LAPORAN AKHIR TAHUN KEDUA
PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI (PUPT)
PEMANFAATAN KULIT DAN BIJI BUAH BEBERAPA TUMBUHAN
ASLI INDONESIA UNTUK BAHAN OBAT HERBAL
Tim Peneliti :
Dr. Muhtadi, M.Si NIDN 0609096902 Dr. Haryoto, M.Sc NIDN 0006066201 Tanti Azizah Sujono, M.Sc., Apt NIDN 0605087601
FAKULTAS FARMASI
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iii
RINGKASAN
BAB 1. PENDAHULUAN
iv 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 5
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 13
BAB 4. METODE PENELITIAN 15
BAB 5. HASIL YANG DICAPAI 21
BAB 6. RENCANA TAHUN BERIKUTNYA 27
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN 31
DAFTAR PUSTAKA 32
LAMPIRAN-LAMPIRAN ;
RINGKASAN
Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi yang diusulkan ini, merupakan salah satu usaha untuk memanfaatkan ”limbah” yang berasal dari kulit dan biji buah beberapa tumbuhan asli Indonesia, yang meliputi rambutan, kelengkeng, jeruk dan durian. Penelitian yang direncanakan meliputi tahapan uji praklinis in vitro & in vivo, standarisasi ekstrak, identifikasi chemical marker, uji toksisitas akut dan subkronis. Hasil keseluruhan dari penelitian ini diharapkan akan memberikan landasan ilmiah yang kuat serta untuk peningkatan kapasitas bahan limbah dari tumbuhan asli Indonesia menjadi produk obat herbal terstandar yang layak dipasarkan.
Pada tahun pertama, telah dilakukan uji praklinik secara in vitro sebagai antioksidan dan sitotoksik terhadap beberapa sel uji tumor, uji in vivo sebagai antihiperurisemia, antidiabetes dan antikolesterol, serta identifikasi chemical markernya. Pada tahun kedua, sedang dilakukan standarisasi ekstrak kulit buah yang potens dalam uji praklinik untuk pemeriksaan parameter spesifik dan non spesifik, serta uji toksisitas akut & subkronis untuk mengetahui efek samping yang ditimbulkan dari pemakaian ekstraknya. Pada tahun ketiga, dilakukan uji formulasi sediaan obat herbal, untuk memperoleh data ilmiah tentang formulasi sediaan yang paling stabil dan memberikan efek yang optimal dalam pemakaiannya. Uji pengembangan kemasan, untuk mendapatkan proses pengemasan yang baik dan stabil, sehingga produk yang dihasilkan dapat dipromosikan sebagai obat herbal terstandar yang berkualitas.
Kata kunci : kulit dan biji buah-buahan, uji in vitro & in vivo, standarisasi ekstrak, identifikasi chemical marker, toksisitas akut-subkronis, OHT
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara megabiodiversity dalam hal kekayaan hayati di dunia. Wilayah hutan tropika Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi ke-2 di dunia setelah Brasil. Dari 40.000 jenis flora yang ada di dunia sebanyak 30.000 jenis dijumpai di Indonesia dan 940 jenis di antaranya diketahui berkhasiat sebagai obat yang telah dipergunakan dalam pengobatan tradisional secara turun-temurun oleh berbagai etnis di Indonesia. Jumlah tumbuhan obat tersebut meliputi sekitar 90% dari jumlah tumbuhan obat yang terdapat di kawasan Asia (Depkes, 2010).
Namun, kerusakan hutan (deforestasi) menjadi ancaman bagi keberadaan kekayaan hayati di Indonesia. Menurut data yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan, laju deforestasi periode 2003-2006 mencapai 1,17 juta hektar pertahun. Dari total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta hektar, menurut Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sebanyak 21 persen atau setara dengan 26 juta hektar hutan telah dijarah dan ‘musnah’. Kerusakan hutan tentu disertai dengan punahnya beberapa spesies tumbuhan obat Indonesia, yang sangat bermanfaat dalam pengobatan dan perawatan kesehatan masyarakat.
Padahal perkembangan penyakit pada kehidupan manusia, baik penyakit menular maupun tidak menular (degeneratif) semakin beragam dan berjalan relatif cepat. Pada beberapa tahun terakhir muncul adanya fenomena, berbagai penyakit yang “baru”, seperti SARS, Chikungunya, Lupus, Flu burung, penyakit kanker yang semakin beragam dll. Oleh karena itu, dituntut pemikiran dan usaha untuk mendapatkan cara pengobatan dan penemuan obat yang dapat membantu penyembuhan penyakit-penyakit “baru” tersebut, dengan memanfaatkan bahan-bahan alami yang bersumber dari lingkungan sendiri.
Salah satu usaha dan pemikiran untuk memanfaatkan bahan alami yang banyak diperoleh dari lingkungan sekitar sebagai bahan obat herbal, adalah dengan memanfaatkan kulit dan biji buah tumbuhan asli Indonesia. Selama ini, sebagian besar masyarakat masih menganggap kulit dan biji buah sebagai sampah atau limbah, yang tidak bermanfaat dan bernilai guna lagi. Padahal secara kimiawi, diketahui bahwa biodiversity adalah chemical diversity.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh
Tim peneliti terhadap beberapa sampah atau limbah yang berasal dari
kelengkeng, jeruk manis dan durian memiliki aktivitas farmakologi yang
potensial pada uji pendahuluan.
Hasil penelitian terhadap kulit dan biji buah kelengkeng, terbukti
bahwa fraksi etil asetat dari kulit dan biji kelengkeng memiliki aktivitas
antioksidan cukup tinggi pada uji DPPH dengan nilai IC5 0 = 9,23 µg/ml,
dengan vitamin E sebagai pembanding (IC50 = 8,88 µg/ml) (Annida, 2011). Fraksi etil
asetat kulit buah rambutan memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi dibandingkan
dengan vitamin E dengan nilai IC50 = 4,29 µg/mL, sedangkan vitamin E sebesar 8,48
µg/mL (Khasanah, 2011). Ekstrak etanol 50% kulit jeruk manis mempunyai aktivitas
antibakteri terhadap S. aureus dan E. coli multiresisten dengan nilai Kadar Bunuh
Minimal (KBM) masing-masing 6% dan 8%, dan memiliki efek toksik terhadap
Artemia salina Leach dengan nilai LC50 77,19 µg/mL (Wijiastuti, 2011). Ekstrak
etanol, fraksi kloroform dan etil asetat dari kulit buah durian memiliki aktivitas
antioksidan cukup tinggi dengan nilai IC50 secara berturut-turut adalah 61,57; 32,49
dan 17,13 µg/mL, kadar fenoliknya (GAE) 71,75; 113,93 dan 150,03 mg/g sampel
dan kadar flavonoidnya (RE) 64,82; 211,15 dan 212,67 mg/g sampel (Batubara, 2011).
Penelitian yang diusulkan ini merupakan penelitian lanjutan untuk
memanfaatkan kulit dan biji buah dari beberapa tumbuhan asli Indonesia sebagai
bahan obat herbal, melalui serangkaian uji praklinik (antitumor secara in vitro, in
vivo sebagai penurun kolesterol, asam urat dan kadar gula dalam darah),
standarisasi ekstrak, isolasi chemical marker-nya, uji toksisitas akut-subkronis,
formulasi sediaan obat herbal terstandar. Hasil penelitian diharapkan akan
memberikan landasan ilmiah yang kuat untuk mendapatkan sediaan obat herbal
terstandar yang layak dipasarkan dan scientific based.
1.2 Tujuan Khusus
a. Mengembangkan potensi pemanfaatan ”limbah buah” dari beberapa tumbuhan asli Indonesia, yaitu kulit buah rambutan, kulit dan biji buah kelengkeng, kulit buah jeruk manis, dan kulit buah durian menjadi bahan obat herbal terstandar, yang nantinya dapat dipromosikan & dimanfaatkan dalam membantu pengobatan di masyarakat.
yang selama ini dibuang dan belum bernilai ekonomis, nantinya diharapkan dapat diproduksi oleh mitra industri jamu/farmasi & dipasarkan kepada masyarakat.
c. Memberikan acuan kepada anggota grup riset tentang model & sistematika penelitian obat herbal terstandar, untuk lebih menggali & memanfaatkan potensi kekayaan hayati (tumbuhan obat) asli Indonesia menjadi produk-produk herbal yang berkualitas & bermanfaat bagi kehidupan dan kesehatan masyarakat.
d. Hasil-hasil riset yang diperoleh dapat dijadikan sarana peningkatan & penguatan kerjasama lembaga, baik Fakultas Farmasi, LPPM maupun UMS dengan mitra-mitra industri, lembaga riset lain, maupun stakeholder yang lain.
1.3 Urgensi (Keutamaan) Penelitian
Penemuan obat baru dengan maksud mendapatkan obat atau bakal obat yang lebih berkhasiat dan memiliki efek samping yang sekecil-kecilnya, baik dengan cara sintesis maupun isolasi dari bahan alam sangat perlu dilakukan dengan intens dan dukungan yang penuh. Hal ini sejalan dengan adanya kecenderungan sebagian besar masyarakat untuk “kembali ke alam” atau back to nature karena merasa lebih aman dalam pemakaiannya.
Akan tetapi, kondisi yang sangat berbeda juga terjadi, yaitu kerusakan lingkungan dan hutan dari tahun ke tahun semakin meningkat, seiring dengan peningkatan kebutuhan lahan untuk lahan industri, pertambangan, pertanian, perumahan, dan pembukaan lahan kelapa sawit. Kecepatan kerusakan hutan di Indonesia dilaporkan menurut data Departemen Kehutanan RI periode 2003-2006, sudah mencapai 1,17 juta hektar pertahun dan diperkirakan hutan yang rusak atau musnah telah mencapai luas 26 juta hektar. Kerusakan hutan tentu disertai dengan punahnya beberapa spesies tumbuhan obat Indonesia, yang sangat bermanfaat dalam pengobatan dan perawatan kesehatan masyarakat. Padahal baru ± 200 spesies dari 30.000 spesies tumbuhan di Indonesia yang dimanfaatkan sebagai bahan jamu dan obat herbal dalam industri farmasi dan industri kecil obat tradisional. Sehingga kecepatan kerusakan hutan akan seiring dengan kecepatan punahnya ratusan bahkan ribuan spesies tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan obat herbal atau jamu. Fakta ini akan menyebabkan semakin sulit diperolehnya bahan obat herbal, semakin mahal bahan obat herbal atau jamu serta semakin punah tumbuhan obat asli Indonesia.
“sampah atau limbah” yang berasal dari kulit dan biji buah dari tumbuhan asli Indonesia. Masalah sampah atau limbah, juga masih menjadi persoalan besar bagi bangsa dan masyarakat di Indonesia, padahal secara kimiawi “limbah buah” baik kulit dan biji buahnya memiliki kandungan kimia yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat herbal. Hal ini terbukti dari hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan peneliti terhadap beberapa kulit dan biji buah tumbuhan asli Indonesia, ternyata memiliki aktivitas farmakologi yang sangat potensial.
Hasil penelitian pendahuluan (screening) terhadap kulit dan biji buah kelengkeng, menunjukkan aktivitas antioksidan yang cukup tinggi pada uji DPPH. Fraksi etil asetat kulit kelengkeng, dengan nilai IC5 0 = 9,23 µg/ml (Annida,
2011). Fraksi etil asetat kulit buah rambutan memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi dibandingkan dengan vitamin E dengan nilai IC50 = 4,29 µg/mL, (vitamin E = 8,48 µg/mL)
(Khasanah, 2011). Ekstrak etanol 50% kulit jeruk manis memiliki efek sitotoksik terhadap
Artemia salina Leach dengan nilai LC50 77,19 µg/mL (Wijiastuti, 2011). Fraksi etil asetat
dari kulit buah durian memiliki aktivitas antioksidan tinggi dengan nilai IC50 = 17,13 µg/mL
(Batubara, 2011).
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keanekaragaman hayati Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas, mempunyai kurang lebih 35.000 pulau yang besar dan kecil dengan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang sangat tinggi. Di Indonesia diperkirakan terdapat 100 sampai dengan 150 famili tumbuh-tumbuhan, dan dari jumlah tersebut sebagian besar mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai
tanaman industri, tanaman buah-buahan, tanaman rempah-rempah dan tanaman obat-obatan (Nasution, 1992).
Keanekaragaman hayati menurut World Wildlife Fund dalam Indrawan dkk. (2007) adalah jutaan tumbuhan, hewan dan mikroorganisme, termasuk yang mereka miliki, serta
ekosistem rumit yang mereka bentuk menjadi lingkungan hidup. Keanekaragaman hayati dapat digolongkan menjadi tiga tingkat, yaitu :
1. Keanekaragaman spesies. Hal ini mencakup semua spesies di bumi, termasuk bakteri dan protista serta spesies dari kingdom bersel banyak (tumbuhan, jamur, hewan, yang bersel banyak atau multiseluler)
2. Keanekaragaman genetik. Variasi genetik dalam satu spesies baik diantara
populasi-populasi yang terpisah secara geografis, maupun diantara individu-individu dalam satu populasi.
3. Keanekaragaman komunitas. Komunitas biologi yang berbeda serta asosiasinya dengan lingkungan fisik (ekosistem) masing-masing.
Ketiga tingkatan keanekaragaman hayati itu diperlukan untuk kelanjutan kelangsungan hidup
di bumi dan penting bagi manusia. Keanekaragaman spesies menggambarkan seluruh cakupan adaptasi ekologi, serta menggambarkan evolusi spesies terhadap lingkungan tertentu.
Keanekaragaman hayati merupakan sumberdaya hayati dan sumberdaya alternatif
bagi kehidupan manusia. Sebagai negara mega-biodiversity, berdasarkan keanekaragaman jenis menurut Supriatna (2008) Indonesia menempati urutan papan atas, yakni :
• Urutan kedua setelah Brazil untuk keanekaragaman mamalia, dengan 515 jenis, yang 39% diantaranya merupakan endemik
• Urutan keempat untuk keanekaragaman reptil (511 jenis, 150 endemik).
• Urutan keenam untuk keanekaragaman amfibi (270 jenis, 100 endemik) • Urutan keempat dunia untuk keanekaragaman dunia tumbuhan (38000 jenis)
• Urutan pertama untuk tumbuhan palmae (477 jenis, 225 endemik)
• Urutan ketiga untuk keanekaragaman ikan tawar (1400 jenis) setelah Brazil dan Colombia.
2.2 Obat Herbal dan Fitofarmaka
Hingga akhir tahun 2010, Indonesia dilaporkan dihuni oleh lebih dari 200 juta jiwa,
memiliki lebih kurang 30.000 spesies tumbuhan dan 940 spesies di antaranya termasuk tumbuhan berkhasiat (180 spesies telah dimanfaatkan oleh industri jamu tradisional) merupakan potensi pasar obat herbal dan fitofarmaka. Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu
terbukti dari adanya naskah lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak pabbura (Sulawesi Selatan), dokumen Serat Primbon Jampi, Serat Racikan Boreh Wulang nDalem dan relief candi Borobudur yang menggambarkan orang sedang meracik obat (jamu) dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya. Obat herbal telah diterima secara luas di negara berkembang dan di negara maju (Sampurno, 2002).
Menurut WHO (Badan Kesehatan Dunia) hingga 65% dari penduduk negara maju dan
80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal. Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu di antaranya kanker serta semakin luas akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia. Pada tahun 2000 diperkirakan
penjualan obat herbal di dunia mencapai US$ 60 milyar.
WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. Hal ini menunjukkan dukungan WHO
untuk back to nature yang dalam hal tertentu lebih menguntungkan. Untuk meningkatkan keselektifan pengobatan dan mengurangi pengaruh musim dan tempat asal tanaman terhadap efek, serta lebih memudahkan dalam standardisasi bahan obat maka zat aktif diekstraksi lalu dibuat sediaan fitofarmaka atau bahkan dimurnikan sampai diperoleh zat murni Di Indonesia, dari tahun ke tahun terjadi peningkatan industri obat tradisional, menurut data dari Badan
pengawasan dan perizinan maka Badan POM mengelompokkan dalam sediaan jamu, sediaan herbal terstandar dan sediaan fitofarmaka. Persyaratan ketiga sediaan berbeda yaitu untuk
jamu pemakaiannya secara empirik berdasarkan pengalaman, sediaan herbal terstandar bahan bakunya harus distandardisasi dan sudah diuji farmakologi secara eksperimental sedangkan sediaan fitofarmaka sama dengan obat modern bahan bakunya harus distandardisasi dan harus melalui uji klinik (Sampurno, 2002).
Dengan melihat jumlah tanaman di Indonesia yang berlimpah dan baru 180 tanaman
yang digunakan sebagai bahan obat tradisional oleh industri maka peluang bagi profesi kefarmasian untuk meningkatkan peran sediaan herbal dalam pembangunan kesehatan masih terbuka lebar. Standardisasi bahan baku dan obat jadi, pembuktian efek farmakologi dan informasi tingkat keamanan obat herbal merupakan tantangan bagi farmasis agar obat herbal
semakin dapat diterima oleh masyarakat luas (Sukandar, 2006).
2.3 Saintifikasi jamu
Saintifikasi Jamu adalah upaya dan proses pembuktian ilmiah jamu melalui
penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Tujuan adalah untuk memberikan landasan ilmiah
(evidence based) penggunaan jamu secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan
kesehatan karena para dokter dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah amat kuat
keinginannya bersama ilmuan/ akademisi mengangkat jamu sebagai iconSehat, Bersama
Rakyat. Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan
lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif dan paliatif melalui
penggunaan jamu. Juga untuk meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien
dengan penggunaan jamu. Selain itu untuk meningkatkan penyediaan jamu yang aman,
memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk
pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan. Ruang lingkup saintifikasi
jamu meliputi upaya preventif, promotif, rehabilitatif dan paliatif (Depkes, 2010).
Menurut Menkes, Jawa Tengah, adalah tempatnya banyak pabrik jamu besar dan
gudangnya sekaligus simbol dari eksisnya penjual jamu tradisional yang ribuan jumlahnya.
Hal ini harus diapresiasi, dilindungi dan ditingkatkan mutu jamunya. “Jawa Tengah, juga
lokasi satu-satunya Balai Besar Tanaman Obat dan Obat Tradisional Depkes di
Tawangmangu yang mengkoleksi ribuan tanaman obat tradisional yang berpontensi untuk
dikembangkan menjadi devisa Negara. Jawa Tengah juga dikenal sebagai sumber budaya
nasional yang merupakan puncak kearifan lokal (local genius) bangsa hingga saat ini, ujar
2.4 Hasil-hasil penelitian pengusul yang relevan & telah dipublikasikan
Peneliti mulai tahun 2003 telah melakukan penelitian tentang penemuan bahan obat dari alam yang merupakan tumbuhan endemik Indonesia. Pada tahun 2003 s.d 2007, peneliti telah melakukan penelitian tentang isolasi dan karakterisasi senyawa-senyawa oligomer resveratrol dari empat tumbuhan Dipterocarpus Indonesia. Dari empat spesies Dipterocarpus, yaitu D. intricatus, D. retusus, D. hasseltii dan D. elongatus, berhasil diisolasi 31
senyawa oligomer resveratrol dan salah satu diantaranya, yaitu hopeafenol sangat kuat efek sitotoksiknya terhadap sel murin leukemia P388. Sebagian besar hasil penelitian telah dipublikasikan dalam jurnal nasional terakreditasi dan internasional (Muhtadi, 2007; Muhtadi, dkk., 2006; Muhtadi, dkk., 2006a, Muhtadi, dkk., 2006b; Muhtadi, dkk., 2005).
Pada tahun 2008 dan 2009, peneliti melanjutkan penelitian tentang penemuan senyawa yang bersifat sitotoksik terhadap kulit kayu Keruing Pungguh (Dipterocarpus confertus Sloot). Telah dipisahkan 5 (lima) senyawa murni hasil isolasi dari ekstrak metanol kulit batang Dipterocarpus confertus Sloot, yaitu senyawa β-sitosterol, asam betulinat, asam 5-hidroksi-2-metoksi benzoat, asam sinamat, dan α-viniferin. Hasil pengujian sitotoksisitas terhadap sel murin leukemia P388, menunjukkan bahwa senyawa asam sinamat dan asam
betulinat sangat aktif dengan nilai IC50 masing-masing sebesar 2,25 dan 5,1 µg/mL (Muhtadi, dkk., 2009a; Muhtadi, dkk., 2009).
Dari penelitian terakhir yang dibantu oleh beberapa mahasiswa terhadap kulit dan biji buah beberapa tumbuhan asli Indonesia; kelengkeng, rambutan, jeruk manis dan durian diperoleh hasil bahwa fraksi etil asetat dari kulit dan biji kelengkeng memiliki aktivitas
antioksidan cukup tinggi pada uji DPPH dengan nilai IC50 = 9,23 µg/ml, dengan vitamin E sebagai pembanding (IC50 = 8,88 µg/ml) (Annida, 2011). Fraksi etil asetat kulit buah rambutan memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi dibandingkan dengan vitamin E dengan nilai IC50 = 4,29 µg/mL, sedangkan vitamin E sebesar 8,48 µg/mL (Khasanah, 2011). Ekstrak
etanol 50% kulit jeruk manis mempunyai aktivitas antibakteri terhadap S. aureus dan E. coli multiresisten dengan nilai Kadar Bunuh Minimal (KBM) masing-masing 6% dan 8%, dan memiliki efek toksik terhadap Artemia salina Leach dengan nilai LC50 77,19 µg/mL (Wijiastuti, 2011). Ekstrak etanol, fraksi kloroform dan etil asetat dari kulit buah durian memiliki aktivitas antioksidan cukup tinggi dengan nilai IC50 secara berturut-turut adalah
Sebagian besar dari ekstrak dan fraksi-fraksi yang diperoleh dari “limbah” kulit dan biji buah kelengkeng, rambutan, jeruk dan durian, menunjukkan aktivitas farmakalogi yang
potensial sebagai antioksidan, antibakteri dan sitotoksik. Informasi ini memberikan petunjuk adanya peluang penelitian dan pemanfaatan lebih lanjut dari senyawa-senyawa yang terkandung dalam ekstrak dan fraksi-fraksinya untuk bahan obat herbal, khususnya untuk pengobatan penyakit-penyakit degeneratif (kanker, diabetes, asam urat, kolesterol, dll).
2.5 Radikal bebas, Antioksidan dan Potensinya sebagai Kemopreventif Kanker
a) Radikal Bebas
Istilah radikal bebas merujuk ke atom atau gugus atom apa saja yang
memiliki satu atau lebih elektron tak berpasangan sehingga bersifat sangat reaktif.
Suatu radikal bebas biasanya dijumpai sebagai zat antara yang tidak dapat diisolasi,
berusia pendek dan berenergi tinggi (Fessenden dan Fessenden, 1986). Beberapa
contoh radikal bebas antara lain: anion superoksida (O2•-), radikal hidroksil (OH•),
nitril oksida (NO•), singlet oksigen (1O2), radikal alkoksil (RO•), radikal peroksil
(ROO•) dan radikal semikuinon (Q•-) (Larson, 1997 cit Windono et al., 2001;
Caballero, 2006)
Timbulnya radikal bebas di dalam tubuh dapat terjadi karena adanya proses
metabolisme, terutama reaksi dengan oksigen (reaksi oksidasi). Proses oksidasi
merupakan suatu reaksi yang normal dan kontinyu dan dapat meningkat karena
adanya stress, merokok, alkohol, sinar matahari dan polusi (Tjay dan Rahardja, 2002;
Anonim, 2008). Radikal bebas yang terbentuk dari reaksi tersebut dibutuhkan untuk
oksidasi lipida, membantu perombakan obat dan zat beracun serta memiliki arti
penting pada ketahanan terhadap jasad renik (Tjay dan Rahardja, 2002). Meskipun
dibutuhkan tubuh, paparan dan pembentukan radikal bebas yang berlebih juga
tidak baik. Radikal bebas dapat mengambil elektron-elektron molekul lain dan
berakibat pada kerusakan membran sel, protein, lemak dan DNA. Hal ini dapat
mengakibatkan penyakit-penyakit seperti penyakit jantung, liver dan kanker
(Anonim, 2008).
b) Antioksidan
antioksidan. Senyawa ini bekerja menghambat suatu reaksi radikal bebas dan
kadang-kadang dirujuk sebagai suatu penangkap radikal bebas. Kerja yang lazim
dari suatu inhibitor radikal-bebas ialah bereaksi dengan radikal bebas reaktif
membentuk radikal bebas tak reaktif dan relatif stabil (Fessenden dan Fessenden,
1986).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dapat dikelompokkan menjadi
tiga kelompok, yaitu:
1. Antioksidan primer (antioksidan endogen atau antioksidan enzimatis). Contohnya
enzim peroksidase dismutase, katalase dan glutation peroksidase. Enzim-enzim
ini mampu menekan atau menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara
memutus reaksi berantai dan mengubahnya menjadi produk stabil. Reaksi ini
disebut sebagai chain-breaking-antioxidant.
2. Antioksidan sekunder (antioksidan eksogen atau antioksidan non enzimatis). Contoh antioksidan sekunder ialah vitamin E (Gambar 2), vitamin C, β-karoten, isoflavon, asam urat, bilirubin dan albumin. Senyawa-senyawa ini dikenal
sebagai penangkap radikal bebas (scavenger free radical), kemudian mencegah
amplifikasi radikal.
3. Antioksidan tersier, misalnya enzim DNA-repair, metionin sulfoksida reduktase,
yang berperan dalam perbaikan biomolekul yang disebabkan oleh radikal bebas
(Hernani dan Rahardjo, 2005).
Antioksidan juga biasa dipakai untuk mengawetkan produk makanan,
minuman, farmasi dan kosmetik (Hernani dan Rahardjo, 2005). Antioksidan harus
sesegera mungkin ditambahkan pada lemak, minyak dan produk makanan untuk
menghasilkan manfaat yang maksimal sebab penambahan antioksidan ke dalam
lemak dan minyak yang telah mengandung substansi peroksida akan mengurangi
kinerja antioksidan itu sendiri. Antioksidan tidak dapat memperbaiki lemak atau
minyak yang telah teroksidasi (Nollet, 2000). Contoh antioksidan yang sering
digunakan adalah BHT (butylated hydroxytoluene) dan BHA (butylated hydroxyanisole),
c) Antioksidan berpotensi sebagai kemopreventif kanker
Sebuah hipotesis untuk pengaruh radikal bebas terhadap kanker diuraikan oleh
Harman pada tahun 1962 yang menyarankan bahwa untuk mengurangi tingkat kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas melalui tiga perubahan pola makan: (i) pengurangan kalori, yaitu, menurunkan tingkat reaksi radikal bebas yang timbul dalam perjalanan dari metabolisme normal, (ii) mengurangi komponen makanan yang cenderung untuk meningkatkan tingkat reaksi radikal bebas (misalnya, lemak tak jenuh ganda), dan (iii)
suplemen diet dengan satu atau lebih reaksi radikal bebas inhibitor (antioksidan). Antioksidan bertindak sebagai pemulung radikal bebas dan mampu menghentikan reaksi radikal. Senyawa fenolik antioksidan butylated hydroxytoluene (BHT), dan karotenoid beta-karoten, memiliki aktivitas mempengaruhi photocarcinogenesis. Tingkat reaksi bimolekular antara radikal
dengan BHT rendah, sedangkan beta-karoten sangat reaktif. Namun, keduanya mampu menghambat reaksi efisien peroksidasi lipid di membran biologis. Data klinis dan eksperimental terakhir menunjukkan bahwa suplementasi dari sistem pertahanan yang kompleks dan rumit seimbang dengan antioksidan alami dengan satu atau lebih antioksidan sebagai strategi pencegahan kanker (Black, 2002).
Menurut Valko et.al. (2006) oksigen radikal bebas, lebih umum dikenal sebagai
spesies oksigen reaktif (ROS) bersama dengan spesies nitrogen reaktif (RNS) diketahui memainkan peran ganda sebagai bahan yang dapat merusak dan bermanfaat. Karakter "bermuka dua" dari ROS diperkuat oleh semakin banyak bukti bahwa ROS di dalam sel bertindak sebagai utusan sekunder pada kaskade sinyal intraselular, yang mendorong dan memelihara fenotip onkogenik sel kanker, pada sisi lain ROS juga dapat menginduksi
penuaan selular dan apoptosis dan karenanya dapat berfungsi sebagai anti-tumourigenik. Produksi kumulatif ROS / RNS baik yang berasal dari endogen atau eksogen disebut stres oksidatif. Stres oksidatif menyebabkan ketidakseimbangan redoks seluler yang diketahui menyebabkan berbagai sel kanker, ketidakseimbangan redoks demikian dapat berhubungan
dengan rangsangan onkogenik. Mutasi DNA merupakan langkah penting dari karsinogenesis dan tingkat peningkatan lesi DNA oksidatif (8-OH-G) telah dicatat dalam berbagai tumor, merupakan faktor utama kerusakan DNA dan menjadi penyebab kanker.
Antioksidan juga berhubungan dengan beberapa penyakit degeneratif lainnya. Berikut beberapa artikel yang menjelaskan bahwa antioksidan sangat bermanfaat dalam mengobati
(Maxwell et.al., 1997), antioksidan alami dapat mengurangi resiko penyakit jantuk koroner (kardiovaskular), terutama dari golongan senyawa flavonoid (Tandon et.al., 2005).
Sehubungan dengan hasil uji pendahuluan terhadap limbah yang berasal dari kulit dan biji buah tumbuhan asli Indonesia sangat poten dalam uji antioksidan dengan metode DPPH, maka peluang pemanfaatan ekstrak dan fraksi dari beberapa ‘limbah’ buah tersebut untuk digunakan sebagai bahan obat herbal sangat terbuka. Hasil penelitian secara keseluruhan akan diperoleh landasan ilmiah yang kuat, data uji praklinik, standarisasi
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
1. Ekstrak kulit buah durian, kelengkeng, jeruk dan rambutan tidak aktif (poten) dalam
pengujian sitotoksik secara in vitro. Potensinya sebagai antitumor lemah.
2. Ekstrak kulit buah durian, kelengkeng, jeruk dan rambutan sangat aktif (poten) dalam
pengujian antioksidan secara in vitro. Aktifitas antioksidan paling kuat ditunjukkan oleh ekstrak kulit rambutan dengan nilai IC50 sebesar 5,56 µg/mL.
3. Hasil uji aktifitas antihiperurisemia secara in vivo menunjukkan sangat tinggi. Ekstrak kulit rambutan dosis 500 mg/kgBB memiliki aktifitas antihiperurisemia paling tinggi,
dengan persentase penurunannya sebesar 92,98%.
4. Hasil uji aktifitas antidiabetes secara in vivo menunjukkan aktifitas yang sangat potenial. Ekstrak kulit rambután dan jeruk dosis 500 mg/kgBB memiliki kemampuan
menurunkan kadar gula dalam darah paling tinggi.
5. Aktifitas antihiperkolesterol sangat potensial ditunjukkan oleh ekstrak kulit rambutan dan
jeruk. Ekstrak kulit rambutan dosis 500 mg/kgBB, dengan persentase penurunan kadar
kolesterol sebesar 60,75% lebih besar dari kolestritamin (sebagai kontrol positif) dosis
0,8 g/kgBB sebesar 34,20%.
4. Telah berhasil diisolasi 3 (tiga) senyawa murni dan ditentukan struktur kimia senyawa
hasil isolasi dari ekstrak kulit buah durian (KD710 & KD1719), masing-masing
diketahui sebagai 4,4-dimethyl-poriferasta-18(19)-en-3-ol dan 3α
-E-ferulyloxy-lup-20(29)-en-28-oic acid, sedangkan dari ekstrak kulit rambutan telah diperoleh etil galat.
5. Penetapan parameter spesifik dan non spesifik ekstrak kulit buah telah dilakukan dan hasilnya
memenuhi parameter standar yang disarankan oleh BPOM RI.
6. Hasil uji toksisitas akut dan subkronis dari ekstrak kulit buah rambután menunjukkan bahwa
ekstrak tidak toksik, dan tidak menunjukkan efek samping terhadap hewan coba.
7.2 Saran
1. Beberapa ekstrak sangat poten sebagai antioksidan, oleh karena itu perlu diteliti lebih
lanjut aktifitasnya dalam mengobati penyakit-penyakit degeneratif.
2. Senyawa-senyawa hasil isolasi perlu juga dilakukan uji antioksidan dan sitotoksik untuk
23
DAFTAR PUSTAKA
Annida, R. 2011. Korelasi Aktivitas Antioksidan dengan Kadar Fenolik dan Flavonoid Total
Ekstrak Etanol Kulit dan Biji Kelengkeng Lokal (Euphoria Longan Lour. Steud) beserta
Fraksi-Fraksinya. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Anonim. 2008. Antioxidants. Fact Sheet Better Health Channel. Deakin University. Victoria.
Batubara, R.W. 2011. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Kulit Buah Durian (Durio
Zibethinus Murr) Lokal dan Fraksi-Fraksinya dengan Metode DPPH serta Penetapan Kadar
Fenolik dan Flavonoid Totalnya. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Black HS. 2002. Pro-oxidant and anti-oxidant mechanism(s) of BHT and beta-carotene in
photocarcinogenesis. Front Biosci. Apr 2002. 7:d1044-55.
Caballero, B. 2006. Antioxidant Nutrients. John Hopkins Bloomberg School of Public Health.
Baltimore.
Depkes. 2010. Pusat Komunikasi Publik. Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan
RI.Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Yankes & Pengembangan Model Registrasi
Kematian.
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/478-saintifikasi-jamu-dalam-penelitian-berbasis-yankes-a-pengembangan-model-registrasi-kematian.html diakses
pada tanggal 20 September 2011
Ege, S., 1994, Organic Chemistry Structure and Reactivity 3rd edition, Heath and Company,
Lexington.
Fessenden, R.J. dan Fessenden, J.S. 1986. Kimia Organik, edisi ketiga jilid 1. diterjemahkan oleh
Aloysius Hadyana Pudjaatmaka. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Hernani dan Rahardjo, M. 2005. Tanaman Berkhasiat Antioksidan. cetakan kesatu. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Indrawan, M., Primack, R.B. dan Supriatna, J. 2007. Biologi Konvservasi. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
Khasanah, A. N. 2011. Uji Aktivitas Penangkap Radikalekstrak Etanol, Fraksi-Fraksi dari Kulit
Buah dan Biji Rambutan (Nephelium Lappaceum L.) serta Penetapan Kadar Fenolik dan
Flavonoid Totalnya. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Kompas. 14 Januari 2010. Jalan Panjang ke Saintifikasi.
http://kesehatan.kompas.com
/read/2010/01/14/06560773/Jalan.Panjang.ke.Saintifikasi diakses 20 September 2011
24
Ekstrak Kulit Buah dan Biji Anggur (Vitis vinifera L.) Probolinggo Biru dan Bali,
Artocarpus, Vol.1, No.1.
Maxwell S. R. J., H. Thomason D., Sandler C., Leguen M. A., Baxter G. H. Thorpe G., Jones
A. F., dan Barnett, A. H. 1997. Antioxidant status in patients with uncomplicated
insulin-dependent and non-insulin-insulin-dependent diabetes mellitus. European Journal of Clinical
Investigation. June 1997. Volume 27. Issue 6. 484
–
490.
Muhtadi. Hakim. E.H.
Syah. Y.M.. Juliawaty. L.D.. Achmad. S.A.. Said. I.M.. Din.
L.B. dan Latip. J. 2006-a. Resveratrol Tetramers from Dipterocarpus intricatus and
Cytotoxic Activity against Murine Leukemia P-388 Cells. Collective Abstracts of the
International Conference on Mathematics and Natural Sciences (ICMNS). ITB-Bandung.
29-30 November 2006.
Muhtadi. Hakim. E.H.. Syah. Y.M.. Juliawaty. L.D.. Achmad. S.A. dan Latip. J.
2006-b. Pemisahan dan Karakterisasi Senyawa Oligostilbenoid dari Kulit Batang Dipterocarpus
hasseltii (Dipterocarpaceae). Alchemy. Vol. 5 (1). Maret 2006. 8-15.
Muhtadi. Hakim. E.H.. Syah. Y.M.. Juliawaty. L.D.. Achmad. S.A. Latip. J..
Ghisalberti. E.L. 2006-d. Cytotoxic Resveratrol Oligomers from the Tree Bark of
Dipterocarpus hasselti Journal of Fitoterapia. Vol. 77. Issues 7-8. December 2006.
550-555.
Muhtadi.
Indrayudha . P.. dan Ahmat. N.. 2009. Pemisahan Senyawa-Senyawa Yang
Bersifat Sitotoksik Terhadap Sel Murin Leukemia P388 Dari Ekstrak Metanol Kulit Batang
Dipterocarpus Confertus Sloot (Dipterocarpaceae). Prosiding Simposium Penelitian Bahan
Obat Alami XIV. BPPT Jakarta; 11-12 Agustus 2009
Muhtadi.
Indrayudha . P.. dan Ahmat. N.. 2009a. Penyelidikan Senyawa-Senyawa yang
Bersifat Sitotoksik dari Ekstrak Metanol Kulit Batang Dipterocarpus Confertus Sloot
sebagai Bahan Obat Antitumor. Kumpulan Abstrak Simposium Nasional Kimia Bahan
Alam (SimNasKBA) XVII. Universitas Diponegoro Semarang. 27
–
28 Oktober 2009.
Muhtadi. Hakim. E.H., Juliawaty. L.D., Din. L.B. dan Latip. J. .2006-c. Lima Senyawa
Oligostilbenoid dari Kulit Batang Dipterocarpus hasseltii dan Aktivitas Sitotoksiknya
terhadap Sel Murin Leukemia P-388.
Bulletin of the Indonesian Society of Natural
Products Chemistry. Vol. 6 (1). January-June 2006. 19-26.
Muhtadi. Hakim. E.H., Syah. Y.M., Juliawaty. L.D.. Makmur. L.., Achmad. S.A., Din.
L.B. dan Latip. J. 2005. Tiga Senyawa Oligostilbenoid dari Kulit Batang Dipterocarpus
retusus Blume (Dipterocarpaceae). Jurnal Matematika & Sains. Vol. 10 (4). Desember
2005. 135-141.
Muhtadi. 2007.
Fitokimia Beberapa Spesies Dipterocarpaceae Indonesia dari Genus
25
Nasution. R.E. 1992. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI-LIPI. Perpustakaan Nasional RI. Jakarta.
Nollet, L.M.L. 2000. Food Analysis by HPLC 2nd edition. Marcel Dekker. New York.
Sampurno. 2002. Sambutan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Simposium
Standardisasi Jamu dan Fitofarmaka. Bandung.
Santi, R.N. 2011. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Kulit dan Biji Kelengkeng (Euphoria
longan (Lour.) Steud) terhadap Escherichia Coli dan Staphylococcus Aureus serta
Toksisitasnya terhadap Artemia Salina Leach. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Sukandar. E. Y. 2006. Tren dan Paradigma Dunia Farmasi. Industri-Klinik-Teknologi
Kesehatan.
disampaikan
dalam
orasi
ilmiah
Dies
Natalis
ITB.
dari
http://itb.ac.id/focus/focus_file/orasi-ilmiah-dies-45.pdf. diakses Januari 2006.
Supriatna, J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Susilowati, S. 2004. Efek kemopreventif ekstrak etanol daun Gynura procumbens (Lour) Merr
terhadap kanker payudara tikus yang diinduksi 7,12-Dimetilbenz(
α
)antrasen (DMBA).
Tesis. UGM. Yogjakarta.
Tandon V.R.. Verma S.. Singh J. B., Mahajan A. 2005. Antioxidants and Cardiovascular Health.
Drug Review. April-June 2005. Vol. 7 No. 2. 61-64.
Tiedge M., Lortz S., Drinkgern J., and Lenzen, S. 1997. Relation between antioxidant enzyme
gene expression and antioxidative defense status of insulin-producing cells. Diabetes.
November 1997. Vol. 46 no. 11 1733-1742
Tjay, T.H. dan Rahardja, K., 2002, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek
Sampingnya, Elex media Komputindo, Jakarta.
Valko M. Rhodes CJ. Moncol J. Izakovic M. Mazur M. 2006. Free radicals. metals and
antioxidants in oxidative stress-induced cancer. Chem Biol Interact. Mar 2006. 160(1).
1-40.