. Masyarakat mengalami perubahan perilaku ataupun sikap mereka terhadap sektor pertanian dan sektor non pertanian yang berimplikasi pada kehidupan sehari-hari masyarakat itu sendiri.

2.1.4.2Dampak Sosial Ekologi

Istilah ekologi berasal dari bahasa Yunani, oekos berarti rumah dan logi atau logos berarti ilmu. Sehingga secara harfiah ekologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang makhluk hidup dalam rumahnya atau dapat diartikan juga sebagai ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup (Adiwibowo, 2007). Ekologi mempelajari bagaimana makhluk hidup berinteraksi timbal balik dengan lingkungan hidupnya baik yang bersifat hidup (biotik) maupun yang bersifat tak hidup (abiotik) (Adiwibowo, 2007).

(32)

alam memperoleh kerugian dari pemanfaatan tersebut karena mengalami eksploitasi, sehingga menimbulkan adanya krisis ekologi.

Krisis ekologi dapat terjadi salah satunya karena salah urus pembangunan. Permasalahan tersebut berdampak pada terjadinya kelangkaan sumberdaya (khususnya pangan), terjadinya berbagai bencana lokal dan pembangunan, dan munculnya konflik wilayah hidup (Kartodihardjo, 2006). Kelangkaan pangan sudah pasti terjadi jika lahan pertanian terus menerus dialihkan penggunaannya, padahal lahan pertanian merupakan sektor terpenting dalam penyedia kebutuhan pangan manusia. Sementara konflik wilayah muncul akibat semakin meningkatnya persaingan antar berbagai aktor.

Dilihat dari sudut pandang ekologi, adanya konversi lahan dapat berdampak pada terganggunya ketahanan daya dukung lingkungan dimana jika dilakukan secara terus menerus tanpa adanya pengendalian, dapat menyebabkan terjadinya fenomena degradasi lingkungan, seperti longsor, erosi, penurunan penutupan lahan (vegetasi), dan sedimentasi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai bencana alam yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Sebagai contoh terjadinya banjir di daerah Bogor-Jakarta pada bulan Februari 2010 merupakan bencana alam yang menurut Satria (2010)5 merupakan bencana alam akibat faktor alam dan faktor manusia (antropogenetik). Tingginya curah hujan merupakan bencana alam akibat faktor alam, sedangkan rendahnya resapan air ke tanah akibat perubahan alih fungsi lahan dan bangunan di sekitar kawasan Puncak, sehingga bencana ini termasuk bencana alam akibat faktor antropogenetik. Hal ini mengindikasikan bahwa konversi lahan termasuk pada penyebab bencana alam akibat faktor kedua yang juga dapat dikatakan sebagai “bencana buatan”6.

Konversi lahan merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan. Kerusakan sumberdaya alam dapat berdampak pada kehidupan sosio-ekonomi-ekologi suatu sistem kemasyarakatan. Menurut Dharmawan (2007) sistem sosial masyarakat akan menghadapi tiga aspek terpenting kerusakan lingkungan dari perspektif ekologi politik. Ketiga aspek itu adalah: 1) marjinalitas atau peminggiran secara sosial-ekologi suatu kelompok       

5

Arif, Satria. 2010. Ekologi-Politik Banjir. Bogor: Kompas.  6

(33)

masyarakat; 2) kerentanan secara sosial-ekonomi-ekologi dan fisik akibat berlangsungnya kehancuran secara terus menerus; dan 3) kehidupan yang penuh dengan resiko kehancuran taraf lanjut.

2.1.5 Peraturan Pemerintah Tentang Pengendalian Konversi Lahan

Berdasarkan UUPA No.5 tahun 1960 ayat (2) yang menyatakan bahwa Negara memiliki wewenang untuk: 1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa, 2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa, dan 3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang berkaitan dengan bumi, air, dan ruang angkasa (Irawan, 2008). Sementara itu, berdasarkan Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas selaku Ketua BKTRN No. 5417/MK/10/1994 Tahun 1994, Kepada Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia perihal efisiensi pemanfaatan lahan bagi perumahan, membuat suatu ringkasan yaitu: 1) Tidak mengizinkan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan di luar pertanian; 2) Meningkatkan upaya pembangunan perumahan bertingkat untuk semua golongan masyarakat; 3) Pembangunan perumahan baru, supaya diarahkan ke lahan yang telah berizin lokasi. Jika memang diperlukan lokasi baru maka diarahkan ke lahan di luar lahan beririgasi teknis.

Pernyataan di atas diperkuat oleh Surat Menteri Dalam Negeri No.474/4263/S/Sj Tahun 1994, Kepada Gubernur KDH Tingkat I seluruh Indonesia perihal peninjauan kembali RTRW Provinsi Dati I dan RTRW Kabupaten/Kotamadya Dati yang berisi: 1) Tidak mengizinkan perubahan penggunaan lahan pertanian irigasi teknis menjadi penggunaan non pertanian; 2) Mengamankan jaringan irigasi teknis yang ada dan memanfaatkannya semaksimal mungkin; 3) Mengevaluasi kembali RTRW Dati II bila didalamnya tercantum rencana penggunaan lahan sawah beririgasi teknis untuk penggunaan bukan pertanian.

(34)

pengendalian konversi lahan sawah. Berikut ini peraturan pemerintah tentang pengendalian konversi lahan sawah menurut Irawan (2008) yang dirumuskan pada Tabel 1.

Tabel 1. Peraturan Pemerintah Terkait dengan Upaya Pengendalian Konversi Lahan Sawah

Peraturan Pemerintah Substansi

KEPRES No. 53/1989

Pembangunan kawasan industri tidak boleh mengurangi lahan pertanian dan tidak dilakukan di atas tanah yang memiliki fungsi utama untuk melindungi sumberdaya alam dan warisan budaya.

KEPRES No. 33/1990

Ijin pembebasan tanah untuk pembangunan kawasan industri tidak boleh meliputi kawasan pertanian tanaman pangan berupa sawah irigasi dan lahan yang dicadangkan untuk pembangunan sawah irigasi.

PERMENDAGRI No. 5/1974

Lokasi pembangunan kompleks perumahan oleh perusahaan sedapat mungkin menghindari lahan pertanian subur dan mengutamakan tanah yang kurang produktif.

SE MNA/KBPN No. 410-1851/1994

Dalam menyusun RTRW Dati I dan Dati II tidak memperuntukkan lahan sawah beririgasi teknis bagi penggunaan non pertanian.

SE MNA/KBPN No. 410-2262/1994

Pemberian ijin lokasi untuk penggunaan non pertanian tidak boleh meliputi lahan sawah beririgasi teknis.

SE KBAPENAS No. 5334 /MK/9/1994

Pelarangan konversi lahan sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian.

SE MNA/KBPN No.5335/MK/1994

Tidak mengijinkan perubahan pemanfaatan sawah beririgasi teknis untuk penggunan non pertanian dan RTRW Dati II yang didalamnya meliputi rencana penggunaan lahan sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian, harus direvisi.

SE MNA/KBPN No. 5417/MK/10/1994

Perubahan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk keperluan non pertanian tidak diijinkan.

SE MNA/KBPN No. 460-1594/1996

Melarang perubahan status lahan sawah menjadi lahan kering dengan menutup saluran irigasi, mengeringkan lahan sawah, menimbun lahan sawah dan seterusnya.

Sumber: Irawan (2008)

2.2 Kerangka Pemikiran

(35)

pendidikan, pekerjaan, pendapatan, kepemilikan lahan, dan adanya penurunan produktivitas pertanian. Kedua faktor tersebut menyebabkan terjadinya konversi lahan, akan tetapi yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah fenomena perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian di kawasan hulu yaitu di Desa Tugu Utara dengan melihat tipe konversi lahan dan dampak yang didapat bagi kawasan tersebut. Tipe konversi lahan untuk setiap kawasan berbeda-beda tergantung kebutuhan dari dilakukannya konversi. Berdasarkan hasil wawancara dengan infoman dan merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Soemaryanto (2001) dan Sihaloho (2004), peneliti membuat tipe konversi lahan pertanian yang sesuai dengan proses konversi yang berlangsung di Desa Tugu Utara. Ketiga tipe tersebut dilihat berdasarkan tiga sudut pandang yaitu konversi lahan berdasarkan letak kawasan yang terdiri tipe terbuka dan tertutup, berdasarkan tingkat kecepatan konversi yang terdiri dari tipe konversi cepat dan lambat, dan konversi lahan berdasarkan pihak pelaku konversi yang terdiri dari warga lokal dan warga luar desa.

(36)

Gambar 1. Kerangka Berpikir

Faktor-Faktor Penyebab Konversi Lahan

Faktor Eksternal Faktor Internal

• Kebijakan Pembangunan

• Lahan sebagai aset

• Aksesbilitas lahan

• Persaingan antara Sektor Pertanian

dengan Non Pertanian (Keterbatasan Lahan, Pertumbuhan Penduduk,

•Sikap Terhadap Lingkungan (cara

membuang limbah rumahtangga)

Sosio-Ekonomis

• Perubahan penguasaan lahan

• Kesempatan kerja

• Perubahan pola pekerjaan

• Struktur pendapatan

• Kondisi tempat tinggal

• Hubungan antar anggota

rumahtangga

• Hubungan antar warga

Tipe Konversi Lahan Berdasarkan: Letak kawasan (terbuka/tertutup), tingkat kecepatan (lambat/agresif) dan pihak pelaku.

KONVERSI LAHAN

(37)

2.3 Hipotesis Penelitian

1. Proses konversi lahan mengubah pola kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal.

2. Proses konversi lahan menyebabkan krisis ekologi di lokasi terjadinya konversi lahan.

2.4 Definisi Konseptual

1. Konversi lahan pertanian adalah perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian, seperti villa, hotel, tempat tinggal, toko dan sebagainya.

2. Tipe konversi lahan adalah pola atau tipologi konversi lahan yang terjadi pada suatu wilayah. Tipe-tipe konversi lahan diperoleh berdasarkan karakteristik dan fenomena konversi lahan yang terjadi di lapangan.

3. Konversi berdasarkan letak kawasan adalah dimensi konversi lahan pertanian yang terdiri dari tipe konversi lahan terbuka dan tertutup.

(i) Konversi lahan terbuka adalah tipe konversi lahan yang terjadi akibat perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi perubahan peruntukkan lahan non pertanian (villa, hotel, rumah, dsb) yang tinggi. (ii)Konversi lahan tertutup adalah tipe konversi lahan yang terjadi akibat

perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian (villa, hotel, rumah, dsb) yang rendah.

4. Konversi lahan berdasarkan tingkat kecepatan adalah dimensi konversi lahan pertanian yang terdiri dari tipe konversi cepat dan lambat.

(i) Konversi lahan cepat adalah tipe konversi lahan dimana suatu kawasan mengalami konversi lahan yang cepat pada periode waktu tertentu. (ii)Konversi lahan lambat adalah tipe konversi dimana suatu kawasan

mengalami konversi lahan yang lambat pada periode waktu tertentu. 5. Konversi lahan berdasarkan pihak pelaku konversi adalah dimensi

konversi lahan yang terdiri dari warga lokal dan warga luar desa.

(38)

(ii)Konversi oleh warga luar desa adalah tipe konversi lahan dimana perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian dilakukan oleh warga luar desa.

6. Dampak sosial ekonomi adalah dampak yang ditimbulkan oleh konversi lahan yang mengakibatkan terjadinya perubahan struktur ekonomi dan sosial rumah.

7. Dampak sosial ekologi adalah dampak yang ditimbulkan oleh konversi lahan karena adanya perubahan terhadap hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam di kawasan lahan yang terkena konversi serta adanya perubahan kondisi lingkungan akibat konversi lahan.

8. Krisis ekologi adalah kondisi lingkungan karena terjadinya degradasi lingkungan.

9. Degradasi lingkungan adalah kerusakan lingkungan yang mengakibatkan terjadinya berbagai bencana, seperti banjir, longsor, dan kebisingan.

10.Akses terhadap sumberdaya adalah cara masyarakat dalam memperoleh manfaat dari alam, berupa air dan lahan.

11.Sikap terhadap lingkungan adalah perilaku masyarakat terhadap lingkungan, seperti cara membuang limbah rumah tangga.

12.Struktur pendapatan adalah jumlah uang yang diterima oleh seseorang sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan dalam kurun waktu satu tahun.

13.Tempat tinggal adalah tempat seseorang bernaung.

14.Hubungan antar warga adalah interaksi antara warga yang satu dengan warga yang lainnya setelah adanya konversi lahan, seperti kerjasama dan konflik sosial.

15.Hubungan antar anggota rumah tangga adalah interaksi antara anggota keluarga setelah adanya konversi lahan baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan hidup.

(39)

17.Derajat kuatnya penguasaan luas lahan adalah seberapa besar penguasaan luas lahan yang dimiliki oleh suatu rumah tangga. Derajat paling kuat dimulai dari luas lahan lebih dari 7500 meter persegi, antara 5000 sampai 7400 meter persegi, antara 2500 sampai 4900 meter persegi, antara 100 sampai 2400 meter persegi, kemudian tidak memiliki lahan.

2.5 Definisi Operasional

1. Konversi lahan adalah perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian. Konversi lahan diukur dari tingkatan perubahan yang sampai tingkatan yang preservatif.

a. Paling eksploitatif: lahan pertanian berubah menjadi bangunan (restoran, villa, toko, rumah, hotel, jalan dll), skor 1

b. Eksploitatif: lahan pertanian berubah menjadi lahan kosong, skor 2 c. Netral: lahan pertanian berubah menjadi perkebunan, skor 3

d. Preservatif: lahan pertanian tetap terpelihara dengan baik, skor 4

e. Paling preservatif: lahan pertanian tetap terpelihara dengan baik dan menghasilkan pangan yang melimpah, skor 5

2. Pendidikan keluarga adalah kemampuan untuk dapat memenuhi pendidikan terakhir anggota keluarga. Pendidikan keluarga diukur dari tingkat pendidikan yang paling rendah sampai yang paling tinggi.

a. Sangat rendah: tidak sekolah, skor 1

b. Rendah: tamat sampai SD/Sederajat, skor 2 c. Sedang: tamat sampai SMP/Sederajat, skor 3 d. Tinggi: tamat SMA/Sederajat, skor 4

e. Sangat tinggi: tamat Perguruan Tinggi (PT), skor 5

3. Persepsi tentang kesempatan kerja adalah persepsi rumah tangga terhadap peluangnya untuk memperoleh pekerjaan saat ini dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu. Kesempatan kerja ini dibedakan antara kesempatan kerja disektor pertanian dan kesempatan kerja diluar sektor pertanian.

(40)

pertanian diukur dari kesempatan kerja paling mudah sampai kesempatan kerja paling sulit saat ini dibandingkan 10 tahun yang lalu. a. Sangat sulit: tidak ada lagi kesempatan kerja, skor 1

b. Sulit: pekerjaan sedikit dan terbatas, misal hanya sebagai buruh tani, skor 2

c. Netral: Sama saja, tidak ada perubahan kesempatan kerja, skor 3 d. Mudah: pekerjaan terbuka luas, skor 4

e. Sangat mudah: pekerjaan pertanian lebih besar dibandingkan pekerjaan diluar pertanian, skor 5

(ii) Kesempatan kerja sektor non pertanian adalah persepsi rumah tangga terhada peluangnya untuk memperoleh pekerjaan di sektor non pertanian setelah adanya konversi lahan. Kesempatan kerja sektor non pertanian diukur dari kesempatan kerja paling sulit sampai kesempatan kerja paling mudah saat ini dibandingkan 10 tahun yang lalu.

a. Sangat sulit: tidak ada kesempatan kerja, skor 1 b. Sulit: pekerjaan sedikit dan terbatas, skor 2

c. Netral: Sama saja, tidak ada perubahan kesempatan kerja, skor 3 d. Mudah: pekerjaan terbuka luas, skor 4

e. Sangat mudah: pekerjaan diluar pertanian lebih besar dibanding sektor pertanian, skor 5

4. Perubahan pola kerja adalah perubahan kesibukan atau kegiatan responden yang dilakukan setiap hari untuk mencari nafkah akibat terfragmentasinya lahan. Pola kerja diukur dari perubahan pekerjaan dari yang paling diluar sektor pertanian sampai pekerjaan yang termasuk paling sektor pertanian saat ini dibandingkan 10 tahun yang lalu.

a. Sangat buruk: dari petani (pemilik/penggarap) menjadi pengangguran, skor 1

b. Buruk: dari petani (pemilik/penggarap) menjadi pekerja sektor non pertanian, skor 2

(41)

e. Sangat baik: dari pekerja non pertanian menjadi bekerja sebagai petani, skor 5

5. Struktur pendapatan adalah jumlah pemasukan yang diterima seseorang sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan dalam kurun waktu satu tahun. Jumlah pendapatan dikategorikan berdasarkan rata-rata pendapatan rumah tangga di lokasi penelitian.

a. Sangat rendah: Rp. 0,- , skor 1 b. Rendah: Rp. < 12.000.000, skor 2

c. Sedang: Rp. 12.000.000 ≤ x < 36.000.000, skor 3 d. Tinggi: Rp. 36.000.000 ≤ x < 60.000.000, skor 4 e. Sangat tinggi: Rp. ≥ 60.000.000, skor 5

6. Penguasaan lahan adalah perubahan status lahan yang dikuasai rumah tangga akibat konversi lahan. Status ini diukur dari yang status paling rendah (tunakisma) sampai paling tinggi (milik sendiri) yang diperoleh berdasarkan data di lapangan.

a. Sangat rendah: tidak punya lahan, skor 1 b. Rendah: tumpang sari, skor 2

c. Sedang: bagi hasil, skor 3 d. Tinggi: sewa, skor 4 e. Sangat tinggi: milik, skor 5

7. Luas lahan pertanian adalah jumlah lahan pertanian yang dimiliki oleh setiap rumah tangga setelah adanya perubahan peruntukan lahan. Luas lahan pertanian diukur dari kepemilikan luas lahan pertanian paling sempit sampai paling luas.

a. Tidak punya lahan: 0 ha skor 1

b. Lahan sempit: 0,01 ha – 0,24 ha, skor 2 c. Sedang: 0,25 ha – 0,49 ha, skor 3 d. Lahan luas: 0,50 ha – 0,74 ha, skor 4 e. Lahan sangat luas: + 0,75 ha, skor 5

(42)

(i) Kondisi tempat tinggal adalah keadaan fisik rumah yang ditempati oleh suatu keluarga. Kondisi tempat tinggal diukur dari kapasitas rumah dan kekuatan bangunan rumah dari yang paling rentan roboh hingga paling kokoh.

a. Sangat tidak layak: dinding triplek/bambu, alas tanah, dan kapasitas tidak memadai untuk semua anggota keluarga, skor 1

b. Tidak layak: dinding tembok dan alas tanah atau dinding triplek/bambu dan alas semen, serta kapasitas tidak memadai untuk semua anggota keluarga, skor 2

c. Sedang: Dinding triplek/bambu dan alas semen atau dinding tembok dan alas tanah, serta kapasitas memadai untuk semua anggota keluarga, skor 3

d. Layak: dinding tembok, alas semen atau keramik dan kapasitas memadai untuk semua anggota keluarga, skor 4

e. Sangat layak: dinding tembok, alas semen atau keramik, kapasitas memadai untuk semua anggota keluarga dan memiliki fasilitas hiburan, seperti kolam berenang, taman, dan lain-lain, skor 5

(ii)Status tempat tinggal adalah status rumah yang ditempati seseorang. Status ini diukur dari status paling rendah sampai paling tinggi.

a. Sangat buruk: tidak punya tempat tinggal, skor 1 b. Buruk: menumpang, skor 2

c. Sedang: gadai, skor 3 d. Baik: sewa, skor 4

e. Sangat baik: milik, skor 5

(iii) Kepemilikan aset adalah jumlah barang berharga yang dimiliki oleh suatu rumah tangga. Kepemililkan aset diukur dari status rumah dan kepemilikan alat elektronik dari yang paling sedikit sampai paling banyak.

(43)

e. Sangat tinggi: ≥ 16 buah, skor 5

9. Hubungan antar anggota rumah tangga adalah interaksi antara anggota keluarga setelah adanya konversi lahan. Hubungan ini diukur dari tingkat kebersamaan dalam memutuskan sesuatu dari yang paling individual sampai yang paling kolektif.

a. Sangat rendah: semua keputusan/pekerjaan/kegiatan dilakukan sendiri-sendiri tanpa adanya bantuan atau diskusi terlebih dahulu dengan anggota keluarga, skor 1

b. Rendah: semua keputusan/pekerjaan/kegiatan hanya dibicarakan seperlunya saja dengan anggota keluarga, skor 2

c. Sedang: semua keputusan/pekerjaan/kegiatan dilakukan dengan diskusi dulu, skor 3

d. Tinggi: semua keputusan/pekerjaan/kegiatan dilakukan dengan adanya bantuan atau diskusi terlebih dahulu dengan anggota keluarga, skor 4

e. Sangat tinggi : semua keputusan/pekerjaan/kegiatan dilakukan dengan adanya bantuan atau diskusi terlebih dahulu dengan anggota keluarga serta memanfaatkan waktu luang untuk berkumpul bersama, skor 5

10.Degradasi lingkungan adalah kerusakan lingkungan yang mengakibatkan terjadinya berbagai bencana, seperti banjir, longsor, dan kebisingan.

(i) Banjir adalah bencana alam yang terjadi karena adanya air yang meluap melebihi batas normal. Banjir ini diukur dari tingkat kejadian dalam setahun terakhir di lokasi penelitian.

a. Pernah: terjadi banjir di dekat tempat tinggal, skor 0

b. Tidak pernah: tidak pernah terjadi banjir di dekat tempat tinggal, skor 1 (ii) Longsor adalah bencana alam akibat rusaknya tanah. Longsor ini diukur

dari tingkat kejadian dalam setahun terakhir di lokasi penelitian. a. Pernah: terjadi longsor di dekat tempat tinggal, skor 0

b. Tidak pernah: tidak pernah ada longsor di dekat tempat tinggal, skor 1 11.Akses terhadap sumberdaya air adalah cara seseorang memperoleh air untuk

kebutuhan hidup. Akses terhadap air diukur dari cara memperoleh air dari yang sulit sampai yang mudah.

(44)

b. Mudah: air tersedia dimana-mana, skor 1

12.Kualitas air minum merupakan keadaan air secara fisik dilihat dari warna, rasa, dan baunya. Kondisi air minum diukur dari keadaan fisiknya dari tingkatan paling buruk hingga paling baik.

a. Buruk: Air berwarna, berasa dan berbau, skor 0 b. Baik: Air tidak berwarna, berasa, dan berbau, skor 1

13.Pembuangan limbah rumah tangga merupakan dampak tidak langsung akibat konversi lahan mengenai cara-cara individu dalam rumah tangga dalam membuang sisa hasil rumah tangga (plastik, kertas, dan sampah dapur). Pembuangan limbah rumah tangga diukur dari sikap individu dalam membuang limbah rumah tangga dari yang paling tidak ramah lingkungan sampai yang paling ramah lingkungan.

a. Tidak ramah lingkungan: membuang sampah sembarangan, seperti ke sungai, skor 0

b. Ramah lingkungan: mengubah sampah menjadi pupuk organik/ memisahkan sampah organik dan anorganik/ membakar sampah, skor 1

   

   

(45)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif. Dalam pendekatan kuantitatif, penelitian ini menggunakan metode penelitian survei. Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok (Singarimbun, 1989). Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi setiap rumah tangga yang menjadi sampel penelitian, sedangkan metode penelitian kualitatif digunakan untuk melihat proses konversi yang terungkap dari hasil penelitian kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan melalui studi kasus, observasi dan wawancara mendalam.

3.2 Jenis Data, Lokasi dan Waktu Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari kuesioner yang disebar kepada responden melalui wawancara dan pencarian informasi kepada informan (wawancara mendalam). Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi literatur yang sumbernya berasal dari berbagai dokumen-dokumen pemerintah Desa Tugu Utara, data-data dari dinas-dinas terkait, makalah ilmiah, tesis, skripsi, internet, dan lain sebagainya.

Penelitian dilakukan di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, sejak bulan Oktober sampai November 2010. Pemilihan tempat penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Desa ini dipilih karena merupakan salah satu desa yang menjadi kawasan hutan lindung daerah Puncak Bogor. Kawasan ini mengalami perubahan pada kondisi sosial ekologi dan sosial ekonomi akibat berlangsungnya konversi lahan pertanian menjadi pemukiman dan villa. Pengolahan data dan hasil penulisan laporan dilakukan pada bulan Desember sampai Januari 2010.

3.3 Kerangka Sampling

(46)

pertama sebanyak 8 kampung merupakan kampung yang berada dekat dengan jalan raya dan mudah akses perekonomian, sementara kelompok kedua sebanyak 12 kampung berada jauh dari jalan raya dan akses perekonomian. Dari kedua kelompok tersebut dipilih dua kampung secara purposif berdasarkan informasi dari informan yang terpercaya, kemudian dari kedua kampung dipilih masing-masing satu RT secara purposif yang akan dijadikan sampel kedua dimana terdapat empat RT dimasing-masing kampung. RT yang terpilih yaitu RT 01/ RW 03 dengan jumlah rumah tangga sebanyak 121 rumah tangga, dan RT kedua yaitu RT 06/RW 04 dengan jumlah rumah tangga sebanyak 91 rumah tangga. Selanjutnya, dari RT tersebut baru diambil secara acak rumah tangga yang akan dijadikan responden penelitian.

3.4 Pemilihan Responden

Penelitian ini menggunakan wawancara mendalam dengan aparat desa dan tokoh-tokoh setempat untuk mengetahui tipe dan dampak sosial ekologi kawasan terjadinya konversi lahan, sedangkan untuk mengetahui dampak sosial ekonomi dan sosial ekologi ditingkat rumah tangga digunakan data primer yang dikumpulkan melalui kuesioner terhadap 60 responden dari dua RT (Rukun Tetangga) yang ditentukan secara purposif. Pemilihan RT ditentukan melalui teknik cluster sampling (Singarimbun, 1989). Seluruh kampung penelitian dibagi menjadi dua kluster yaitu kampung yang jauh dan kampung yang dekat jaraknya dengan pusat perekonomian dan transportasi di Desa Tugu Utara. Jumlah kampung sampel ditentukan secara purposif yaitu dua kampung. Kemudian dari dua kampung tersebut dipilih dua RT untuk menjadi sampel kedua.

Pemillihan RT pada masing-masing kluster ditentukan secara sengaja (purposif) melalui konsultasi dan diskusi dengan beberapa aparat desa dan petugas Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) setempat. Kampung dan RT yang terpilih untuk dilakukan sebagai tempat penelitian antara lain:

a. Kampung Sampay (kampung yang dekat dengan pusat perekonomian dan transportasi) yaitu RT 01 RW 03; dan

(47)

Selanjutnya dibuat daftar seluruh keluarga yang ada dimasing-masing RT terpilih. Daftar keluarga tersebut merupakan kerangka sampling dari penelitian (Lampiran 1) dimana untuk RT 01 RW 03 jumlah rumah tangga sebanyak 121 rumah tangga dan RT 06 RW 04 jumlah rumah tangga sebanyak 91 rumah tangga. Dari sini dipilih secara acak 30 responden dimasing-masing RT untuk dijadikan sampel penelitian dengan tiga responden cadangan, sehingga jumlah total responden 60 rumah tangga. Teknik pengambilan responden dengan metode sampling diilustrasikan seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Teknik Sampling dalam Pengambilan Responden Desa Tugu Utara

Total kampung di Desa Tugu Utara sebanyak 20 Kampung

Dipilih 1 RT yaitu RT 01 RW 03 dengan jumlah KK sebanyak 121 KK

Total 60 responden dengan 6 responden cadangan Kampung dekat jalan raya: 8

kampung.

Penentuan kampung: purposif

Kampung yang jauh dari jalan raya: 12 kampung

04 dengan jumlah KK sebanyak 91 KK

Secara acak dipilih 30

responden dengan 3 responden cadangan (10% dari 30) Secara acak dipilih 30 responden

dengan 3 responden cadangan (10% dari 30)

Dipilih 1 kampung yaitu Kampung Sampay

(48)

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Terdapat dua subjek penelitian yaitu responden dan informan. Data dari penelitian kuantitatif diperoleh melalui kuesioner dengan menggunakan teknik wawancara kepada responden7. Kemudian hasil dari kuesioner tersebut dicatat seperti apa adanya dan diolah dengan melakukan analisis serta interpretasi, baru selanjutnya dilakukan pembuatan kesimpulan tentang hasil kuesioner. Sedangkan data dari penelitian kualitatif diperoleh melalui observasi ke lapangan dan wawancara mendalam kepada informan8. Pedoman pengumpulan data penelitian dirumuskan pada Lampiran 2.

3.6 Teknik Analisis Data

Data primer yang diperoleh melalui kuesioner diolah dan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi untuk melihat keterkaitan dari aspek-aspek yang menjadi dampak sosial ekonomi dan sosial ekologi konversi lahan masyarakat Desa Tugu Utara. Data primer tersebut selanjutnya dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian. Selanjutnya digunakan tabel silang untuk mengetahui hubungan antara dua variabel. Sementara itu untuk pendekatan kualitatif digunakan metode triangulasi untuk memberikan penguatan dari data yang diperoleh melalui kuesioner dengan melibatkan wawancara mendalam dan observasi. Gabungan data tersebut diolah dan dianalisis dengan disajikan dalam bentuk teks naratif, matriks, atau bagan. Kemudian ditarik kesimpulan dari semua data yang telah diolah.

         

       7

Responden adalah orang yang memberikan informasi tentang dirinya sendiri.  8

(49)

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Desa Tugu Utara

4.1.1 Sungai Ciliwung

Desa Tugu Utara merupakan salah satu desa yang terletak di kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Munaf (1992) DAS Ciliwung ini dibatasi oleh Sub DAS Cisadane hulu sebelah barat dan selatan, DAS Citarum sebelah timur serta DAS Cibeet sebelah Utara. Hulu sungai Ciliwung berada di Gunung Mandalawangi dan bermuara di Teluk Jakarta. Sungai ini mengalir dari selatan kearah utara melewati Kabupaten Bogor (Kecamatan Cisarua, Ciawi, Kedung Halang, Cibinong dan Cimanggis), Kota madya Bogor, Kota administrasi Depok dan wilayah DKI Jakarta. Luas DAS Ciliwung dari hulu sampai hilir sekitar 347 kilometer persegi.

DAS Ciliwung dibagi menjadi tiga bagian yaitu: a) DAS Ciliwung Bagian I seluas 146 kilometer persegi, mulai dari hulu sampai stasiun pengamat Katulampa, meliputi Kecamatan Kedunghalang, Cisarua, dan Ciawi. b) DAS Ciliwung Bagian II seluas 94 kilometer persegi, mulai dari stasiun pengamat Katulampa sampai stasiun pengamat Ratujaya (Depok) meliputi Kecamatan Kedunghalang, Kota madya Bogor, Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Depok, dan c) DAS Ciliwung bagian III seluas 82 kilometer persegi, mulai dari stasiun pengamat Ratujaya sampai stasiun pengamat Rawajati (Kalibata) meliputi kecamatan Depok, Kecamatan Cimanggis, dan DKI Jakarta.

Gambar

Tabel 1.
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Gambar 2.  Teknik Sampling dalam Pengambilan Responden
Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur Desa Tugu Utara, 2009
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada kedalaman 20-40 cm di semua penggunaan lahan memiliki PDSC dan PDC yang lebih rendah dibandingkan dengan lapisan atasnya, karena pada lapisan atas memiliki bahan organik

Skripsi dengan judul Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Produksi Padi (Studi Kasus Kecamatan Mertoyudan) merupakan karya ilmiah yang bertujuan untuk memahami

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui laju konversi lahan pertanian ke nonpertanian di Sub-DAS Keduang; (2) mengetahui dampak konversi lahan pertanian ke

Berdasarkan tabel yang telah disajikan mengenai sikap petani terhadap konversi lahan pertanian berdasarkan karakteristik individu (jenis kelamin, usia, tingkat

Konversi lahan pertanian yang terjadi di Kecamatan Kertajati merupakan implikasi dari proses pembangunan yang dihasilkan oleh kebijakan pemerintah. Konversi lahan pertanian

Berdasarkan tabel yang telah disajikan mengenai sikap petani terhadap konversi lahan pertanian berdasarkan karakteristik individu (jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan,

Berdasarkan tabel yang telah disajikan mengenai sikap petani terhadap konversi lahan pertanian berdasarkan karakteristik individu (jenis kelamin, usia, tingkat

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar, dibimbing oleh Kaharuddin dan Lukman Ismail Tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisis dampak konversi