• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di hulu sungai Ciliwung Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di hulu sungai Ciliwung Kabupaten Bogor"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

KETERKAITAN HARGA LAHAN TERHADAP

LAJU KONVERSI LAHAN PERTANIAN

DI HULU SUNGAI CILIWUNG

KABUPATEN BOGOR

DESI IRNALIA ASTUTI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

RINGKASAN

DESI IRNALIA ASTUTI. Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian di Hulu Sungai Ciliwung Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor. Dibimbing Oleh PINI WIJAYANTI

Harga lahan merupakan alasan utama penduduk dalam menjual lahan pada Kecamatan Cisarua. Penjualan lahan dilakukan karena penduduk tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Aktivitas penjualan lahan tersebut juga diikuti oleh perubahan penggunaan lahan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya konversi lahan. Perubahan tata guna lahan yang sangat tinggi di hulu Sungai Ciliwung meningkatkan peluang terjadinya banjir pada daerah hilir.

Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk memberikan informasi mengenai pengaruh harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di hulu Sungai Ciliwung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Sedangkan, tujuan khusus dari penelitian ini yaitu: (1) mengidentifikasi laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua, (2) menganalisis keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan, (3) mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk dalam mengkonversi lahan di Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua.

Penelitian ini dilakukan di Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan Kecamatan Cisarua merupakan hulu Sungai Cilwung. Penelitian ini dilakukan selama bulan Maret-April 2011. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan responden melalui kuisioner. Data sekunder diperoleh melalui pengumpulan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung, Kecamatan Cisarua, Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua. Data sekunder yang diperlukan merupakan data time series dari tahun 2001-2010, meliputi data harga lahan per meter persegi, jumlah penduduk, vila, obyek wisata, luas konversi lahan, serta studi literatur atau referensi lainnya berupa jurnal dan penelusuran data melalui internet. Laju konversi lahan dianalisis dengan persamaan laju parsial dan kontinu, pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan menggunakan metode linier berganda, sedangkan pengaruh harga lahan terhadap laju konversi lahan menggunakan metode korelasi Pearson. Pengolahan data dilakukan secara manual serta komputer dan melalui program Microsoft Office Excel 2007, SPSS 15, dan Minitab.

(3)

KETERKAITAN HARGA LAHAN TERHADAP

LAJU KONVERSI LAHAN PERTANIAN

DI HULU SUNGAI CILIWUNG

KABUPATEN BOGOR

DESI IRNALIA ASTUTI H44070024

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(4)

Judul Skripsi : Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian di Hulu Sungai Ciliwung Kabupaten Bogor.

Nama : Desi Irnalia Astuti

NRP : H44070024

Disetujui

Pini Wijayanti, SP, M.Si Nuva, SP, M.Sc

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen

Tanggal Lulus: 24 Juni 2011

(5)

       

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian di Hulu Sungai Ciliwung Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2011

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan selama proses penyusunan skripsi ini, terutama kepada:

1. Ayah (Muchlis Abbas), Ibu (Mami Kustini, AMa), dan kakak-kakak penulis (Deni Oktarian, Edi Candra, SH, Risma Feny, SPd dan Ade Christi) atas segala dukungan, doa, semangat, dan kasih sayang.

2. Pini Wijayanti, SP, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi I yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran, dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

3. Nuva, SP, M.Sc, selaku dosen pembimbing skripsi II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran, dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ir. Nindyantoro, M.Sp, selaku dosen penguji utama.

5. Adi Hadianto, SP, M.Si, selaku dosen perwakilan departemen dan pembimbing akademik.

6. Kecamatan Cisarua, Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua atas data dan informasinya.

7. Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, dan Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman Kabupaten Bogor atas data dan informasinya. 8. Rekan satu bimbingan, Andrian Irwansyah, Andika Lesmana, Dina Berina,

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kajian yang dilakukan meliputi tren laju konversi lahan dengan persamaan laju parsial dan kontinu dan analisis keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian dengan metode korelasi Pearson. Selain itu, juga dilakukan analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah, perkebunan, dan hutan dengan metode linier berganda.

Penulis menyadari bahwa skripsi jauh dari sempurna. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, khususnya pihak yang terkait dengan penelitian ini.

Bogor, Juni 2011

(8)

DAFTAR ISI

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan ... 11

2.5 Dampak Konversi Lahan ... 12

III. KERANGKA PENELITIAN ... 14

3.1 Kerangka Teoritis ... 14

3.1.1 Laju Konversi Lahan ... 14

3.1.2 Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian ... 15

3.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan ... 15

(9)

Konversi Lahan Pertanian ... 25

4.4.3 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan ... 27

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN ... 31

5.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 31

5.2 Karakteristik Umum Responden ... 32

5.2.1 Jenis Kelamin dan Usia ... 32

5.2.2 Pendidikan Formal Responden ... 33

5.2.3 Luas dan Status Kepemilikan Lahan ... 34

5.2.4 Tingkat Pendapatan ... 35

5.2.5 Lama Menetap di Lokasi ... 36

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

6.1 Laju Konversi Lahan ... 37

6.2 Keterkaitan Harga Lahan Terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian ... 47

6.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan ... 50

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

7.1 Kesimpulan ... 57

7.2 Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 59

LAMPIRAN ... 62

RIWAYAT HIDUP ... 77

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Matriks Metode Analisis Data . ... 23 2 Luas Pemukiman dan Jalan di Kecamatan Cisarua Tahun

2001-2010 ... 46 3 Hasil Analisis Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 1961dan 2010 ... 3 2 Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur

Tahun 2005 – 2010 ... 5 3 Diagram Alur Berpikir ... 19 4 Peta Guna Lahan Kecamatan Cisarua Tahun 2000 dan 2009 ... 20 5 Karakteristik Responden di Kecamatan Cisarua Berdasarkan

Tingkat Pendidikan Tahun 2011 ... 34 6 Karakteristik Responden di Kecamatan Cisarua Berdasarkan

Lama Menetap Tahun 2011 ... 36 7 Laju Luasan Lahan Pemukiman dan Lahan Pertanian di

Kecamatan Cisarua Tahun 2001-2010 ... 37 8 Tren Jumlah Penduduk Kecamatan Cisarua Tahun

2001-2010 ... 44 9 Harga Lahan Rata-Rata Kecamatan Cisarua dan Jakarta

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Kuisioner Penelitian ... 63 2. Data Jumlah Penduduk Kecamatan Cisarua Tahun

2001-2010 ... 66 3. Data Luasan Lahan Pertanian Kecamatan Cisarua

Tahun 2001-2010 ... 66 4. Data Luasan Pemukiman Kecamatan Cisarua Tahun 2001-

2010 ... 67 5. Data Harga Lahan Rata-Rata Kecamatan Cisarua dan

Jakarta Tahun 2001-2010 ... 67 6. Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penduduk dalam

Mengkonversi Lahan ... 68 7. Laju Luasan Lahan Pertanian dan Pemukiman Kecamatan

Cisarua Tahun 2001-2010 ... 72 8. Laju Konversi Lahan Kontinu Kecamatan Cisarua Tahun

(13)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dikonversi menjadi lahan non RTH akan menimbulkan dampak negatif dalam berbagai aspek. Namun, potensi dampak konversi lahan tersebut seringkali kurang disadari, sehingga masalah konversi lahan tidak menjadi perhatian masyarakat dan upaya pengendalian konversi lahan terkesan terabaikan. Sala et al. (2000) menyatakan bahwa konversi lahan terjadi di berbagai jenis lahan. Konversi lahan bisa terjadi di lahan sawah dan hutan, dataran rendah maupun dataran tinggi dengan risiko yang berbeda-beda. Dataran tinggi atau pun area puncak memiliki risiko yang cukup besar, khususnya di hulu sungai dimana konversi lahan berdampak pada peningkatan aliran dari dataran tinggi dan volume run off.

Kegiatan konversi lahan yang sangat tinggi di hulu sungai meningkatkan peluang terjadinya banjir di daerah hilir. Salah satu bentuk konversi lahan adalah pembangunan di daerah resapan air. Semakin banyak ruang RTH yang dikonversi menjadi non RTH mengakibatkan semakin rendahnya daya resap air di daerah tersebut. Bertambahnya wilayah terbangun (built up area) menyebabkan muka tanah yang merupakan peresapan akan jauh berkurang luasannya (Achard et al. 1987) dalam (Barbier 1999). Rendahnya daya resapan air menyebabkan peningkatan aliran permukaan. Tingginya tingkat aliran permukaan tersebut memicu peningkatan volume air yang menyebabkan terjadinya banjir.

(14)

Ciliwung yang mengakibatkan banjir di daerah Jakarta. Curah hujan di hulu Sungai Ciliwung terjadi pada bulan April tahun 2006, yaitu 268 mm dalam satu bulan. Hal ini terbukti pada bulan April 2006 penduduk Jakarta yang terkena dampak banjir sebanyak 7 340 Kepala Keluarga atau setara dengan 27 281 jiwa. Jumlah pengungsi terbanyak dan berasal dari Jakarta Timur yaitu sebanyak 1 558 jiwa dengan ketinggian banjir paling parah mencapai 250 cm. Ketinggian banjir di Kotamadya Jakarta Timur merupakan yang tertinggi1. Hal ini membuktikan bahwa konversi lahan di daerah hulu akan mengakibatkan dampak hingga ke hilir.

Salah satu faktor yang menyebabkan konversi lahan yaitu adanya laju pertumbuhan penduduk. Perubahan penggunaan lahan ditandai dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan konversi lahan yang signifikan, kedua proses tersebut saling terkait (Barbier 1999). Adanya jumlah penduduk yang meningkat menyebabkan konversi lahan di Kabupaten Bogor mayoritas untuk perumahan, usaha, vila, dan lain-lain. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor cenderung mengalami peningkatan. Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Bogor adalah 3 508 826 jiwa sedangkan angka sementara pada sensus penduduk tahun 2010 jumlahnya mencapai 4 763 209 jiwa. Namun, pada tahun 1990 ke tahun 2000 terjadi penurunan jumlah penduduk dikarenakan adanya pemekaran wilayah Kabupaten Bogor menjadi Kota Bogor pada tahun 1995 berdasarkan PP No. 02/1995 dan Kota Depok di tahun 1999 berdasarkan UU RI No. 15/1999.

Rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor dalam kurun waktu sepuluh tahun adalah 3.13. Artinya, pertambahan penduduk di Kabupaten       

1

(15)

Bogor setiap tahun rata-rata meningkat sebesar 3.13 persen. Pertambahan tersebut akan menimbulkan pengaruh terhadap konversi lahan. Adapun gambaran tren peningkatan jumlah penduduk Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

Sumber: BPS, 2010

Gambar 1. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 1961-2010

Pertambahan penduduk di Kabupaten Bogor mempengaruhi penggunaan tata guna lahan yang ada, khususnya di daerah hulu Sungai Ciliwung. Perubahan tata guna lahan dapat menaikkan ataupun mengurangi volume run off dan waktu konsentrasi suatu area (Viessman 1977). Faktor yang paling besar mempengaruhi volume aliran adalah laju infiltrasi dan tampungan permukaan. Berdasarkan data BPS (2006), jenis penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 2001 berupa pemukiman, jasa, dan industri sebesar 314 658 ha dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 319 862 ha. Seiring adanya pertumbuhan penduduk maka penggunaan lahan untuk pemukiman dan sektor industri di daerah hulu Sungai Ciliwung juga meningkat.

Sektor industri yang sangat diminati di daerah hulu Sungai Ciliwung adalah industri pariwisata. Daerah dataran tinggi di hulu sungai ini memiliki pesona alam yang indah. Kondisi udara yang sejuk dan jauh dari keramaian kota

0

1961 1971 1980 1990 2000 2010

Ji

w

a

Tahun

(16)

domestik yang datang untuk berlibur bersama keluarga, teman, maupun kerabat. Terdapat berbagai macam obyek wisata yang tersedia, di antaranya kebun binatang, wahana outbond, rumah makan, dan tempat wisata lainnya. Selain itu masih banyak terdapat objek wisata alam lainnya. Banyaknya wisatawan yang datang menarik minat investor untuk mendirikan penginapan seperti vila, hotel, dan wisma di daerah tersebut sebagai sumber investasi. Hal tersebut diduga termasuk menjadi salah satu penyebab konversi lahan.

1.2. Perumusan Masalah

Konversi lahan terjadi seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat setiap tahun. Salah satu wilayah yang mengalami pertambahan jumlah penduduk yang tinggi adalah Kabupaten Bogor. Jumlah penduduk yang tinggi terlihat lebih signifikan jika dibandingkan dengan dua kabupaten lain yaitu Sukabumi dan Cianjur. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2005 mencapai 4 256 980 jiwa, sedangkan jumlah penduduk Kabupaten Sukabumi 2 300 640 jiwa, dan jumlah penduduk Kabupaten Cianjur sebesar 2 118 120 jiwa. Adapun perbandingan jumlah penduduk Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Cianjur dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.

Sumber: BPS, 2010

Gambar 2. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Cianjur Tahun 2005-2010

2005 2006 2007 2008 2009

(17)

Laju pertambahan penduduk Kabupaten Bogor rata-rata sebesar 165 535 jiwa setiap tahun. Kabupaten Sukabumi rata-rata sebesar 44 668 jiwa per tahun dan Kabupaten Cianjur sebesar 29 878 jiwa per tahun. Pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor yang tinggi menyebabkan penyebaran pemukiman di berbagai wilayah DAS. Kabupaten bogor dilalui dua wilayah DAS, yaitu Ciliwung dan Cisadane. Wilayah DAS yang menjadi perhatian khusus dalam hal menyumbangkan debit air pada peristiwa banjir di Jakarta adalah DAS Ciliwung. Daerah yang mempunyai peran penting dalam peristiwa ini adalah daerah hulu.

Hulu Ciliwung terletak di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, tepatnya di Desa Tugu Utara sedangkan Kelurahan Cisarua merupakan daerah yang memiliki pemukiman yang padat. Daerah tersebut memiliki tingkat kegiatan konversi RTH menjadi non RTH yang tinggi. Konversi lahan ini didukung dengan pertambahan penduduk setiap tahun yang mengakibatkan kebutuhan pemukiman yang tinggi. Penduduk di daerah hulu menjual lahan yang ada kepada pembeli, kemudian pembeli menggunakan wilayah tersebut untuk membangun usaha tempat tinggal sebagai tempat bermukim, hotel, vila, rumah makan, dan tempat usaha lainnya. Hal lain yang diindikasikan sebagai penyebab konversi adalah daya tarik lokasi penelitian sebagai daerah tujuan wisata. Berdasarkan uraian tersebut beberapa masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua?

2. Bagaimana keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian? 3. Faktor–faktor apakah yang mempengaruhi penduduk Desa Tugu Utara dan

(18)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua.

2. Menganalisis keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di Kecamatan Cisarua.

3. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk dalam mengkonversi lahan di hulu sungai.

1.4. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dan para pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan penggunaan lahan yang dikonversi dan melakukan perbaikan tata guna lahan di Kabupaten Bogor pada umumnya dan Kecamatan Cisarua pada khususnya.

2. Para pengguna lahan dan pemilik lahan untuk memperoleh gambaran mengenai prospek dan peluang pemanfaatan lahan di Kabupaten Bogor pada umumnya dan Kecamatan Cisarua pada khususnya.

3. Para akademisi sebagai bahan tambahan dan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini akan menghadapi keterbatasan sebagai berikut:

(19)

2. Konversi lahan yang dibahas dalam penelitian ini hanya dilihat dari luasan sawah, perkebunan dan hutan.

3. Variabel-variabel yang diteliti pada penelitian ini berupa data harga lahan setiap meter, luasan lahan hijau (sawah, hutan, dan perkebunan), pemukiman, penduduk masing-masing desa, DAS hulu Ciliwung, serta data konversi lahan berupa lahan hijau dan pemukiman di hulu Ciliwung.

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konversi Lahan

Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan tersebut. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan atau penyesuaian penggunaan disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik (Utomo et al. 1992). Menurut Houghton (1991) terdapat tujuh tipe perubahan tata guna lahan dalam perubahan stok karbon, yaitu konversi ekosistem alami menjadi ladang, konversi ekosistem alami menjadi lahan pertanian budidaya, ladang terbengkalai, peternakan terbengkalai, hutan produksi kayu, dan daerah penghijauan.

Sihaloho (2004) menjelaskan bahwa konversi lahan adalah alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian atau dari lahan non pertanian ke lahan pertanian. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dijelaskan bahwa konversi lahan dipengaruhi dua faktor utama, yaitu:

1. Faktor pada aras makro yang meliputi perubahan industri, pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah, dan kemiskinan ekonomi.

(21)

Perubahan penggunaan RTH menjadi non RTH berlangsung dengan cepat tanpa dilakukan upaya pengendalian. Artinya, peraturan atau kebijakan yang ditetapkan tidak mampu menekan laju perubahan penggunaannya, tujuan pemanfaatan lahan untuk mencapai optimalisasi produksi, keseimbangan penggunaan, dan kelestarian pemanfaatan lahan akan terancam.

2.2. Fungsi Utama Lahan

Jayadinata (1999) memaparkan bahwa tanah berarti bumi, sedangkan lahan merupakan tanah yang sudah ada peruntukan dan umumnya ada pemiliknya. Luas lahan dipengaruhi oleh pendapatan individu. Utomo et al. (1992) menyatakan bahwa lahan sebagai modal alami utama yang melandasi kegiatan kehidupan, memiliki dua fungsi dasar, yaitu:

1. Fungsi kegiatan budidaya, memiliki makna suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti pemukiman, perkebunan, perkotaan maupun pedesaan, hutan produksi, dan lain-lain.

2. Fungsi lindung, memiliki makna suatu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, nilai sejarah, dan budaya bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya.

(22)

1. Nilai keuntungan, dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual beli lahan di pasaran bebas.

2. Nilai kepentingan umum, yang dihubungkan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat

3. Nilai sosial, yang merupakan hal mendasar bagi kehidupan yang dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan, dan sebagainya.

Fungsi lahan yaitu digunakan untuk pemukiman, perkebunan, industri, perkotaan maupun pedesaan, serta sebagai nilai budaya dan kelestarian lingkungan. Kategori lahan berupa nilai keuntungan, nilai kepentingan umum, dan nilai sosial. Ketiga kategori tersebut menunjukan bahwa alasan setiap individu menggunakan lahan dipengaruhi oleh tujuan yang berbeda-beda.

2.3. Harga Lahan

Nilai lahan secara definisi diartikan sebagai kekuatan nilai dari lahan untuk dipertukarkan dengan barang lain yang dapat didefinisikan sebagai harga (diukur dalam satuan uang) yang dikehendaki oleh penjual dan pembeli. Nilai lahan merupakan harga lahan yang diukur dalam satuan uang per meternya (Michalski et al. 2010)

(23)

mengalami penurunan secara teratur menjauhi pusat kota (Berry 2008) dalam (Yunus 2006).

Penelitian Jamal (2001), di Kabupaten Karawang Jawa Barat, harga jual lahan yang diterima petani dalam proses alih fungsi lahan secara signifikan dipengaruhi oleh status lahan, jumlah tenaga kerja yang terserap di lahan tersebut, jarak dari saluran tersier, jarak dari jalan, dan jarak dari kawasan industri atau pemukiman. Sementara itu produktivitas lahan, jenis irigasi, dan peubah lain tidak berpengaruh signifikan.

Faktor-faktor penentu harga lahan antara lain adalah kondisi dan lokasi lahan. Kondisi lahan dapat menentukan tingkat harga lahan, semakin baik kondisi lahan yang ada, semakin mahal harga lahan tersebut. Lokasi juga menentukan harga lahan yang ditentukan oleh jarak lokasi lahan terhadap akses umum seperti pusat perbelanjaan, rumah sakit, tempat wisata, dan lain-lain.

2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan

Proses alih fungsi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh dua faktor, yaitu: sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah, dan sistem non kelembagaan yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat. Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah antara lain direpresentasikan dalam bentuk terbitnya beberapa peraturan mengenai konversi lahan.

(24)

kebudayaan suatu masyarakat. Pertumbuhan penduduk menyebabkan persediaan lahan semakin kecil.

Persediaan lahan akan semakin kecil seiring dengan adanya alih fungsi lahan yang terus terjadi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ismail (2010) mengenai konversi lahan di Kota Medan, diketahui bahwa konversi lahan mengakibatkan: (1) penurunan luas lahan pertanian di Kota Medan dari tahun 2001 sampai 2008 sebesar 4 088 ha atau berkurang sebesar 36.5 % dari luas lahan pertanian tahun 2001, (2) hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi keputusan petani dalam menjual lahan mereka adalah produktivitas dan proporsi pendapatan dengan derajat kepercayaan 5 %, sedangkan untuk variabel yang tidak signifikan adalah harga jual lahan dan luas lahan, sedangkan untuk faktor kebijakan dan pajak tidak langsung mempengaruhi keputusan petani dalam mengkonversi lahannya.

Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan lahan yang semakin meningkat. Hal ini mendorong penjualan lahan yang dilakukan oleh penduduk dan petani. Faktor utama yang mendorong penduduk dan petani menjual lahan yang dimiliki karena produktivitas hasil pertanian yang dihasilkan terlalu kecil sehingga pendapatan yang diperoleh petani menjadi rendah dan tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari sehingga petani tertarik untuk mengubah fungsi dan menjual lahan yang dimiliki.

2.5. Dampak Konversi Lahan

(25)

indikator kesejahteraan masyarakat desa. Antara (2002) menyatakan bahwa

konversi lahan sawah untuk kepentingan non pertanian (pariwisata, pemukiman,

industri kecil, dan prasarana bisnis) saat ini sudah berada pada titik yang sangat

mengkhawatirkan. Tahun 1977 luas lahan sawah di Bali ± 98 000 ha dan tahun

1998 tinggal 87 850 ha. Ini berarti dalam kurun waktu ± 20 tahun terjadi

penyusutan lahan seluas 10 150 ha, atau 11.5 %. Bahkan selama lima tahun

terakhir, penyusutan seluas 727 ha/tahun.

(26)

III. KERANGKA PENELITIAN

3.1. Kerangka Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini berisi landasan teori yang menjadi dasar dalam menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang diuraikan meliputi konsep dasar dari faktor-faktor pengaruh konversi lahan, laju konversi lahan, dan keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan. Selain itu, berisi penjelasan mengenai keterkaitan antara ketiga tujuan tersebut.

3.1.1. Laju Konversi Lahan

Panuju (2009) menjelaskan konversi lahan memiliki tingkat pertumbuhan yang berbeda setiap tahun. Hal ini dinyatakan dengan laju konversi lahan. Laju konversi lahan merupakan perbandingan tingkat perubahan luas penggunaan lahan tertentu terhadap penggunaan lahan sebelumnya, dimana pertambahan tersebut berbanding lurus dengan pertambahan jumlah penduduk. Pertambahan luas wilayah dapat diwakilkan dengan pertambahan jumlah penduduk. Laju konversi lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju konversi secara parsial dan kontinu (Sutandi 2009). Adapun laju konversi secara parsial dapat dijelaskan sebagai berikut:

V= L L

L 100%...(3.1)

dimana:

V = Laju konversi lahan (%)

Lt = Luas lahan saat ini/tahun ke-t (ha) Lt-1 = Luas lahan tahun sebelumnya (ha)

(27)

y(t) = a + b t

y(t) = a ebt > ln y(t) = ln a + b t……..…….………..……...………….(3.2) dimana:

y(t) = Luas lahan yang dikonversi pada tahun ke-t (ha) a = Nilai intersep (ha)

t = Tahun

b = Laju konversi lahan e = Error term

Besarnya laju konversi lahan dapat dilihat dari persentase nilai yang diperoleh. Berdasarkan nilai yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa semakin besar nilai persentase, maka semakin tinggi tingkat konversi lahan yang terjadi di wilayah tersebut.

3.1.2. Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian Keterkaitan antara harga lahan dengan laju konversi lahan merupakan gambaran tentang dugaan kegiatan konversi yang dipengaruhi variabel-variabel. Irianto (2008) menyatakan bahwa model statistik merupakan alat bantu untuk memberikan gambaran atas suatu kejadian melalui bentuk yang sederhana, baik berupa angka-angka maupun grafik-grafik.

3.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan

(28)

lahan yang dimiliki, tingkat pendapatan, lama menetap, dan luas lahan yang dimiliki.

Perubahan industri merupakan salah satu faktor makro yang berkembang pesat di daerah hulu Sungai Ciliwung yaitu industri pariwisata. Pemanfaatan lahan oleh industri pariwisata cukup besar. Hal ini terbukti dari bertambahnya jumlah vila akhir-akhir ini. Tingginya tingkat permintaan pariwisata secara tidak langsung mempengaruhi sektor lain, seperti penginapan, tempat makan, peristirahatan, dan lain-lain.

Faktor makro lainnya yaitu pertumbuhan penduduk yang dapat menyebabkan perubahan tata guna lahan. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan bertambahnya kebutuhan lahan untuk tempat tinggal. Secara tidak langsung ruang terbuka hijau yang ada di wilayah tersebut dikonversi menjadi tempat tinggal. Selain itu, kemiskinan ekonomi juga merupakan faktor makro yang mempengaruhi konversi lahan. Kemiskinan ekonomi dalam hal ini disebabkan karena kesejahteraan petani cukup rendah. Produktivitas petani sangat rendah, sehingga petani beralih profesi dan berusaha mendapatkan modal dengan cara menjual lahan pertanian sebagai modal untuk berusaha di bidang lain.

(29)

3.1.4. Hipotesis

Berdasarkan persamaan regresi sederhana di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Harga lahan berpengaruh positif terhadap konversi lahan. Apabila harga lahan semakin tinggi, maka pemilik lahan akan semakin tertarik untuk menjual lahan yang dimiliki, akibatnya konversi lahan akan semakin tinggi.

2. Lama menetap berpengaruh positif terhadap konversi lahan. Semakin lama pemilik lahan tinggal di daerah tersebut maka kebutuhan rumah tangga tersebut akan meningkat dikarenakan adanya pertambahan anggota keluarga maupun adanya peningkatan keperluan hidup sehari-hari. Sehingga kecenderungan untuk menjual lahan menjadi besar dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, akibatnya konversi lahan menjadi tinggi.

3. Jumlah tanggungan berpengaruh positif terhadap konversi lahan. Semakin banyak jumlah tanggungan dalam keluarga maka konversi lahan akan semakin tinggi.

4. Tingkat pendapatan berpengaruh negatif terhadap konversi lahan. Apabila tingkat pendapatan suatu rumah tangga tinggi, maka konversi lahan semakin rendah.

5. Luas lahan yang dimiliki berpengaruh positif terhadap konversi lahan. Semakin besar luas lahan yang dimiliki maka lahan yang dijual semakin tinggi.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

(30)

terbuka hijau yang telah rusak merupakan salah satu penyebab kejadian tersebut. Selain itu, pertumbuhan jumlah penduduk dan meningkatnya pembangunan luas pemukiman juga diduga menjadi pemicu kurangnya daya resapan air di daerah hulu sehingga menyebabkan debit air yang dialirkan ke hilir menjadi semakin besar.

Kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini adalah keterkaitan antara tahapan pelaksanaan penelitian dengan tujuan penelitian. Peneliti melakukan analisis laju konversi lahan dari data konversi lahan yang diperoleh dari Kecamatan untuk menjawab tujuan pertama dalam penelitian ini. Kajian mengenai laju konversi lahan tersebut bertujuan untuk melihat persentase untuk mengetahui seberapa besar lahan yang dikonversi. Berikutnya peneliti melakukan analisis keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di hulu sungai yang merupakan daerah resapan air. Analisis menggunakan salah satu model statistik yaitu metode korelasi Pearson.

(31)

Gambar 3. Diagram Alur Berpikir

Pembangunan Pemukiman dan Vila Konversi Lahan di

Daerah Hulu

Potensi Banjir di Daerah Hilir

(32)

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan Kecamatan Cisarua merupakan letak hulu Sungai Ciliwung. Lokasi tersebut saat ini telah mengalami konversi lahan dan diduga menjadi salah satu penyebab banjir di daerah hilir. Pengambilan data primer dilakukan pada bulan Maret hingga April 2011. Data diperoleh melalui survei lapang dan wawancara yang dilakukan terhadap penduduk dan aparat kecamatan dan aparat kedua wilayah tersebut. Ada pun perubahan tata guna lahan di kawasan Cisarua pada tahun 2000 ke tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.

Tahun 2000 Tahun 2009

Sumber: Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung, 2010

(33)

Peta guna lahan menunjukkan perubahan yang cukup signifikan dari tahun 2000 hingga tahun 2009. Warna hijau tua pada gambar menunjukkan luas hutan yang ada, sedangkan warna hijau muda menunjukkan kawasan perkebunan. Berdasarkan gambar tersebut, luas perkebunan dari tahun 2000 ke tahun 2009 mengalami penurunan. Hal ini diduga disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk yang dapat menyebabkan tingginya pemukiman yang didirikan.

Warna merah pada gambar tersebut menunjukkan pemukiman dan bangunan yang terdapat di kawasan Kecamatan Cisarua. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa jumlah pemukiman di Kecamatan Cisarua cenderung bertambah. Hal ini ditunjukkan oleh kawasan berwarna merah yang semakin meluas di tahun 2009. Perubahan tersebut menunjukkan telah terjadi konversi lahan di Kecamatan Cisarua dan hal tersebut menjadi latar belakang dari penelititan ini.

4.2. Jenis dan Sumber Data

(34)

penduduk, jumlah vila, jumlah obyek wisata, luas jalan, dan luas konversi lahan yang diperoleh dari pemerintah dan aparat di Kecamatan Cisarua.

4.3. Metode Pengambilan Sampel

Penentuan desa dilakukan secara purposive, sedangkan untuk penentuan lokasi pengambilan data primer yaitu rukun warga (RW) dilakukan dengan cara justified. RW yang dipilih di Desa Tugu Utara merupakan tempat terdekat dengan stasiun pengamatan aliran sungai (SPAS) yang memantau besarnya debit air sungai. Sedangkan untuk Kelurahan Cisarua dipilih RW yang memiliki jumlah penduduk terpadat yang menjadi salah satu penyumbang debit air pada DAS hulu Sungai Ciliwung.

Penentuan responden dilakukan dengan stratified random sampling, yaitu membagi populasi dalam kelompok yang homogen lebih dahulu, atau dalam strata. Anggota sampel ditarik dari setiap strata (Nazir 1988). Sampling frame dari penelitian adalah penduduk yang pernah menjual lahan yang dimiliki. Responden telah menetap lebih dari lima tahun, pernah menjual lahan yang dimiliki, serta dapat berkomunikasi dengan baik. Hal ini dilakukan agar peneliti memperoleh responden yang berpengalaman sehingga diperoleh informasi yang mendalam mengenai laju konversi lahan serta hubungannya terhadap harga lahan. Responden diambil sebanyak 40% persen dari sampling frame tersebut.

4.4. Metode dan Prosedur Analisis

(35)

1 menyajikan keterkaitan antara tujuan penelitian, sumber data dan metode analisis data.

Tabel 1. Matriks Metode Analisis Data

No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data 1 Mengidentifikasi laju

konversi lahan di Kecamatan Cisarua

Data sekunder Persamaan laju

konversi lahan (parsial dan kontinu)

2 Menganalisis pengaruh harga lahan terhadap laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua

Data sekunder Metode Korelasi Pearson

3 Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi

Terdapat tiga tahapan dalam menentukan laju konversi lahan. Tahap pertama mengidentifikasi luas wilayah pada tahun ke-t yang berarti tahun saat terjadinya konversi lahan. Tahap kedua, mengidentifikasi luas wilayah pada kondisi awal atau kondisi sebelum tahun ke-t-1. Tahap terakhir adalah mengkalkulasikan perubahan luas wilayah lahan dengan melihat perbandingan antara perubahan luas wilayah lahan tahun ke-t terhadap luas wilayah lahan tahun ke-t-1.

4.4.1.1. Model Laju Konversi Lahan

(36)

Laju konversi parsial:

V=

L L

L

x

100%...(4.2)

dimana:

V = Laju konversi lahan ( %)

Lt = Luas lahan saat ini/ tahun ke-t (ha) Lt-1 = Luas lahan tahun sebelumnya (ha)

Laju konversi lahan (%) dapat ditentukan dengan nilai selisih luas lahan pada tahun ke-t dengan luas lahan tahun sebelumnya, dibagi luas lahan tahun sebelumnya, kemudian dikalikan dengan 100 %. Apabila laju konversi lahan yang akan di analisis pada tahun 2002, maka luas lahan pada tahun 2002 dikurangi dengan luas lahan tahun 2001, kemudian dibagi dengan luas lahan pada tahun 2001, lalu dikalikan dengan 100 %. Hal ini dapat dilakukan pada tahun-tahun berikutnya, dengan demikian kita dapat memperoleh hasil bahwa pada tahun berapa yang terjadi laju konversi lahan tertinggi terjadi.

Selain laju konversi lahan secara parsial, analisis juga dapat dilakukan dengan melihat laju konversi secara kontinu. Metode ini berfungsi untuk melihat laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua selama 10 tahun. Sehingga apabila hasil analisis ini diperoleh maka dapat diketahui bagaimana perkembangan tata guna lahan dari wilayah tersebut.

Metode laju konversi lahan secara kontinu dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan (Nazir 1988):

y(t) = a + b t

y(t) = a ebt > ln y(t) = ln a + b t……..………...……...……….(4.3) dimana:

(37)

a = Nilai intersep (ha)

Korelasi Pearson merupakan salah satu ukuran korelasi yang digunakan untuk mengukur kekuatan dan arah hubungan linier dari dua variabel. Dua variabel dikatakan berkorelasi apabila terjadi perubahan variabel satu terhadap variabel lainnya, baik dalam arah yang sama maupun sebaliknya.

Metode korelasi Pearson digunakan untuk melihat korelasi harga lahan terhadap laju konversi lahan secara makro di Kecamatan Cisarua. Korelasi Pearson merupakan metode yang digunakan untuk melihat korelasi antara variabel-variabel yang terkait. Metode ini menggunakan data-data interval maupun rasio. Pengambilan sampel dari populasi harus random, dengan variasi yang skor kedua variabel yang akan dicari memiliki korelasi sama, dan diduga memiliki hubungan linier. Korelasi Pearson dapat dihitung dengan rumus (Santoso 2007):

∑ ∑

……….………..…(4.4)

Atau dapat dihitung dengan rumus Pearson yang lain, yaitu:

∑ ∑ ∑

∑ ∑ ∑ ∑ ……….…...……….…………(4.5)

dimana:

= Rata-rata data variabel X X = Data variabel X

(38)

Hasil perhitungan korelasi di atas berada pada selang -1≤ r ≤ 1, yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar. Pertama, korelasi positif kuat, terjadi apabila perhitungan korelasi mendekati +1 atau sama dengan +1. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan skor atau nilai pada variabel X akan diikuti dengan kenaikan skor atau nilai variabel Y. Sebaliknya, jika variabel X mengalami penurunan, maka akan diikuti dengan penurunan variabel Y. Kedua, korelasi negatif kuat, terjadi apabila perhitungan korelasi mendekati 1 atau sama dengan -1. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan skor atau nilai pada variabel X akan diikuti dengan penurunan skor atau nilai variabel Y. Sebaliknya, jika variabel X mengalami penurunan, maka akan diikuti dengan kenaikan variabel Y. Ketiga, tidak ada korelasi, terjadi apabila perhitungan korelasi mendekati 0 atau sama dengan 0. Hal ini berarti bahwa naik turunnya skor atau nilai satu variabel tidak mempunyai kaitan dengan naik turunnya skor atau nilai variabel yang lainnya. Apabila skor atau nilai variabel X naik tidak selalu diikuti dengan naik atau turunya skor atau nilai variabel Y, demikian juga sebaliknya.

Hal lain yang harus diperhatikan yaitu standarisasi. Salah satu keterbatasan kovarian sebagai ukuran kekuatan hubungan linier adalah arah/besarnya gradien

yang tergantung pada satuan dari kedua variabel tersebut. Misalnya, kovarian

antara serapan N (%) dan hasil padi (ton) akan jauh lebih besar apabila satuan %

(1/100) kita konversi ke ppm (1/sejuta). Agar nilai kovarian tidak tergantung

kepada unit dari masing-masing variabel, maka kita harus membakukannya

terlebih dahulu yaitu dengan cara membagi nilai kovarian tersebut dengan nilai

standar deviasi dari kedua variabel tersebut sehingga nilainya akan terletak antara

(39)

correlation yang mengukur kekuatan hubungan linier (garis lurus) dari kedua

variabel tersebut. Koefisien korelasi linear kadang-kadang disebut sebagai

koefisien korelasi Pearson untuk menghormati Karl Pearson (1857-1936), yang

pertama kali mengembangkan ukuran statistik ini.

Variabel-variabel yang akan dilihat hubungannya antara lain harga lahan per meter persegi, jumlah penduduk, jumlah vila, jumlah obyek wisata, dan luas konversi lahan tahun 2001 hingga 2010. Melalui variabel-variabel tersebut kita dapat melihat bagaimana hubungan antara variabel yang satu dengan yang lain. Interpretasi hasil perhitungan Pearson meyatakan jika hasil tersebut negatif, positif, maupun nol akan menunjukan pola hubungan antar variabel tersebut, apakah saling mempengaruhi atau tidak.

4.4.3. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan

Analisis data yang digunakan dalam mengkaji faktor-faktor pengaruh konversi lahan adalah analisis regresi linier berganda. Tujuannya adalah membuat suatu deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta. Analisis regresi linier berganda melalui beberapa tahapan dalam menentukan nilai a dan b pada koefisien-koefisien di atas maka digunakan perumusan sebagai berikut:

Y = a + β1X1 + β 2X2 + β 3X3 + β 4X4 + β 5X5 + ε ………..…(4.1) dimana:

Y = Luas lahan yang dikonversi (Ha)

a = Intersep

X1 = Variabel harga lahan yang dijual (Rp/m2) X2 = Variabel lama menetap (tahun)

(40)

X5 = Variabel luas lahan yang dimiliki (m2)

β 1, β 2, … β 5 = Koefisien regresi

ε = Error term

Analisis regresi linier berganda merupakan alat untuk memperoleh suatu prediksi di masa lalu maupun yang akan datang dengan dasar keadaan saat ini. Prediksi dalam hal ini bukanlah merupakan hal yang pasti, namun mendekati kebenaran. Tahapan penentuan nilai a dan b dapat dicari dengan teknik eliminasi dimana dilakukan dengan cara menghilangkan satu demi satu bagian sehingga diperoleh nilai pernilai.

Regresi linier sederhana dengan variabel ganda adalah analisis statistik yang mencakup hubungan banyak variabel. Apabila dijumpai satu variabel terikat yang dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas dalam mempengaruhi variabel terikat itu bermacam, sehingga bentuk hubungannya pun tentunya berbeda-beda. Sifat hubungan berjenjang sering kali terjadi dalam kajian ilmu sosial. Variabel lain menjembatani pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat tersebut dengan variabel antara. Variabel bebas itu sendiri mempunyai pola hubungan yang tidak tetap. Artinya bisa benar-benar bebas, berkorelasi tetapi tidak signifikan atau mempunyai hubungan yang tidak erat.

(41)

Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan bahwa model yang telah dihasilkan adalah baik. Menurut Sutandi (2009), model yang baik haruslah memenuhi beberapa uji asumsi pelanggaran, seperti:

1. Kriteria Ekonomi

Model yang diuji berdasarkan kriteria ekonomi akan dilihat tandan dan besaran tiap koefisien dugaan yang telah diperoleh. Kriteria ekonomi mensyaratkan tanda dan besaran yang terdapat pada tiap koefisien dugaan sesuai dengan teori ekonomi. Apabila model tersebut memenuhi kriteria ekonomi, maka model tersebut dapat dikatakan baik secara ekonomi, namun, apabila kriteria tersebut tidak memenuhi standar ekonomi maka model tersebut tidak dapat dikatakan baik secara ekonomi.

2. Kriteria Statistik dan Ekonometrika

Ada beberapa uji yang dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian model regresi yang telah didapatkan secara statistika dan ekonometrika. Uji tersebut adalah sebagai berikut:

a. Uji Normalitas

(42)

b. Uji Multikolinieritas

Model yang melibatkan banyak peubah bebas sering terjadi masalah Multikolinieritas, yaitu terjadinya korelasi yang kuat antar peubah bebas. Masalah ini dapat dilihat langsung melalui output komputer, dimana apabila nilai Varian Inflaction Factor (VIF) < 10 maka tidak ada masalah multikolinieritas. Hal ini berarti bebas uji asumsi pelanggaran dan persamaan yang digunakan merupakan persamaan yang baik dan tidak terdapat pelanggaran.

c. Uji Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi metode penggunaan kuadrat terkecil adalah Homoskedastisitas, yaitu ragam galat konstan dalam setiap amatan. Pelanggaran atas asumsi Homoskedastisitas adalah Heteroskedastisitas. Masalah Heteroskedastisitas dapat dideteksi dengan uji glejser. Uji glejser dilakukan dengan meregresikan variabel-variabel bebas terhadap nilai absolut residualnya. Jika nilai signifikannya dari hasil uji gletser lebih besar dari α (5 %) maka tidak terdapat Heteroskedastisitas.

d. Uji Autokorelasi

(43)

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN

5.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Cisarua terletak di kaki Gunung Gede-Pangrango tepatnya di selatan wilayah Kabupaten Bogor pada 06o 42’ LS dan 106o 56’ BB. Ketinggian dari permukaan laut antara 650–1 400 m dpl dengan curah hujan rata-rata 3 178 mm/th dan suhu udara antara 17.85o C – 23.91o C. Secara administratif Kecamatan Cisarua terdiri atas sembilan desa dan satu kelurahan, 33 dusun, 73 RW, dan 260 RT, dengan luas wilayah 6 373.62 ha. Batas wilayah Kecamatan Cisarua sebelah utara dan barat adalah Kecamatan Megamendung, sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur.

Kecamatan Cisarua merupakan wilayah yang menjadi salah satu obyek wisata nasional. Kecamatan ini dekat dengan lokasi wisata andalan Provinsi Jawa Barat, seperti Puncak, Taman Wisata Matahari, dan Taman Safari Indonesia. Wilayah ini memiliki kondisi alam yang masih asri, udara yang sejuk, dan pemandangan yang indah. Hal ini menimbulkan minat wisatawan untuk menjadikan wilayah ini sebagai tempat peristirahatan dan rekreasi. Banyaknya wisatawan yang datang ke wilayah tersebut mengakibatkan tingginya pembangunan tempat-tempat peristirahatan seperti vila, perhotelan, dan rumah singgah. Wilayah yang menjadi lokasi pengambilan contoh dalam penelitian ini adalah Kelurahan Cisarua dan Desa Tugu Utara.

(44)

Cibeureum, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Citeko dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Batulayang. Keempat wilayah tersebut masih berada dalam kawasan Kecamatan Cisarua. Curah hujan sebesar 3 330 mm/tahun, kelembaban dengan suhu rata-rata 26oC-14oC, serta bentuk wilayah yang berbukit. Kelurahan Cisarua merupakan wilayah yang paling padat penduduknya di antara desa yang ada di Kecamatan Cisarua,

Letak geografis Desa Tugu Utara terletak pada 6.67o LS dan 106.97o BT dengan luas wilayah sebesar 1 703 ha. Wilayah ini terletak paling dekat dengan hulu Sungai Ciliwung jika dibandingkan dengan wilayah lain yang ada di Kecamatan Cisarua. Batas wilayah sebelah utara dan barat berbatasan dengan Desa Batulayang, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tugu Selatan, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Ciloto. Desa ini terletak di ketinggian 650-1 200 m dari permukaan laut. Suhu maksimum/minimum 23.9650-1oC–17.85oC. Curah hujan rata-rata 3 178 mm/tahun.

5.2. Karakteristik Umum Responden

Karakteristik umum responden di Kecamatan Cisarua diperoleh berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 50 orang penduduk asli yang sudah pernah menjual lahan yang dimiliki. Karakteristik umum responden ini dilihat dari beberapa variabel meliputi jenis kelamin dan usia, pendidikan formal, luas lahan, dan status kepemilikan lahan, tingkat pendapatan, serta lama menetap di lokasi. 5.2.1. Jenis Kelamin dan Usia

(45)

Utara terdiri dari 52 % pria dan 48 % wanita sedangkan di Kelurahan Cisarua terdiri dari 44 % pria dan 56 % wanita.

Responden memiliki tingkat usia yang bervariasi. Kisaran usia tersebut dimulai dari 23 hingga 85 tahun. Ada pun usia rata-rata responden secara keseluruhan adalah 51 tahun. Dominics (2009) menyatakan bahwa kategori usia dibagi tiga, yaitu usia muda (0-35 tahun), usia paruh baya (35-58 tahun), dan usia tua (>58 tahun). Responden dengan tingkat usia paruh baya sangat mendominasi di kedua wilayah tersebut. Kelurahan Cisarua dengan tingkat usia paruh baya sebanyak 76 %, usia tua sebanyak 20 %, dan sisanya 4 % tingkat usia muda. Sedangkan Desa Tugu Utara berusia paruh baya sebanyak 56 %, usia tua sebanyak 36 %, dan usia muda sebanyak 8 %.

5.2.2. Pendidikan Formal Responden

(46)

Desa Tugu Utara Kelurahan Cisarua

Sumber: Data Primer (diolah)

Gambar 5. Karakteristik Responden di Kecamatan Cisarua Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2011

Tingkat pendidikan responden di kedua wilayah berbeda disebabkan karena perbedaan tingkat usia dan pendapatan rumah tangga yang cukup jauh. Tingkat pendapatan responden di Desa Tugu Utara jauh lebih kecil dibandingkan dengan Kelurahan Cisarua. Hal ini menyebabkan ketidakmampuan responden untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Adanya responden yang tidak bersekolah di Desa Tugu Utara disebabkan karena pada saat responden berusia sekolah belum tersedia sarana pendidikan di wilayah tersebut, mengingat pada saat itu responden berada pada zaman penjajahan Belanda.

5.2.3. Luas dan Status Kepemilikan Lahan

Luas lahan yang dimiliki oleh responden saat menjual lahan sangat bervariasi. Kisaran luas lahan yang dimiliki responden Desa Tugu Utara mulai dari 0.0049 sampai dengan satu hektar dengan rata-rata kepemilikan lahan sebesar 0.2114 ha. Persentase penduduk yang memiliki luas lahan di bawah rata-rata sebesar 72 %. Sementara kepemilikan lahan di Kelurahan Cisarua jauh lebih sedikit dibandingkan di Desa Tugu Utara yaitu mulai dari 0.0035 sampai 0.1600 ha dengan rata-rata kepemilikan lahan seluas 0.0191 ha. Sebanyak 84 % responden memiliki lahan di bawah 0.0191 ha. Umumnya luas lahan yang

(47)

dimiliki responden di Tugu Utara lebih luas jika dibandingkan dengan kepemilikan lahan yang dimiliki responden di Kelurahan Cisarua. Hal ini disebabkan karena lahan yang dimiliki responden Desa Tugu Utara merupakan lahan pengalihan dari lahan pemerintah menjadi lahan garapan milik rakyat. Sebanyak 76 % dari responden memiliki tanah dengan status garapan dan sisanya telah memiliki surat tanah. Selain itu, sebanyak 80 % responden di Kelurahan Cisarua memiliki status lahan berupa girik dan sisanya memiliki surat tanah. 5.2.4. Tingkat Pendapatan

Tingkat pendapatan responden di kedua wilayah termasuk rendah. Pendapatan penduduk per bulan di Desa Tugu Utara rata-rata sebesar Rp 754 600.00 dan Kelurahan Cisarua sebesar Rp 2 044 000.00. Pendapatan penduduk di Desa Tugu Utara cenderung lebih rendah mengingat banyak penduduk yang tidak memiliki mata pencaharian tetap. Selain itu banyak responden yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup untuk mendapatkan penghasilan lebih.

Rendahnya penghasilan responden di Desa Tugu Utara disebabkan oleh rendahnya pilihan lapangan kerja. Hal tersebut menyebabkan responden yang pada mulanya bekerja sebagai pemillik lahan, menjual lahan yang dimiliki. Setelah lahan dijual, responden berganti pekerjaan menjadi penjaga vila yang dibangun di lahan yang telah dijual tersebut.

(48)

memperoleh lapangan pekerjaan yang lebih layak. Responden di Desa Tugu Utara pada umumnya bekerja sebagai penjaga vila dan di Kelurahan Cisarua sebagian besar responden bekerja sebagai wiraswasta.

5.2.5. Lama Menetap di Lokasi

Responden sebagian besar merupakan penduduk asli yang sudah sejak lahir tinggal di kedua wilayah tersebut dan merupakan penduduk asli. Responden di Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua sebagian besar telah menetap selama 41 hingga 85 tahun, masing-masing sebesar 48 % dan 40 %, sisanya telah menetap di bawah 40 tahun. Persentase lama menetap dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini.

Desa Tugu Utara Kelurahan Cisarua

Sumber: Data Primer (diolah)

Gambar 6. Karakteristik Responden di Kecamatan Cisarua Berdasarkan Lama Menetap Tahun 2011

41‐85   tahun

21‐40   tahun

<20   tahun

41‐85   tahun

21‐40   tahun

(49)

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1. Laju Konversi Lahan

Penelitian ini dilakukan pada tingkat makro dengan menggunakan data sekunder mengenai harga lahan rata-rata pada Kecamatan Cisarua dari tahun 2001 hingga 2010. Analisis dilakukan untuk mengetahui laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua secara parsial dan secara kontinu. Laju secara parsial merupakan analisis yang memperlihatkan perubahan penggunaan lahan yang dari tahun ke tahun dimana perubahan tersebut mengacu pada penggunaan lahan di tahun sebelumnya. Perubahaan laju tertinggi dapat dilihat pada laju parsial. Sedangkan laju secara kontinu merupakan analisis yang digunakan untuk melihat perubahan laju secara keseluruhan dari tahun yang ada, sehingga perubahan yang terjadi pada daerah tersebut dapat diamati pada daerah tersebut. Laju konversi lahan dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini.

Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutanan dan Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman Kabupaten Bogor Tahun 2011

Gambar 7. Laju Luasan Lahan Pemukiman dan Lahan Pertanian di Kecamatan Cisarua Tahun 2001-2010

Secara parsial, laju konversi lahan sawah, perkebunan, dan hutan yang paling tinggi selama 10 tahun terakhir terjadi pada tahun 2006 dan tahun 2010. Terdapat perambahan sawah, perkebunan, dan hutan yang terjadi pada tahun

(50)

2006. Pembeli yang telah membeli lahan di Kecamatan Cisarua langsung membangun usaha di atas lahan yang dimiliki dan mengalihkan fungsi lahan tersebut, baik dengan membangun vila maupun tempat usaha lainnya. Kurangnya kesadaran pembeli lahan akan fungsi lingkungan membuat pembeli lahan langsung mendirikan bangunan di daerah resapan air tanpa berpikir tentang dampak yang akan ditimbulkan. Pembangunan yang dilakukan akan menyebabkan penebangan dan pengurangan lahan sawah serta perkebunan. Penebangan dilakukan di wiilayah yang pada awalnya merupakan sawah, perkebunan, dan hutan. Setelah fungsinya berubah segera didirikan bangunan untuk kepentingan pribadi masing-masing pemilik lahan.

Penurunan jumlah luasan lahan sawah, perkebunan, dan hutan diikuti dengan pertambahan luas pemukiman. Gambar 7 menunjukkan bahwa pada tahun 2006 jumlah luasan pemukiman meningkat hingga 8.06 % dari tahun sebelumnya. Selain itu terjadi perpindahan penduduk yang cukup besar pada tahun tersebut. Hal ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan tempat tinggal seperti pemukiman dan vila di lokasi tersebut.

(51)

Kecamatan Cisarua memiliki wilayah terbangun yang pada awalnya merupakan wilayah pertanian. Daerah sawah, perkebunan, dan hutan banyak dihilangkan untuk tujuan para developer sebagai tempat penginapan, areal parkir, maupun areal rekreasi dengan tujuan mendapatkan pemandangan yang indah bagi para wisatawan. Hal ini belum sesuai dengan ketentuan yang dibuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 yang mengatur penyusunan RTRW dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi masalah pembangunan liar tersebut. Kebijakan tersebut antara lain seperti pembongkaran vila-vila yang berdiri pada wilayah lindung dan yang tidak memiliki IMB, memperketat perizinan pembangunan wilayah di Kecamatan Cisarua, dan menetapkan pajak yang tinggi untuk pembangunan tempat wisata.

Besarnya pajak untuk tempat wisata tersebut mencapai 15 % dari total jumlah pemasukan yang diperoleh tempat wisata tersebut. Meskipun pajak yang berlaku terbilang tinggi, hal tersebut tidak menghalangi niat investor untuk membangun daerah wisata mengingat banyaknya wisatawan yang datang berkunjung ke Kecamatan Cisarua. Hal ini dibuktikan dengan munculnya banyak obyek wisata pada wailayah Kecamatan Cisarua seperti dibangunnya kawasan obyek wisata Taman Wisata Matahari. Tempat ini merupakan objek wisata yang paling luas di Kecamatan Cisarua.

(52)

lainnya. Kawasan Puncak merupakan kawasan yang bersuasana pegunungan yang dapat diakses dengan mudah oleh berbagai asal pengunjung terutama pengunjung yang berasal dari wilayah Jabodetabek. Jarak yang relatif tidak terlalu jauh dari pusat ibu kota menimbulkan dampak kemacetan lalu lintas di hari libur. Umumnya kendaraan yang memasuki kawasan puncak pada hari libur mencapai angka 40 000. Hal tersebut membuktikan bahwa puncak sebagai wilayah yang baik dan tepat untuk pengmbangan pariwisata. Akibatnya, jumlah lahan pertanian berkurang dan pembangunan pemukiman semakin tinggi.

Selain pajak, kebijakan perizinan yang diterapkan oleh pemerintah berupa pembongkaran vila-vila yang berada pada kawasan lindung dan tidak memiliki IMB menjadi suatu solusi. Namun masih terdapat banyak kekurangan yang mengakibatkan kebijakan tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Kekurangan tersebut meliputi tidak tegasnya pemerintah dalam mengeksekusi lahan. Hal ini tergambar pada masih banyaknya bangunan yang tidak memiliki IMB yang tidak dibongkar oleh pemerintah. Sekitar 400 bangunan vila yang tidak memiliki IMB, dan baru 42 vila yang dibongkar pada tahun 2007.

(53)

tersebut. Kebijakan lainnya adalah dengan penetapan pajak yang tinggi sebesar 10% dari harga beli bangunan tersebut.

Laju konversi lahan terhadap luasan pemukiman tertinggi terjadi pada tahun 2006 dan tahun 2010. Hal ini dibuktikan dengan adanya pembangunan besar-besaran baik dari sektor pariwisata maupun tempat peristirahatan. Perkembangan jumlah vila sepanjang tahun 2001 hingga 2010 terus bertambah. Jumlah vila di kawasan ini pada tahun 2002 yaitu sebanyak 112 unit, dan meningkat menjadi sekitar 400 vila pada tahun 2006. Laju konversi ini juga diperparah dengan perkembangan jumlah obyek wisata di wilayah tersebut terus bertambah. Mulanya pada tahun 2001 hanya terdapat obyek wisata Puncak dan Taman Safari Indonesia, namun pada tahun 2006 bertambah satu obyek wisata baru.

Salah satu contoh obyek wisata baru yaitu didirikannya obyek wisata Taman Wisata Matahari. Tempat tersebut dibangun sebelum tahun 2006 dan telah selesai dibangun pada tahun 2007 dengan luas areal mencapai 30 ha. Saat ini obyek wisata tersebut menjadi obek wisata favorit wisatawan yang datang dan menjadi salah satu obyek wisata andalan di daerah tersebut.

(54)

tahun 2007. Tingginya tingkat pembangunan pemukiman di wilayah Cisarua menyebabkan rendahnya resapan air pada kantung-kantung resapan yang ada pada wilayah Cisarua.

Peristiwa banjir di Jakarta tahun 2007 merupakan bencana banjir yang terparah sepanjang 10 tahun terakhir. Hal ini selain disebabkan oleh sistem drainase yang buruk pada wilayah Jakarta dan juga disebabkan oleh banjir kiriman dari wilayah Bogor Puncak Cianjur yang mengalir melalui DAS Ciliwung. Banjir kiriman ini mengakibatkan 60 % wilayah Jakarta tergenang dengan kedalaman banjir hingga lima meter di beberapa titik. Pantauan di 11 pos pengamatan hujan milik Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan hujan yang terjadi mencapai 235 mm, hal ini merupakan tingkat curah hujan tertinggi selama kurun waktu 10 tahun. Banjir kiriman ini memakan korban sedikitnya 80 orang tewas baik karena terseret arus, tersengat listrik maupun sakit. Kerugian materi mencapai 4.3 triliun rupiah. Warga yang mengungsi mencapai 320 000 orang. Hal ini lebih parah dibandingkan dengan kejadian banjir yang terjadi pada tahun 20022. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya tingkat alih fungsi lahan merupakan salah satu penyebab rendahnya daya resap air yang dapat memicu terjadinya banjir kiriman dari daerah puncak.

Tahun 2007 ditemukan berbagai penyimpangan yang terjadi di Kecamatan Cisarua. Wilayah Desa Tugu Utara terdapat 400 vila liar yang seharusnya sudah diratakan dengan tanah. Namun pada saat itu hanya kurang dari 70 vila yang sudah dibongkar. Hal ini tidak sesuai dengan keputusan wakil presiden Jusuf

      

2

(55)

Kalla pada saat itu3. Pemerintah mengharapkan agar bangunan yang tidak memiliki izin dapat dibongkar karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Laju konversi lahan sawah, perkebunan, dan hutan berkurang akibat adanya penghijauan di wilayah tersebut. Kementerian Negara Lingkungan Hidup Indonesia (KNLH) menggagas penghijauan untuk menyelamatkan bumi pada tahun 2004. Salah satu tempat yang menjadi sasaran penghijauan adalah kawasan hulu Sungai Ciliwung yang terletak di Kecamatan Cisarua4. Seiring dengan dilakukannya penghijauan, maka pada tahun 2004 luasan wilayah pertanian menjadi bertambah yang pada mulanya seluas 1 986 ha menjadi 2 126 ha. Hal ini sangat dirasakan manfaatnya karena pohon yang ditanam dapat membentuk resapan air untuk mencegah risiko curah hujan yang berlebih di wilayah hulu.

Analisis laju konversi lahan selain diperoleh dengan cara parsial dapat juga dilakukan secara kontinu. Sepanjang tahun 2001 hingga 2010 laju secara kontinu konversi dari lahan sawah, perkebunan, dan hutan menjadi wilayah terbangun terjadi penurunan sebesar 2.28 % dari kondisi awal pada tahun 2001. Hal ini berarti pada Kecamatan Cisarua telah terjadi perubahan fungsi tata guna lahan akibat perambahan maupun penebangan liar sebanyak 2.28 % dari luasan lahan tahun 2001 hingga 2010. Konversi lahan tersebut tidak hanya diakibatkan oleh pembangunan pemukiman namun juga bisa terjadi akibat pembangunan materi-materi non pemukiman lainnya, seperti jalan, lapangan, dan lain-lain. Hasil analisis laju konversi lahan pertanian dapat dilihat pada persamaan berikut ini. Ln Y = 54.1 – 0,0228 t………..…….(6.2)

       3

(56)

Laju konversi lahan terhadap luasan pemukiman secara kontinu terjadi sebesar 3.94 %. Hal ini berarti selama 10 tahun terakhir telah terjadi penambahan wilayah terbangun (pemukiman) sebesar 3.94 %. Hasil analisis laju konversi lahan terhadap luasan pemukiman dapat dilihat pada persamaan berikut ini.

Ln Y = -71.5 + 0.0394 t………...………...(6.3) Penambahan wilayah pemukiman tersebut dipicu oleh peningkatan jumlah penduduk yang berlangsung secara terus-menerus. Tahun 2001 jumlah penduduk Kecamatan Cisarua adalah sebanyak 86 758 jiwa dan meningkat mencapai 113 833 jiwa pada tahun 2010. Peningkatan ini terjadi seiring bertambahnya jumlah penduduk dari luar yang datang untuk mencari mata pencaharian di wilayah tersebut. Tren pertumbuhan jumlah penduduk dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.

Sumber: BPS, 2010

Gambar 8. Tren Jumlah Penduduk Kecamatan Cisarua Tahun 2001-2010 Jumlah penduduk Kecamatan Cisarua mengalami pertambahan yang signifikan pada tahun 2005 hingga 2006, yaitu mencapai 21 054 jiwa. Hal ini diakibatkan oleh tingginya angka kelahiran dan pendatang yang berasal dari luar wilayah Kecamatan Cisarua. Tingginya angka kelahiran tersebut dapat dilihat dari perubahan angka rata rata pertambahan penduduk yaitu sebanyak 3 000 jiwa per

(57)

tahun. Tingginya pertambahan penduduk tahun 2005 hingga tahun 2006 merupakan salah satu dampak dari meningkatnya wilayah obyek wisata pada daerah Cisarua. Peningkatan obyek wisata ini membuka peluang pekerjaan baru sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk. Peningkatan ini diakibatkan oleh adanya pendatang baru yang bekerja pada obyek wisata tersebut maupun di luar obyek wisata tersebut, seperti pedagang kaki lima dan pemandu wisata, serta tempat jajanan dan sarana pendukung lainnya yang banyak menyerap tenaga kerja. Penyebab lain adalah pemikiran penduduk yang mempunyai pemahaman banyak anak banyak rezeki menjadi salah satu penyebab tingginya angka pertambahan penduduk.

Penurunan jumlah penduduk terjadi pada tahun 2004 hingga 2005. Penurunan jumlah penduduk terjadi akibat kematian dan perpindahan penduduk keluar wilayah baik untuk kepentingan pekerjaan maupun pindah permanen. Menurut data yang diperoleh melalui Kecamatan Cisarua, pada tahun tersebut banyak penduduk yang keluar dari wilayah tersebut untuk mencari pekerjaan baru seperti menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan kontrak kerja selama dua tahun. Peningkatan jumlah penduduk terjadi kembali pada tahun 2006. Peningkatan penduduk ini merupakan salah satu dampak dari kembalinya penduduk yang menjadi TKI ke wilayah tersebut setelah memenuhi kontrak kerja yang sudah disepakati.

(58)

Peningkatan luas jalan bertambah seiring dengan meningkatnya luas pemukiman yang dibangun. Penambahan pemukiman atau tempat tinggal membutuhkan penambahan sarana dan prasarana yang mempermudah akses masyarakat berupa jalan. Ada pun luas pemukiman dan luas jalan di Kecamatan Cisarua tahun 2001-2010 dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Luas Pemukiman dan Jalan di Kecamatan Cisarua Tahun 2001-2010

Tahun Pemukiman

(Ha) Jalan (Ha) Total (Ha)

Luas Kecamatan Cisarua (Ha) 2001 1 717.488 90.883 1 808.371 6 373.620 2002 1 816.896 91.581 1 908.477 6 373.620 2003 1 951.271 92.392 2 043.663 6 373.620 2004 1 954.229 92.392 2 046.621 6 373.620 2005 1 968.287 92.392 2 060.679 6 373.620 2006 2 126.917 93.274 2 220.191 6 373.620 2007 2 287.500 94.161 2 381.661 6 373.620 2008 2 383.021 94.845 2 477.866 6 373.620 2009 2 366.970 94.845 2 461.815 6 373.620 2010 2 425.752 95.382 2 521.134 6 373.620

Sumber: Pemerintah Kecamatan Cisarua, 2011

(59)

Pertambahan jalan tertinggi terjadi pada tahun 2005 hingga 2006. Hal ini sejalan dengan pertambahan pemukiman. Pertumbuhan pemukiman pada tahun 2005 hingga 2006 juga meningkat tinggi. Infrastruktur berupa jalan sering kali tidak dapat berkurang luasannya. Hal ini disebabkan karena jalan merupakan sarana yang dimanfaatkan tidak hanya untuk akses terhadap pemukiman namun juga untuk kebutuhan lainnya. Luasan jalan dapat bertambah seiring dengan pertambahan pemukiman maupun sarana lainnya karena sarana-sarana tersebut membutuhkan jalan sebagai kebutuhan utama untuk melakukan kegiatan.

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, laju konversi, baik untuk lahan pemukiman maupun sawah, perkebunan, dan hutan secara parsial yang tertinggi terjadi pada tahun 2006. Laju konversi lahan yang dikonversi untuk pemukiman yang tertinggi juga terjadi pada tahun 2006. Jumlah penduduk yang tinggi pada tahun 2006 menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal dan bangunan lainnya juga bertambah, sehingga lahan pertanian banyak yang dikonversi pada tahun tersebut.

(60)

Pajak Jakarta. Hasil analisis hubungan harga lahan terhadap laju konversi lahan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 3. Hasil Analisis Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian Tahun 2001-2010 dengan Korelasi Pearson

Variabel Harga Lahan

Lahan Pertanian

Sig. (2-tailed) *0.019 *0.005

Lahan

Sig. (2-tailed) 0.019 0.013

Pemukiman

Pearson

Correlation 0.807 -0.747 1.000

Sig. (2-tailed) 0.005 0.013

Sumber: Data Primer (diolah)

Hubungan harga lahan terhadap luasan lahan sawah, perkebunan, dan hutan adalah negatif. Nilai korelasi harga lahan terhadap lahan pertanian sebesar -0.721 dengan nilai p-value sebesar -0.019 pada taraf nyata 5 %. Artinya, harga lahan rata-rata berkorelasi negatif dan signifikan terhadap luasan lahan sawah, perkebunan, dan hutan. Apabila harga lahan di Kecamatan Cisarua tinggi, maka luasan lahan sawah, perkebunan, dan hutan akan berkurang akibat adanya peningkatan penjualan lahan yang dilakukan oleh pemilik lahan. Pengurangan luas lahan tersebut diakibatkan oleh aktivitas pembeli yang mengubah lahannya menjadi vila, hotel, restoran, obyek wisata, dan lain-lain.

(61)

lahan berkorelasi signfikan terhadap luasan lahan untuk pemukiman. Meskipun harga lahan tinggi kegiatan pembangunan pemukiman terus meningkat karena kenaikan harga lahan cenderung tidak signifikan dibanding dengan wilayah lainnya seperti Jakarta. Hal tersebut menjadi pemicu para pembeli lahan untuk meningkatkan nilai jual lahan yang telah dibeli dengan cara membangun lahan tersebut menjadi tempat tinggal maupun tempat untuk mengembangkan usaha.

Pembeli yang berasal dari wilayah Jakarta tetap bersaing untuk membeli lahan di Kecamatan Cisarua meskipun harga lahan di wilayah tersebut terus meningkat pada setiap tahunnya. Hal ini disebabkan karena kenaikan harga lahan di Kecamatan Cisarua cenderung tidak signifikan dibandingkan dengan harga lahan per meter persegi yang ada di tempat asal pembeli yaitu Jakarta. Hal ini disebabkan oleh persepsi pembeli mengenai harga lahan yang ada di Kecamatan Cisarua dinilai masih sangat murah dibandingkan harga lahan per meter persegi di Jakarta yang mencapai jutaan rupiah. Ada pun perbedaan harga lahan rata-rata Kecamatan Cisarua dengan DKI Jakarta dapat dilihat pada Gambar 9 berikut ini.

Sumber: Pemerintah Kecamatan Cisarua, 2011

(62)

Kenaikan harga lahan rata-rata di Kecamatan Cisarua cenderung lebih landai jika dibandingkan dengan wilayah Jakarta. Harga lahan rata-rata di Kecamatan Cisarua jauh lebih murah mulai dari Rp 82 000.00 pada tahun 2001 hingga Rp 270 000.00 pada tahun 2010 per meter. Sedangkan harga lahan rata-rata wilayah Jakarta mencapai jutaan rupiah, dimulai dari Rp 800 000.00 pada tahun 2001 hingga Rp 7 455 000.00 pada tahun 2010.

Tingkat harga lahan pada Kecamatan Cisarua jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat harga lahan pada wilayah Jakarta. Lebih rendahnya tingkat harga lahan wilayah Kecamatan Cisarua menjadi salah satu faktor pendorong bagi para pembeli lahan yang sebagian besar berasal dari wilayah Jakarta untuk membeli lahan pada Kecamatan Cisarua. harga lahan di Jakarta mencapai Rp 7 455 000.00 per m2 pada tahun 2010. Hal ini lebih besar dari pada harga lahan yang berlaku pada tahun yang sama di Kecamatan Cisarua yaitu sebesar Rp 270 000.00 per m2. Perbedaan harga yang sangat jauh menjadi penyebab tingginya kegiatan jual beli lahan yang menyebabkan terjadinya konversi lahan yang dilakukan pada wilayah Cisarua.

6.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan

Gambar

Gambar 1.  Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 1961-2010
Gambar 2.  Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Cianjur
Gambar 3. Diagram Alur Berpikir
Gambar 4. Peta Guna Lahan Kecamatan Cisarua Tahun 2000 dan  Tahun 2009
+7

Referensi

Dokumen terkait

duduklah dengan tenang , dan kerjakanlah hal yang sama dalam setiap shalatmu&#34;. Jika kita membaca hadits diatas, kita bisa duga, bahwa orang itu sudah mengetahui bacaan dan

Tim peneliti melakukan refleksi terhadap pelaksanaan siklus kedua dan menganalisis untuk membuat kesimpulan atas pelaksanaan pembelajaran dengan bantuan media gambar

Landasan Teori dan Program projek akhir arsitektur ini tidak luput dari kesalahan dan.. kekurangan, maka penulis akan sangat menerima kritik maupun saran dari

Selain itu, dealer ini melayani penjualan motor secara tunai maupun kredit yang menjual berbagai produk- produk andalan dari PT Tunas Motor Pratama khususnya sepeda

Hasil penelitian menunjukkan lebih banyak sekolah dengan pelaksanaan program trias UKS yang kurang baik (51,9%) dan hanya 25 responden (48,1%) yang telah melaksanakan

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi perubahan warna resin komposit nanohibrida setelah perendaman dalam larutan kopi dengan konsentrasi gula yang

Pembentukan akar pada tanaman tidak lebih besar dari tajuk, dengan perbandingan akar yang cenderung lebih kecil daripada tajuk dapat memberikan pengaruh yang baik

Kedua arteri coronaria kanan dan kiri, menyuplai darah untuk dinding jantung. Arteri ini keluar dari aorta tepat diatas katup aorta dan berjalan ke bawah