• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Metode Pengukuran Nondestruktif untuk Menentukan Mutu dan Fermentasi Biji Kakao Utuh Menggunakan NIR Spectroscopy

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Metode Pengukuran Nondestruktif untuk Menentukan Mutu dan Fermentasi Biji Kakao Utuh Menggunakan NIR Spectroscopy"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN METODE PENGUKURAN NONDESTRUKTIF

UNTUK MENENTUKAN MUTU DAN FERMENTASI BIJI

KAKAO UTUH MENGGUNAKAN NIR SPECTROSCOPY

ZULFAHRIZAL

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengembangan Metode Pengukuran Nondestruktif untuk Menentukan Mutu dan Fermentasi Biji Kakao Utuh Menggunakan NIR Spectroscopy adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Zulfahrizal

(4)

RINGKASAN

ZULFAHRIZAL. Pengembangan Metode Pengukuran Nondestruktif untuk Menentukan Mutu dan Fermentasi Biji Kakao Utuh Menggunakan NIR Spectroscopy. Dibimbing oleh SUTRISNO, I WAYAN BUDIASTRA dan KUDANG BORO SEMINAR.

Biji kakao sebagai bahan baku pembuatan coklat merupakan salah satu komoditi ekspor perkebunan yang strategis yang menghasilkan devisa besar untuk Indonesia. Akan tetapi produk biji kakao Indonesia pada umumnya tidak difermentasi sehingga harganya rendah di pasaran. Pengawasan mutu kakao seperti kadar air dan kadar lemak belum dilakukan secara intensif. Penjaminan mutu biji kakao melalui pengembangan metode pendugaan mutu yang cepat dan akurat menjadi kata kunci peningkatan daya saing ekspor biji kakao Indonesia ditingkat dunia.

Pendugaan mutu kakao dan produk turunannya sudah mulai dikembangkan dalam berbagai penelitian menggunakan teknologi Near Infrared Reflectance Spectroscopy (NIRS). NIRS telah menjadi salah satu metode non-destruktif yang paling menjanjikan dan dapat digunakan untuk analisis dalam bidang pertanian. Keuntungan yang dapat diraih adalah persiapan sederhana untuk sampel, proses deteksi cepat, dan ramah lingkungan karena tidak ada bahan kimia yang digunakan. NIRS memiliki kemampuan potensial untuk menentukan beberapa parameter mutu secara bersamaan. Melalui pengembangan ilmu komputer dan

chemometric, kemampuan aplikasi teknik NIRS menjadi lebih populer. Aplikasi NIRS untuk kakao dan produk turunannya sudah banyak dilakukan dalam bentuk bubuk (destruktif) namun ternyata belum dilakukan pada biji kakao utuh. Padahal masalah pemutuan kakao di Indonesia adalah pada biji kakao utuh. Data menunjukkan bahwa 82% ekspor kakao Indonesia adalah dalam bentuk biji utuh (non destruktif).

Secara umum, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengembangkan metode penentuan tingkat fermentasi dan kandungan mutu pada biji kakao utuh dengan menggunakan NIRS. Adapun secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk (1) menguji perbedaan spektrum biji kakao tumpukan dengan biji individu menggunakan Principal Component Analysis (PCA), (2) menentukan kelompok fermentasi biji kakao utuh secara non-destruktif menggunakan PCA, (3) memprediksi kadar air dan kadar lemak biji kakao utuh secara non-destruktif dengan NIR dan Partial Least Squares (PLS), (4) menguji dan membandingkan antar pretreatment spektrum untuk mendapatkan yang terbaik dalam semua aktivitas pengujian di atas. Penelitian ini menggunakan sampel biji dari buah kakao matang varietas Lindak dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Indonesia yang mana buah tersebut diperoleh dari kebun yang sama. Pengeringan dilakukan menggunakan pengering mekanis sampai diperoleh biji kakao kering layak simpan. Pengambilan spektrum dan uji kimia biji dilakukan di Abteilung Qualität Tierischer Erzeugnisse dan Abteilung Qualität Pflanzlicher Erzeugnisse, Georg August University of Göttingen, Jerman. Analisis awal untuk pengembangan teknik akuisisi spektrum biji kakao menggunakan PCA dengan dibantu pretreatment Savitzky-Golay smoothing (SGs), derivative pertama (D1),

(5)

Normal Variate (SNV) dan kombinasi diantara kelimanya. Selanjutnya klasifikasi data untuk penentuan tingkat fermentasi menggunakan PCA dengan pretreatment MSC dan SNV. Terakhir adalah menentukan kadar air dan kadar lemak menggunakan PLS sebagai pendekatan regresi data ditambah Multiplicative Scatter Correction (MSC), Standard Normal Variate (SNV), Mean Normalization

(MN), Orthogonal Signal Correlation (OSC) dan De-Trending (DT).

Penelitian ini mendapatkan tiga hasil utama. Pertama, spektrum NIRS biji kakao yang didapat setelah diolah oleh PCA dengan bantuan MSC dan SNV, terlihat bahwa biji individu dan biji tumpukan berada dalam daerah yang hampir sama. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa teknik akuisisi spektrum NIRS untuk biji kakao utuh secara tumpukan dapat menggantikan teknik akuisisi spektrum biji utuh individu. Teknik ini dipilih karena lebih cepat dan efesien. Penelitian juga menghasilkan selang panjang gelombang yang menentukan mutu biji kakao utuh. Selang panjang gelombang yang berperan memberi informasi kadar air adalah 1400-1480 nm dan 1900-2000 nm. Untuk kadar lemak, selang panjang gelombang yang berperan adalah 1160-1220 nm, 1650-1760 nm, 2300-2400 nm. Terakhir untuk fermentasi panjang gelombang yang berperan adalah 1400-1480 nm, 1900-2000 nm dan 2060-2160 nm.

Kedua, sepektrum NIRS biji kakao yang diolah memakai PCA dengan bantuan MSC dan SNV terlihat cenderung ter-cluster sesuai dengan kelompok fermentasi semisal F0 (nonfermentasi), F5 (fermentasi penuh) dan F7 (fermentasi berlebih). Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa NIRS dapat digunakan untuk membedakan kelompok fermentasi biji kakao utuh menggunakan metode PCA dengan dibantu oleh MSC dan SNV sebagai pretreatment.

Ketiga, hasil pendugaan PLS yang didukung pretreatment pada biji kakao utuh adalah lebih baik dibandingkan dengan PLS tanpa pretreatment. Hal ini berlaku untuk pendugaan kadar air maupun kadar lemak. Pada pendugaan kadar air, PLS yang didukung pretreatment telah menghasilkan prediksi yang tergolong

good model performance. Pretreatment yang dianggap sangat nyata meningkatkan kinerja PLS adalah MSC, SNV dan OSC. Dimana ketiga pretreatment itu menghasilkan nilai r masing-masing 0.92, 0.93 dan 0.93 selanjutnya nilai RMSEP masing-masing 0.54%, 0.54% dan 0.52% serta nilai RPD yang cukup besar, yakni masing-masing 2.21, 2.21 dan 2.26. Selain itu, pretreatment OSC bisa dikatakan sebagai pretreatment yang paling efesien yang mampu memangkas jumlah latent variable paling banyak yakni dari 10 menjadi 3. Pada pendugaan kadar lemak, PLS yang didukung pretreatment telah menghasilkan prediksi yang tergolong

(6)

SUMMARY

ZULFAHRIZAL. The Development of Non-destructive Measurement Method to Determine the Quality and Fermentation of Intact Cacao Beans Using NIR Spectroscopy. Supervised by SUTRISNO, I WAYAN BUDIASTRA and KUDANG BORO SEMINAR.

Cacao bean as the raw material for chocolate is a strategic estate commodity which generates high foreign exchanges. However, the Indonesian cacao beans products are commonly unfermented that result lower price. Quality control such as moisture content and fat content is not intensively performed. A quality assurance through the development of quick and accurate method to predict the quality of cacao is the key to improve the Indonesian competitiveness in global market.

The quality prediction of cacao and its derivatives has been conducted by applying near infrared reflectance spectroscopy (NIRS) technology. It has been revealed that NIRS has became the most promising technology for agricultural analysis. Some of the advantages are simpler sample preparation, quick detection process and environmentally friendly because no chemicals are used. NIRS also able to determine several quality parameters simultaneously. The engineering application of NIRS has became more popular since the development of computer science and chemometric. However, the application of NIRS is widely conducted for cacao and its derivatives in powder form (destructive) not in intact cacao beans. Unfortunately, the majority of Indonesia‟s cacao export as accounted by 82% of the total export is raw beans.

(7)

normal variate (SNV), mean normalization (MN), orthogonal signal correlation (OSC) dan de-trending (DT).

This research found three main results. First, the spectrum of individual bean and stacked beans generated from PCA analysis followed with MSC and SNV method were in a similar area. Therefore, it can be concluded that NIRS spectrum acquisition technique in stacked cacao beans could replace the spectra acquisition of individual cacao bean. This technique was more rapid and more efficient. This research also generated spectra ranges that could be used to determine the quality of intact cacao beans. The spectrum ranges for moisture content was 1400-1480 nm and 1900-2000 nm, fat content was 1160-1220 nm, 1650-1760 nm, 2300-2400 nm, and fermentation was 1400-1480 nm, 1900-2000 nm and 2060-2160 nm.

Second, NIRS spectrum processed with PCA supported with MSC and SNV could give clear separation among fermentation group i.e, F0 (unfermented), F5 (full-fermented) and F7 (over-fermented). Thus, it could be concluded that NIRS with PCA supported with MSC and SNV was able to differentiate the fermentation group of intact cacao beans.

Third, PLS supported with pretreatment gave better prediction result of moisture content and fat content compared to PLS without pretreatment. Specifically, moisture content prediction resulted from PLS and pretreatment was categorized as good model performance. Pretreatment methods that could significantly improve the performance of PLS were MSC, SNV and OSC. The r value of each methods was 0.92, 0.93 and 0.93, respectively while the RMSEP value was 0.54%, 0.54% and 0.52%, respectively. This research also found that the RPD value was 2.21, 2.21 and 2.26, respectively. Meanwhile, fat content prediction resulted from PLS and pretreatment was categorized as sufficient performance. The most appropriate performance of pretreatment was MSC and SNV which resulted r, RMSEP and RPD value were 0.91, 1.11% and 1.95, respectively. Moreover, MSC, SNV and OSC were the most efficient methods of spectra correction that could significantly reduce latent variables from 10 to 4. Thus, it could be concluded that PLS with MSC and SNV were regarded as good method to predict the water content and fat content of intact cacao beans. Meanwhile, OSC was regarded as the most efficient method.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian

PENGEMBANGAN METODE PENGUKURAN NONDESTRUKTIF

UNTUK MENENTUKAN MUTU DAN FERMENTASI BIJI

KAKAO UTUH MENGGUNAKAN NIR SPECTROSCOPY

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Y Aris Purwanto M Sc Prof Dr Ono Suparno STP MT

(11)

Judul Tesis : Pengembangan Metode Pengukuran Nondestruktif untuk

Menentukan Mutu dan Fermentasi Biji Kakao Utuh Menggunakan

NIR Spectroscopy

Nama : Zulfahrizal NIM : F164100021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sutrisno M Agr Ketua

Dr Ir I Wayan Budiastra M Agr Prof Dr Ir Kudang Boro Seminar M Sc

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian

Dr Ir Wawan Hermawan MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah M ScAgr

(12)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu

wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Februari 2011 ini ialah penentuan mutu biji kakao utuh, dengan judul Pengembangan Metode Pengukuran Nondestruktif untuk Menentukan Mutu dan Fermentasi Biji Kakao Utuh Menggunakan NIR Spectroscopy.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Sutrisno M Agr, Bapak Dr Ir I Wayan Budiastra M Agr dan Bapak Prof Dr Ir Kudang Boro Seminar M Sc selaku pembimbing. Bapak Dr Daniel Morlein sebagai pembimbing selama di Jerman. Bapak Dr Dr Ing Agus Arip Munawar M Sc sebagai teman belajar selama di Jerman dan sampai saat ini. Bapak Dr Ir Y Aris Purwanto M Sc dan Bapak Prof Dr Ono Suparno STP MT selaku penguji Sidang Tertutup. Ibu Dr Ir Emmy Darmawati M Si dan Dr Ir Listyani Wijayanti sebagai penguji Sidang Terbuka. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Sukrisno Widyotomo dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Ibu Prof Dr Elke Pawelzik, Bapak Dr Andreas Werlis, Bapak Dr Anggoro Sutikno, Ibu Bettina Egger, Ibu Evelyn Krüger dan Ibu Gunda Jansen dari

Abteilung Qualität Pflanzlicher Erzeugnisse, Georg August University of Göttingen serta Bapak Sulyaden di Laboratorium TPPHP departemen TMB IPB. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ketua Mayor S3 Ilmu Keteknikan Pertanian Bapak Dr Ir Wawan Hermawan MS dan bagian administrasinya, Ibu Rusmawati dan Bapak Ahmad Mulyatullah. Tidak lupa terima kasih untuk teman-teman seangkatan di S3 TEP angkatan 2010 atas semua kebersamaan yang dibangun selama ini. Juga untuk teman-teman di Perwira 6 khususnya Pak drh. Sangkot Nasution M Si yang telah banyak membantu.

Ucapan terima kasih terakhir saya berikan kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah membiayai pendidikan S3 saya melalui Program Beasiswa BPPS maupun membiayai penelitian saya melalui Program Sandwich-Like Luar Negeri ke Georg August University of Göttingen, Jerman.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(13)

DAFTAR ISI

1.4 Ruang Lingkup Penelitian 3

1.5 Novelti Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kakao 4

2.2 Fermentasi Kakao 5

2.3 Standar Mutu Biji Kakao 7

2.4 Teknologi Near Infrared Reflectance Spectroscopy (NIRS) 8 2.5 Aplikasi Chemometric dalam Analisis Pangan 12

2.6 Metode Pretreatment Spektrum 13

2.7 Metode Principal Component Analysis (PCA) 15

2.8 Metode Partial Least Squares (PLS) 17

2.9 Aplikasi NIRS untuk Produk Kakao 19

3 AKUISISI SPEKTRUM NIR PADA BIJI KAKAO UTUH

3.1 Pendahuluan 21

3.2 Bahan Metode 22

3.3 Hasil dan Pembahasan 24

3.4 Kesimpulan 29

4 APLIKASI NIRS UNTUK PREDIKSI TINGKAT FERMENTASI PADA BIJI KAKAO UTUH

4.1 Pendahuluan 30

4.2 Bahan dan Metode 31

4.3 Hasil dan Pembahasan 32

4.4 Kesimpulan 37

5 PREDIKSI KADAR AIR DAN KADAR LEMAK PADA BIJI KAKAO UTUH

6.1 Hasil Penelitian Pendahuluan 49

(14)

6.3 Analisis Kadar Air dan Kadar Lemak dengan Metode PLS 52 6.4 Analisis Penggunaan Metode Pretreatment 53 7 KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan 55

7.2 Saran 55

DAFTAR PUSTAKA 56

LAMPIRAN 60

RIWAYAT HIDUP 65

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Komposisi kimia biji kakao sebelum dan setelah fermentasi 6

Tabel 2.2 Persyaratan mutu umum biji kakao 8

Tabel 2.3 Persyaratan mutu khusus biji kakao 8

Tabel 4.1 Perhitungan akurasi hasil prediksi untuk penggolongan fermentasi biji kakao utuh baik pada PCA + SNV maupun pada PCA + MSC 35 Tabel 5.1 Acuan pengukuran dalam set kalibrasi dan set prediksi biji kakao 42 Tabel 5.2 Hasil kalibrasi dan prediksi kadar air biji kakao utuh 43 Tabel 5.3 Hasil kalibrasi dan prediksi kadar air bubuk biji kakao 45 Tabel 5.4 Hasil kalibrasi dan prediksi kadar lemak biji kakao utuh 46 Tabel 5.5 Hasil kalibrasi dan prediksi kadar lemak bubuk biji kakao 47

Tabel 6.1 Hasil PLS untuk raw data 52

Tabel 6.2 Pengaruh pretreatment pada pendugaan biji kakao utuh 53 Tabel 6.3 Pengaruh pretreatment terhadap effesiensi hasil dugaan 54

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Biji kakao yang diselimuti pulp terangkai pada plasenta 5 Gambar 2.2 Perbedaan warna bagian dalam biji kakao berdasarkan

tingkat fermentasi 7

Gambar 2.3 Bentuk spektrum near infrared untuk beberapa bahan biologik 9 Gambar 2.4 Distribusi ikatan organik utama gelombang elektromagnetik 10 Gambar 2.5 Interaksi sinar NIRS dengan bahan biologik 10

Gambar 2.6 Sketsa intrumen pengukur NIRS 11

Gambar 3.1 Pembentukan lapisan untuk sampel biji tumpukan 22

Gambar 3.2 Akuisisi spektrum biji individu 23

Gambar 3.3 Akuisisi spektrum NIRS (a) Posisi sumber sinar (b) biji tumpukan

dan (c) bubuk biji 23

Gambar 3.4 Pilihan kombinasi metode pretreatment 24 Gambar 3.5 Spektrum hasil pemindaian NIRS untuk (a) biji kakao individu.

(b) biji kakao tumpukan dan (c) bubuk biji kakao 25 Gambar 3.6 Hasil analisis PCA untuk (a) data tanpa pretreatment dan (b) data

(15)

Gambar 3.7 Hasil analisis PCA untuk penambahan (a) MSC dan (b) SNV 26 Gambar 3.8 Hasil analisis PCA untuk (a) SGs+MSC dan (b) SGs+SNV 26 Gambar 3.9 Hasil analisis PCA untuk (a) SGs+D1 dan (b) SGs+D1 27 Gambar 3.10 Hasil analisis PCA untuk pretreatment (a) SGs+MSC+D1,

(b) SGs MSC+D2, (c) SGs+SNV+D1, (d) SGs+SNV+D2 27 Gambar 3.11 Loading plot untuk penambahan (a) MSC dan (b) SNV 28 Gambar 3.12 Loading plot untuk penambahan (a) D1 dan (b) D2 28 Gambar 3.13 Spektrum biji kakao mengandung informasi kandungan zat 29 Gambar 4.1 Rantai kimia procyanidin pada biji kakao 31 Gambar 4.2 Letak procyanidin dan amonia pada spektrum biji kakao utuh 33 Gambar 4.3 Hasil analisis PCA tanpa pretreatment 33 Gambar 4.4 Hasil PCA + SNV untuk data kalibrasi biji kakao utuh 34 Gambar 4.5 Hasil PCA + MSC untuk data kalibrasi biji kakao utuh 34 Gambar 4.6 Hasil PCA + SNV untuk data prediksi biji kakao utuh 35 Gambar 4.7 Hasil PCA + MSC untuk data prediksi biji kakao utuh 35 Gambar 4.8 Hasil olahan PCA + SNV untuk bubuk kakao 36 Gambar 4.9 Hasil olahan PCA + MSC untuk bubuk kakao 36 Gambar 4.10 Loading plot hasil analisis pada biji utuh (a) PCA+MSC,

(b) PCA+SNV 37

Gambar 4.11 Loading plot hasil analisis pada bubuk biji (a) PCA+MSC,

(b) PCA+SNV 37

Gambar 5.1 Sampel biji kakao dalam (a) paket kecil 40-45 gram (b) bentuk

bubuk dalam botol plastik 40

Gambar 5.2 Letak kadar air dan lemak pada spektrum biji kakao utuh 43 Gambar 5.3 Plot data kalibrasi-prediksi kadar air tanpa pretreatment 44 Gambar 5.4 Plot data kalibrasi-prediksi kadar air setelah pretreatment

(a) MSC untuk biji utuh dan (b) SNV untuk biji utuh 44 Gambar 5.5 Plot data kalibrasi-prediksi kadar lemak tanpa pretreatment 47 Gambar 5.6 Plot data kalibrasi-prediksi kadar lemak setelah pretreatment

(a) MSC untuk biji utuh dan (b) SNV untuk biji utuh 47 Gambar 6.1 Perubahan bentuk spektrum biji utuh pada berbagai tingkat

fermentasi 51

Gambar 6.2 Perubahan bentuk spektrum bubuk biji pada berbagai tingkat

fermentasi 51

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Diagram alir penelitian 60

Lampiran 2 Alat NIRS AntarisTM II MDS 61

Lampiran 3 Peralatan pengukuran kadar air 62

Lampiran 4 Peralatan pengukuran kadar lemak 63

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor biji kakao dunia dengan nilai devisa pada tahun 2011 mencapai US$ 1.345 miliar. Biji kakao yang merupakan komoditi perkebunan yang strategis dipakai sebagai bahan dasar untuk membuat coklat, diproduksi sekitar 550 ribu ton di Indonesia setiap tahunnya. Pada tahun 2010 dari luas 1 651 539 ha areal kakao, sekitar 1 555 596 ha atau 94% adalah kakao rakyat. Areal dan produksi kakao Indonesia meningkat pesat pada dekade terakhir dengan laju 5.99% per tahun. Saat ini areal pengembangan kakao di Indonesia meliputi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua Barat, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Aceh. Hal ini mengidentifikasikan peran penting kakao baik sebagai sumber lapangan kerja maupun pendapatan bagi petani (Widjaya dan Sukirno 2011; Rubiyo dan Siswanto 2012; Ragimun 2013).

Berbanding terbalik dengan semakin luasnya daerah pengembangan kakao Indonesia, akhir-akhir ini produksi dan produktivitas kakao di Indonesia malah terus mengalami penurunan yang sangat berarti. Selain tingkat produktivitas yang lebih kecil dibandingkan dengan potensi klon atau tanaman yang ada, aspek mutu juga mengalami penurunan. Menurunnya mutu dan daya saing produk dipengaruhi oleh banyak faktor dan yang menjadi sorotan utama pada penelitian ini adalah penanganan pascapanen kakao. Hasibuan et al. (2012) mengatakan hasil analisis CMSA (Constant Market Share Analysis) untuk biji kakao menunjukkan bahwa ekspor biji kakao Indonesia kurang memiliki daya saing untuk pasar ASEAN, Amerika Serikat, Uni Eropa dan China. Hal ini terjadi karena produk biji kakao Indonesia dikenal memiliki mutu rendah sehingga hanya dijadikan sebagai campuran di negara-negara industri kakao serta memiliki harga yang lebih rendah dari negara eksporir lainnya. Namun jika dilihat dari initial specialization, biji kakao Indonesia untuk keempat pasar tujuan ekspor tersebut berada dalam kategori dapat dikembangkan. Artinya untuk dapat meningkatkan daya saing ekspor, Indonesia harus meningkatkan mutu produk melalui proses fermentasi dan penanganan pascapanen lainnya.

Indonesia perlu menstandarkan biji kakao ekspornya sesuai dengan standar yang dipakai oleh negara-negara industri pengolah kakao. Menurut Mulato et al.

(2009), kalangan industri menilai mutu biji kakao tergantung tiga aspek yaitu (1) rendemen lemak, (2) kemurnian dan kontaminasi, dan (3) aroma dan citarasa. Aspek pertama selain ditentukan oleh bahan tanaman juga oleh kondisi lingkungan kebun (kesuburan dan agroklimat), sedangkan aspek kedua dan ketiga lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor pengolahan.

(18)

2

kakao dilihat secara fisik seperti dari kadar air, kontaminasi terhadap serangga, benda asing dan berbagai aroma yang dapat merusak aroma khas kakao (BSN 2008). Secara khusus Mulato et al. (2009) mengatakan bahwa mutu kakao ditentukan oleh rendemen lemak, aroma dan citarasa, karena komponen-komponen inilah yang biasanya menentukan sensasi dalam menikmati coklat.

Pendugaan mutu kakao biasanya dilakukan melalui uji laboratorium (secara destruktif), dimana biji kakao dihancurkan dan diambil sarinya yang kemudian dianalisis dengan metode standar kimia yang umum di laboratorium. Faktanya, metode kimia ini menghabiskan waktu yang cukup lama dan mahal, sehingga tidak cocok diterapkan di industri yang memerlukan metode yang sangat cepat dan tidak merusak (non-destruktif) untuk menganalisis mutu kakao.

Pendeteksian mutu pangan yang cepat dan efesien dapat diwujudkan melalui pengembangan teknologi Near Infrared Reflectance Spectroscopy (NIRS). NIRS telah menjadi salah satu metode non-destruktif yang paling menjanjikan dan dapat digunakan untuk analisis dalam berbagai bidang, termasuk di bidang pertanian. Keuntungan yang dapat diraih adalah persiapan sederhana untuk sampel, proses deteksi cepat, dan ramah lingkungan karena tidak ada bahan kimia yang digunakan. Lebih penting lagi, NIRS memiliki kemampuan potensial untuk menentukan beberapa parameter mutu secara bersamaan. Melalui pengembangan ilmu komputer dan chemometric, kemampuan aplikasi teknik NIRS menjadi lebih populer dan menarik banyak perhatian para peneliti dalam bidang pangan. Komponen dengan prosentase konsentrasi 0.1% dapat dideteksi dan dievaluasi menggunakan NIRS (Cen dan He 2007; Munawar 2014).

Mengingat potensi kakao di Indonesia yang begitu besar dan tingginya permintaan konsumen industri (terutama luar negeri) terhadap mutu produk, maka sudah sepantasnya dikembangkan metode untuk pengukuran mutu kakao yang memenuhi syarat cepat dan akurat. Penelitian yang terkait kakao serta produk turunannya dengan memakai NIRS cukup banyak dilakukan. Contohnya Nielsen

et al. (2008), Aculey et al. (2010), dan Hue (2014) melakukan penelitian pada biji kakao yang dibubukkan. Kemudian Kaffka et al. (1982), Permanyer dan Perez (1989), Vesela et al. (2007) meneliti bubuk kakao. Selanjutnya Whitacre et al.

(2003) menggunakan kakao liquors. Berikutnya Bollinger et al. (1999) mengambil cocoa butter dan coklat dalam bentuk cairan, sementara Moros et al.

(2007) memilih coklat komersial. Penelitian yang lebih lengkap adalah yang dilakukan oleh Davies et al. (1991) yang penelitiannya mencangkup bubuk biji kakao mentah, bubuk biji kakao sangrai, block mass coklat dan blok coklat jadi. Namun ternyata belum ada yang mencoba meneliti langsung pada biji kakao utuh sehingga penelitian dengan menggunakan NIRS pada biji kakao utuh menjadi hal yg menarik untuk dilakukan.

1.2 Tujuan Penelitian

(19)

3 1. Menguji perbedaan spektrum biji kakao tumpukan dengan biji individu

menggunakan Principal Component Analysis (PCA).

2. Menentukan kelompok fermentasi biji kakao utuh secara non-destruktif menggunakan PCA.

3. Memprediksi kadar air dan kadar lemak biji kakao utuh secara non-destruktif dengan NIRS dan Partial Least Squares (PLS).

4. Menguji dan membandingkan antar pretreatment spektrum untuk mendapatkan yang terbaik dalam semua aktivitas pengujian di atas.

1.3 Manfaat Penelitian

Merujuk data Ditjenbun 2010 dari 535 236 ton ekspor kakao Indonesia, sebanyak 439 305 ton atau lebih dari 82% diekspor dalam bentuk biji. Selebihnya diekspor dalam bentuk kakao buah, pasta, lemak, tepung dan makanan yang mengandung coklat. Artinya, devisa negara dari kakao terbesar adalah dari ekspor biji kakao. Sementara diketahui bahwa biji kakao Indonesia dianggap bermutu rendah karena tidak ada metode praktis untuk menguji keseragaman mutu kakao seperti antara kakao fermentasi dan tidak fermentasi. Akibat dari itu semua, harga biji kakao Indonesia sangat rendah di pasar internasional dan terkena diskon hingga US$ 200/ton atau 10%-15% dari harga pasar (Hasibuan et al. 2012)

Penelitian ini diharapkan mampu menemukan metode praktis, cepat dan akurat (skala laboratorium) untuk pengujian keseragaman sampel mutu biji kakao agar dapat meningkatkan daya saing harga kakao Indonesia di pasar internasional. Selain itu diharapkan penjaminan mutu secara langsung dari biji kakao kering akan lebih menguntungkan petani kakao agar terhindar dari penipuan harga oleh para tengkulak.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini akan dibatasi pada penelitian biji kakao mentah utuh dan biji kakao yang dijadikan bubuk sebagai data pembanding. Biji kakao yang digunakan berasal dari buah kakao varietas Lindak yang ditanam di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, Jawa Timur. Kemudian untuk pengujian atribut kakao adalah dibatasi pada atribut utama pemutuan yakni tingkat fermentasi, kadar air dan kadar lemak, sedangkan pengolahan datanya menggunakan

Principal Component Analysis (PCA) dan Partial Least Squares (PLS). Untuk

pretreatment digunakan Smoothing Savizky-Golay (SGs), First and Second Derivative (D1 dan D2), Mean Centering (MC), Mean Normalization (MN), De

-trending (DT), Multiplicative Scatter Correction (MSC), Standard Normal Variate (SNV) dan Orthogonal Signal Correction (OSC).

1.5 Novelti Penelitian

(20)

4

dark chocolates dan coklat komersial. Sebagai contoh Nielsen et al. (2008), Aculey et al. (2010) dan Hue et al. (2014) melakukan penelitian pada biji kakao yang dibubukkan. Kemudian Kaffka et al. (1982), meneliti bubuk kakao begitu juga dengan Permanyer dan Perez (1989), Vesela et al. (2007), melakukan penelitian pada bubuk kakao yang dicampur sukrosa, cocoa fiber dan susu. Selanjutnya Whitacre et al. (2003) menggunakan kakao liquors yakni biji kakao yang telah digiling halus dan hasilnya seperti bubur halus dari biji coklat yang bercampur dengan lemak coklat. Berikutnya Bollinger et al. (1999) mengambil

cocoa butter dan coklat dalam bentuk cairan sebagai bahan uji untuk melihat viskositas dan kandungan kristal, sementara Moros et al. (2007) memilih coklat komersial untuk diteliti kadar karbohidrat, lemak dan protein. Penelitian yang lebih lengkap adalah yang dilakukan oleh Davies et al. (1991) yang penelitiannya mencakup bubuk biji kakao mentah, bubuk biji kakao sangrai, block mass coklat dan blok coklat jadi untuk melihat kadar air dan kadar lemak.

Mempelajari berbagai penelitian di atas, dapat disusun novelti untuk penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini meneliti langsung pada biji kakao mentah kering utuh yang mana belum pernah dilakukan oleh peneliti lain baik di dalam maupun di luar negeri. 2. Penelitian ini menerapkan penggunaan pretreatment spektrum yang berbeda

dan membandingkan dampaknya dengan ketahanan dan akurasi hasil kalibrasi dan prediksi. Melalui penelitian ini diharapkan ditemukan metode pretreatment

yang paling sesuai untuk pengolahan biji kakao utuh.

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kakao

Kakao merupakan tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan khusus untuk dapat berproduksi secara baik. Habitat asli tanaman kakao adalah hutan tropis dengan naungan pohon-pohon yang tinggi, curah hujan tinggi, suhu sepanjang tahun relatif sama, serta kelembapan tinggi dan relatif tetap. Dalam habitat seperti itu, tanaman kakao akan tumbuh tinggi tetapi bunga dan buahnya sedikit. Kakao (Theobroma cacao) merupakan tumbuhan berwujud pohon yang berasal dari Amerika Selatan, di alam dapat mencapai ketinggian 10 m. Meskipun demikian, dalam pembudidayaan tingginya dibuat tidak lebih dari 5 m tetapi dengan tajuk menyamping yang meluas. Hal ini dilakukan untuk memperbanyak cabang produktif (Puslitkoka 2010).

Menurut Siregar (2010), dikenal tiga varietas kakao di dunia, yaitu varietas

Criollo, Forastero, dan Trinitario. Varietas Criollo memiliki karakteristik : 1) buah berwarna merah atau kuning jika matang, 2) dinding buah (kulit) relatif tipis dan mudah dikupas, 3) kotiledon berwarna putih atau ungu pucat, 4) biji berbentuk bulat dan padat, dan 5) tekstur buah lembut. Varietas Forastero

mempunyai ciri-ciri : 1) buah berwarna kuning ketika matang, 2) dinding buah relatif tipis tetapi kadangkala terdapat banyak lapisan sehingga sulit dikupas, 3) bentuk biji rata, 4) kotiledon berwarna ungu tua atau hitam. Karakteristik varietas

(21)

5 kelompok Venezuelan Cacao. Ciri-ciri menonjolnya bila dibandingkan dengan

Criollo ialah tekstur buah lebih keras, produktivitas buah lebih tinggi, dan mutu rasa yang lebih rendah.

Tanaman kakao Indonesia yang banyak dibudidayakan di perkebunan rakyat adalah jenis forastero atau kakao lindak. Buah kakao terdiri atas 3 komponen utama yakni kulit buah (70% berat buah masak), biji (27-29% berat buah masak) dan plasenta yang merupakan pengikat dari 30-40 biji. Permukaan biji dilapisi pulpa berwarna putih dan bila matang mempunyai biji yang diselimuti pulpa yang lunak dan terasa manis (Mulato et al. 2009).

Bunga kakao, sebagaimana anggota Sterculiaceae lainnya, tumbuh langsung dari batang (cauliflorous). Bunga sempurna berukuran kecil (diameter maksimum 3 cm), tunggal, namun nampak terangkai karena sering sejumlah bunga muncul dari satu titik tunas. Penyerbukan bunga dilakukan oleh serangga (terutama lalat kecil (midge) Forcipomyia, semut bersayap, afid, dan beberapa lebah Trigona) yang biasanya terjadi pada malam hari. Bunga siap diserbuki dalam jangka waktu beberapa hari (Puslitkoka 2010).

Buah kakao terdiri dari 5 daun buah dan memiliki ruang dan di dalamnya terdapat biji. Warna buah berubah-ubah menurut umur dimana sewaktu muda berwarna hijau hingga ungu dan apabila masak kulit luar buah biasanya berwarna kuning. Biji terangkai pada plasenta yang tumbuh dari pangkal buah, di bagian dalam. Biji dilindungi oleh selaput biji (aril) lunak berwarna putih yang dalam istilah pertanian disebut pulp (Gambar 2.1), Endospermia biji mengandung lemak dengan kadar yang cukup tinggi. Dalam pengolahan pascapanen, pulp difermentasi sampai 5 hari lalu biji dikeringkan di bawah sinar matahari.

2.2 Fermentasi Kakao

Biji tumbuhan kakao jika diolah akan menghasilkan produk yang dikenal sebagai coklat yang merupakan bahan pangan kegemaran masyarakat karena rasa istimewa dan dipercaya mempunyai khasiat tertentu. Sebelum biji kakao diolah menjadi produk coklat, biji kakao harus difermentasi terlebih dahulu dengan tujuan untuk menghancurkan pulp yang membungkus biji coklat dengan bantuan

(22)

6

mikroorganisme yang diperoleh dari udara terbuka. Menurut Rohman (2009), fermentasi biji kakao akan menghasilkan prekursor cita rasa, mencoklat-hitamkan warna biji, mengurangi rasa-rasa pahit, asam, manis dan aroma bunga, meningkatkan aroma kakao dan kacang (nutty), dan mengeraskan kulit biji menjadi seperti tempurung. Biji yang tidak difermentasi tidak akan memiliki senyawa prekursor tersebut sehingga citarasa dan mutu biji sangat rendah. Produk fermentasi yang dihasilkan berupa etanol, asam laktat, dan asam asetat yang akan berdifusi ke dalam biji dan membuat biji tidak berkecambah.

Tabel 2.1 Komposisi kimia biji kakao sebelum dan setelah fermentasi

Komposisi Sebelum Fermentasi (%) Setelah Fermentasi (%) Kulit biji

(23)

7 mengurangi sampai sekitar 39.5% kandungan total polifenol yang mana total polifenol dalam biji kakao adalah sekitar 120-180 gram per kg dari berat kering biji kakao. Tingkat fermentasi bisa diketahui dengan deteksi kandungan total polifenol khususnya procyanidin yang terdapat sekitar 58% dari kandungan total polifenol dalam biji kakao kering. Procyanidin digambarkan dengan rantai R-OH. (Misnawi et al. 2002; Whitacre 2003; Misnawi et al. 2004; Misnawi 2009; Hii et al. 2009). Selain itu analisis terhadap senyawa volatile dan perubahan kadar NH3

(amonia) juga bisa digunakan untuk menilai tingkat fermentasi (Aculey et al.

2010 dan Hue et al. 2014).

Mulato et al. (2009) mengatakan bahwa derajat fermentasi berdasarkan warna keping biji dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tingkat yaitu :

1. Fermentasi kurang, menghasilkan keping biji berwarna ungu penuh (tanpa fermentasi), warna ungu seperti batu tulis (fermentasi 1 hari) warna ungu dan coklat sebagian (fermentasi 2 - 3 hari) serta warna coklat dengan sedikit ungu (fermentasi 4 hari).

2. Terfermentasi sempurna, menghasilkan keping biji berwarna coklat dominan. 3. Fermentasi berlebihan, menghasilkan warna keping biji coklat gelap dan

berbau tidak enak.

Menurut panduan yang dikeluarkan Badan Standarisasi Nasional (2008), untuk menentukan tingkat fermentasi pada biji kakao dilakukan dengan cara memotong secara memanjang bagian tipis biji kakao. Tingkat fermentasi ditentukan dari warna hasil belahan (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Perbedaan warna bagian dalam biji kakao berdasarkan tingkat fermentasi (Mulato et al. 2009)

2.3 Standar Mutu Biji Kakao

Standar mutu diperlukan sebagai tolok ukur untuk pengawasan. Pada bisnis kakao internasional, mutu mempunyai dua pengertian yang mendasar. Pertama, pengertian umum, dimana mutu adalah suatu parameter yang dikaitkan dengan sifat fisik, kimiawi, kebersihan, cita rasa dari biji kakao. Sedangkan kedua, pengertian yang luas, dimana mutu adalah suatu ukuran yang dikaitkan dengan akseptabilitas dari biji kakao yang diproduksi oleh perusahaan tertentu oleh pembeli atas dasar standar proses produksi yang diakui internasional (Mulato et al. 2009)

(24)

8

kontaminasi. Standar mutu terbagi atas dua yaitu syarat mutu umum (Tabel 2.2) dan syarat khusus (Tabel 2.3).

Tabel 2.2 Persyaratan mutu umum biji kakao (SNI 2008)

JENIS UJI SATUAN PERSYARATAN

Tabel 2.3 Persyaratan mutu khusus biji kakao (SNI 2008)

JENIS MUTU PERSYARATAN dengan mengekstrak biji kakao menggunakan pelarut tertentu.

Mulato et al. (2009) mengatakan bahwa beberapa konsumen terutama industri makanan dan minuman coklat di Eropa, menghendaki beberapa persyaratan tambahan yaitu uji organoleptik. Biji kakao yang mempunyai cita rasa dan aroma khas coklat yang menonjol sangat disukai. Untuk itu persyaratan fermentasi menjadi penting.

2.4 Teknologi Near Infrared Reflectance Spectroscopy (NIRS)

(25)

9 bahan organik. Informasi kandungan kimia ini didapatkan berdasarkan interaksi pantulan spektra dari bahan setelah diberi radiasi sinar near infrared.

Kata spectroscopy seperti didefinisikan oleh Clark (1999) adalah studi tentang radiasi elektromagnetik sebagai fungsi dari panjang gelombang yang mana radiasi tersebut dapat berupa pantulan (reflectance), serapan (absorbance) dan terusan (transmittance) dari suatu bahan padat, cair atau gas. Bentuk spektrum dari radiasi near infrared ini yang kemudian digunakan untuk menganalisis dan memprediksi komposisi kimia bahan tersebut.

Metode NIRS bekerja berdasarkan prinsip bahwa setiap obyek biologik memiliki karakteristik sifat optik dan elektromagnetik tertentu yang dapat dianalisis menjadi informasi tentang kandungan kimia obyek tersebut. Beberapa industri menggunakan metode ini untuk memprediksi kandungan protein, lemak dan karbohidrat pada produk-produk pertanian, serta menganalisis tingkat kememaran dan kerusakan pada buah. Di Indonesia, penelitian dan penerapan akan metode ini masih sangat kurang. Hanya beberapa industri saja yang mulai menerapkan metode ini karena minimnya tingkat kesadaran konsumen lokal akan pentingnya mutu suatu produk pertanian (Munawar 2008).

Sheperd et al. (2004) menambahkan bahwa setiap bahan biologik memiliki karakteristik optik dan bentuk spektrum elektromagnetik yang berbeda-beda seperti terlihat pada Gambar 2.3 yang mana bentuk spektrum ini akan mencirikan kandungan kimia dari bahan tersebut. Fenomena ini yang mendorong banyak ilmuwan untuk meneliti kemungkinan penerapan metode ini untuk memprediksi mutu suatu bahan organik seperti buah-buahan, tepung, dan daun-daun herbal yang akan dijadikan bahan pembuatan obat (Workman dan Shenk 2004).

Gambar 2.3 Bentuk spektrum near infrared untuk beberapa bahan biologik (Sheperd et al. 2004)

(26)

10

Ikatan ini menyebabkan perubahan energi getaran ketika teradiasi oleh frekuensi NIRS, yaitu getaran meregang (strecth) dan tertekuk (bent) (Cen dan He 2007).

Gambar 2.4 Distribusi ikatan organik utama gelombang elektromagnetik (Cen dan He 2007)

Menurut Munawar (2008), ketika sebuah sinar yang berasal dari sebuah sumber jatuh mengenai obyek, maka akan terjadi interaksi antara obyek dan sinar tersebut yang mana obyek akan memberi respon berupa pantulan, serapan dan terusan (Gambar 2.5). Respon pantulan (reflectance) dapat berupa pantulan langsung (specular reflectance) yang mana sinar sepenuhnya dipantulkan kembali oleh obyek, pantulan semu (diffuse reflectance) yang mana sinar diserap terlebih dahulu dan kemudian dipantulkan. Respon serapan (absorbance) merupakan fenomena di mana seluruh sinar pada panjang gelombang tertentu sepenuhnya diserap oleh bahan, dan respon terusan (transmittance) merupakan respon di mana sinar pada panjang gelombang tertentu menembus bahan (Siesler et al. 2002; Munawar 2008 ).

Menurut Siesler (2002), setiap bentuk atau respon yang terjadi dari radiasi elektromagnetik ini membawa energi foton yang besarnya berbeda-beda. Foton, sebagaimana didefinisikan oleh Brown et al. (2000) adalah radiasi energi terendah yang terdapat pada radiasi elektromagnetik.

Pantulan langsung

Transmitan Pantulan semu

Serapan

Sumber cahaya

Bahan utuh

(27)

11 Stuth et al. (2003) menambahkan bahwa beberapa foton tersebut mengakibatkan perpindahan elektron, sementara beberapa lainnya mengakibatkan getaran molekuler karena bahan-bahan biologik mengandung pita-pita molekul (molecular bonds) diantara atom-atom. Getaran molekul yang terjadi ini mengakibatkan pita-pita molekul bergerak ke atas dan ke bawah atau terjadi tarikan dan regangan pada frekuensi dan panjang gelombang tertentu (Batten 1998). Kejadian ini yang menyebabkan bentuk spektrum yang berbeda-beda untuk setiap bahan biologik.

Hal penting yang harus diperhatikan dalam memilih set-up pengukuran NIR adalah penetrasi radiasi NIR yang dapat masuk ke dalam jaringan bahan. Penetrasi ini biasanya akan semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman bahan yang akan ditembus. Lammertyn et al. (2000) menemukan kedalaman penetrasi buah apel yaitu dapat menembus sampai 4 mm pada panjang gelombang 900 – 1900 nm. Kedalaman penetrasi akan berbeda secara signifikan berdasarkan ketebalan bahan.

Variasi pada ukuran dan suhu partikel sampel mempengaruhi penyebaran radiasi NIR pada saat melewati bahan. Partikel berukuran besar tidak dapat menyebarkan radiasi NIR sebanyak radiasi yang diserap, maka semakin tinggi nilai absorban dan panjang gelombang yang diserap juga akan lebih besar dan kuat (Drayden 2003).

Bahan organik hanya akan memantulkan sekitar 4% sinar yang diterimanya dari sebuah sumber melalui permukaan luar (regular reflection) dan sisanya 96% akan masuk ke dalam produk yang selanjutnya mengalami penyerapan (absorption), pemantulan (body reflectant), penyebaran (scattering) dan penerusan sinar (transmittance) (Mohsenin 1984).

Keterangan :

Gambar 2.6 Sketsa instrumen pengukur NIRS (Cen dan He 2007)

Pada prinsipnya, instrumen NIRS terdiri atas sumber sinar, sistem splitter beam, pendeteksi sampel, pendeteksi sinar dan sistem analisis pengolahan data (Gambar 2.6). Untuk sumber sinar biasanya digunakan lampu Halogen Tungsten yang murah atau bisa juga lampu LED yang mahal. Sistem splitter beam berguna menerjemahkan sinar multi warna menjadi sinar tunggal seperti sinar filter,

interferometer dan grating. Pendeteksi sampel disesuaikan dengan bentuk sampel seperti cair atau padat. Komputer digunakan untuk akuisisi data, komunikasi kontrol analisis dan analisis numerik pada sistem spectrometer. Parameter NIR

(28)

12

Pemilihan daerah panjang gelombang, larutan, kecepatan pemindaian, angka, mode, dan interval pengambilan sampel akan mempengaruhi ketepatan dan pengulangan pengukuran (Cen dan He 2007).

2.5 Aplikasi Chemometric dalam Analisis Pangan

NIRS sendiri tidak dapat mengungkapkan informasi kimia dalam sebuah spektrum, sehingga chemometrics diperlukan untuk mengekstrak informasi tentang atribut mutu pangan melalui proses yang disebut kalibrasi multivariat yang mana hubungan matematis antara NIRS dan parameter mutu diukur akan terungkap untuk menentukan atribut mutu yang diinginkan (Munawar 2014).

Kesulitan utama yang terjadi di dalam aplikasi NIRS adalah membangun model yang handal dan kalibrasi yang stabil. Metode chemometrics yang sudah ada dan sedang berkembang memberikan keuntungan untuk membangun model yang kuat. Apa yang sebaiknya dilakukan adalah memilih pendekatan yang tepat untuk menggali informasi berguna dari sekian banyak data spektra, sehingga terdapat banyak kajian yang fokus pada chemometrics termasuk mengembangkan teknik chemometric yang sudah ada untuk analisis NIRS. Chemometric adalah cabang ilmu yang prinsip kerja pengukurannya berdasarkan sifat kimia yang dimiliki atau proses membangun sistem menggunakan aplikasi metode matematika atau statistika. Sebagai teknik analisis data multivariate, metode ini telah diaplikasikan secara luas pada NIRS. Chemometric pada analisis NIRS terdiri atas tiga aspek yaitu (Cen dan He 2007) :

(1) Pengolahan awal data spektra. Data yang diperoleh dari NIRS terdiri dari informasi background dan noise disamping data informasi sampel itu sendiri. Untuk memperoleh data yang dapat dipercaya, akurat dan model kalibrasi stabil, sangatlah memungkinkan untuk melakukan pengolahan awal (pretreatment ) sebelum melakukan pemodelan. Saat ini terdapat banyak metode pretreatment diantaranya adalah enhancement, smoothing, derivative,

Mean Centering (MC), Multiplicative Scatter Correction (MSC), Standard Normal Variate (SNV), Mean Normalization (MN), Orthogonal Signal Correlation (OSC), Detrending (DT), Fourier Transform (FT), Wave Transform (WF) dan Net Analysis Signal (NAS). Secara umum metode pretreatment itu terbagi atas tiga macam yakni centering, normalization dan

transformation.

(2) Membangun model kalibrasi untuk analisis kuantitatif dan kualitatif. Merupakan hal yang sangat penting untuk membangun model kalibrasi yang handal untuk analisis kuantitatif dan kualitatif di dalam analisis pangan yang melibatkan prediksi diskriminasi dan properti untuk sampel yang tidak diketahui. Sekarang ini banyak model kalibrasi yang dikombinasikan dengan

(29)

13

Independent Modeling of Class Analogy (SIMCA), Support Vector Machine

(SVM) dan Discriminant Partial Least Squares (DPLS).

(3) Transfer model. Beberapa metode transfer untuk model kalibrasi telah disajikan dan didiskusikan di banyak literatur fokus pada ikhtisar metode-metode untuk transfer kalibrasi dan pendekatan pada validitas dan aplikasinya. Transfer model pada analisis NIRS dapat dikelompokkan menjadi metode terstandarisasi dan tidak terstandarisasi. Metode terstandarisasi termasuk pemetaan spektra, univariate standardization, direct standardization (DS) dan piecewise direct standardization (PDS), positive matrix factorization (PMF) dan maximum likelihood principal component analysis (MLPCA). Ketika standar transfer tidak tersedia, metode pre-processing harus digunakan di dalam metode tidak terstandarisasi. Seperti penggunaan derivative, MSC dan OSC.

2.6 Metode Pretreatment Spektrum

Pretreatment spektrum dilakukan untuk mengurangi pengaruh interferensi gelombang dan noises pada data spektrum yang didapat agar diperoleh model

robust yang lebih akurat dan stabil. Sebelum dilakukan pengembangan model analisis, data spektrum akan mendapat perlakukan pretreatment baik data kalibrasi maupun prediksi. Berikut ini enam metode pretreatment yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki spektrum yang didapat (Cen and He 2007; CAMO 2012; Munawar 2014) :

a. Smoothing Savizky-Golay (SGs)

Merupakan metode yang sering digunakan untuk mengeleminasi noise.

Smoothing juga digunakan di dalam optimasi signal-to-noise rate. Pada umumnya, dikombinasikan dengan motode pengolah awal data lain untuk melakukan penghilangan noise.

b. First and Second Derivative (D1 dan D2)

Digunakan untuk menghilangkan background dan meningkatkan resolusi spektra. Derivative mampu memperjelas puncak dan lembah spektra absorban data NIRS.

c. Mean Centering (MC)

Mean Centering (MC) sering dipergunakan sebagai pretreatment karena berfokus pada perbedaan antara observasi daripada nilai-nilai mutlak data. MC memastikan bahwa data atau model yang dihasilkan dapat ditafsirkan dalam variasi sekitar mean data.

d. Mean Normalization (MN)

Tujuan dari pretreatment ini adalah untuk menskala sampel dalam rangka untuk mendapatkan semua data pada sekitar skala yang sama berdasarkan daerah, mean, selang, maksimum, puncak dan vektor satuan.

Semua dataspektrumjugadinormalisasisebagai mean normalization.

e. De-trending (DT)

(30)

14

tambahan dihapus. Zero-order: offset; orde pertama: offset dan kemiringan,

kedua-order: offset, kemiringan dankelengkungan. f. Multiplicative Scatter Correction (MSC)

Metode MSC merupakan salah satu pendekatan untuk mengurangi

amplification (multiplicative, scattering) dan offset (additive, chemical) efek di NIR spektrum. MSC memutari setiap spektrum sehingga menemukan kecocokan semirip mungkin dengan spektrum standar yang mungkin sering menjadi mean spektrum. Setiap spektrum kemudian dikoreksi dengan menggunakan persamaan linear:

r = a + brm + v (1)

dimana a dan b adalah koefisien koreksi dihitung dari regresi dari masing-masing individu spektrum ke mean spektrum. Koefisien a adalah intersep dari garis regresi yang menunjukkan konstanta linier absorbsi efek aditif, koefisien b adalah slope yang menunjukkan pengaruh absorbsi efek

multiplicative dan v adalah vektor residual yang memberikan perbedaan antara spektrum asli (r) dan mean spektrum. Vektor residual ini diasumsikan (amplifikasi umum dan penghapusan offset ) sebelum prosedur kalibrasi dan prediksi.

g. Standard Normal Variate (SNV)

Metode SNV adalah transformasi yang menghilangkan scatter effects

dari spektrum dengan memusatkan dan men-skala spektrum individual. Seperti MSC, hasil praktis dari SNV adalah menghilangkan gangguan multiplicative interferences dari scatter effects pada data spektral. Efek dari SNV adalah pada skala vertikal, masing-masing spektrum berpusat pada nol dan bervariasi kira-kira dari -2 ke 2. Terlepas dari skala yang berbeda, hasilnya lebih-kurang mirip dengan MSC. Perbedaan praktis adalah bahwa SNV menstandarisasi setiap spektrum hanya menggunakan data dari spektrum itu, tidak menggunakan spektrum rata-rata dari setiap set.

h. Orthogonal Signal Correction (OSC)

(31)

15 matriks X dapat diterapkan pada set prediksi eksternal untuk mengevaluasi kemampuan prediksi model kalibrasi yang dibangun dengan data yang sudah diperbaiki. Algoritma yang digunakan mirip dengan algoritma Non-Iterative Partial Least Square (NIPALS), yang biasa digunakan dalam PCA dan PLS. Dalam setiap langkah dari algoritma, vektor bobot (w) dimodifikasi. memaksakan kondisi bahwa t = X • w ortogonal terhadap matriks Y, dan di mana t adalah vektor nilai yang sesuai. Dalam PLS, kondisi bobot akan dihitung untuk memaksimalkan kovarians antara X dan Y yang dikenakan. tapi di OSC justru sebaliknya dicoba untuk meminimalkan kovarians ini. membuat t sedekat mungkin untuk orthogonality dengan Y. Hasil dari perhitungan adalah score dan loadings matrices yang berisi informasi yang tidak berhubungan dengan konsentrasi. Setiap variabel laten internal menghapus bagian dari varian matriks X.

2.7 Metode Principal Component Analysis (PCA)

Metode ini digunakan untuk menghindari kasus multikoleniaritas. Dalam analisis multivariabel. PCA dapat dijadikan dasar untuk melakukan analisis faktor sehingga dapat digunakan untuk mendapatkan variabel baru dalam jumlah yang lebih sedikit (Iriawan dan Astuti 2006). Dalam analisis spektra, PCA digunakan untuk mengurangi jumlah data spektra yang bertujuan menghindari overfitting dan keragaman spektra yang disebabkan oleh perbedaan ukuran partikel dan kadar air (Osborne et al. 1993).

Prinsip dasar PCA adalah mendeskripsikan variasi suatu set data menjadi sebuah set data baru yang terdiri atas variabel-variabel baru yang tidak berkolerasi satu sama lain. Variabel-variabel tersebut merupakan kombinasi linier dari variabel asal yang diturunkan dalam arah menurun sehingga beberapa komponen pertama mengandung sebanyak mungkin variasi data asal. Dengan demikian, beberapa komponen utama dapat digunakan untuk mempresentasikan data asal tanpa kehilangan informasi yang sangat berguna. Misalkan sebuah ruang vektor data berdimensi n ditulis dengan matriks Xp xn :

(4)

Dimana p adalah contoh ke-p dan n adalah parameter ke-n yang diukur. Analisis PCA bertujuan untuk mendapatkan sebuah ruang vektor berdimensi m, dimana m<n, sehingga ruang vektor berdimensi m mencakup hampir seluruh variasi data. Untuk mendapatkannya, ruang vektor berdimensi n diproyeksikan ke ruang vektor berdimensi m dengan memilih setiap arah variasi maksimum tetapi setiap arah variasi data tersebut saling tegak lurus (ortogonal). Variasi-variasi data inilah yang disebut komponen utama. Algoritma PCA sebagai berikut (Paterson 1993) : 1. Komponen utama pertama dipilih dalam arah variasi maksimum dengan

persamaan :

(32)

16

Nilai y1 dan w1 adalah vektor kolom. Nilai ini harus dibatasi karena

variasi data dapat dibuat semakin besar dengan cara menaikkan nilai w1. Hal

tersebut dapat dibatasi dengan normalisasi menggunakan persamaan :

(6) Nilai w1’ adalah vektor transpose w1

2. Jumlah kuadrat y1 dimaksimumkan

y1‟y1 = w1‟X‟Xw1 (7)

Selanjutnya persamaan 7 dimaksimumkan dengan persamaan

Lagrange. Fungsi komposit L pada Persaman 8 dibentuk menggunakan Persamaan 6 dan Persamaan 7 :

L = w1‟X‟Xw1–λ1 (w1‟w1– 1) (8)

Nilai λ1 adalah pengali Lagrange. Nilai maksimum L diperoleh dengan

mengambil turunan parsial terhadap w1 dan yang bernilai 0 menggunakan

Persamaan 9. Hasilnya adalah Persamaan 10.

(9) (10) Sehingga diperoleh Persamaan 11 :

= (11)

Nilai y1adalah komponen utama pertama dengan variasi maksimum λ1

dimana Nilai λ1 juga merupakan eigenvalueX‟X.

3. Komponen utama kedua (y2) diperoleh dengan prosedur yang sama untuk

mendapatkan y1 dan nilainya juga tegak lurus terhadap y1, sehingga :

(12) 4. Jumlah kuadrat y2 dimaksimumkan dengan 2 fungsi pembatas pada

persamaan :

dan (13)

Fungsi komposit Lagrange untuk memaksimumkan Persamaan 12 dengan fungsi pembatas pada Persamaan 13 adalah :

(33)

17 Dimana λ2 dan µ adalah pengali Lagrange. Turunan parsial terhadap w2 = 0

dilakukan seperti proses sebelumnya sehingga diperoleh :

dan (15)

5. Eigenvalue λ1, λ2, λ3, .... λp yang berhubungan dengan matrik tegak lurus W =

[w1, w2, w3, .... wp] dimana p komponen utama diperoleh dari matriks Y =

XW dan matriks:

(16)

Matriks A merupakan matriks diagonal maka komponen-komponen utama yang diekstrak dari variabel asal saling tegak lurus atau tidak berkorelasi satu sama lain.

6. Total variasi X dijelaskan dengan persamaan :

(17)

7. Proporsi variasi komponen utama ke-j dari X dihitung dengan persamaan :

(18)

8. Kumulatif variasi X menggunakan komponen utama ke-m didapatkan dengan menjumlahkan eigenvalue ke-m dibagi dengan total variasi X dengan persamaan:

(19)

2.8 Metode Partial Least Squares (PLS)

Menurut Pandey (2010), ada beberapa teknik multivariat yang berbeda untuk menganalisis data spektrum NIR seperti Participal Component Analysis

(PCA), Principal Component Regression (PCR), Partial Least Squares (PLS) dan

Step Multiple Linier Regression (SMLR). Menurut Cen dan He (2007), SMLR, PCR dan PLS sangat cocok untuk analisis linier.

(34)

18

menyeimbangkan informasi antara prediktor dan respon, PLS mereduksi dampak dari banyaknya prediktor yang tidak relevan dengan keragaman data. Estimasi kesalahan prediktor ditingkatkan dengan cara validasi silang.

Wiliam dan Norris (1990) memaparkan algoritma PLS sebagai berikut : Langkah pertama adalah pemusatan data matriks X dan vektor c dengan persamaan :

U = X – 1x (20)

v = c – 1c (21)

Untuk masing-masing faktor baru yaitu a = 1, 2, .... A. dimana a merupakan faktor yang baru terbentuk dan A merupakan faktor ke-n yang terbentuk, dilakukan melalui langkah 1 sampai 4 yaitu :

1. Residual data destruktif (v) digunakan untuk menghitung loading vektor NIR (pa) menggunakan kuadrat terkecil dengan persamaan :

U = vpa + E (22)

kemudian hasilnya dinormalisasi dengan persamaan:

(23) dimana k adalah scaling faktor yang membuat panjang sama dengan satu dan jika dibutuhkan dapat dimodifikasi (misalnya dengan perlakuan

smoothing) sebelum dinormalisasi.

2. Menghitung faktor-faktor regresi (ta) dengan kuadrat terkecil dari nilai

dengan persamaan :

(24) atau hasil kuadrat terkecil dapat ditulis menjadi :

3. Menghitung loading vektor data destruktif dengan persamaan :

(c – 1c) = Tq + f (25)

dimana T adalah faktor regresi laten, q adalah loading vektor data destruktif dan f adalah error.

4. Persiapan residual baru dengan persamaan

(35)

19 Pada tahap prediksi oleh metode PLS, untuk menentukan model regresi dari sebuah data spektra NIR xi, ditentukan residual data spektranya dengan persamaan :

(28) lalu konsentrasi data destruktif ditentukan dari c dan q:

(29) atau juga dapat ditulis dengan persamaan :

(30)

dimana

(31)

2.9 Aplikasi NIRS untuk Produk Kakao

NIRS diaplikasikan pertama kali di bidang pertanian oleh Norris (1964) untuk mengukur kandungan kadar air pada biji-bijian. Sejak saat itu penggunaannya dengan cepat berkembang terutama untuk mengukur kandungan kadar air, protein dan lemak pada bermacam-macam produk pertanian dan pangan. Penyebaran radiasi NIRS dalam jaringan buah dan sayuran dipengaruhi oleh struktur mikro bahannya. Oleh karena itu, NIRS dapat digunakan untuk mengukur struktur-struktur mikro yang berhubungan dengan bahan seperti kekerasan, kerusakan di dalam bahan dan bahkan sifat sensori bahan.

Penggunaan metode NIRS memungkinkan analisis mutu buah-buahan dan produk pertanian lainnya menjadi lebih cepat, efisien dan tidak merusak obyek. Dalam beberapa tahun terakhir ini metode NIRS telah menjadi metode yang banyak diterapkan industri-industri pertanian maju untuk memprediksi mutu produk pertanian (Murray 1998 dan Sheppard 2002).

Penelitian terkait penggunaan NIRS untuk kakao sudah cukup banyak dilakukan. Penelitian itu dimulai dari biji mentah kakao sampai pada produk olahan kakao semisal bubuk kakao, kakao liquor, dark chocolates dan coklat komersial.

(36)

20

kakao khas negara Ghana yang dibubukkan menyimpulkan bahwa NIR memakai PCA mampu memprediksi waktu fermentasi biji kakao berdasarkan analisis senyawa volatil dan pembentukan asam asetat. Penelitian lebih luas dilakukan oleh Hue et al. (2014) yang mengumpulkan biji kakao (dibubukkan) dari beberapa negara seperti Ekuador, Madagaskar, Republik Dominika, Kamerun, Ghana, Indonesia dan Trinidad – Tobago. Hasilnya ditemukan bahwa korelasi antara metode Conway dan NIRS memungkinkan pengembangan pendugaan NH3 yang

diproduksi selama fermentasi sehingga bisa dipakai untuk mengurutkan biji kakao sesuai tingkat fermentasi.

Permanyer dan Perez (1989) melakukan penelitian untuk menentukan kadar air, lemak dan sukrosa pada bubuk kakao. Hasilnya dapat disimpulkan bahwa metode NIRS seakurat uji kimia untuk menentukan kadar air, lemak dan sukrosa pada bubuk kakao. Sementara Kaffka et al. (1982) mencoba untuk menentukan kadar lemak, kadar protein dan kadar karbohidrat. Hasilnya metode NIRS dapat memberikan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu, teknik NIRS bisa digunakan dalam pengendalian mutu produk kakao bubuk. Vesela et al. (2007), melakukan penelitian pada bubuk kakao yang dicampur sukrosa, cocoa fiber dan susu. Penelitian ini mencoba untuk mendeteksi kandungan lemak, nitrogen dan kadar air dengan membandingkan NIR dan Fourier Transform Infrared Spectroscopy

(FTIR). Hasilnya NIR baik digunakan untuk menduga kadar air, nitrogen dan kadar lemak dengan nilai RMSECV masing-masing sebesar 5.2% (R2 = 0.94), 1.7% (R2 = 0.98) dan 7.0% (R2 = 0.96).

Whitacre et al. (2003) menggunakan NIRS untuk analisa tingkat fermentasi dengan menganalisa kandungan procyanidin. Bahan yang digunakan adalah kakao

liquors yakni biji kakao yang telah digiling halus dan hasilnya seperti bubur halus dari biji coklat yang bercampur dengan lemak coklat. Hasilnya dapat disimpulkan bahwa NIRS mampu bekerja dengan baik dengan tingkat akurasi yang tinggi.

Cambrai et al. (2009) membuat penelitian menarik yakni memprediksi asal geografis dari produk kakao berupa dark chocolates. Penentuan asal geografis kakao yang akan digunakan untuk memproduksi coklat berdasarkan analisis dari senyawa volatile sampel coklat. Analisis kadar volatil dan pengolahan statistiknya dengan analisis multivariat cenderung untuk membentuk kelompok-kelompok independen untuk Afrika dan Madagaskar, bahkan jika beberapa sampel coklat dianalisis muncul pada pencampuran zona bersama dengan sampel dari Amerika. Analisis ini juga memungkinkan pemisahan yang jelas antara coklat Karibia dan coklat dari tempat yang lain. Komposisi tinggi (seperti linalool atau (E.

E)-2.4-decadienal) karakteristik coklat yang berbeda asal-usul geografis juga diidentifikasi. Metode ini menjelaskan bahwa pekerjaan ini (destilasi, analisis GC, dan perawatan statistik) dapat meningkatkan pengendalian asal geografis coklat selama proses produksi yang panjang.

(37)

21 tingkat fermentasi. Untuk identifikasi kadar air diketahui pada panjang gelombang 1906 nm, 1939 nm dan 1940 nm. Untuk identifikasi kadar lemak diketahui pada panjang gelombang 1200 nm, 1730 nm, 1744 nm, 1760 nm, 2250-2300 nm, 2322 nm, 2334 nm, 2340 nm, 2343 nm dan 2360 nm. Dan untuk identifikasi tingkat fermentasi diketahui pada panjang gelombang 1460 dan 2140 nm.

3

AKUISISI SPEKTRUM NIR PADA

BIJI KAKAO UTUH

3.1 Pendahuluan

Ekspor biji kakao Indonesia kurang memiliki daya saing karena produk biji kakao Indonesia dikenal hanya menjadi bahan campuran di negara-negara industri kakao padahal 82% ekspor kakao Indonesia adalah dalam bentuk biji. Namun biji kakao Indonesia sebenarnya masih dapat dikembangkan jika pemutuan biji kakao dapat ditingkatkan sesuai permintaan negara-negara tujuan ekspor kakao seperti ASEAN, USA, Uni Eropa dan China (Hasibuan et al. 2012). Oleh karena itu metode penentuan mutu secara cepat dan tepat diperlukan untuk menghasilkan komoditas kakao standar mutu tinggi yang disyaratkan negara konsumen.

Salah satu metode yang saat ini sedang berkembang dan digunakan untuk mendeteksi mutu suatu produk pertanian adalah metode pantulan infra merah dekat atau Near Infrared Reflectance Spectroscopy (NIRS). Metode ini dapat menganalisis mutu produk pertanian dengan waktu yang sangat cepat dan dilakukan secara non-destruktif atau tanpa merusak buah bahkan tanpa menyentuh produk tersebut.

Penelitian yang terkait dengan penggunaan NIRS pada produk kakao telah dimulai dari biji yang dibubukkan sampai pada produk olahan kakao. Penelitian terkait pada bubuk biji kakao dilakukan oleh Nielsen et al. (2008), Aculey et al.

(2010) dan Hue et al. (2014). Berikutnya pada kakao liquors dari biji mentah dan panggang dilakukan oleh Whitacre (2003). Penelitian pada bubuk kakao dilakukan oleh Permanyer dan Perez (1989), Kaffka et al. (1982) dan Vesela et al.

(2007). Selanjutnya untuk penelitian pada coklat komersial dilakukan oleh Moros

et al. (2007). Cambrai et al. (2009) membuat penelitian pada dark chocolates.

Yang menarik adalah penelitian Davies et al. (1991) mencoba untuk membandingkan spektrum mulai dari bubuk biji kakao mentah, bubuk biji sangrai, mass coklat dan coklat jadi. Penelitian-penelitian di atas juga menghasilkan identifikasi panjang gelombang yang berperan dalam menentukan kandungan kadar air, lemak dan tingkat fermentasi. Untuk identifikasi kadar air diketahui pada panjang gelombang 1906 nm, 1939 nm dan 1940 nm (Permanyer dan Perez 1989, Davies et al. 1991 dan Vesela et al. 2007). Untuk identifikasi kadar lemak diketahui pada panjang gelombang 1200 nm, 1730 nm, 1744 nm, 1760 nm, 2250-2300 nm, 2322 nm, 2334 nm, 2340 nm, 2343 nm dan 2360 nm (Davies et al. 1991, Moros et al. 2007 dan Vesela et al. 2007). Dan untuk identifikasi tingkat fermentasi diketahui pada panjang gelombang 1460 dan 2140 nm (Whitacre et al. 2003).

(38)

22

mengingat 82% ekspor Indonesia adalah dalam bentuk biji utuh. Pengembangkan teknik akuisisi spektrum NIRS menjadi kata kunci untuk dipecahkan. Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menguji perbedaan spektrum biji kakao tumpukan dengan biji individu menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Selain itu penelitian ini juga ingin menemukan selang panjang gelombang yang mengandung informasi mutu biji kakao utuh.

3.2 Bahan dan Metode

Waktu dan Tempat

Penelitian dimulai pada bulan Juli 2012 dan berakhir pada bulan Februari 2013. Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat yakni untuk pengambilan sampel dan perlakukan awal sampel dilakukan di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember. Selanjutnya pengambilan spektrum biji kakao dilakukan di Abteilung Qualität Tierischer Erzeugnisse dan Abteilung Qualität Pflanzlicher Erzeugnisse

yang keduanya di Georg August University of Göttingen, Jerman.

Sampel Kakao

Penelitian ini menggunakan buah kakao matang varietas Lindak yang merupakan hasil panen bulan Februari-Maret 2012 dari kebun yang sama. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan pengering mekanis sampai diperoleh biji kakao kering layak simpan. Biji kering disortir lalu dikemas dalam plastik tertutup rapat disimpan dalam lemari pendingin bersuhu di bawah 200C sebelum dibawa ke Göttingen, Jerman.

Sesampainya di Göttingen-Jerman sampel disimpan di ruang dengan suhu kurang dari 200C selama lebih kurang 2 minggu. Selanjutnya sampel biji kakao dibagi atas 3 macam bentuk untuk diambil spektrumnya yakni :

a) Biji individu, didapat dengan cara memilih biji yang permukaannya datar dan mempunyai diameter > 1 cm sesuai dengan lubang sinar pada alat NIRS yang ada. Jumlah sampel yang didapat sebanyak 71 buah.

b) Biji tumpukan, didapat dengan cara menyusun biji dalam petridish sebanyak 4 lapisan (Gambar 3.1). Jumlah sampel yang didapat sebanyak 70 tumpukan.

Lapisan 1 Lapisan 2 Lapisan 3 Lapisan akhir

Gambar 3.1 Pembentukan lapisan untuk sampel biji tumpukan

Gambar

Gambar 3.1  Pembentukan lapisan untuk sampel biji tumpukan
Gambar 3.3  Akuisisi spektrum NIRS (a) Posisi sumber sinar  (b) biji tumpukan dan (c) bubuk biji
Gambar 3.5  Spektrum hasil pemindaian NIRS untuk (a) biji kakao individu,  (b) biji kakao tumpukan, dan (c) bubuk biji kakao
Gambar 3.10  Hasil PCA untuk  pretreatment (a) SGs+MSC+D1, (b) SGs MSC+D2, (c) SGs+SNV+D1, (d) SGs+SNV+D2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Lingkungan hidup sebenarnya selalu bisa di lihat setiap saat, seperti yang ada di sekeliling ini. Lingkungan hidup adalah sebuah lingkup dengan segala benda dan kondisi yang ada

Menimbang, bahwa Majelis Hakim Tingkat Banding telah dengan seksama membaca dan mempelajari dan meneliti dengan cermat berkas perkara yang bersangkutan yang terdiri dari

Semakin tinggi partisipasi suami dalam pengguaan KB semakin baik pula pemilihan atau penggunaan KB pada ibu, akan tetapi di Desa Kalisapu masih ada sebagian

Martono dan Agus Harjito. Pengaruh Ukuran Perusahaan, Leverage, Price Earning Ratio dan Profitabilitas Terhadap Nilai perusahaan. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Pengaruh

Buku tersebut merupakan buku bacaan dalam bahasa Sunda (carpon, novél, dan dongeng). Hal ini berkaitan dengan minimnya pengetahuan kosakata bahasa Sunda yang

(2) Makna acuan yang terdapat pada tatanama tempat usaha di Kabupaten Sumedang dibedakan yaitu, mengacu pada nama tumbuhan, tempat atau daerah, nama orang, sifat orang

Bagi mencapai hasrat ini, kajian ini akan cuba menumpukan perhatian terhadap pengajian syariah di dalam pembinaan tamadun melayu, yang kemudiannya akan cuba