• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA ABALON (Haliotis sp.) MELALUI PARAMETER FISIKA KIMIA DI TELUK CIKUNYINYI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA ABALON (Haliotis sp.) MELALUI PARAMETER FISIKA KIMIA DI TELUK CIKUNYINYI"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA ABALON (Haliotissp.) MELALUI PARAMETER FISIKA KIMIA DI TELUK CIKUNYINYI

Oleh Musanni

Pesisir Pesawaran yang merupakan bagian dari Teluk Lampung mempunyai potensi yang cukup besar dalam pengembangan budidaya laut. Salah satu lokasi yang memiliki potensi cukup besar adalah Teluk Cikunyinyi. Peningkatan pengelolaan lahan budidaya di Perairan Teluk Cikunyinyi dikhawatirkan dapat menurunkan kualitas perairan sehingga dapat mengakibatkan kegagalan dalam budidaya, Tujuan penelitian ini adalah menganalisis tingkat kesesuaian lahan budidaya abalon (Haliotissp.) Teluk Cikunyinyi berdasarkan parameter fisika dan kimia. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober - November 2013. Pengolahan data sampel dilaksanakan di Laboratorium Kualitas Air, Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut, Lampung. Terdapat 8 koordinat titik sampling. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif eksploratif. Sedangkan metode penentuan lokasi titik sampling menggunakan metode purposive sampling.

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode matching dan scoring.

Berikut adalah nilai kualitas air yang diperoleh selama penelitian : DO 4,15 – 6, 03mg/L, salinitas 31 – 33ppt, suhu 28,9 – 31,4oC, kedalaman 3,5 – 10,5m, kecerahan 1,1 – 8,2m, kecepatan arus 0,2 – 0,43m/dtk, derajat keasaman (pH) 7,54– 8,16, fosfat 0,060– 0,087mg/L, nitrat 0,021– 0,029mg/L. Hasilmatching

dan scoring yang dilakukan menunjukkan nilai sebesar 64% dengan tingkat kesesuaian yaitu Tidak Sesuai (Not Suitable). Artinya daerah ini mempunyai pembatas permanen, sehingga tidak dapat dipaksakan untuk budidaya abalon.

(2)

ABSTRACT

LAND SUITABILITY ANALYSIS OF ABALONE (Haliotissp.) CULTURE THROUGH PHYSICAL CHEMICAL PARAMETERS IN CIKUNYINYI BAY

By Musanni

The coast of Pesawaran, which is a part of Lampung Bay, has a great potential in the marine aquaculture development. One location that has significant potential is Cikunyinyi Bay. Aquaculture intensification on the Cikunyinyi Bay might degrade water quality which led to culture failure. The purpose of this study was to analyze land suitability level of Cikunyinyi Bay for abalone (Haliotis sp.) culture based on physical and chemical parameters. This research was conducted from October to November 2013.The data were taken from 8 sampling points. Sample data processing was held at Water Quality Laboratory in Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut, Lampung. The method used in this research was descriptive exploratory method and for location determination, pusposive sampling method was used. Matching and scoring method was used in this research. Here is a range of physical and chemical parameters were obtained at the time of the study : Dissolved oxygen (DO) from 4.15 to 6. 03mg/L, Salinity 31 -33ppt, Themperature 28.9 – 31.4oC, Depth 3.5 – 10.5m, Brightness 1.1 – 8.2m, the flow speed from 0.2 to 0.43m/sec, degree of acidity (pH) from 7.54 to 8.16, Phosphate 0.060 - 0.087mg/L, Nitrate 0.021 – 0.029mg/L. Matching and scoring that had been done showed value of 64%, with the level of conformity is “not suitable”. It means this area has permanent barrier, so it can not be forced to culture abalone.

(3)

Analisis Kesesuaian Lahan Budidaya Abalon (Haliotis

sp.)

Melalui Parameter Fisika Kimia di Teluk Cikuyinyi

Oleh

MUSANNI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERIKANAN

Pada

Jurusan Budidaya Perairan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Musanni dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Maret 1989 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sudaria dan Nurlela Penulis mengawali pendidikan di SD Negeri 2 Way Halim Permai dan lulus pada tahun 2001. Selanjutnya penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama AL – Kautsar Bandar Lampung pada tahun 2004, dan melanjutkan di Madrasah Aliyah Negeri 1 (Model) Bandar Lampung hingga lulus pada tahun 2007. Penulis terdaftar sebagai mahasiswi Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif kegiatan organisasi kampus, yaitu menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Budidaya Perairan Unila (HIDRILA) sebagai anggota Bidang Minat dan Bakat pada tahun 2009-2010. Penulis juga pernah mengikuti organisasi kampus lain yaitu ZOOM pada tahun 2011-2012 sebagai anggota

(8)
(9)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan Skripsiku ini kepada :

1. Kedua Orang Tuaku, umi dan bapak yang telah memberikan dukungan tiada

henti.

2. Kedua Adikku, Fauza dan Nisa, yang telah menjadi teman suka duka selama ini.

(10)

MOTO

“Sukses Bukanlah kunci kebahagiaan. Kebahagiaan lah kunci

menuju sukses. Jika anda mencintai apa yang anda kerjakan,

anda akan menjadi orang sukses”

(Herman Cain)

“kasanatteku koukai mo itsuka mirai ni kaete ikeru

machigatte hiroiatsumeta garakuta o migake” (Suatu hari di masa depan kau akan mampu mengubah

penyesalanmu yang bertumpuk

(11)

SANWACANA

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Kesesuaian Lahan Budidaya Abalon (Haliotis sp.) Melalui Parameter Fisika Kimia di Teluk Cikuyinyi” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Universitas Lampung.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu dan mendukung dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian skripsi, yaitu kepada :

1. Bapak dan Umi. Terima kasih atas curahan cinta kasih, iringan doa, nasihat, dukungan moril maupun materiil serta setiap tetes peluh dan keringat yang menjadi semangat dalam setiap langkah kakiku.

2. Rahmat Fauza dan Chairunnisya. Terima kasih kalian telah menjadi adik, teman beda pendapat, teman suka duka selama ini.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

4. Ibu Ir. Siti Hudaidah, M.Sc. selaku Ketua Jurusan Universitas Lampung. 5. Bapak Herman Yulianto S.Pi., M.Si. selaku dosen Pembimbing Utama yang

(12)

6. Ibu Rara Diantari S.Pi., M.Si. selaku dosen pembimbing kedua yang telah sabar membimbing, mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi.

7. Ibu Esti Harpeni S.Pi., MappSc. selaku dosen Penguji yang telah memberikan saran bagi kesempurnaan skripsi.

8. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Pertanian, khususnya Program Studi Budidaya Perairan.

9. Ibu Muawanah dan mas Wahyu dari Lab Kualitas air di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut atas Bantuannya selama penelitian.

10. Teman seperjuangan penelitian Edi (bendol), candra (momo), Agung, dan Saka. Kepada Aprian, Angga, Ijonk, mas Bowo, bang Aan Erma Sartika, semua sahabat “kontrakan” yang selalu memberikan suport dan motivasi

sehinnga skripsi ini dapat diselesaikan, serta rekan - rekan 2007 yang belum saya sebutkan satu persatu. Terima kasih atas dukungan, kebersamaan, dan saran yang diberikan.

Bandar Lampung, April 2015

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT... i

ABSTRAK... ii

HALAMAN PERSETUJUAN... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

LEMBAR PERNYATAAN... v

COVER DALAM... vi

RIWAYAT HIDUP... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN... viii

MOTTO... ix

SANWACANA... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan... 2

1.3. Tujuan Penelitian... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1. Morfologi Abalon... 4

(14)

2.3 Budidaya Abalon ... 8

2.3.1. Reproduksi Abalon ... 8

2.3.2. Pemijahan Abalon... 9

2.3.3. Pemeliharaan Abalon... 10

2.4. Parameter Fisika dan Kimia Untuk Budidaya Abalon ... 11

2.4.1. Kecerahan ... 12

2.4.2. Suhu ... 12

2.4.3. Salinitas... 12

2.4.4. Derajat Keasaman (pH) ... 13

2.4.5. Oksigen Terlarut (Dissolved Oksigen) ... 13

2.4.6. Kecepatan Arus... 14

2.4.7. Material Dasar Perairan ... 14

2.4.8. Kedalaman Perairan... 14

2.4.9. Nitrat ... 15

2.4.10 Fosfat ... 15

2.5. Analisis Kesesuaian Lahan ... 15

III. METODE PENELITIAN... 17

3.1. Lokasi Dan Waktu Penelitian... 17

3.2. Bahan Dan Alat Penelitian ... 19

3.2.1. Bahan Penelitian ... 19

3.2.2. Alat Penelitian... 19

3.3. Metode Penelitian... 20

3.3.1. Metode Penentuan Lokasi... 20

3.3.2. Metode Pengambilan Sampel ... 20

A. Fisika Air ... 21

B. Kimia Air ... 21

3.4. Kriteria Untuk Budidaya Abalon ... 21

3.4.1. Variabel Primer ... 22

3.4.2. Variabel Sekunder... 22

3.5. Metode Analisis Data ... 22

(15)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 27

4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 27

4.2. Kualitas Fisika Air... 27

4.2.1. Suhu... 27

4.2.2. Kecerahan Perairan ... 28

4.2.3. Kedalaman Perairan ... 30

4.2.4. Kecepatan Arus ... 31

4.2.5. Material Dasar Perairan... 31

4.3. Kualitas Kimia Perairan ... 32

4.3.1. Salinitas ... 32

4.3.2. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) ... 33

4.3.3. Derajat Keasaman (pH) ... 34

4.3.4. Fosfat ... 35

4.3.5. Nitrat... 36

4.4. Kesesuaian Lahan Budidaya Teluk Cikunyinyi ... 37

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 40

5.1. Kesimpulan... 40

5.2 Saran ... 40

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Lokasi Titik Kordinat Penelitian ... 18

2. Alat Yang digunakan Dalam Penelitian... 19

3. Tabel Sistem Penilaian Kesesuaian Lahan Budidaya ... 24

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Lampiran 1 Perhitunganscoringstasiun 1 ... 45

2. Lampiran 2 Perhitunganscoringstasiun 2... 45

3. Lampiran 3 Perhitunganscoringstasiun 3... 45

4. Lampiran 4 Perhitunganscoringstasiun 4... 46

5. Lampiran 5 Perhitunganscoringstasiun 5... 46

6. Lampiran 6 Perhitunganscoringstasiun 6... 46

7. Lampiran 7 Perhitunganscoringstasiun 7... 47

8. Lampiran 7 Perhitunganscoringstasiun 8... 47

9. Lampiran 9 pengujian kualitas air parameter fosfat... 47

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Abalon ... 5 2. Abalon Yang Menempel Pada Batu... 8 3. Peta Teluk Cikunyinyi ... 17 4. Gambar 4 Suhu Di Perairan Teluk Cikunyinyi (a) pagi hari,

(b) sore hari ... 28 5. Gambar 5 Kecerahan Di Perairan Teluk Cikunyinyi (a) Pagi Hari,

(b) sore hari ... 29 6. Gambar 6 Kedalaman (DO) Di Perairan Teluk Cikunyinyi (a) pagi hari, (b)

sore hari... 30 7. Gambar 7 Kecepatan Arus Di Perairan Teluk Cikunyinyi (a) pagi hari,

(b) sore hari ... 31 8. Gambar 8 Salinitas Di Perairan Teluk Cikunyinyi (a) pagi hari,

(b) sore hari ... 33 9. Gambar 9 Oksigen Terlarut Di Perairan Teluk Cikunyinyi (a) pagi hari, (b)

sore hari... 34 10. Gambar 10 Derajat Keasaman (pH) Di Perairan Teluk Cikunyinyi (a) pagi

(19)

(b) sore hari ... 36 12. Gambar 12 Kandungan Nitrat Di Perairan Teluk Cikunyinyi (a) pagi hari,

(20)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Abalon (Haliotis squamata) atau siput laut disebut jugaawabi,mutton fish, dan sea ear. Dalam bahasa daerah disebut dengan medau atau kerang mata tujuh atau kerang telinga laut (Effendy, 2000). Budidaya abalon (Haliotis sp.) mempunyai prospek yang cukup baik, mengingat permintaan pasar Asia seperti Jepang, Cina dan Singapura semakin banyak. Permintaan dunia akan abalon semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kebutuhan keanekaragaman sumber protein (Litaay, 2005). Abalon tergolong hewan yang memiliki nilai eksotik, dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Pada daerah tertentu jenis abalon (H. squamata) dalam kondisi hidup di jual dengan harga Rp. 200.000,-/kg. Permintaan dunia akan abalon meningkat sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan variasi sumber protein serta perkembangan industri perhiasan dan akuarium (Litaay, 2005)

(21)

2 masyarakat untuk memenuhi permintaan pasar, dan agar ketersediaan abalon di alam tetap terjaga.

Salah satu kesalahan dalam pengembangan budidaya abalon adalah lingkungan yang tidak cocok untuk jenis kultivan yang akan dipelihara. Agar budidaya dapat berkembang dengan baik diperlukan data yang sesuai dengan jenis kultivan.

1.2. Permasalahan

Pesisir Pesawaran yang merupakan bagian dari Teluk Lampung mempunyai potensi yang cukup besar dalam pengembangan budidaya laut. Salah satu lokasi yang memiliki potensi cukup besar adalah Teluk Cikunyinyi.

Besarnya potensi perairan Teluk Cikunyinyi, mendorong pengusaha membuka lokasi untuk budidaya laut. Peningkatan pengelolaan lahan budidaya di Perairan Teluk Cikunyinyi dikhawatirkan dapat menurunkan kualitas perairan sehingga dapat mengakibatkan kegagalan dalam suatu budidaya. Pemilihan lokasi yang tidak tepat justru merupakan faktor terbesar penyumbang kegagalan dalam budidaya perairan.

(22)

3 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

Menganalisis tingkat kesesuaian lahan budidaya abalon (Haliotis squamata) Di Teluk Cikunyinyi berdasarkan parameter fisika dan kimia.

1.4 Manfaat Penelitian

(23)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi abalon

Abalon atau siput mata tujuh adalah kelompok moluska laut yang tergolong dalam genus Haliotis, hidup di zona intertidal sampai kedalaman 80-100 m, tersebar di daerah tropis sampai sub-tropis. Dari sekitar 80-100 spesies abalon yang tersebar di dunia, terdapat tujuh spesies yang ditemukan di perairan Indonesia antara lainHaliotis asinina, H. varia, H. squamata, H. ovina, H. glabra, H. planate dan H. crebrisculpta (Setyono, 2004b). Spesies Haliotis squamata

(24)

5 Gambar 1. AbalonHaliotis squamata(Imamura, 2005)

Linnaeus 1758, taksonomi dari abalon (Haliotis squamata) di klasifikasikan sebagai berikut :

Phyllum : Mollusca Class : Gastropoda Ordo : Arcaegastropoda Family : Haliotididae Genus :Haliotis

Species :Haliotis squamata

(25)

6 telinga". Pada bagian kiri cangkang terdapat rangkaian lubang pernafasan. Pada umumnya, terdapat tujuh buah lubang yang dapat terlihat, namun hanya 4-5 buah lubang yang tidak tertutup. Tujuh buah lubang inilah yang dijadikan alasan bagi masyarakat di wilayah Indonesia Timur menyebut abalon sebagai "siput mata tujuh" di Wilayah Indonesia Timur (Gambar 1).

Abalon tidak memiliki operkulum. Cangkang abalon cembung dan melekat kuat (dengan kaki ototnya/muscular foot)di permukaan batu pada daerah

sublitoral. Warna cangkang bervariasi antara jenis yang satu dengan jenis yang lain. Salah satu keistimewaan dari ciri fisik abalon adalah warna cangkang bagian dalamnya yang beragam. Warna ini dihasilkan olehnacre(Setyono, 2004a).

Bagian dalam cangkang abalon berwarna seperti pelangi, putih keperakan sampai hijau kemerahan. Haliotis irisdapat berwarna campuran merah muda dan merah dengan warna utama biru tua, hijau, dan ungu. Dilihat dari fisiknya, ukuran tubuh abalon berbeda-beda tergantung dari jenisnya, mulai dari 20 mm (seperti

Haliotispulcherrima)sampai 200 mm atau lebih (sepertiHaliotis rufescens).

(26)

7 2.2 Distribusi dan habitat abalon

Suku Haliotidae memiliki distribusi yang luas dan meliputi perairan seluruh dunia, yaitu sepanjang perairan pesisir setiap benua kecuali perairan pantai Atlantik di Amerika Selatan, Karibia, dan pantai timur Amerika Serikat. Abalon paling banyak ditemukan di perairan dengan suhu yang dingin, di belahan bumi bagian selatan yaitu di perairan pantai Selandia Baru, Afrika Selatan dan Australia. Sedangkan di belahan bumi utara adalah di perairan pantai barat laut Amerika dan Jepang (Anonymous, 2007a). Setyono, (2004a), abalon paling banyak ditemukan di daerah beriklim empat musim, hanya sedikit jenis yang dapat ditemukan di daerah tropis (termasuk Indonesia) dan daerah Artik. Penyebaran siput abalon sangat terbatas. Tidak semua pantai yang berkarang atau barbatu terdapat siput abalon. Secara umum siput abalon tidak ditemukan di daerah estuaria. Hal ini berkaitan dengan fluktuasi salinitas dan tingkat kekeruhan yang tinggi dan konsentrasi DO yang rendah.

Siput abalon merupakan hewan herbivora pemakan makroalga(seaweeds)

dan mikroalga. Jenis alga yang biasa dimakan yaitu alga merah (Corallina, Lhothamium, Gracillaria, Porphya, alga coklat (Laminaria, Macrocysis, Sargasum),alga hijauUlva(Tahangdkk.,2006).

(27)

8 Gambar 2. Abalon yang menempel pada batu (Imamura, 2005)

2.3 Budidaya Abalon

2.3.1 Reproduksi abalon

Haliotis squamata termasuk salah satu jenis abalon yang berukuran relatif besar. Jenis ini dapat mencapai ukuran 8 - 10cm dengan bobot 30-40 g/ekor dalam waktu pemeliharaan 12-14 bulan. Abalon tergolong hewan berumah dua atau

diocis (betina dan jantan terpisah). Pembuahan telur dan sperma terjadi di luar tubuh, dimulai dengan keluarnya sperma ke dalam air yang segera diikuti keluarnya telur dari induk betina. Kematangan gonad induk jantan maupun betina berlangsung sepanjang tahun dengan puncak memijah terjadi pada bulan Juli dan Oktober. Telur yang siap dipijahkan berdiameter 100 mμ . Di laboratorium telur

(28)

9 2.3.2 Pemijahan Abalon

Perbedaan betina dan jantannya bisa diketahui melalui warna gonadnya (alat kelamin). Bila berwana hijau berarti betina dan bila menyerupai putih susu bisa dipastikan itu adalah jantan. Abalon yang siap memijah dapat dimasukkan ke dalam bak pemijahan. Selama proses perkawinan ini air di bak pemijahan tersebut diturunkan pelan-pelan, hingga sang jantan mengeluarkan spermanya. Sementara induk betina dapat menghasilkan telur seratus ribu hingga satu juta telur setiap kali pemijahan. Setelah itu induk betina dapat memijah kembali selang 37 hari kemudian. Induk betina yang lebih muda dapat memijah dengan frekuensi yang lebih sering ketimbang yang lebih tua. Rasio antara induk jantan dan betina adalah 1: 3. Setelah proses pemijahan, penetasan telur dapat dilakukan di bak yang terbuat dari fiberglass atau bisa juga tetap menggunakan bak pemijahan yang berkapasitas satu ton. Air di dalam bak tersebut wajib menggunakan air laut dengan kondisi yang mengalir. Air ini terlebih dahulu ditreatment agar terbebas dari hama dan penyakit (Tahang dkk, 2006).

(29)

10 2.3 3 Pemeliharaan Abalon

Larva yang telah menetas dari telur yang dihasilkan dikumpulkan antara pukul 6 - 7 pagi. Hal ini dilakukan setelah larva mengeluarkan veliger atau kaki renang. Saat ini larva memiliki sifat fototeksis positif atau senang bergerak mendekati sumber cahaya. Larva abalon dapat bergerak (mencari makan) dengan cara merayap. Oleh sebab itu sebelumnya harus disiapkan dulu wadah atau bak yang telah dibersihkan terlebih dahulu. Media air laut yang digunakan harus disaring (difilter) terlebih dahulu dengan menggunakan saringan air laut yang berukuran 0,5mickron(Ghufran, 2010).

(30)

11 Pemeliharan menggunakan lembaran plastik (yang bentuknya mirip lembaran seng). Lembaran plastik ini dilubangi dan dihubungkan dengan pipa paralon dan diletakkan di dalam bak pemeliharaan. Juvenil dianggap berkembang dengan baik bila selama umur 80 hari cangkangnya bertambah panjang menjadi 30 mm. Selain rumput laut makanan buatan sudah bisa diberi asupan pakan buatan. Formulanya 27% protein kasar, 5% lemak dan 40% karbohidrat. Pemeliharan abalone dari ukuran 30 mm sampai berukuran siap panen sekitar 60 mm dapat dilakukan di karamba. Tingkat kepadatannya adalah 60-100 ekor per meter persegi. Setelah 8 bulan kemudian kerang ini pun siap untuk dipanen (Tahang dkk, 2006).

2.4 Parameter Fisika dan Kimia untuk Budidaya Abalon

(31)

12 2.4.1 Kecerahan

Kecerahan adalah ukuran transparansi laut yang menunjukkan tingkat penetrasi cahaya yang dapat menembus laut tersebut (SNI 7644-2010). Kecerahan perairan menentukan jumlah intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam suatu perairan. Kemampuan daya tembus cahaya matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun anorganik tersuspensi di perairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus. Menurut Tahang dkk, (2006) tingkat kecerahan yang sesuai untuk budidaya abalon tropis berkisar 10 m.

2.4.2 Suhu

Standar Nasional Indonesia (SNI 7644-2010), menyatakan bahwa suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan panas yang terkandung dalam air laut. Suhu sendiri dipengaruhi oleh lingkungan dan cuaca dilokasi budidaya, sehingga apabila suhu lingkungan tidak sesuai dengan hewan budidaya atau jika suhu terus meningkat, ketahanan abalon akan dengan cepat mencapai batas alaminya sehingga pertumbuhan akan berhenti dan dapat menyebabkan kematian pada abalon (Fallu 1991). Setyono, (2010) parameter kualitas suhu yang baik untuk pemeliharaan abalon tropis bervariasi dari 27,5osampai 28,5oC.

2.4.3 Salinitas

(32)

13 untuk mengatur keseimbangan kepekatan cairan tubuh dapat digunakan untuk pertumbuhan (Ghufran, 2010). Abalon biasanya menyukai kadar garam (salinitas) yang relatif stabil. Salinitas optimal yang cocok untuk pemeliharaan abalon berkisar antara 30 sampai 33 ppt (Setyono, 2010).

2.4.4 Derajat keasaman (pH)

pH atau disebut juga derajat keasaman. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH berkisar 7 sampai 8,5 (Effendi, 2003). pH yang cocok untuk pemeliharaan abalon menurut Setyono, (2010) berkisar antara 7,5 sampai 8,5. Perairan yang terlalu asam akan kurang produktif dan dapat membunuh ikan. Kandungan oksigen terlarut pada perairan yang pH-nya rendah (keasaman yang tinggi) akan berkurang, akibatnya konsumsi oksigen ikan turut menurun, aktivitas pernafasan naik dan selera makan akan berkurang, lebih mudah terkena infeksi dan biasanya diikuti dengan tingkat mortalitas tinggi. Hal sebaliknya terjadi pada suasana basa (Ghufran, 2010).

2.4.5 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)

(33)

14 2.4.6 Kecepatan Arus

Menurut (Wibisono, 2005) arus adalah gerakan massa air laut kearah horizontal dalam skala besar. Daerah yang berombak dan berarus akan memberikan masukan oksigen kedalam perairan. Kecepatan arus yang ideal untuk budidaya abalon berkisar antara 0,2 sampai 0,5 m/detik (Tahangdkk. 2006).

2.4.7 Material Dasar Perairan

Abalon biasanya ditemukan di substrat dasar berupa batuan, karena abalon akan menggunakan batuan tersebut untuk menempel dan bersembunyi. Abalon membutuhkan substrat yang permukaannya keras. Hal tersebut dinyatakan oleh Fallu (1991) bahwa kaki abalon tidak cocok digunakan untuk merayap dan melekat di pasir, karena di substrat berpasir abalon bisa dengan mudah terbalik dan dengan mudah akan dimangsa predator. Batuan yang ditempeli makroalga adalah tempat yang sangat cocok untuk dihuni abalon (Lafferty,et al.2003).

2.4.8 Kedalaman Perairan

(34)

15 2.4.9 Nitrat

Nitrat adalah hasil akhir dari oksida nitrogen dalam laut (Hutagalung dan Rozak, 2004). Elemen penting yang merupakan determinasi produktifitas organik air adalah nitrat (Bal and Rao, 2000). Nitrat dapat menyebabkan menurunnya oksigen terlarut, penurunan populasi ikan, air cepat berbau busuk. Kisaran nitrat yang layak untuk organisme yang dibudidayakan sekitar 0,90–3,19 mg/l (DKP, 2010).

2.4.10 Fosfat

Fosfat merupakan unsur potensial dalam pembentukan protein dan metabolisme sel. Kandungan ortofosfat yang terkandung dalam air dapat menunjukkan kesuburan perairan. Jika kandungan fosfat lebih dari 0,051 ppm maka perairan bisa dikatakan baik (Wardoyo, 2002). Kondisi yang mendekati toleransi batas terendah bagi suatu organisme disebut limitting factor (faktor pembatas) (Winanto, 2004).

2.5 Analisis Kesesuaian Lahan

Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan (adaptability)

(35)

16 berkelanjutan membutuhkan suatu pengelolaan keruangan wilayah pesisir yang matang (Fauzi, 2009).

Anggoro (2004), salah satu hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan budidaya Laut adalah adanya perubahan parameter lingkungan karena hal tersebut mempengaruhi luasan dan area lokasi pengembangan budidaya. Oleh karena itu sangat penting dikaji bagaimana tingkat kesesuaian budidaya laut dan daya dukung lingkungan terhadap perubahan parameter lingkungan sehingga pada prakteknya didapatkan hasil yang maksimal (Agusta, 2012).

(36)

17

III METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Lokasi dan objek penelitian analisa kesesuaian lahan perairan Abalon ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. (Gambar 3).

Gambar 3. Lokasi Pengambilan Sampel Penelitian

(Sumber : Goole maps diunduh pada 7 april 2015)

(37)

18 Penelitian ini secara umum mencakup 3 tahapan yaitu survei lapangan, pengumpulan data, pengolahan data serta analisis data. Survei lapang dilakukan pada bulan September 2013. Pengambilan data serta analisis data dilakukan pada bulan Oktober– November 2013. Proses pengolahan data sampel dilaksanakan di Laboratorium Kualitas Air, Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut, Lampung.

Tabel 1. Lokasi titik koordinat penelitian

Stasiun Koordinat Keterangan

(LU) (LS)

1 5°26’54.79S 93°82’85.71T Bagian Timur berbatasan dengan

vegetasi mangrove, bagian Utara berbatasan dengan bagian tepi teluk, bagian Barat dan Utara perairan umum

2 5°26’58.63”S 93°82’36.42”T Bagian mulut teluk terbuka, baik Timur, Utara Selatan dan Barat berbatasan dengan perairam umum

3 5°27’3.19”S 93°82’58.87”T Bagian Timur, Utara dan Barat berbatasan dengan perairan umum sedangkan bagian Selatan berbatasan dengan tepi teluk yang berupa pantai berpasir

4 5°27’7.65”S 93°82’41.25”T Bagian Timur, Utara dan Barat

berbatasan dengan perairan umum bagian Selatan berbatasan tepi teluk yang berupa pantai berpasir

5 5°27’11.79S 93°82’38.78”T Bagian tengah teluk

6 5°26’54.36”S 93°82’53.48”T bagian Utara berbatasan dengan bagian tepi teluk, bagian Barat, Selatan dan Utara dengan perairan umum

7 5°26’34.45”S 93°82’42.79”T Bagian Utara berbatasan dengan tepi teluk, bagian Barat berbatasan dengan muara sungai, Timur dan Selatan perairan umum

8 5°27’54.64”S 93°82’48.79”T Bagian Barat berbatasan dengan

(38)

19 3.2. Bahan dan Alat Penelitian

3.2.1. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : bahan-bahan kimia untuk analisis sampel air.

3.2.2. Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan selama penelitian meliputi peralatan untuk mengukur kualitas air dan penanda lokasi (Tabel 2)

Tabel 2. Alat yang digunakan dalam penelitian

Parameter Satuan Alat/Metode Keterangan

Oksigen terlarut mg/l Water quality checker In situ

Suhu ºC Thermometer In situ

Kecerahan Meter Secchi disk In situ

Kedalaman Meter Portable Depth Sounder In situ

Salinitas Ppt Refraktometer In situ

Kecepatan arus m/detik Current meter In situ

Fosfat mg/l Spectrofotometer Laboratorium Nitrat mg/l Spectrofotometer Laboratorium

pH Water quality checker In situ

Material dasar perairan Eikmann Grab Sampler In situ

(39)

20 3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Metode Penentuan Lokasi

Metode dalam penelitian ini adalah metode deskriptif eksploratif. Sedangkan metode penentuan lokasi titik sampling menggunakan metode

purposive sampling, yaitu penentuan lokasi sampling berdasarkan pertimbangan tertentu antara lain kemudahan menjangkau lokasi titik sampling, serta efisiensi waktu dan biaya yang didasari pada interpretasi awal lokasi penelitian dan pengambilan sampel hanya terbatas pada unit sampel yang sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Lokasi pengambilan sampel sebanyak 8 titik sampling yang mewakili semua kondisi perairan lokasi penelitian. Setiap lokasi pengamatan titik sampling dicatat posisi geografisnya dengan alat penentu posisi (GPS). Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan sekunder (Djarwanto dan Subagyo, 1990).

3.3.2. Metode Pengambilan Sampel

(40)

21 dilakukan 2 kali pengulangan. Sampel yang dapat diukur secara langsung dilakukan secara in situ sedangkan sampel yang lain dianalisis di laboratorium Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung. Berikut adalah data yang dikumpulkan dalam penelitian:

A. Fisika Air

Suhu perairan diukur menggunakan water quality checker, kecerahan diukur menggunakan secchi disk, kedalaman perairan diukur menggunakan portabel depth sounder, kecepatan arus diukur menggunakan current meter, Material dasar perairan diukur menggunakaneikmann grab sampler.

B. Kimia Air

pH , oksigen terlarut, dan salinitas perairan diukur pada tiap titik sampling dengan menggunakan water quality checker, sedangkan untuk fosfat dan nitrat dianalisis di laboratorium Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung dengan menggunakanSpectrofotometer.

3.4. Kriteria untuk Budidaya Abalon

(41)

22 3.4.1. Variabel Primer

Merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam usaha pengembangan budidaya baik kelangsungan hidup maupun keberlangsungan usaha. Jika syarat ini tidak terpenuhi dapat menyebabkan kegagalan dari usaha budidaya yang diinginkan. variabel primer tersebut terdiri dari : Suhu perairan, salinitas dan DO.

3.4.2. Variabel Sekunder

variabel ini merupakan syarat optimal yang harus dipenuhi oleh suatu kegiatan usaha budidaya. Syarat ini diperlukan oleh biota, agar kehidupan lebih baik. variabel tersebut meliputi : Kedalaman, material dasar perairan, kecerahan, kecepatan arus, pH, fosfat dan nitrat.

3.5. Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode matching dan

skoring. Tahapan berikut adalah analisis kesesuaian perairan dengan pembuatan matrik kesesuaian (Tabel 3).

3.5.1. Analisis Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Abalon

(42)

23 parameter fisika-kimia perairan yang memenuhi persyaratan budidaya abalon. Dalam penelitian ini parameter yang diamati untuk kelayakan lahan budidaya laut meliputi: kualitas air laut (pH, suhu, salinitas, oksigen terlarut, kecerahan, kedalaman, material dasar perairan, kecepatan arus, kandungan phospat dan nitrat). Parameter tersebut akan digunakan sebagai dasar skala penilaian dan bobot pada kelayakan lahan budidaya laut. Parameter yang dapat memberikan pengaruh lebih kuat sebagai faktor pembatas bagi organisme budidaya diberi bobot lebih tinggi. Tingkat kesesuaian dibagi atas empat kelas (Radiarta et al, 2007), yaitu :

1. Kelas S1 : Sangat Sesuai (Highly Suitable)

Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti atau tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikan masukan atau tingkat perlakukan yang diberikan.

2. Kelas S2 : Cukup Sesuai (Moderately Suitable)

Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakukan yang harus diterapkan. Pembatas ini akan meningkatkan masukan atau tingkat perlakuan yang diperlukan.

3. Kelas S3 : Sesuai Marginal (Marginally Suitable)

(43)

24 4. Kelas N : Tidak Sesuai (Not Suitable)

Daerah ini mempunyai pembatas permanen, sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut.

Matrik kesesuaian perairan disusun melalui kajian pustaka dan pertimbangan teknis budidaya, sehingga diketahui peubah syarat yang dijadikan acuan dalam pemberian bobot. Karena itu, peubah yang dianggap penting dan dominan menjadi dasar yang kurang dominan. Untuk melihat keberadaan peubah diatas, maka hubungan antar beberapa peubah dominan yang mungkin terjadi terhadap peubah syarat, diperlukan sebagai data penunjang. Dengan pembagian syarat – syarat tersebut maka disusun matrik kesesuaian dengan sistem penilaian pada tabel 3.

(44)

25

Total Skor ( 100 %)

Total skor dari hasil perkalian nilai parameter dengan bobotnya tersebut selanjutnya dipakai untuk menentukan klas kesesuaian lahan budidaya ikan kerapu macan berdasarkan karakteristik kualitas perairan dan dapat dihitung dengan perhitungan (DKP, 2002) :

(45)

26 Total skor

Total skoring =. x 100% Total Skor Max.

Berdasarkan rumus dan perhitungan diatas diperoleh nilai (skor) kesesuaian lahan sebagai berikut:

 85,00 - 100 = Sangat Sesuai (S1)

 75,00 - 84,99 = Cukup Sesuai (S2)

 65,00 - 74,99 = Sesuai Marginal (S3)

(46)

0 V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan Penelitian yang dilakukan mengenai analisis kesesuaian lahan untuk budidaya abalon melalui parameter fisika dan kimia maka didapatkan hasil matching dan skoring yang bernilai 64%. Teluk Cikunyinyi berada pada kelas N atau tidak sesuai untuk lahan budidaya abalon.

5.2 Saran

(47)

✁ ✂

DAFTAR PUSTAKA

Agusta. C. Paulus. 2012.Model Pengembangan Minapolitan Berbasis Budidaya Laut di Kab. Kupang. Desertasi. IPB.

Anggoro. S. 2004.Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah, MSDP. UNDIP, Semarang.

Anonymous. 2006. Budidaya Abalon. Majalah Demersal http://www.abalondirect.com/abdirect/ About_Abalon/ Facts/facts.html. Anonymous. 2007a. Abalone. Wikipedia. http://www.wikipedia.org/ wiki/

Abalone.

Anonymous. 2007b. Facts About Abalone. FISHTECH™ INC. California, http://www.fishtech.com/fact/.

APHA. 2005. Standart Methods for The Examination of Water and Wastewater, 16th Edition. American Public Health Association, Washington DC. 76 pages.

Arif, M,. 2010. Pengaruh Penggunaan Rumput Laut Jenis G. verrucosa, L. papillosa dan G. arcuata Terhadap Kematangan Gonad Induk Abalon (H. diversicolor diversicolor) yang di Pelihaara pada Keramba Tancap.

Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Haluoleo. Kendari. 72 hal.

Ariyati R W, Sya’rani L, dan Arini E. 2007. Analisis kesesuaian perairan pulau karimunjawa dan pulau kemujan sebagai lahan budidaya rumput laut menggunakan sistem informasi geografis.J. Pasir Laut. 3(1): 27–45. Arsjad M., Y Siawantoro, dan R S Dewi. 2004. Inventarisasi Sumberdaya Alam

dan Lingkungan Hidup. Sebaran Chlorophyll-a di Perairan Indonesia.

Pusat Sumberdaya Alam Laut. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Cibinong. Bogor.

(48)

✄ ☎

Bal, D.V. and Rao, K.V., 2000. Marine Fisheries. Tata Mcgraw Hill Publishing Company Ltd. New Delhi.

Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung. 2001. Petunjuk Teknis Pembesaran Kerapu Macan dan Kerapu Tikus. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Degnan S M, and M. Backstorm. 2006.Evolution in temperate and tropical seas: Disparate patterns in southern hemisphere abalone (Mollusca:Vetigastropoda: Haliotidae). Molecular Phylogenetics and Evolution.(41): 249-256.

Departemen Kelautan dan Perikanan.2002. Rencana Strategis Perikanan dan kelautan. Sulawesi Tenggara.

Djarwanto dan Subagyo. 1990.Statistik Induktif. Penerbit BPFE. Yogyakarta. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengolahan Sumberdaya dan

Lingkungan Perairan.Kanisius: Yoyakarta.249 hlm.

Effendy, I.J. 2000. Study on Early Developmental Stages of Donkey Ear Abalon (H. asinina). Linneaust 1758.Thesis. Institute of Aquaculture. College of Fisheries.University of Philippines in the Visayas. Miag-ao, Iloilo. Philippines. 146 pp.

Esri. 2002. Using Spatial Analyst. Environment System Research Institute, Inc. New York.

Fallu Ric. 1991. Abalone Farming. First published. Fishing News Books : London.

Fauzi Y dan Imanto. 2009. Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Bengkulu Melalui Perancangan Model Spasial dan Sistem Informasi Geografis(SIG). Forum Geografi, Vol. 23 No. 2. p. 101–111.

Geiger D L. 1999. Distribution and biogeography of the recent haliotide (Gastropoda : Vetigastropoda) worl-wide. International Journal of Malacology. (35): 5-12.

Ghufran, M. H. 2010. Pemeliharaan Ikan Napoleon di Keramba Jaring Apung.

Akademia. Jakarta.

(49)

✆ ✝

Hutchins, P. 2007.Culturing Abalone Half-Pearls : The story of the New Zealand

Eyris Blue Pearl™. Wide Bay Valuation Services. Bundaberg.

http://www.australiangemmologist.com.au/ abalone_pearls.pdf.

Imamura, K. 2005. Abalone : Wild Life Notebook Series. Alaska Department of Fish and Game, http://www.adfg.state.ak.us/

Kordi, K. 2004.Jenis-jenis Abalon. Rineka Cipta. Jakarta.

Lafferty K D, and Jaeckel. 2004. Habitat of endangered white abalone, Haliotis sorenseni.Biological Conservation. (116): 191-194.

Lepore, C. 1993. Feasibility of abalone culture in British Columbia. Principles of Aquaculture. Bamfield Marine Station Publications.

Litaay, M. 2005.Peranan nutrisi dalam siklus reproduksi abalon. Osean, 30(3): 1 –7.

Maliao R J, Webb E L, and Jensen K R. 2004. A survey of stock of the donkey’s ear abalone, Haliotis asinina L. in the Sagay Marine Reserve, Philippines : evaluating the effectiveness of marine protected area enforcement.Fisheries Research. (66) : 343-353.

Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Baku Mutu Air Laut. Keputusan Meneg. KLH No 51 tahun 2004, tanggal 8 April 2004, Jakarta.

Mudjiono.1991. Potensi moluska (keong dan kerang) dan biota bentil lain di kawasan wisata bahari Pulau Belitung.P3O LIPI: 86.

Najmudeen T M and Victor A C C. 2003.Seed production and juvenile rearing of the tropical abalone Haliotis varia Linnaeus 1758. Aquaculture. (234) : 277-292.

Nontji, A. 2005.Laut Nusantara.Edisi revisi. Djambatan, Jakarta.

Radiarta, N., S.E Wardoyo, B. Priono dan O. Praseno. 2007. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Penentuan Lokasi Pengembangan Budidaya Laut di Teluk Ekas, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 9 No.1 p. 67 - 79.

Rifai and Ermitati, 1993. Pemijahan Abalon. Pusat Perikanan dan Kelautan.

Departemen Pendidikan Perikanan dan Kelautan. Jakarta.

(50)

✞✞

Setyobudiandi dan B. Priyono 2009. Sampling dan Analisis Data Perikanan dan Kelautan :Terapan Metode Pengambilan Contoh di Wilayah Pesisir dan Laut. Cetakan Pertama. Makaira FPIK IPB : Bogor. vi + 313 hal.

Setyono D E D. 2004a.Abalone (Haliotis asinina L) : 1. A prospective species for aquaculture in Indonesia.Oseana. 29 (2) :25-30.

Setyono, D.E.D. 2004b. Abalon (Haliotis asinina L): 3. Induction of Spawning. OseanaXXIX(3): 17-23.

Setyono D E D. 2006. Food preferences for juvenile tropical abalone (Haliotis asinina).Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 41:1-14.

Setyono D E D. 2009. Abalon :Biologi dan Reproduksi. LIPI Press: Jakarta. viii + 92 h.

Setyono D E D. 2010. Abalon :Teknologi Pembenihan. ISOI: Jakarta. xvi + 144h. Standar Nasional Indonesia (SNI) 7644. 2010. Basis Data Spasial Oseanografi : Suhu, Salinitas, Oksigen Terlarut, Derajat Keasaman, Turbiditas, dan Kecerahan.Badan Standardisasi Nasional: Jakarta.17 hlm.

Tahang M, Imran dan Bangun. 2006. Pemeliharaan kerang Abalon (Haliotis asinina) dengan metode Pen-culture (kurungan tancap) dan Keramba Jaring Apung (KJA). Departemen Kelautan dan Perikanan. Lombok. Wardoyo, S.T.H., 2002. Water Analysis Manual Tropical Aquatic Biology

Program. Biotrop. P. 81. Bogor.

Gambar

Gambar 1. Abalon Haliotis squamata (Imamura, 2005)
Gambar 2. Abalon yang menempel pada batu (Imamura, 2005)
Gambar 3. Lokasi Pengambilan Sampel Penelitian
Tabel 1. Lokasi titik koordinat penelitian
+3

Referensi

Dokumen terkait

Robust pole placement stabilizer design using linear matrix inequalities (LMIs) has been presented in [13, 14], where the feedback gain matrix is obtained as the

Variabel merupakan suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek, atau kegiatan yang memiliki variasi tertentu yang ditetapkan dalam penelitian untuk

Ketepatan proses adalah kebijakan yang telah dibuat sesuai dengan proses di dalam implementasi kebijakan publik sehingga pelaksana kebijakan memahami tugas dan

(5) Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara internal oleh Universitas dan eksternal secara berkala oleh badan akreditasi

KEY WORDS: student engagement, e-learning, distance learning, spatial problem solving, surveying, geographic information science, spatial sciences education, online teaching

a. Pastikan bahwa media dan/atau APE yang akan digunakan dalam pembelajaran, sudah tersedia sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Harian, baik ketersediaan jenis maupun

PENGEMBANGAN KOMIK EDUKASI SEBAGAI MEDIA BK PRISOS UNTUK MENINGKATKAN EFIKASI DIRI SISWA SMA TERHADAP PERILAKU SEKSUAL BERESIKO.. Prodi BK

Aktivitas Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru berpengaruh terhadap peningkatan kebisingan, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut tentang