• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif komunikasi antar budaya untuk perdamain kasus the 2ND world peace forum CDDC (Center For Dialogue And Cooperation Among Civilizations)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perspektif komunikasi antar budaya untuk perdamain kasus the 2ND world peace forum CDDC (Center For Dialogue And Cooperation Among Civilizations)"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF KOMUNIKASI ANTARBUDAYA UNTUK PERDAMAIAN KASUS THE 2ND WORLD PEACE FORUM CDCC

(CENTRE FOR DIALOGUE AND COOPERATION AMONG CIVILIZATIONS)

Disusun Oleh:

Fauzia Ningtyas NIM 104051001900

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

PERSPEKTIF KOMUNIKASI ANTARBUDAYA UNTUK PERDAMAIAN KASUS THE 2ND WORLD PEACE FORUM CDCC

(CENTRE FOR DIALOGUE AND COOPERATION AMONG CIVILIZATIONS)

SKRIPSI

Diajukan sebagai tugas akhir dalam jenjang Strata Satu (S1) pada

Fakultas Dakwah dan Komunikasi guna mencapai gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh:

FAUZIA NINGTYAS NIM 104051001900

Di bawah bimbingan:

Dr. H. Arief Subhan, MA NIP 199601101993031004

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta

2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah penulis

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Hidayatullah Jakarta

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli penulis

atau merupakan hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 6 September 2009

(4)

ABSTRAK

Komunikasi antar Budaya merupakan sebuah topik dan elemen yang sangat penting di tengah zaman globalisasi ini. Hubungan antar bangsa yang tidak didasari oleh Komunikasi antar Budaya yang baik akan menimbulkan konflik dan kekerasan baik itu dalam lingkup nasional maupun internasional. Bagi berbagai kelompok agama, politik, etnis, bangsa maupun ideologi di dunia ini. Kekerasan yang dipicu oleh berbagai faktor etnis, agama, bangsa, ideologi maupun individu itu memberikan dampak sosial yang meninggalkan trauma mendalam bagi masyarakat secara jiwa dan fisik dan juga menghancurkan berbagai infrastruktur negara atau daerah setempat. Oleh karena itu, bagaimana caranya kita bisa menemukan solusi untuk mengurangi berbagai tindak kekerasan tersebut dan mewujudkan perdamaian.

Dalam konteks ini, Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) sebagai sebuah lembaga antar peradaban memiliki tujuan untuk mengusung nilai-nilai perdamaian dan berusaha untuk melawan berbagai tindak kekerasan yang terjadi baik di Indonesia maupun di negara lain. Melalui dialog dan kerjasamanya yang konseptual dan praktis diantara berbagai kelompok agama, bangsa, etnik, ideologi, dan lain sebagainya dan diantaranya adalah The 2nd World Peace Forum yang menjadi studi kasus dalam skripsi ini. Forum yang dilatarbelakangi oleh penyebaran konflik dan kekerasan yang begitu meluas serta terjadinya berbagai konflik seperti pertikaian di Aceh antara GAM dan pemerintah, invasi Amerika Serikat terhadap Irak, konflik di Thailand Selatan, konflik antara India dan Pakistan. Forum ini merupakan bekerja sama CDCC dengan Multi Culture Society yang diadakan di Jakarta pada tanggal 24-26 Juni 2009. melalui forum ini, penulis akan melihat bagaimana perspektif para peserta forum tentang tema terkait dan solusi apa yang mereka tawarkan.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori komunikasi antar budaya, teori identitas serta stereotif dan prasangka, tujuannya adalah untuk melihat bagaimana faktor komunikasi antar budaya dan identitas yang menjadi penyebab konflik dan kekerasan yang terjadi di berbagai negara, melalui penelaahan pada beberapa pembahasan terkait yang disampaikan oleh para peserta The 2nd World Peace Forum. Dalam Forum internasional ini, penulis akan melihat pendapat beberapa pembicara yang terkait dengan tema Komunikasi antar Budaya untuk Perdamaian. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bersifat eksploratif dengan sumber data yang diperoleh melalui wawancara dan dokumentasi yang didapat dari buku, brosur CDCC dan situs www.cdccfoundation.org dan www.worldpeaceforum.net, serta arsip-arsip yang ada pada panitia The 2nd World Peace Forum dan Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC). Penulis akan menelaah beberapa makalah terkait dengan kaca mata Komunikasi antar Budaya dalam konteks perdamaian yang didukung oleh wawancara dan berbagai dokumentasi terkait.

(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan mengucapkan puji serta syukur ke hadirat Allah SWT atas berkat dan

rahmat yang telah diberikan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini, penggenggam

setiap kejadian, pengangkat kemuliaan, dan penyempurna kebahagiaan. Shalawat

salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW beserta keluarga,

sahabat dan umatnya hingga akhir jaman.

Skripsi ini disusun sebagai tugas terakhir selama menempuh jenjang Strata

Satu (S1) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, juga sebagai persyaratan

dalam meraih gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) di Fakultas Dakwah dan

Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini dapat terselesaikan atas dukungan dan bantuan serta bimbingan

semua pihak, oleh karena itu rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya dihaturkan

kepada:

1. Dr. H. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi,

Drs. Wahidin Saputra,MA selaku pembantu dekan I, Drs. H. Mahmud jalal,

MA selaku Pembantu Dekan II, Drs. Studi Rizal L.K., MA selaku Pembantu

Dekan III Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. Wahidin Saputra, MA selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran

Islam dan Drs. Hasanuddin Ibnu Hibban, MA selaku Pembimbing Akademik

(7)

3. Dr. H. Arief Subhan, MA sebagai pembimbing skripsi, dengan kesabaran dan

kebijaksanaan serta keluasan wawasan keilmuannya telah memberikan

bimbingan serta arahan dalam pembuatan skripsi ini.

4. Segenap dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu yang

bermanfaat selama kuliah di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

5. Ketua beserta staf Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Perpustakaan Umum

yang telah memberikan pelayanan dalam mencari referensi-referensi selama

kuliah dan dalam pembuatan skripsi ini.

6. Dr Abdul Mu’ti selaku Direktur Eksekutif CDCC dan Ketua OC The 2nd WPF

dan Mas Izza Rohman selaku Wakil Direktur Program CDCC dan Sekretaris

OC The 2nd WPF yang telah membantu untuk menyediakan bahan-bahan

skripsi yang diperlukan.

7. Ayah dan Ibu (Alm), Agus Koswara dan Dra. Ai Fatimah (Alm) serta paman

dan Bibi, Ika Rostika dan Bambang Teguh yang telah mendukung baik secara

moril maupun materil untuk keberhasilan studi anak mereka.

8. Kepada yang tercinta Raihan Fuadi, yang telah memberikan semangat dan

dukungan tanpa henti, yang telah menghiasi kehidupanku dan berjuang

bersama menyelesaikan studi dan melanjutkan kehidupan bersama nanti, amin

yra.

9. Kepada semua pihak (orangtua, adik, saudara, sahabat dan teman) Raihan

Fuadi, Annisa, Amy, Ola, Eky, Nurul F., Destaria, Kanda Muchlas N.,

teman-teman KPI E 2004 ( Hasan, Maheso, Hanif, Lala dll), BEM FDK dan HMI (

Dera, Santi, Engkong, M. Fadli, Fuad, dll), kawan-kawan di FLAT dan pihak

(8)

Hanya harapan dan do’a kepada Allah SWT, penulis berlindung dan

berserah semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya. Serta

kepada seluruh pihak yang telah membantu kelancaran skripsi ini semoga

selalu dimantapkan iman, Islam dan ihsan dari Allah SWT.

Amien Ya Rabbal A’lamien.

Jakarta, 18 September 2009

(9)

DAFTAR ISI

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……….. 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 6

D. Metodologi Penelitian ………. 7

E. Sistematika Penulisan ………. 9

BAB II : LANDASAN TEORI ……… A. Konsep Komunikasi Antarbudaya ………. . 10

B. Identitas ……… 31

C. Stereotip dan Prasangka ………... 45

D. Harapan Komunikasi antar Budaya ………. 51

E. Implementasi dalam Perdamaian ……… 55

BAB III : GAMBARAN UMUM ORGANISASI CENTRE FOR DIALOGUE AND COOPERATION AMONG CIVILIZATIONS (CDCC) DAN THE 2nd WORLD PEACE FORUM ……… A. Profil Organisasi Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), Menteng, Jakarta Pusat ... 60

B. Profil The 2nd World Peace Forum ……….. 65

(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Dunia kini sarat dengan konflik. Setiap kawasan tengah mempertontonkan

pertikaian yang tak berkesudahan. Kita melihat bagaimana agresi militer Israel

terhadap Lebanon dan Palestina telah menodai perdamaian di kawasan itu.

Berbagai fasilitas dan bangunan dihancurkan, korban jiwa pun berjatuhan.

Mahalnya sebuah perdamaian ini melahirkan keprihatinan mendalam berbagai

kalangan. Dan konflik yang baru-baru ini terjadi yang terjadi di Irak,

Palestina-Israel, dan India yang menggunakan agama dan budaya sebagai alat pemicu

terjadinya tindak kekerasan dan merusak perdamaian yang sedang diperjuangkan.

Kekerasan dalam konteks ini bisa memperpanjang kecurigaaan yang ada antar

masyarakat, antar umat beragama, dan akhirnya antar peradaban. Ketiadaan

perdamaian yang terjadi itu, juga telah dan akan beresonansi terhadap kehidupan

nasional kita. Dalam kehidupan ekonomi, misalnya, konflik Arab-Israel yang

telah diredusir menjadi konflik Israel-Hizbullah, pada akhirnya akan berpengaruh

pada harga minyak dunia. Konflik ini juga berpengaruh terhadap kehidupan

sosial. Bila konflik tersebut terus berlangsung tanpa ada upaya untuk

menghentikan, maka konflik itu akan mendorong terjadinya radikalisme dalam

masyarakat. Pun akan memicu adanya konflik antara kelompok. Kita harus

(11)

Semua konflik diatas tak lain dipicu oleh kesalahpahaman-kesalahpahaman

antarbudaya seringkali terjadi, ketika kita bergaul dengan kelompok-kelompok

budaya yang berbeda. Problem utamanya adalah kita cenderung menganggap

budaya kita sebagai suatu kemestian, tanpa mepersoalkannya lagi (

taken-for-granted), dan karenanya kita menggunakannya sebagai standar untuk mengukur

budaya-budaya lain1. Bila seseorang tidak menyetujui nilai-nilai, sebenarnya itu

tidak berarti bahwa orang itu salah, alaih-alih secara kultural orang itu sedikit

berbeda dari kita2.

Kita bisa melihat wujud kesalahpahaman tersebut dalam berbagai hal di

seluruh dunia. Kesalahpahaman seperti itu bisa memicu suatu tindak kekerasan

yang juga merusak perdamaian yang ada atau belum ada pada suatu masyarakat.

Akar penyebab dari kekerasan bisa berbentuk apa saja, termasuk budaya.

Bagaimanapun juga, penggunaan dan penyalahgunaan sentimen agama dan etnik

sebagai suatu alat untuk mobilisasi politik dalam situasi politik bisa dengan

mudahnya memperburuk masalah.

Oleh karena itu, komunikasi adalah faktor penting yang perlu dibentuk dalam

hal ini. Hampir setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang-orang

lainnya, dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi

sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa

berkomunikasi akan terisolasi. Pesan-pesan itu mengemuka lewat perilaku

manusia. Ketika kita berbicara, kita sebenarnya sedang berperilaku. Ketika kita

melambaikan tangan, tersenyum, bermuka masam, menganggukan kepala, atau

memberikan suatu isyarat, kita juga sedang berperilaku. Sering perilaku-perilaku

1

Dedy Mulyana, Komunikasi antar Budaya, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006), cet.ke-10, h-8

2

(12)

ini merupakan pesan-pesan; pesan-pesan itu digunakan untuk

mengkomunikasikan sesuatu kepada seseorang3.

Perilaku seseorang dalam berkomunikasi ditentukan oleh cara hidupnya. Dan

semua itu berkaitan dengan budaya dimana dia hidup. Manusia belajar berpikir,

merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya.

Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan

sosial, kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan

pola-pola budaya secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan,

pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki agama, waktu, peranan,

hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang

diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha

individu dan kelompok.

Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya

menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana

kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya

seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat kita

dibesarkan. Konsekwensinya, budaya merupakan landasan komunikasi4. Bila

budaya beragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasinya.

Corak budaya suatu masyarakat sangat berpengaruh dalam membentuk suatu

peradaban. Perbedaan budaya inilah yang seringkali menjadi penyebab

kesalahpahaman antar masyarakat terjadi. Kesalahpahaman antarbudaya itu dapat

dikurangi bila kita sedikitnya mengetahui prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya

3

Dedy Mulyana, Komunikasi antar Budaya, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006), cet.ke-10, h-12

4

(13)

dan mempraktikannya dalam berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda

budaya.

Melihat hal itu, Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations

(CDCC) sebagai sebuah lembaga dialog dan kerja sama antar peradaban, yang

gencar mendiskusikan wacana dialog peradaban, mencoba untuk menjalin

komunikasi antar masyarakat yang berbeda budaya tersebut melalui diskusi antar

peradaban dan menawarkannya sebagai solusi guna menghindari benturan

tersebut. CDCC merupakan salah satu lembaga antar peradaban di Indonesia

yang melalui berbagai program, berusaha untuk mempertemukan dua peradaban

yang berbeda dalam sebuah acara yang ditujukan untuk mengurangi benturan

antarperadaban yang sudah sejak lama terjadi, khususnya antara timur/Islam dan

barat serta mempererat hubungan diantara keduanya. Dan salah satu program

CDCC adalah mengadakan The 2nd World Peace Forum (Forum Perdamaian

Dunia). Penyelenggaraan The 2nd World Peace Forum (Forum Perdamaian

Dunia) ini merupakan salah satu sarana komunikasi yang penting untuk

menyamakan pandangan dari berbagai kalangan masyarakat dunia untuk

mendorong terwujudnya perdamaian. Ini layaknya interfaith dialogue yang

berupaya untuk menyamakan pandangan guna mencegah dan meredam konflik

agama dan upaya untuk saling memahami antarpemeluk agama.

Dari latar belakang tersebut, maka peneliti mengambil judul: ’’Perspektif

Komunikasi Antarbudaya untuk Perdamaian: Kasus The 2nd World Peace Forum

CDCC (Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations) Jakarta, Studi

Kasus: The 2nd World Peace Forum.“

(14)

1. Pembatasan Masalah

a. Untuk lebih memfokuskan penulisan laporan ini, maka masalah yang

akan dibahas dalam laporan ini yaitu Komunikasi Antarbudaya untuk

Perdamaian: Kasus Centre for Dialogue and Cooperation among

Civilizations (CDCC), studi kasus The 2nd World Peace Forum .

b. Dari segi waktu, penelitian ini dibatasi pada Komunikasi

Antarbudaya untuk Perdamaian: Kasus Centre for Dialogue and

Cooperation among Civilizations (CDCC); studi kasus The 2nd World

Peace Forum CDCC (Centre for Dialogue and Cooperation among

Civilizations) yang diadakan pada 24-26 Juni 2008.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah pada

penelitian ini adalah

a. Bagaimana fungsi The 2nd World Peace Forum CDCC dalam

menjalin Komunikasi antarbudaya?

b. Bagaimana aktivitas Komunikasi Antarbudaya The 2nd World Peace Forum CDCC?

c. Bagaimana langkah The 2nd World Peace CDCC dalam

menindaklanjuti fenomena-fenomena yang terjadi dalam konflik dan

perdamaian?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian adalah sebagai berikut:

a. Mengetahui fungsi The 2nd World Peace Forum CDCC dalam

(15)

b. Mengetahui langkah The 2nd World Peace CDCC dalam

menindaklanjuti berbagai konflik yang terjadi dan mencari solusi

untuk perdamaian.

2. Manfaat Penelitian

a. Segi Akademis

Penelitian ini digunakan sebagai media pengembangan komunikasi

yang ada pada saat kini di Fakultas Dakwah dan Komunikasi

tentang komunikasi antar budaya, penelitian ini menambah

wawasan kita tentang komunikasi antar budaya yang belum dibahas

secara mendalam.

b. Segi Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi para

teoritis, praktisi dan pemikir komunikasi dalam menambah wawasan

dalam dunia komunikasi khususnya dunia periklanan sehingga

mahasiswa mengetahui betapa pentingnya komunikasi antar budaya

yang secara tidak disadari telah mengubah pola tingkah laku

masyarakat dalam berkomunikasi dengan masyarakat yang berbeda

budaya dan agama.

D. Metodologi Penelitian

Metodologi Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode kualitatif, yaitu penelitian yang bersifat eksploratif dengan sumber

(16)

melihat arsip-arsip The 2nd World Peace yang ada pada Centre for

Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC).

Dengan mengamati kasus dari berbagai sumber data yang digunakan

untuk meneliti, menguraikan dan menjelaskan secara komprehensif,

berbagai aspek individu, kelompok suatu program, organisasi atau

peristiwa secara sistematis. Penelaah berbagai sumber data ini

membutuhkan berbagai macam instrumen pengumuman data. Karena itu,

periset menggunakan wawancara, observasi partisipan,

dokumentasi-dokumentasi, rekaman bukti-bukti fisik5.

1. Tempat Penelitian

Tempat penelitian ini dilaksanakan di sekretariat Centre for Dialogue

and Cooperation among Civilizations (CDCC) Jl. Kemiri no. 24, Menteng, Jakarta Pusat.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, digunakan penelitian lapangan (field

research), yaitu penelitian yang di lapangan, tempat dimana objek

penelitian itu berada6. Untuk pengambilan data penelitian lapangan

digunakan metode sebagai berikut.

a. Wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya

langsung kepada responden7. Dalam hal ini, wawancara dilakukan

secara langsung dengan nara sumber ataupun panitia yang terkait.

b. Observasi, yaitu informasi atau data yang dikumpulkan dalam

penelitian8. 5

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta, 2007), cet ke-2,h.102 6

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2004),h.89 7

(17)

c. Dokumentasi, yaitu data diperoleh dari dokumen-dokumen dan

arsip-arsip yang didapat dari Organisasi Centre for Dialogue and

Cooperation among Civilizations (CDCC), seperti buku-buku,

newsletter, video, dan situs www.cdccfoundation.org

E. Sistematika Penulisan

Berdasarkan penelitian di atas, maka sistematika penulisan dalam

pembahasan ini adalah sebagai berikut.

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan argumentasi mengenai signifikansi studi ini. Dalam bab ini peneliti menguraikan Latar

Belakang Masalah, Pembahasan dan Perumusan Masalah, Tujuan

Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, dan Sistematika

Penulisan.

BAB II Menjelaskan tentang Faktor-faktor dalam Komunikasi antar Budaya yang terdiri dari Identitas, Stereotip dan Prasangka, Teori-teri

Komunikasi antar Budaya, harapan Komunikasi antar Budaya dan

Implementasi dalam Perdamian.

BAB III Membahas tentang Gambaran Umum Organisasi Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) dan The 2nd

World Peace, profil Centre for Dialogue and Cooperation among

Civilizations (CDCC) dan profil The 2nd World Peace

BAB IV menguraikan tentang analisis faktor Identitas Agama dan Bangsa yang dibahas dalam The 2nd World Peace Forum CDCC dalam menjalin

8

(18)

Komunikasi antarbudaya, mencegah terjadinya konflik dan mewujudkan

perdamaian.

(19)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

Dalam proses komunikasi antar budaya terdapat berbagai macam perbedaan

tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita dan apa yang orang lain pikirkan

tentang kita, perbedaan inilah yang memicu timbulnya suatu konflik.

Perbedaan-perbedaan tersebut tidak lain adalah identitas yang dimiliki setiap individu, yang bisa

dibentuk oleh usia, ras dan etnik, agama, kelas, bangsa, daerah, maupun individu itu

sendiri.

Perbedaan itu bisa juga didukung oleh adanya pandangan umum suatu

kelompok terhadap kelompok lain atau lebih khususnya lagi disebut stereotip dan

prasangka, yang bisa mempertajam semua perbedaan identitas yang telah ada. Proses

komunikasi antar budaya pun bisa terhambat dan tidak efektif. Untuk membantu

meneruskan jalannya proses komunikasi diantara kelompok-kelompok yang berbeda,

maka harus dicari solusi bersama. Seringkali mediasi atau dialog dibutuhkan untuk

menjembatani komunikasi antar budaya yang terhambat itu untuk menghindari

konflik dan mewujudkan perdamaian.

A. KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA 1. Teori-teori Komunikasi antar Budaya

a. Teori Edward T. Hall & William Foote Whyte

Bila orang awam berpikir tentang budaya, biasanya ia berpikir tentang

cara orang berpakaian, kepercayaan, dan kebiasaan. Tanpa menggunakan

(20)

merupakan aspek-aspek budaya, tapi definisi tersebut belum menyeluruh,

baik dilihat dari sudut teori maupun sudut praktik9.

Pengetahuan tentang kepercayaan bisa membingungkan kita karena

hubungan antara kepercayaan dan perilaku jarang bersifat nyata10 Dalam

hal kepercayaan agama, kita tahu misalnya bahwa orang-orang Islam harus

melakukan shalat lima kali sehari dan karenanya pada hari kerja kita harus

meluangkan waktu untuk salat. Ini tentu saja merupakan hal yang penting,

tapi masalah tersebut memang begitu jelas sehingga dapat dimengerti oleh

siapa pun kecuali oleh orang-orang yang berbeda budaya dan tidak

mengetahuinya sama sekali.

Adat istiadat memberikan lebih banyak petunjuk, asalkan kita tidak

membatasi diri pada pola perilaku esoteric (hanya dimengerti oleh

beberapa orang tertentu) yang sesuai dengan adat istiadat tertentu11. Dalam

mengamati perilaku yang berkenaan dengan adat istiadat, para antropolog

tidak hanya mengidentifikasi soal-soal individu, soal-soal tersebut

mempunyai makna bila membentuk suatu pola.

Budaya mempengaruhi komunikasi dalam banyak hal. Budaya lah

yang menentukan waktu dan jadwal peristiwa-peristiwa antarpersonal,

tempat untuk membicarakan topik-topik tertentu, jarak fisik yang

memisahkan antara seorang pembicara dengan orang lainnya, nada sesuai

untuk pembicaraan tertentu. Budaya, dalam hal ini, melukiskan kadar dan

tipe kontak fisik yang dituntut oleh adat kebiasaan, dan intensitas emosi

yang menyertainya. Budaya meliputi hubungan antara apa yang dikatakan

9

Dedy Mulyana, Jalaluddin rakhmat, Komunikasi antar Budaya,( Bandung:Remaja Rosda Karya, 2006) h.36

10

Dedy Mulyana, Jalaluddin rakhmat, Komunikasi antar Budaya, h.36 11

(21)

dan apa yang dimaksudkan seperti ‘tidak’ maksudnya ‘mungkin’ dan

‘besok’ maksudnya ‘tak pernah’. Budaya ini menentukan apakah suatu hal,

misalnya suatu kontrak tertentu, harus pertama-tama didiskusikan antara

dua orang atau didiskusikan dalam suatu pertemuan sehari penuh yang

mengikutsertakan empat atau lima orang dari setiap pihak, dan mungkin

dengan bantuan seorang pelayan yang menyuguhkan kopi.

Teori Edward Hall dan William Whyte tidak hanya mementingkan

bahasa, namun juga dia menekankan tentang pentingnya bahasa

non-verbal, lima dimensi waktu, dan penyesuaian diri dalam berjalan dua arah.

Misalnya, komunikasi harus disesuaikan dengan lima konsep waktu:

waktu untuk bertemu, waktu untuk berdiskusi, waktu untuk berkenalan,

waktu untuk berkunjung dan jadwal waktu.

Komunikasi juga dipengaruhi oleh pola komunikasi masyarakat

tertentu yang merupakan bagian dari keseluruhan pola budaya dan dapat

dipahami dalam konteks tersebut12. Perbedaan status dan kelas seseorang

bisa menyebabkan orang-orang dengan status yang berbeda sulit untuk

menyatakan opini secara bebas dan terus terang dalam suatu diskusi atau

perdebatan. Dari dulu bahkan sampai sekarang, kita masih sering melihat

orang yang statusnya lebih rendah menyatakan rasa hormat pada

atasannya.

Untuk bekerja sama dengan orang-orang, haruskah kita menjadi seperti

mereka? Hal itu tidak diperlukan bila kita seragam sepenuhnya. Orang

Indonesia, Melayu, orang Arab, orang Amerika, orang Cina akan

menganggap perilaku kita membingungkan dan tidak tulus bahkan

12

(22)

mencurigai motif kita. Kita diharapkan untuk berbeda. Namun, kita pun

diharapkan untuk menghormati dan menerima orang lain apa adanya. Dan

kita dapat tanpa memaksa kepribadian kita, untuk berlajar berkomunikasi

dengan mereka dengan mengamati pola-pola tradisi mereka yang tidak

tertulis. Kesadaran tentang adanya kekeliruan dalam hubungan

lintas-budaya merupakan langkah maju pertama yang besar. Dan menerima

fakta bahwa pendirian kita tak selamanya benar ketimbang pendirian orang

lain merupakan suatu hal yang baik.

b. Teori Wilbur Schramm

Menurut Wilbur Schramm, ada dua garis tanggung jawab yang

berkaitan dengan komunikasi antar budaya, yaitu: faktor personal dan

governmental atau pemerintah13. Diskusi tentang jembatan antar budaya

sangatlah penting, bukan hanya karena kita memerlukan jembatan yang

lebih banyak dan lebih bagus tetapi karena dengan memiliki jembatan itu

kita dapat mengendalikan siapa dan apa yang lewat di atasnya14 Itulah

sumber kekuasaan besar. Sedikit bangsa yang tidak setuju dengan adanya

jembatan antar budaya ini, tetapi banyak pemerintah saat ini sering

memperhatikan apa yang lewat di atas jembatan itu. Misalnya UNESCO

(United Nations for Education and Children Organization) selama tahun

1950-an sampai tahun 1960-an, memiliki tujuan utama yaitu free flow of

information (arus bebas informasi). Banyak program organisasi ini

dirancang untuk mendukung tujuan itu: konvensi hak cipta, konvensi

pertukaran bahan budaya dan pendidikan, perhatian pada satelit

13

Dedy Mulyana, Komunikasi antar Budaya, h.2 14

(23)

komunikasi dan agen berita, dll. Namun sekarang program itu telah

dikesampingkan dan beralih pada program Right to Communicate (Hak

Berkomunikasi), dan masalah kebijaksanaan komunikasi bagaimana harus

mengontrol penggunaan jembatan antar budaya. Begitu pun dengan

pemerintah kita, yang memiliki program pertukaran mahasiswa ke luar

negeri, peningkatan hak bagi media, dan lain-lain.

Jembatan komunikasi antar budaya ada karena : pertama, telah

tumbuh rasa saling bergantung di seluruh dunia15 Bila dulu jembatan antar budaya itu dianggap perlu, sekarang justru jembatan itu bersifat essensial.

Kedua, ketakutan akan satelit komunikasi yang menyebar ke negara Dunia

Ketiga pada permulaan tahun 1970-an16. Dapat dimaklumi jika negara-negara Dunia Ketiga mencemaskan efek hiburan murah dan iklan yang

merayu yang akan dicurahkan pada bangsa mereka oleh kapitalis besar

pemilik satelit. Maka itulah saat yang tepat untuk membuat isu politik dan

mencubit ekor kekuasaan-kekuasaan itu, terutama kekuasaan yang paling

besar. Maka timbulah berbagai konfrontasi, diantara satu pihak yang

menentang masuknya siaran televisi ke suatu negeri tanpa sensor dan izin,

dan pihak yang berpegang teguh pada konsep abstrak kebebasan

berbicara, arus bebas, dan penyiaran tak terbatas.

Konfrontasi ini mendatangkan manfaat pada siapa pun, kecuali

secara emosional, tetapi konfrontasi ini juga telah membayang-bayangi

pemikiran dan perencanaan komunikasi intercultural. Misalnya, apakah

arus informasi bebas ini hanya untuk bangsa-bangsa yang memiliki media

internasional? Yang lebih penting lagi, konfrontasi ini memfokuskan

15

Dedy Mulyana, Komunikasi antar Budaya ,h.3 16

(24)

perhatian pada hubungan antar kebudayaan dan komunikasi. Para ahli,

misalnya Prof. Hall, melihatnya sebagai “Budaya adalah komunikasi,

komunikasi adalah budaya”17. Namun, pemimpin negara Dunia Ketiga

melihatnya dari sebab akibat: komunikasi mempertahankan dan mengubah

budaya. Karena itu, mengendalikan komunikasi berarti mengendalikan apa

yang akan terjadi pada budaya mereka.

Sedangkan faktor individual menekankan pada penghormatan.

Pertama, kita harus menghormati anggota budaya lainnya sebagai manusia

yang memiliki nama, sejarah hidup dan kepribadian. Kedua, kita harus

menghormati budaya lain apa adanya, bukan sebagaimana kita

menghendakinya. Ketiga, menghormati hak anggota budaya yang lain

untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. Dan akhirnya, kita yang

berkomunikasi lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi

hidup bersama orang yang berbeda budaya. Professor Hall menambahkan

dalam karyanya The Message “bahwa seluruh penafsiran kita tentang

buaya bersifat relatif; kita tidak boleh menilai budaya yang lain

berdasarkan budaya kita yang terbatas, tapi kita harus mencari keterkaitan

satu peristiwa dengan peristiwa lain”

2. Budaya, Komunikasi dan Konflik

Memahami konflik antar budaya sangatlah penting sekarang. Konflik

tidak bisa dihindari, bisa terjadi di mana saja di dunia ini. Misalnya dalam

tingkat sosial, perbedaan budaya dalam bebrapa pendapat yang

menganggap pentingnya memelihara lingkungan dibandingkan dengan

17

(25)

pentingnya mengembangkan industri bisa memicu konflik yang terjadi

antara para pecinta lingkungan dengan para pengusaha.

1) Budaya

Gazalba mendefinisikan budaya sebagai cara berpikir dan cara

merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan

sekelompok manusia, yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu

ruang dan satu waktu18 Definisi tersebut secara implisit

mengetengahkan bahwa jenis-jenis kebudayaan, cara berpikir dan cara

merasa merupakan kebudayaan batiniah, sedangkan manifestasinya

dalam bentuk cara berbuat atau cara hidup. Begitupun yang

diungkapkan oleh Liliweri yang berpendapat bahwa kebudayaan

adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat

istiadat, dan setiap kemampuan dan kebiasaan yang dimiliki oleh

manusia sebagai anggota masayarakat19.

“Culture [is] those deep, common, unstated experiences which

members of a given culture share, which they communicate without knowing,

and which form the backdrop against which all other events are judged”20

sedangkan dari pengertian ini kita bisa budaya merupakan pengalaman

mendalam dan kebiasaan suatu masyarakat yang berbudaya, dimana

mereka berkomunikasi tanpa mengetahui dan kemudian membentuk

suatu pandangan yang berlawanan dengan apa yang dipersepsikan.

Maka bisa kita simpulkan, budaya sebagai gaya hidup masyarakat,

yang disusun oleh pola perilaku mereka, nilai-nilai, norma, dan objek

18

Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan sebagai Ilmu, (Jakarta: Pustaka Antara, 1963),Cet. Ke-3, h.11 19

Liliweri, Alo, Dasar-dasar Komunikasi antar Budaya, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar), 2003, h.107 20

(26)

material. Budaya memiliki pengaruh terhadap perilaku seseorang,

termasuk perilaku komunikasinya.

Culture is stored in individual human beings, in the form of their

beliefs, attitudes, and values. There are strong similarities in the belief

systems among the members of a given culture21 Budaya itu tersimpan dalam diri manusia, dalam bentuk kepercayaan, sikap, dan aturan

mereka. Ada persamaan yang kuat dalam sistem kepercayaan diantara

kebudayaan mereka. Kepercayaan merupakan sebuah representasi

seseorang di dunia luar. Kepercayaan dianggap sebagai sistem yang

menyimpan pengalaman masa lalu kita, termasuk pikiran, memori, dan

pemahaman kita tentang suatu kejadian. Kepercayaan juga dibentuk

oleh budaya seseorang. Sedangkan sikap juga merupakan faktor

internal dan tidak bisa dilihat orang lain secara langsung. Sikap dan

kepercayaan membentuk sebuah sistem budaya antar individu tersebut.

Perilaku dan kepercayaan mengindikasikan tujuan dari suatu

perilaku, kecenderungan seseorang dalam menanggapi kejadian,

pikiran dan masyarakat dengan cara tertentu. Dan aturan disini adalah

apa yang dianggap baik dan buruk oleh seseorang. Aturan memiliki

sebuah komponen yang bisa diperbaiki. Aturan ini seringkali berkaitan

dengan cita-cita, seperti aturan keselamatan Kristen, atau jihad dalam

Islam, aturan tentang perdamaian dunia, lingkungan, dan lain-lain.

Aturan itu juga berkaitan dengan cara meraih tujuan-tujuan, seperti

kejujuran, kebersihan, atau cara berbicara dan bertingkah hati-hati dan

tidak mengganggu orang lain.

21

(27)

When a belief is held by most members of a culture we call it a

cultural belief”22. Ketika sebuah kepercayaan dianut oleh mayoritas

anggota suatu budaya, maka hal itu disebut kepercayaan budaya.

Budaya bisa mempengaruhi persepsi dan perilaku seseorang yang

terwujud dalam kepercayaan, aturan, dan norma yang penting dalam

menciptakan kotak-kotak budaya. Selain itu kepercayaan budaya pun

dipengaruhi oleh faktor sejarah.

I shall examine some of the areas of differences between cultures,

which can give rise to communication problems. Any successful form

of social skills training shoul take accunt of these differences:

Language,non-verbal communication, rules, social relationship,

motivation, concept and ideology23. Dalam proses komunikasi antar

budaya terdapat banyak perbedaan yang ditemui, diantaranya adalah:

bahasa, komunikasi nonverbal seperti perilaku komunikasi dengan

orang lain, aturan (nepotisme, hadiah, penyuapan, jual beli, makan dan

minum, waktu, cara duduk, dan cara berpikir), hubungan sosial

(keluarga, kelompok, kelas), motivasi (motivasi prestasi, ketegasan,

kepedulian, mimik muka, nilai), serta konsep dan ideologi.

2) Karakteristik Konflik antar Budaya

“In a sense, then, the economic contexts, the cultural identities and

belongingness, and the political and religious contexts all work

together to shape this conflict”24 Konteks ekonomi, identitas budaya

22

Edward T. Hall, Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, p.82 23

Stephen Bochner, Cultures in Contact,(England: Pergamon Press, 1983), p.63 24

(28)

dan kepemilikan, serta konteks politik dan agama, semuanya menjadi

faktor penyebab suatu konflik. Beberapa orang tidak percaya bahwa

kerusuhan dan kekerasan merupakan cara yang tepat untuk merubah

permasalahan sosial dalam suatu masyarakat. Sedangkan yang lainnya

percaya bahwa suatu kekerasan adalah salah satu jalan dimana

masyarakat bisa diprovokasi untuk menginterogasi ketidakadilan sosial

dan memulai proses panjang untuk merubah suatu masyarakat. Intinya

adalah, tidak ada alasan untuk mencari satu sumber sebuah konflik.

Kesuhan yang terjadi di Aceh, Papua, dan di tempat lainnya

bersumber pada berbagai penyebab. Konflik antar budaya ini bisa

dikarakterisasikan oleh ambiguitas, yang dengan cepat memaksa kita.

Jika cara yang kita pilih untuk menangani konflik adalah dengan

menanganinya dengan cepat, sedangkan lawan kita ingin

menghindarinya, maka konflik akan semakin tajam jika kita tetap

saling bertahan pada prisnsip kita.

Konflik antar budaya juga bisa dikarakterisasi oleh kombinasi

orientasi konflik dan gaya menangani suatu konflik.

3) Orientasi Konflik

Tidaklah mudah untuk menangani suatu konflik. Maka kita harus

mencari dari keterkaitan antara konflik dan budaya. “Neither

orientation is always the best approach, nor does always any culture

only utilize one approach to conflict”25

25

(29)

a. Konflik sebagai Kesempatan: Seringkali konflik didefinisikan

sebagai suatu keterkaitan ketidakcocokan tujuan, nilai, harapan,

proses atau manfaat yang terasa atau nyata antara dua atau lebih

individu/ kelompok yang saling bergantung. Menurut David

Augsburger, pendekatan pada konflik harus berdasakan pada

empat asumsi: konflik itu suatu hal yang normal dan proses

yang berguna, semua isu bisa dirubah melalui negosiasi,

konfrontasi langsung dan konsiliasi itu penting, konfik

merupakan sebuah kebutuhan untuk bernegosiasi kembali pada

sebuah kontrak tak langsung –sebuah pertukaran kesempatan

kembali, pelepasan ketegangan, dan memperbaharui hubungan.

b. Konflik sebagai kehancuran

Banyak kelompok budaya yang menganggap konflik sebagai

suatu hal yang tidak produktif dalam hubungan, sebuah

pandangan yang bisa berakar dari nilai spiritual atau budaya.

Menurut Augsburger,ada empat asumsi tentang pandangan ini:

konflik merupakan sebuah gangguan perdamaian yang

destruktif, sistem social tidak jharus mengatur kebutuhan

anggotanya dan mereka harus beradaptasi dengan nilai-nilai

yang ada, konfrontasi itu destruktif dan tidak efektif, dan orang

yang berselisih seharusya lebih berdisiplin.

(30)

“In a social science approach, we identify five difference types

of conflict and some strategies for responding to conflict”26 Dalam

teori ini, kita akan mengidentifikasi lima macam konflik yang

berbeda dan beberapa strategi untuk menanganinya.

1. Tipe-tipe Konflik

Ada beberapa tipe konflik yang berbeda dan kita menanganinya

dengan cara yang berbeda juga. Menurut Mark Cole, ada

beberapa kategori konflik:

A. Konflik Afektif

Konflik afektif terjadi ketika seseorang memerhatikan

perasaan dan emosi nya yang saling bertentangan.

Misalnya, ketika seseorang jatuh cinta pada teman dekatnya

namun perasaannya tidak terbalas, hal tersebut bisa

menimbulkan konflik.

B. Konflik Kepentingan

Konflik Kepentingan menggambarkan situasi dimana

orang-orang memiliki pilihan aksi atau rencana yang

bertentangan.

C. Konflik Nilai

Konflik nilai terjadi ketika orang-orang berbeda dalam

ideology dan isu-isu tertentu.

D. Konflik pengertian

26

(31)

Konflik pengertian menggambarkan sebuah situasi dimana

dua orang atau lebih memperhatikan proses pemikiran atau

persepsi mereka yang tidak sama

E. Konflik tujuan

Konflik tujuan terjadi ketika orang-orang tidak setuju

dengan sebuah hasil yang diinginkan.

2. Strategi dan Taktik dalam menangani Konflik

Cara orang menangani konflik bisa dipengaruhi oleh

latar belakang budaya mereka. Seringkali strategi konflik

merefleksikan bagaimana orang menata diri mereka dalam

aturan yang berkaitan. Walaupun orang bisa saja memiliki

kecenderungan yang umum untuk menangani konflik dengan

cara yang khusus, bisa saja mereka memilih taktik yang

berbeda dalam situasi yang beda pula. Orang tidak terikat pada

sebuah strategi khusus. Ada lima cara khusus untuk menangani

konflik.

A. Dominasi

Gaya dominasi menggambarkan keterlibatan diri yang

tinggi dan sedikit melibatkan orang lain. Perilaku yang

menyertainya adalah gaya bicara yang keras dan kuat, yang

mana bisa saja tidak produktif pada resolusi konflik.

B. Mengintegrasikan/ menggabungkan

Gaya integrasi ini sangat melibatkan diri dan orang lain

(32)

langsung dalam usaha untuk mencapat solusi yang bisa

diterima kedua belah pihak. Gaya ini menganut prinsip

kolaborasi, empati, objektifitas, kreatifitas dan kesadaran

perasaan.

C. Kompromi

Gaya kompromi merupakan sebuah strategi managemen

konflik yang melibatkan pembangian dan pertukaran

informasi yang luas sehinggan kedua belah pihak bisa

memberikan keputusan yang saling menguntungkan dan

diterima bersama.

D. Membantu

Gaya membantu merupakan strategi managemen konflik

yang memerankan perbedaan dan ketidaksesuaian selagi

menekankan kebiasaan

E. Menghindari

Gaya mengindar merupakan strategi managemen konflik

yang berasal dari konteks budaya Amerika Serikat dan

sedikit dipengaruhi diri dan orang lain. Bagaimanapun,

dalam beberapa konteks budaya lainnya, strategi ini dilihat

sebagai taktik untuk mempertahankan hubungan nyang

harmonis.

(33)

“Another way to understand cultural variations in

intercultural conflict resolution is to look at how cultural

values influence conflict management”27 Cara lain untuk

memahami keberagaman budaya dalam resolusi konflik antar

budaya yaitu dengan memperhatikan bagaimana nilai-nilai

budaya mempengaruhi managemen konflik.

Nilai-nilai budaya pada masyarakat yang individual

berbeda dengan masyarakat yang kolektif. Masyarakat

individual lebih mementingkan faktor pribadi daripada

kelompok seperti dalam keluarga atau kelompok kerja.

Sebaliknya, masyarakat kolektif lebih mementingkan keluarga

dan kesetiaan pada kelompok.

Nilai-nilai yang bertentangan ini bisa mempengaruhi

pola komunikasi. Satu teori, negosiasi langsung, keterkaitan

nilai-nilai budaya pada kerangka kerja dan gaya konflik.

Kerangka kerja merupakan strategi komunikasi khusus yang

kita gunakan untuk menyelamatkan reputasi kita atau orang

lain; bagaimana kita memiliki kerangka kerja berbeda-beda dari

satu budaya hingga yang lain dan mempengaruhi gaya gaya

konflik yang terjadi

.

5) Mengatur Konflik antar Budaya

27

(34)

Satu hal yang harus kira pertimbangkan dalam menghadapi

konflik antar budaya yaitu dengan memilih managemen reolusi

konflik mana yang lebih berhasil.

a) Konflik Produktif vs Konflik Destruktif

“ Scholar David Augsburger suggests that productive

intercultural conflict is different from destructive conflict in

four ways. First, in productive conflict, individuals or

groups narrow the terms of definition, focus, and issues.

Second, in productive conflict, individuals or groups limit

conflict to the original issue. Third, in productive conflict,

individuals or groups direct the conflict toard cooperative

problem solving. Finally, in productive conflict, individuals

or groups trust leadership that stresses mutually

satisfactory outcomes”28 David Augsburger berpendapat

bahwa konflik antar budaya yang produktif berbeda dengan

konflik yang destruktif dalam empat hal. Pertama, dalam

konflik produktif individu atau kelompok membatasi

konflik secara arti, focus maupun isu. Sedangkan dalam

konflik destruktif, mereka memperluas isu atau perilaku

negative. Kedua, dalam konflik produktif, individu atau

kelompok membatasi konflik langsung pada isu utamanya.

Sedangkan dalam konflik destruktif, mereka memperluas

isunya mualai dari yang utama dengan segala aspek yang

terkait. Ketiga, dalam konflik produktif, individu atau

28

(35)

kelompok langsung menangani menangani konflik melalui

kerja sama yang membuahkan hasil keputusan bersama.

Sebaliknya, konflik destruktif, strategi-strateginya

melibatkan penggunaan kekuatan, ancaman, pemaksaan,

dan tipu muslihat.

b) Kompetisi vs kerja sama

Sebuah Atmosfer kompetitif akan menawarkan suatu

paksaan, tipu muslihat, kecurigaan, dan ketakutan, serta

sedikit melibatkan komunikasi. Sedangkan kerja sama akan

menawarkan kesamaan yang terasa, kepercayaan,

fleksibilitas, dan komunikasi yang terbuka. Kunci nya

adalah untuk membuat suatu hal yang positif, atmosfer

kerja sama pada awal hubungan suatu interaksi kelompok.

Lebih sulit untuk merubah suatu hubungan yang kompetitif

menjadi koooperatif/ kerja sama ketika suatu konflik sudah

meluas.

Inti dari suatu kerja sama adalah sebuah pendalaman.

Sedangkan sebuah kompetisi selalu bergantung pada

argumentasi. Pendalaman bisa dilakukan dalam berbagai

hal dalam budaya yang berbeda-beda tapi memiliki

beberapa langkah. Kelompok tersebut harus mengetahui isu

yang ada dan mendalami semua hal yang terkait atau

mendiskusikannya dengan pihak ketiga.

(36)

Tidak ada jawaban yang mudah untung menangani

konflik antar budaya. Terkadang, kita bisa mengaplikasikan

beberapa prinsip dialektik, tapi terkadang kita harus

kembali dan menunjukkan pertahanan diri kita.

Kadang-kadang, walaupun lebih tepat jika kita menegaskan diri kita

dan tidak takut pada emosi yang kuat. Ada beberapa solusi

untuk menangani konflik:

1. Tetap terpusat dan jangan memperluas 2. Mempertahankan kontak

3. Menyadari perbedaan gaya yang berbeda

4. Mengidentifikasi gaya kita sendiri

5. Bersikap kreatif dan memperluas gaya bicara kita

6. Menyadari pentingnya konteks suatu konflik

7. Bertujuan untuk memaafkan

4. Mediasi

“Sometimes two individuals or groups cannot work

through conflict on their own. They may request an

intermediary, or may be assigned to intervence”29 Terkadang

dua individu atau kelompok tidak bisa bekerja sendiri dalam

menangani konflik. Mereka membutuhkan perantara, atau salah

satunya akan merasa diintervensi. Dalam beberapa kelompok,

pihak ketiga ini bersifat informal. Sedangkan di masyarakat

barat, merka cenderung menjadikannya secara legal dan dalam

sistem yudisial.

29

(37)

Model mediasi kontemporer dari barat seringkali

mengindahkan keberagaman proses konflik. Sadangkan

masyarakat tradisional sering menggunakan model yang

berdasarkan pada maksud yang tidak langsung. Modelnya

bermacam-macam tapi berbagi karakteristik-karakteristik.

Mediator kontemporer mengadaptasi beberapa nilai dari

model tradisional yang non-barat. Mediasi itu bermanfaat

karena mengandalkan keterlibatan aktif dan komitmen dari dua

pihak yang berselisih untuk mengahasilkan sebuah resolusi.

Semua pihak dilibatkan dalam penanganannya, jasi lebih kreatif

dan integral

B. IDENTITAS

Identity serves as a bridge between culture and communication. It is important

because we communicate our identity to others, and learn who we are through

communication”30 Identitas itu menyediakan sebuah jembatan antara budaya dan

bahasa. Hal ini sangat penting karena kita mengkomunikasikan identitas kita pada

yang lainnya, dan kita belajar tentang diri kita melalui komunikasi. Melalui

berkomunikasi –dengan keluarga, teman, dan yang lain –kita pun akan mengerti

tentang diri kita dan bentuk identitas kita. Isu-isu tentang identitas merupakan hal

yang paling penting dalam interaksi budaya.

30

(38)

“How can individual’s identity develops depends partly on the relative position

or location of the identity within the societal hierarchy”31 Bagaimana identitas

seseorang bisa berkembang tergantung dari identitas posisi dan lokasi yang

berkaitan dalam suatu hirarki sosial. Beberapa identitas memiliki posisi yang lebih

tinggi dalam suatu hirarki sosial. Misalnya, identitas heteroseksual mempunyai

posisi yang lebih dihormati dibandingkan dengan identitas homoseksual, dan lain

sebagainya. Untuk membedakan posisi yang beragam, ‘suatu identitas mayoritas’

biasanya lebih dihormati daripada ‘identitas minoritas’.

a) Perkembangan Identitas Mayoritas

Identitas mayoritas berkembang melalui proses yang kompleks. Para ahli

berpikir tentang bagaimana sebuah identitas mayoritas berkembang, dari mulai

proses penerimaan hirarki sosial yang mendukung beberapa identitas dan

menolak sebagian lainnya, hingga proses untuk melawan ketidakadilan

tersebut.

Rita Hardiman outlines five stages: Unexamined identity, acceptance,

resistance, and redefinition”32 Rita Hardiman menyimpulkan beberapa

tahapan yang terjadi pada identitas mayoritas ini, yaitu:

1. Identitas terabaikan. Sebagaimana yang terjadi pada identitas

minoritas, dalam tahap ini orang mungkin sadar dengan

perbedaan yang mereka miliki, namun mereka tidak terlalu

memikirkan tentang identitas mereka.

2. Penerimaan. Dalam tahap ini terjadi sebuah proses internalisasi,

sadar atau tak sadar tentang sebuah ideologi rasis atau muslim

31

Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts,p.154 32

(39)

atau kelompok minoritas lain. Bisa saja melibatkan sebuah

penerimaan yang pasif atau aktif.

3. Perlawanan. Dalam tahap ini terjadi sebuah peralihan paradigma

utama, yang melibatkan sebuah tindakan yang menyalahkan

kelompok minoritas yang menamai mereka dan menyalahkan

kelompok dominan mereka sebagai sumber masalah.

4. Definisi baru. Tahap ini merupakan proses dimana mereka

memikirkan lagi tentang identitas mereka dan mulai menghargai

serta bersikap yang bisa menghapus tekanan dan ketidakadilan

bagi yang lain.

5. Integrasi. Dalam tahap ini, kelompok mayoritas pun memahami

identitas yang mereka miliki dan menghormati adanya kelompok

lain.

b) Perkembangan Identitas Minoritas

in general, minority identities tend to develop earlier that the majority

identities”33Pada umumnya, identitas minoritas cenderung untuk berkembang

lebih awal daripada identitas mayoritas. Misalnya, orang biasa cenderung

tidak selalu memikirkan orientasi seksual mereka, sedangkan kaum gay lebih

cenderung untuk seringkali memikirkan orientasi seksual mereka yang

berbeda dengan masyarakat kebanyakan, dan lebih mengembangkan sebuah

nilai identitas orientasi seksual daripada orang biasa/ normal. Sama halnya,

orang kulit putih bisa mengembangkan sebuah identitas etnik yang kuat,

mereka tidak selalu memperhatikan identitas ras mereka, sedangkan anggota

33

(40)

kelompok etnik minoritas memperhatikan identitas ras mereka sejak dulu.

Minority identity often develops in the following stages: unexamide identity,

conformity, resistance and separatism, integration”34 Menurut Judith, identitas

minoritas berkembang dalam beberapa tahapan:

1. Identitas yang terabaikan, dimana seseorang kurang memperhatikan

dan tertarik tentang identitas mereka. Tahap ini ada dikarenakan

kurangnya pengetahuan akan identitas mereka sendiri baik itu etnis,

orientasi seksual, gender dan lain sebagainya

2. Penyesuaian, dimana dalam tahap ini masuknya nilai dan norma dari

kelompok dominant dan sebuah keinginan kuat untuk bisa

menerimanya.

3. Perlawanan dan separatisme. Banyak kejadian yang bisa memicu

terjadinya tahap ketiga ini, seperti diskriminasi atau sebuah sebutan.

Dalam tahap ketidaksesuaian atau kesdaran yang semakin meningkat

bahwa tidak semua nilai dari kellompok dominant itu sesuai untuk

mereka, yang bisa memicu terjadi perlawanan dan separatisme.

4. Integrasi. Tahap ini hanya bisa terjadi apabila seseorang benar-benar

memahami identitasnya sendiri dan menghormati adanya budaya lain.

“Cultural identities – those aspects of our identities which arise from our

‘belonging’ to distinctive ethnic, racial, linguistic, religious and, above all,

national cultures”35 Dalam konteks komunikasi antar budaya ini, identitas

yang akan kita bahas adalah identitas budaya yang mana muncul dari

kepemilikan khusus seseorang pada ras, etnik, bahasa, agama, bangsa dan

34

Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts,,p.164 35

(41)

faktor budaya lainnya. Yang kemudian membagi masyarakat ke dalam

berbagai jenis kelompok identitas, seperti: gender, usia, ras dan etnik, kulit

putih, agama, kelas, kebangsaan, daerah dan pribadi. Namun ada tiga identitas

yang menjadi pembahasan disini karena efeknya yang sering muncul dalam

sebuah konflik, yaitu:

1. Identitas Ras dan Etnik

1) Identitas ras

“Race conciousness or racial identity, is largely a modern

phenomenon”36Kesadaran ras atau identitas ras, umumnya merupakan

sebuah fenomena modern. Saat ini di Amerika Serikat, isu ras sangat

controversial dan perpasive. Ini menjadi topik diskusi, dari talkshow di tv hingga percakapan di radio. Banyak orang sudah merasa sangat

tidak nyaman membicarakannya atau berpikir hal itu tidak seharusnya

menjadi topic dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin kita akan lebih

mengerti tentang isu-isu kontemporer jika kita memperhatikan ide-ide

tentang ras yang berkembang dalam sejarah di AS.

“Racial categories, are based to some extent on physical

characteristic, but they are also constructed influid social contexts”37

Kategori-ketegori ras, kemudian berdasarkan pada beberapa tingkatan

dalam karakteristik fisik, tapi juga dibentuk oleh konteks-konteks

sosial yang cair. Hal tersebut menambah nilai kesadaran untuk

membicarakan formasi ras daripada kategori-kategori ras, dengan

demikian menguji ras itu sebagai sebuah kompleks dari nilai-nilai

36

Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, (New York: McGraw-Hill, 2007),p.174

37

(42)

social daripada sebagai sebuah konsep yang pasti dan objektif.

Bagaimana masyarakat mengkonstruksi nilai-nilai ini dan berpikir

tentang pengaruh-pengaruh ras dalam cara mereka berkomunikasi.

2) Identitas Etnik

“In contrast to racial identity, ethnic identity may be seen as

a set of ideas about one’s own ethnic group identity. It

typically includes several dimension: self-identification,

knowledge about ethnic culture(traditions, customs, values,

and behaviours), and feeling about belonging to particulat

group”38

Identitas etnik bisa dilihat sebagai seperangkat ide-ide tentang

keanggotaan kelompok etnik. Identitas ini meliputi beberapa dimensi:

pengenalan diri, pengetahuan tentang budaya etnik (tradisi, kebiasaan,

nilai-nilai dan perilaku) dan perasaan saling memiliki terhadap suatu

kelompok tertentu. Identitas etnik seringkali melibatkan suatu nilai

originalitas dan sejarah, yang bisa menyambungkan

kelompok-kelompok etnis pada budaya-budaya yang jauh di Papua, Asia, Eropa,

Amerika Latin atau lokasi lainnya.

Memiliki identitas etnik berarti mengalami sebuah nilai kepemilikan

terhadap kelompok tertentu dan mengetahui suatu pengalaman untuk

dibagi dalam kelompok. Misalnya, Judith tumbuh dalam sebuah

komunitas etnik. Dia mendengar orangtua dan kerabatnya berbicara

dengan bahasa Indonesia, dan kakek dan neneknya memberi saran

38

(43)

untuk kembali ke Jerman dan berbicara tentang nenek moyang mereka

di Jerman. Pengalaman ini akan menambah identitas etniknya.

Para ahli saling berselisih tentang apakah identitas etnik dan

identitas ras itu sama atau berbeda. Beberapa ahli berpendapat bahwa

identitas etnik dibentuk oleh dirinya dan hal lainnya tapi identitas ras

hanya dibentuk oleh faktor lain. Mereka menekankan seperti mereka

mengesampingkan etnisitas dalam cara mereka mengklasifikasikan

orang lain.

Jika kita tidak pernah membicarakan ras, tapi hanya etnisitas,

bisakah kita memperhatikan efek dan pengaruh dari rasisme?

Untuk menyortir hubungan antara etnisitas dan ras adalah untuk

membedakan antara identitas terikat dan dominan (atau normatif).

“Bounded cultures are characterized by groups that are specific, not

dominant”39 Budaya-budaya yang terikat dikarakterisasi oleh

kelompok-kelompok yang spesifik bukan dominant. Untuk

kebanyakan orang kulit putih, sangatlah mudah untuk memahami rasa

saling memiliki dalam sebuah kelompok terikat (kelompok etnik).

Jelasnya, sebagai contoh, menjadi seorang Amish berarti mengikuti

ordung (nilai-nilai masyarakat). Tumbuh di sebuah rumah

Indonesia-jerman, identitas Judith menjadi sangat serius dan sedikit sekali

berekspresi dalam caranya untuk komunikasi. Identitas ini sangat

berbeda dengan temannya di kampus yang seorang Italia-Amerika, dia

sangat ekspresif dalam berkomunikasi.

39

(44)

Nilai ras atau identitas etnik kita berkembang seiring dengan

waktu, dalam tingkatannya dan melalui komunikasi dengan orang lain.

Tahap-tahap ini seolah merefleksikan pemahaman kita tentang siapa

kita dan tergantung pada beberapa tingkat kelompok kita. Banyak

kelompok etnik dan ras saling berbagi tentang pengalaman penindasan

mereka. Dalam menanggapinya, mereka bisa mengenerasikan

konsistensi sikap dan tingkah laku dengan sebuah usaha inernal yang

alami untuk mengembangkan identitas kelompok dan identitas diri.

Untuk kebanyakan kelompok budaya, identitas kuat ini memastikan

untuk bertahan hidup.

2. Identitas Keagamaan

“Religious identity can be important dimension of many people’s

identities, as well as an important site of intercultural conflict. Religious

identity often is conflated with racial or ethnic identity, which makes it

difficult to view religious identity simply in terms of belonging to a

particular religion”40 Identitas keagamaan bisa menjadi sebuah dimensi

penting dari identitas masyarakat banyak, sebagaimana pentingnya dalam

faktor konfilk antar budaya. Identitas keagamaan bersatu dengan identitas

ras atau etnik, yang membuat sulit untuk melihat identitas keagamaan dari

keterkaitannya dengan suatu agama tertentu. Misalnya, ketika seseorang

berkata “aku orang Yahudi”, apakah itu berarti bahwa dia melakukan

Judaisme? Bahwa dia melihat identitas Yahudi sebagai sebuah identitas

etnik? Atau ketika orang berkata, “Dia memiliki nama belakang Islam”

40

(45)

apakah itu merupakan pernyataan bahwa untuk menyadari identitas

keagamaannya? Dengan pandangan sejarah, kita bisa melihat Yahudi

sebagai sebuah kelompok ras, sebuah kelompok etnik dan sebuah

kelompok keagamaan.

Menggambarkan perbedaan antara bermacam-macam identitas –

ras,etnik, kelas, bangsa dan daerah—sangatlah sulit. Isu-isu agama dan

etnisitas menjadi perhatian utama dalam perang antara Al-Qaeda dan

kelompok militan lainnya. Walaupun mereka yang melakukan serangan ke

Pentagon dan World Trade Center adalah orang Muslim dan Arab, sulit

untuk membenarkan bahwa semua orang Muslim adalah Arab dan semua

orang Arab adalah muslim.

Perbedaan-perbedaan keagamaan menjadi akar konflik-konflik

kontemporer dari mulai dari Ambon(Maluku), Timur Tengah hingga

irlandia utara, India dan Pakistan hingga Bosnia-Herzegovina. Di Amerika

Serikat, konflik-konflik keagamaan menyebabkan orang-orang Mormon

melarikan diri ke Midwest di Utah pada pertangahan abad ke 19.

Konflik-konflik keagamaan menjadi kenyataan bagi orang Arab-Amerika setelah

pemerintah AS menegaskan perang melawan terorisme. Dan muslim

militan di Timur Tengah dan tempat lainnya melihat usaha perlawanan

mereka terhadap AS sebagai suatu usaha keras yang sangat serius dan

bersedia mati demi keyakinan agama mereka.

Di AS, kita seringkali melihat bahwa orang-orang bebas untuk

mempraktekan agama apapun yang mereka yakini. Dan konflik pun

muncul ketika kepercayaan agama mereka ditunjukkan kepada mereka

(46)

dominasi pohon–pohon Cristmas dan salib-salib Kristen sebagai

penghinaan pada keyakinan mereka.

Beberapa penganut agama berkomunikasi dan menandakan

perbedaan-perbedaan agama mereka dengan pakaian. Misalnya, yahudi hassidic

memakai pakaian tradisional, dan pakaian yang berwarna gelap, dan

wanita muslim memakai kerudung atau penutup kepala sesuai dengan

aturan muslim tentang pakaian wanita. Penganut agama Buddha yang taat

menjadi bhiksu dengan memperlihatkan pakaian yang biasa dipakai oleh

para bhiksu. Tentu saja, tidak semua agama tidak dikenal oleh pakaian.

Misalnya, kita tidak bisa tahu bahwa seseorang itu Buddha, Hindu, katolik,

Lutheran atau atheis berdasarkan cara pakaian mereka. Karena identitas

keagamaan mereka kurang mencolok, interaksi setiap hari tidak akan

memperlihatkan identitas keagamaan mereka.

“When individuals change their religious and/or ethnic identity, they

often change their name to reflect their new identification. For instance,

when the world heavy weight boxer Cassius Clay became a Black Muslim,

he changed his name to Mohammed Ali”41 Ketika seseorang berganti

identitas agama atau etnik mereka, seringkali mereka mengganti nama

mereka untuk menunjukkan identitas baru mereka. Misalnya, ketika

seorang petinju kelas berat Cassius Clay menjadi seorang muslim kulit

hitam, dia pun merubah namanya menjadi Muhammad Ali, begitu pun

dengan pemain basket bernama Kareem Abul-Jabbar yang dulu bernama

Lew Alcindor sebelum dia masuk Islam. Ada juga beberapa imigran

41

(47)

China yang datang ke Indonesia yang merubah nama mereka dengan nama

yang lebih dimengerti oleh para pegawai sipil di Indonesia.

3. Identitas Kebangsaan

“Among many identities, we also a national identity, which should not

be confused with racial or ethnic identity. Nationality, unlike racial or

ethnic identity, refer’s to one’s legal status in relation to a nation”42

Diantara semua identitas, kita juga memiliki identitas kebangsaan, yang

tidak harus dibingungkan dengan identitas ras dan etnik, kebangsaan

menunjukkan status sah terkait pada sebuah bangsa. Banyak penduduk AS

bisa melacak etnisitas mereka ke Amerika latin, Asia, Eropa atau Afrika,

tapi kebangsaan mereka atau kewarganegaraan mereka, bersama Amerika

Serikat.

Walaupun identitas kebangsaan bisa terlihat sebagai isu yang jelas, tapi

tidak selalu seperti itu. Misalnya, konflik berdarah yang pecah selama

masa percobaan penarikan negara-negara konfederasi dari Amerika

Serikat pada pertengahan tahun 1800-an. Konflik yang sama terjadi juga

saat ini ketika Eritrea berusaha untuk memisahkan diri dari Ethiopia, dan

Czechnya memisahkan diri dari Rusia. Tidak sedikit Konflik berdarah

yang melibatkan kedudukan sebagai Negara yang merdeka, misalnya

konflik yang terjadi ketika provinsi Timor Timur ingin memisahkan diri

dari negera Indonesia, terjadi konflik berdarah antara warga dan

pemerintah dan akhirnya kemudian bisa memisahkan diri dan berdiri

sendiri dengan nama Timor Leste pada tahun 2002. Begitu pula di

42

Referensi

Dokumen terkait