• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi amar Ma'ruf nahi munkar menurut al-qur'an (kajian terhadap tafsir fi zilal al-qur'an karya sayyid Qutb)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Deskripsi amar Ma'ruf nahi munkar menurut al-qur'an (kajian terhadap tafsir fi zilal al-qur'an karya sayyid Qutb)"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

DESKRIPSI

AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR

MENURUT AL-

QUR’Â

N:

(Kajian Terhadap Tafsir Fî Zilâl Al-

Qur’ân

Karya Sayyid Qutb)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

ABDUL HADI BIN MOHD

NIM: 109034000106

PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

DESKRIPSI

AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR

MENURUT AL-

QUR’Â

N:

(Kajian Terhadap Tafsir Fî Zilâl Al-

Qur’ân

Karya Sayyid Qutb)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

ABDUL HADI BIN MOHD

NIM: 109034000106

PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

DESKRIPSI

AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR

MENURUT AL-

QUR’Â

N:

(Kajian Terhadap Tafsir Fî Zilâl Al-

Qur’ân

Karya Sayyid Qutb)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

ABDUL HADI BIN MOHD NIM: 109034000106

Di Bawah Bimbingan:

DR. AHSIN SAKHO M. ASYROFUDDIN, MA.

NIP: 19560221 199603 1 001

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “DESKRIPSI AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR MENURUT AL-QUR’ÂN, (Kajian terhadap Tafsir Fî Zilâl Al-Qur’ân,

Karya Sayyid Qutb)” telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas

Ushuluddin “UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” pada tanggal 16 Agustus 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata Satu (S1) Pada Jurusan Tafsir Hadis.

Jakarta, 16 Agustus 2010

(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 24 Mei 2010 ;

ABDUL HADI BIN MOHD NIM : 109034000106

(6)

KATA PENGANTAR

ميحرلا نمحرلا ه مسب

Segala puji penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah membimbing manusia dengan petunjuk-petunjuk-Nya sebagaimana yang terkandung dalam Al-Qur‟ân dan As-Sunnah, petunjuk menuju ke jalan yang lurus dan jalan yang diridhai-Nya. Demikian juga, penulis bersyukur kepada-Nya yang telah memudahkan pengisian, penulisan dan penyajian skripsi yang sederhana ini hingga dapat diselesaikan.

Selawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, para sahabat, keluarga, dan para pengikutnya sampai di hari kiamat, terutama mereka yang memelihara keutuhan, kemurnian, dan otentisitas Al-Qur‟ân dan As-Sunnah baik dengan cara penghapalan, periwayatan, penulisan, pengkodifikasian, pengkajian, pengamalan, dan penerbitan.

Dengan rasa syukur ke hadrat Ilahi atas pertolongan dan petunjuk-Nya dalam memberi kesempatan dalam nikmat Iman dan nikmat Islam, dan menjadi salah seorang mahasiswa di Universitas yang terkenal di Jakarta, maka penulis membentangkan skripsi yang berjudul “Diskripsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar

menurut Al-Qur’ân (Kajian Terhadap Tafsir Fî Zilâl Al-Qur’ân, Karya

(7)

Penulis juga menyedari atas usaha sama dari berbagai pihak, pada kesempatan yang ada kali ini, penulis ingin menyampaikan setinggi-tinggi penghargaan serta ucapan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Bustamin, M.Si, yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, fikiran, serta tunjuk ajar kepada penulis, juga selaku ketua Jurusan Tafsir Hadis dan Bapak Rifqi Muhammad Fathi, MA, selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.

4. Seluruh dosen dan tenaga pengajar pada program studi Tafsir Hadis (TH) atas segala ilmu yang dicurahkan.

5. Seluruh pengelola dan karyawan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Akademik Pusat, dan Rektorat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Pimpinan, staf dan karyawan di Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat serta Perpustakaan Iman Jama‟ dan sekitar Indonesia yang telah memberi fasilitas kepada penulis.

(8)

8. Dato‟ Tuan Guru Haji Harun Taib selaku pengerusi Ahli Majlis Mesyuarat KUDQI dan seluruh Ahli Majlis Mesyuarat KUDQI. Pihak Kolej Universitas Darul Quran Islamiyyah yang telah memberi kesempatan untuk menuntut ilmu yang bermanfaat dari asatizah dan ustazah, juga dapat mengenal erti persahabatan dari mahasiswa KUDQI, MPMKUDQI dan HESIS. Serta staf-staf dan asatizah dan ustazah di Maa‟had Darul Qur‟an (MDQ) Rusila Marang.

9. Teman-teman seperjuangan dari Malaysia; Saifuddin, Sabri, Ridhzuan,

Mu‟az, Zalani, Ukasyah dan juga para muslimat yang berada di Asrama

Putri UIN. Jutaan terima kasih atas teguran dan sumbangan yang telah diberikan oleh Ust. Yunus, Ust. Ibrahim Zaki, Ust. Faiz Awang, serta teman-teman seangkatan dengannya. Tidak lupa juga sahabat-sahabat dari APID, KIDU, IPA yang telah bersama kecimpung dalam menegakkan

manhâj Allah.

10.Teman-teman seperjuangan dari Indonesia; Tatang Sanjaya, Saiful Subhan, Nida‟u Islam, Badrul, Anuar, Saiful Huda, Dwi Aprinita, Eliz, Harist, Ati Nurliati, dan lain-lain yang tidak disebut.

(9)

Semoga Allah SWT menjadikan usaha kecil ini sebagai amal yang berpanjangan dan bermanfaat bagi pembaca.

Jakarta, 24 Mei 2010 ;

ABDUL HADI BIN MOHD

(10)

PEDOMAN TRANSLITERASI

a. Padanan Aksara Huruf

Arab

Huruf

Latin Keterangan

ا tidak dilambangkan

ب B Be

ت T Te

ث Ts te dan es

ج J Je

ح H ha

خ Kh ka dan ha

د D De

ذ Dz de dan zet

ر R Er

ز Z Zet

س S Es

ش Sy es dan ye

ص S es dengan garis di bawah

ض D de dengan garis di bawah

ط T te dengan garis di bawah

ظ Z zet dengan garis di bawah

ع „ koma terbalik diatas hadap kanan

غ Gh ge dan ha

ؼ F Ef

ؽ Q Ki

ؾ K Ka

ؿ L El

ـ M Em

ف N En

و W We

ػه H ha dengan garis di bawah

ء ` Apostrof

(11)

b. Vokal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

َ

a Fathah

i Kasra

u Dammah

Adapun Vokal Rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

َ

ي

ai a dan i

و

au a dan u

c. Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

اػَػ

â a dengan topi di atas

يــــــ î i dengan topi di atas

وـــــــ û u dengan topi di atas

d. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf

(

ؿا

),

dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh

ةيسمشلا

= al-syamsiyyah,

ةيرمقلا

= al-qamariyyah.

e. Tasydîd

Dalam alih-aksara, tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tasydîd itu terletak setelah kata sandang yang diikuti huruf-huruf samsiyyah.

f. Ta Marbûtah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. begitu juga jika ta marbûtah tersebut diikuti kata sifat (na„t). Namun jika ta marbûtah diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.

g. Huruf Kapital

(12)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.

PEDOMAN TRANSLITERASI.

DAFTAR ISI.

BAB I PENDAHULUAN.

A. Latar Belakang Masalah ……….………. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……..……… 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……..……….. 7

D. Metodologi Penelitian ……….……… 8

E. Tinjauan Pustaka ………….………..………. 10

F. Sistematika Penulisan …...……….…………. 11

BAB II PENGERTIAN AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR DAN TINGKATAN PELAKSANAANNYA. A. Pengertian Amar Ma‟ruf Nahi Munkar…..……… 13

B. Hukum Amar Ma‟ruf Nahi Munkar ………... 17

C. Syarat-syarat di dalam Menegakkan Amar Ma‟ruf Nahi Munkar ……….... 20

D. Tingkatan-tingkatan Amar Ma‟ruf Nahi Munkar …...……… 26

E. Kaidah-kaidah didalam Amar Ma‟ruf Nahi Munkar……..… 34

(13)

BAB III SAYYID QUTB DAN TAFSIRNYA FÎ ZILÂL AL-QUR’ÂN.

A. Riwayat Hidup ……….…… 51 B. Mengenal Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân dan Sejarah

Penulisannya ……….………..…….…. 60 C. Metode dan Corak Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân……..………… 65 D. Karya-karya Sayyid Qutb ………..…………..…… 70

BAB IV KAJIAN TAFSIR FÎ ZILÂL AL-QUR’ÂN TERHADAP

AYAT-AYAT AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR.

A. Ayat, Terjemah dan Keterangan ……….………... 74

B. Makna dan Kosa Kata Penting ……….…………... 76

C. Asbunnuzul dan Munasabah Ayat ……….….. 76 D. Penafsiran Sayyid Qutb terhadap surat Ali-„Imrân,

ayat 104 dan 110 ………..…………..… 80 E. Analisa Penulis terhadap Penafsiran Sayyid Qutb tentang DiskripsiAmar Ma‟ruf Nahi Munkar……….…. 94

BAB V PENUTUP.

A. Kesimpulan ………..……….. 98 B. Saran-Saran ………..….………... 100

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam sebagai al-Dîn Allah1 merupakan manhâj al-hayât atau way of life, acuan dan kerangka tata nilai kehidupan. Oleh karena itu, ketika komunitas muslim berfungsi sebagai sebuah komunitas yang ditegakkan di atas sendi-sendi moral iman, Islam dan takwa serta dapat direalisasikan dan dipahami secara utuh dan padu merupakan sebuah komunitas yang tidak eksklusif karena bertindak sebagai “al-Umma al-Wasatan”2 yaitu sebagai teladan di tengah arus kehidupan yang serba kompleks, penuh dengan dinamika perubahan, tantangan dan pilihan-pilihan yang terkadang sangat dilematis.

Masuknya berbagai serangan pemikiran, ajaran atau pahaman baru dari arah barat maupun dari gerakan Zionisme baik dalam agama, sosial masyarakat, budaya, ekonomi dan segala yang mencakup aktivitas-aktivitas kehidupan umat Islam seharian yang memberikan impak dan implikasi terhadap nilai-nilai agama, adanya kecenderungan membuat agama menjadi tidak berdaya dan yang lebih buruk lagi ketika Islam tidak lagi dijadikan sebagai pedoman hidup dalam berbagai bidang yang serba kompleks.3 Diantara bentuk serangan tersebut adalah seperti metarialisme, sekularisme, pluralisme, dan berbagai jenis gejala sosial

1

Q.S. Ali Imrân, ayat 85. 2

Q.S. Al-Baqarah, ayat 143. 3

(15)

yang melanda di kalangan umat Islam sekarang. Antaranya ialah seks bebas dikalangan pemuda-pemudi, tontonan pornografi yang meluas, ketagihan terhadap nakoba, meminum khamar secara bebas dan selainnya yang merusakkan nilai-nilai masyarakat umat Islam. Hal ini bisa menerpa umat Islam bila agama tidak lagi berfungsi secara efektif dalam kehidupan yang kolektif. Tentu saja keadaan seperti ini dapat berpengaruh apabila pemeluk agama Islam gagal untuk memberi suatu peradaban alternatif yang benar-benar dituntut oleh setiap perubahan sosial yang terjadi.

Di samping itu kita bisa melihat pada saat ini, kehidupan umat manusia sedikit banyak, disadari atau tidak telah dipengaruhi oleh gerakan modernisme yang terkadang membawa kepada nilai-nilai baru dan tentunya tidak sejalan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Tak heran dalam perkembangannya modernisme memberikan tempat dan penghargaan yang terlalu tinggi terhadap materi. Implikasinya adalah kekuatan iman yang selama ini mereka miliki semakin mengalami degradasi. Puncaknya ialah kenyataan yang melanda sebagian umat Islam sekarang ini semakin terjerat oleh kehampaan spiritual. 4

Melihat fenomena di atas, sudah barang tentu kita khususnya umat Islam dilanda keprihatinan yang dapat merusak moral keimanan sehingga mau tidak mau harus diterapkan solusi terbaik yang dikehendaki oleh Islam yaitu

4

(16)

melaksanakan dakwah amar ma‟ruf dan nahi munkar secara efektif dan efisien serta berkesinambungan.

Amar adalah perintah, ma‟ruf adalah sesuatu yang dapat dimengerti dan

diterima oleh masyarakat. Perbuatan ma‟aruf apabila dikerjakan dapat diterima dan dipahami oleh manusia serta dipuji. Sedangkan munkar adalah sesuatu yang dibenci dan tidak dapat diterima oleh masyarakat, apabila dikerjakan ia dicemoh dan dicela oleh masyarakat disekelilingnya.5

Islam adalah agama dakwah6 artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah menyuruh berbuat baik dan mencegah kemungkaran, bahkan maju mundurnya umat Islam sangat bergantung dan berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang dilakukannya,7 karena itu Al-Qur‟ân dalam menyebut kegiatan dakwah dengan Ahsanu Qaula.8 Dengan kata lain bisa kita simpulkan bahwa dakwah amar ma‟ruf nahi munkar menempati posisi yang tinggi dan mulia dalam kemajuan agama Islam, kita tidak dapat membayangkan apabila kegiatan dakwah ini mengalami kelumpuhan yang disebabkan oleh berbagai faktor di era globalisasi yang serba canggih kini, di mana berbagai informasi masuk begitu cepat dan instan yang tidak dapat

5

Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah:

As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 1, h. 560. 6

M. Masyhur Amin, Dakwah Islam dan Pesan Moral, (Jakarta : Al-Amin Press, 1997), hal.8.

7

Didin Hafiduddin, Dakwah Aktual, (Jakarta : Gema Insani Press, 1998), Cet. 3, hal. 76. 8

(17)

dibendung lagi. Kita sebagai umat Islam harus dapat memilah dan menyaring informasi tersebut sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.9

Karena Islam merupakan suatu kebenaran, maka Islam harus tersebar luas dan penyampaian kebenaran tersebut merupakan tanggung jawab umat Islam secara keseluruhan, sesuai dengan misinya sebagai “Rahmatan lil „Alamîn” harus ditampilkan dengan wajah yang menarik supaya umat lain (umat non-Muslim) beranggapan dan mempunyai pandangan bahwa kehadiran Islam bukan sebagai ancaman bagi eksistensi mereka melainkan pembawa kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan mereka sekaligus sebagai pengantar menuju kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat.

Implikasi dari penyataan Islam sebagai agama dakwah menuntut umatnya agar selalu menyampaikan dakwah amar ma‟rufnahi munkar, karena kegiatan ini merupakan aktivitas yang tidak pernah usai selama kehidupan dunia masih berlangsung dan akan terus melekat dalam situasi dan kondisi apa pun bentuk dan coraknya.

Kita semua menyadari bahwa dakwah amar ma‟ruf nahi munkar adalah tugas suci yang dibebankan kepada umat Islam di mana saja ia berada. Hal ini termaktub dalam Al-Qur‟ân dan As-Sunnah Rasulullah SAW, kewajiban dakwah menyerukan, dan menyampaikan agama Islam kepada masyarakat.10

9

M. Munir dan Tim Lembaga Kajian dan Pengembangan Dakwah Forum Komunikasi Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Metode Dakwah, (Jakarta : Prenada Media, 2003), hal. 4 & 5.

10

(18)

Dakwah amar ma‟ruf nahi munkar memerlukan pengorbanan yang tidak sedikit hartanya, bahkan nyawa seperti yang telah dicontohkan oleh para nabi-nabi dan rasul-rasul. Dakwah adalah membawa kebenaran yaitu kebenaran yang perlu dipertanggung jawabkan di dunia dan akhirat, agar terciptanya kedamaian dan kebahagiaan. Sementara kerusakan di muka bumi ini dapat dicegah melalui peranan amar ma‟ruf nahi munkar.11

Dakwah amar ma‟ruf nahi munkar, dakwah yang bertujuan untuk memancing dan mengharapkan potensi fitri manusia agar eksistensi mereka punya makna di hadapan Tuhan dan sejarah. Sekali lagi perlu ditegaskan disini bahwa tugas dakwah amar ma‟ruf nahi munkar adalah tugas umat Islam secara bersama dan menyeluruh dan bukan hanya tugas sebagian kelompok tertentu umat Islam.

Melihat dari latar belakang tersebut, penulis mencoba menguraikan skripsi

dengan judul : “DESKRIPSI AMAR MA‟RUF NAHI MUNKAR MENURUT

AL-QUR‟ÂN, (KAJIAN TERHADAP TAFSIR FÎ ZILÂL AL-QUR‟ÂN KARYA

SAYYID QUTB)” sebagai judul skripsi.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari uraian pada latar belakang masalah di atas, untuk mengantisipasi terlalu melebarnya pembahasan dalam penulisan skripsi ini, maka tentunya diperlukan beberapa poin yang dijadikan gagasan dasar atau biasa disebut perumusan masalah penelitian.

11

(19)

Sebetulnya ada sekitar kurang lebih sembilan (9) ayat yang dikisahkan didalam Al-Qur‟ân secara eksplisit menyebut tentang amar ma‟ruf nahi munkar pada lima (5) surat yang berlainan yaitu surah Ali-„Imrân pada ayat 104, 110 dan 114, surah Al-A‟râf pada ayat 157, surah Luqman pada ayat 17, surah Al-Hâjj

pada ayat 41, surah At-Taubah pada ayat 67, 71 dan 112. Namun dalam

penelitian ini, penulis hanya mengambil dua dari sembilan ayat tersebut adalah karena :

1. Hal demikian agar pembahasan skripsi ini terarah dengan baik, maka penulis membatasi permasalahan tersebut hanya pada amar ma‟ruf nahi

munkar dalam Al-Qur‟ân, dengan memfokuskan perbahasan pada Tafsir

Fî Zilâl Al-Qur‟ân, surah Ali-„Imrân, ayat 104 dan 110.

2. Pada penelitian penulis, pembahasan yang terkaitan dengan dakwah amar ma‟ruf nahi munkar didalam kitab Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân sudah cukup

meluas didalam dua ayat ini seperti betapa urgennya dakwah amar ma‟ruf

nahi munkar yang harus dilaksanakan, tatacara yang harus

diimplementasikan didalam berbagai peringkat baik individu, kelompok, masyarakat maupun jamaah, kepentingan perlu diwujudkan suatu kekuasaan yang dapat menegakkan kepada yang ma‟ruf dan mencegah kemungkaran dan selainnya.

Berdasarkan pembahasan tersebut, masalah yang dirumuskan adalah : Bagaimana pandangan Sayyid Qutb dalam penafsirannya terhadap amar ma‟ruf

nahi munkar yang harus dilaksanakan dan diimplementasikan. Pemikiran dan

(20)

didalam hubungan individu sesama individu, masyarakat sesama masyarakat maupun didalam jamaah.

C. Tujuan Penelitian

Dari penelitian yang penulis lakukan ini, diharapkan akan dapat mencapai beberapa sasaran sebagai tujuan penelitian yaitu :

1. Untuk memperoleh gambaran yang jelas akan maksud yang tersurat dan yang tersirat mengenai amar ma‟ruf nahi munkar serta mengetahui kaidah-kaidah yang harus digunakan didalam ber-amar ma‟ruf nahi munkar. 2. Untuk memberikan masukan kepada para pembaca kegunaan dan

urgennya amar ma‟ruf nahi munkar serta implikasi dan akibatnya apabila meninggalkan perintah syari‟at tersebut.

3. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Tinjauan Pustaka

(21)

1. KONSEP AMAR MA‟RUF NAHI MUNKAR “Telaah atas Tafsir sosial Front Pembela Islam (FPI) (Kajian atas Surah Ali-„Imrân ayat 104 dan

110)”. Karya Husny Mubarok Amir (NIM 102034024813) pada tahun

2007. Hasil daripada pembacaan dan penelitian, penulis mendapati rumusan masalah dalam kajian tersebut adalah sebuah pertanyaan besar :

“Bagaimana tafsir sosial Front Pembela Islam (FPI) tentang amar ma‟ruf

nahi munkar khususnya dalam mengaplikasikan ayat suci Al-Qur‟ân Surah

Ali-Imrân ayat 104 dan 110.12

2. KONSEP AMAR MA‟RUF NAHI MUNKAR DALAM PERSPEKTIF HADIS. Karya Ernawati (NIM 202034001158) pada tahun 2006. Secara sederhana dari penelitian dan pembacaan penulis, maka dapat dibentuk pertanyaan mendasar sebagai berikut : Bagaimana konsep amar ma‟ruf

nahi munkar dalam perspektif hadis?13

3. KONSEP AMAR MA‟RUF NAHI MUNKAR (KAJIAN TAFSIR AL-AZHAR ; Q.S. ALI IMRON : 104). Karya Ahmad Zumaro (NIM 1973413647). Ditulis pada tahun 2002M. Hasil daripada pembacaan dan penelitian, penulis mendapati rumusan masalah dalam kajian tersebut adalah bagaimana pandangan Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) didalam penafsirannya tentang konsep amar ma‟ruf nahi munkar sebagai dakwah para rasul.14

12

Skripsi konsep amar ma‟ruf nahi munkar “Telaah atas Tafsir sosial Front Pembela Islam (FPI) (Kajian atas Surat Ali-Imron ayat 104 dan 110)”, hal. 7.

13 Skripsi konsep amar ma‟ruf nahi munkar dalam perspektif hadis, hal. 6.

(22)

4. KONSEP AMAR MA‟RUF NAHI MUNKAR DALAM AL-QUR‟ÂN ; (Studi komparatif antara Tafsir al-Azhar dan al-Mishbah). Karya Nisfu Rinaldi (NIM 104034001217). Ditulis pada tahun 2004. Hasil daripada pembacaan dan penelitian, penulis mendapati rumusan masalah dalam kajian tersebut adalah analisa dan perbandingan antara Tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah terhadap penafsiran tentang konsep amar ma‟ruf nahi

munkar.15

Pada tinjauan kali ini, perspektif yang penulis ingin bahas berbeda daripada hasil karya yang telah disebutkan di atas. Yang menjadi menarik bagi penulis mengambil tokoh seperti Sayyid Qutb untuk diperbahaskan karena beliau bukan saja seorang mufassir Al-Qur‟ân kontemporer, bahkan seorang tokoh yang disegani oleh masyarakat pada abad yang ke-20. Beliau juga seorang pemikir dan pioner yang agung dengan hasil karya yang unik dan mempersonakan khususnya pada Fî Zilâl Al-Qur‟ân. Perbedaan yang ingin penulis bahas adalah penulisan serta penafsiran Sayyid Qutb terhadap dakwah amar ma‟ruf nahi munkar dan pemikiran beliau didalam mengaplikasikan serta merencanakan dakwah amar ma‟ruf nahi munkar ke atas individual, masyarakat, kelompok maupun jamaah.

(23)

E. Metodologi Penelitian

1. Sumber data :

Dalam mengumpulkan data untuk penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan ( library research ), yaitu ; dengan mengambil sumber primer yakni buku-buku karya Sayyid Qutb sendiri yaitu Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân dan tentang penulisan penafsiran beliau.

Selain daripada itu, penulis juga mengambil sumber sekunder seperti terjemahan Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân dan buku-buku yang berkaitan dengan Sayyid Qutb sebagai dasar untuk mengetahui riwayat hidup, kondisi sosiologi tempat beliau tinggal, pemikiran yang beliau lahirkan dan permasalahan terkait dengan apa yang penulis ingin bahaskan sebagai penunjang skripsi ini.

2. Metode Pembahasan :

Adapun metode yang akan digunakan dalam skripsi kali ini bersifat deskriptif analisis, yaitu suatu pendekatan melalui pengumpulan data dan pendapat para ahli ilmuwan yang disajikan bersesuaian dengan datanya, kemudian ditelaah dan dianalisa sehingga dihasilkan sebuah kesimpulan.

Selain daripada itu, penulis juga menggunakan metode tafsir maudû‟i didalam penulisan skripsi ini.

3. Teknik Penulisan :

(24)

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam 5 (lima) bab, dimana masing-masing Bab mempunyai penekanan pembahasan mengenai topik-topik tertentu, yaitu :

Bab I : “Pendahuluan” Pada bab ini akan diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka dan Sistematika Penulisan.

Bab II : “Pengertian amar ma‟ruf nahi munkar dan Tingkatan-tingkatan

Pelaksanaannya”. Pada bab ini penulis akan menguraikan pengertian amar ma‟ruf

nahi munkar, tingkatan-tingkatannya, syarat pelaksana amar ma‟ruf nahi munkar

serta urgensi amar ma‟ruf nahi munkar, hukum dan implikasi meninggalkan amar ma‟ruf nahi munkar.

BAB III : “Sayyid Qutb dan Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân” sebagai tokoh yang akan dibahas, Sayyid Qutb dimunculkan pada bab ketiga ini meliputi biografi, latar belakang pendidikan serta kehidupan beliau, aktivitas serta karya-karya beliau. Dan tentang tafsirnya Fî Zilâl Al-Qur‟ân mencakup pada periode-periode penulisannya dan corak metodologinya.

BAB IV : “Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, kajian surah Ali-„Imrân ayat 104 dan

110” yang akan dibahas bab ini penulis memfokuskan penafsiran Sayyid Qutb,

(25)

munkar, serta analisa penafsiran beliau. Ditambah dengan analisa penulis terhadap

Fî Zilâl Al-Qur‟ân terhadap amar ma‟ruf nahi munkar.

(26)

BAB II

A. Pengertian Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Di dalam Al-Qur‟ân, istilah amar ma‟ruf nahi munkar secara utuh artinya tidak dipisahkan antara amar ma‟ruf dan nahi munkar berulang sebanyak sembilan kali di dalam lima surah yang berbeda yaitu di dalam surah Ali-„Imrân pada ayat104, 110 dan 114, surah Al-A‟râf pada ayat 157, surah At-Taubah pada ayat 67, 71 dan 112, surah Al-Hâjj pada ayat 41,dan surah Luqman pada ayat 17.

Amar ma‟ruf menurut etimologis dan terminologis:

Sebelum kita melihat makna amar ma‟ruf nahi munkar berdasarkan konteks yang lebih mendalam marilah kita melihat makna amar ma‟ruf secara etimologis, amar berarti suruh, perintah.16 Sedangkan ma’ruf berarti kebaikan.17 Jika pengertian keduanya digabungkan, maka artinya adalah perintah kepada kebaikan atau kebajikan. Sedangkan amar ma‟ruf secara terminologis adalah : Segala perbuatan manusia yang dapat mendekatkan dirinya kepada Tuhan.18 Adalah ma‟ruf mencakup segala sesuatu yang diperintahkan, demikianlah pemahaman ulama secara umum.

Nahi Munkar menurut etimologis dan terminologis :

Munkar adalah lawan dari ma‟ruf. Bila dikatakan : “Nakkara Asy-Syai‟a

wa Ankarahu” artinya adalah “Tidak menerimanya, serta tidak mengakuinya

secara lisan”.19

Manakala makna nahi secara etimologis adalah larangan,

16

Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Lintas Media Jombang), hal. 31. 17

Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Lintas Media Jombang), hal. 349. 18

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam, (Jakarta: P.T. Ikhtiar Van Hoeve, 1999), cet. ke-IX, hal. 131.

19Lihat “Mu‟jam Maqayiis Al-Lughah,

(27)

pantang.20 Sedangkan munkar adalah bermaksud perbuatan durhaka atau melanggar peraturan.21 Jika pengertian keduanya digabungkan menurut etimologis adalah bermaksud melarang perbuatan durhaka atau perbuatan melanggar peraturan.

Sedangkan nahi munkar secara terminologis adalah : Segala sesuatu yang dianggap buruk dan dibenci oleh syari‟ah.22 Kemungkaran mencakup segala yang

bertentangan syari‟ah, meskipun pelakunya tidak berdosa melakukannya seperti,

orang gila yang minum khamar (minuman yang memabukkan), orang tersebut dilarang tetapi tidak dicela atasnya. Demikian itulah pengertian munkar, yaitu yang mencakup seluruh apa yang dilarang.

Mari kita simak bersama-sama ketetapan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah

rahimahullahu, di mana beliau mengatakan: Jika kesepakatan seluruh agama dan

seluruh wilayah itu berpusat pada perintah dan larangan, maka perintah yang dengannya Allah mengutus Rasul-Nya SAW adalah perintah kepada kebaikan

(amar ma‟ruf) dan larangan yang dengannya Dia mengutuskan Rasulullah SAW

adalah larangan berbuat kemungkaran (nahi munkar).23

Dalam kesempatan lain, ia berkata: “Pengharaman terhadap segala hal

yang buruk termasuk dalam makna An-Nahyu „anil Munkar (mencegah kemungkaran), sebagaimana penghalalan terhadap segala hal yang baik termasuk

20

Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Lintas Media Jombang), hal. 368. 21

Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Lintas Media Jombang), hal. 366. 22

Lihat Kitab Al-Lisan, juz V, hal. 233. 23

(28)

dalam Al-Amr bil Ma‟ruf (menyeru kepada kebaikan), karena pengharaman terhadap segala hal yang baik merupakan hal yang dilarang oleh Allah SWT.”24

Amar ma‟ruf nahi munkar merupakan suatu hal yang fitri. Sudah

merupakan tabi‟at manusia untuk senang berkumpul dan bersatu. Apabila kita

mengetahui bahwa nafsu manusia ini memiliki dua dimensi, memerintah sekaligus melarang. Oleh karena itu, ia harus diarahkan kepada yang hak (kebenaran) agar apa yang diperintahkannya sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW dan apa yang dilarang agama.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullahu- telah mengatakan: “Dan setiap manusia yang hidup di muka bumi ini harus memerintah dan juga melarang. Mereka harus memerintah dan melarang meskipun pada dirinya sendiri, baik itu pada kebaikan maupun pada kemungkaran.25 Sebagaimana yang difirmankan Allah SWT di dalam Al-Qur‟ân:

                               

53. Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyayang.

Perintah, artinya adalah menuntut dikerjakannya sesuatu atau dipenuhinya

suatu keinginan. Sedangkan larangan artinya adalah menuntut ditinggalkan suatu perbuatan atau keinginan. Oleh karena itu, setiap orang yang hidup di muka bumi ini memiliki keinginan dan tuntutan dalam dirinya, yang keduanya membutuhkan tindakan darinya dan membutuhkan tindakan dari orang lain jika hal itu

24 Al-Fatâwa,

juz. XXVIII, hal. 65. Dan lihat juga kitab Mazîd min Aqwâli Al-„Ulama‟ dalam perbahasan Khashiyatu Asy-Syumūl, hal. 40.

25

(29)

dibutuhkan. Karena sesungguhnya manusia itu adalah hidup yang bergerak dengan keinginannya.26

Dan anak Adam ini tidak akan hidup; melainkan dengan berkumpul antara satu sama lainnya. Jika satu, dua, atau lebih berkumpul, maka akan terjadi di antara mereka perintah dan larangan. Jika perintah dan larangan itu merupakan suatu hal yang lazim dari keberadaan manusia, maka orang yang tidak memerintah (menyeru) kepada kebaikan yang diperintahkan Allah SWT dan Rasul-Nya, serta dilarang berbuat kemungkaran yang telah dilarang Allah dan Rasul-Nya, diperintah berbuat kebaikan yang telah diperintahkan-Nya dan juga Rasul-Nya serta dilarang berbuat kemungkaran yang telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Seandainya tidak demikian, maka dia tetap diharuskan memerintah dan juga melarang, diperintah dan dilarang baik itu yang bertentangan maupun yang sesuai dengan kebenaran yang diturunkan Allah SWT secara batil yang tiada pernah diturunkan Allah menurunkannya. Jika dia mengambil hal itu sebagai agama, maka ia sebagai agama baru yang sesat dan menyesatkannya.27

B. Hukum Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Amar ma‟ruf nahi munkar merupakan suatu amaliah yang telah disepakati

kewajibannya oleh para ulama, meskipun mereka berbeda pendapat apakah ia termasuk di dalam fardu „ain atau fardu kifayah.28 Kebanyakan ulama

26

Saleh bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma‟ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), 1996, hal. 37.

27

Al-Istiqamah, juz. II, hal. 292. 28

(30)

berpendapat bahwa amar ma‟ruf nahi munkar hukumnya fardu kifayah dan sebagian lainnya berpendapat hukumnya fardu „ain. Perbedaan ini berawal dari penafsiran para ulama terhadap surah Ali-„Imrân, ayat 104. Berikut akan dijelaskan :                            29 

Arti “Min” ) ْ ( :

Para Ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan batasan arti “min” dalam

firman Allah : ) ْ ْ ( . Pendapat mereka terbagi dua :

Yang Pertama ; Sesungguhnya “min” dalam ayat tersebut bukanlah untuk

arti “sebagian” ) ض ع ل(, tetapi ia untuk menerangkan ) س جل (, (jenis, macam),

(keumuman – pen.). Pada ulama yang berpendapat demikian berpegang kepada dua dalil :

1) Sesungguhnya Allah mewajibkan amar ma‟ruf nahi munkar kepada setiap golongan (umat), sebagaimana dalam firman-Nya:

Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh

kepada yang makruf, mencegah dari yang munkar...”(Ali „Imrân; 110)

2) Sesungguhnya wajib atas setiap orang mukallaf melakukan amar ma‟ruf nahi munkar, baik melalui tangannya, lisan atau hatinya.

Kemudian mereka berkata : Bila tegas demikian, maka arti ayat tersebut:

“Jadilah kalian suatu umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada

yang ma‟ruf dan mencegah dari yang mungkar.

29

Sayyid Quthb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah:

(31)

Mereka memandang, bahwa “min” dalam ayat itu sama seperti “min” ) ْ (

dalam firman Allah SWT; dalam surah Al-Hâjj, ayat 30 :

              

Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.

Kemudian mereka berkata : Sesungguhnya hal itu, meskipun ia diwajibkan atas semuanya, tetapi bila sebagian telah melakukannya, maka lepaslah beban kewajiban dari yang lain. Bandingan adalah firman Allah SWT; dalam surah At-Taubah, ayat 41 dan pada ayat 39 : 30

     ( ١ )

41. Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat.

        ( ٩ )

39. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih.

Perintah dalam ayat-ayat tersebut dan ayat-ayat yang senada adalah umum. Kemudian bila segolongan umat ada yang menjalankan perintah itu, cukuplah, dan lepaslah beban kewajiban dari yang lain.

Yang Kedua : Bahwa “min” ) ْ ( dalam ayat itu punya arti “sebagian”

( ض ع ل

) . Para ulama yang punya pendapat demikian dapat dimasukkan ke dalam

dua pendapat :

1) Sesungguhnya pengertian “min” adalah, dalam umat terdapat orang-orang

yang tidak punya kemampuan berdakwah, melakukan amar ma‟ruf nahi

munkar seperti kaum wanita, orang-orang sakit dan orang-orang lemah.

30

(32)

2) Sesungguhnya perintah )ف ل ل( itu khusus kepada ulama (orang-orang yang berilmu, alim). Karena ayat itu mengandung perintah tiga hal : menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‟ruf, dan mencegah dari yang munkar.31

Selain itu, para ulama sepakat bahwa itu fardu kifayah, yaitu bila sebagian orang telah ada yang menjalankannya, maka lepaslah kewajiban tersebut dari yang lain. Jika perintah memang demikian, maka tafsirannya : “Hendaklah sebagian

kamu menjalankan itu.” Ini perintah wajib atas sebagian, bukan atas semuanya.32

C. Syarat-syarat di dalam Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Sesungguhnya orang yang melaksanakan amar ma‟ruf nahi munkar berinteraksi dengan sesama manusia. Oleh itu, ia harus mempunyai beberapa kriteria tertentu yang dapat memudahkan bagi diri seseorang untuk meniti jalan tersebut dan memeliharanya dari ketergelinciran.33– bi-idznillah –

Di antara syarat-syarat yang terpenting adalah :

1. Islam.

Para fuqaha –rahimahullahu- telah menjadikan Islam sebagai syarat, karena pencegahan terhadap kemungkaran merupakan tugas yang disyari‟atkan. Dan oleh karena itu, orang Kafir tidak dituntut dan diwajibkan mengerjakannya sehingga dia memeluk Islam dan benar-benar berpegang teguh kepada Islam.

31

Ibnu Taimiyah, Menuju Umat Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, terjemahan : Muhammad Jamil Ghazy, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1998), cet. 1, hal. 21.

32

Ibnu Taimiyah, Menuju Umat Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, terjemahan : Muhammad Jamil Ghazy, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1998), cet. 1, hal. 21-22.

33

(33)

Bahkan para fuqaha mengatakan “Orang Kafir tidak boleh diperbolehkan

mengerjakannya. Hal itu dikarenakan pertama, dalam hisbah (pelaksanaan amar ma‟ruf nahi munkar) terdapat semacam otoritas kepimpinan atas orang Muslim.

Kedua, karena kejahilannya terhadap hukum-hukum Islam, meskipun dia mengaku mengetahuinya.

Orang Kafir diperbolehkan untuk mencegah kemungkaran tanpa harus menyuruh kepada perbuatan yang ma‟ruf, karena di dalamnya terdapat tuntutan mengerjakan perbuatan yang mayoritas bersifat ta‟abbud. Apabila dilihat disisi lain, mereka melihat akan kemaslahâtan, keamanan, dan keselamatan masyarakat yang terletak pada pencegahan terhadap segala macam kemungkaran, mereka boleh mengerjakan hal itu.34

2. Taklif (Baligh dan Berakal).

Taklif merupakan syarat bagi seluruh ibadah kecuali zakat, sebagaimana

hal itu telah menjadi pendapat jumhurul ulama. Dan maksud dari taklif tersebut adalah baligh (cukup umur) dan „akil (berakal). Oleh karena itu, amar ma‟ruf nahi

munkar tidak diwajibkan bagi anak kecil dan juga orang yang tidak waras

pikirannya, karena telah diberikan ma‟af bagi mereka.35

Abu Hamîd –rahimahullahu-, di mana beliau berkata: “Mengenai syarat

taklif. Sudut dijadikannya taklif sudah jelas, di mana orang tidak disebut mukallaf

(yang sudak berakal dan baligh) tidak diwajibkan mencegah kemungkaran. Yang kita maksudkan dari apa yang telah kita sebutkan diatas adalah bahwasanya taklif

34

Saleh bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma‟ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), 1996, hal. 106-107.

35

(34)

merupakan syarat wajib. Dan mengenai pelaksanaannya tidak diperbolehkan kecuali bagi mereka yang berakal, sampai pada anak-anak yang baligh dan berakal meskipun belum disebut sebagai mukallaf tetap harus mencegah kemungkaran.

Seorang anak diperbolehkan untuk ber-amar ma‟ruf nahi munkar, selama hal itu tidak membahayakan dirinya. Pencegahan terhadap kefasikan sama dengan pencegahan terhadap kekufuran.36

3. Memiliki Ilmu.

Di antara syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang dalam melaksanakan

amar ma‟ruf nahi munkar adalah; Adanya pengetahuan tentang hukum apa yang

dia perintahkan atau dilarangnya, ini disepakati para ulama. Karena

sesungguhnya kebaikan itu adalah segala hal yang dianggap baik oleh syari‟at,

dan keburukan adalah segala sesuatu yang dianggap buruk oleh syari‟at.37

Yang menjadikan titik tolak bukanlah otak para muhtasîb, melainkan

mubâhât (apa-apa yang dibolehkan) yang diketahui orang dalam melakukan suatu

perbuatan dan yang mana ia harus dipenuhi oleh para muhtasîb.38 Ilmu itu sangat nisbi sifatnya, tidak ada orang yang pandai melainkan di atasnya masih ada yang lebih pandai, dan tidak ada orang bodoh melainkan masih ada yang lebih bodoh lagi.39

36Itaf As-Sa‟adah Al-Muttaqîn,

juz. VII, hal. 14. 37

Saleh bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma‟ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), 1996, hal. 109.

38

Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sultaniyyah, (Penerbit: Darul Kutub), hal. 300. 39

(35)

An-Nawawî memiliki ungkapan yang baik sekali mengenai dijadikannya ilmu sebagai syarat ber-amar ma‟ruf nahi munkar: “Orang yang mengerti apa-apa yang diperintahkan atau dilarangnya memerintahkan berbuat ma‟ruf atau mencegah perbuatan mungkar, yang demikian itu berbeda dengan perbedaan sesuatu. Apabila hal-hal yang sudah pasti menjadi kewajiban seperti salat, puasa, dan zakat, atau hal-hal yang diharamkan seperti zina, minuman keras dan sebagainya. Secara keseluruhan kaum Muslimin telah mengetahui akan semua itu, tetapi jika sudah melangkah kepada masalah-masalah yang sangat mendasar dan mendalam serta hal-hal yang menyangkut dengan masalah ijtihad, orang-orang awam tidak termasuk di dalamnya, mereka ini tidak wajib menegakkan inkârul

munkar, akan tetapi semuanya merupakan tugas para ulama.40

Pendapat jumhur ulama yang dikemukan oleh An-Nawawî di atas diperkuat dari hadits Rasulullah SAW, yang di dalamnya juga terdapat jawaban atas pendapat sebagian ulama yang hanya memprioritaskan para ulama dalam menjalankan amar ma‟ruf nahi munkar. Hadist tersebut berbunyi:

آ ل ع غل

“Sampaikanlah apa-apa dariku meskipun hanya satu ayat.”41

Keumuman nas-nas yang telah diketengahkan tadi tentang pelaksanaan

amar ma‟ruf nahi munkar dan apa yang telah kami katakan bahwasanya ilmu

bersifat nisbi, dan bahwasanya orang yang bodoh akan memerintahkan sesuai dengan apa yang diketahuinya, demikian halnya dengan pencegahan yang

40

An-Nawawî, Syarhu An-Nawawî Sahih Muslîm, juz. II, hal. 23. 41

(36)

dilakukannya. Demikian itu yang dimaksudkan dengan syarat ilmu

(pengetahuan).42

4. Kasih Sayang.

Pelaku amar ma‟ruf nahi munkar harus menghiasi dirinya dengan sifat kasih sayang dan sabar, karena sifat emosional terkadang bisa mengakibatkan kegagalan dalam nahi munkar. Bahkan bisa mengakibatkan melipatgandanya kemungkaran dan lingkupnya bertambah luas. Sudah tidak diragukan lagi bahwa mayoritas kemungkaran bila dilihat oleh orang yang ghirahnya tinggi dia akan marah sekalipun masih masih terkendalikan. Oleh karena itu hendaknya berusaha mengendalikan diri dengan kendali kasih sayang dan sabar, dengan memperhatikan kemashalatan-kemaslahâtan.43

5. ‘Adil.

Pelaku nahi munkar hendaknya bersikap „adil, dan tidak dzalim terhadap pelaku kemungkaran, dimana kebaikan-kebaikannya dilupakan dan kejelekannya dibesar-besarkan. Pelaku nahi munkar harus mengakui kebaikan-kebaikannya, dan menyebutkan hal tersebut kepadanya.

Dengan menggunakan cara yang „adil tersebut kesempatan untuk diterima lebih besar. Adapun bila pelaku nahi munkar mengabaikan kebaikan-kebaikan

42

Saleh bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma‟ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Msodern, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), 1996, hal. 111.

43

(37)

kemungkaran dan melenyapkan semuanya, maka yang demikian ini bisa mengakibatkan dia berpaling dan tidak mau menerima.44

6. Hikmah.

Masalah hikmah dalam hal amar ma‟ruf nahi munkar bagi mayoritas manusia tidaklah jelas, baik dari pelaku nahi munkar atau pelaku kemungkaran. Sebagian manusia mengira bahwa hikmah itu adalah meninggalkan amar ma‟ruf

dan nahi munkar. Yang benar bahwa hikmah itu adalah menempatkan segala

sesuatu pada proporsinya. Di antara hikmah adalah anda menempatkan kelemah-lembutan pada proporsinya dan menempatkan kekerasan pada proporsinya.

Terkadang seseorang tidak mampu menentukan tempat hikmah di dalam menyelesaikan sebagian permasalahan. Maka ketika itu dia harus meminta nasihat orang lain untuk menyempurnakan kekurangannya dalam hal mengetahui tempat hikmah dan sikap yang tepat. 45

7. Sabar.

Sesungguhnya orang yang melakukan amar ma‟ruf dan nahi munkar akan menemui berbagai dugaan, maka tidak perlu gentar, cemas dan putus asa. Yang demikian itu karena jalan amar ma‟ruf nahi munkar itu tidak ditaburi oleh bunga-bunga, namun penuh dengan onak dan duri. Maka barang siapa tidak menghiasi diri dengan sifat sabar, pantas bila dia menganggap perjalanan terlampau jauh dan melelahkan. Akhirnya meninggalkan tugas rabbani yang mulia tersebut.

44

Salman Fahd Al-Audah, Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, Penerjemah: Rakhmat, Abdul Rosyad Shidiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), cet. 1, hal. 75.

45

(38)

Sesungguhnya jiwa dan hati manusia itu ada saatnya untuk menerima dan menolak, oleh karena itu termasuk kemaslahâtan memperhatikan mad‟u disaat mau menerima kalimat-kalimat yang baik, bersikap lemah lembut kepadanya, dan mencari siasat untuk sampai kedalam hatinya, dengan siasat apa saja yang tidak tercela.

“Allah memberikan petunjuk kepada seseorang lantaran kamu, itu lebih baik bagimu daripada dunia dan seisinya”.46

D. Tingkatan-tingkatan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Rasulullah SAW telah menjelaskan tingkatan-tingkatan amar ma‟ruf nahi

munkar dengan sabdanya :

ْعط ْس ْ ل ْنإف هن سل ف ْعط ْس ْ ل ْنإف ه هْ ِ غ ْلف ْ ْ ْ أ ْ ل هلس هْ لع هَ هلص هَ ل س ن ي ْا فعْ أ ل ه ْل ف .

( أ ه )

Artinya :

“Barang siapa melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangan, jika tidak mampu dengan lisan, dan apabila tidak mampu juga dengan hati itulah

selemah-lemahnya iman” (HR. Abu Daud)47

Dari hadits tersebut, dapat ketahui bahwa ada beberapa kriteria-kriteria bagi mencegah kemungkaran yang wajib dilaksanakan setiap Muslim dengan mengikut kemampuan masing-masing. Pada bab ini, penulis hanya akan membahaskan secara ringkas tingkatan-tingkatan yang harus dilaksanakan untuk mencegah kemungkaran.

Tahapan-tahapan ber-amar ma’rufserta nahi munkar :

1. Mengingkari Kemungkaran dengan Tangan dan Syarat-syaratnya.

46

Salman Fahd Al-Audah, Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, Penerjemah: Rakhmat, Abdul Rosyad Shidiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), cet. 1, hal. 77-78.

47

(39)

Ini adalah tingkatan paling tinggi, di mana ia menjadi pedang yang tajam dalam mencegah kemungkaran dan menghilangkan bahayanya. Tidak ada yang mampu melakukan tingkatan ini kecuali orang-orang kuat dan berkemauan keras. Dan tingkatan ini dilakukan kepala rumah tangga dalam rumah tangganya dan ulil amri (penguasa) terhadap masyarakatnya. Pada hakikatnya tingkatan ini adalah

kewajiban ulil amri dalam kekuasaannya karena tingkatan ini sangat rawan menimbulkan bahaya dan pertumpahan darah, sedangkan bahaya semuanya wajib dihilangkan. Dan tidak boleh mengingkari kemungkaran sekiranya menimbulkan kemungkaran yang lebih besar. Contohnya, menghancurkan alat-alat musik, menumpahkan khamr dan sebagainya.48 Allah SWT berfirman tentang Nabi Ibrahim AS,                            

57. Demi Allah, Sesungguhnya Aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya.

58. Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.

Nabi Ibrahim AS menghancurkan berhala-berhala tersebut dengan tangannya.49

Akan tetapi, mengubah kemungkaran dengan tangan ini tidak boleh dilakukan oleh setiap orang dan pada setiap kemungkaran karena yang demikian itu dapat menimbulkan berbagai kerusakan dan bahaya yang banyak.

48

Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 181.

49

(40)

Pengingkaran dengan tangan ini hanya boleh dilakukan oleh ulil amri (penguasa) atau orang yang mewakilkannya seperti petugas hisbah, misalnya, yang mereka mendapatkan tugas dari ulil amri untuk melaksanakan amar ma‟ruf nahi munkar. Demikian pula seperti seorang suami didalam rumahnya yang mengubah kemungkaran yang dilakukan anak-anaknya, istrinya, dan pembantunya. Mereka mengubah kemungkaran tersebut dengan tangannya dengan cara bijaksana yang

sesuai syari‟at.

Tingkatan ini disyaratkan dengan adanya kekuasaan, kemampuan,

hikmah, pemahaman, dan jauh dari hawa nafsu. Tingkatan ini pun memiliki tahapan-tahapan tertentu sesuai dengan keadaan dan perbuatan.50

2. Mengingkari Kemungkaran dengan Lisan dan Tahapan-tahapannya.

Mengubah kemungkaran dengan lisan sama dengan dakwah di jalan Allah karena kedua-duanya ialah menjelaskan kebenaran, memotivasi orang lain kepadanya, dan memperingatkan mereka dari kebatilan, serta memberikan ancaman dengan ayat-ayat Allah yang berkenaan.

Mengubah kemungkaran dengan lisan mempunyai empat tahapan:

Tahapan Pertama: Memberikan pengertian dan pelajaran dengan

lemah lembut.

50

(41)

Pelaku amar ma‟ruf nahi munkar harus memperhatikan usahanya memberikan pengertian dan pelajaran terhadap pelaku kemaksiatan dengan penuh kelemah-lembutan dan kasih sayang terhadapnya.51

Diriwayatkan dalam Shahîh Muslîm bahwa sekelompok orang Yahudi datang dan masuk menemui Rasulullah SAW lalu mereka berkata,

ْ ْ لع ا هسل .

“Semoga kematian atas kamu.”

„Aisyah berkata, “Bahkan, semoga kematian dan laknat menimpa kalian.” Dalam riwayat lain: “Dan Allah melaknat serta memurkai kalian.” Maka

Rasulullah SAW bersabda,

هِل ْ ْا ف ْفِ ل ُ هَ هن ا ع “Wahai „Aisyah! Sesungguhnya Allah mencintai kelemah lembutan dalam setiap urusan.”

„Aisyah berkata, “Tidakkah engkau mendengar apa yang mereka katakan?” Beliau menjawab,

ْ ْ لع ْل ْ “Sesungguhnya, aku mengatakan, “Dan (semoga kematian) atas kalian.”52

Di hadits ini Nabi SAW bersikap lemah lembut terhadap mereka padahal mereka orang-orang Yahudi, itu karena beliau sangat mengharapkan mereka mendapatkan hidayah, tunduk kepada kebenaran, dan mau menerima dakwah Islam.

Ini adalah cara generasi Salaf dalam amar ma‟ruf nahi munkar, yaitu dengan lemah lembut disertai ilmu, kebijaksanaan, basirah, dan mengamalkan apa yang diserukannya serta meninggalkan apa yang dilarang dari mereka. Dan inilah teladan yang baik.53

51

Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 187.

52

Sahih, HR. Muslîm (no. 2165). 53

(42)

Tahapan Kedua: Melarang dengan cara memberikan pelajaran dan

nasihat serta menakut-nakutinya dengan adzab Allah Ta’ala.

Tahapan kedua ini biasanya ditujukan bagi pelaku kemungkaran yang

telah mengetahui hukum syari‟at dari perbuatan mungkarnya tersebut, berbeda

dengan tahapan pertama yang biasanya digunakan untuk orang yang tidak mengetahui hukum dari kemungkaran yang dilakukannya.54

Pelajaran atau nasihat ialah mengingatkan seseorang dengan kebaikan yang dapat melembutkan hatinya disertai dengan menakuti-nakutinya dengan siksa Allah Ta‟ala. Terdapat banyak nas yang memerintahkan para pelaku amar ma‟ruf nahi munkar untuk melakukan tingkatan ini, firman Allah SWT,

                           

13. Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

Firman Allah SWT,

                     ... 

125. Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran

yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik...55

Tahapan Ketiga: Tegas dalam memberikan nasihat.

Pelaku amar ma‟ruf nahi munkar bersandar pada tahapan ini apabila cara-cara yang mudah dan lemah lembut tidak lagi bermanfaat bagi orang yang diingkarinya. Tahapan ini pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS bersama kaumnya ketika kaumnya tidak menerima dakwah beliau yang dilakukan dengan

54

Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 189.

55

(43)

lemah lembut, maka beliau menerapkan perkataan yang tegas, sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT,

                                    

66. Ibrahim berkata: Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?"

67. Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Tidakkah

kamu tidak mengerti?56

Melakukan tahapan ini harus terpenuhi dua adab berikut:

Pertama: Menggunakan tahapan ini hanya ketika darurat dan cara lemah

lembut tidak bermanfaat lagi.

Kedua: Tidak berbicara kecuali dengan jujur dan tidak memperlebar

pembicaraan yang tidak dibutuhkan, tetapi dicukupkan dengan sekedar keperluan.57

Tahapan Keempat: Mengancam dan menakut-nakuti.

Mengancam dan menakut-nakuti adalah usaha terakhir melarang kemungkaran dengan lisan setelahnya diiringi dengan adanya tindakan dari ancamannya tersebut.

Tahapan ini dilakukan apabila melarang dengan perkataan yang keras sudah tidak ada lagi bermanfaat bagi pelaku kemungkaran, sehingga pelaku amar ma‟ruf mengancamnya dan menakuti-nakutinya, misalnya dengan mengatakan,

“Jika engkau tidak berhenti, sungguh, saya akan memukulmu, atau aku akan

56

Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 192-193.

57

(44)

laporkan engkau ke penguasa agar engkau dipenjara sehingga engkau dihukum karena perbuatanmu itu. Demikianlah seterusnya dengan menggunakan berbagai cara untuk mengancam dan menakutinya, tetapi harus dalam bantah yang masuk

akal dan sesuai syari‟at sehingga pelaku kemungkaran itu mengetahui kebenaran

dan kejujuran dari ancamannya itu.58

3. Mengingkari Kemungkaran dengan Hati.

Apabila seorang mukmin tidak mampu mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisannya, maka ia mengingkarinya dengan hati dan membenci segala perbuatan mungkar dengan hatinya, marah kepadanya, dan marah kepada pelakunya. Kewajiban mengingkari kemungkaran dengan hati ini tidak pernah gugur dari diri setiap muslim.

Pengingkaran dengan hati adalah “selemah-lemah iman”. Apabila hati

tidak mengingkari kemungkaran sama sekali, maka tidak ada sesudah itu seberat

dzarrah iman.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata, “Mengingkari kemungkaran terkadang dapat dilakukan dengan hati, terkadang dengan lisan, dan terkadang dengan tangannya. Adapun mengingkari dengan hati maka itu adalah wajib setiap keadaan, karena melakukannya tidak menimbulkan bahaya. Barangsiapa tidak melakukannya, maka ia tidak dikatakan mukmin (yang sempurna imannya), sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi SAW, “Yang

demikian itu adalah selemah-lemah iman.” Beliau juga bersabda, “Dan setelah

58

(45)

itu tidak ada lagi iman meski hanya sebesar biji sawi.” Dikatakan kepada Ibnu

Mas‟ud: Siapakah mayat yang hidup itu? Ia menjawab, „Orang yang tidak

mengetahui perbuatan ma‟rufdan tidak mengingkari kemungkaran.‟ Orang inilah

orang yang terfitnah dan dijelaskan sifatnya dalam hadits Hudzaifah.”59

E. Kaidah- kaidah didalam Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Kaidah-kaidah didalam amar ma‟ruf nahi munkar terbagi kepada beberapa bagian, antaranya adalah:

Kaidah Pertama: Syari’at adalah pokok dalam menetapkan Amar

Ma’ruf Nahi Munkar.

Sesungguhnya yang menjadi timbangan dan tolok ukur dalam menentukan sesuatu dapat dikatakan ma‟ruf atau munkar adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW dan apa yang menjadi kesepakatan Salafus Salih, dan bukan apa yang dianggap baik oleh manusia dari perkara-perkara yang menyelisihi syari‟at.60

Imam Asy-Syaukânî rahimahullahu memberikan sifat kepada umat Islam

dengan perkataannya, “Sesungguhnya mereka menyuruh kepada (perbuatan) yang

ma‟ruf dalam syari‟at ini dan melarang dari apa saja yang mungkar. Dalil yang

dijadikan sandaran bahwa sesuatu itu adalah ma‟ruf atau mungkar adalah Al-Kitab (Al-Qur‟ân) dan As-Sunnah.61

59

Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 195-197.

60

Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 207.

61Sya‟ban Muhammad Isma‟il, Irsyâdul Fuhûl

(46)

Dari penjelasan di atas menjadi jelas bahwa menentukan sesuatu sebagai perkara yang ma‟ruf atau munkar bukanlah menjadi hak pelaku amar ma‟ruf nahi

munkar, tetapi semua itu kembali kepada apa yang datang dari Al-Qur‟ân dan As

-Sunnah menurut pemahaman Salafus Salih baik berupa keyakinan, perkataan, dan perbuatan.62

Kaidah Kedua: Memiliki Ilmu dan Basirah tentang hakikat Amar

Ma’ruf Nahi Munkar.

Syaikhul Islam rahimahulahu berkata, “Perbuatannya (pelaku amar ma‟ruf) tidak dikatakan salih (baik) apabila tidak disadari dengan ilmu dan

pemahaman (yang benar), sebagaimana dikatakan „Umar bin Abdul Aziz RA,

“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka kerusakannya lebih besar daripada maslahahnya,”

Sebagaimana dikatakan pula oleh Mu‟adz bin Jabal RA, “Ilmu adalah imamnya amal dan amal mengikuti ilmu.”

Ini sangat jelas sekali, karena niat dan perbuatan tanpa ilmu adalah kebodohan, kesesatan, dan mengikut hawa nafsu, dan inilah perbedaan antara orang-orang Jahiliyyah dan kaum Muslimin. Dengan demikian, wajib mengetahui perbuatan ma‟ruf dan perbuatan mungkar serta mampu membedakan keduanya sebagaimana diharuskan pula mengetahui keadaan orang yang disuruh dan orang yang dilarang.63

Kaidah Ketiga: Mendahulukan yang Paling Penting sebelum yang

Penting.

62

Hamud bin Ahmad Ar-Ruhaili, Al-Qâ‟idah Al-Muhimmah fil Amri bil Ma‟ruf wan Nahyi „anil Munkar fii Dhau-il Kitâbi was Sunnah, cet. 1, hal. 6-7.

63

Ibnu Taimiyah, Al-Amru bil Ma‟ruf wan Nahyu „anil Munkar, (Tahqiq: Abu Abdillah

(47)

Sesungguhnya memulai dengan perkara yang paling penting kemudian yang penting merupakan kaidah yang harus ada dalam melaksanakan kewajiban amar ma‟ruf nahi munkar, yaitu hendaklah pelaku amar ma‟ruf nahi munkar

memulai dengan memperbaiki usul (pokok-pokok) „aqidah. Maka pertama kali ia menyuruh untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah SWT semata dan melarang dari perbuatan syirik, bid‟ah, dan khurafât, kemudian ia menyuruh untuk mendirikan salat, mengeluarkan zakat, kemudian menyuruh untuk melakukan kewajiban-kewajiban lainnya dan meninggalkan perbuatan-perbuatan haram, kemudian menyuruh untuk melaksanakan sunnah-sunnah dan meninggalkan perkara-perkara yang dimakruhkan.64 Allah SWT telah berfirman didalam surah An-Nahl,

                    ... 

36. Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu",...

Manhaj para Nabi dalam berdakwah adalah mengajak manusia kepada tauhid pertama kali sebelum yang lainnya. Dan hendaklah ia jadikan kesibukannya itu untuk memperbaiki „aqidah dan membersihkannya dari berbagai macam kotoran syirik , bid‟ah, dan maksiat. Ini tidak berarti mengenyampingkan yang lainnya, tetapi yang dimaksud ialah menjadikan perhatian terhadap „aqidah sebagai prioritas utama dalam berdakwah dan amar ma‟ruf nahi munkar.65

64

Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 211.

65

(48)

Kaidah Keempat: Memikirkan dan Menimbang antara Maslahât dan

Mafsadât.

Syari‟at Islam dibangun di atas kaidah memperoleh maslahât (kebaikan)

dan menyempurnakannya dan mencegah mafsadât (kerusakan) dan menghilangkan atau meminimalisirnya. Oleh karena itu, diantara kaidah penting dalam amar ma‟ruf nahi munkar ialah memperkirakan maslahât sehingga disyaratkan dalam amar ma‟ruf nahi munkar agar tidak menimbulkan mafsadât yang lebih besar dari kemungkaran dan sebagainya.66

Apabila berkumpul antara Maslahât dan Mafsadât:

Apabila berkumpul antara maslahât dan mafsadât atau berkumpul antara kebaikan dan kejahatan, maka wajib menguatkan yang terkuat darinya. Permasalahan maslahât dan mafsadât sangat penting dalam syari‟at Islam khususnya dalam amar ma‟ruf nahi munkar.

Kaedah ini dapat diperinci sebagai berikut:

1. Jika kemaslahâtan lebih besar daripada mafsadâtnya maka

disyari’atkan melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata, “Apabila amar ma‟ruf nahi munkar adalah salah satu kewajiban atau anjuran yang paling besar,

maka kemaslahâtannya harus lebih kuat daripada mafsadâtnya. Karena dengan hal inilah para Rasul diutus, kitab-kitab diturunkan, dan Allah tidak menyukai kerusakan. Bahkan, segala apa yang diperintahkan Allah adalah kemaslahâtan dan

66

(49)

Allah memuji kebaikan dan orang-orang yang melakukan kebaikan dan mencintai orang-orang yang beriman dan melakukan kebajikan. Dan Allah SWT mengecam kerusakan dan orang-orang yang berbuat kerusakan pada tempatnya.67

2. Jika mafsadât lebih besar daripada maslahâtnya maka diharamkan

melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

Allah SWT melarang mencaci-maki patung yang disembah orang-orang musyrik. Allah SWT berfirman didalam surah Al-An‟âm,

                       ... 

108. Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan...

Dalam ayat ini, Allah melarang mencaci-maki tuhan-tuhan (patung-patung

sesembahan) orang musyrik, karena mafsadâtnya besar, yaitu mereka akan mencaci-maki Allah, padahal mencaci-maki tuhan-tuhan sesembahan orang musyrik ada maslahâtnya, akan tetapi menolak bahaya harus didahulukan daripada menarik

Referensi

Dokumen terkait

"Seorang muslim yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka adalah lebih baik dari pada orang yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas

Bahwa planet bumi ini termasuk jenis langit. Jadi, bumi itu seperti langit dalam struktur dan karakter-karakternya.. Namun, apa pun maknanya, tidak dibutuhkan dan

Sayyid Quthb juga berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan acuan pertama dalam pengambilan hukum maupun mengatur pola hidup masyarakat karena telah dianggap jalan untuk

Lafaz la’ibun wa lahwun menjelaskan hakikat kehidupan di dunia, laksana permainan dan olok-olok yang sifatnya membosankan, sementara dan tidak abadi, yang dapat menyesatkan

Black, Antony, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, alih bahasa: Abdullah Ali dan Mariana Arisetyawati, Jakarta: Serambi, 2006.. Dewan Redaksi Ensiklopedia

Sayyid Qut}b dalam tafsirnya mengatakan bahwa, “Nabi yang ummi” itu akan menyuruh manusia berbuat yang ma'ru>f dan melarang mereka dari.. mengerjakan perbuatan

agama selain Islam dimasukkan ke dalam golongan orang-orang kafir. Keimanan mereka tidak diterima setelah diutusnya Nabi Muhammad, kecuali dengan beriman kepada Nabi Muhammad

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah