• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESESUAIAN PERESEPAN OBAT PENYAKIT DEMAM TIFOID DENGAN STANDAR PENGOBATAN DEMAM TIFOID DI BAGIAN RAWAT INAP PUSKESMAS KEDATON KOTA BANDAR LAMPUNG PERIODE MEI-OKTOBER 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KESESUAIAN PERESEPAN OBAT PENYAKIT DEMAM TIFOID DENGAN STANDAR PENGOBATAN DEMAM TIFOID DI BAGIAN RAWAT INAP PUSKESMAS KEDATON KOTA BANDAR LAMPUNG PERIODE MEI-OKTOBER 2012"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

THE SUITABILITY OF DRUG RECEIPT FOR TREATMENT OF TYPHOID FEVER BASED ON STANDARD OF TREATMENT IN KEDATON PUSKESMAS BANDAR LAMPUNG CITY, PERIOD MAY-OCTOBER 2012

By

UMMI KALTSUM

Typhoid fever is one of disease which still threatening health of Indonesian societies. This fever, furthermore, show going up the latest year in which the average about 500 of 100.000 people. Treatment of the fever should be standard receipt. Out of the standard receipt could be some disadvantage for patients. The purpose of this research is to observe the suitability of receipt based on standard for treatment of typhoid fever patient. The research was conducted in Kedaton Puskesmas, Bandar Lampung City, from October to November 2012. Descriptive method of the research was to evaluate data of 74 receipts for typhoid fever. Collected data of the 74 receipts, further, was examined based on the standard treatment of typhoid fever, both dosage of drug and length of treatment. Result of the research revealed cotrimoxazole, ciprofloxacin, and amoxicilin were drugs for controlling microorganisms causing typhoid fever. The suitability of dosage of ciprofloxacin was 100%, of cotrimoxazole was 73%, and of amoxicilin, unfortunately, was 0%, respectively. Furthermore, the suitability of length of the treatment for those of three drugs for controlling microorganisms was of 0%. In short, the suitability treatment of both the receipts for dosage of drugs for typhoid fever patients based on the standard typhoid fever was of 80,7%, and the suitability of the length of the treatment based on the standard typhoid fever, unfortunately was of 0%, respectively.

(2)

ABSTRAK

KESESUAIAN PERESEPAN OBAT PENYAKIT DEMAM TIFOID DENGAN STANDAR PENGOBATAN DEMAM TIFOID DI BAGIAN RAWAT INAP PUSKESMAS KEDATON KOTA BANDAR LAMPUNG

PERIODE MEI-OKTOBER 2012 Oleh

UMMI KALTSUM

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit yang masih mengancam kesehatan masyarakat di Indonesia dan menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata sekitar 500/100.000 penduduk. Peresepan sesuai standar adalah mememberikan peresepan sesuai standar yang ada. Penyimpangan dari peresepan sesuai standar akan memberikan berbagai kerugian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian peresepan obat penyakit demam tifoid dengan standar pengobatan demam tifoid. Penelitian dilakukan di di bagian rawat inap Puskesmas Kedaton Kota Bandar Lampung pada bulan Oktober-November 2012. Penelitian merupakan penelitian dekskriptif terhadap 74 data peresepan untuk penyakit demam tifoid. Dari data peresepan yang didapatkan kemudian dibandingkan antara kesesuaian dosis obat dan lama pengobatan dengan standar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kotrimoksazol, siprofloksasin, dan amoksisilin merupakan antimikroba yang digunakan untuk demam tifoid dengan kesesuaian dosis siprofloksasin sebesar 100%, kotrimoksazol sebesar 73%, dan amoksisilin sebesar 0%, sedangkan kesesuaian lama pengobatan ketga antimikroba tersebut adalah sebesar 0%. Simpulan bahwa kesesuaian dosis obat dalam resep demam tifoid terhadap standar pengobatan demam tifoid adalah sebesar 80,7% dan kesesuaian lama pengobatan terhadap standar pengobatan demam tifoid adalah sebesar 0%.

(3)

1 I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit yang masih mengancam kesehatan masyarakat di Indonesia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. dari telaah kasus di rumah sakit besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata sekitar 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0.6-5 % (Kemenkes RI, 2006) dan 91 % kasus terjadi pada umur 3-19 tahun (WHO, 2003). Prevalensi tifoid klinis nasional sebesar 1,6% (rentang: 0,3% - 3%), dengan prevalensi diprovinsi Lampung adalah sebesar 0,67% (Depkes RI, 2007). Data pada Dinas Kesehatan Provinsi Lampung memperlihatkan Puskesmas Kedaton Kota Bandar Lampung memiliki angka rata-rata yang paling tinggi dibandingkan dengan 27 puskesmas lainnya di Kota Bandar Lampung yaitu sebesar 125 pasien perbulan.

(4)

2 besar masyarakat Indonesia memiliki kebersihan perorangan yang kurang baik, sanitasi lingkungan yang jelek (misalnya penyediaan air bersih yang kurang memadai, pembuangan sampah dan kotoran manusia yang kurang memenuhi syarat kesehatan, pengawasan makanan dan minuman yang belum sempurna), serta fasilitas kesehatan yang tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat (Santoso, 2009).

Demam tifoid yang tidak ditatalaksana dengan tepat akan menimbulkan banyak komplikasi yang dapat mengancam kehidupan pasien. Munculnya komplikasi seperti perforasi traktus gastrointestinal, meningitis, endokarditis, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Soedarmo et al, 2010). Obat utama dari pengobatan demam tifoid adalah antimikroba. Penatalaksanaan yang tidak tepat, khususnya dalam peresepan obat seperti jenis obat, dosis obat, dan lama pemberian obat, akan menimbulkan kasus resistensi basil kuman terhadap obat yang beredar (Kemenkes, 2006). Resistensi terhadap suatu obat akan menyulitkan sembuhnya infeksi dengan menggunakan obat tersebut, selain itu akan meningkatkan biaya pengobatan pasien dengan kuman yang telah mengalami resistensi terhadap obat tertentu.

(5)

3 Peresepan sesuai standar sesungguhnya merupakan suatu proses yang kompleks dan dinamis, dimana terkait beberapa komponen, mulai, pemilihan dan penentuan dosis obat, penyediaan dan pelayanan obat, petunjuk pemakaian obat, bentuk sediaan yang tepat, cara pengemasan, pemberian label dan kepatuhan penggunaan obat oleh penderita. Penyimpangan terhadap hal tersebut akan memberikan berbagai kerugian. Menurut WHO (2010) bahwa Sekitar 50 persen resep yang diberikan tidak sesuai, dan setengah dari semua pasien tersebut gagal mendapatkan pengobatan yang benar terkait penyakitnya.

Dari latar belakang di atas, peneliti akan melakukan penelitian untuk melihat kesesuaian peresepan obat demam tifoid terhadap standar pengobatan demam tifoid pada bagian rawat inap Puskesmas Kedaton Kota Bandar Lampung periode Mei-Oktober 2012.

B. Rumusan Masalah

(6)

4 C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui kesesuaian peresepan obat demam tifoid terhadap standar pengobatan demam tifoid pada bagian rawat inap Puskesmas Kedaton Kota Bandar Lampung periode Mei-Oktober 2012.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui kesesuaian dosis obat dalam resep demam tifoid terhadap standar pengobatan demam tifoid pada bagian rawat inap Puskesmas Kedaton Kota Bandar Lampung periode Mei-Oktober 2012.

b. Mengetahui kesesuaian lama pemberian obat dalam resep demam tifoid terhadap standar pengobatan demam tifoid pada bagian rawat inap Puskesmas Kedaton Kota Bandar Lampung periode Mei-Oktober 2012.

D. Manfaat Penelitian

a. Bagi peneliti sebagai aplikasi dari disiplin keilmuan peneliti sehingga dapat mengembangkan khasanah pengetahuan peneliti.

b. Bagi puskesmas sebagai bahan pertimbangan pelaksanaan program pemerintah dalam penanganan demam tifoid

(7)

5 E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teori

Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Salmonella yang terbawa melalui makanan ataupun benda lainnya akan memasuki saluran cerna. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus dan masuk ke sistem RES dan mengalami multiplikasi. Setelah melewati periode inkubasi, maka bakteri tersebut akan menyebar secara sistemik melalui duktus torasikus. Gejala yang timbul tergantung lamanya infeksi telah berlangsung dan apabila tidak segera ditangani dengan benar penyakit demam tifoid dapat menimbulkan komplikasi hingga kematian (Soedarmo et al, 2010).

(8)

(200-6 400) mg selama satu minggu, c. Pefloksasin: 1 x 400 mg selama satu minggu, d. Fleroksasin: 1 x 400 mg selama satu minggu), Cefixime (anak: 15-20 mg/kgBB/hari selama 10 hari dibagi menjadi 2 dosis), dan Tiamfenikol (dewasa: 4x500 mg, anak: 50 mg/kgBB/hari selama 5-7 hari bebas panas). Kloramfenikol, kotrimosazol, dan amoksisilin/ampisilin adalah obat demam tifoid lini pertama. Lini kedua adalah kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak dibawah 18 tahun), sefiksim, dan seftriakson. (Kemenkes, 2006).

(9)

7 F. Kerangka Konsep

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian (de Vries et al, 2000; dan Kemenkes, 2006)

Demam Tifoid

Obat Demam Tifoid

Resep obat dari Puskesmas Standard Pengobatan

demam tifoid oleh Kemenkes

1. Dosis obat

2. Lama pemberian

1. Dosis obat

[image:9.595.127.551.120.337.2]
(10)

8 II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Tifoid

1. Definisi

Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi (Soedarmo et al, 2010). Selain itu menurut Kemenkes RI no. 364 tahun 2006 tentang pengendalian demam tifoid, demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh kumam berbentuk basil yaitu Salmonella typhi yang ditularkan melalui makanan atau minuman yang tercemar feses manusia.

2. Etiologi

(11)

9

Phylum Eubacteria

Class Prateobacteria

Ordo Eubacteriales

Family Enterobacteriaceae

Genus Salmonella

Species Salmonella enterica Subspesies enteric (I)

Serotipe typhi

Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Salmonella typhi mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Selain itu, Salmonella typhi mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapisan luar dari dinding sel yang dinamakan endotoksin (Soedarmo et al, 2010).

3. Patogenesis

(12)

10 baik usus halus maupun usus besar dan tinggal secara intraseluler dimana mereka akan berproliferasi. Ketika bakteri ini mencapai epitel dan IgA tidak bisa menanganinya, maka akan terjadi degenerasi brush border (Brooks, 2007).

Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe. Setelah peride tertentu (inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat predileksinya adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Ekskresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja (Soedarmo et al, 2010).

(13)

11 endotoksin, yaitu suatu lipopolisakarida (LPS), yang akan merangsang pelepasan pirogen endogen dari leukosit, sel-sel limpa, dan sel-sel kupffer hati, makrofag, sel polimorfonuklear dan monosit. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organik lainnya (Santoso, 2009).

4. Manifestasi Klinis

a. Masa inkubasi

Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas, seperti gejala influenza, berupa : anoreksia, rasa malas, sakit kepala bagian depan, nyeri otot, lidah kotor, dan nyeri perut. (Parry et al, 2002)

b. Minggu pertama (awal terinfeksi)

(14)

12 ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna (Brusch, 2011). Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 1-5 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan (Soedarmo et al, 2010).

c. Minggu kedua

(15)

13 d. Minggu ketiga

Pada minggu ketiga, demam semakin memberat dan terjadi anoreksia dengan pengurangan berat badan yang signifikan. Konjungtiva terinfeksi, dan pasien mengalami takipnu dengan suara crakcles di basis paru. Jarang terjadi distensi abdominal. Beberapa individu mungkin akan jatuh pada fase toksik yang ditandai dengan apatis, bingung, dan bahkan psikosis. Nekrosis pada Peyer’s patch mungkin dapat menyebabkan perforasi saluran cerna dan peritonitis (Brusch, 2011). Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Asdie, 2005).

e. Minggu keempat

Pada minggu ke empat demam turun perlahan secara lisis, kecuali jika fokus infeksi terjasi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap (Soedarmo et al, 2010). Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah,kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut.Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps (Supriyono, 2011).

5. Penegakkan Diagnosis Laboratorium

(16)

14 peranan laboratorium sangatlah penting membantu penegakan diagnosis (Rijal et al, 2011). Sarana laboratorium untuk membantu menegakkan demam tifoid secara garis besar digolongkan dalam tiga kelompok yaitu: (1) isolasi kuman penyebab demam tifoid, S.typhi , melalui biakan kuman dari spesimen seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, dan cairan duodenum, (2) uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan menentukan adanya antigen spesifik dari S.typhi, serta (3) pemeriksaan pelacak DNA kuman S.typhi (Retnosari dan Tumbelaka, 2000).

5.1. Biakan S.typhi

(17)

15 5.2. Uji serologi

Teknik serologi digunakan untuk mengidentifikasi biakan yang tidak diketahui dengan serum dan juga dapat digunakan utnuk menentukan titer antibodi pada pasien yang tidak diketahui penyakitnya, walaupun penentuan titer antibodi ini tidak terlalu bermanfaat utnuk diagnosis infeksi salmonella.

a. Uji aglutinasi. Pada pemeriksaan ini, serum yang diketahui dan biakan yang tidak diketahui dicampur diatas slide. Bila terjadi penggumpalan, dapat dilihat dalam beberapa menit. Pemeriksaan ini terutama berguna untuk identifikasi biakan preliminer dengan cepat. Terdapat alat-alat untuk meng-aglutinasi dan menentukan serogrup salmonella melalui antigen O-nya: A, B, C1, C2, D, dan E, yang dijual bebas di pasaran.

b. Uji aglutinasi pengenceran tabung (tes Widal). Aglutinin serum meningkat tajam selama minggu kedua dan ketiga pada infeksi salmonella. Sedikitnya dua spesiemen serum, yang diambil dengan selang waktu 7-10 hari, dibutuhkan untuk membuktikan adanya kenaikan titer antibodi. Pengenceran serial (dua kali lipat) dari serum yang tidak diketahui diuji terhadap antigen salmonella. Interpretasi hasilnya adalah sebagai berikut: (1) Titer O yang tinggi atau meningkat (≥ 1:160) menandakan adanya infeksi aktif. (2) Titer H yang tinggi (≥

(18)

16 beberapa carrier. Hasil pemeriksaan serologi pada infeksi salmonella harus diinterpretasikan secara hati-hati (Brooks, 2007).

5.3. Pemeriksaan pelacak DNA kuman S.typhi

(19)

17 Cara ini dapat melacak DNA Salmonella typhi sampai sekecil satu pikogram namun usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan (Retnosari dan Tumbelaka, 2000).

6. Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogi penatalaksanaan yang meliputi : istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (baik simptomatik maupun suportif), serta pemberian antimikroba. Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam tifoid yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal (Kemenkes, 2006).

6.1. Istirahat dan Perawatan

Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan dilakukan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, dan BAB/BAK. Posisi pasien diawasi untuk mencegah dukubitus dan pnemonia orthostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.

6.2. Diet dan Terapi Penunjang

Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat, yaitu berupa:

(20)

18 perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Gizi penderita juga diperhatikan agar meningkatkan keadaan umum dan mempercepat proses penyembuhan.

b. Cairan yang adekuat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan diare.

c. Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat dihentikan kapan saja penderita sudah tidak mengalami mual lagi.

6.3. Pemberian Antimikroba

Pada demam tifoid, obat pilihan yang digunakan dibagi menjadi lini pertama dan lini kedua. Kloramfenikol, kotrimosazol, dan amoksisilin/ampisilin adalah obat demam tifoid lini pertama. Lini kedua adalah kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak dibawah 18 tahun), sefiksim, dan seftriakson.

(21)

19 Komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol.

Ampisillin dan Amoksisilin, kemampuan untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan kloramfenikol, dengan dosis 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu. Trimetroprim-sulfamethoxazole, (TMP-SMZ) dapat digunakan secara oral atau intravena pada dewasa pada dosis 160 mg TMP ditambah 800 mg SMZ dua kali tiap hari pada dewasa. Sefalosforin Generasi Ketiga, yaitu seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3-5 hari.

(22)
[image:22.595.104.514.354.756.2]

20 Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Pada wanita hamil, kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 karena menyebabkan partus prematur, kematian fetus intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson (Santoso, 2009).

Tabel.1 Obat dan Dosis Antimikroba untuk Demam Tifoid (Kemenkes,2006)

Antibiotik Dosis Kelebihan/Keuntungan

Kloramfenikol Dewasa: 4 x 500 mg ( 2 gr)/ hari

selama 14 hari.

Anak : 50-100 mg/kgBB/hari

maksimal 2 gr, diberikan selama

10-14 hari.

- Merupakan obat yang paling

lama digunakan dan dikenal

paling efektif terhadap

demam tifoid.

- Murah, dapat diberikan

peroral, dan sensitivitas

masih tinggi.

- Pemberian PO/IV

- Tidak diberikan bila

leukosit <2000/mm3.

Seftriakson Dewasa: 2-4gr/hari selama 3 -5

hari.

Anak : 80 mg/kgBB/hari dosis

tunggal selama 5 hari.

- Cepat menurunkan suhu,

lama pemberian tunggal dan

dapat dosis tunggal serta

cukup aman untuk anak.

- Pemberian IV

Ampisilin dan

amoksisilin

Dewasa: 3-4gr/hari selama 14

hari.

Anak : 100 mg/kgBB/hari dosis

tunggal selama 10 hari.

- Aman untuk penderita

hamil.

- Sering dikombinasi dengan

kloramfenikol untuk pasien

(23)

21 - Tidak mahal.

- Pemberian PO/IV

TMP-SMX

(kotrimoksazol)

Dewasa: 2 x (160-800) selama 2

minggu.

Anak : TMP 6-10 mg/kgBB/hari

atau SMX 30-50 mg/kgBB/hari

selama 10 hari.

Quinolon a. Siprofloksasin: 2 x 500 mg

selama satu minggu

b. Ofloksasin: 2 x (200-400) mg

selama satu minggu

c. Pefloksasin: 1 x 400 mg

selama satu minggu

d. Fleroksasin: 1 x 400 mg

selama satu minggu

- Pefloksasin dan fleroksasin

lebih cepat dalam

menurunkan suhu.

- efektif dalam mencegah

relaps dan karier.

- Pemberian peroral

- Anak: tidak dianjurkan

karena efek samping pada

pertumbuhan tulang.

Cefixime Anak : 15-20 mg/kgBB/hari

selama 10 hari dibagi menjadi 2

dosis.

- Aman untuk anak.

- Pemberian peroral.

- Efektif.

Tiamfenikol Dewasa: 4x500 mg

Anak : 50 mg/kgBB/hari selama

5-7 hari bebas panas.

- Dapat untuk anak dan

dewasa.

- Dilaporkan sensitif pada

[image:23.595.108.517.617.752.2]

beberapa daerah.

Tabel. 2 Prinsip dan Langkah Strategis Penatalaksanaan Demam Tifoid.

No. Langkah Prinsip

1. Evaluasi awal (diagnosis

kerja)

1. Menegakkan diagnosis klinis

- suspek demam tifoid

- demam tifoid klinis.

2. mengatasi atau deteksi komplikasi, dan/ atau

komorbid atau ko infeksi yang ada.

(24)

22 2. Rawat atau rujuk Menetapkan indikasi rawa t atau rujuk

Indikasi rawat:

1. Demam tifoid dengan kedaruratan

2. Demam tifoid dengan komplikasi

3. Demam tifoid klinis

4. Demam tifoid dengan konfirmasi (telah ada

hasil biakan).

Indikasi rujuk:

1. Demam tifoid dengan tanda-tanda

kedaruratan

2. Demam tifoid dengan tanda-tanda

komplikasi dengan fasilitas tidak mencukupi

3. Perawatan 1. Bila diagnosis demam tifoid telah ditegakkan

maka tatalaksana (manajemen) tifoid harus

segera dimulai sesuai dengan standar pedoman.

2. Melakukan prosedur perawatan dengan

pedoman:

a. Istirahat tirah baring

b. Diet

c. Keadaan umum baik, diet dapat lebih

padat (diet padat dini)

d. Antimikroba

e. Obat-obat suportif dan simptomatik

4. Pemberian antimikroba Pemberian antimikroba empiris lini pertama.

a. Sebelum memberikan antimikroba, ambil

spesimen darah untuk biakan (gaal culture)

dan pemeriksaan serologi pertama Widal 1

(pemeriksaan mikrobiologis pertama),

kecuali pemeriksaan biakan benar-benar

tidak dapat dilakukan.

b. bila antibiotik lini pertama tidak dapat

digunakan (kontraindikasi), berikan

antibiotik lini pertama yang lain atau

berikan antibitika lini kedua.

(25)

23 dan komorbid/ko infeksi. adekuat. Bila perlu melibatkan profesi spesiali

yang lain (seperti spesialis bedah jika perforasi)

2. Setiap ada komorbi/koinfeksi, terapi menurut

standar.

6. Kontrol dan monitor 1. Kontrol dan monitor tanda-tanda vital (tensi,

nadi, suhu, dan kesadaran) secara reguler sesuai

aturan dan dicatat secara baik di rekam medik.

Kurva suhu, nadi, dan tensi sangat baik untuk

monitor demam tifoid.

2. Kontrol dan memonitir terhadap

kemungkinan terjadinya komplikasi

(perdarahan, perforasi, sepsis, ensepalopati,

infeksi, dan lainnya), terutama pada minggu

ke 2 dan 3 demam.

3.Kontrol dan monitor perjalanan penyakit

untuk menentukan:

a. Perubahan terapi antibiotika

b. Mobilisasi dan pemberiaan diet

c. Indikasi pulang

7. Diagnosis pasti demam tifoid 1. Melakukan pembiakan kedua dengan sampel

feses, darah, dan urin.

2. Melakukan pemeriksaan serologi ke 2/ Widal

II

3. pada tahap pemeriksaan serologi kedua ini

harus sudah dapat menilai seseorang dengan

demam tifoid dengan:

a. Hasil biakan pertama atau

b. Peningkatan titer Widal 4 kali lipat

4. Bila ada fasilitas, dibantu dengan deteksi

DNA (PCR)

8. Penilaian kemajuan terapi 1. Efikasi antibiotika dinilai, kurang lebih 3-5

hari setelah pemberian.

2. Mengevaluasi apakah resisten, ada efek

samping atau efek toksik sertra konsistensi

(26)

24 3. Perubahan antibiotik:

a. Diganti dengan antibiotikyang sensitif

menurut uji kepekaan

b. Bila biakan tidak ada, diganti dengan

antibiotik lini kedua yang memiliki efikasi

yang tinggi.

4. Menilai kemajuan pengobatan secara umum:

a. Penurunan suhu

b. Perbaikan kesadaran

c. Nafsu makan

d. dll

5. 2-3 hari bebas panas:

a. Program mobilisasi

b. Perubahaan diet

6. Bila penilaian klinis sembuh, ditetapkan

indikasi pulang:

a. 5-7 hari bebas panas

b. Keadaan umum baik

c.Komplikasi/komirbidteratasi/ terkontrol

9. Deteksi tehadap karier 1. Sebelum pasien pulang, lakukan biakan

dengan spesiemen feses atau urin

2. menciptakan kerjasama yang baik dengan

pasien agar dapat segera dilakukan evaluasi

lanjutan, teruatma biakan untuk deteksi karier.

3. Sekurang-kurangnya biakan ulang setelah 1

bulan dan 3 bulan sembuh.

10. Terapi terhadap karier Karier diterapi dalam jangka waktu panjang

(Quinolon selama 4 minggu) serta eradikasi

faktor predisposisi seperti batu empedu atau

(27)

25 7. Komplikasi

Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan pasien kurang sempurna . Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam komplikasi intestinal (dalam saluran cerna) dan ekstraintestinal (luar saluran cerna).

Komplikasi intestinal berupa perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik. Komplikasi ekstraintestinal bisa mengenai banyak organ di tubuh. Komplikasi kardiovaskular berupa kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis. Komplikasi darah berupa anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemolitik. Komplikasi paru berupa pneumonia, empiema dan pleuritis. Komplikasi hepar dan kandung kemih berupa hepatitis dan kolelitiasis. Komplikasi ginjal berupa glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis. Komplikasi tulang berupa osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis. Komplikasi neuropsikiatrik berupa delirium, mengingismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia (Mansjoer, 2001).

B. Antimikroba pada Standar Pengobatan Demam Tifoid

1. Kloramfenikol

(28)

26 menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada ribosom sub unit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman.

Kloramfenikol bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kloramfenikol kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu. Spektrum anti bakteri meliputi D.pneumoniae, S. Pyogenes, S.viridans, Neisseria, Haemophillus, Bacillus spp, Listeria, Bartonella, Brucella, P. Multocida, C.diphteria, Chlamidya, Mycoplasma, Rickettsia, Treponema, dan kebanyakan kuman anaerob.

Kloramfenikol tidak lagi menjadi plihan utama untuk mengobati penyakit tersebut karena telah tersedia obat-obat yang lebih aman seperti siprofloksasin dan seftriakson. Kloramfenikol dapat menyebabkan kelainan hematologi (anemia), menimbulkan reaksi alergi dan Sindrom Gray (Mycek, 2001). Walaupun demikian, pemakaiannya sebagai lini pertama masih dapat dibenarkan bila resistensi belum merupakan masalah. Untuk pengobatan demam tifoid diberikan dosis 4 kali 500 mg sehari sampai 2 minggu bebas demam. Bila terjadi relaps biasanya dapat diatasi dengan memberikan terapi ulang. Untuk anak-anak diberikan dosis 50-100mg/kg BB/sehari dibagi dalam beberapa dosis selama 10 hari.

2. Seftriakson

(29)

27 berikatan dengan satu atau lebih ikatan protein - penisilin (penicillin-binding proteins-PBPs) yang selanjutnya akan menghambat tahap transpeptidasi sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri sehingga menghambat biosintesis dinding sel. Bakteri akan mengalami lisis karena aktivitas enzim autolitik (autolisin dan murein hidrolase) saat dinding sel bakteri terhambat (Mycek 2001).

Seftriakson merupakan antibiotik spektrum luas, antibiotik ini memiliki efek terhadap kuman gram positif maupun negatif, termasuk Salmonella typhi. Seftriakson memiliki waktu paruh 6,5-8,6 jampada orang dewasa dan 6-7,4 jam pada anak-anak sehingga dapat diberikan sehari sekali (Handoyo, 2011).

Seftriakson merupakan salah satu jenis obat dari golongan sefalosporin yang dapat diberikan secara peroral karena absorpsi peroralnya yang baik. Selain itu seftriakson dapat menembus sawar darah otak sehingga dapat berperan dalam pengobatan meningitis. Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat ini adalah reaksi alergi, perdarahan, dan dilsufiram like effect (Mycek, 2001). Dosis seftriakson yang digunakan untuk mengobati demam tifoid untuk dewasa adalah sebesar 2-4gr/hari selama 3 -5 hari dan untuk anak sebesar 80 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 5 hari (Kemenkes, 2006).

3. Kotrimoksazol

(30)

28 pertumbuhan bakteri dengan menghambat susunan asam dihidrofolat dari asam para-aminobenzen, sedangkan trimetoprim menghambat terjadinya reduktasi asam dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat yang secara tidak langsung mengakibatkan penghambatan enzim pada siklus pembentukan asam folat (Dinkes Tasikmalaya1).

Kotrimoksazol merupakan antibiotik dengan spektrum kerja luas. Obat ini dapat berguna pada berbagai infeksi, khususnya infeksi gastrointestinal yang disebakan oleh bakteri Shigella maupun Salmonella. Reaksi efek samping yang paling banyak adalah gangguan pencernaan (mual, muntah, anoreksia), reaksi dermatologi, dan anemia (Mycek, 2001).

4. Siprofloksasin

Siprofloksasin merupakan obat golongan flurokuinolon dan bersifat bakterisidal. Siprofloksasin memiliki kerja dengan mnghambat DNA-girase pada organisme yang sensitif, menghambat relaksasi superkoloid DNA dan memicu kerusakan untai gandai DNA pada mikroorganisme (Dinkes Tasikmalaya2).

(31)

29 perempuan menyusi, dan anak-anak dibawah 18 tahun karena dapat menyebabkan erosi kartilago artikularis pada binatang percobaan yang muda ( Mycek, 2001).

5. Amoksisilin dan Ampisilin

Amoksisilin dan ampisilin adalah obat golongan beta-laktam, yaitu golongan penisilin. Amoksisilin dan ampisilin memiliki mekanisme kerja yang sama, yaitu Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mengikat satu atau lebih pada ikatan penisilin-protein (PBPs – Protein binding penisilin’s), sehingga menyebabkan penghambatan pada tahapan akhir

transpeptidase sintesis peptidoglikan dalam dinding sel bakteri, akibatnya biosintesis dinding sel terhambat, dan sel bakteri menjadi pecah/lisis. Amoksisilin dan ampisilin merupakan antibiotik spektrum luas, yaitu untuk infeksi-infeksi yang disebabkan oleh Streptococci, Pneumococci nonpenicillinase-producting staphilocochi, Listeria, Meningococci, turunan Haemophillus Influenzae, Salmonella, Shigella, Escherichia coli, Enterobacter, dan Klebsiella (Dinkes Tasikmalaya3).

(32)

30 Efek samping yang dapat timbul akibat pemakaian amoksisilin dan ampisilin adalah hipersensitivitas, diare, nefritis, neurotoksisitas, gangguan fungsi pembekuan darah, dan toksisitas kation (Mycek, 2001).

B. Peresepan Obat Sesuai Standar

1. Peresepan Obat

Resep adalah suatu permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada apoteker untuk membuatkan obat dalam bentuk sediaan tertentu dan menyerahkannya kepada penderita/yang berhak.

Resep harus mudah dibaca dan mengungkapkan dengan jelas apa yang harus diberikan. Idealnya resep obat yang diberikan kepada pasien tidak mengandung kesalahan dan berisi seluruh komponen yang diperlukan pasien (Ambarwati, 2009).

Resep ditinjau dari S.K. Menkes RI, no. 280/Menkes/SK/V/1981 dalam waktu lebih dari jangka waktu 3 tahun, resep dapat dimusnahkan oleh apoteker dengan membuat berita acara (proses herbal) pemusnahan. Penyimpanan resep diatur berdasarkan tanggal dan nomor urut pembuatan, disimpan kurang lebih selama 3 tahun.

2. Peresepan Obat Sesuai Standar

(33)

31 mempertimbangkan jenis obat yang diberikan, dosis, lama pemberian, dan harga yang terjangkau untuk masyarakat (WHO, 2010)

Peresepan obat yang tidak sesuai standar akan menyebabkan banyak dampak buruk bagi masyarakat. lebih dari 50% obat-obat yang diresepkan sering tidak tepat, dan lebih dari setengah pasien gagal mendapatkan pengobatan yang tepat. ciri-ciri peresepan yang tidak rasional adalah peresepan boros /extravagant, peresepan berlebihan/over prescribing, peresepan majemuk/multiple prescribing, peresepan salah/incorrect prescribing (Holloway dan Green, 2003).

(34)

32 III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan metode survei retropektif dan menggunakan data sekunder (data peresepan obat demam tifoid).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Puskesmas Kedaton Kota Bandar Lampung. Puskesmas Kedaton Kota Bandar Lampung dipilih karena data dari Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa penderita demam tifoid memiliki prevalensi yang paling tinggi pada puskesmas ini.

2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Oktober-November 2012.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

(35)

33 periode Mei-Oktober 2012 di Puskesmas Kedaton. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh data peresepan penyakit demam tifoid pada pasien rawat inap pada di Puskesmas Kedaton Kota Bandar Lampung periode Mei-Oktober 2012 dengan jumlah 74 data peresepan penderita.

2. Sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh data peresepan penyakit demam tifoid pada pasien rawat inap di Puskesmas Kedaton Kota Bandar Lampung periode Mei-Oktober 2012. Besar sampel yang dibutuhkan sama dengan populasi (total sampling) yaitu sebesar 74 data peresepan penderita demam tifoid.

Kriteria inklusi:

1. Resep obat penyakit demam tifoid yang masuk pada tanggal 1 Mei 2012 sampai dengan 30 Oktober 2012.

2. Resep dalam keadaan baik, tidak cacat fisik (rusak, robek, dan tidak terbaca).

3. Resep yang terdapat tanda “PRW” pada sudut atas resep.

Kriteria eksklusi:

1. Resep obat penyakit demam tifoid diluar periode yang telah ditentukan. 2. Resep obat yang rusak atau sulit dibaca.

(36)

34 D. Metode Pengumpulan Data

Data untuk penelitian memakai data sekunder yang diperoleh dari pencatatan kartu status (rekam medik) serta resep obat untuk penderita demam tifoid pada di Puskesmas Kedaton Kota Bandar Lampung periode Mei-Oktober 2012.

[image:36.595.139.516.266.538.2]

E. Prosedur Penelitian

Gambar 2. Prosedur penelitian Mendapatkan

perizinan dari kampus

Mendapatkan perizinan dari Dinas

Kesehatan Kota Bandar Lampung

Survei pendahuluan

Proposal Penelitian

Hasil penelitian

(37)

35 F. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel

1. Identifikasi Variabel

Pada penelitian ini, yang menjadi variabel penelitian adalah peresepan obat penyakit demam tifoid di bagian rawat inap Puskesmas Kedaton Kota Bandar Lampung.

2. Definisi Operasional

a. Standar pengobatan demam tifoid adalah standar penatalaksanaan penyakit demam tifoid yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI no. 364 tahun 2006 tentang pengendalian demam tifoid

b. Peresepan obat adalah penulisan resep obat oleh tenaga kesehatan di Puskesmas Kedaton Kota Bandar Lampung untuk pasien dengan diagnosis demam tifoid tanpa penyakit penyerta pada bagian rawat inap pada periode Mei-Oktober 2012.

d. Dosis obat adalah takaran obat untuk penyakit demam tifoid yang tertera pada resep obat yang ditulis oleh tenaga kesehatan untuk pasien dengan diagnosis demam tifoid tanpa penyakit penyerta pada bagian rawat inap di Puskesmas Kedaton Kota Bandar Lampung periode Mei-Oktober 2012.

(38)

36 G. Pengolahan Data

(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)

51 DAFTAR PUSTAKA

Alp, E., J. van der Hoeven, PE.Verweij, JW. Mouton, A. Voss. 2005. Duration of Antibiotic Treatment: Are Even Numbers Odd?. The Journal of antimicrobial chemotherapy 56 (2): 441-442

Ambarwati, S. 2009. Survei Kesalahan dalam Penulisan Resep dan Alur Pelayanannya di 4 Apotek Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo (Skripsi). Universitas Muhamadiyah Surakarta: Semarang.

Asdie, A. 2000. Harrison: Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam volume 3. Edisi 13. Jakarta: EGC.

Bangun. 2012. Summary Seminar Setengah Hari: Konsep Terbaru untuk Mengukur Potensi Antibakterial dan Bagaimana Meminimalkan Terjadinya Resistensi terhadap Antibiotik. Diakses dari: http://rsh.fkh.ugm.ac.id/ main/2012/06/08/ pada tanggal 10 November 2012.

Bowman, E., dan S. Fraser. 2010. Neonatal Handbook. Diakses dari: http://www.netsvic.org.au/nets/handbook/index.cfm pada tanggal 21 November 2012.

Brooks, GF., SJ. Butel, SA. Morse. 2007. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Brusch, J.L. 2011. Typhoid Fever Clinical Presentation. Diakses dari: http://emedicine.medscape.com/article/231135-clinical pada tanggal 23 Agustus 2012.

Darmansjah, I. 2008. Penggunaan Antibiotik pada Pasien Anak. Majalah Kedokteran Indonesia 58(10): 368:369.

(45)

52 Cephalosporins in Salmonella Enterica from Three Spanish Hospitals. International Microbiology 14:173-181

De Vries, T.P.G.M., R.H. Henning, H.V. Hogerzeil, D.A. Fresle. 1994 reprinted 2000. Guide to Good Prescribing: A Practical Manual. Geneva: WHO. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar: Laporan

Nasional 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Petunjuk Teknis Program Jaminan Kesehatan Masyarakat di Puskesmas dan Jaringannya. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI.

Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya1. Kotrimoksazol. Diakses dari http:// dinkes.tasikmalayakota.go.id/index.php/informasi-obat/299-kotrimoks azol.html pada tanggal 28 Oktober 2012.

Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya2. Siprofloksasin. Diakses dari http:// dinkes.tasikmalayakota.go.id/index.php/informasi-obat/372-siprofloks asin.html pada tanggal 28 Oktober 2012.

Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya3. Amoksisilin. Diakses dari http:// dinkes.tasikmalayakota.go.id/index.php/informasi-obat/211-amoksisili n.htmlpada tanggal 28 Oktober 2012.

Ghasem, M.H. 2001. Typhoid Fever Clinical and Epidemiological Studies in Indonesia (Tesis). Universitas Diponegoro: Semarang.

Giraud, E., A. Cloeckaert, D. Kerboeuf, E. Chaslus-Dancla. 2000. Evidence for Active Efflux as the Primary Mechanism of Resistance to Ciprofloxacin in Salmonella enterica Serovar Typhimurium. Antimicrob Agents Chemother 44(5): 1223–1228.

Handoyo, Y. 2011. Pengobatan Demam Tifoid dengan Seftriakson atau Kloramfenikol Di Rumah Sakit Swasta Tangerang. Bina Widya 22 (4): 200-204.

Havey, CT., RA. Fowler, N. Daneman. 2011. Duration of Antibiotic Therapy for Bacteremia: A Systematic Review and Meta-Analysis. Critical Care 15:R267

(46)

53 Sihotang, L. 2009. Gambaran Penggunaan Antibiotik di Puskesmas Raja Basa

Indah periode Januari-Juni 2009. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Maddix, D., H. Lampiris, M. Vu. 2012. Guide to Antimicrobials 2012. San

Francisco VA Medical Center.

Mansjoer A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-3. Jakarta: Media Aesculapius.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Musnelina, L., AF. Afdhal, A. Gani, P. Andayani. 2004. Pola Pemberian Antibiotika Pengobatan Demam Tifoid Anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2001–2002. Makara Kesehatan 8(1): 27-31.

Mycek, MJ., RA. Harvey, PC. Champe. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2. Jakarta: Widya Medika.

Parry CM, TT. Hien, G. Dougan. Typhoid fever. N Engl J Med. Nov 28 2002; 347(22): 1770-82.

Puskesmas Kedaton. 2012. Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO). Bandar Lampung: Puskesmas Kedaton.

Puskesmas Kedaton2. 2012. Rekap Data Status Kesehatan dan Data Peresepan Pasien Demam Tifoid di Bagian Rawat Inap Puskesmas Kedaton tahun 2012. Bandar Lampung: Puskesmas Kedaton

Retnosari dan Tumbelaka. 2000. Pendekatan Diagnostik Serologik dan Pelacak Antigen Salmonella typhi. Sari Pediatri vol. 2: 90-95.

Rijal, S., R. Hatta, M. Sabir, Hermiaty. 2011. Tes Serologi Dipstik dalam Penegakan Diagnosis Dini Demam Tifoid. Jurnal Avicena: Universitas Muslim Indonesia.

Santoso, H. 2009. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Kasus Demam Tifoid Yang Dirawat Pada Bangsal Penyakit Dalam Di Rsup Dr.Kariadi Semarang Tahun 2008 (Skripsi). Universitas Diponegoro: Semarang.

(47)

54 Skold, O. 2001. Resistance to trimethoprim and sulfonamides. Vet.Res. 32: 261–

273.

Soedarmo, S.S.P., H. Garna, S.R. Hadinegoro, H.I. Satari. 2010. Buku Ajar Infeksi Pediatri dan Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

Supriyono. 2011. Demam Tifoid (Typhoid Fever). Diakses dari: http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2012/08/DEMAM-TIFOID-2011.pdf pada tanggal 22 Agustus 2012.

Utami, E.R. 2012. Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Saintis, 1 (1): 124-138.

WHO. 2003. Background Document: The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever. Diakses dari: www.who.int/vaccines-documents/ pada 17 September 2012.

WHO. 2010. Medicines: Rational Use of Medicines. Diakses dari: http://www. who.int/en/ pada tanggal 24 Agustus 2012.

(48)
(49)
(50)
(51)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bengkulu tanggal 03 Januari 1992, anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis merupakan anak dari Faiz Barchia dan Ria Ariesta yang bertempat tinggal di Jalan Jeruk Blok 4 nomor 118, Lingkar Timur, Kota Bengkulu.

Pendidikan penulis :

Sekolah Dasar Negeri 52 Kota Bengkulu (1997 – 2003)

Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Kota Bengkulu (2003 – 2006) Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Kota Bengkulu (2006 – 2009)

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung (2009 – sekarang) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

(52)

SANWACANA

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat, hidayah, dan berkah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul “Kesesuaian Peresepan Obat Penyakit Demam Tifoid

dengan Standar Pengobatan Demam Tifoid di Bagian Rawat Inap Puskesmas Kedaton Kota Bandar Lampung Periode Mei-Oktober 2012” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr.Sutyarso, M.Biomed, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Unila;

2. Ibu Asnah Tarigan, Apt., M.Kes, selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya dalam memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

3. dr. Rasmi Zakiah Oktarlina, selaku Pembimbing Kedua kesediaan dalam memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

(53)

5. Bapak dan Ibu Staf TU, Akademik dan Kemahasiswaan FK Unila;

6. Bapak/Ibu Staf di Puskesmas Kedaton yang telah bersedia meluangkan waktu bagi penelitian saya.

7. Bapak dan Ibu yang uni sayang, serta Ulin dan Fawwaz yang uni banggakan. Tanpa mereka saya tidak ada apa-apanya;

8. Keluarga di Bengkulu, terima kasih dukungannya, terutama buat makgaek yang ingin sekali salah seorang cucunya menjadi seorang dokter. Satu langkah sudah hampir selesai, doakan lancar ya nenekku sayang;

9. Ranintha dan Hema Meliny, teman satu penelitianku. God bless us, thanks a lot for ur support, ma, ran;

10. Friska DA, Ghina YN, Ayu ZA, Rinavi A, Wida R, RA Siti Marhani, dan seluruh rekan-rekan DORLAN, terima kasih atas kebersamaan kalian selama tiga setengah tahun yang melelahkan dan menyenangkan ini.

Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Desember 2012

Penulis

Gambar

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian (de Vries et al, 2000; dan Kemenkes, 2006)
Tabel.1 Obat dan Dosis Antimikroba untuk Demam Tifoid (Kemenkes,2006)
Tabel. 2 Prinsip dan Langkah Strategis Penatalaksanaan Demam Tifoid.
Gambar 2. Prosedur penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan dari hasil penelitian Rahmatifa (2005) Drug Related Problems pada pasien demam tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Islam Surakarta tahun 2005

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan diharapkan dalam penelitian ini dapat diketahui gambaran antibiotik yang digunakan untuk pasien rawat inap demam

Antibiotik merupakan obat utama yang digunakan untuk terapi demam.. tifoid dan untuk mendapatkan antibiotik yang cost-effective

Untuk mengetahui apakah penggunaan antibiotik yang meliputi golongan antibiotik, nama antibiotik, dosis antibiotik, frekuensi dan durasi antibiotik pada demam tifoid di

Dapat untuk anak dan dewasa Dilaporkan cukup sensitive pada beberapa daerah.. Obat lini pertama yang digunakan saat ini untuk demam tifoid yaitu kloramfenikol, ampisilin

Sampel pasien digolongkan berdasar ruang kelas perawatan dan usia yang kemudian dilanjutkan dengan mengamati kesesuaian peresepan obat dengan cara membandingkan peresepan

Untuk mengetahui apakah penggunaan antibiotik yang meliputi golongan antibiotik, nama antibiotik, dosis antibiotik, frekuensi dan durasi antibiotik pada demam tifoid di

Dosis antibiotik sebagian besar masih menggunakan dosis lazim berdasarkan Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000 (Fitriyani, 2007). Berdasarkan uraian di atas demam tifoid