• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETEPATAN TEKNIK DAN SAAT PEMBERIAN OBAT GASTRITIS PADA PASIEN DEWASA DI PUSKESMAS RAWAT INAP KEMILING BANDAR LAMPUNG PERIODE 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KETEPATAN TEKNIK DAN SAAT PEMBERIAN OBAT GASTRITIS PADA PASIEN DEWASA DI PUSKESMAS RAWAT INAP KEMILING BANDAR LAMPUNG PERIODE 2013"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

KETEPATAN TEKNIK DAN SAAT PEMBERIAN OBAT GASTRITIS PADA PASIEN DEWASA DI PUSKESMAS RAWAT INAP KEMILING

BANDAR LAMPUNG PERIODE 2013

Oleh

Fitrianisa Burmana

Pelayanan kesehatan yang bermutu merupakan salah satu kebutuhan dasar yang diperlukan setiap orang. Puskesmas sebagai penyedia pelayanan kesehatan menjadi salah satu tujuan pasien untuk berobat. Peresepan dan penggunaan obat merupakan salah satu andalan utama pelayanan kesehatan di Puskesmas. Pemberian informasi mengenai pengonsumsian obat sangatlah penting guna kesembuhan pasien. Sayangnya kebanyakan di masyarakat salah dalam menerapkan teknik dan waktu konsumsi obat, misalnya obat antasida langsung diminum tanpa dikunyah saat sebelum dan setelah makan akibatnya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit ini terus bertambah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian teknik dan saat pemberian obat gastritis pada pasien dewasa di Puskesmas Rawat Inap Kemiling Bandar Lampung.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif retrospektif. Populasi dalam penelitian ini seluruh data rekam medik pasien dengan diagnosis gastritis pada 1 Januari−31 Desember 2013. Jumlah saampel dalam penelitian ini berjumlah 100 orang dengan teknik pengambilan sampling dengan metode random sampling.

Kesesuaian teknik dan saat pemberian obat gastritis diukur melalui rekam medik. Dari hasil penelitian didaptkan 100% rekam medik yang tidak menuliskan secara jelas jenis sediaan obat dan teknik mengkonsumsi obat serta terdapat 20% peresepan yang menuliskan saat/waktu pemberian obat sedangkan 80% peresepan tidak menuliskan saat/waktu pemberian obat.

Kesimpulanya terdapat ketepatan teknik dan waktu yang rendah dari penggunaan obat gastritis berdasarkan catatan rekam medik di Puskesmas Rawat Inap Kemiling Kota Bandar Lampung.

(2)

PRECISION TECHNIQUES AND TIMING OF GASTRITIS DRUG IN ADULT PATIENTS IN HEALTH CENTER KEMILING BANDAR

LAMPUNG 2013

By

Fitrianisa Burmana

Quality health services is one of the basic necessities required for each person. PHC as health care providers become one of the patient for treatment. Prescribing and use of drugs is one of the major mainstay of health services at the health center. Giving information about the consumption of drugs is essential to cure the patient. Unfortunately most of the people go wrong in applying the techniques and time consumption of drugs, such as antacids drugs directly taken without chewing the time before and after eating as a result morbidity and mortality due to this disease continues to grow. This study aims to determine the suitability of current drug delivery techniques and gastritis in adult patients in health centers Inpatient Kemiling Bandar Lampung.

This research uses descriptive method retrospectively. The population in this study throughout the medical records of patients with a diagnosis of gastritis on January 1 to December 31, 2013. Total sampel in this study of 100 people with techniques sampling with random sampling method. Suitability technique and drug delivery gastritis time measured through medical records.

From the research results be obtained 100% write prescriptions that are not clearly the type of preparation of drugs and drug consuming technique and there is a 20% write prescriptions time of drug administration, while 80% did not write the prescription of current time of drug administration.

Conclusion there are techniques accuracy and low time of drug use gastritis based medical record in Inpatient Health Center Kemiling Bandar Lampung

(3)

KETEPATANTEKNIK DAN SAAT PEMBERIAN OBAT GASTRITIS PADA PASIEN DEWASA DI PUSKESMAS RAWAT INAP KEMILING

BANDAR LAMPUNG PERIODE 2013

Oleh

FITRIANISA BURMANA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 16Mei 1993, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari Bapak H. Bram Burmanajaya, SKM,.M.Kep dan Ibu Hj. Kalsum,S.Tr.Keb

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN polisi VKota Bogor pada tahun 2005, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SMP Negeri2 Kota Bogor pada tahun 2008, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 10 Kota Bogor pada tahun 2011.

(8)

SANWACANA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat berserta salam semoga senantiasa tercurah kepada suri tauladan dan nabi akhir zaman Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarganya, para sahabatnya dan kita selaku umatnya sampai akhir zaman.

Skripsi berjudul “KETEPATAN TEKNIK DAN SAAT PEMBERIAN OBAT

PENYAKIT GASTRITIS PADA PASIEN DEWASA DI PUSKESMAS RAWAT INAP KEMILING BANDAR LAMPUNG PERIODE 2013” ini disusun merupakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada semua pihak yang telah berperan atas dorongan, bantuan, saran, kritik dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan antara lain kepada:

1. Prof. Dr.Ir.Hi.Sugeng P Harianto,M.S selaku Rektor Universitas Lampung;

(9)

ini;

4. dr. Tri Umiana Soleha, M.Kes selaku Pembimbing Kedua atas semua bantuan, bimbingan, saran, pengarahan dan kesabaran dalam penyusunan skripsi ini;

5. Dra. Asnah Tarigan, Apt., M. Kes selaku pembahas yang telah memberikan banyak masukan dan nasehat selama penyelesaian skripsi ini;

6. dr. Betta kurniawan, M.Kesselaku pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan motivasi selama 4 tahun perkuliahan dan dalam penyusunan skripsi ini;

(10)

pengalaman untuk mencapai cita-cita;

9. Seluruh staff pegawai dan karyawan FK Universitas Lampung, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama ini;

10.Vidianka Rembulan, Giok Pemula,Yusi Farida,Nur Safira Anandita, Rozi Kodarusman Warganegara, Roby Arismunandar dan M.Ridho Dinilhaq beserta keluarga terimakasih atas keakraban, semangat, nasihat, doa, dan kebersamaannya yang selama initelah kalian berikan;

11.Giok Pemula dan Rifka Humaida, teman satu penelitianku yang suka duka bersama mengerjakan skripsi ini hingga selesai;

12.Teman-teman seperjuangan FK Unila angkatan tahun 2011 yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dan menyemangati selama proses perkuliahan. Terima kasih atas inspirasinya, kebersamaan yang terjalin, keakraban, dukungan, dan memberi motivasi belajar. Mainkan peran yang diberikan, nikmati proses dan syukuri hasilnya;

13.Seluruh sejawat kakak-kakak dan adik-adik tingkatku angkatan 2002-2014 FK Unila yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas kebersamaan dalam satu kedokteran;

(11)

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini berguna dan bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Bandar Lampung, 30Juni 2015

(12)

DAFTAR ISI

2.2 Mekanisme Kerja Obat Gastritis ... 19

2.2.1 Antasida ... 19

2.2.2 H2 Bloker ... 21

2.2.3 Proton Pump Inhibitor ... 23

2.3 Standar Pengobatan Gastritis di Pelayanan Kesehatan Primer ... 25

2.4 Penggunaan Obat Secara Rasional ... 27

2.5 Peresepan Obat ... 27

2.7.2 Hambatan Dalam Ketepatan ... 32

2.7.3 Pencegahan Ketidaktepatan ... 34

2.8 Kerangka Pemikiran ... 37

2.8.1 Kerangka Teori ... 37

(13)

3.3. Populasi dan Sampel ... 41

3.3.1 Populasi ... 41

3.3.2 Sampel ... 42

3.4. Variabel Penelitian ... 43

3.5. Definisi Operasional ... 44

3.6. Prosedur Penelitian ... 45

3.7. Pengumpulan Data ... 45

3.8. Pengolahan Data dan Analisis Data... 45

3.9. Etika Penelitian ... 46

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

4.1. Hasil penelitian ... 47

4.1.1 Ketepatan Teknik Pemberian Obat Dalam Penulisan Resep Pasien Gastritis ... 47

4.1.2 Ketepatan Saat Pemberian Obat Dalam Penulisan Resep Pasien Gastritis ... 48

4.2. Pembahasan ... 49

4.3. Keterbatasan Penelitian ... 53

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

5.1. Kesimpulan ... 55

5.2. Saran ... 55 DAFTAR PUSTAKA

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Definisi Operasional... 2. Distribusi Ketepatan Teknik Pemberian Obat Dalam Resep ….... 3. Distribusi Saat Pemberian Obat... 4. Distribusi Pemakaian Obat…………... 5. DistribusiJumlah Pemakaian Golongan Obat ...

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka teori penelitian ... 2. Kerangka konsep penelitian ... 3. Prosedur Penelitian ………

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saluran pencernaan merupakan gerbang utama masuknya zat gizi sebagai sumber pemenuhan kebutuhan tubuh baik untuk melakukan metabolisme hingga aktivitas sehari-hari. Lambung merupakan tempat yang paling utama makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan lambung menjadi hal yang sangat penting dalam optimalisasi pencernaan dan penyerapan gizi (Anggita, 2012). Gangguan lambung seperti gastritis merupakan salah satu penyakit yang paling banyak dijumpai di klinik penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009).

(17)

penuh atau kehilangan nafsu makan setelah beberapa gigitan makanan (Karwati, 2013).

Gastritis dapat disebabkan karena iritasi, infeksi, atropi mukosa lambung, stres, alkohol dan penggunaan obat-obat jangka panjang seperti Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) (Misnadiarly, 2009). Penyakit gastritis ini paling sering disebabkan karena infeksi bakteri Helicobacter pylori, sehingga Infeksi ini dapat menyebabkan peradangan pada lambung. Beberapa kasus menunjukkan lambung terjadi luka (tukak lambung). Kebanyakan kasus gastritis tidak secara permanen merusak lapisan perut tetapi seseorang yang menderita gastritis sering mengalami serangan kekambuhan yang mengakibatkan nyeri di ulu hati (Ehrlich, 2011).

(18)

Berdasarkan data yang didapat dari Dinas Kesehatan kota Bandarlampung, gastritis merupakan salah satu dari sepuluh besar penyakit terbanyak pada tahun 2013 maupun tahun 2014 di hampir seluruh puskesmas kota Bandar Lampung, dimana Puskesmas Rawat Inap Kemiling merupakan Puskesmas dengan jumlah kasus gastritis terbanyak dengan jumlah 6.309 kasus (Dinkes kota Bandar Lampung, 2014).

Gejala yang umum muncul pada penderita gastritis yaitu nyeri ulu hati, rasa tidak nyaman sampai nyeri pada saluran pencernaan terutama bagian atas, rasa mual, muntah, kembung, lambung terasa penuh, disertai sakit kepala. Gejala ini bisa menjadi akut, berulang dan kronis. Kekambuhan penyakit gastritis atau gejala muncul berulang karena salah satunya dipengaruhi faktor kejiwaaan atau stres (Misnadiarly 2009).

(19)

tersebut tidak lepas dari efek samping. Diantara obat yang paling konvensional digunakan untuk pengobatan gastritis adalah obat pompa proton inhibitor (PPI) seperti omeprazol namun sebagian besar obat ini menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan (Neal, 2006).

(20)

pengonsumsian obat antasida maka dapat mengakibatkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit ini terus bertambah.

Berdasarkan hal diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang ketepatan teknik dan saat pemberian obat gastritis pada pasien dewasa di Puskesmas Rawat Inap Kemiling Kota Bandar Lampung.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan kajian latar belakang di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut: Apakah teknik dan saat pemberian obat gastritis pada pasien dewasa di Puskesmas Rawat Inap Kemiling Kota Bandar Lampung tahun 2013 sudah tepat ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui ketepatan teknik dan saat pemberian obat gastritis pada pasien dewasa di Puskesmas Rawat Inap Kemiling Kota Bandar Lampung.

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

(21)

2. Untuk mengetahui kesesuaian waktu/saat mengkonsumsi obat penyakit gastritis di Puskesmas Rawat Inap Kemiling Kota Bandar Lampung terhadap standar pengobatan penyakit gastritis yang dikeluarkan oleh Kemenkes;

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti

1. Untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan penulis serta dapat menjadi pengalaman yang bermanfaat dalam menerapkan ilmu yang didapat selama perkuliahan;

2. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti lain sebagai acuan untuk melakukan penelitian di bidang ilmu farmasi.

1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan dapat menambah bahan kepustakaan dalam lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

1.4.3 Bagi Pemerintah

(22)

1.4.4 Bagi Masyarakat

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gastritis

2.1.1. Definisi

(24)

sedangkan hasil foto memperlihatkan iregularitas mukosa (Wibowo, 2007).

2.1.2. Klasifikasi

Klasifikasi gastritis (Mansjoer, 2001): 1. Gastritis Akut

Gastritis akut adalah suatu peradangan permukaan mukosa lambung yang akut dengan kerusakan erosi pada bagian superfisial. Pada gastritis ditemukan sel inflamasi akut dan neutrofil mukosa edema, merah dan terjadi erosi kecil dan perdarahan (Price dan Wilson, 2005). Gastritis akut terdiri dari beberapa tipe yaitu gastritis stres akut, gastritis erosif kronis, dan gastritis eosinofilik. Semua tipe gastritis akut mempunyai gejala yang sama. Episode berulang gastritis akut dapat menyebabkan gastritis kronik (Wibowo, 2007).

2. Gastritis kronik

(25)

a. Gastritis superfisial, dengan manifestasi kemerahan, edema, serta perdarahan dan erosi mukosa;

b. Gastritis atropi, dimana peradangan terjadi pada seluruh lapisan mukosa. Pada perkembangannya dihubungkan dengan ulkus dan kanker lambung, serta anemia pernisiosa. Hal ini merupakan karakteristik dari penurunan jumlah sel parietal dan sel chief;

c. Gastritis hipertropi, suatu kondisi dengan terbentuknya nodul-nodul pada mukosa lambung yang bersifat irregular, tipis dan hemoragik.

2.1.3. Epidemiologi

(26)

laporan sebesar 50% atau tujuh kabupaten kota yang melaporkan gastritis berada pada urutan kedua dengan jumlah kasus 134.989 jiwa (20,92% kasus) (Piero, 2014). Berdasarkan data yang didapat dari Dinas Kesehatan kota Bandarlampung, gastritis merupakan salah satu dari sepuluh besar penyakit terbanyak pada tahun 2013 maupun tahun 2014 (Dinkes kota Bandarlampung, 2014).

Lanjut usia meningkatkan resiko gastritis disebabkan karena dinding mukosa lambung semakin menipis akibat usia tua dan pada usia tua lebih mudah untuk terinfeksi Helicobacter pylori atau penyakit autoimun daripada usia muda. Diperkirakan lebih dari 85% dewasa tua mempunyai sedikitnya satu masalah kesehatan kronis yang dapat menyebabkan nyeri (Jackson, 2006).

Prevalensi gastritis pada wanita lebih tinggi dibandingkan pria, hal ini berkaitan dengan tingkat stres. Secara teori psikologis juga disebutkan bahwa perempuan lebih banyak menggunakan perasaan dan emosi sehingga mudah atau rentan untuk mengalami stres psikologis (Gupta, 2008).

2.1.4. Etiologi

1. Gastritis akut

(27)

atau intoksitasi dari bahan makanan dan minuman, garam empedu, iskemia dan trauma langsung (Muttaqin, 2011).

Faktor obat-obatan yang menyebabkan gastritis seperti OAINS (Indomestasin, Ibuprofen, dan Asam Salisilat), Sulfonamide, Steroid, Kokain, agen kemoterapi (Mitomisin, 5- fluoro-2-deoxyuridine), Salisilat dan digitalis bersifat mengiritasi mukosa lambung (Sagal, 2006). Hal tersebut menyebabkan peradangan pada lambung dengan cara mengurangi prostaglandin yang bertugas melindungi dinding lambung. Hal tersebut terjadi jika pemakaiannya dilakukan secara terus menerus atau pemakaian yang berlebihan sehingga dapat mengakibatkan gastritis dan peptic ulcer (Jackson, 2006).

Faktor-faktor penyebab gastritis lainnya yaitu minuman beralkohol, seperti whisky, vodka dan gin. Alkohol dan kokain dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada dinding lambung dan membuat dinding lambung lebih rentan terhadap asam lambung walaupun pada kondisi normal sehingga, dapat menyebabkan perdarahan (Wibowo, 2007).

Penyebab gastritis paling sering yaitu infeksi oleh bakteri H. Pylori, namun dapat pula diakibatkan oleh bakteri lain seperti H. heilmanii, Streptococci, Staphylococci, Protecus species, Clostridium species, E.coli, Tuberculosis dan Secondary syphilis

(28)

virus seperti Sitomegalovirus. Infeksi jamur seperti Candidiasis, Histoplasmosis dan Phycomycosis juga termasuk penyebab dari gastritis (Feldman,2001).

Gatritis dapat terjadi pada kondisi refluks garam empedu (komponen penting alkali untuk aktivasi enzim-enzim gastrointestinal) dari usus kecil ke mukosa lambung sehingga menimbulkan respons peradangan mukosa (Mukherjee, 2009). Terjadinya iskemia, akibat penurunan aliran darah ke lambung, trauma langsung lambung, berhubungan dengan keseimbangan antara agresi dan mekanisme pertahanan untuk menjaga integritas mukosa, yang dapat menimbulkan respons peradangan pada mukosa lambung (Wehbi, 2008).

Penyebab gastritis akut menurut Price (2006) adalah stres fisik dan makanan, minuman. Stres fisik yang disebabkan oleh luka bakar, sepsis, trauma, pembedahan, gagal nafas, gagal ginjal, kerusakan susunan saraf pusat dan refluks usus-lambung. Hal ini disebabkan oleh penurunan aliran darah termasuk pada saluran pencernaan sehingga menyebabkan gangguan pada produksi mukus dan fungsi sel epitel lambung (Price dan Wilson, 2005; Wibowo, 2007).

(29)

lambung antara lain asam lambung, pepsin, asam empedu, enzim pankreas, infeksi Helicobacter pylori, OAINS, alkohol dan radikal bebas (Greenberg, 2002).

2. Gastritis kronik

Penyebab pasti dari penyakit gastritis kronik belum diketahui, tetapi ada dua predisposisi penting yang bisa meningkatkan kejadian gastritis kronik, yaitu infeksi dan non infeksi (Muttaqin, 2011).

a. Gastritis infeksi

Beberapa peneliti menyebutkan bakteri Helicobacter pylori

merupakan penyebab utama dari gastritis kronik (Anderson, 2007). Infeksi Helicobacter pylori sering terjadi pada masa kanak-kanak dan dapat bertahan seumur hidup jika tidak dilakukan perawatan. Saat ini Infeksi Helicobacter pylori

diketahui sebagai penyebab tersering terjadinya gastritis (Wibowo, 2007; Price dan Wilson, 2005). Infeksi lain yang dapat menyebabkan gastritis kronis yaitu Helycobacter heilmannii, Mycobacteriosis, Syphilis,infeksi parasit dan infeksi virus (Wehbi, 2008).

b. Gastritis non-infeksi

(30)

menghancurkan kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung dan mengganggu produksi faktor intrinsik yaitu sebuah zat yang membantu tubuh mengabsorbsi vitamin B-12. Kekurangan vitamin B-12 akhirnya dapat mengakibatkan

pernicious anemia, sebuah kondisi serius yang jika tidak dirawat dapat mempengaruhi seluruh sistem dalam tubuh.

Autoimmue atrophic gastritis terjadi terutama pada orang tua (Jackson, 2006).

2) Gastropati akibat kimia, dihubungkan dengan kondisi refluk garam empedu kronis dan kontak dengan OAINS atau Aspirin (Mukherjee, 2009).

3) Gastropati uremik, terjadi pada gagal ginjal kronis yang menyebabkan ureum terlalu banyak beredar pada mukosa lambung dan gastritis sekunder dari terapi obat-obatan (Wehbi, 2008).

4) Gastritis granuloma non-infeksi kronis yang berhubungan dengan berbagai penyakit, meliputi penyakit Crohn, Sarkoidosis, Wegener granulomatus, penggunaan kokain,

(31)

5) Gastritis limfositik, sering disebut dengan collagenous

gastritis dan injuri radiasi pada lambung (Sepulveda, 2004).

2.1.5 Patofisiologi

Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya bersifat jinak dan merupakan respons mukosa lambung terhadap berbagai iritan lokal. Patofisiologi terjadinya gastritis dan tukak peptik ialah bila terdapat ketidakseimbangan faktor penyerang (ofensif) dan faktor pertahanan (defensif) pada mukosa gastroduodenal, yakni peningkatan faktor ofensif dan atau penurunan kapasitas defensif mukosa. Faktor ofensif tersebut meliputi asam lambung, pepsin, asam empedu, enzim pankreas, infeksi Helicobacter pylori yang bersifat gram-negatif, OAINS, alkohol dan radikal bebas. Sedangkan sistem pertahanan atau faktor defensif mukosa gastroduodenal terdiri dari tiga lapis yakni elemen preepitelial, epitelial, dan subepitelial (Pangestu, 2003).

(32)

Endotoksin bakteri setelah menelan makanan terkontaminasi, kafein, alkohol dan aspirin merupakan agen pencetus yang lazim. Infeksi H. pylori lebih sering dianggap sebagai penyebab gastritis akut. Organisme tersebut melekat pada epitel lambung dan menghancurkan lapisan mukosa pelindung, meninggalkan daerah epitel yang gundul. Obat lain juga terlibat, misalnya OAINS (indomestasin, ibuprofen, naproksen), sulfonamid, steroid, dan digitalis. Asam empedu, enzim pankreas, dan etanol juga diketahui mengganggu sawar mukosa lambung. Apabila alkohol diminum bersama dengan aspirin, efeknya akan lebih merusak dibandingkan dengan efek masing-masing agen tersebut bila diminum secara terpisah (Price dan Wilson, 2005).

2.1.6 Gejala klinis

Manifestasi klinik gastritis terbagi menjadi yaitu gastritis akut dan gastritis kronik (Mansjoer, 2001):

1. Gastritis akut

(33)

2. Gastritis kronik

Bagi sebagian orang gastritis kronis tidak menyebabkan gejala apapun (Jackson, 2006). Hanya sebagian kecil mengeluh nyeri ulu hati, anoreksia, nausea dan pada pemeriksaan fisik tidak dijumpai kelainan. Gastritis kronis yang berkembang secara bertahap biasanya menimbulkan gejala seperti sakit yang tumpul atau ringan (dull pain) pada perut bagian atas dan terasa penuh atau kehilangan selera setelah makan beberapa gigitan.

2.1.7 Diagnosis

Kebanyakan gastritis tanpa gejala. Keluhan yang sering dihubungkan dengan gastritis yaitu nyeri panas atau pedih pada ulu hati disertai mual dan muntah. Keluhan tersebut tidak bisa digunakan sebagai indikator dalam evaluasi keberhasilan terapi dari gastritis. Pemeriksaan fisik juga tidak memberikan informasi yang dibutuhkan dalam menegakkan diagnosis gastritis (Hirlan, 2009).

Diagnosis ditegakan berdasarkan pemeriksaan endoskopi dan histopatologi. Sebaiknya biopsi dilakukan secara sistematis yang mengharuskan menampilkan topografi. Gambaran endoskopi yang ditemukan adalah eritema, eksudatif, flat erosison, raised erosion,

(34)

hiperplasia foveolar, infiltrasi netrofil, inflamasi sel mononuklear, folikel limfoid, atropi, intestinal metaplasia, hiperplasia sel endokrin, dan kerusakan sel epitel. Pemeriksaan histopatologi juga menyertakan pemeriksaan Helicobacter pylori (Hirlan, 2009).

2.1.8 Komplikasi

Komplikasi gastritis dibagi menjadi dua yaitu gastritis akut dan gastritis kronik. Gastristis akut komplikasinya adalah perdarahan saluran cerna bagian atas berupa hematemesis dan melena. Komplikasi ini dapat berakhir syok hemoragik. Gastritis kronik komplikasinya adalah perdarahan saluran cerna bagian atas, ulkus, perforasi dan anemia (Mansjoer, 2001).

2.2 Mekanisme Kerja Obat Gastritis

2.2.1 Antasida

Antasida adalah basa lemah yang bereaksi dengan asam hidroklorik, membentuk garam dan air untuk mengurangi keasaman lambung. Enzim pepsin tidak aktif pada pH lebih tinggi dari empat, maka penggunaan antasida juga dapat mengurangkan aktivitas pepsin (Finkel, 2009). Obat ini juga memiliki efek pengurangan kolonisasi H. pylori dan merangsang sintesis prostaglandin (Mycek,2001).

(35)

keadaan normal mempunyai pH 1−2 dan ketiga dengan kombinasi kedua cara tersebut diatas. Antasida akan mengurangi rangsangan asam lambung terhadap saraf sensoris dan melindungi mukosa lambung terhadap perusakan oleh pepsin (Anwar, 2000).

Zat antasida sangat bervariasi dalam komposisi kimia, kemampuan menetralkan asam, kandungan natrium, rasa dan harganya. Kemampuan untuk menetralkan asam suatu antasida tergantung pada kapasitasnya untuk menetralkan HCl lambung dan apakah lambung dalam keadaan penuh atau kosong (makanan memperlambat pengosongan lambung, memungkinkan antasida bekerja untuk waktu yang lebih lama). Oleh karena hal tersebut efek antasida lebih baik jika dikonsumsi setelah makan (Mycek, 2001).

Antasida yang biasa digunakan adalah garam alumunium dan magnesium. Contoh seperti alumunium hidroksida (biasanya campuran Al(OH)3 dan alumunium oksidahidrat) atau magnesium hidroksida (MgOH2) baik tunggal ataupun dalam bentuk kombinasi.

Garam kalsium yang dapat merangsang pelepasan gastrin maka penggunanaan antasida yang mengandung kalsium seperti pada

Kalsium bikarbonat (CaCO3) dapat menyebabkan produksi tambahan.

Absorbsi natrium bikarbonat (NaHCO3) secara sistemik dapat

(36)

Dosis antasida yang diberikan sebanyak 3x500-1000 mg/hr (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Antasida dapat diminum saat menjelang tidur, pagi hari dan diantara waktu makan (Depkes, 2007). Obat ini memiliki 2 bentuk sediaan yaitu antasida DOEN I dan DOEN II. Antasida DOEN I terdiri dari kombinasi alumunium hidroksida 200 mg dan magnesium hidroksida 200 mg adalah tablet kunyah, sedangkan antasida DOEN II kombinasi dari alumunium hidroksida 200 mg/5 ml dan magnesium hidroksida 200 mg/5 ml adalah suspensi (Depkes, 2008).Golongan obat ini dalam pengkonsumsiannya memang harus dikunyah terlebih dahulu, hal ini untuk meningkatkan kerja obat dalam menurunkan asam lambung (Oktora, 2011).

Efek samping dari obat antasida bervariasi tergantung zat komposisinya. Alumunium hidroksida dapat menyebabkan konstipasi, sedangkan magnesium hidroksida dapat menyebabkan diare. Kombinasi keduanya dapat membantu menormalkan fungsi usus. Selain menyebabkan alkalosis sistemik, natrium bikarbonat

melepaskan CO2 yang dapat menimbulkan sendawa dan kembung

(Mycek, 2001).

2.2.2. H2 Bloker

Meskipun antagonis histamin reseptor H2 menghambat histamin pada

semua reseptor H2 namun penggunaan klinis utamanya ialah sebagai

(37)

lambung yang dikatakan efektif bagi menghambat sekresi asam nokturnal. Strukturnya homolog dengan histamin. Mekanisme kerjanya secara kompetitif memblokir perlekatan histamin pada reseptornya sehingga sel parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung. Inhibisi bersifat reversibel (Finkel, 2009).

Empat macam obat yang digunakan yaitu simetidin, ranitidin, famotidin dan nizatidin. Simetidin dan antagonis H2 lainya diberikan

secara per-oral, didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh dan diekskresikan dalam urin dengan waktu paruh yang singkat. Ranitidin memiliki masa kerja yang panjang dan lima sampai sepuluh kali lebih kuat. Efek farmakologi famotidin sama dengan ranitidin, hanya 20−50 kali lebih kuat dibandingkan dengan simetidin dan 3−20 kali lebih kuat dibandingkan ranitidin. Efek farmakologi nizatidin sama seperti ranitidin, nizatidin dieliminasi melalui ginjal dan sedikit yang terjadi metabolisme (Mycek, 2001).

Dosis terapeutik yang digunakan adalah Simetidin 2x400 mg/800 mg malam hari, dosis maintenance 400 mg. Ranitidin 300 mg malam hari, dosis maintenance 150 mg. Nizatidin 1x300 mg malam hari, dosis

maintenance 150 mg. Famotidin 1x40 mg malam hari, Roksatidin 2x75 mg atau 1x150 mg malam hari, dosis maintenance 75 mg malam hari (Finkel, 2009). Konsumsi obat antagonis reseptor H2 pada malam

(38)

mempercepat penyembuhan penyakit tukak lambung (Anonim, 2014, Oktora, 2011).

Efek samping simetidin biasanya ringan dan hanya terjadi pada sebagian kecil pasien saja sehingga tidak memerlukan penghentian pengobatan. Efek samping yang sering terjadi adalah sakit kepala, pusing, diare dan nyeri otot. Efek samping saraf pusat seperti bingung dan halusinasi terjadi pada lanjut usia. Simetidin memiliki efek endokrin karena obat ini bekerja sebagai antiandrogen nonsteroid. Efek ini berupa ginekomastia, galaktorea dan penurunan jumlah sperma (Mycek, 2001).

2.2.3. Proton Pump Inhibitor

Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim K+H+ATPase (pompa proton) yang akan memecah K+H+ATP menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam HCl dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel kanalikuli, menyebabkan pengurangan rasa sakit pasien tukak, mengurangi aktifitas faktor agresif pepsin dengan pH >4 serta meningkatkan efek eradikasi oleh regimen triple drugs (Finkel, 2009).

(39)

lansoprazol dan lebih cepat dengan omeprazol. Penelitian klinis sampai saat ini menunjukkan bahwa lansoprazol dan omeprazol lebih efektif untuk jangka pendek dibandingkan dengan antagonis H2.

Omeprazol digunakan dengan berhasil bersama obat-obat anti mikroba untuk mengeradikasi kuman H. pylori (Mycek, 2009).

Omeprazol dan lansoprazol berupa tablet salut enterik untuk melindunginya dari aktivasi prematur oleh asam lambung. Setelah diabsorbsi dalam duodenum, obat ini akan dibawa ke kanalikulus dari sel perital asam dan akan diubah menjadi dalam bentuk aktif. Metabolit obat ini diekskresikan dalam urin dan feses (Mycek, 2001). Dosis omeprazol 2x20 mg atau 1x40 mg, lansprazol/pantoprazol 2x40 mg atau 1x60 mg (Finkel, 2009). Sediaan omeprazol adalah kapsul. Saat mengonsumsi omeprazol, kapsul harus ditelan utuh dengan air (kapsul tidak dibuka, dikunyah, atau dihancurkan). Sebaiknya diminum sebelum makan. Minum obat 30-60 menit sebelum makan, sebaiknya pagi hari (Anonim, 2012., Oktora, 2011).

(40)

2.3 Standar Pengobatan Gastritis di Pelayanan Kesehatan Primer

Pengobatan merupakan suatu proses ilmiah yang dilakukan oleh dokter berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh selama anamnesis dan pemeriksaan. Dalam proses pengobatan terkandung keputusan ilmiah yang dilandasi oleh pengetahuan dan keterampilan untuk melakukan intervensi pengobatan yang memberi manfaat maksimal dan resiko sekecil mungkin bagi pasien. Hal tersebut dapat dicapai dengan melakukan pengobatan yang rasional. Pengobatan rasional menurut WHO 1987 yaitu pengobatan yang sesuai indikasi, diagnosis, tepat dosis obat, cara dan waktu pemberian, tersedia setiap saat dan harga terjangkau (Yusmaninita, 2009).

Berdasarkan buku panduan praktik klinis bagi dokter pelayanan primer tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Kemenkes dan IDI, kasus gastritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis pasien datang ke dokter karena rasa nyeri dan panas seperti terbakar pada perut bagian atas. Keluhan mereda atau memburuk bila diikuti dengan makan, mual, muntah dan kembung. Faktor Risiko pola makan yang tidak baik yaitu waktu makan terlambat, jenis makanan pedas, porsi makan yang besar, sering minum kopi dan teh, infeksi bakteri atau parasit, pengunaan obat analgetik dan steroid, pasien usia lanjut, konsumsi alkohol, stress, penyakit lainnya, seperti penyakit refluks empedu, penyakit autoimun, HIV/AIDS, Chron disease.

(41)

pendarahan saluran cerna berupa hematemesis dan melena, biasanya pada pasien dengan gastritis kronis, konjungtiva tampak anemis. Pemeriksaan Penunjang tidak diperlukan, kecuali pada gastritis kronis atau untuk diagnosis definitif dengan melakukan pemeriksaan darah rutin, untuk mengetahui infeksi Helicobacter pylori, pemeriksaan breathe test dan feses, rontgen dengan barium enema serta endoskopi.

Penatalaksanaan gastritis pada pelayanan primer:

1. Menginformasikan kepada pasien untuk menghindari pemicu terjadinya keluhan, antara lain dengan makan tepat waktu, makan sering dengan porsi kecil dan hindari dari makanan yang meningkatkan asam lambung atau perut kembung seperti kopi, teh, makanan pedas dan kol.

2. Konseling dan edukasi pasien serta keluarga mengenai faktor risiko terjadinya gastritis.

3. Terapi diberikan per oral dengan obat, antara lain:

a. H2 Bloker 2x/hari (Ranitidin 150 mg/kali, Famotidin 20 mg/kali,

Simetidin 400-800 mg/kali). Dikonsumsi 30-60 menit sebelum makan.

b. PPI 2x/hari (Omeprazole 20 mg/kali, Lansoprazole 30 mg/kali). Dikonsumsi 30-60 menit sebelum makan.

c. Antasida dosis 3x500-1000 mg/hr. Dikonsumsi 30-60 menit sebelum makan.

(42)

2.4 Penggunaan Obat Secara Rasional

Penggunaan Obat secara Rasional (POR) atau Rational Use of Medicine

(RUM) merupakan suatu kampanye yang disebarkan ke seluruh dunia, juga di Indonesia (Swandari, 2012). Dalam situsnya, WHO menjelaskan bahwa definisi Penggunaan Obat Rasional adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat. Dengan empat kata kunci yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu dan biaya yang sesuai. POR merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang efektif (WHO, 2012).

Kampanye POR oleh WHO dilatarbelakangi oleh dua kondisi yang bertolak belakang. Kondisi pertama menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 50% obat-obatan di dunia diresepkan dan diberikan secara tidak tepat, tidak efektif dan tidak efisien. Bertolakbelakang dengan kondisi kedua yaitu kenyataan bahwa sepertiga dari jumlah penduduk dunia ternyata kesulitan mendapatkan akses memperoleh obat esensial (Swandari, 2012).

2.5 Peresepan Obat

(43)

kegiatan yang meliputi aspek teknis dan non teknis yang harus dikerjakan mulai dari penerimaan resep, peracikan obat sampai dengan penyerahan obat kepada pasien (Depkes, 2006).

2.5.1 Peresepan Obat Rasional

Peresepan yang rasional menurut WHO (1985) adalah jika pasien yang mendapat obat-obatan sesuai dengan diagnosis penyakitnya, dosis dan lama pemakaian obat yang sesuai dengan kebutuhan pasien, serta biaya yang serendah mungkin yang dikeluarkan pasien maupun masyarakat untuk membuat obat. Menyimpang dari ketentuan di atas dapat dikatakan "tidak rasional". Pengobatan yang rasional itu merupakan suatu hal yang kompleks dan dinamis. Prosesnya mulai dari diagnosis, penentuan dan pemilihan jenis obat, penyediaan pelayanan obat, petunjuk pemakaian obat, bentuk sediaan yang tepat, cara pengemasan, pemberian label/ etiket dan kepatuhan penggunaan obat oleh penderita (Pane dkk, 2010).

2.5.2 Peresepan Obat yang Tidak Rasional

Pola peresepan yang menyimpang memiliki peranan besar pada pengobatan tidak rasional. Peresepan yang tidak rasional dapat juga dikelompokkan dalam lima bentuk:

1. Peresepan boros (Extravagant Prescribing)

(44)

berorientasi ke pengobatan simptomatik hingga mengurangi alokasi obat yang lebih vital contoh pemakaian obat antidiare yang berlebihan dapat menurunkan alokasi untuk oralit yang lebih vital untuk menurunkan mortalitas.

2. Peresepan berlebihan (Over Prescribing)

Peresepan yang jumlah, dosis dan lama pemberian obat melebihi ketentuan, serta peresepan obat-obat yang secara medik tidak atau kurang diperlukan.

3. Peresepan yang salah (Incorrect Prescribing)

Pemakaian obat untuk indikasi yang salah, obat yang tidak tepat, cara pemakaian salah, mengkombinasi dua atau lebih macam obat yang tak bisa dicampurkan secara farmasetik dan terapetik, serta pemakaian obat tanpa memperhitungkan kondisi penderita secara menyeluruh.

4. Peresepan majemuk (Multiple Prescribing)

Pemberian dua atau lebih kombinasi obat yang sebenarnya cukup hanya diberikan obat tunggal saja. Termasuk disini adalah pengobatan terhadap semua gejala yang muncul tanpa mengarah ke penyakit utamanya.

5. Peresepan kurang (Under Prescribing)

(45)

2.6 Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan Obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai Obat termasuk Obat Resep, Obat bebas dan herbal (Permenkes RI, 2014).

Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metode pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat dan lain-lain. Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di Apotek meliputi:

1. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan;

2. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan masyarakat (penyuluhan);

3. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien;

4. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi yang sedang praktik profesi;

5. Melakukan penelitian penggunaan Obat;

(46)

Pelayanan Informasi Obat harus didokumentasikan untuk membantu penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan informasi obat:

1. Topik Pertanyaan;

2. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan;

3. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat telepon);

4. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti riwayat alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui, data laboratorium); 5. Uraian pertanyaan;

6. Jawaban pertanyaan; 7. Referensi;

8. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, per telepon) dan data Apoteker yang memberikan Pelayanan Informasi Obat (Permenkes RI, 2014).

2.7. Ketepatan

2.7.1. Definisi Ketepatan

(47)

ditimbulkan adalah timbul biaya sangat besar yang harus ditanggung oleh masyarakat dan sistem pelayanan kesehatan yaitu tidak hanya biaya yang dikeluarkan untuk mengobati akibat ketidaktepatan yang membahayakan, tetapi juga biaya obat-obatan yang terbuang percuma dan kehilangan waktu kerja (Rantucci, 2009). Ada lima masalah yang berkaitan dengan ketidaktepatan, yaitu:

1. Menggunakan atau mendapatkan obat yang benar, tetapi terlalu sedikit.

2. Menggunakan atau mendapatkan obat yang benar, tetapi terlalu banyak.

3. Frekuensi minum obat yang tidak sesuai.

4. Tidak menggunakan atau mendapatkan obat yang diresepkan. 5. Cara minum obat yang tidak benar

2.7.2. Hambatan Dalam Ketepatan

Hambatan dalam Ketepatan sehingga menyebabkan terjadinya ketidaktepatan yang teridentifikasi meliputi berbagai faktor pasien dan kepercayaan pasien, sifat komunikasi antara pasien dan profesional kesehatan, dan berbagai faktor perilaku (Rantucci, 2009). 1. Faktor pasien

a. Merasa penyakitnya tidak serius. b. Merasa pengobatan tidak efektif.

(48)

d. Pengalaman dengan pengobatan sedikit atau memiliki pengalaman buruk dengan pengobatan.

e. Kurang pengetahuan tentang penyakit yang diderita (Rantucci, 2009).

2. Faktor Komunikasi

a. Kurang penjelasan yang tepat, jelas, jumlahnya memadai, dan termasuk menerima tanggapan.

b. Tingkat pengawasan medis rendah.

c. Kurang informasi yang seimbang tentang resiko dan efek samping.

d. Strategi yang dilakukan oleh dokter untuk mengubah sikap dan kepercayaan pasien kurang.

e. Kepuasan pasien dalam berinteraksi dengan dokter rendah atau tidak ada sama sekali.

f. Dokter dianggap tidak ramah dan kurang perhatian. g. Dokter tidak membiarkan pasien terlibat dalam membuat

keputusan (Rantucci, 2009). 3. Hambatan Ketepatan

a. Durasi terapi panjang.

b. Munculnya efek merugikan atau efek samping.

c. Tidak dapat membaca, kemampuan kognitif rendah, hambatan bahasa.

(49)

2.7.3. Pencegahan Ketidaktepatan

Dalam mengembangkan perencanaan untuk mencegah ketidaktepatan, dokter harus memikirkan alasan untuk taat dan hambatan untuk tidak taat. Perhatian harus difokuskan pada tiga aspek penting dalam konseling pasien, yaitu komunikasi dengan pasien, pemberian informasi, dan strategi mencegah ketidaktepatan. 1. Komunikasi dengan pasien

Dokter harus melibatkan pasien dalam diskusi untuk membangun hubungan dengan pasien. Komunikasi lebih lanjut harus terjadi untuk memungkinkan dokter bergerak maju melalui proses asuhan kefarmasian untuk mendapatkan informasi yang tepat, menentukan metode untuk mencegah ketidaktepatan, serta melaksanakan metode tersebut. Aspek-aspek komunikasi dengan pasien yang dapat membantu mencegah ketidaktepatan pasien antara lain kepuasan pasien, nada bicara, sifat, isi, frekuensi, dan metode komunikasi (Rantucci, 2009).

2. Pemberian informasi

Ada sejumlah faktor terkait pemberian informasi yang harus diperhatikan dalam mencegah ketidaktepatan:

a. Persuasif : bergantung pada sifat persuasif dokter dalam komunikasi dan seberapa keras usaha dokter memotivasi pasien.

(50)

banyak obat digunakan, kapan obat digunakan, berapa lama penggunaan obat harus dilanjutkan termasuk informasi pengulangan resep.

c. Informasi tentang penyakit, cara kerja, dan waktu kerja obat : pasien memerlukan informasi tentang kondisi penyakitnya dan cara kerja obat dalam mengatasi kondisi tersebut. Pasien juga harus diberitahu tentang waktu yang diperlukan sebelum nyeri dan rasa yang tidak nyaman berkurang dengan kata lain, kapan kira-kira efek obat akan dirasakan pasien. Hal ini akan mencegah kesalahpahaman pasien tentang keseriusan kondisi atau keefektifan pengobatan.

d. Informasi efek samping : pasien harus diberi tahu tentang tanda-tanda dari setiap efek samping umum yang mungkin terjadi. Pemberian informasi tentang efek samping dan efek merugikan menurunkan ketidaktepatan pasien dengan mengurangi rasa takut dan memungkinkan suatu penanganan masalah dengan cara yang lebih sesuai.

e. Teknik khusus : informasi mengenai teknik menggunakan obat, bila diperlukan, dan cara mengingat penggunaan obat juga perlu diberikan untuk mengurangi kemungkinan ketidaktepatan.

(51)

dengan tingkat pendidikan, ketidakmampuan, pasien (kondisi fisik atau kondisi mental yang membatasi pasien, serta keadaan emosional pasien) (Rantucci, 2009).

3. Strategi untuk mencegah ketidaktepatan

Karena ketidaktepatan dipandang sebagai perilaku yang dipengaruhi oleh kepercayaan, pengalaman, dan sebagainya, berbagai strategi perilaku direkomendasikan untuk mencegah ketidaktepatan. Strategi tersebut antara lain sebagai berikut: a. Dokter dan pasien bekerja sama untuk menyederhanakan

jadwal pemakaian obat dengan mengurangi jumlah obat, mengurangi jumlah interval dosis per hari, dan mengatur regimen dosis agar lebih sesuai dengan kegiatan rutin pasien. b. Dokter memberikan alat pengingat dan pengatur pemakaian

obat (misalnya, wadah tablet yang dilengkapi alarm atau tempat obat yang tersusun sesuai pendosisan) dan grafik terpisah untuk mengecek penggunaan obat.

c. Dokter mengingatkan pasien melalui telepon atau surat tentang pengulangan resep.

(52)

2.8 Kerangka Pemikiran

2.8.1 Kerangka Teori

Gastritis merupakan suatu proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung dan secara histopatologi dapat dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut (Valle, 2008). Gastritis bukan berarti penyakit tunggal, tetapi terbentuk dari beberapa kondisi yang kesemuanya itu mengakibatkan peradangan pada lambung. Kebanyakan kasus gastritis tidak secara permanen merusak lapisan perut tetapi seseorang yang menderita gastritis sering mengalami serangan kekambuhan yang mengakibatkan nyeri di ulu hati (Ehrlich, 2011). Penatalaksanaan pasien dengan tepat, baik secara medikamentosa atau non medikamentosa dapat menurunkan frekuensi kekambuhan dari gastritis. Penatalaksanaan nonmedikamentosa yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan konseling dan edukasi pasien serta keluarga mengenai faktor risiko terjadinya gastritis.

(53)

Kesehatan Sedunia (WHO), kriteria pemakaian obat (pengobatan) rasional, antara lain:

1. Sesuai dengan indikasi penyakit, 2. Diberikan dengan dosis yang tepat,

3. Cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat, 4. Lama pemberian yang tepat,

5. Obat yang diberikan harus efektif, dengan mutu terjamin, 6. Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau,

7. Meminimalkan efek samping dan alergi obat (Yusmaninita, 2009).

(54)

Gambar 1. Kerangka Teori

2.8.2 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2005).

(55)

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

Gambar 2. Kerangka Konsep

Gastritis

Resep Obat di Puskesmas Rawat Inap Kemiling Kota Bandar

Lampung

Standar Pengobatan menurut Kemenkes, Pedoman Pengobatan

Dasar Di Puskesmas (Depkes,2007) Obat Gastritis

Teknik

mengkonsumsi Saat/ cara mengkonsumsi

Teknik

(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1.Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bersifat retrospektif, dengan menggunakan data sekunder yang diambil dari Puskesmas Rawat Inap Kemiling Kota Bandar Lampung.

3.2.Tempat dan Waktu

3.2.1.Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Rawat Inap Kemiling Kota Bandar lampung.

3.2.2.Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2014-Januari 2015

3.3.Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

(57)

medik. Dari 6.309 rekam medik digunakan 6.298 rekam medik yang berasal dari pasien dewasa.

3.3.2 Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah rekam medik yang memuat penggunaan terapi gastritis di Puskesmas Rawat Inap Kemiling Kota Bandar Lampung periode Januari−Desember 2013.

Jumlah sampel yang akan diambil adalah menggunakan rumus (Sopiyudin, 2008):

N = Besar populasi n = Besar sampel

d = Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan 10% = 0,1

Penghitungan besar sampel mahasiswa adalah seperti dibawah ini:

(58)

Kriteria inklusi:

Semua rekam medik penyakit gastritis yang masuk pada tanggal 1 Januari−31 Desember 2013.

Kriteria eksklusi:

1. Rekam medik yang rusak atau rekam medik yang sulit dibaca, 2. Rekam medik yang hilang,

3. Rekam medik yang mendapat terapi kombinasi.

3.4.Variabel Penelitian

(59)

3.5 Defenisi Operasional

Tabel 1. Definisi operasional masing-masing variabel

Variabel Definisi Alat Ukur Cara

(60)

3.6 Prosedur Penelitian

Gambar 3. Prosedur Penelitian

3.7 Pengumpulan Data

Cara pengumpulan data yaitu dengan menggunakan data sekunder. Data diperoleh dengan mengumpulkan semua rekam medik untuk penyakit gastritis dari bulan Januari−Desember 2013 dengan menggunakan lembar kerja.

3.8 Pengolahan dan Analisis Data

Seluruh data yang telah diperoleh dari penelitian dikumpulkan, kemudian dilakukan pemaparan terhadap setiap variabel yang diperoleh lalu disusun dan

Perizinan

Survei Pendahuluan

Seminar Proposal

Pengolahan Data Hasil Penelitian

(61)

dikelompokkan. Hasil penelitian akan disajikan dan dijabarkan dalam bentuk tabel. Analisa kualitatif dilakukan dengan cara induksi yaitu dengan menarik kesimpulan umum berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di awal.

3.9Etika Penelitian

(62)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

5.1.1.Terdapat 100% rekam medik yang tidak menuliskan secara jelas teknik mengkonsumsi obat;

5.1.2.Terdapat 19% rekam medik yang menuliskan saat/waktu pemberian obat sedangkan 81% rekam medik tidak menuliskan saat/waktu pemberian obat.

5.2 SARAN

5.2.1.Peneliti lain disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai jenis penelitian yang serupa sehingga memperkaya referensi penelitian yang yang ada;

(63)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, C., Braun, C. 2007. Pathophysiology: Functional Alterations in Human Health Philadelphia; Lippincott Williams and Wilkins.

Anggita, N. 2012. Hubungan Faktor Konsumsi Dan Karakteristik Individu Dengan Persepsi Gangguan Lambung Pada Mahasiswa Penderita Gangguan Lambung Di Pusat Kesehatan Mahasiswa (PKM) Universitas Indonesia. [Skripsi]. Jakarta: FKUI.

Anonim. 2012. Omeprazole, obat apa sih?. [online]. Diambil dari: http://dietsehatkaya.blogspot.com/2012/02/omeprazole.html. Diakses pada 18 Oktober 2014.

Anonim. 2013. CARA BENAR MENGGUNAKAN ANTASIDA. [online]. Diambil dari: http://www.rsstroke.com/berita.php?id_berita=34i. Diakses pada 18 Oktober 2014.

Anonim. 2014. Ranitidin: Obat Maag yang Terbukti Khasiatnya. [online]. Diambil dari: http://internis.org/ranitidin-obat-maag-yang-terbukti-khasiatnya. Diakses pada 18 Oktober 2014.

Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas.

Direktorat Jendral Bina Kefarmasian.

Dwiprahasto. 2006. Peningkatan Mutu Penggunaan Obat di Puskesmas Melalui Pelatihan Berjenjang Pada Dokter Dan Perawat. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Bagian Farmakologi dan Toksikologi FK UGM. Yogyakarta.

(64)

United Kingdom: Horizon Scientific Press,:29-51.

Finkel R., Clark M.A., Cubeddu L.X., Harrey R.A., Champe P.C., 2009,

Lippincott’s Illustrated Review Pharmacology 4th

Ed, Pliladelphia: Williams

Jackson, S. 2006. Gastritis. Diambil dari http://www.gicare.com/pated /ecd9546.htm. Diakses tanggal 21 september 2014.

Karwati, D., Lina, N., Korneliani, K. 2013. Hubungan Frekuensi Konsumsi Makanan Berisiko Gastritis Dan Stress Dengan Kejadian Gastritis Pada Wanita Usia 20-44 Tahun Yang Berobat Di Puskesmas Cilembang Tahun 2012. [online] http://journal.unsil.ac.id/download.php?id=1550 Diakses pada 21 September 2014.

Katzung, Bertram G. 2009. Farmakologi Dasar dan Klinik. Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.

Kementrian Kesehatan RI. 2013. Buku Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Pelayanan Primer Edisi 1.

Kimin, A. 2008. Peresepan Tidak Rasional. http://apotekputer.com. Diakses tanggal 22 september 2012.

Kumar, V., Cotran, RS., Robbins, SL. 2002. The Oral cavity and the Gastrointestinal Tract In: Robbins Basic Pathology 7th Ed. Philladephia. WB Saunders Company. 543–90.

Kurniyawati, Dwi. 2009. Survei Kesalahan Dalam Penulisan Resep dan Alur Pelayanannya di Apotek Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Muhammadiyah Surakarta,

(65)

Mukherjee, S. 2012. Gastritis Chronic. diambil dari http://emedicine.medscape.com/article/176156-overview diakses tanggal 21 september 2014.

Muttaqin, A., Sari, K. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Jakarta: Salemba Medika.

Neal, MJ. 2006. Obat yang bekerja pada saluran gastrointestinal I: ulkus peptikum. Dalam: Safitri A, ED. At a Glance Farmakologi Medis. Edisi ke 5. PenerbitErlangga, Jakarta, 30-1.

Notoatmodjo, S. 2005. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta.

Oktora, Monika. 2011. Apa Semua Obat Maag Perlu Dikunyah?. [online] Diambil dari http://apotekerbercerita.wordpress.com/2011/03/10/apa-semua-obat-maag-perlu-dikunyah/ diakses pada 18 Oktiober 2014.

Pane,Y.S, dan Leo Adnan. 2010. Peresepan Obat yang Rasional. Dept. Farmakologi dan Teraupetik FK USU.

Pangestu, A. 2003. Paradigma Baru Pengobatan Gastritis dan Tukak Peptik.

Diambil dari http://www.pgh.or.id//lambung-per.htm Diakses tanggal 21 September 2014.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotek. Diambil dari

http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_permenkes/PMK%20No.% 2035%20ttg%20Standar%20Pelayanan%20Kefarmasian%20di%20Apotek. pdf. Diakses pada tanggal 1 April 2015.

Piero, D. 2014. Sepuluh Besar Penyakit Provinsi Lampung Tahun 2012. [online] http://dikapiero4.blogspot.com/2014/05/sepuluh-besar-penyakit-provinsi-lampung.html diakses pada 21 September 2014.

Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Vol.2. Jakarta: EGC.

Rantucci, M.J., 2009, Komunikasi Apoteker-Pasien, EGC, Jakarta

(66)

Valle DJ. 2005. Peptic Ulcer Disease and Related Disorders, Harrison’s

Principle Internal Medicine 16th Edition, McGraw Hill: 1746-1762.

Wardaniati I. 2011. Gambaran Terapi Kombinasi Ranitidine Dengan Sulkralfate dan Ranitidine Dengan Antasida Dalam Pengobatan Gastritis di SMF Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ahmad Moctar Bukit Tinggi. Tesis. Universitas Andalas. Padang.

Wehbi, M. 2008. Acute Gastritis. Medscape. diakses tanggal 21 September 2014.

Wibowo, Y.A. (2007). Gastritis. Diambil dari http://fkuii.org/tikidownload wiki_attachment.php?attld=1078&page=Yoga%20Agua%20Wibowo.

Diakses tanggal 21 September 2014.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Teori
Gambar 2. Kerangka Konsep
Gambar 3. Prosedur Penelitian

Referensi

Dokumen terkait