• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh qira’at terhadap penafsiran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh qira’at terhadap penafsiran"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

Faizah Ali Syibromalisi

Email. faizahalis@gmail.com

Dosen tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak: Tulisan al-Qur‟an dan qira‟at (bacaannya) bagaikan dua sisi mata uang. Al-Qur‟an Sebagai kitab suci yang memberi petunjuk kepada manusia harus dibaca dan difahami untuk diamalkan dalam kehidupan,Namun pemahaman terhadap Al-Qur‟an tentu terkait erat dengan penguasaan terhadap ilmu qirâ‟at. Munculnya ilmu qira‟at karena adanya Al-Qur‟an dan Al-Qur‟an semakin lebih lengkap dan tampak kemu‟jizatannya

karena adanya qira‟at. Layak disebutkan bahwa setiap lafaz dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang

dibaca adalah qira‟at, tetapi tidak setiap qira‟at adalah Al-Qur‟an. Layak di sebutkan

bahwa qira‟at itu hanya menyangkut sebagian kecil dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang

berjumlah lebih dari 6.000 (enam ribu) ayat itu. Karena tidak semua dari jumlah ayat Al-Qur‟an tersebut, disentuh oleh perbedaan bacaan atau qira‟at. Pengetahuan tentang ilmu

qira‟at adalah kunci untuk memasuki disiplin ilmu tafsir. beragam qira‟at tersebut ada yang

berimplikasi pada penafsiran yang pada akhirnya akan mempengaruhi proses isthinbat hukum dan produk hukum yang dihasilkannya. Tulisan ini menjadi penjelasan singkat seputar pengertian yaitu Qira‟at‟ untuk lebih memahami perbedaaan penafsiran pada ayat-ayat yang disentuh qira‟at.

Kata Kunci: Al-Qur’an, Qira’at, penafsiran.

Pendahuluan

Al-Qur‟an sebagai kitab suci yang memberi petunjuk kepada manusia (QS. al-Isra‟/7: 9), harus dibaca dan difahami untuk diamalkan dalam kehidupan. Pemahaman seseorang terhadap Al-Qur‟an tentu terkait erat dengan penguasaannya terhadap ilmu qirâ‟at (bacaan Al-Qur‟an), disamping ilmu-ilmu lain seperti bahasa Arab, sejarah Al-Qur‟an, Ulum Al

-Qur‟an, kaidah-kaidah tafsir, karena Al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa Arab. QS. Ibrahim 14/4: mengatakan :

“Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya,

supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”

Ayat ini sangat relevan dengan situasi bangsa Arab Ketika Al-Qur‟an diturunkan.

Mereka memiliki berbagai perbedaan bahasa, dialek, dan logat. Oleh sebab itu, Al-Qur‟an diturunkan dalam bentuk sab‟ah ahruf, yaitu bacaan yang disesuaikan dengan dialek mereka, sebagai toleransi, agar mereka bisa membacanya dan mengambil manfaat dari Al-Qur‟an Jika toleransi diatas tidak diberikan, maka memahami Al-Qur‟an menjadi beban berat bagi mereka.1 Hal ini tentu bertentangan dengan kemudahan dan toleransi yang Allah janjikan

1

(2)

bagi orang-orang yang mau mempelajari Al-Qur‟an dimana Allah berfirman yang artinya:

“Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang

yang mengambil pelajaran?”(QS. al-Qamr 54 : 17)

Sejalan dengan kemudahan yang Allah berikan dalam ayat tersebut diatas, maka Rasul Saw membacakan Al-Qur‟an kepada mereka dengan bacaan yang memudahkan bagi setiap kabilah untuk membacanya, yaitu bacaan yang sesuai dengan logat dan dialek mereka. Para sahabat menerima bacaan-bacaan tersebut dari Nabi Saw. Dari para sahabat inilah berbagai qiraat disampaikan secara turun-temurun dari mulut ke mulut ( فاش لا ىق لا) sampai saat ini. Dengan cara ini pula qirâ‟at-qirâ‟at yang berbeda tersebut dapat terjaga orisinalitas dan otentisitasnya, dan dilestarikan sampai kini, sejalan dengan kelestarian Al-Qur‟an dan otentisitasnya.

Berbagai qirâ‟at tersebut memang dinisbahkan kepada orang-orang tertentu, seperti qirâ‟at Nafi‟, Ibnu Katsir, „Ashim, Qolun, dan lain-lain. Namun penisbahan ini bukanlah karena qirâ‟at itu hasil ijtihad mereka tapi adalah hasil pilihan mereka terhadap satu qira‟at

dari beragam qirâ‟at yang ada, disamping upaya mereka mendalami ilmu qirâ‟at-qira‟at

tersebut, selalu membacanya dan menyebarluaskannya kepada masyarakat, sehingga bacaan itu dinisbahkan masyarakat kepada mereka.2

Maka sungguh keliru orang-orang yang menyangka bahwa qirâ‟at bacaan Al-Qur‟an yang beragam itu muncul karena perbedaan bahasa dan logat semata atau karena tulisan-tulisan Al-Qur‟an itu pada mulanya tidak bertitik dan tidak berbaris. Thoha Husein misalnya mengatakan bahwa Qirâ‟at sab‟ah bukan bersumber dari wahyu, sehingga orang yang mengingkarinya tidak menjadi kafir. Menurutnya sumber qirâ‟at adalah perbedaan lahjah

(logat) sehingga boleh diingkari dan diperdebatkan.3

Perbedaan qirâ‟at ternyata berimplikasi kepada penafsiran Al-Qur‟an. Karena bentuk/struktur kosa kata yang memiliki beberapa kemungkinan bacaan juga memiliki kemungkinan beberapa makna. Seperti, س ا dan س ل. Kosa kata lamastum dan lâamastum

misalnya, bukan hanya bisa dibaca dengan bacaan berbeda, meskipun bentuk baku kosa katanya adalah sama, tapi berimplikasi pada penafsiran dan perbedaan isthinbath hukum dari masing-masing bacaan. Kata lâamastum (saling bersentuhan)antara suami isteri mewajibkan keduanya mandi junub (mandi hadats besar). Sedangkan bacaan lamastum tanpa alif (hanya

bersentuhan sengaja atau tidak sengaja) hanya mewajibkan keduanya berwudhu‟. Perbedaan

2 Imam al-Qoisiy dalam bukunya „‟

al-IBanah‟‟ mengajukan pertanyaan apa sebab yang menjadikan

banyaknya perbedaan(qira‟t) diantara ulama, masing-masing memilih bacaannya sendiri, sesuai dengan bacaan syeh tempatnya berguru. Ia menjawab perkataan tersebut dengan mengatakan bahwa masing-masing qori‟ menerima bacaan dari beberapa ulama yang berbeda, dan yang berbeda qira‟atnya. kemudian masing-masing mentransfer qira‟at tersebut kepada murid-muridnya sehingga tersebarlah beragam qira‟at tersebut dimasyarakat. Al-Qoisiy, Al-Ibanah h.61-62, sebagaimana dinukil dari Kholik Abdur rahman al-A‟k, Ushul at- Tafsir wa Qowaiduhu,2007, h 440.

3

ThohaHusein,Al-AdabAl-Jahili,h.98-99. At-Thohawi mengomentari al-ahruf as-sab‟ah, ia mengatakan

(3)

bacaan ini selain menimbulkan perbedaan penafsiran juga menimbulkan perbedaan hasil dari istinbath hukum daribacaan-bacaan tersebut.4

Definisi Qira’at

Dilihat Secara etimologis, kata qira‟at merupakan bentuk kata benda bentukan (masdar) mengikuti wazan (rumus) fi‟alah, yang berakar kata ( ا - - ق). Dari kata dasar ini lahir kata qurán dan qiraáh. Kedua kata ini mempunyai makna (a) menghimpun dan

menggabungkan (al-jamú) yakni menghimpun dan menggabungkan antara satu dengan yang

lainnya (b) membaca (al-tilawat) yaitu mengucapkan kalimat-kalimat yang tertulis, seperti ungkapan aku membaca kitab (mengucapkan atau membunyikan huruf). Tilawah disebut

qira‟áh karena menggabungkan suara-suara huruf menjadi satu dalam pikiran untuk

membentuk kalimat-kalimat yang akan diucapkan. Kata qirâ‟at berbentuk tunggal, meskipun dalam studi ilmu Al-Qur‟an, ia ditempatkan dalam bentuk jamak karena pembahasannya mencakup banyak jenis qirâ‟at(bacaan).

Sedangkan Qirâ‟at menurut terminology didefinisikan Abu Syamah sebagai: Ilmu yang membahas tentang tata cara melafalkan kosa kata Al-Qur‟an dari segi perawinya.5 Sedangkan Abd Fattah mendefiniskannya sebagai: “Ilmu yang membahas tentang tata cara

pengucapan kata-kata Al-Qur‟an berikut cara penyampaiannya, baik yang disepakati (ulama ahli Al-Qur‟an) ataupun yang terjadi perbedaan pendapat, dengan menisbatkan setiap model (wajah) bacaanya kepada seorang Imam Qirâ‟at”6.

Dari paparan diatas diketahui bahwa objek kajian ilmu qirâ‟at adalah Al-Qur‟an, baik dari segi perbedaan lafaz maupun cara artikulasinya. Inilah alasan mengapa al-Zarkasyi

dalam bukunya al-Burhan mengatakan bahwa Al-Qur‟an dan qirâ‟at adalah merupakan dua

hal yang berbeda.7 Oleh sebab itu al-Zarkasy mendefiniskan Qirâ‟at dengan

menghubungkannya dengan al-Qur‟an. Ia mengatakan bahwa: “Perlu diketahui bahwa

Al-Qur‟an dan qirâ‟at adalah realitas yang berbeda. Yang dimaksud dengan Al-Qur‟an adalah

wahyu yang diturunkan kepada Muhammad saw yang berfungsi sebagai penjelas (ajaran

agama Islam) dan sebagai mu‟jizat (bagi Rasul). Sementara qirâ‟at adalah perbedaan

beberapa lafal wahyu (Al-Qur‟an) dalam hal penulisan huruf maupun cara artikulasinya, baik secara takhfîf (membaca tanpa tasydid), tatsqîl (membaca dengan tasydid) dan lain

sebagainya”8

Dari paparan diatas penulis melihat adanya hubungan yang sangat erat antara

Al-Qur‟an dan qira‟at, meskipun ada juga perbedaan yang nyata antara keduanya. Yaitu munculnya ilmu qira‟at karena adanya Al-Qur‟an dan Al-Qur‟an semakin lebih lengkap dan tampak kemu‟jizatannya karena adanya qira‟at. Qira‟at yang beragam tetapi mengacu kepada Al-Qur‟an yang sama, merupakan salah satu keistimewaan dari sekian banyak keistimewaaan Al-Qur‟an. Karena hanya Al-Qur‟an –diantara kitab suci yang ada- yang

4

Lihat selengkapnya Ibn Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir Jilid 1 h. 55. . 5

Abu Syamah Ad-Dimasqi, Ibroz al-Ma‟ani min Hirz al-Amani fi Qira‟at as-Sab‟ah li al-Imam as-Syat}ibi, Mesir: Maktabah Mustofa al-Albani al-Halabi wa Uladuh. Tth, h. 12.

6

Abd al-Fatah, Budur al-Zahirah fi al-Qira‟ât al-„Asyr, (Libanon: Maktabat Mushtafa Bâb al-Halaby), h. 5. Lihat juga dalam Ahmad Fathoni, Kaidah Qira‟at Tujuh, (Jakarta, IIQ dan PTIQ, 2005)

7 Al Zarkasyi, Al-Burhan fi ulum Al-Qur‟an Jilid I h. 318. 8

Muhammad bin Bahadir bin Abdillah al-Zarkasyi, al-Burhan fi „Ulum al-Qur‟an, (Beirut: Dar

(4)

mempunyai tata cara membaca ayat-ayatnya secara teratur dengan beberapa bacaan yang berbeda, sejak pertama kali diturunkan, dengan seizin Allah dan atas permintaan Rasulnya demi memberi kemudahan bagi orang yang membacanya.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa setiap lafaz dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang dibaca adalah qira‟at, tetapi tidak setiap qira‟at adalah Al-Qur‟an, kecuali qira‟at-qira‟at

yang memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati oleh para ulama Al-Qur‟an.9 Dengan demikian, maka qira‟at-qira‟at yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, bukanlah dinamakan Al-Qur‟an, seperti qira‟at syadzah10yang oleh para ulama dilarang membacanya, baik diluar shalat, lebih-lebih didalam shalat, karena ia bukan dianggap sebagai bagian dari Al-Qura‟an.

Disisi lain layak di sebutkan bahwa qira‟at itu hanya menyangkut sebagian kecil dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang berjumlah lebih dari 6.000 (enam ribu) ayat itu. Karena tidak semua dari jumlah ayat Al-Qur‟an tersebut, disentuh oleh perbedaan bacaan atau qira‟at.11

Adapun nilai guna ilmu qira‟at sebagaimana dikemukakan oleh Al-Z}harqani adalah salah satu instrument untuk mempertahankan orisinalitas dan otentisitas bacaan Al-Qur‟an, disamping membuktikan kemukjizatannya. Pengetahuan tentang ilmu qira‟at adalah kunci untuk memasuki disiplin ilmu tafsir.12

Sedangkan ilmu tafsir sebagaimana dikatakan oleh As-Suyuthi-ketika menukil pendapat Abu Hayyan-adalah “ilmu yang membahas tentang cara-cara pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur‟an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun, serta hal-hal lain yang melengkapinya”.13 Sedangkan Az-zahabi mendefinisikan tafsir sebagai penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah

SWT.sesuai dengan kemampuan manusia.14 Maka berdasarkan dua pendapat ulama tersebut,

ilmu tafsir terkait juga dengan ilmu-ilmu lain seperti balaghoh, nahwu, sharaf, ushul fiqh dan

qira‟at. Selain itu, tafsir juga membutuhkan ilmu asbab an-Nuzul dan ilmu nasakh wa

al-mansukh.15

Menurut pakar tafsir Ibn „Asyur, ada perbedaan implikasi diantara beragam qira‟at

tersebut terhadap penafsiran, meskipun perbedaan itu berkisar diantara dua qira‟at yang masing-masing memiliki derajat yang shahih, yaitu pertama qira‟at yang tidak berimplikasi pada penafsiran dan kedua qira‟at yang berimplikasi pada penafsiran yang pada akhirnya

akan mempengaruhi proses isthinbat hukum dan produk hukum yang dihasilkannya.16

Kondisi Bangsa Arab Ketika Al-Qura‘an Diturunkan

Keadaan bangsa Arab Ketika Al-Qur‟an diturunkan kepada mereka adalah bangsa yang terdiri dari kabilah-kabilah yang terpencar di beberapa kawasan di semenanjung Arab.

Mereka yang tinggal di perkampungan seperti suku Tamim, Qais, Sa‟d dan lain lainnya

9 Abu Zar‟ah,

Hujjah al-Qur‟an, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1404 H/1984 M), Cet. IV h. 11

10 Qira‟ah yang tidak memenuhi persyaratan qira‟t yang shahih baik dari sisi sanad danperiwayatan, rasm dan kaidah bahasa Arab

11. Sya‟aban Muhammad Isma‟il,

al-Qira‟at . h. 22

12

Al-Zharqani manahil al-Irfan, Beirut: Dar al-Ma‟rifah, Jilid. 1, h. 21.

13

Al-Suyuthi, al-Itqon, jilid 2, h. 174. 14

Muhammad Husein az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1961, jid 1, h .9.

15

Al-Zarkasyi, Al-Burhan, Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1957, Jilid 1, h. 13.

(5)

mempunyai tradisi, logat dan dialek tersendiri. Sementara yang di perkotaan juga mempunyai tradisi dan dialek atau gaya bicara yang berbeda pula.17

Dialek yang dimiliki suku pedalaman cukup beragam, seperti: Imalah, atau

mengucapkan huruf „a menjadi huruf „ê‟ seperti Satê. Orang dari suku Badui, karena ingin

meringkas perkataan kerap melipat huruf seperti mengucapkan dua huruf menjadi satu huruf yang dikenal dengan sebutan Idgham. Suku Hudzail hanya mampu membaca يح ى ع yang semestinya dibaca يح ى ح , orang dari suku Asad mengucapkan كيلإ د عإ لأ ع

د س ع dengan mengkasrahkan awal huruf dari fi‟il mudlari‟, orang dari suku Tamim akan membaca hamzah dengan nada kuat, sementara orang Quraisy mengucapkannya dengan nada melemah, satu kabilah mengucapkan lafazhءا لا ضيغ ل ليق dengan “isymam” yaitu mendlammahkan Qaf dan Ghain terlebih dahulu kemudian dengan cepat mengkasrahkan keduanya, mereka juga membaca: ( د ا عا ب ) dengan mengisymamkan Ro‟nya yaitu mencampurkan suara kasrah dengan d}ammah.18

Bisa dibayangkan bagaimana beratnya tugas nabi Muhammad mensosialisasikan

Al-Qur‟an kepada masyarakat arab pada saat itu. Padahal Al-Qur‟an merupakan kitab suci yang harus dibaca, Tanpa dibaca, tentu pesan-pesan hidayah Al-Qur‟an tak tersampaikan dan tidak bisa difahami umatnya.

Menyadari situasi yang majemuk ini, Rasulullah memohon kepada Allah SWT. agar tidak menurunkan al-Qur‟an dengan satu huruf saja. Dalam satu hadits diriwayatkan:

ه لوسر يقل لاق بعك يأ نع

aksara). Di antara mereka ada yang sudah lanjut usia, hamba sahaya, lelaki maupun perempuan, dan orang yang sama sekali tidak mengenal aksara.” Maka Jibril

berkata, “Wahai Muhammad, Sesungguhnya al-Qur‟an diturunkan dalam tujuh

huruf19

Pada kesempatan lain Nabi mermohon kepada Jibril agar mengajarkan kepadanya beberapa macam bacaan semata-mata untuk memudahkan ummatnya membaca al-Qur‟an. Hadits berikut menjelaskan tentang hal itu sebagaimana diriwayatkan oleh Ubay bin Ka‟ab.

ََِِلا َنَأ ٍبْعَك ِنْب َِّبُأ ْنَع

17 Ahmad al-Bily, al-Ikhtilaf Baina al-Qira‟at, (Bairut : 1988), h. 39 18 Ibn Qutaibah, An-Nasyr fi al-Qira‟at, jilid 1, hal 33.

19

Muhammad ibn Isa al-Turmudziy, Sunan al-Turmudziy, Beirut: Dar Ihya‟ Turats al-„Arabiy, t, th,

hadits nomor 2944, Jilid V, h. 194. 20

Muslim ibn Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim, Kitab Musafirin wa Qashruha, (Beirut: Dar Ihya‟

(6)

Dari Ubay bin Ka‟ab bahwa Nabi saw telah berada diawak sungai Bani Ghifar. Lantas beliau didatangi oleh Jibril as sembari berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur‟an kepada umatmu dengan satu huruf”. Rasulullah bersabda, “Aku memohon ampunan dan maghfiroh Allah,

sesungguhnya umatku tidak akan mampu untuk menerima hal tersebut”, Jibril datang

lagi kepada Rasulullah untuk yang kedua kalinya sambil berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk membaca al-Qur‟an kepada umatmu dengan dua huruf, Rasulullah kembali bersabda, “Aku memohon ampunan dan maghfirah Allah, sesungguhnya umatku tidak akan mampu untuk menerima hal tersebut”. Untuk yang ketiga kali, Jibril datang menjumpai Rasulullah sambil berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur‟an kepada umatmu dengan tiga huruf.

Rasulullah kembali bersabda, “Aku memohon ampunan dan maghfirah Allah,

sesungguhnya umatku tidak akan mampu untuk menerima hal tersebut”. Akhirnya Jibril kembali menjumpai Rasulullah untuk yang keempat kalinya sembari berkata,

“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur‟an kepada

umatmu dengan tujuh huruf”. Huruf manapun yang mereka baca, maka dianggap sebagai bacaan yang benar”.

Dengan diturunkannya Al-Qur‟an dalam sab‟ah ahruf. Rasul membacakan Al-Qur‟an dengan bacaan yang sesuai dengan logat dan dialek mereka. Sebab tidak mudah bagi seseorang untuk memahami bahasa dan logat orang lain, selain logat yang dikenalnya sejak lahir dalam waktu singkat, jika toleransi diatas tidak diberikan, maka dengan demikian memahami Al-Qur‟an menjadi beban berat bagi mereka.21

Menyatukan atau menyeragamkan bacaan Al-Quran difase awal turunnya tentu bertentangan dengan kemudahan dan toleransi yang Allah janjikan bagi orang-orang yang mau mempelajari Al-Qur‟an, sebagaimana firman Allah dalam:(QS. al-Qamr/54 : 17) Artinya: “Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al-Quran untuk dipelajari, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran?” Disamping itu adanya ahruf sab‟ah dalam bacaan Al-Qur‟an adalah cara Allah menjamin orisinalitas dan otentisitas al-Qur‟an, sebagaimana firmanNya dalam (QS Al-Hijr/15:9) Artinya:” Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”

Pengertian Sab’ah Ahruf Dan Pengertian Qira’at Sab’ah

Pakar qiraát Abu Syamah mengatakan bahwa banyak orang yang mengira tujuh sistim qiraát yang dikenal dengan qiraát sab‟ah yang ada sekarang ini adalah tujuh huruf atau sab‟ah ahruf yang dimaksud dalam hadits. Dugaan itu menurutnya, menyimpang dari kesepakatan para ulama. Hanya orang-orang yang tak berilmu sajalah yang mempunyai dugaan seperti itu.22

Untuk menghilangkan kerancuan antara, ahruf sabáh dan qiraát sab‟ah, maka berikut ini penjelasan singkat seputar pengertian kedua aspek tersebut.

1. Pengertian Sab‟ah Ahruf

21

Muhammad al-Thohir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunis, Dar sahnun li an-Nashr wa at-Tauzi‟ Jilid 1 h. 51.

22

(7)

Kata “sab‟atu ahruf” dipahami berbeda oleh ulama. Ada yang memahami kata sab‟ah

sebagai bilangan tujuh, dan ada pula yang memahami bilangan yang banyak, karena orang Arab biasa menyebut jumlah banyak dengan kata sab‟ah. Adapun kata ahruf merupakan bentuk plural dari kata harf yang secara etimologi berarti salah satu huruf hijaiyyah. Ada juga yang mengatakan bahwa makna harf secara bahasa adalah tepi sesuatu. Ketika harf

dipahami dalam konteks terminologi sab‟atu ahruf, maka muncullah berbagai macam pendapat. Ada yang memaknainya dengan bacaan, model, bahasa, dialek, cara, segi, atau lainnya23. Menurut Abu Hatim ibn Hibban (w. 354/965) ada sekitar tiga puluh lima pendapat ulama mengenai permasalahan ini.24 Sedangkan menurut al-Suyuthi (w. 991/1583) ada empat puluh pendapat tentang terminologi sab‟atu ahruf.25

Dari berbagai pendapat ulama, secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua:

Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud sab‟ah adalah hakekat bilangan tujuh. Namun mereka berbeda pendapat dalam menentukan makna harf atau ahruf. Sufyan

ibn „Uyainah (w. 198), diikuti Abu „Ubaid Qasim bin Salam (w. 224), Ibn Jarir al-Thabari (w. 310), Abu Syamah (w. 665), al-Qurthubi (w. 761) . Memahami harf adalah bahasa, atau lahjah dimana al-Qur‟an diturunkan.26. Ibnu Qutaibah (w. 276) . Memahami ahruf dari segi perbedaan lafal di mana al-Qur‟an diturunkan. yang dimaksud adalah tujuh macam segi perbedaan. Adapun tujuh macam perbedaan tersebut meliputi a).Perbedaan segi harakat

kalimat, dimana bentuk dan makna tidak berubah, seperti firman Allah :    

   dan , huruf ra‟ selain dibaca dhammah, juga dibaca fathah. b)

Perbedaan I‟rab/harakat, di mana bentuknya sama sedang makna berbeda, seperti firman

Allah:    dan  , huruf ba‟ pada  dibaca dhammah, sedang „ain

dan dal pada ba‟id dibaca fathah.c.) Perbedaan pada huruf, I‟rab tetap, bentuknya sama

makna berbeda, seperti firman Allah:      dan اه ش . Pada

nunsyizuha dibaca dengan zay dan ra‟. 27 d.) Perbedaan bentuk kata, makna tidak berubah 

  dan28 يق e.) Perbedaan pada bentuk kata, makna berubah, 

23 Ibnu Mundzirr, Lisan al-„Arab, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Jilid IX, h. 41 24 Manna‟ Qattan,

Nuzul al-Qur‟an „ala sab‟ah Ahruf, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), Cet. Kel-1,

hal. 32-33

25 Al-Suyuthi, al-Itqan fi „Ulum al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-Fikr, t, th), Jilid I, h. 47 26

Tujuh bahasa yang dimaksud adalah Quraisy (suku terbesar di wilayah Arab), Hudzail, Tsaqif, Kinanah, Hawazin, Tamim dan Yaman. Ada pula yang mengatakan: Quraisy, Hudzail, Tamim, Adz, Rubai‟ah, Hawazin, Sa‟ad ibn Bakar. Lihat Ibnu Mandzur, Lisan al-„Arab, Jilid VI, h. 335

27

QS. Al-Baqarah/2: 259. Nunsyizuha adalah qira‟at Aban dari „Ashim. Lihat Ibnu Khalawaih,

Mukhtashar fi Syawadz al-Qur‟an Min al-Kitab al-Badi‟, Mesir: Mathba‟ah al-Rahmaniyah, 1934, h. 16 28

(8)

 bacaan lain ع 29 . f) Perbedaan antara taqdim dan ta‟khir (diawalkan

dan diakhirkan), seperti firman Allah:      qira‟at lain membaca

لاب قحلا كس ءاج g). Perbedaan antara naqsh dan ziyadah (pengurangan dan penambahan), seperti firman Allah: ي ديا ع ا dan ي ديا ه ع ا

Kedua, mengartikan kata sab‟ah bukan bilangan tujuh, melainkan bilangan yang

bermakna banyak, karena orang Arab biasa menunjuk bilangan banyak dengan kata tujuh.

Banyaknya qira‟at adalah bentuk kemudahan kepada hamba-Nya. Pendapat ini dikemukakan

oleh Ali bin Abi Thalib ra (w. 40), Ibnu Abbas ra (w. 67), Qadhi „Iyadh (w. 544)..

Kenyatannya pendapat yang berkembang dalam kurun waktu yang cukup panjang

adalah pendapat pertama. Karena pendapat ini mengandung kelonggaran, disamping

bermacam qira‟at yang pernah dibenarkan Rasulullah tidak ditunggalkan, tetapi di akomodir. bahkan pendapat pertama ini juga memberikan alternatif lain yang dibolehkan. Sedangkan pendapat kedua, yang memahami kata sab‟atu ahruf dengan makna banyaknya qira‟at, sebagai kemudahan dan kelonggaran bagi umat islam ketika itu, tidak mendapat legitimasi ulama, karena membolehkan adanya qira‟at dengan bilangan yang tak terbatas, akan

membuka peluang bagi siapa saja untuk membaca Al-Qur‟an dengan dialek masing-masing,

tanpa dibatasi oleh bahasa atau dialek tertentu. 30. Adanya tujuh macam huruf (sab‟atu ahruf) dalam bacaan Al-Qur‟an inilah yang menjadi sebab dibalik munculnya bermacam-macam

qira‟at, dan pada akhirnya menjadi embrio dari lahirnya disiplin ilmu qira‟at.

Keragaman qira‟at yang terjadi di kalangan ulama juga ditopang oleh teks awal

Al-Qur‟an yang ditulis tanpa tanda baca dan titik. Ketiadaan tanda baca ini memungkinkan

timbulnya perbedaan dalam membaca Al-Qur‟an. Seperti kata اه ش pada firman Allah QS.

Al-Baqarah/2: 259: اه ش فيك اظعلا ىلا ظ ا karena tidak bertitik bisa dibaca اه ش dan

اه ش . Contoh lain kata س (al-silmi) pada firman Allah QS. Al-Baqarah/2: 208 :

 





   

Karena tidak berbaris bisa dibaca س (salmin) dan س (silmun)

Sumber Qira’at

Sebagaimana Al-Qur‟an diyakini bersumber dari wahyu yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad saw. Maka Qira‟at yang mutawatir juga dianggap bersumberkan wahyu. Dua hadits berikut ini bisa dijadikan dalil bahwa qira‟at memang bersumber pada Nabi saw. Dua hadits tersebut adalah:

29 QS. Al-Waqi‟ah/56: 29. Yang membaca wa thal‟in (dengan „ain) qira‟at Ali Ibn Abi Thalib. Lihat Ibnu Khalawaih, Mukhtashar fi Syawadz al-Qur‟an, h. 151

30

(9)

لاقف فرح ىلع نآرقلا أرقي نأ رمأ اعت ه نأ ملس و يلع ه ىلص ي لا نع بعك نب يأ نع ىليل يأ نب نمرلا دبع نع

فرحأ ةعبس ىلع نآرقلا أرقي نأ رمأف يمأ نع ففخ بر

Diberitakan oleh Abd ar-Rahman dari Ubay Ibn Ka‟ab dari Nabi saw. Bahwa Allah swt. telah memerintahkanNya untuk membaca Al-Qur‟an satu huruf. Maka Nabi berkata Tuhanku beri keringanan bagi umatku. Maka Allah memerintahkan Nabi untuk membacakan Al-Qur‟an (dengan bacaan) Sab-ah ahruf.

ناقرفلا ةروس أرقي ميك ا نب ماش تعم لوقي باط ا نب رمع تعم : لاق يراقلا دبع نب نمرلا دبع نع ربزلا نب ةورع نع

تببل ُ فرصنا ِح تلهمأ ُ يلع لجعأ نأ تدكف اهيبأرقأ ملس و يلع ه ىلص ه لوسر ناكو يلع ا ؤرقأ ام رغ ىلع

اهي تارقأ ام رغ ىلع ناقرفلا ةروس أرقي اذ تعم يإ ه لوسر ا : تلقف ملس و يلع ه ىلص ه لوسر ب تئجف ئادرب

ُ تلزنأ اذك : ملس و يلع ه ىلص ه لوسر لاقف أرقي تعم يلا ةءارقلا أرقف أرقا : ملس و يلع ه ىلص ه لوسر ل لاقف

أرقا : لاق

] م رسيت ام اوؤرقاف فرحأ ةعبس ىلع لزنأ نآرقلا اذ نإ تلزنأ اذك : لاقف تأرقف

“Dari urwah ibn Zubbair, dari Abd ar-Rahman ibn al-Qoriy, ia mengatakan telah mendengar Umar ibn KHothob berkata : Aku mendengar Hisyam ibn al-Hakim membaca surah al-Furqan bukan seperti yang dibaca (oleh para sahabat) dan yang dibaca Rasul. Hampir saja aku menghantamnya, namun aku mengurungkannya sampai dia selesai (shalat). kemudian aku tarik bajunya dan aku bawa dia kehadapan Rasulullah saw. Maka aku berkata: ya Rasulallah saya mendengar (orang ) ini membaca surah al-Furqan bukan seperti apa yang engkau bacakan kepadaku. Rasul

kemudian berkata (kepada Hisyam) : “Bacalah, (Hisyam) Lalu membaca (surah al

-Furqan) dengan bacaan seperti yang aku dengar. (setelah mendengar bacaan Hisyam) Rasul kemudian bersabda: Demikianlah (Al-Qur‟an ) diturunkan. Kemudian Rasul berkata kepadaku : :Bacalah, maka aku membaca (surah al-Furqan). Sesudahnya Rasul bersabda: Begitulah (Al-Qur‟an ) diturunkan. Sesungguhnya Al

-Qur‟an ini diturunkan dalam sab‟ah ahruf, bacalah (dengan bacaan ) yang

memudahkan kalian.31

Dua hadits ini dengan gamblang menjelaskan bahwa semua qira‟at yang mutawatir

tauqifi, artinya bersumber dari Allah, bukan hasil ijtihad manusia. Kedudukan qira‟at seperti ini menjadi pegangan para ulama qira‟at sampai saat ini. Misalnya Al-Dimasyqiy menganggap bahwa ilmu qiraát sebagai disiplin ilmu yang berbicara tentang tata cara artikulasi dan ragam perbedaan lafazh al-Qurán bersumber dari informasi perawi yang tentu saja sumber utamanya adalah Rasulllah saw.32

Karena posisi qira‟at yang shahih itu sama dan sebanding dalam keshahihannya dan nilai

ta‟abbudiyahnya, maka kita tidak boleh mentarjih diantara qira‟at mutawatir yang beragam itu, yang dibolehkan hanyalah memilih diantara qira‟at-qira‟at itu yang akan kita ikuti dan menjadi bacaan kita. Sedangkan qira‟at-qira‟at lainnya menambah penjelasan dari qira‟at yang di ikuti, sebab ulama qira‟at sepakat mengatakan:”Ta‟addudul qiraat yunazzilu

manzilata ta‟adudu al-ayat.33

31 Shahih al-Bukhari , kitab fadhail Al-Qur‟an Bab Unzila Al-Qur‟an ala sab‟ah ahruf jilid vi hal 185. 32

Abu syamah al-Dimasyqiy,Ibraz Al-Ma‟ani min Hirz al-Amany fi Qira‟at al-Sab‟ah Ii al-Imam al-Syathibi, h.12. Ibn Asyur Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir jilid 1, h 63

(10)

Sejarah Perkembangan Qira’at

a. Masa Nabi dan Sahabat

Pada masa Al-Qur‟an diturunkan secara bertahap berlangsung. Setiap ayat yang turun akan dihafal dengan baik oleh Rasulullah saw. sendiri maupun para Sahabat Pemeliharaan Al-Quran dari sisi tulisan dilakukan dengan cara menunjuk secara resmi beberapa orang Sahabat sebagai penulis wahyu seperti: „Ali ibn Abi Thalib, Mu‟awiyah ibn Abi Sufyan,

Aban ibn Abi Sa‟id, Khalid ibn Walid, Ubay ibn Ka‟ab, Zaid ibn Tsabit dan Tsabit ibn

Qais.34

Selain mengemban tugas resmi sebagai penulis Al-Qur‟an, beberapa orang sahabat yang disebutkan diatas dan beberapa sahabat lainnya juga memiliki dokumen atau catatan pribadi yang terkait dengan Al-Qur‟an, seperti Ali ibn Abi Thalib, Ubay ibn Ka‟ab, Abdullah

ibn „Abbas, Abdullah ibn Mas‟ud dan „Aisyah.Tulisan Al-Qur‟an juga dicek oleh Rasulullah, Bahkan sebelum Rasulullah wafat- menurut sebuah riwayat- Zaid ibn Tsabit telah menyerahkan dokumen tertulis yang mengakomodir semua huruf dan qira‟at kepada Rasulullah untuk dikoreksi. 35

Uraian diatas menegaskan kepada kita bahwa landasan periwayatan qira‟at dan pemeliharaannya melalui dua cara, disamping hafalan yang tertanam dalam sanubari Rasulullah saw dan para Sahabat sebagai landasan utama, juga dalam bentuk tulisan. Dengan demikian orisinalitas Al-Qur‟an dan otentisitasnya yang memang sudah dijamin oelh Allah SWT,36 baik dari sisi hafalan maupun tulisan tetap terjaga.

Perbedaan bacaan Al-Qur‟an di kalangan Sahabat tidak menimbulkan persoalan

karena mereka memahami betul bahwa perbedaan qira‟at tersebut bukan hasil rekayasa atau ijtihad sahabat, tetapi merupakan petunjuk Tuhan kepada Nabi (taufiqi).,oleh sebab itu setiap

qira‟at disandarkan langsung kepada Nabi. Qira‟at yang diterima Sahabat dari Nabi itulah

yang kelak menjadi pedoman ketika qira‟at menjadi disiplin ilmu tersendiri. Situasi seperti digambarkan di atas berjalan hingga masa Umar. Para Sahabat mengajarkan Al-Qur‟an dengan qira‟at masing-masing

Pada masa pemerintahan khalifah Usman, perbedaan qira‟at yang selama ini ditolerir keberadaannya, mulai mengarah kepada pertentangan di kalangan umat Islam. Kasus pertikaian pernah disaksikan langsung oleh Khuzaimah al-Yamani, antara pasukan Syam dan Irak saat penaklukan kota Armenia dan Azerbaijan.37 Pertikaian terjadi karena tidak adanya Al-Qur‟an standar yang menyatukan cara bacanya. Berdasarkan kasus ini Khuzaimah mengusulkan kepada khalifah Usman agar menuliskan kembali Al-Quran untuk dijadikan sebagai master atau pedoman yang standar. Berdasarkan usul itu, Usman membentuk tim

yang terdiri dari empat orang: Zaid ibn S|abit (w. 45) sebagai ketua, dan Sa‟id ibn Ash al -Amawi (w. 59), Abdullah ibn Zubair al-Asadi (w. 73), dan Abdurrahman ibn Harits ibn Hisyam al-Makhzumi (w. 43) sebagai anggota.38

34

Abd al-Fattah al-Qadhi,Tarikh al-Mushaf al-syarif,Kairo:Maktabah al-Husaini,t.th, 35 Manna‟ Qattan,

Nuzul al-Qur‟an „ala sab‟ah ahruf, h. 124

36

Lihat firman Allah: QS Al-Hijr/15:

Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

37 Ibn Jarir Al-Thobari,Tafsir Jami‟ al-Bayan, jilid 1, h 61.

(11)

Sebelum pelaksanaan tugas ini, Usman memberlakukan beberapa syarat, yaitu

pertama“Jika terjadi perselisihan dalam soal tulisan dengan Zaid ibn S|abit, maka hendaklah ditulis dengan bahasa Quraisy, karena Al-Qur‟an diturunkan dengan bahasa Quraisy.39 Pesan ini disampaikan mengingat zaid adalah orang Anshar, sedang ketiga anggotanya berasal dari suku Quraisy. kedua, qira‟at yang diakomodir dalam mushaf adalah qira‟at yang sudah dikoreksi di hadapan Nabi, sehingga qira‟at yang sudah di-naskh atau periwayatannya hanya mencapai derajat ahad tidak dimasukkan dalam mushaf standar.

Mushaf hasil kodifikasi Utsman yang masyhur dengan sebutan “Mushaf „Utsmani”,

menjadi mushaf standar dan rujukan bagi seluruh umat Islam hingga kini. Berikutnya Usman menghimbau agar semua mushaf pribadi yang pernah ditulis dihadapan Nabi, diserahkan untuk kemudian dimusnahkan demi menjaga keutuhan umat, jangan sampai hanya karena perbedaan qira‟at umat islam bertikai dikemudian hari. Kebijakan membakar mushaf tersebut dinilai sebagai sadd al-Dzari‟ah, upaya menjaga kemaslahatan dan keutuhan umat Islam. Dalam konsep fikih, apapun yang ditetapkan dan sudah menjadi keputusan pemerintah atau penguasa mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sehingga wajib ditaati, sebagaimana kaedah ushul fiqh mengatakan : فاخلا عفريو مازلا مكاحلا مكح 40 (Artinya: keputusan pemerintah adalah mengikat dan menghilangkan semua perbedaan pendapat).

Khalifah Utsman ketika mengirim mushaf standar ke berbagai wilayah juga menyertakan para muqri‟ dengan bacaan yang standar. Al-Zarqani menyebutkan bahwa Sahabat yang diberi tanggungjawab untuk mengajarkan mushaf kekawasan Madinah adalah

Zaid ibn Tsabit, kekawasan Makkah dengan muqri‟„Abdullah ibn al-Saib (w. 70/690), kekawasan Syam Al-Mughirah ibn al-Saib (w. 71/690), kekawasan Kufah Abu Abdurrahman Al-Sulami, dan ke Bashrah „Amir ibn „Abd al-Qais.41

b. Masa Tabi‟in

Pada masa Tabi‟in, yakni pasca disusunnya mushaf Usmani periwayatan qira‟at seperti pada masa Sahabat tetap berlangsung. Di masa Tabi‟in inilah masa keemasan dan kematangan disiplin ilmu qira‟at berlangsung. Antusias masyrakat dalam mengkaji ilmu ini sangat besar. Sehingga pada abad kedua Hijriyah, lahirlah ahli-ahli qira‟at hasil bimbingan

Sahabat, di antaranya Abu Ja‟far Yazid ibn Qa‟qa‟ (w. 130/747), Nafi‟ ibn Abd al-Rahman

(w. 169/785) qurra‟ wilayah Madinah, Ibn Katsir al-Dary (w. 120/737), Humaid ibn Qais

al-A‟raj(w. 123/740) qurra‟ Makkah, Abdullah al-Yahshubi atau „Amir (w. 118/736) qari‟ dari

Syam, Abu „Amr (w. 154/770) qari‟ Basrah, „Ashim al-Jahdari (w. 128/745), „Ashim ibn Abi al-Najud (w. 127/744), Hamzah ibn Hubaib al-Zayyat (w. 188/803), Sulaiman al-A‟masy (w.

119/737) qurra‟ dari Kufah.42

Pada masa Tabi‟in ini buku-buku qira‟at hasil karya para qurra‟ bermunculan, seperti Abu „Ubaid al-Qasim ibn Sallam (154-224/774-838) menulis sebuah buku dengan judul

al-Qira‟at. Dalam karya ini, ia mengangkat 25 qira‟at termasuk di dalamnya imam qira‟at sab‟.

Ahmad ibn Jubair al-Kufi (w. 258) menulis kitab qira‟at al-khamsah, Isma‟il ibn Ishaq al -Maliki (w. 282) menyusun kitab qira‟atyang mengangkat 20 qira‟at, termasuk di dalamnya imam qira‟at sab‟ah, al-Thabari (w. 310) menyusun karya yang diberi nama al-Jami‟, yang

39 Lihat al-Zarqani, Manahil al-„Irfan fi Ulum al-Qur‟an, Jilid I, h. 334. 40

Jalal al-Din Al-suyuthi, al-Asybah wa al-Nadzair, juz 2, h. 479, Maktabah al-Syamilah, 41 AL-Zarqoniy,Manahil al-Irfan fi ulum al-Qur‟an, jiid 1,h 337.

42

(12)

mengangkat kurang lebih 20 qira‟at, Abu Bakar al-Dajuni (w. 324) menyusun kitab qira‟at

dengan memasukkan Abu Ja‟far (salah satu Imam qira‟at sepuluh), dan Ibnu Mujahid (w.

324) mengarang buku berjudul “Kitab al-Sab‟ fi Al-Qur‟an” yang mengangkat nama imam-imam qira‟at tujuh. Karya-karya ini menjadi petanda lahirnya disiplin ilmu qira‟at.

Parameter keshahihan sebuah qira’at

Mengingat banyaknya ragam qirâ‟ât yang beredar dikalangan umat islam yang diriwayatkan oleh para qâri‟, Maka untuk menentukan kualitas qirâ‟ât, para ulama membuat parameter berupa syarat-syarat, sebagai ketentuan untuk dijadikan acuan ketika menilai shahih atau tidaknya sebuah qirâ‟ât. Parameter ini meliputi:1) Qira‟at itu harus memiliki rangkaian sanad yang shahih dan bersambung sampai kepada Rasulullah saw.2)redaksi dari

qira‟at itu harus sesuai dengan kaedah bahasa Arab.3) Bentuk tulisannya harus sesuai dengan

salah satu rasm (gambararan dari tulisan) mushaf Utsmâni.

Diantara ulama yang menetapkan tiga parameter ini adalah syaikh al-Makki ibn Abî Tâlib (w.347)43. Parameter ini dipopelerkan oleh Ibnu al-Jazari (w.833) yang dicantumkan

dalam bait “Thaibah al-Nasyr” yang artinya adalah: “Setiap Qirâ‟ât apabila sesuai dengan

kaedah nahwu (bahasa), sesuai dengan rasm Utsmani, dan memiliki sanad shahih maka

wajib diakui ke Qur‟anannya.” Inilah tiga rukun yang harus dipenuhi, sekiranya tidak

terpenuhi tiga syarat tersebut maka qira‟atitu dianggap syadz”44

Klasifikasi Qirâ’at.

Klasifikasi qirâ‟ât didasarkan pada dua kategori, yaitu berdasarkan pada kategori kualitas keabsahan qirâ‟ât dan berdasarkan kuantitas jumlah perawinya. Pertama: Qirâ‟ât

berdasarkan Kualitas Keshahihannya. Al-Suyûthi memaparkan kwalitas qirâ‟ât yang

didasarkan pada jumlah perawi, menjadi: a. Qirâ‟ât Mutawâtir, yaitu qirâ‟ât yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari sekelompok orang, sehingga di masing-masing tingkatan perawinya dan rangkaian sanadnya tidak mungkin terjadi kebohongan. Contoh

qirâ‟ât mutawatir adalah qirâ‟ât sab‟ah. b. Qirâ‟ât Masyhûr adalah qirâ‟ât yang memiliki

sanad berkualitas shahih yang diriwayatkan oleh para perawi yang adil dan dhabit, serta

sesuai dengan kaedah bahasa Arab dan salah satu rasm mushaf „Utsmani. Jenis qirâ‟ât ini cukup masyhur di kalangan ahli qirâ‟ât, hanya saja jumlah perawi dalam sanadnya tidak mencapai jumlah mutawatir. c. Qira‟at Ahad adalah qirâ‟ât yang memiliki sanad berkualitas

shahih, namun tulisannya tidak bersesuaian dengan rasm mushaf „Utsmani dan kaedah tata

bahasa Arab. Jenis qirâ‟ât ini tidak boleh dibaca dan tidak wajib diyakini keberadaannya; d.

Qirâ‟ât Syâdz yaitu qirâ‟ât yang kualitas sanadnya tidak shahih. Contohnya seperti bacaan

ي ك

يدلا pada surat al- Fâtihah:e.Qirâ‟ât Maudhû‟ yaitu qirâ‟ât yang diriwayatkan oleh seorang perawi tanpa memiliki asal-usul yang jelas. f. Qirâ‟ât Mudraj yaitu bacaan yang disisipkan dalam al-Qur‟an oleh perawinya sebagai penafsiran. Contohnya adalah qirâ‟ât

43

Ulama dalam menetapkan validitas qiraat berbeda pendapat, namun perbedaan itu tidak keluar dari tiga parameter sebagaimana disebut di atas. Diantara mereka hanya menetapkan dua, yaitu keshahihan sanad dan kesesuaiannya dengan rasm mushaf utsmani saja. Lihat al-Bili, Al-Ikhtilaf Bain al-Qirâ‟ât, h. 76-77

44

(13)

Ibnu „Abbas yang menambahkan kata جحلا سا يفpada firman Allah ا غ ا ح ا ج كي ع سيل

(جحلا سا يف) كب ا ف

Kedua, Qirâ‟ât berdasarkan Jumlah perawinya. Berdasarkan jumlah perawi dan mengacu kepada validitas keabsahan qirâ‟ât, ulama membagi tiga kategori qirâ‟ât yaitu: a.

Qirâ‟ât Sab‟ah adalah qirâ‟ât yang diriwayatkan oleh tujuh imam qirâ‟ât dengan tujuh

perawi disetiap qirâ‟ât nya. Tujuh qirâ‟ât ini dihimpun dan dipopulerkan oleh Abu Bakar Ibnu Mujâhid (w.324/938),45. sejak masa awal Islam hingga kini ada consensus (ijma‟) bahwa tujuh qirâ‟ât ini diakui sebagai qira‟at yang mutawatir, Paraqurra‟ yang dinisbatkan kepadanya qira‟at sab‟ah adalah :Nafi‟. Ibn „Amir, Ibn Katsir, Ab „Amr, „Ashim, Hamzah dan Al-Kisai. b Qirâ‟ât „Asyrah adalah qirâ‟ât yang diriwayatkan oleh sepuluh imam qirâ‟ât. Jumlah sepuluh tersebut terdiri atas tujuh qirâ‟ât sab‟ah ditambah tiga qirâ‟ât lainnya,

yaitu:1.Abu Ja‟far al-Makhzumi al-Madani 2,Ya‟qub al-Hadhrami 3. Khalaf ibn Hisyâm al-Bazzâr. c. Qirâ‟ât Arba‟a Asyrah. Ketika masa pembukuan berbagai ilmu keislaman, termasuk juga ilmu qira‟at, beberapa pakar qira‟at mulai mngumpulkan qira‟at dan membukukannya, baik qira‟at yang shahih, mutawatir, begitu juga dengan qira‟at yang

syadzdzah, dimana sumber qira‟at yang terakhir ini adalah hafalan dan ingatan yang masih tersisa. Karena dokumen tertulisnya telah dimusnahkan atas perintah Utsman. qira‟at

syadzdzah juga banyak diakomodir pakar-pakar tafsir dalam buku-buku tafsir mereka46.

Tujuannya, disamping menyempurnakan imformasi seputar qira‟at, juga untuk memperjelas

penafsiran, karena qira‟at syadzdzah bisa menambah jelas makna ayat yang dibaca dengan

qira‟at yang mutawatir. nama-nama qurra‟ yang banyak memperkenalkan qira‟at syadzdzah.

adalah empat orang qurra‟ yang paling dikenal, yang menambah jumlah qira‟at dari sepuluh menjadi empat belas qira‟at atau yang terkenal dengan “ Qirâ‟ât arba‟a Asyrah”.47 Empat orang qurra‟ yang dimaksud adala 1.Ibn Muhaisin 2.Yahya al-Yazidi 3. Hasan al-Bashri 4.al-A‟masy

Hubungan Qira’at Dengan Penafsiran

Muhammad bin Muhammad al-Thahir bin Asyur al-Tunisi (1296-1393 H/ 1879-1973 M). Dalam muqaddimah kitab tafsirnya membahas tentang qirâ‟at dan pengaruhnya terhadap penafsiran Al-Qur‟an. Menurut Ibn „Asyur hubungan antara qirâ‟at dan tafsir dapat dikelompokkan menjadi: pertama, qirâ‟at yang tidak berimplikasi pada penafsiran dan Kedua, qirâ‟at yang berimplikasi pada penafsiran.48

Jenis pertama, yaitu qirâ‟at yang tidak berimplikasi pada penafsiran, diantaranya disebabkan oleh perbedaan pengucapan huruf, tanda baca (harokat), panjang dan pendeknya bacaan (mad), al-Imalah, al-Takhfif, al-Tashil, al-Tahqiq, al-Jahr, al-Hams dan al-Gunnah. Beliau mencontohkan pada ayat (al-Baqarah/ 2:254):

45

Ibnu Mujâhid, kitab al-Sab‟ah, h.15

46Fakhruddin al-Razi (w. 1210) adalah mufassir bermadzhab syafi‟I, termasuk yang banyak memaparkan Qira‟at Syadzdzah dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an, meskipun terkadang ia menjelaskan atau mengomentari status Qira‟at tersebut, terkadang tidak. Padahal al-Razi termasuk mufassir yang cenderung mengambil sikap tidak menjadikan Qira‟at syadzdzah sebagai hujjah. Sebagai contoh sikapnya tersebut dapat dilihat pada penafsiran al-Razi dan komentarnya pada QS al-Baqarah, 2:226, yang membahas tentang „ila‟. Lihat tafsirnya Mafatih al-Ghaib, Mesir: Maktabah al-Taufiqiyah, tth, jilid III, h, 78.

47

Ahmad al-Beilly, Ikhtilaf baina al-Qira‟at ,h 111-112.

48

(14)

 menimbulkan perbedaan makna yang dapat mempengaruhi penafsiran Al-Qur‟an.49 Jenis bacaan yang kedua adalah qirâ‟at yang berimpliksi terhadap penafsiran (QS Yusuf 12: 11).

 ك   seperti pada kata kudzdzibu bisa dibaca dengan tasydid pada huruf dzal

yang bermakna mereka (yaitus para Nabi) telah didustakan kaumnya, atau bisa dibaca tanpa

tasydid, yang bermakna mereka (yaitu orang-orang yang berdosa dan melanggar larangan Allah) telah mendustakan Rasul. Perbedaan bacaan ini berimplikasi pada penafsiran.50

Qira‟at lainnya yang berimplasi pada penafsiran adalah pada ayat yang membahas

tentang thaharoh yaitu QS al-Baqoroh/2 :222 ,



“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu gangguaan". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelummerek suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri."

3. Qira‟atUbay ibn Ka‟ab dan Abdullah ibn Mas‟ud membacanya yathathohharna

4. Anas ibn Malik membaca yatathohharna ي ح ه ل عا يح يف ءاس لا ا ب ق ا 51 ط ي

Qira‟at pertama dan kedua statusnya mutawatir, sedangkan qira‟at ketiga dan ke

empat statusnya syadzdzah. Perbedaan qira‟at ini juga memberi perbedaan penafsiran.

Bacaan pertama yathhurna memberi makna bahwa suami boleh menggauli istri setelah terputusnya darah haidh walaupum belum mandi (junub). Sedangkan Al-Thabari dan al- Zmakhsyari menafsirkan bacaan keduan yaitu kata yaththoharna dengan hatta yaghtasilna

49

Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir Jilid 1 h. 50. 50

Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir Jilid 1 h. 55. 51

(15)

artinya sampai mandi. Hukum yang timbul akibat dari penafsiran ini suami tidak boleh menggauli istri sampai berhentinya darah haid dan mndi (hadats atau mandi junub).52 Sedangkan bacaan/qira‟at ke tiga memperjelas makna qira‟at yang kedua yaitu menerangkan asal kata yaththoharna. Sementaraqira‟at ke empat Abu Hayyan mengatakan bahwa qira‟at ini hanya dianggap sebagai tafsir dari bacaan yang shahih, bukan al-Qur‟an karena banyak menyalahi tulisan (rasam usmaniy).53Menurut Ibn Athiyyah qira‟at kedua dan ketiga masing -masing mengandung makna terhentinya darah haidh dan mandi dengan air. Hal ini diperkuat

dengan redaksi ayat berikutnya yaitu     

Berdasarkan pendapat ini Imam Malik dan Imam Syafi‟I berpendapat suami baru boleh menggauli istrinya setelah istri mandi. Qira‟at pertama mengandung makna hanya terputusnya darah haidh suami sudah boleh menggauli istrinya, meskipun belum mandi. Berdasarkan penafsiran ini ImamAbu Hanifah menurut Al- Shobuni membolehkan suami menggauli istrinya setelah terhentinya darah haidh tanpa perlu mandi terlebih dahulu. 54

Melihat perbedaan pendapat diatas menimbulkan pertanyaan apakah pendapat imam

Syafi‟I yang didasarkan pada qira‟at yang shahih dan mutawatir berari menolak bacaan

/qira‟at pertama yang juga mutawatir yaitu qira‟at yang dijadikan landasan hukum oleh imam

Abu Hanuifah? Al- Rozi menjawab pertanyaan diatas dengan mengatakan bahwa Syafi‟I

menerima seluruh qira‟at mutawatirah. Jika terdapat perbedaan makna diantara qira‟at itu,

maka wajib dikompromikan, jika memungkinkan. Kedua qira‟at tersebut mengandung makna

berhenti darah haidh sebagaimana di tunjukkan pada qira‟at Yathhurna dan mengandung makna mandi pada qira‟at Yaththoharna. Menurut hujjah Syafi‟I kedua qira‟at tersebut dapat

dikompromikan, sehingga dapat difahami bahwa suami baru boleh menggauli istri setelah istri berhenti darah haidhnya dan mandi janabah, Hujjah kedua adalah mengaitkan bersetubuh

dengan bersuci, yang termaktub dalam redaksi ayat selanjutnya   

Yang menunjukkan bahwa kebolehan bersetubuh apabila terpenuhi satu syarat, yaitu bersuci. Dengan kata lain bersuci menjadi syarat boleh melakukan hubungan suami istri.55Dengan dua contoh diatas terbukti bahwa ada pengaruh / implikasi qira‟at terhadap penafsiran.

DAFTAR PUSTAKA

ʻAbd al-Baqi, M. Muhammad Fuad, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Faz al-Qur‟an al-Karim, Beirut: Dar al-Fikri, 1412 H/1992

Abd al-Fatah, Budur al-Zahirah fi al-Qira‟ât al-„Asyr, Libanon: Maktabat Mushtafa al-Bâb al-Halaby, t.th.

Abu al-Faraj, Sayyid Laysin dan Khalid Muhammad al-Hafizd, Taqrib al-Ma‟ani fi Syarh Hirz al-Amani fi al-Qira‟at al-Sab‟, Madinah: Dar al-Zaman, t.th

52 Al-Thabari, Jami‟ al-Bayan,jilid 4,h.385 53

Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhith, jil II, h 424.

54 Muhammad al-Shobuni, Rawa‟I al-bayan, Damaskus: Maktabah al-Ghozali, 1980, cet ke 3, jil. I, h.302-303

55

(16)

Abu Zar‟ah Abd al-Rahman Ibn Muhammad, Hujjah al-Qira‟at, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1404 H/1989 M

Anis, Ibrahim, al-Muj‟am al-Wasit, Mesir: Dar al-Ma‟arif, 1392 H

Bazamul, Muhammad Ibn Umar Ibn Salim, Al-Qira‟at wa „Ashruha fi al-Tafsir wa al-Ahkam, Riyadh: Dar al-Hirah, 1417 H/1996 M

Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989

al-Dimasyqiy, Abu syamah, Ibraz Al-Ma‟ani min Hirz al-Amany fi Qira‟at al-Sab‟ah Ii al -Imam al-Syathibi, Mesir, Maktabah Mustafa al-Albaniy al-Halabiy wa Auladuhu,tth al-Duri, Abu Umar Hafsh bin Umar, al-Qira‟at al-Waridah fi as-Sunnah, Kairo: Dar

al-Salam, 2006

al-Habasy, Muhammad, Al-Qira‟at al-mutawatirah wa atsruha fi a l-rosm Utsmany wa al-ahkam al-syar‟iyah, Beirut: Dar-al-Fikri1419 H/1999

Ibnu Asyur, Muhammad al-Thohir, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunis: Dar sahnun li an-Nashr wa at-Tauzi‟, t.th

Ibn Faris, Mu‟jam maqoyis al-Lughoh, Beirut: Darul Fikri, 1994

Ibnu al-Jazari, Thayyibah anNashir fi al-Qira‟at al-„Asyr, Madinah: Maktabah Dar al-Hud, t.th

Ibn Mandzur- Lisan al-Arab, Beirut, Dar al Fikri, t.th

Ismail, Nabil Muhammad Ibrahim Ali, Ilmu al-Qira‟at Nasy‟atuhu, athwaruhu, atsaru fi al-Ulum as-Syar‟iyah, Riyadh: Maktabah at-Taubah, 2000.

Ismail, Sya‟ban Muhammad, Al-Qira‟at Ahkamuha wa Masadiruha Semarang: Dina Utama, 1993

Kharuf, Muhammad Fahd, Al-Tashil li Qira‟at al-Tanzil, Damaskus: Maktabah Dar al-Bairuti, 1420 H/1999 M

al-Qadhi, Abdul Fatah, Tarikh al-Mushaf al-Syarif, Kairo: Maktabah wa al-Matba‟ah Husaini, t.th.

al-Qattan, Manna‟, Nuzul al-Qur‟an „ala sab‟ah Ahruf, Kairo: Maktabah Wahbah, 1991 Shihab, M Quraish, Tafsir Al-Misbah, Penerbit Lentera hati, November 2000.

al-Suyuthi, Jalaluddin, al-Itqan Fi Ulum al-qur‟an, Bairut :Daar al-Fikr, 1979

al-Turmudziy, M. Muhammad ibn Isa, Sunan al-Turmudziy, Beirut: Dar Ihya‟ Turats al

-„Arabiy, t, th, hadits nomor 2944

Widayati, Ramlah, Qira‟at Syazah dalam tafsir Al-Bahr Al-Muhith karya abu Hayyan, disertasi UIN Tahun 2008

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya,

(Medinah Munawwarah: Mujamma‟ al-Malik Fahd Li Thiba‟at al-Mushaf al-Syarif,

Waqaf Lillahi Ta‟ala Min Khadim al-Haramain al-Syarifain al-Malik Fahd bin ʻAbd al-ʻAziz al-Sa‟ud, Raja Kerajaan Saudi Arabia, 1418), Kholid Bin Muhammad, al -Minah al-IlahiyahFi Jam‟i al-Qiraat, Madinah

al-Zarkasyi, Badrudin Muhammad ibn Abdillah, al-Burhan fi Ulum al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-ma‟rifah, 1391

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini akan berusaha mengungkapkan bagaimanakah pengaruh penguasaan aspek mekanis bahasa (ejaan dan tanda baca)

Hasil pengujian terhadap dua jenis FBG yaitu yang memiliki perbedaan spektrum panjang gelombang menunjukkan hasil yang serupa dalam hal pengaruh perbedaan suhu terhadap

Kombinasi hormon IAA 3 mg/l dan BA 7 mg/l menghasilkan pertambahan diameter paling rendah dapat disebabkan oleh imbangan hormon IAA dan BA yang diberikan pada eksplan

Ketiga penelitian yang membahas tentang penafsiran Misbah Mustofa dalam kitab tafsirnya yakni al-Iklīl Fī Ma‘ānī al-Tanzīl, penelitian ini mengambil posisi yang berbeda

Rendahnya pemakaian MKJP di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya faktor internal (umur, pendidikan, status bekerja, jumlah anak, tujuan menggunakan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan laju korosi pada proses pembubutan yang disebabkan oleh penggunaan variasi coolant yang berbeda. Jenis penelitian

Selain pasteurisasi perbedaan dosis rennet yang berbeda juga dapat menyebabkan perbedaan kadar lemak yang dihasilkan, hal ini disebabkan bahwa semakin

Keterangan : Huruf diatas diagram menujukkan adanya perbedaan jika huruf berbeda, berdasar uji LSD pada α=0,05 X1 = Perlakuan penambahan cakar ayam 10 %/ berat bahan pokok X2 =