• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sestodosis dan serangga yang berpotensi sebagai inang antara pada ayam ras petelur komersial di Daerah Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sestodosis dan serangga yang berpotensi sebagai inang antara pada ayam ras petelur komersial di Daerah Bogor"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

SESTODOSIS DAN SERANGGA

YANG BERPOTENSI SEBAGAI INANG ANTARA

PADA AYAM RAS PETELUR KOMERSIAL

DI DAERAH BOGOR

ELOK BUDI RETNANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

i

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Sestodosis dan Serangga yang Berpotensi sebagai Inang Antara pada Ayam Ras Petelur Komersial di Daerah Bogor adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Maret 2010

(3)

ii

ABSTRACT

ELOK BUDI RETNANI. Cestodes Infection on Commercial Caged Layer Chickens and Their Intermediate Host In Bogor Region. Under the guidance FADJAR SATRIJA, UPIK KESUMAWATI HADI, and SINGGIH HARSOYO SIGIT.

A cross-sectional study was conducted to determine the prevalence of cestodes and cysticercoids infection and their risk factors of the infections in commercial caged-layer chickens in Bogor Region, West Java during two months from June to July 2006. A total of 202 chicken samples, 3085 Musca domestica, and 2651 Alphitobius diaperinus were randomly selected from ten commercial caged-layer chicken farms situated in sub-district of Parung, Kemang, Gunung Sindur, Rumpin, Cigudeg, and Nanggung. The chicken were sacrificed to collect adult tapeworm in the intestine for identification of species and worm burdens. The beetles anf flies were dissected to collect metacestodes (cystisercoids). Prevalence of cestodosis/cysticercoidosis and risk factors of the infections associated with climatic regions, layer production managements were statistically analized by Chi- square, T-test, oneway variance analysis, and non-parametric Kruskal Wallis test. The risk factors assumption included host factors, farm environment and management characteristic were analized by logistic regression.

The study indicated that 50 (24.75%) of the examined chickens were infected by three genera of cestodes. The genera recovered include Raillietina (58,70%) that were R. echinobothrida, R. tetragona, R. cesticillus, Choanotaenia infundibulum

(39,13%), and Hymenolepiscantaniana (2,17%). There was a statistically significant difference (P<0.05) in the prevalence rate both of cestodosis and cysticercoidosis between the different areas. This suggests that production system and manure or anthelmintic treatment management have influence on the cestodes and cysticercoidosis infection. Logistic regression model showed that cestodes infection risk association (P<0,01) to host age and population groups, (P<0,05) to dry climate condition and open house farm management characteristic. It was also suggested that chicken >50 months have higher risk (OR=5.6) than <20 months host age, dry climate condition have higher risk (OR=3.75) than wet, and open house farm management have higher risk (OR=27.24) than close house on the cestodes infection, and >65 thousand hosts population have higher risk (OR=2,72) than ≤65 thousand hosts population. Management of manure disposal, anthelmintic treatment as the risk factors of cysticercoids infection in M. domestica. The result of experimental infection proved that M. domestica as intermediate host of chicken cestodes (Raillietina and Choanotaenia) in commercial caged-layer chickens but A.diaperinus

have not been confirmed. There were different profile in cysticercoids whole worm extract between individual of M. domestica, therefore this was not usefull for cestodes identification in natural infection.

Key words : Cestodes, caged-layer chickens, Cysticercoids, intermediate hosts, infection risk factors, Odds-Ratio, protein profile, SDS-PAGE, Bogor.

(4)

iii

RINGKASAN

ELOK BUDI RETNANI. Sestodosis dan Serangga yang Berpotensi Sebagai Inang Antara pada Ayam Ras Petelur Komersial di Daerah Bogor. Dibawah bimbingan FADJAR SATRIJA, UPIK KESUMAWATI HADI, dan SINGGIH HARSOYO SIGIT.

Sestoda adalah cacing pita stadium dewasa dalam usus inang definitif. Adapun metasestoda (di antaranya terdapat tipe sistiserkoid) adalah stadium larva sestoda dalam tubuh inang antara. Nama penyakit yang disebabkan oleh infeksi sestoda disebut sestodosis, sedangkan oleh metasestoda disebut metasestodosis atau sistiserkoidosis pada tipe larva sistiserkoid. Dalam dekade terakhir ini sestodosis menjadi masalah pada ayam ras petelur komersial yang menyebabkan penurunan produksi telur sangat nyata. Kompleksitas biologi sestoda dan inang antara yang berperanan adalah salah satu penyebab kesulitan dalam pengendaliannya. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan jenis sestoda dan inang antaranya, mempelajari faktor-faktor risiko kejadian sestodosis/sistiserkoidosis, dan teknik identifikasi sistiserkoid dengan membandingkan profil protein whole worm extract cacing dewasa dengan sistisekoid yang ditemukan dari serangga.

Penelitian dilakukan dengan metode Cross-sectional selama dua bulan yaitu pada bulan Juni dan Juli 2006, meliputi tahapan observasi lapangan, dan laboratorium. Beberapa dugaan faktor risiko terjadinya infeksi sestoda dikelompokkan berdasarkan faktor inang (berat badan, umur, ras, populasi, dan pemeliharaan kutuk), iklim, dan tata laksana peternakan (sistem dan struktur kandang, pemberian antelmintika, pembuangan manur). Observasi laboratori bertujuan untuk menjelaskan peranan kumbang Alphitobius diaperinus dan lalat

Musca domestica sebagai inang antara sestoda melalui infeksi coba sistiserkoid asal lapangan pada ayam coba. Analisis profil protein whole worm extract sistiserkoid dan sestoda bertujuan untuk mempelajari identifikasi pada stadium sistiserkoid yang diharapkan dapat menduga bahwa sistiserkoid lapangan merupakan stadium larva sestoda yang ditemukan pada ayam. Sebanyak 202 ekor sampel ayam, 3085 ekor lalat M. domestica, dan 2651 ekor kumbang A. diaperinus dikumpulkan dari 10 peternakan ayam ras petelur komersial di Kecamatan Parung, Kemang, Gunung Sindur, Rumpin, Cigudeg, dan Nanggung di daerah Bogor. Ayam dikurbankan untuk mengumpulkan sestoda dari ususnya, lalat dan kumbang dibedah untuk mengumpulkan sistiserkoid dari rongga tubuhnya. Jumlah ayam, lalat, kumbang yang terinfeksi serta jumlah sestoda/sistiserkoid pada setiap individu yang terinfeksi dihitung untuk mengetahui tingkat kejadiannya. Sestoda diidentifikasi berdasarkan morfologi dan morfometri skoleks, proglotida dewasa dan gravid untuk mengetahui keragaman jenis sestoda yang ditemukan. Sistiserkoid dibagi menjadi dua kelompok untuk perlakuan infeksi coba dan identifikasi profil protein.

(5)

iv jenis sestoda antar peternakan dianalisis dengan uji T dan analisis ragam satu arah serta uji non parametrik Kruskal Wallis. Adapun untuk mengetahui besarnya pengaruh dari faktor-faktor tersebut terhadap kejadian sestodosis/sistiserkoidosis dianalisis dengan Regresi Logistik.

Hasil pengamatan dari total 202 ekor ayam, sebanyak 50 ekor (24,75%) terinfeksi oleh tiga genus sestoda yaitu Raillietina (58,70%) terdiri dari Raillietina echinobothrida, Raillietina tetragona, Raillietina cesticillus, dan Choanotaenia infundibulum (39,13%), dan Hymenolepis cantaniana (2,17%). Total prevalensi sestodosis pada ayam sebesar 24,75%, dengan kisaran rataan derajat infeksi sebesar 0,273±0,905 hingga 17,913±53,954 sestoda setiap ayam.Total prevalensi sistiserkoidosis pada lalat M.domestica sebesar 0,68%, dengan kisaran rataan derajat infeksi sebesar 0,010±0,196 hingga 0,319±3,208 sistiserkoid setiap lalat, dan total prevalensi sistiserkoidosis pada kumbang A.diaperinus sebesar 6,53%, dengan kisaran rataan derajat infeksi sebesar 0,039±0,409 hingga 4,060±19,470 sistiserkoid tiap kumbang.

Umur dan populasi ayam, tipe iklim area peternakan, dan tata laksana bangunan kandang merupakan faktor risiko kejadian sestodosis pada ayam. Ayam yang berumur lebih dari 50 minggu berisiko lebih tinggi terinfeksi sestoda dibandingkan dengan ayam yang berumur kurang dari 20 minggu (OR=5,06). Peternakan dengan populasi ternak sebesar lebih dari 65 ribu ekor berisiko lebih tinggi terinfeksi sestoda dibandingkan dengan populasi kurang atau sama dengan 65 ribu ekor ayam (OR=2,72). Area peternakan dengan tipe iklim kering berisiko lebih tinggi terinfeksi sestoda dibandingkan dengan ayam di area peternakan beriklim basah (OR=3,75). Tata laksana kandang terbuka berisiko lebih tinggi terinfeksi sestoda dibandingkan dengan kandang tertutup (OR=27,24).

Tipe iklim area peternakan, populasi ternak, dan tata laksana kandang bukan merupakan faktor risiko kejadian sistiserkoidosis pada lalat. Lalat M. domestica di peternakan dengan tata laksana pembuangan manur yang tidak teratur dan dibuang secara otomatis berisiko lebih rendah terinfeksi sistiserkoid dibandingkan dengan yang membuang manur dua bulan sekali (OR=0,03 dan OR=0,21). Lalat

M.domestica di peternakan dengan tata laksana pemberian antelmintik secara periodik tiga bulan sekali dan sejak pulet-awal naik kandang baterei, menjelang puncak produksi, dan periodik setiap enam bulan sekali berisiko lebih rendah terinfeksi sistiserkoid dibandingkan dengan pemberian pada awal naik kandang baterei dan menjelang puncak produksi (OR=0,03 dan OR=0,21).

(6)

v dan jika ditemukan infeksi berisiko lebih tinggi terinfeksi sistiserkoid (berturut-turut OR=5,63; OR=1,04; OR=5,45) dibandingkan dengan pemberian pada awal naik kandang baterei-menjelang puncak produksi, sedangkan risiko tertinggi (OR=20,94) terjadi pada pemberian sejak pulet-awal naik kandang baterei-menjelang puncak produksi-periodik setiap tiga bulan sekali.

Hasil infeksi sistiserkoid asal M.domestica pada ayam coba menunjukkan bahwa lalat M. domestica merupakan inang antara Raillietina dan Choanotaenia. Adapun hasil infeksi sistiserkoid asal A.diaperinus pada ayam coba menunjukkan bahwa kumbang A. diaperinus belum terbukti sebagai inang antara sestoda pada ayam ras petelur komersial di daerah Bogor. Sistisekoid yang ditemukan pada

A.diaperinus merupakan stadium metasestoda dari sestoda tikus yaitu Hymenolepis. Gambaran pita protein whole worm extract sistiserkoid hasil analisis elektroforesis menunjukkan bahwa sistiserkoid dari individu inang antara yang berbeda memiliki profil pita yang berbeda, demikian pula antara sistiserkoid dan sestoda. Dengan demikian profil pita protein sistiserkoid hasil infeksi alami pada inang antara tidak dapat digunakan untuk menduga jenis sestoda ayam yang terinfeksi alami di lingkungan peternakan.

(7)

vi

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

vii

SESTODOSIS DAN SERANGGA

YANG BERPOTENSI SEBAGAI INANG ANTARA

PADA AYAM RAS PETELUR KOMERSIAL

DI DAERAH BOGOR

ELOK BUDI RETNANI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

i Penguji Luar Komisi pada Sidang Tertutup:

1 Dr. Drh. Susi Soviana, M.Si.

(Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor)

2 Drh. Suhardono, MVSc., Ph.D.

(Balai Besar Penelitian Veteriner, Departemen Pertanian, Republik Indonesia)

Penguji Luar Komisi pada Sidang Terbuka:

1 Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, M.S.

(Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor)

2 Prof. Dr. Drh. Nyoman Sadra Dharmawan, M.S.

(10)

i Judul Disertasi : Sestodosis dan Serangga yang Berpotensi sebagai Inang Antara

pada Ayam Ras Petelur Komersial di Daerah Bogor Nama Mahasiswa : Elok Budi Retnani

Nomor Pokok : B063040011 Program Studi : Sains Veteriner

Disetujui:

Komisi Pembimbing

Drh. Fadjar Satrija, MSc., PhD. Ketua

Drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S., Ph.D. Prof. Dr. Drh. Singgih Harsoyo Sigit, M.Sc. Anggota Anggota

Diketahui:

Ketua Program Studi Sains Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Drh.Bambang.P.Priosoeryanto,M.S., Ph.D. Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,M.S.

(11)

x

PRAKATA

Allah Subhanallahu wata’ala, atas Keagungan, Kekuasaan, Limpahan Kasih Sayang, Rakhmat, Hidayah, dan semua Kebesarannya, hati menjadi lapang dan ikhlas, pikiran menjadi jernih, cahaya Illahi menjadi penerang dalam melangkah menuju Ridhonya. Rasa syukur senantiasa dipanjatkan Kehadirat Illahi Rabbi, atas IzinNYA penulis dapat menyelesaikan penelitian hingga penulisan disertasi yang berjudul “Sestodosis dan Serangga yang Berpotensi sebagai Inang Antara pada Ayam Ras Petelur Komersial di Daerah Bogor”.

Bagi penulis, pembimbing-pembimbing dalam disertasi ini adalah Pembimbing Utama. Penulis tidak mampu membalas dengan apapun kecuali mengamalkan ilmu yang diberikan kepada penulis. Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada yang terhormat Prof. Drh. Singgih Harsoyo Sigit, M.Sc., Ph.D., Drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S., Ph.D., dan Drh. Fadjar Satrija, M.Sc., Ph.D., atas dedikasi, curahan waktu, tenaga, buah pikiran, nasehat-nasehat, serta arahan-arahannya, sejak perencanaan dan selama berlangsungnya penelitian hingga menyelesaikan penulisan disertasi.

Pada kesempatan ini juga disampaikan rasa terimakasih kepada yang terhormat Dr. Drh. Susi Soviana, M.S. dan Drh. Suhardono, MVSc., Ph.D. sebagai Penguji Luar Komisi pada Sidang Tertutup, serta yang terhormat Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan. M.S. dan Prof. Dr. Drh. Nyoman Sadra Dharmawan, M.S. sebagai Penguji Luar Komisi pada Sidang Terbuka Ujian Doktor Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pertanyaan-pertanyaan, saran-saran, kritik serta koreksinya sangat berharga dalam menyempurnakan disertasi ini sehingga bobotnya bertambah.

(12)

xi Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2004-2007, Program Penelitian Hibah A3 Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Tahun 2006, Program Hibah Pascasarjana Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Tahun 2008-2009. Terimakasih atas jasa Drh. Trioso Poernawarman, M.S., Drh. Syaiful Akhyar, dan Drh. Hananto Bantoro, atas saran serta sumbangan pikirannya sebelum dan selama persiapan observasi lapangan. Kepada Pemerintahan Kabupaten Bogor, Dinas Peternakan dan Perikanan, Subdit Kesehatan Hewan, khususnya Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Wilayah Kecamatan Leuwisadeng, Nanggung, Cigudeg, Cibinong, Parung, Kemang, Gunung Sindur, dan Rumpin serta para peternak ayam petelur komersial di lingkungan kecamatan tersebut, atas ijin dan kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian lapangan.

Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Dr. Drh. I Wayan Batan, M.S. beserta jajaranya dalam menyetujui dua artikel yang merupakan bagian dari disertasi untuk dapat dimuat dalam Jurnal Veteriner edisi tahun 2007 dan 2009. Terimakasih kepada Dr. Kerry A. Padgett, Associate Public Health Biologist California Department of Health Services, Dr. Grace Y. Lee, Staff Research Associate

VM: Pathology, Microbiology, and Immunology also Wildlife Health Center University of California, Dr. Allen W. Shostak, Department of Biological Sciences, University of Alberta, Canada, atas pengiriman beberapa artikelnya yang bermanfaat sebagai acuan pustaka. Saudara Ir. Roes Daryadi, terimakasih atas waktu dan tenaganya berkenaan dengan analisis statistik, demikian pula kepada saudara Dewi Asmita atas jasanya dalam analisis protein sistisekoid dan sestoda.

(13)

xii Ridwan, M.Si., Drh. Tri Isyani Tungga Dewi, Dr. Drh. Hj. Lili Zalizar, M.S., Dr. Drh. Hj. Ita Juita, M.Phil.,

Dr. Drh. Hj. Sri Murtini, M.Si., Dr. Drh. Enny Tantini Setiatin, M.Sc., Dr. Drh., Savitri Novelina, M.Si. Rasa terima kasih juga disampaikan kepada sahabat-sahabat yang tidak mungkin disebut satu persatu atas kebaikan dan ketulusan perhatiannya.

Kepada ayahanda dan ibunda tercinta, H.R.M. Sumbogo Bintoro dan R.A. Sasanti (Almh.), penulis tidak akan dapat mengganti dengan apapun seluruh pengorbanan serta kasih sayangnya yang tulus dalam mendidik dan memberi tauladan untuk menjadi seseorang yang harus bertanggung jawab dalam hal apapun. Ayahanda dan ibunda tercinta, H. Suncoko Isman (Alm) dan Hj. Sumartini Suncoko, doa-doanya sungguh menjadi penguat bagi penulis. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan kebahagiaan yang hakiki sebagai pahala atas doa-doa serta curahan kasih sayangnya. Kakak serta adik-adik tersayang beserta keluarganya, terimakasih atas doa dan kasih sayang serta dorongan semangatnya. Kepada ibu Uum, penulis sangat berterima kasih atas kesetiaan serta doanya dalam mendampingi penulis. Suami tercinta, Ir. Bambang Murdiono, dan buah hati semata wayang, Rizqi Putratama, SKH, terimakasih atas izin, kesabaran, doa serta kasih sayangnya, yang selalu membesarkan hati sebagai pemacu semangat dalam mendampingi penulis hingga menyelesaikan studi.

Akhir kata, tak ada gading yang tak retak, kekurangan-kekurangan dalam penelitian maupun penulisan disertasi ini adalah kekurangan penulis semata. Oleh karena itu kritik dan saran membangun mohon secara langsung disampaikan kepada penulis. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2010

(14)

xiii

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah anak ke dua dan anak perempuan pertama dari empat bersaudara, ayah bernama H.R.M. Sumbogo Bintoro dan ibu R.A. Sasanti, dilahirkan di kota Malang pada tanggal 14 April 1959. Pada tahun 1985 penulis menikah dengan Ir. Bambang Murdiono Suncoko dan dikaruniai seorang anak laki-laki Rizqi Putratama.

Pendidikan dasar sampai menengah atas diselesaikan di kota kelahiran. Pendidikan sarjana kedokteran hewan dan profesi dokter hewan ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor tahun 1980 hingga awal 1985. Sejak tanggal 1 April 1987 penulis ditetapkan sebagai staf pengajar di Laboratorium Helmintologi, Jurusan Parasitologi dan Patologi, yang sekarang menjadi Laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1989 diterima sebagai mahasiswa Magister Sains di Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Sains Veteriner. Pendidikan strata-2 ini diselesaikan pada awal tahun 1993 dengan bantuan beasiswa Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pemerintah Republik Indonesia. Pada tahun 2004 kembali mendapat kesempatan mengikuti program pendidikan pascasarjana strata-3 pada fakultas, program studi, dan sumber beasiswa yang sama.

Dalam menekuni bidang parasitologi khususnya helmintologi, penulis terlibat dalam kegiatan-kegiatan penelitian diantaranya penelitian dosen muda IPB (1994-1995); P4M Direktorat Pendidikan Tinggi Depdikbud (1989-1990); DP3M

Direktorat Pendidikan Tinggi Depdikbud (1990-1991); Program Penelitian Dasar Direktorat Pendidikan Tinggi Depdikbud (1996-1997); Indonesia Toray Science

Foundation (1997-1998); Proyek Hibah Bersaing XI (2004-2006), Program Hibah Kompetisi A3 FKH-IPB (2006-2007); Hibah Kompetensi Angkatan I (2009-2011). Beberapa tulisan yang berkaitan dengan bidang helmintologi khususnya cacing pita (sestoda) telah dipublikasi pada majalah ilmiah kedokteran hewan (Hemera Zoa): Infektifitas berbagai derajat kematangan proglotida cacing pita

(15)

xiv berbagai derajat kematangan proglotida cacing pita Hymenolepis diminuta

(16)

xv

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………... xviii

DAFTAR GAMBAR ……… xx

DAFTAR LAMPIRAN………... xxii

1 PENDAHULUAN ………... 1

1.1 Latar Belakang ………... 1

1.2 Tujuan Penelitian ………... 3

1.3 Hipotesis ……… 4

1.4 Manfaat Penelitian ………. 4

2 TINJAUAN PUSTAKA ………... 5

2.1 Sestoda (cacing pita).………... 5

2.1.1 Morfologi………... 5

2.1.2 Siklus hidup……… 7

2.2 Sestoda Parasitik pada Ayam Ternak...………. 10

2.2.1 Jenis-jenis sestoda ... ……….... 10

2.2.2 Patofisiologi infeksi dan gejala klinis ………. 12

2.2.3 Prevalensi sestodosis pada ayam ternak... ……….. 13

2.3 Serangga Sebagai Inang Antara Sestoda ………... 17

2.4 Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Sestoda pada Peternakan Ayam Petelur dalam Kandang Baterai………… 19 2.4.1 Kondisi fisik lingkungan ………... 20

2.4.2 Keberadaan inang antara……… 21

2.4.3 Tata laksana peternakan………. 22

2.4.4 Perilaku inang………. 23

2.4.5 Pengaruh musim………..………... 25

3 BAHAN dan METODE ……….. 28

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 28

(17)

xvi Halaman

3.3 Lokasi Peternakan ... 28

3.4 Populasi Penelitian ... 29

3.5 Jumlah dan Pengambilan Contoh ... 29

3.6 Pengamatan Parasitologi ... 30

3.6.1 Penghitungan telur cacing tiap gram tinja (ttgt) ………. 30

3.6.2 Pengumpulan, penghitungan, dan identifikasi sestoda… 30 3.6.3 Pengumpulan lalat M. domestica ……..……….. 31

3.6.4 Pengumpulan kumbang A. diaperinus………. 31

3.6.5 Pengumpulan, penghitungan, dan identifikasi sistiserkoid………... 31

3.6.6 Infeksi coba sistiserkoid lapangan pada ayam, tikus, dan mencit coba ………. 32

3.7 Identifikasi Sistiserkoid melalui Karakterisasi Profil Protein Whole Worm Extract (WWE) dengan Metode Sodium Dedocyl Sulfatpolyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE).…….. 33

3.7.1 Preparasi protein WWE sestoda dan sistiserkoid……… 33

3.7.2 Karakterisasi protein WWE sestoda dan sistiserkoid….. 34

3.8 Analisis Data …………... 34

4 HASIL dan PEMBAHASAN……… 37

4.1 Analisis Faktor-Faktor Risiko Infeksi Cacing Pita pada Ayam Ras Petelur Komersial di Daerah Bogor ……… 37

4.1.1 Kondisi umum fisik dan tata laksana peternakan …….. 37

4.1.2 Jenis-jenis sestoda yang ditemukan ……… 41

4.1.3 Distribusi infeksi berdasarkan jenis sestoda pada setiap peternakan ………... 45 4.1.4 Total prevalensi dan derajat infeksi sestodosis ………... 46

4.1.5 Pengaruh faktor-faktor ayam, lingkungan, dan tata laksana terhadap prevalensi dan derajat infeksi sestodosis ……… 47

(18)

xvii

Halaman

4.2 Potensi lalat Musca domestica sebagai inang antara cacing pita pada ayam ras petelur komersial di daerah Bogor ……….. 57 4.2.1 Prevalensi dan derajat infeksi sistiserkoid pada

M. domestica……… 57 4.2.2 Pengaruh faktor-faktor ayam, lingkungan, dan

tata laksana terhadap prevalensi sistiserkoidosis pada

M. domestica ………... 60 4.2.3 Faktor-faktor risiko yang diduga mempengaruhi tingkat

kejadian sistiserkoidosis pada M. domestica…………. 62 4.2.4 Potensi lalat M. domestica sebagai inang antara

cacing pita pada ayam ras petelur komersial di daerah Bogor………... 66

4.3 Potensi Kumbang A. diaperinus sebagai inang antara cacing pita pada ayam ras petelur komersial di daerah Bogor………... 71 4.3.1 Prevalensi infeksi sistiserkoid dan derajat infeksi

sistiserkoid pada kumbang A. diaperinus ……….. 71 4.3.2 Pengaruh faktor-faktor ayam, lingkungan, dan tata

laksana terhadap prevalensi sistiserkoidosis pada kumbang A. diaperinus……… 72 4.3.3 Faktor-faktor risiko yang diduga mempengaruhi tingkat

kejadian sistiserkoidosis pada kumbang A. diaperinus... 74 4.3.4 Potensi kumbang A. diaperinus sebagai inang antara

cacing pita pada ayam ras petelur komersial di daerah Bogor ……….. 77

4.4 Hasil karakterisasi protein whole worm extract sistiserkoid pada lalat M. domestica dan kumbang A. diaperinus …………. 81

4.5 Prospek pengendalian sestodosis pada ayam petelur komersial di Indonesia………..……….... 87

5 KESIMPULAN dan SARAN ………... 91

(19)

xviii

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Spesies sestoda yang umum ditemukan pada ayam ternak …… 11

2 Distribusi infeksi oleh jenis-jenis (genus) sestoda pada setiap

peternakan ……… 46

3 Total prevalensi dan rataan derajat infeksi sestoda pada setiap

peternakan ……… 47

4 Prevalensi sestodosis menurut faktor inang (umur, populasi, ras), iklim, dan tata laksana peternakan (sistem dan struktur kandang, pemberian antelmintika, pembuangan manur, dan

pemeliharaan ayam kutuk) ………... 48

5 Nilai crude Odds-Ratio (OR) faktor inang (umur, berat badan,

populasi, dan ras), terhadap kejadian infeksi sestoda………….. 53

6 Nilai crude Odds-Ratio (OR) faktor iklim (basah dan kering)

terhadap kejadian infeksi sestoda………. 53

7 Nilai crude Odds-Ratio (OR) faktor tata laksana peternakan

terhadap kejadian infeksi sestoda ……… 54

8 Nilai adjusted Odds-Ratio (OR) faktor risiko umur, berat badan, populasi ayam, iklim, dan sistem kandang terhadap

tingkat kejadian sestodosis………... 55

9 Nilai adjusted Odds-Ratio (OR) faktor risiko umur dan berat badan ayam, iklim, serta tata laksana sistem kandang dan

pemberian antelmintika terhadap tingkat kejadian sestodosis…. 56

10 Total prevalensi dan rataan derajat infeksi sistiserkoidosis pada

lalat M. domestica di setiap peternakan ……….……… 58

11 Prevalensi sistiserkoidosis pada lalat (M. domestica) menurut faktor populasi ayam, iklim, dan tata laksana peternakan (sistem kandang, pemberian antelmintika, dan pembuangan

manur) ……….. 63

12 Nilai crude Odds-Ratio (OR) faktor populasi ayam terhadap

kejadian sistiserkoidosis pada lalat (M. domestica)…….……... 64

13 Nilai crudeOdds-Ratio (OR) faktor tipe iklimarea peternakan

(20)

xix Halaman 14 Nilai crude Odds-Ratio (OR) faktor tata laksana kandang,

pembuangan manur, dan pemberian antelmintika terhadap

kejadian sistiserkoidosis pada lalat (M. domestica)………. 65

15 Deskripsi sistiserkoid hasil bedah lalat M. domestica dengan

morfometri skoleks dan batil hisap………... 68

16 Deskripsi sistiserkoid hasil bedah lalat M. domestica (tanpa morfometri)………... .

68

17 Deskripsi sistiserkoid hasil bedah lalat M. domestica dan hasil

infeksi coba pada ayam ……….……... 69

18 Total prevalensi dan rataan derajat infeksi sistiserkoid pada

kumbang A. diaperinussetiap peternakan ……….……… 72

19 Prevalensi sistiserkoidosis pada A. diaperinus menurut faktor populasi ayam, iklim, dan tata laksana sistem dan struktur kandang, pemberian antelmintika, dan pembuangan

manur……… 73

20 Nilai crude Odds-Ratio (OR) faktor populasi ayam terhadap

kejadian sistiserkoidosis asal A. diaperinus……...…….……… 75

21 Nilai CrudeOdds-Ratio (OR) faktor tipe iklim area peternakan

terhadap kejadian sistiserkoidosis asal A. diaperinus …………. 75

22 Nilai crude Odds-Ratio (OR) faktor struktur dan tata laksana kandang, pembuangan manur, pemberian antelmintika terhadap

kejadian sistiserkoidosis (A. diaperinus) …………...………….. 76

23 Deskripsi sistiserkoid hasil bedah A. diaperinus dan hasil

(21)

xx

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Siklus hidup sestoda ayam……… 8

2 Bagan alur pengumpulan sampel ayam, manur, dan serangga tersangka inang antara ………. 35

3 Bagan alur perlakuan setiap ekor sampel ayam dan manur……. 35

4 Bagan alur infeksi sistiserkoid lapangan pada ayam dan tikus coba………... 36

5 Bagan alur analisis profil protein WWE sistiserkoid dan sestoda asal peternakan……….…... 36

6 Peternakan ayam petelur sistem terbuka (open house) ………… 39

7 Peternakan ayam petelur sistem kandang tertutup (closehouse) 39

8 Beberapa bentuk dan kedalaman pitfall ………...

40

9 Raillietina yang ditemukan ………..

43

10 Choanotaenia infundibulum yang ditemukan ……….. 44

11 Hymenolepis cantaniana yang ditemukan ……….. 45

12 Prevalensi sestodosis menurut faktor inang (umur, populasi, dan ras ayam), dan iklim (basah dan kering)……… 49

13 Prevalensi sestodosis menurut faktor tata laksana peternakan (sistem dan struktur kandang, pemberian antelmintika, waktu pembuangan manur, dan adanya pemeliharaan kutuk)………... 50

14 Hipotesis berbagai stadium perkembangan sistiserkoid hasil bedah lalat M. domestica ………. 67

15 Sestoda hasil infeksi sistiserkoid M. domestica pada ayam coba……….. 70

(22)

xxi Halaman

17 Sestoda hasil infeksi sistiserkoid A. diaperinus pada tikus

coba………. 80

18 Gambaran pita-pita protein sestoda dan sistiserkoid hasil

elektroforesis……… 83

19 Interpretasi hasil elektroforesis……….

(23)

xxii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Penghitungan Odds-Ratio……….. 107

2 Pembuatan dan prosedur pewarnaan sestoda……… 109 3 Pembuatan reagen SDS-PAGE……….. 111

4 Naskah publikasi 1………. 114

5 Naskah publikasi 2………. 115

(24)

1

1. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sektor perunggasan merupakan satu di antara sumber utama protein asal ternak di Indonesia sehingga mempunyai prospek pasar yang sangat baik. Hal ini didukung oleh sifat produk unggas yang dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya, harga produk relatif murah serta mudah didapat. Tidak mengherankan apabila subsektor peternakan unggas juga memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia sebagai penyumbang kesempatan bekerja, sumber pendapatan masyarakat, perolehan devisa negara, dan sumber pangan asal hewan. Peluang yang menjanjikan ini didukung oleh data FAO (2000) bahwa populasi unggas terus meningkat selama 10 tahun terakhir hingga tahun 2000an yaitu mencapai 14 milyar ekor, sebanyak 75% berkembang pesat di negara-negara berkembang.

Ayam ras petelur merupakan satu di antara empat jenis ternak unggas utama yang dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu telur konsumsi paling banyak dipasok oleh ayam ras petelur. Secara total pada tahun 2006 populasi ternak besar maupun kecil mengalami peningkatan, termasuk ternak ayam petelur sebagai sumber penghasil telur konsumsi selain daging. Pada tahun 2006, populasi ayam ras petelur secara kumulatif dalam setahun mencapai 95,5 juta. Selama periode 2004-2006 meningkat terus 3,8%, dan pada tahun 2006 12,6% merupakan peningkatan yang paling besar di antara ternak unggas lainnya setelah pedaging sebagai akibat meningkatnya permintaan masyarakat.

(25)

2 diperlukan informasi standar manajemen pemeliharaan, teknologi budidaya ternak, serta pengembangan teknologi pengendalian penyakit secara terpadu (Talib et al. 2007).

Ayam ras petelur yang dipelihara dengan sistem kandang baterai memiliki beberapa keuntungan secara ekonomi maupun kesehatan ternak yaitu ruang gerak terbatas, hemat tempat per unit area, ruang dan biaya pakan yang rendah, praktis, mudah dipantau, berisiko kecil terhadap predator, pengaruh luar seperti dingin, panas, dan angin atau kelembaban. Adapun beberapa kerugiannya adalah tingginya risiko kebakaran, peralatan listrik dimakan tikus. Selain itu, risiko penyakit terhadap pekerja dan masyarakat di sekitarnya misalnya gangguan pernafasan karena debu limbah, bau, lalat, dan berbagai bahan kimiawi yang digunakan di peternakan tersebut misalnya desinfektan dan insektisida. Ayam dalam kandang baterai memiliki sedikit kemungkinan memakan serangga yang berpotensi sebagai inang antara sestoda sehingga kemungkinan terinfeksi sestoda kecil. Infeksi oleh cacing pita (sestodosis) pada ternak ayam banyak ditemukan pada ayam buras dengan prevalensi yang cukup tinggi (Sasmita 1980, Susilowati 1990, Inbandiah 1995, Retnani, et al.

2000; 2001). Pada umumnya pemeliharaannya dilakukan secara ekstensif atau diumbar di pekarangan sekitar permukiman sehingga berpeluang besar kontak dengan artropoda yang cocok sebagai inang antaranya. Besar kemungkinan hal ini juga berpotensi sebagai sumber infeksi bagi ayam ras yang perkembangannya semakin pesat. Sekitar sepuluh tahunan terakhir ini banyak keluhan terjadinya sestodosis pada ayam ras petelur komersial. Gejala yang dilaporkan adalah ayam mendadak lesu, diare meluas karena peradangan usus yang berat, sehingga produksi menurun di bawah rata-rata berupa penurunan pertumbuhan dan berat badan, serta produksi daging dan telur. Para praktisi kesehatan unggas juga mengakui kesulitan dalam pengobatannya. Zalizar et al. (2007) melaporkan bahwa infeksi sestoda ditemukan pada enam peternakan ayam ras petelur yang diamati di wilayah sentra peternakan ayam petelur di Kabupaten Bogor.

(26)

3 teratur. Oleh karena itu hanya melalui nekropsi akurasi diagnosis sestodosis dapat tercapai. Kendala dalam teknik diagnosis ini menyebabkan sulitnya menentukan strategi pengobatan yang diantaranya mengakibatkan angka prevalensi sestodosis tetap tinggi. Mengingat jangka waktu produktifitas ayam petelur relatif lama maka kerugian akibat penurunan produksi telur diduga sangat nyata. Kerugian tersebut belum termasuk biaya pengobatan, kematian ternak yang rentan, dan menurunnya respon pertahanan tubuh secara umum terhadap serangan penyakit lain. Kompleksitas biologi sestoda dengan jenis inang antara yang berperan, serta kesulitan-kesulitan di atas, maka pengendalian secara terpadu termasuk sanitasi lingkungan kandang dan pengendalian inang antara perlu dipertimbangkan.

Berbagai aspek yang terkait dalam kejadian sestodosis termasuk jenis-jenis sestoda yang melibatkan jenis serangga tertentu dalam transmisinya pada ayam petelur komersial di Indonesia belum pernah dilaporkan secara ilmiah. Telaah jenis-jenis sestoda dan prevalensi sestodosis, jenis-jenis serangga inang antara, serta faktor-faktor yang meningkatkan peluang terjadinya sestodosis pada penelitian ini pertama dilakukan di Indonesia.

1.2Tujuan Penelitian

1 Menemukan jenis sestoda serta mengukur derajat dan prevalensi infeksinya pada ayam ras petelur.

2 Menemukan jenis serangga inang antara dan mengukur derajat serta prevalensi infeksi sistiserkoidnya.

3 Membuktikan potensi serangga yang diduga sebagai inang antara dengan cara infeksi coba pada serangga maupun ayam.

4 Mempelajari faktor-faktor risiko infeksi sestoda pada ayam ras petelur.

(27)

4

1.3Hipotesis

1 Ditemukan lebih dari satu jenis sestoda pada ayam ras petelur komersial.

2 Lalat Musca domestica dan kumbang Alphitobius diaperinus

berpotensi sebagai inang antara sestoda pada ayam petelur komersial. 3 Tingkat kejadian sestodosis pada ayam ras petelur komersial

dipengaruhi oleh faktor inang (umur, ras, dan populasi), tipe iklim area peternakan (kering dan basah), serta manajemen (sistem kandang, struktur kandang, pembuangan manur, dan pemberian antelmintik).

4 Terdapat variasi profil protein sistiserkoid dari spesies sestoda yang berbeda pada inang antara yang berbeda.

1.4Manfaat Penelitian

Beberapa hal sangat berharga dapat dilakukan dari hasil penelitian ini: 1 Pengetahuan biologi sestoda khususnya cacing pita di Indonesia,

secara lengkap pada peternakan ayam ras petelur, termasuk pengetahuan prevalensi, derajat infeksi, jenis-jenis sestoda, serta jenis-jenis inang antaranya. Pengetahuan ini merupakan informasi dasar di dalam menyusun strategi pengendalian cacing pita pada ayam petelur.

2 Pengetahuan jenis serangga tertentu dalam transmisi infeksi sestoda pada ayam petelur yang dipelihara dengan manajemen tertentu menjadi landasan pengendalian secara terpadu termasuk memperbaiki menejemen.

(28)

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sestoda (cacing pita)

Mula-mula sestoda dianggap sebagai suatu koloni organisme yang beranggota segmen-segmen atau ruas-ruas (proglotida) sebagai individu yang masing-masing dilengkapi dengan seperangkat organ reproduksi jantan maupun betina. Sejak diketahuinya bahwa sestoda memiliki siklus hidup kompleks dengan beberapa stadium perkembangan maka dikenal dua kelompok besar sestoda yaitu cacing pita sejati (bentuk sestoda, sebagian besar polyzoic) dan cacing pita tidak sejati (bentuk sestodarian, monozoic). Istilah maupun pengelompokan antara sestoda dan sestodarian mengalami beberapa perubahan klasifikasi seiring dengan berjalannya waktu (Yamaguti 1959; Wardle & McLeod 1952). Pada kurun waktu dua puluh tahun kemudian, beberapa taksonom sestoda membuat revisi klasifikasi terutama pada tingkat famili dan genus, dari 14 ordo (Khalil et al. 1994) diantaranya adalah ordo Pseudophyllidea dan Cyclophyllidea. Beberapa spesies dalam kedua ordo tersebut merupakan sestoda parasitik pada unggas dan mamalia. Oleh karena itu penjelasan morfologi dan siklus hidup pada tulisan ini lebih ditekankan pada kedua kelompok ini.

2.1.1 Morfologi

(29)

6 Panjang tubuh sestoda bervariasi, dari beberapa milimeter hingga beberapa meter. Bagian-bagian tubuh terdiri dari skoleks, leher, dan strobila. Skoleks adalah bagian tubuh yang menempel pada mukosa usus inang sebagai habitatnya, terletak di bagian anterior tubuh. Oleh karena itu dilengkapi dengan dua atau empat batil hisap dengan ciri khas masing-masing jenis cacingnya. Pada umumnya batil hisap yang berjumlah empat (acetabula) berbentuk mirip setengah bola, yaitu masing-masing dua terletak di bagian dorsal dan ventral tubuh, didukung oleh muskular yang kuat dan kadang-kadang juga terdapat deretan kait (hook) untuk menempel. Struktur organ apikal pada ordo Cyclophyllidea disebut rostelum. Rostelum ini dapat disembulkan atau ditarik dari dan ke dalam kantung rostelar (protrusible), menyerupai bentuk kubah di ujung apikal skoleks, kadang-kadang dilengkapi dengan deretan kait. Kait-kait rostelum digunakan untuk memfiksir ketika melakukan penetrasi jauh ke dalam mukosa usus inang.

Leher adalah bagian sangat sempit dan pendek di antara skoleks dan strobila yang mengandung sel kecambah, dan merupakan zona proliferatif yang membentuk rantai proglotida. Strobila adalah bagian tubuh sestoda paling besar berupa rantai proglotida yang tersusun secara linier. Pertumbuhan proglotida terjadi secara bertahap dan kontinyu selama kelangsungan hidupnya dalam tubuh inang definitif. Pada proglotida yang baru tumbuh belum terjadi diferensiasi sel, sehingga berukuran lebih pendek dan sempit dibandingkan dengan yang tumbuh lebih dahulu. Berlanjut dengan pertumbuhan proglotida berikutnya akan mendorong proglotida sebelumnya kearah posterior. Secara bersamaan juga terjadi pertumbuhan menjadi lebih besar ukurannya dan perkembangan organ reproduksi yang berangsur-angsur menjadi dewasa sampai gravid. Satu individu sestoda yang tumbuh normal memiliki tiga stadium perkembangan proglotida yaitu proglotida muda (immature), dewasa (mature), dan matang (gravid). Morfologi proglotida dewasa digunakan sebagai sebagian kriteria pengenalan jenis-jenis sestoda.

(30)

7 terbungkus oleh kantung sirus (cirrus pouch). Sistem organ reproduksi betina terdiri dari ovarium, vitelaria, ootipe, uterus, vagina, reseptakulum seminalis, dan saluran-saluran yang menghubungkan diantaranya. Bentuk, ukuran, dan letak ovarium bervariasi menurut jenis sestoda. Setelah mengalami proses pematangan, telur muda selanjutnya keluar dari ootipe menuju uterus hingga berkembang menjadi telur yang matang dan siap dibebaskan bersama-sama dengan proglotida gravid. Ketika dikeluarkan dari tubuh inang definitif biasanya telur telah berembrio yang disebut onkosfer. Onkosfer berbentuk bulat atau lonjong, simetris bilateral, dan dipersenjatai dengan tiga pasang kait (hooks). Stadium sejak onkosfer bebas dari proglotida gravid sampai menjadi larva infektif dalam tubuh inang antara disebut metasestoda (Noble et al. 1989). Telah dikenal beberapa tipe metasestoda yang berbeda dalam ukuran, adanya gelembung yang berisi cairan atau dalam bentuk padat yang mengandung protoskoleks dalam jumlah tertentu. Beberapa tipe metasestoda yang umum dikenal adalah proserkoid, pleroserkoid, sistiserkoid, sistiserkus, koenurus, dan hidatida. Sistiserkoid adalah tipe metasestoda yang ditemukan dalam rongga tubuh serangga inang antara yang memiliki ciri protoskoleks tunggal dengan posisi evaginasi, dan gelembung padat (kadang-kadang disertai dengan serkomer) (Soulsby 1982; Wardle & McLeod 1951).

2.1.2 Siklus hidup

(31)

8 Gambar 1 Siklus hidup sestoda ayam. A. Inang antara dimakan ayam. B. Proglotida gravid keluar melalui anus. C. Proglotida gravid dimakan inang antara. a Lumen usus inang antara. b Onkosfer. c Lumen usus inang definitif. d Sistiserkoid. e Sestoda dewasa. f Destrobilisasi proglotida gravid (Modifikasi: Calentine 1985, Dunford & Kaufman 2006; Schwartz 1994; Moorman 2004).

memerlukan sekurang-kurangnya dua inang dalam siklus hidupnya, yaitu inang antara sebagai habitat berkembang metasestoda yang infektif bagi inang definitif. Inang definitif adalah habitat sestoda dewasa yang menghasilkan telur. Rantai makanan merupakan faktor utama dalam transmisi sestoda. Oleh karena itu kelangsungan hidup jenis sestoda apapun pada suatu tempat tertentu ditunjang oleh adanya peran dan perilaku dua inang yang umumnya berhubungan erat secara ekologik. Sejumlah besar telur yang bebas maupun yang tetap berada dalam proglotida gravid adalah sumber infeksi yang sangat potensial di lingkungan luar inang. Proglotida gravid lepas (destrobilisasi) secara tunggal atau dalam bentuk rantai dari rangkaian strobila dan secara aktif atau pasif keluar bersama-sama tinja inang. Telah dibuktikan bahwa sepanjang 25% posterior strobila bersifat infektif terhadap inang antara maupun inang definitifnya (Retnani et al. 1993; 1995).

A

B a

b

c d

e

(32)

9 Ayam terinfeksi merupakan sumber infeksi bagi serangga inang antara di lingkungan peternakan. Beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah telur/proglotida gravid adalah populasi ayam terinfeksi, derajat infeksi setiap ekor ayam, serta status kekebalan inang (Kano & Ito 1983; Wakelin 1984; Sukhideo & Mettrick 1987). Gray (1972a; 1973) dalam: Kennedy (1975) mengamati penglepasan proglotida pada ayam yang diinfeksi 100 ekor sistiserkoid

Raillietina cesticillus. Pada hari ke 28 hingga hari ke 70 setelah infeksi terjadi destrobilisasi terus-menerus namun skoleks persisten. Pengamatan pada hari ke 20 sebanyak 120-200 proglotida keluar/ayam/hari, berikutnya pada hari ke 39 jumlah yang dikeluarkan menurun perlahan hingga skoleks mulai gugur pada hari ke 56. Penelitian tersebut juga mengamati manifestasi respon kebal ayam terhadap infeksi R. cesticillus yaitu terjadi penurunan pemapanan (establishment) dan pertumbuhan, destrobilisasi dan gugurnya skoleks berlangsung lebih cepat. Kinetik pembentukan, pematangan, dan periodisasi penglepasan proglotida gravid telah dipelajari pada jenis sestoda mamalia yaitu Taenia (Silverman 1954) dan

Hymenolepis (Kumazawa & Suzuki 1982). Proglotidisasi, pematangan, dan penglepasan proglotida tidak konstan selama proses perkembangan sestoda (Silverman 1954; Kumazawa & Suzuki 1982) dan tidak semua telur di dalamnya fertil (Silverman 1954; Loos-Frank 1987). Proporsi proglotida dewasa:gravid pada individu sestoda berubah menurut penurunan laju proglotidisai dan bertambahnya umur cacing. Setelah perkembangan maksimum dicapai, laju proglotidisasi berangsur menurun namun kecepatan diferensiasi tetap sama (Kumazawa & Suzuki 1982).

(33)

10 (Pintner 1913 dalam: Wardle & McLeod 1951). Pseudoapolisis terjadi pada kelompok sestoda yang memiliki porus uteri. Telur yang telah matang dikeluarkan melalui porus uteri ketika cacing masih berada dalam usus inang tanpa destrobilisasi terlebih dahulu kecuali setelah uterusnya relatif kosong.

Siklus berikutnya adalah tertelannya telur sestoda oleh inang antara kemudian menetas di dalam usus membebaskan onkosfer. Aktivasi penetasan dipengaruhi oleh aktivitas muskular untuk menggerakkan kait-kait embrio secara mekanik merobek lapisan dinding telur. Mekanisme penetasan ini juga dipengaruhi secara kimiawi, umumnya reaksi ensimatik baik yang berasal dari inang antara maupun parasit itu sendiri (Silverman 1954; Smyth & McManus 1989; Read et al. 1951; Heyneman 1959). Onkosfer yang telah bebas akan melakukan penetrasi ke dalam mukosa usus inang antara kemudian bermigrasi melalui sistem sirkulasi disertai perkembangan yang progresif hingga menjadi larva infektif bagi inang definitif. Tempat terakhir larva infektif adalah jaringan organ atau bagian tubuh lainnya pada inang antara vertebrata atau rongga tubuh inang antara invertebrata. Kelangsungan hidup selanjutnya adalah transmisi pasif melalui inang definitif yang menelan jaringan/organ inang antara yang mengandung metasestoda. Seperti halnya proses penetasan telurnya, faktor-faktor fisikokimiawi yang khas pada setiap jenis inang definitif akan mempengaruhi keberhasilan evaginasi protoskoleks metasestoda (ekskistasi) hingga menempel pada mukosa usus, proglotidisasi, tumbuh dan berkembang menjadi sestoda dewasa.

2.2 Sestoda Parasitik pada Ayam Ternak 2.2.1 Jenis-jenis sestoda

(34)

11 Tabel 1 Spesies sestoda yang umum ditemukan pada ayam ternak.

No Famili Spesies Inang antara

1 Hymenolepididae Hymenolepis carioca Lalat, kumbang

H. cantaniana Kumbang

Fimbriaria fasciolaris Kopepoda 2 Davaineidae Davainea proglottina Siput

Raillietina echinobothrida Semut

R. tetragona Lalat, semut

R. cesticillus Lalat, kumbang

R. magninumida Semut

Cotugnia digonopora Tidak diketahui 3 Dilepididae Choanotaenia infundibulum Lalat, kumbang

Amoebotaenia cuneata Cacing tanah 4 Paruterinidae Metroalisthes lucida Belalang

Sumber: Permin & Hansen (1998).

famili Davaineidae paling sering ditemukan dan merupakan sestoda yang dominan menginfeksi unggas liar maupun piaraan termasuk ayam ternak (Abdelqader et al. 2008; Adang et al. 2008; Ahmed & Sinha et al. 1993; Amr et al. 1988; Hassouni dan Belghyti 2006; Irungu et al. 2004; Ketaren 1992; Kuney 1997; Kurkure et al.

1998; Luka & Ndams 2007; Magwisha et al. 2002; Mcjunkin et al. 2003; Mpoame 1995; Muhaerwa et al. 2007; Mungube 2007; Mushi et al. 2000; Poulsen

(35)

12 setelah menelan inang antara yang mengandung sistiserkoid. Diawali dengan penempelan bagian skoleksnya (attachment) pada mukosa intestin ayam, selanjutnya tumbuh (proglotidisasi) dan berkembang menjadi cacing pita dewasa.

2.2.2 Patofisiologi infeksi dan gejala klinis

Derajat infeksi ringan oleh nematoda gastrointestinal pada ayam dapat ditolerir tubuh tanpa mempengaruhi kesehatannya. Sebaliknya jika terinfeksi berat akan terjadi kompetisi dalam pemenuhan kebutuhan standar nutrisi untuk kelangsungan hidup inang-parasit (Smith et al. 2005). Dampak yang lain adalah kelemahan umum dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit lain (Small 1996). Sebagian besar tulisan menganggap bahwa infeksi oleh sestoda sangat sedikit mempengaruhi kesehatan hewan bahkan terabaikan. Sejumlah sestoda yang berukuran besar dapat menyebabkan penyumbatan lumen usus inang. Variasi spesies sestoda menunjukkan perbedaan patogenitasnya.

(36)

13 akibat infeksi R. echinobothrida adalah enteritis hiperplastik kataral dengan pembentukan granuloma pada area penempelan skoleks (Nadakal et al. 1973) terutama pada kasus infeksi berat. Enteritis bisa meluas, diikuti dengan diare, kurus, gejala paling umum lesu dan nafsu makan menurun. Infeksi oleh tiga ekor

R. tetragona pada ayam petelur berumur tiga minggu menunjukkan adanya lesi di intestin, fokal erosi pada epitel, enteritis, dan akumulasi limfosit terutama di sekitar skoleks yang masuk ke dalam lamina propria (Saeed 2007, Salam et al. 2009).

Dari gambaran klinis dan patologinya, sekurang-kurangnya sestodosis menimbulkan gangguan fungsi penyerapan nutrisi yang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, penurunan berat karkas maupun produktivitas termasuk produksi telur. Defisiensi nutrien terutama protein menyebabkan gangguan pertahanan tubuh sehingga inang lebih rentan terhadap infeksi. Pada ayam muda menyebabkan kekerdilan dan kematian tinggi (Dharmendra & Pande 1963 dalam: Wasito et al. 1994). Infeksi oleh spesies R. echinobothrida menyebabkan penurunan haemoglobin, hematokrit, jumlah butir sel darah merah, protein serum, serta peningkatan butir sel darah putih (Samad et al. 1986).

2.2.3 Prevalensi sestodosis pada ayam ternak

(37)

14 96 % (Kusumamiharja 1973) hingga penelitian-penelitian berikutnya. Susilowati (1990), He et al. (1991), dan Retnani et al. (2000; 2001) melaporkan dari wilayah yang sama dengan jumlah kejadian berturut-turut sebesar 91% dan 89,7% (dari 74 ekor ayam kampung) dan 67,49% dari total 168 ekor ayam kampung yang dikandangkan dan diumbar di pekarangan). Berbagai jenis sestoda yang menyerang ternak ayam yang dominan di daerah Surabaya, Sulawesi Selatan, Kota Padang, dan Bogor adalah dari genus Raillietina (Budiarti 1985; Samad et al. 1986; Ketaren & Arif 1988; Purwati 1989; Suwarti 1992).

Kejadian sestodosis pada ayam ternak dengan sistem pemeliharaan secara tradisional juga banyak dilaporkan di negara lain. Di negara tetangga Malaysia sestodosis memiliki prevalensi tertinggi dari infeksi cacing saluran pencernaan pada 60 ekor ayam Gallus domesticus yang diumbar di beberapa desa di Penang, Malaysia. Secara kuantitatif R. echinobothrida paling banyak ditemukan namun prevalensinya sama besarnya dengan R. tetragona yaitu 93,3%, sedangkan jenis yang lain yaitu H. carioca 70%, dan R. cesticillus 48,33% (Rahman et al. 2009). Beralih ke negara lain yaitu di wilayah Jordania Utara, 208 ekor ayam betina dan jantan lokal, terinfeksi Genus Amoebotaenia, Davainea, Raillietina, dan

Hymenolepis dengan kisaran prevalensi paling rendah 1,4% (Davainea) dan tertinggi 35% (Hymenolepis) (Abdelqader et al. 2008).

Masalah endoparasitosis khususnya kecacingan juga banyak dilaporkan di berbagai negara Afrika. Total prevalensi sestodosis dari 351 ekor ayam ras lokal yang dikumpulkan dari pasar hewan Dschang, Kamerun Barat, H. carioca

48,43%, A. cuneata 15,10%, R. tetragona 14,53%, dan H. cantaniana 5,70% (Mpoame & Agbede 1995). Sebanyak 100 ekor ayam yang dipelihara dengan sistem umbar di daerah Ghana, Afrika Barat, tingkat prevalensi setiap jenis sestoda paling tinggi berturut-turut R. echinobothrida 81%, Hymenolepis spp.

66%, R. tetragona 59%, R. cesticillus 12% (Poulsen et al. 2000). Sestodosis di beberapa kota di Kenya, dari 456 ekor sampel ayam local, 47,53% terinfeksi cacing pita (Irungu et al. 2004). Demikian pula yang terjadi di Nigeria, 1080 ekor dibeli dari pasar tradisional di Maiduguri, 56% sestodosis hanya disebabkan oleh satu Genus Raillietina dengan rincian R. echinobothrida 52,8 %, R. cesticillus

(38)

15 Pusat, 125 ekor ayam yang diumbar hanya terinfeksi Raillietina spp. 81,6% (Phiri

et al. 2007). Di wilayah lain hanya ditemukan satu jenis sestoda yaitu R. tetragona

dengan prevalensi 92,5% pada 80 ekor Gallus gallus berumur lebih dari enam bulan sepanjang musim hujan di Nigeria Timur (Fakae & Nwalusi 2000). Di Samaru, Zaria Nigeria, 92 ekor sampel ayam lokal Gallus gallus domesticus yang dipelihara di area pedesaan memiliki prevalensi H. carioca 25%, R. tetragona

23,9%, R. echinobothrida 13,0%, C. infundibulum 10,9%, R. cesticillus 9,8% (Luka & Ndams 2007). Tingkat kejadian sestodosis pada 200 ekor sampel ayam potong lokal di Bauch, Nigeria berturut-turut 3,3% dan 8-42% disebabkan oleh genus Choanotaenia dan Raillietina (Yoriyo et al. 2008). Di Goromonzi, Zimbabwe, dari 50 ekor ayam muda dan 50 ekor dewasa terinfeksi setoda dengan masing-masing rasio sebesar 60:68 % (A. cuneata), 62:80% (Hymenolepis spp.), 66:34% (R. echinobothrida), 94:100% (R. tetragona), 50:76% (R. cesticillus) (Permin et al. 2002). Sampel sejumlah 267 ekor ayam yang dibeli dari pasar berdasarkan tiga wilayah agro-ekologik yang berbeda di Amhara, Ethiopia, terinfeksi R. echinobothrida sebesar 25,84%; R. tetragona 45,69%; R. cesticillus

5,62 %; A. sphenoides 40,45%; C. infundibulum 4,49%; D. Proglottina 1,12% (Eshetu et al. 2001).

Prevalensi masing-masing jenis sestoda bervariasi menurut karakter agroekologik setiap wilayah. Faktor agro-ekologik yang sama juga dilakukan pada 190 ekor ayam lokal di pusat Ethiopia dengan total prevalensi sestodosis sebesar 86,32% (Ashenafi & Eshetu 2004). Pengamatan endoparasitosis pada ayam pulet dan dewasa di pedesaan di Morogoro, Tanzania, dilakukan sejak awal dan

sepanjang musim hujan (Magwisha et al. 2002). Gambaran prevalensi

C. infundibulum (15%, 6%); D. proglottida (9%, 2%); R. tetragona (36%, 21%) lebih tinggi pada ayam pulet. Derajat infeksi R. tetragona tinggi pada pulet. Berturut-turut dari prevalensi tertinggi yaitu R. echinobothrida (65,3%),

H. cantaniana (53,7%), Amoebotaenia spp. 37,4%, R. tetragona 35,8%,

R. cesticillus 19,0%, dan C. infundibulum 3,2%. Penelitian di lokasi lain yaitu di daerah Gharb, Maroko, 300 ekor ayam sampel dari 3 desa terinfeksi H. carioca (3,7%), R. echinobothrida (5%), H. cantaniana (7%), R. tetragona (9,3%), dan

(39)

16 Pada umumnya pemeliharaan ayam ras komersial dilakukan dengan cara moderen. Terdapat anggapan bahwa kecacingan jarang menimbulkan kerugian pada hewan ternak yang dipelihara dengan sistem moderen (Abebe et al. 1997). Oleh karena itu sangat jarang laporan ilmiah tentang kecacingan pada ayam ternak di peternakan-peternakan moderen di Indonesia. Hasil pengamatan Zalizar et al. (2007) mengatakan bahwa kejadian sestodosis ditemukan pada enam buah peternakan ayam ras petelur di wilayah sentra peternakan ayam petelur komersial di Kabupaten Bogor, namun tidak menyebutkan angka prevalensinya. Beberapa kasus sestodosis pada peternakan ayam modern di luar Indonesia telah dilaporkan. Seperti yang dilakukan Abebe et al. (1997) bahwa di sekitar wilayah Addis Ababa, Ethiopia ditemukan kasus sestodosis pada ayam ternak ras lokal dan eksotik dengan prevalensi pada ternak yang dikandangkan 0% (98 ekor), sedangkan pada sistem semi intensif memiliki tingkat prevalensi R. cesticillus

7,69%, R. tetragona 1,92%, C. infundibulum 4,8% (104 ekor), dan R. cesticillus

37,87%, R. tetragona 26,32%, R. echinobothrida 29,47%, C. infundibulum 22,16 %, A. shenoides 12,63%, H. carioca 5,26% (95 ekor) pada ternak yang diumbar. Rabbi et al. (2006) menemukan R. tetragona pada ayam layer dan

A. sphenoides pada ayam yang diumbar di Mymensingh, Bangladesh. Masih berdekatan dengan India yaitu kota Faisalabad, Pakistan, rasio prevalensi sestodosis pada layer (lokal:luar) adalah R. echinobothrida 13,2%:2,0%,

R. tetragona 10,6%:3,0%, R. cesticillus 12,8%:3,6%, C. infundibulum 6,8%:3,4%, A. cuneata 1,8%:0%, H. cantaniana 5,2%:0%, dan H. carioca

9%:4,0% (Shah et al. 1999). Kecacingan di peternakan ayam modern juga dilaporkan dari wilayah Eropa dan Amerika. Ayam petelur komersil yang dipelihara dengan sistem baterai terinfeksi sestoda sebanyak 3,3% di Denmark (Permin et al. 2002). Wilson et al. (1994) melaporkan bahwa 70% dari kejadian sestodosis di peternakan ayam broiler di daerah Arkansas Amerika Serikat disebabkan oleh R. cesticillus.

Beberapa jenis sestoda infeksi alami pada unggas selain ayam ternak juga banyak ditulis. Sebanyak 50 ekor ayam hutan (A. graeca) di daerah pedesaan di Turki terinfeksi C. infundibulum 4%, R. echinobothrida 10%, R. tetragona

(40)

17

Fimbriaria fasciolaris 1%, Liruterina gallinarum 1%, R. echinobothrida 1%,

R. tetragona 2% (K ro lu dan Ta an 1996). C. infundibulum dan Lynuterina

nigropunctata juga ditemukan menginfeksi jenis ayam hutan yang lain (A. barbara) di Tenerife, pulau Canary (Foronda et al. 2005). M. lucida,

Raillietina sp., Choanotaenia sp., Imparmargo baileyi ditemukan pada kalkun liar (Meleagris gallopavo) di beberapa negara Kansas Timur (McJunkin et al. 2003). Di Abha, Saudi Arabia, lima jenis sestoda pertama kali ditemukan menginfeksi merpati liar (Columba livia) yaitu Killigrewia delafondi (Anoplocephalidae),

Retinometra serrata (Hymenolepididae), R. perplexa, dan R. echinobothrida serta

R. dattai (Davaineidae) pada ayam (Gallus gallus domesticus) (Dehlawi 2006). Hasil penelitian Muhairwa et al. (2007) terhadap 96 ekor itik anak (2-5 bulan) dan 96 ekor dewasa > 6 bulan yang diumbar di suatu wilayah di kota Morogoro, Tanzania, menunjukkan bahwa R. tetragona (10,4%) dan R. echinobothrida

(0,5%) hanya ditemukan pada itik anak. Adang et al. (2008) melaporkan beberapa jenis dalam famili yang sama pada 116 ekor merpati domestik (Columba livia domestica) di Zaria, Nigeria Utara, dengan prevalensi R.tetragona (27,1%),

R. cesticillus (0,45%), A. cuneata (0,83%), R. echinobothrida (10,6%),

H. cantaniana (1,7%), H. carioca (1,3%). Sebanyak 250 ekor merpati dari wilayah dan jenis yang sama hanya terinfeksi tiga spesies yaitu R. tetragona

(4,9%), R. cesticillus (3,0%), R. echinobothrida (7,6%) (Natala et al. 2009). Senlik et al. (2005) hanya menemukan 1% R. echinobothrida dari 100 ekor jenis merpati yang sama di Turki. Dhoot et al. (2002) mengamati kecacingan gastrointestinal pada berbagai jenis burung liar di kebun binatang Maharajbag, Nagpur. R. tetragona ditemukan pada burung beo (Cockatoa galierita) dengan prevalensi 22,22% dan burung merak betina (Pava cristatus) 16,66% selain

Davainea sp. sebesar 12,5%.

2.3 Serangga sebagai Inang Antara Sestoda

(41)

18 bahwa Musca domestica berperan dalam transmisi C. infundibulum secara alami karena ayam memakan lalat yang mengandung sistiserkoid (Reid & Ackert 1937). Jauh sebelumnya sistiserkoid dalam tubuh lalat ini juga ditemukan oleh Grassi dan Rovelli di Itali pada tahun 1892, kemudian tahun 1916 Gutberlet

mendeskripsikan skoleks sistiserkoid tersebut mirip dengan skoleks C. infundibulum. Jenis serangga lain yang dilaporkan pertama kali di Khartoum,

Sudan, sebagai inang antara C infundibulum adalah kumbang Alphitobius diaperinus (Elowni & Elbihari 1979). Sebanyak 78 ekor (14,39%) kumbang dewasa terinfeksi secara alami oleh sistiserkoid C. infundibulum, sedangkan stadium larvanya terinfeksi hanya 0,75%. Pada penelitian ini juga dilakukan infeksi coba proglotida gravid C. infundibulum namun perkembangan sistiserkoid pada kumbang tersebut gagal. Kegagalan ini juga dialami oleh Esmaeil (2004) yang menginfeksi A. diaperinus dan Tribolium confusum dengan proglotida

R. tetragona, R. cesticillus, A. cuneata, R. echinobothrida, H. carioca, C. infundibulum, dan Cotugnia digonophora, namun ditemukan infeksi alami

sistiserkoid C. digonophora sebanyak 0,3% dari 2314 ekor A. diaperinus.

Menurut Adams (1996) dan Kuney (1997), A. diaperinus atau disebut juga kumbang kotoran ayam diduga sebagai inang antara sestoda terutama bagi ayam yang dipelihara dengan sistem liter. Kumbang Famili Carabidae sejak lama telah dilaporkan sebagai inang antara R. cesticillus melalui infeksi coba, yaitu

Discoderus parallesus Hald, Pterostichus (Gastrostricta) ventralis (say), dan

Agonoderus comma F. (Case & Ackert 1940). Jenis serangga yang lain yaitu dua spesies belalang Geotrupes sylvaticus dan Cratacanthus dubius juga dilaporkan sebagai inang antara sestoda pada ayam dan kalkun serta beberapa burung di Amerika pada tahun 1916 oleh Joyeux, namun siklus hidup secara lengkap tidak dijelaskan (Horsfall & Jones 1937).

Jenis semut yang pertama kali dilaporkan sebagai inang antara

R. echinobothrida adalah Triglyphothrix striatidens dan Xiphomyrmex sp.

(Nadakal et al. 1973). Melalui pengamatan mikroskop cahaya dan elektron semut

(42)

19

Pachycondyla sennaarensis (Mayr) mengandung 1-40 sistiserkoid R. tetragona

setiap ekor semut pada ayam di Sudan (Muhammed et al. 1988). Beberapa spesies semut dari Genus Monomorium ditemukan sebagai inang antara C. digonophora

di India. M. scabriceps ditemukan di India Utara (Chand 1964 dalam: Ponnudurai & Chellappa 2001); M. gracilimum dan M. destructor di Kerala (Nadakal et al.

1970 dalam: Ponnudurai dan Chellappa 2001); M. floricola di Namakkal, Tamil Nad (Ponnudurai & Chellappa 2001). Sistiserkoid dari lima spesies Raillietina

pada perusahaan peternakan di Australia juga ditemukan dalam bagian gaster

tubuh semut Pheidole sp. (O’Callaghan et al. 2003). Jenis semut sebagai inang antara sestoda bervariasi menurut jenis sestodanya. Lasius niger dan T. sessile

spesies semut yang ditemukan sebagai inang antara pertama sestoda mamalia

Mesocestoides melalui uji DNA. Sebanyak 3,1% dari 223 sampel pul semut (1 pul=10 ekor) L. niger dan 2,4% dari 84 sampel kelompok semut T. sessile

mengandung DNA stadium metasestoda (sistiserkoid) dari Mesocestoides

(Padgett & Boyce 2005).

2.4 Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Sestoda pada Peternakan Ayam Petelur dalam Kandang Baterai

(43)

20

2.4.1 Kondisi Fisik Lingkungan

Mengingat bahwa sebagian besar sestoda ayam memiliki umur infeksi relatif singkat yaitu sekitar dua bulan, maka kontinyuitas keberadaan proglotida gravid (telur sestoda) tergantung dari lamanya ayam terinfeksi dan ketahanan hidup telur sestoda di lingkungan eksternal inang. Ketahanan telur sestoda ayam di lingkungan peternakan belum pernah dipelajari, walaupun terbukti bahwa sestodosis selalu ditemukan. Percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa sistiserkoid C. infundibulum hasil nekropsi M. domestica yang berasal dari peternakan tetap hidup sampai 72 jam disimpan dalam larutan garam fisiologis pada suhu 4 0C, namun hanya 24 jam pada suhu kamar (Ponnudurai et al. 2003). Jenis sestoda lain, yaitu telur Taenia saginata pada manur basah tetap hidup selama 71 hari, 16 hari di sampah kota, 33 hari di air sungai, dan 159 hari di lapangan penggembalaan (Jepsen & Roth (1949) dalam: Soulsby (1982). Di Australia, Seddon (1950) dalam Soulsby 1982 menemukan telur T. saginata

tetap hidup di lapangan penggembalaan sekurang-kurangnya selama delapan minggu dan 14,5 minggu dibawah terik matahari. Ketika musim dingin (di negara dengan empat musim) telur T. saginata tahan beberapa bulan di sampah dan lingkungan berlumpur, serta di air payau dan air asin (Pawlawsky 1994 dalam: Gajadhar et al. 2006). Telur Echinococcus tetap hidup diantara suhu -50 0C dan 70 0C, namun rusak dalam waktu singkat jika terpapar pada suhu antara -70 0C dan 100 0C (Eckert et al. 2001 dalam: Gajadhar et al. 2006). Ketahanan hidup telur H. diminuta rata-rata 11 hari jika tetap berada dalam pelet tinja tikus pada suhu 10 0C. Namun jika disimpan dalam bentuk ekstrak tinja di kertas saring pada suhu 30 0C hanya bertahan sekitar 30 menit (Keymer 1982). Kualitas dan kuantitas hidup telur sestoda berperan penting dalam infektifitasnya pada inang antara. Telur H. nana dalam pelet tinja yang langsung diambil dari rektum mencit hingga empat jam kemudian memiliki infektifitas 60% pada Tribolium sebagai inang antara coba (Maki & Yanagisawa 1987) dan terbukti lebih tinggi infektifitasnya dibandingkan dengan telur yang diisolasi langsung dari cacingnya (El-Sayad & Lotfy 2005). Pada penelitian tersebut juga menyatakan bahwa telur

(44)

21

2.4.2 Keberadaan inang antara

Keberhasilan transmisi sestodosis pada ayam ternak tergantung pada keberadaan jenis serangga tertentu sebagai inang antara potensial di lingkungan peternakan. Apabila terdapat populasi serangga jenis tertentu di area peternakan berarti di lingkungan tersebut tersedia media perindukan bagi serangga tersebut.

Tipe produksi ternak ayam memiliki sistem manajemen yang berbeda-beda dengan masing-masing permasalahan penyakit parasitik yang ditimbulkan. Misalnya ayam ternak broiler dan pembibitan yang dipelihara di lantai liter memiliki masalah kumbang (Axtell & Arends 1990), karena erat berhubungan dengan pakan ayam (komponen biji-bijian) dan kelembaban liter. Telah diketahui bahwa beberapa jenis kumbang yang ditemukan di peternakan ayam (Kuney 1997) merupakan vektor atau transmiter penyakit-penyakit (Dunford & Kaufman 2006) ayam. Selain sestoda, penyakit-penyakit ayam yang dapat ditularkan misalnya nematoda ayam Subulura brumpti (Karunamoorthy et al. 1994), protozoa (Apuya et al. 1994), bakterial (Skov et al. 2004; Bates et al. 2004), maupun fungal (CastrilloS et al. 1998). Selain liter sebagai media hidup, stadium pupasi kumbang lebih cenderung di dinding-dinding kandang yang terbuat dari kayu atau bagian pangkal kandang yang menyentuh tanah. Dengan demikian masalah gangguan kumbang tidak hanya berhubungan dengan liter, namun terdapat juga di peternakan ayam dengan bangunan kandang yang mengandung unsur kayu termasuk kandang baterai.

(45)

22 transmiter dalam berbagai penyakit yang ditularkan melalui makanan/pakan baik pada manusia maupun hewan, termasuk penyakit bakterial saluran pencernaan pada peternakan ayam layer (Dhillon et al. 2004; Kinde et al. 2005; Olsen & Hammack 2000). Masalah lalat dan kumbang liter ini merupakan masalah utama hama peternakan ayam yang sulit pengendaliannya (Kuney 1997).

2.4.3 Tata laksana peternakan

Tipe ayam pedaging dan petelur adalah jenis unggas ternak yang umum dipelihara secara intensif dalam usaha peternakan ayam komersial menggunakan teknik moderen. Alternatif metode pemeliharaan ayam ras petelur (Fanatico 2006) adalah menggunakan sistem khusus seperti cages,cage-free, dan free-range. Tipe kandang merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kualitas telur (Moorthy et al. 2000; Muthusamy & Viswathan 1999; Premavalli & Viswanathan 2004). Sistem cages dengan menggunakan kandang baterai adalah metode yang umum pada peternakan-peternakan ayam ras petelur di Indonesia. Pada sistem intensif ayam tetap berada dalam ruangan bahkan kandang individu dengan kepadatan tinggi, sehingga penanganan manur sebagai limbah utama perlu diperhatikan.

(46)

23

2.4.4 Perilaku inang

Sulit ditelaah bahwa prevalensi sestodosis yang terjadi di lapangan tinggi namun secara logis peluang transmisinya rendah. Menurut Mackiewics (1988), sestoda memiliki tiga strategi dasar dalam transmisinya untuk mempertahankan kelangsungan siklus hidupnya. Pertama, dalam siklus hidupnya parasit beradaptasi dengan biologi inang; kedua, menyajikan stadium infektif dengan meningkatkan peluang kontak antara inang dan parasit; ketiga, meningkatkan potensi reproduksi. Strategi ke dua adalah hal yang telah dipelajari oleh beberapa peneliti berkaitan dengan perilaku inang. Sejumlah parasit yang daur hidupnya kompleks mungkin memiliki umur singkat di dalam tubuh inang antaranya, terlebih transmisi ke inang definitif bersifat pasif melalui rantai makanan atau predasi.

Sebuah hipotesis menyebutkan bahwa perubahan perilaku inang merupakan satu diantara strategi parasit untuk meningkatkan transmisi ke inang berikutnya. Beberapa penelitian untuk membuktikan perubahan perilaku tersebut telah dilakukan. Berhubungan dengan perilaku makan, burung Quelea quelea

Gambar

Gambar  1   Siklus hidup sestoda ayam.  A. Inang antara dimakan ayam. B. Proglotida gravid keluar melalui anus
Tabel 1  Spesies sestoda yang umum ditemukan pada ayam ternak.
Gambar  3   Bagan alur perlakuan setiap ekor sampel ayam dan manur.  1 Pengumpulan sestoda
Gambar  4 Bagan alur infeksi sistiserkoid lapangan pada ayam dan tikus
+7

Referensi

Dokumen terkait