• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN

2.2 Sestoda Parasitik pada Ayam Ternak

2.2.3 Prevalensi sestodosis pada ayam ternak

Kejadian sestodosis pada unggas banyak dilaporkan dari beberapa wilayah di Indonesia pada ayam buras yang dipelihara secara tradisional. Selama kurun waktu lebih dari tiga dasawarsa terakhir prevalensinya mencapai 100%. Pada tahun 1973 telah dilaporkan tingginya tingkat kejadian sestodosis di beberapa wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah (masing-masing delapan kabupaten) sebesar 36-100% (Kusumamiharja 1973). Pengamatan pada 216 ekor ayam kampung di Surabaya terinfeksi sestoda sebanyak 89,35% (Sasmita 1980). Kejadian yang tinggi di luar Jawa telah dilaporkan oleh Ketaren dan Arif (1988) yaitu di kabupaten Takalar, Jeneponto, Bantaeng, dan Bulukumba di Sulawesi Selatan. Sedangkan kejadian di wilayah Sumatera sebesar 81,72% di Medan (Siahaan 1993) dan 100% di kecamatan Kotabumi kabupaten Lampung Utara, Lampung (Inbandiah 1995). Khusus di wilayah Bogor, tingkat kejadian sestodosis konstan relatif tetap tinggi sejak dilaporkan pertama kali pada tahun 1973 sebesar

14 96 % (Kusumamiharja 1973) hingga penelitian-penelitian berikutnya. Susilowati (1990), He et al. (1991), dan Retnani et al. (2000; 2001) melaporkan dari wilayah yang sama dengan jumlah kejadian berturut-turut sebesar 91% dan 89,7% (dari 74 ekor ayam kampung) dan 67,49% dari total 168 ekor ayam kampung yang dikandangkan dan diumbar di pekarangan). Berbagai jenis sestoda yang menyerang ternak ayam yang dominan di daerah Surabaya, Sulawesi Selatan, Kota Padang, dan Bogor adalah dari genus Raillietina (Budiarti 1985; Samad et al. 1986; Ketaren & Arif 1988; Purwati 1989; Suwarti 1992).

Kejadian sestodosis pada ayam ternak dengan sistem pemeliharaan secara tradisional juga banyak dilaporkan di negara lain. Di negara tetangga Malaysia sestodosis memiliki prevalensi tertinggi dari infeksi cacing saluran pencernaan pada 60 ekor ayam Gallus domesticus yang diumbar di beberapa desa di Penang, Malaysia. Secara kuantitatif R. echinobothrida paling banyak ditemukan namun prevalensinya sama besarnya dengan R. tetragona yaitu 93,3%, sedangkan jenis yang lain yaitu H. carioca 70%, dan R. cesticillus 48,33% (Rahman et al. 2009). Beralih ke negara lain yaitu di wilayah Jordania Utara, 208 ekor ayam betina dan jantan lokal, terinfeksi Genus Amoebotaenia, Davainea, Raillietina, dan

Hymenolepis dengan kisaran prevalensi paling rendah 1,4% (Davainea) dan tertinggi 35% (Hymenolepis) (Abdelqader et al. 2008).

Masalah endoparasitosis khususnya kecacingan juga banyak dilaporkan di berbagai negara Afrika. Total prevalensi sestodosis dari 351 ekor ayam ras lokal yang dikumpulkan dari pasar hewan Dschang, Kamerun Barat, H. carioca

48,43%, A. cuneata 15,10%, R. tetragona 14,53%, dan H. cantaniana 5,70% (Mpoame & Agbede 1995). Sebanyak 100 ekor ayam yang dipelihara dengan sistem umbar di daerah Ghana, Afrika Barat, tingkat prevalensi setiap jenis sestoda paling tinggi berturut-turut R. echinobothrida 81%, Hymenolepis spp.

66%, R. tetragona 59%, R. cesticillus 12% (Poulsen et al. 2000). Sestodosis di beberapa kota di Kenya, dari 456 ekor sampel ayam local, 47,53% terinfeksi cacing pita (Irungu et al. 2004). Demikian pula yang terjadi di Nigeria, 1080 ekor dibeli dari pasar tradisional di Maiduguri, 56% sestodosis hanya disebabkan oleh satu Genus Raillietina dengan rincian R. echinobothrida 52,8 %, R. cesticillus

15 Pusat, 125 ekor ayam yang diumbar hanya terinfeksi Raillietina spp. 81,6% (Phiri

et al. 2007). Di wilayah lain hanya ditemukan satu jenis sestoda yaitu R. tetragona

dengan prevalensi 92,5% pada 80 ekor Gallus gallus berumur lebih dari enam bulan sepanjang musim hujan di Nigeria Timur (Fakae & Nwalusi 2000). Di Samaru, Zaria Nigeria, 92 ekor sampel ayam lokal Gallus gallus domesticus yang dipelihara di area pedesaan memiliki prevalensi H. carioca 25%, R. tetragona

23,9%, R. echinobothrida 13,0%, C. infundibulum 10,9%, R. cesticillus 9,8% (Luka & Ndams 2007). Tingkat kejadian sestodosis pada 200 ekor sampel ayam potong lokal di Bauch, Nigeria berturut-turut 3,3% dan 8-42% disebabkan oleh genus Choanotaenia dan Raillietina (Yoriyo et al. 2008). Di Goromonzi, Zimbabwe, dari 50 ekor ayam muda dan 50 ekor dewasa terinfeksi setoda dengan masing-masing rasio sebesar 60:68 % (A. cuneata), 62:80% (Hymenolepis spp.), 66:34% (R. echinobothrida), 94:100% (R. tetragona), 50:76% (R. cesticillus) (Permin et al. 2002). Sampel sejumlah 267 ekor ayam yang dibeli dari pasar berdasarkan tiga wilayah agro-ekologik yang berbeda di Amhara, Ethiopia, terinfeksi R. echinobothrida sebesar 25,84%; R. tetragona 45,69%; R. cesticillus

5,62 %; A. sphenoides 40,45%; C. infundibulum 4,49%; D. Proglottina 1,12% (Eshetu et al. 2001).

Prevalensi masing-masing jenis sestoda bervariasi menurut karakter agroekologik setiap wilayah. Faktor agro-ekologik yang sama juga dilakukan pada 190 ekor ayam lokal di pusat Ethiopia dengan total prevalensi sestodosis sebesar 86,32% (Ashenafi & Eshetu 2004). Pengamatan endoparasitosis pada ayam pulet dan dewasa di pedesaan di Morogoro, Tanzania, dilakukan sejak awal dan

sepanjang musim hujan (Magwisha et al. 2002). Gambaran prevalensi

C. infundibulum (15%, 6%); D. proglottida (9%, 2%); R. tetragona (36%, 21%) lebih tinggi pada ayam pulet. Derajat infeksi R. tetragona tinggi pada pulet. Berturut-turut dari prevalensi tertinggi yaitu R. echinobothrida (65,3%),

H. cantaniana (53,7%), Amoebotaenia spp. 37,4%, R. tetragona 35,8%,

R. cesticillus 19,0%, dan C. infundibulum 3,2%. Penelitian di lokasi lain yaitu di daerah Gharb, Maroko, 300 ekor ayam sampel dari 3 desa terinfeksi H. carioca (3,7%), R. echinobothrida (5%), H. cantaniana (7%), R. tetragona (9,3%), dan

16 Pada umumnya pemeliharaan ayam ras komersial dilakukan dengan cara moderen. Terdapat anggapan bahwa kecacingan jarang menimbulkan kerugian pada hewan ternak yang dipelihara dengan sistem moderen (Abebe et al. 1997). Oleh karena itu sangat jarang laporan ilmiah tentang kecacingan pada ayam ternak di peternakan-peternakan moderen di Indonesia. Hasil pengamatan Zalizar et al. (2007) mengatakan bahwa kejadian sestodosis ditemukan pada enam buah peternakan ayam ras petelur di wilayah sentra peternakan ayam petelur komersial di Kabupaten Bogor, namun tidak menyebutkan angka prevalensinya. Beberapa kasus sestodosis pada peternakan ayam modern di luar Indonesia telah dilaporkan. Seperti yang dilakukan Abebe et al. (1997) bahwa di sekitar wilayah Addis Ababa, Ethiopia ditemukan kasus sestodosis pada ayam ternak ras lokal dan eksotik dengan prevalensi pada ternak yang dikandangkan 0% (98 ekor), sedangkan pada sistem semi intensif memiliki tingkat prevalensi R. cesticillus

7,69%, R. tetragona 1,92%, C. infundibulum 4,8% (104 ekor), dan R. cesticillus

37,87%, R. tetragona 26,32%, R. echinobothrida 29,47%, C. infundibulum 22,16 %, A. shenoides 12,63%, H. carioca 5,26% (95 ekor) pada ternak yang diumbar. Rabbi et al. (2006) menemukan R. tetragona pada ayam layer dan

A. sphenoides pada ayam yang diumbar di Mymensingh, Bangladesh. Masih berdekatan dengan India yaitu kota Faisalabad, Pakistan, rasio prevalensi sestodosis pada layer (lokal:luar) adalah R. echinobothrida 13,2%:2,0%,

R. tetragona 10,6%:3,0%, R. cesticillus 12,8%:3,6%, C. infundibulum 6,8%:3,4%, A. cuneata 1,8%:0%, H. cantaniana 5,2%:0%, dan H. carioca

9%:4,0% (Shah et al. 1999). Kecacingan di peternakan ayam modern juga dilaporkan dari wilayah Eropa dan Amerika. Ayam petelur komersil yang dipelihara dengan sistem baterai terinfeksi sestoda sebanyak 3,3% di Denmark (Permin et al. 2002). Wilson et al. (1994) melaporkan bahwa 70% dari kejadian sestodosis di peternakan ayam broiler di daerah Arkansas Amerika Serikat disebabkan oleh R. cesticillus.

Beberapa jenis sestoda infeksi alami pada unggas selain ayam ternak juga banyak ditulis. Sebanyak 50 ekor ayam hutan (A. graeca) di daerah pedesaan di Turki terinfeksi C. infundibulum 4%, R. echinobothrida 10%, R. tetragona

17

Fimbriaria fasciolaris 1%, Liruterina gallinarum 1%, R. echinobothrida 1%,

R. tetragona 2% (K ro lu dan Ta an 1996). C. infundibulum dan Lynuterina

nigropunctata juga ditemukan menginfeksi jenis ayam hutan yang lain (A. barbara) di Tenerife, pulau Canary (Foronda et al. 2005). M. lucida,

Raillietina sp., Choanotaenia sp., Imparmargo baileyi ditemukan pada kalkun liar (Meleagris gallopavo) di beberapa negara Kansas Timur (McJunkin et al. 2003). Di Abha, Saudi Arabia, lima jenis sestoda pertama kali ditemukan menginfeksi merpati liar (Columba livia) yaitu Killigrewia delafondi (Anoplocephalidae),

Retinometra serrata (Hymenolepididae), R. perplexa, dan R. echinobothrida serta

R. dattai (Davaineidae) pada ayam (Gallus gallus domesticus) (Dehlawi 2006). Hasil penelitian Muhairwa et al. (2007) terhadap 96 ekor itik anak (2-5 bulan) dan 96 ekor dewasa > 6 bulan yang diumbar di suatu wilayah di kota Morogoro, Tanzania, menunjukkan bahwa R. tetragona (10,4%) dan R. echinobothrida

(0,5%) hanya ditemukan pada itik anak. Adang et al. (2008) melaporkan beberapa jenis dalam famili yang sama pada 116 ekor merpati domestik (Columba livia domestica) di Zaria, Nigeria Utara, dengan prevalensi R.tetragona (27,1%),

R. cesticillus (0,45%), A. cuneata (0,83%), R. echinobothrida (10,6%),

H. cantaniana (1,7%), H. carioca (1,3%). Sebanyak 250 ekor merpati dari wilayah dan jenis yang sama hanya terinfeksi tiga spesies yaitu R. tetragona

(4,9%), R. cesticillus (3,0%), R. echinobothrida (7,6%) (Natala et al. 2009). Senlik et al. (2005) hanya menemukan 1% R. echinobothrida dari 100 ekor jenis merpati yang sama di Turki. Dhoot et al. (2002) mengamati kecacingan gastrointestinal pada berbagai jenis burung liar di kebun binatang Maharajbag, Nagpur. R. tetragona ditemukan pada burung beo (Cockatoa galierita) dengan prevalensi 22,22% dan burung merak betina (Pava cristatus) 16,66% selain

Davainea sp. sebesar 12,5%.

Dokumen terkait