(Studi Kasus Tanah Wakaf di Masjid Jami' al-lstiqomah Desa Cikalong Kee. Cilamaya Karawang Jawa Barat)
Olch:
Virka U ntrisna
202043101181
JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAH DAN HUKUM
FAKULTAS SY ARIAH DAN HUKUM
UNIVERSIT AS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Kee. Cilamaya Karawang Jawa Bara{)
Skripsi diajukan kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum untuk memenuhi
syarat-syarat meraih Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh
Virka Untrisna
NIM: 202043101181
Dibawah bimbingan
,>-'--Dr. H. Ahmad Mukri Adji, M.A
NIP: 150.220.544.
JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAH DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI' AH DAN HUKUM
UNIVERSIT AS ISLAM NEGERI :SY ARIF
HIDA YATULLAH
Nama
Tempat/ Tanggal Lahir
Jenis Kelamin
Agama
Kewarganegaraan
Nama Orangtua
Alamat
Tlp./HP
Pendidikan Formal
Pendidikan NonFormal
Tahun 1996-2002
: Virka Untrisna
: Batang, 22 September 1984
: Laki-Laki
: Islam
: Indonesia
: Imam Yuwono dan Ade Selawati
: JI. Raya Masjid Limpung No. 81 Kee. Limpung Kab.
Batang Jawa Tengah 51271
: 021 98 688 582 I 085 865 126 888
: l. Tamat SDN 1 Limpung, berijazah tahun 1996
2. Tamat MTs Daruttauhid Malang, berijazah tahun
1999
3. Tamat MA Daruttauhid Malang, berijazah tahun
2002
4. Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif
Hida-yatullah Jakarta, Fakultas Syari'ah dan Hukum,
Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum, Prodi
Perbandingan Madzhab Fikih
Pengalaman Organisasi
Tahun 2002-2003
Tahun 2003-2004
Tahun 2004-2005
: Staf Departemen Kesejahteraan Mahasiswa clan
Masy-arakat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Ekstensi
Fakultas Syari'ah clan Hukurn
: Menteri Departemen Penelitian clan Pengembangan (
Litbang) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Ekstensi
Fakultas Syari'ah clan Hukum
: Koordinator Lembaga Semi Otonom (LSO) Advokasi
clan Hukum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan semesta alam
Allah SWT yang telah memberikan kepada kita nikmat iman, Islam, dan ihsan serta
nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga skripsi ini clapat diselesaikan sebagai
salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada jurusan
Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Besar
Muhammad Saw. beserta keluarga dan shahabatnya yang telah mengeluarkan
ummatnya dari jaman jahiliyah menuju jaman ilmiah dan karena beliaulah sehingga
ummatnya dapat membedakan yang hak dan yang bathil. Amma ba 'du.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis menemukan hambatan yang tidaklah
sedikit. Namun berkat bantuan, dorongan serta dukungan dari berbagai pihak maka
hambatan tersebut dapat diatasi. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tidak terhingga kepada
berbagai pihak sebagai berikut :
I. Papah dan mamah penulis, kepada beliau berdua secara khusus penulis
persembahkan terima kasih, penghargaan dan penghormatan yang
setinggi-tingginya atas pendidikan dan do'a yang
ゥサ・イ・ォ。LセセZゥォ。ョN@
Jasa kalian tidak akanl -, '"""""'"· J )f/;p?,._,,_ , ___
kepada beliau berdua di dunia dan di akhirat nanti. Pe,nulis berharap semoga
mendapatkan ridho dari beliau berdua sehingga penulis juga mendapatkan ridho
dari Allah SWT karena ridho Allah itu di dalam keridhoan orang tua. Dan
sebuah harapan pula yang teramat penting dalam kehidupan penulis adalah
penulis bisa membahagiakan beliau berdua. Amin ya Robbal 'aalamiin.
2. Ayah dan bunda Dina, yang selalu memberi doa dan motivasi di saat penulis
dalam keadaan di mana penulis mengalami suatu titik kejenuhan yang tinggi
sewaktu penulisan skripsi ini . .Jazakumullah khairon katsiro, semoga Allah
membalas kebaikan beliau berdua dengan kebaikan pula yang berlipat ganda.
3. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma,S.H.,M.A. ,M.M. selaku Dekan
Fakultas Syari'ah dan Hukum lJIN SyarifHidayatullah .Jakarta.
4. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, M.A. selaku Ketua Jurusan Perbandingan
Madzhab dan Hukum yang juga merangkap sebagai dosen pembimbing skripsi
yang dengan kesabaran, kearifan, ketulusan hati, serta kecermatan dalam
memberikan bimbingan, dorongan, arahan, serta saran-saran yang sangat berarti
kepada penulis untuk perbaikan skripsi ini menjadi lebih baik.
5. Bapak Ridwan, selaku Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Masjid
Jami' al-Istiqomal1 Ds. Cikalong Kee. Cilamaya Kab. Karawang yang telah
memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di lingkungan
sewaktu nyantri di Pondok Pesantren Daruttauhid Malang, yang telah
memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi yang sangat penulis butuhkan
ketika penulisan skripsi ini.
7. Bapak dan ibu dosen Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum yang dengan
ketekunan dan kepiawaiannya telah mendidik penulis selama berada di bangku
kuliah serta seluruh staf akademik Fakultas Syari'ah dan Hukum yang sangat
besar peranannya bagi penulis.
8. Secara khusus penulis sampaikan penghargaan dan terirna kasih dari lubuk hati
yang paling dalam kepada Dina tercinta, yang telah memberikan dorongan,
semangat, do' a, dan pengorbanan.
9. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah melalui hari-hari bersama di bangku kuliah
(bukan Bangku Kosong kayak film horor itu lho .. hh he ... he ... he ... ) selama ini
terutama Nurul al-Betawi, Wiwi al-Padangi, Mbac Yati yang sibuk ngurusin
rumah, Pijol alias Hafiz Ali orok skuter sejati , Bakhruzal alias Ki Mantep
Rijal Banget selaku paranormal/ penasehat spiritual/ psikiater di kawasan
mojang Kampung Syari'ah dan Hukum khususnya dan makhluk bumi pada
umumnya, Fatwa Ginting wong Medan Asli eeiihh.
I 0. Sahabat-sahabat LOK (tebak sendiri aja kepanjangannya) Muammar yang
sarat makna, dan grombolan yang lain yang tidak bisa disebutkan di sini
11. Rekan-rekan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak
memberikan perhatian, dorongan, dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi
Im.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, maka kritik yang
positif dan membangun sangat penulis harapkan.
Akhirnya semoga Allah SWT. selalu melindungi mereka dan memberikan
balasan terhadap semua pihak yang penulis sebutkan di alas, serta pihak-pihak yang
belurn sernpat disebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca
pada umumnya dan mahasiswa Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta pada khususnya
Jakarta, November 2006
Penulis
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
DAFTAR RIW A YA T HID UP ... .i
KAT A PEN GANT AR ... .iii
DAFT AR ISl ... vii
BABIPENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Kegunaan Penelitian ... 9
E. Metode Penelitian ... l 0 F. Sistematika Pembahasan ... 13
BAB II PERWAKAFAN DALAM PANDANGAN ISLAM A. Pengertian Wakaf ... 15
B. Dasar dan Hukum Wakaf ... 18
C. Rukun dan Syarat Wakaf ... 22
D. Macam-Macam Wakaf. ... .38
E. Nadzir dan Kedudukannya dalam Wakaf ... .43
B. Dasar Hukum Wakaf ... 66
C. Tujuan, Fungsi, Unsur, dan Syarat Wakaf.. ... 71
D. Pendaftaran dan Pengununan Harta Benda Wakaf ... 80
E. Perubahan Status Harta Benda Wakaf.. ... 82
F. Pengelolaan dan Pengembangan Haiia Benda Wakaf.. ... 83
BAB IV PAPARAN DATA DAN ANALISlS HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Masjid Jami' al-Istiqomah ... 85
B. Faktor Penyebab Waq({Melakukan Wakaf Yang Tidak Terdaftar. ... 91
C. Akibat Yuridis Dan Perlindungan Hukum Bagi Tanah WakafYang Tidak Terdaftar.. ... 96
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 115
B. Saran-Saran ... 117
DAFT AR PUSTAKA ... 119
A.
Latar Belakang MasalahWakaf yang terambil dari kata kerja bahasa Arab waqafa, menurut bahasa
berarti menahan atau berhenti. Dalam istilah hukum Islam wakaf ialah suatu
perbuatan hukum dari seseorangyang dengan sengaja memisahkan atau mengeluarkan
harta bendanya yang digunakan manfaatnya bagi keperluan dijalan Allah atau dalam
jalan kebaikan.1 Sedangkan menurut peraturan perwakafan yang terbaru yaitu:
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, di dalam pasal 1, wakaf adalah
perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syari'ah.
Sebagai institusi keagamaan yang erat hubungannya dengan masalah sosial
ekonomi, wakaf telah dilaksanakan oleh umat Islam dari periode awal, di masa
Rasulullah. Adapun pelaksanaan wakaf yang pertama dalam Islam adalah wakaf yang
dilaksanakan oleh sahabat Umar bin Khattab terhadap tanalmya di Khaibar. Menurut
Imam Syafi'i, sesudah pelaksanaan wakaf Umar tersebut, ada sekitar 80 orang
sahabat yang ikut mewakafkan hartanya.2
1
Supannan Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Serang: Dar al-Ulum Pre4ss, 1994), h.26
2
Dari uraian di atas, terlihat adanya perhatian dan semangat yang begitu besar
dari umat Islam periode awal untuk melestarikan dan mengembangkan wakaf. Hal ini
tidak lain karena al Qur'an dan Hadis secara tegas dan jelas telah mensyari'atkan
wakaf. Lebih lanjut, A.A. Basyir memberikan klasifikasi tentartg dasar hukum wakaf,
yaitu pertama, dasar umum berupa ayat-ayat al Qur'an yang memerintahkan manusia
untuk berbuat baik demi kepentingan masyarakat, misalnya surat al Hajj(22) ayat 77,
surat al Baqarah (2) ayat 261 dan surat Ali Imran (3) ayat 92, kedua, dasar khusus
adalah hadis Nabi riwayat Bukhari-Muslim dari Ibnu Umar r.a. yang menceritakan
tentang pelaksanaan wakaf oleh sahabat Umar dan hadis Nabi riwayat Muslim dari
Abu Hurairah r.a. yang mengemukakan bahwa seorang manusia yang meninggal
dunia akan berhenti semua amal perbuatannya, kecuali pahala tiga anmlan, yaitu I)
shadaqahjariyah, 2) ilmu yang bermanfaat, dan 3)doa anak saleh.3
Dilihat dari penggunaan/tujuan wakaf, ada 2 kategori wakaf, yaitu wakaf
khusus/wakaf keluarga/wakaf ahly/wakaf dzuny/wakaf 'ala al au/ad dan wakaf
umum/wakaf khairy. W akaf khusus adalah wakaf yang diperw1tukkan khusus kepada
orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga wakif atau bukan.4 Wakaf untuk
keluarga ini secara hukum dibenarkan berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan
3 Ahmad Azhar Basyir,
Hukum Islam Tentang Waka/, Ijarah dan Syirkah, (Bandung al-Ma'arif,
1977), h. 5-7.
4 Abdurrahman,
Masa/ah Perwakafan Tanah Mi/ik dan Kedudukan Tanah Waka/ di Negara
oleh Bukhari-Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu
Thalhah kepada kaum kerabatnya. 5
Pada perkembangan selanjutnya wakaf dzurry ini dianggap kurang dapat
memberikru1 manfaat bagi kesejahteraan umum karena sering menimbulkan
kekaburan dalrun pengelolaan dan pemanfaatan oleh keluarga yang diserahi harta
wakaf ini. Sekalipun agama lslrun membolehkan wakaf dzurry ini, namun beberapa
negara yang pemah melaksanakannya sepe1ti Mesir, Syiria, Turki, Maroko dan
Aljazair menghapus pranata wakaf dzuny dengan pertimbangan dari berbagai segi,
tanah-tanah wakaf bentuk ini tidak produktif dan kesulitan-kesulitan di kemudian hari
dalam menyelesaikan perkara atau persoalan yang timbul karenanya. Mesir misalnya,
menghapuskan pranata wakaf ini dengan Undang-undang No. I 80 tahun 1952, dimana
Syria telah menghapusnya sebelum itu. Sedangkan di Indonesia, PP No.28 tahun
1977 secara tegas menyatakan bahwa keluarga tidak tcrmasuk dalrun ruang
lingkupnya. 6
Jenis wakaf yang kedua adalah wakaf khairy, artinya wakaf yang
diperuntukkan bagi kepentingan atau kemaslahatan umum (limashalih al ummah).
Dasar hukum dari wakaf khairy ini adalah hadis Nabi yang menceritakan wakaf
sahabat Umar bin Khattab. Beliau memberikan hasil kebunnya kepada fakir miskin,
ibnu sabil, sabilillah, para tamu dan hrunba sahaya yang sedang berusaha menebus
5 Suparman Usman,
op.cit. h.35
dirinya. Wakaf ini ditujukan kepada umum dengan tidak terbatas penggunaannya,
yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia
pada umumnya. Kepentingan tersebut bisa untuk jaminan sosial, pendidikan,
kesehatan, pertahanan, keamanan, dan lain-lain. 7 Dalam kasus wakaf khairy ini,
menurut jumhur ulama, ketika diikrarkan harus ada nadzimya. Dalam hal ini, wakif
dapat menentukan siapa nadzir yang dikehendaki. Apabila wakif tidak menentukan
nadzimya, maka hakimlah yang menentukan.
Hukum perwakafan di Indonesia pada dasamya adalah sebuah pranata hukum
yang unik sekaligus rwnit, karena mungkin tidak ada di Indonesia ini suatu pranata
hukum yang dalam waktu bersamaan secara serentak diatur oleh berbagai ketentuan
hukum yang berasal dari berbagai subsistem hukum sebagaimana halnya dengan
pranata wakaf ini. Akibatnya, keberadaannya perlu untuk dilihat secara sedemikian
rupa dan dapat mengundang perbedaan pendapat yang cukup tajam tergantung dari
sudut mana kita memandangnya.8
W akaf sebagai lembaga yang diatur oleh negara telah dimanifestasikan dalam
peraturan perundang-undangan sejak tahun 1905, walaupun masih terbatas pada
perwakafan tanah yang termasuk di dalarnnya masjid dan rumah-nunah suci.
Peraturan-peraturan tersebut masih berlaku hingga pendudukan Jepang dan di masa
Republik. Pada tanggal 24 September 1960, diundangkan peraturan pertanahan yang
7
Suparman Usman, op. cit., h.36
8
dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960. UUPA
Bab XI pasal 49 ayat 3 mengenai masalab pertanahan menyatakan babwa:
perwakafan tanab milik diatur dengan peraturan pemerintab. Oleh karena itu, labirlab
Peraturan Pemerintab (PP) Nomor 28 tabun 1977 pada tanggal 17 Mei 1977 tentang
Perwakafan Tanab Milik. Pasal 17 PP No.28 tabun l 977 menyatakan babwa
peraturan yang disusun pada masa Hindia Belanda dihapuskan. Sebagai tindak lanjut
PP No.28 tahun 1977, dikeluarkanlab beberapa peraturan sebagai berikut :
I. Peraturan pelaksanaan PP No.28/1977 yang diatur oleh Peraturan Menteri
Agama No. I tabun 1978.
2. lnstruksi Bersama Menteri Agama dengan Menteri Dalam Negeri No. I
tahun 1978.
3. Keputusan Menteri Agama No.73 tabun 1978 tentang pendelegasian
wewenang kepada Kepala Kanwil Departemen Agama Propinsi/setingkat
di seluruh Indonesia untuk mengangkat/memberhentikan setiap Kepala
KUA sebagai PPAIW.
4. lnstruksi Menteri Agama No.3 tabun 1978 tentang petunjuk pelaksanaan
Keputusan Menteri Agama No.73 tahun 1978.
5. Instruksi Menteri Agama No.3 tahun 1978 tentang bimbingan dan
pembinaan kepada badan hukum keagamaan yang memiliki tanab.
6. lnstruksi Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional
7. Berbagai Surat Keputusan dan Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan
Haji yang berkenaan dengan perwakafan.
8. Kompilasi Hukum Islam yang disosialisasikan dengan Inpres No.I Tahun
1991.9
9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf.
Namun demikian, dalam operasional di lapangan masih ditemukan
masalah-masalah yang perlu mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait secara terkoordinasi,
seperti permasalahan tentang tanah wakaf yang tidak terdaftar. Dalam pelaksanaan
wakaf, temyata ketentuan-ketentuan administratif dalam PP No.28 Tahun 1977,
Kompilasi Hukum Islam, dan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf belum
sepenuhnya mendapat perhatian masyarakat pada umumnya, dan khususnya pihak
yang berwakaf. Pada diri wakif yang amat menonjol adalah sisi ibadah dari praktek
wakaf. Oleh karena itu, wakiftidak merasa perlu untuk dicatat atau diadministrasikan.
Dengan demikian, perwakafan itu dilakukan atas dasar keikhlasan dan keridloan
semata serta menurut tata cara adat setempat tanpa didukung data otentik dan
surat-surat keterangan, sehingga secara yuridis administratif status wakaf banyak yang
tidak jelas.
Dalam kondisi di mana nilai dan penggunaan tanah semakin besar dan meluas
seperti sekarang ini, maka tanah wakaf yang tidak jelas secarn hukum tersebut, telah
banyak mengundang kerawanan dan memudahkan terjadinya penyimpangan dari
hakekat hukum dan tujuan perwakafan, sepe1ti adanya tanah wakaf yang tidak lagi
diketahui keadaannya, adanya tanah wakaf yang seolah-olah tdah menjadi milik ahli
waris wakif atau nadzirnya, adanya sengketa dan gugatan terhadap tanah-tanah wakaf
dan berbagai kasus tanah wakaf lainnya. Salah satunya adalah kasus tanah wakaf
yang tidak terdaftar yang terjadi di Masjid Jami al-Istiqomah Desa Cikalong
Karawang Jawa Baral.
Masjid Jami' al-Istiqomah memiliki dua jenis tanah wakaf, yaitu tanah waqaf
produktif dan tidak produktif, adapun tanah tidak produktif adalah di mana ュ。セェゥ、@
dan majlis talim saat ini telah berdiri. Sedangkan tanah produktif adalah berupa tanah
sawah seluas 9,5 bau' atau sebanding dengan 7,6 hektar, yang mana hasil dari tanah
tersebut digunakan untuk kepentingan pengelolaan masjid seperti renovasi, menggaji
para imam shalat, penjaga dan pengurus masjid, bayar listrik, kegiatan hari besar
Islam (peringatan Maulid Nabi, lsra' Mi'raj) dan keperluan lainnya.
Dalam perkembangannya setelah para wakif meninggal dunia, tanah wakaf
produktif tersebut dikelola oleh para ahli warisnya. Hal ini menyebabkan adanya
penyimpangan-penyimpangan penggunaan hasil dari tanah sawah tersebut mengingat
tidak adanya orang dari luar keluarga selain juga bawa ahl:i waris tersebut secara
ekonomi kurang mencukupi.
Masjid al-Istiqomah Desa Cikarang Kee. Cilamaya Karawang. Hal ini berawal
ketika pada tahun 1890 dibangun di atas tanah wakafsebuah mushola kemudian pada
Pembangunan masjid tersebut mendapat respon positif dan dukungan dari
masyarakat. Salab satu manifestasi dari dukungan tersebut adalab adanya kesadaran
dari masyarakat untuk menyisihkan sebagian tanab sawah milik mereka untuk
diwakafkan guna keperluan masjid. Dengan kata lain, Masjid Jami' al-Istiqomab
didirikan dan dibangun atas swadaya masyarakat setempat. Hal ini terjadi tepatnya
pada tahun 1960-2002, A (para wakij) mewakafkan tanah sawab untuk kepentingan
masjid kepada B (Dewan Kesejabteraan Masjid) dan dipercayakan kepada C (nadzir)
secara lisan tanpa adanya surat-surat atau dokumen resmi sebagai persyaratan wakaf.
Tanab sawab tersebut adalab sebagai penunjang untuk pengelolaan masjid pada masa
berikutnya.
Pada perkembangannya ada di antara abli waris kira-kira tabun 2003 mengambil
sebagian bidang tanab yang seharusnya dipergunakan untuk masjid. Sementara itu
nadzir sebagai orang yang mempunyai tangungjawab untuk menjaga dan memelihara
keutuhan benda wakafhanya mengambil tindakan sebatas peringatan kepada D (salah
satu dari abli waris tersebut) babwa tanab yang ditempati adalab tanab wakaf masjid.
Sedangkan D tetap bersikeras bahwa tanah itu adalah tanah miliknya. Keunikan
dalam kasus ini adalab adanya hubungan kekerabatan antara A, B, C dan D.
Dengan demikian エ・セェ。、ゥ@ penyalabgunaan basil tanah wakaf produktif berupa
tanah sawab. Dana yang diperoleh dari hasil penyewaan sawab tersebut tidak
seluruhnya digunakan untuk keperluan masjid tapi digunakan untuk keperluan
keluarga abli waris tersebut. Hal ini terjadi selain karena semua wakaf itu dikelola
Berdasarkan urman di atas, maka penelitian tentang Akibat Yuridis Tana/1
Waktif Yang Tidak Terdajtar dengan mengambil Jokasi penelitian di Masjid Jami'
al-Istiqomah Desa Cikalong Kee. Cilamaya Karawang Jawa Barat penting untuk
dilakukan.
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
I. Apakah yang menyebabkan wakifmelakukan wakafyang tidak terdaftar?
2. Bagaimana akibat yuridis dan perlindungan hukum bagi tanah wakaf yang
tidak terdaftar?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan dua hal pokok sebagai berikut:
I. Ingin mendiskripsikan hal-hal yang menyebabkan wakif melakukan wakaf
yang tidak terdaftar.
2. Ingin mendiskripsikan akibat yuridis dan perlindw1gan hukum bagi tanah
wakaf yang tidak terdaftar.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki sekurang-kurangnya tiga kegunaan,
sebagai berikut:
I. Bagi pengurus masjid, sebagai masukan dan alternatif solusi dalam
2. Dapat menjadi bahan perbandingan bagi masyarakat pada umwnnya
dalam memahan1i pentingnya mengadakan praktek wakaf sesuai dengan
ketentuan-ketentuan hukum positif tentang wakaf.
3. Dapat dijadikan salah satu bahan kajian bagi peneliti berikutnya yang
lebih mendalam untuk memperkaya dan membandingkan temuan-temuan
dalam bidang ini.
E. Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk memperoleh data yang valid dalam penelitian ini
meliputi:
I. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif yang memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang
mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan
• JO
manusia.
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yaitu
penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mempelajari secara mendalam
suatu individu, kelompok, institusi atau masyarakat tertentu tentang latar
belakang, keadaan/kondisi, faktor-faktor, atau interaksi··interaksi (sosial) yang
terjadi di dalanmya. 11 Studi kasus merupakan suatu gambaran hasil penelitian
'°
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, h. 20.11
yang mendalam dan lengkap, sehingga dalam infonnasi yang disampaikan
tampak hidup sebagaimana adanya dan pelaku-pelaku mendapat tempat untuk
. k
12memam an peranannya.
2. Lokasi Penelitian
Masjid Jami' al-Istiqomah Desa Cikalong Kee. Cilamaya Karawang Jawa
Baral.
3. Sumber Data
a. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari
masyarakat.13 Data ini meliputi hasil interview dengan ahli waris
wakif; nadzir, pengurus Masjid Jami' al-lstiqomah dan beberapa
saksi istifadlah.
b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka.14 Data
ini terdiri dari PP No. 28 Tahun 1977, Kompilasi Hukum Islam,
Undang-Undang No. 41 Tentang Wakaf, pendapat ulama seputar
wakaf, hasil penelitian tentang wakaf, dan lain-lain.
4. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam upaya pengumpulan data yang diperluk1m, digunakan metode
sebagai berikut:
a. Metode Observasi
12
Burhan Ashshofa, op.cit.h.21.
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Huku1n, h. 51.
14
Metode observasi bertujuan untuk mendiskripsikan setting, kegiatan
yang terjadi, orang yang terlibat di dalam kegiatan, waktu kegiatan dan
makna yang diberikan oleh para pelaku yang diamati tentang peristiwa
yang bersangkutan. 15
Metode ini digunakan untuk mengungkapkan data yang berkaitan
dengan pihak-pihak, waktu terjadinya dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan wakaf yang tidak terdaftar.
b. Metode Wawancara/lnterview
Metode interview ini digunakan untuk memperoleh informasi
tentang kronologis kejadian wakaf yang tidak terdaftar, hal-hal yang
menyebabkan wakif melakukan wakaf yang tidak terdaftar, akibat yuridis
dan perlindungan hukum bagi benda wakaf yang ticlak terdaftar.
c. Metode Dokumenter
Dalam penelitian ini, metode dokumenter digunakan untuk mencari
dan mengungkapkan data yang belum diperok:h dari observasi dan
interview.
5. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif
kualitatif. Teknik analisis deskriptif kualitatif digw1akan untuk menuturkan,
menafsirkan serta menguraikan data yang bersifat kualitatif yang diperoleh dari
observasi, wawancara/interview dan dokumenter.
F. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
Babl PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pengantar untuk dapat menjawab pertanyaan apa yang
diteliti, mengapa, bagaimana dan untuk apa penelitian ini dilakukan. Oleh
karen itu, bab ini terdiri dari: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,
Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika
Pembahasan.
Bab II PERWAKAFAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Bab ini adalah pisau analisis yang berisi teori-teori mengenai perwakafan.
Dalam bab ini diungkapkan tentang: Pengertian Wakaf Menurut, Dasar
Hukum Wakaf, Dasar Hukum Wakaf, Rukun dan :Syarat Wakaf,
Macam-macam Wakaf, Nadzir dan Kedudukannya dalam Wakaf, Kedudukan atau
Status Kepemilikan Harta Wakaf.
Bab Ill PER W AKAF AN DALAM HUKUM POSITIF
Bab ini berisi mengenai teori-teori perwakafan dalam hukum positif. Dalam
bab ini diungkapkan tentang: Pengertian Wakaf, Dasar Hukum Wakaf,
Tujuan, Fungsi, Unsur, dan Syarat Wakaf, Pendaftaran dan Pengumuman
Harta Benda Wakaf, Perubahan Status Harta Benda Wakaf, Pengelolaan dan
Bab IV PAPARAN DATA DAN ANALISIS 1-IASIL PENELliTIAN
Bab ini terdiri dari dua bagian besar, yaitu deskripsi obyek penelitian dan
jawaban dari permasalahan penelitian. Dalam bab ini diuraikan tentang:
Gambaran Umum Masjid Jami' al-Istiqomah, Faktor Penyebab Wakif
Melakukan WakafYang Tidak Terdaftar, Akibat Ywrisdis dan Perlindwngan
1-Iukum Bagi Benda WakafYang Tidak Terdaftar.
Bab V PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir yang memuat dua ha! pokok, yaitu:
[image:24.595.70.482.147.509.2]A. Pengertian Wakaf
Perkataan waqf yang dalam bahasa Indonesia menjadi wakaf berasal dari bahasa
Arab waafa-yaqifu-waqfan, berdiam di tempat, atau menahan.1 Pengertian "berhenti"
ini jika dihubungkan dengan ilmu baca al-Quran atau ilmu tajwid mengandung makna
menghentikan bacaan baik seterusnya maupun untuk mengambil nafas sementara,
dari mana harus di mulai dan di mana harus berhenti. Pengertian wakaf dalam arti
"berdiam di tempat" dikaitkan dengan wukuf yaitu berdiam di Arafah pada tanggal 9
Dzulhijjah ketika menunaikan ibadah haji. Adapun pengertian "menahan" (sesuatu)
dihubungkan dengan harta kekayaan, itulah yang dimaksucl dengan wakaf dalam
pembahasan ini. Wakaf adalah menahan sesuatu benda tmtuk cliambil manfaatnya
sesuai clengan ajaran Islam.2
Kata waqafa-yaqifu-waqfan di dalam kepustakaan ba1hasa Arab merupakan
sinonim dari kata habasa-yahbisu-habsan. Term wakaf digunakan di beberapa negara
Islam termasuk Indonesia, seclangakan istilah habs biasanya dipergunakan di Afrika
Utara di kalangan pengikut madzhab Maliki.3
1
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), h.2033.
2
Muhammad Daud Ali, op.cit., h.80.
3
Adapun pengertian wakaf secara tenninologi sangat beragam di kalangan
fuqaha. Berikut ini beberapa pengertian wakaf yang dikemukakan oleh imam-imam
madzhab.
I. Imam Abu Hanifah mendefinisikan wakaf adalah:
"Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukurn tetap milik
wakif dalam rangka merpergunakan manfaatnya untuk kebaikan".4
Berdasarkan definisi ini maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari
tangan wakifbahkan ia dibenarkan menariknya kembali clan boleh menjualnya.
2. Pengertian wakafmenurut Imam Malik, yaitu:
"Wakaf adalah seorang pemilik yang memperuntukkan manfaat harta
benda miliknya baik berupa sewa maupun hasi.lnya untuk diserahkan
kepada pihak yang berhak dengan bentuk penyerahan berjangka waktu
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang berwakaf'.5
Definisi madzhab Maliki ini mengandung arti bahwa pemilik haita
menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan
pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pernberian manfaat benda
yang diwakafkan itu sedangkan benda yang diwakafkan itu tetap menjadi milik
wakif. Masa berlakunya bukan untuk selama-larnanya melainkan hanya untuk
jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan wakif ketika mengucapkan
4
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Jslami Wa Adillatuh, (Damsyik: Dar al-Fikr, 1989), juz VIII, h.153.
sighat wakafuya, dan karenanya tidak disyaratkan sebagai wakaf kekal
(selamanya).
3. Golongan Syafi' iyab mendefinisikan wakaf sebagai berikut:
"Wakaf adalab menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan
tetap utuhnya barang, dan barang itu lepas dari milik wakif serta
dimanfaatkan untuk sesuatu yang diperbolehkan agmna".6
4. Adapun madzhab Hanbali mendefinisikan wakaf sebagai berikut:
"Wakaf adalah menahan kebebasan pemilik harta benda dalam
membelanjakan hartanya yang bem1anfaat dengan tetap utuhnya harta dan
memutuskan semua hak penguasaan terhadap harta itu, sedangkan
manfaatnya digunakan untuk suatu kebaikan dalarn rangka mendekatkan
diri kepada Allab".7
Menurut madzhab Syafi'i dan Hanbali ini, hak pemilikan atas harta wakaf
itu sudab lepas dari orang yang berwakaf dan telah menjadi milik Allah swt.
Dengan demikian bersifat kekal, selama harta tetap utuh. Suatu wakaf tidak
boleh bersifat sementara dan ditarik kembali.
Demikianlab beberapa pengertian wakaf yang dikemukakan oleh
imam-imam madzhab. Pada dasamya definisi-definisi tersebut mempunyai intisari
yang serupa babwa wakaf adalab menaban harta yang dimanfaatkan untuk
6
Muhammad al-Khatib al-Syarbini, Mug/mi al-Muhtaj, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1968), juz II, h.376.
7
kebaikan. Perbedaanya hanya terletak pada masalah status harta wakaf, apakah
tetap menjadi milik Allah yang tidak boleh lagi dimilki oleh siapapun.
B. Dasar dan Hukum Wakaf
Para ulama sepakat bahwa wakaf merupakan salah satu bentuk amal kebajikan
dalam ajaran Islam. Wakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada
Allah SWT. melalui harta benda miliknya yaitu dengan mele:paskan benda tersebut
guna kepentingan um um atau masyarakat. 8 Sebagai ibadah yaing tel ah disyari 'atkan,
masalh wakaf ini tentu mempunyai dasar hukum baik al-Qur'an, as-Sunnah, maupun
ijma' sahabat. Berikut ini adalah uraian tentang dasar hukun1 wakafyang dimaksud.
L Dasar hukum dari al-Qur'an
Meskipun tidak jelas dan tegas wakaf disebutkan dalam al-Qur'an, namun
beberapa ayat yang memerintahkan menusia berbuat baik untuk kebaikan
masyarakat dipandang oleh para ahli sebagai landasan perwakafan. 9 Dari
beberapa ayat yang dapat dijadikan dasar hukum perwakafan antara lain:
"Kamu sekali-kali be/um sampai kepada kebaktian yang sempurna sebelum kamu menqflwhkan sebagian dari hart a yang kamu cintai ". (QS: 3(Ali Imran):92).
8
Supannan Usman, op.cit.,h. 32.
9
"Hai orang-orang yang beriman, najkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari usahamu yang baik-baik". (QS.2( Al-Baqarah):267)
Beberapa ayat di atas walaupun secara eksplisit tidak langsung menunjuk
kepada wakaf, tetapi para ulama menjadikannya sebagai sandaran dari
perwakafan berdasarkan pemahaman serta adanya isyarat tentang ha! tersebut.
Setidak-tidaknya mereka berpendapat bahwa wakaf tidak bertentangan dengan
semangat ayat di atas. Bila al-Qur'an menganjurkan agar manusia berbuat baik
melalui sebagian hartanya., maka wakaf adalah salah satu dari realisasi ajaran
al-Qur'an tersebut.
2. Dasar hukum dari al-Sunnah
Di samping beberapa ayat di atas, masalah wakaf ini oleh para ulama juga
didasarkan dari berbagai hadits Nabi. Di antara hadits Nabi yang dijadikan
sandaran wakaf antara lain:
uL.i';ll
-:..iL>
ャセjZ@
Jl9
F-9
.yk.
.&1
セ@
.&1
J_,...,_)
ul
;;Y-Y>
セャ@
UC.
4..1
⦅Ycセ@
e;-IL::.
..ll
3 )
セ@ セ@
rlc
)
セNIiNZ[NN@
Zオセ@
セ@
LY>
'il
4..1...c
セャ@
I 0 (
("L,.,..
oI
3.))"Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw. Bersabda: "Apabila manusia meninggal dunia maka putus/ah pahala segala amalnya kecua/i tiga hal yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, a/au anak yang shaleh yang slalu mendoakannya ".(HR. Muslim).
'0 Imam Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyary al-Nisabury, Shahih Muslim, (Beirut: Dar
Imam Muslim meletakkan hadits ini dalam bah wakaf karena kebanyakan
ahli fikih menahsirkan istilah sedekah jariyah dengan wakaf. 11
Selain hadits di atas terdapat hadits lain yang juga clijadikan landasan yang
kuat dalam masalah wakaf ini, yaitu:
.y.b .&I
セ@
セi@
セ|ェ@
セ@
L....a)
ye yL..:il:
Jjj
ye
LHJ
l.JC
JL.,
y...:.I
イjセ@
L..aj ,-'."cl
セj@
.&I
Jy.o)-:1: Jw
セ@
ッケセ@
rLJ
4L:>I , -, . ,,
t" t.::..U..:;,ul Ju
セ@ セ@
セ@
yl.:iw,
.u..
i..;
.:llcud.il
.JA
.hl
w⦅jセGス@
J
t
セ@
'}
J41-ai
t
セGス@
4..i\
ye
4-!
jセN、ZゥNゥ@
Jjj,
4-!
、セ@
J
セセj@
yU)I
セj@
ts.1Yl1
セj@
LLN|⦅ヲ。ャャセ@
ye
jNセ@
Jjj.
ケQTセGQj@
wJyi-Jl:
セ@
JS\-:i
ul
4,JlJ
セ@
セj@
」セGャN@
セセャャ@
J J:H...JI LHIJ .&I
12
HセINNャAij@
セ@
0\J-J)
Jy>'..1.4
Y.f:-
セセa@
JI
·'Dari Jbnu Umar ra. berkata: Umar mempunyai sebidang tanah di Khaibar, !au ia datang kepada Nabi saw, untuk meminta nasihat tentang harta itu seraya berkata: 'Ya Rasulul/ah, sesungguhnya aku telah mendapat sebidang tanah di Khaibar yang aku be/um pernah memperoleh tanah sebaik itu. Apa nasehatmu untukku tentang tanah itu ? " Rasul/ah bersabda: "Jika engkau mau tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya ". Jbnu Umar berkata: "Maka Umar mewakajkan harta itu dengan arti bahwa tanah itu tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan. Umar menyedahkan. Umar menyedekahkan hasil harta untuk orang fakir, kepada kerabat, kepada budak,
fl
sabllillah, dan para tamu. Tidaklah berdosa orang yang mengurusinya memakan sebagian dari harta itu secara wajar dan tidak bermaksud mencari kekayaan (HR. Muslim dan ad-Daruqutny).11
lbnu Ismail al-Shan'any, Subul Al-Salam, (Mesir: M. Ali. Shahib, t.th), juz Ill, h. 115.
12
Pada hadits ini secara lebih khusus menceritakan tentang wakaf, dan apa
yang dilakukan Umar tersebut merupakan peristiwa perwakafan yang pertama
dalam sejarah Islam.13
Hadits yang lainnya adalah:
"Dari Anas ra. dia berka/a: "ketika Rasulullah saw. datang di Madinah dan memerinlahkan unluk membangun masjid, beliau berkala : "Wahai Bani Najjar, apakah kamu hendak menjual kebunmu ini?" lvfereka menjawab: "Demi Allah, kami tidak meminta harganya kecuali kepada Allah ta 'ala. Maksudnya agar Rasu/lah megambllnya dan membangun masjid". (HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Nasai).
Dikabarkan bahwa Bani Najjar membangun bersama-sama dinding sebuah
masjid dan memberikannya (mewakafkannya) untuk kepcntingan umum.15
3. ljma' sahabat
Selain berdasarkan kepada al-Qur'an dan hadits, perwakafan juga
didasarkan kepada ijma' sahabat. Dalam hal ini Jabir berkata:
13 Wahbah al-Zuhaili, op. cit. h. 157. 14
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo:Dar Nahr an-Nail, t.th.), jilid I, h.86.
15
:Uk seorangpun dari sahabat Rasulullah yang mempunyai harta melainkan ia wakajkan hartanya itu ".
Perkataan Jabir ini menunjukan bahwa wakaf merupakan ajaran Islam
yang telah dipraktekkan oleh para sahabat. Demikianlah kiranya dapat
disimpulkan bahwa masalah wakaf mempunyai dasar hukum dari al-Qur'an,
as-Sunnah, serta ijma' sahabat. Itulah yang menjadi landasan utama
disyari'atkannya wakaf dalam agama Islam.
C. Rukun dan Syarat Wakaf
Meskipun para ulama berbeda pendapat mengenai wakaf dan perbedaan itu
tercermin dalam perumusan mereka, namun mereka sependapat bahwa untuk
pembenlukan lembaga wakaf diperlukan rukun17 dan syarat.
Wakaf sebagai suatu lembaga Islam tentu juga mempunyai rukun. Tanpa
adanya rukun yang telah ditetapkan wakaf tidak dapat berdiri. Mengenai jumlah
rukun terdapat perbedaan di kalangan fukaha. Menurut madzhab Hanafi rukun wakaf
hanya satu yaitu shigha/8, sedangkan qabul (pernyataan menerima wakaf) tidak
termasuk rukun wakaf bagi ulama madzhab Hanafi, karena menurut mereka akad
wakaf tidak bersifat mengikat. Artinya apabila seseorang mengatakan "saya
16
Mansur lbnu Yunus al-Bahuti, Kasyaf a/-Qana' 'an Main al-lqna ', Ji lid IV, (Beirut: Dar al-Fikri, 1982), h.240.
17
wakafkan harta saya kepada anda", maka akad itu sah dengan sendirinya dan orang
yang diberi wakafberhak alas manfaat benda wakafitu.19
Adapun menurul jumhur ulama, yaitu dari kalangan madzhab Syafi'i, Maliki,
dan Hanbali, bahwa rukun wakaf ada empa120, yaitu:
I. Orang yang berwakaf alau wakif yaitu pemilik harta benda yang
melakukan tindakan hukum.
2. Harta yang diwakafkan atau mauqufbih sebagai obyek perbualan hukum.
3. Tujuan wakaf alau yang berhak menerima hasi:I wakaf yang disebul
maiquf 'a/aih, dan
4. Pemyalaan wakaf dari wakifyang disebul shighat ai:au ikrar wakaf.
Masing-masing rukun di alas harus memenuhi syarat-syarat yang disepakati
oleh sebagian besar ulama. Penjelasan masing-masing unsur wakaf di alas adalah
b . b .k 21
se agm en ut :
I. Wakif dan syaral-syaralnya
Orang yang mewakafkan hartm1ya disyaratkan cakap bertindak hukum.
Kecakapan bertindak hukum di sini meliputi empal kriteri.a:
19
Depag RI., lac.cit.
20
Abdul Wahab Khallaf, Ahkam al-Waqf, (Mesir: Ma'tabah a-Mishr, 1951), h. 24. 21
a. Merdeka. Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak atau hamba
sahaya tidak sah. Karena wakaf adalah pelepasan hak milik dengan
cara menyerahkan hak milik itu kepada pihak lain. Sedangakan
budak tidak mempunyai hak milik, dirinya dim apa yang dimilinya
adalah kepunyaan tuannya. Demikian juga tidak sah mewakafkan
milik orang lain atau wakafuya seorang pencuri atas harta curiannya.
b. Berakal sehat/sempurna. Wakafyang dilakukan oleh orang gila tidak
sah hukumnya, sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz, dan tidak
cakap melakukan akad serta tindakan hukwn lainnya. Demikian pula
wakafnya orang dungu (idiot), berubah aka! karena faktor usia, sakit
atau kecelakaan hukwnnya tidak sah. Syarat-syarat ini ditetapkan
karena setiap prilaku ekonomi -termasuk wakaf-, memerlukan
keharusan aka! sehat dan dengan pertimbangan yang sehat pula.
c. Baligh/cukup umur, karena baligh menurnt para ulama merupakan
indikasi sempurnanya aka! seseorang. Untuk kecakapan bertindak
melakukan tabarru' (melepaskan hak tanpa mengharap imbalan)
-termasuk pula wakaf- diperlukan kematangan pertimbangan aka!
seseorang (rasyid) yang dianggap telah ada pada orang yang telah
baligh. Oleh karena itu wakaf tidak sah bila dilakukan oleh anak
kecil/ belum baligh karena ia dipandang belum cakap melakukan
d. Orang yang berwakaf itu harus berfikir jemih dan tenang, tidak
tertekan karena bodoh, bangkrnt, atau lalai, walaupun wakaf tersebut
dilakaukan melalui seorang wali.22
2. Benda yang diwakafkan dan syarat-syaratnya
Agar harta benda yang diwakafkan sah, maka hams memenuhi
syarat-syarat tertentu. Dalam syarat-syarat-syarat-syarat harta yang diwakafkan terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Menurut madzhab Hanafi, syarat harta yang
diwakafkan adalah sebagai berikut:
a. Barang yang diwakafkan itu harus bemilai harta menurut syara',
oleh sebab itu minumam keras tidak bisa diwakafkan karena
minuman keras dan sejenisnya tidak tergolong harta dalam
pandangan syara'. Mereka juga berpendapat bahwa pada dasarnya
benda yang dapat diwakafkan adalah benda tidak bergerak, karena
obyek wakaf itu harus bersifat tetap 'ain ( dzat)nya yang
memungkinkan dapat dimanfaatkan terns menerus. Menurut
golongan Hanafiyah benda bergerak dapat diwakafkan dalam
beberapa kondisi.
22 Ibid
1) Hendaknya benda itu selalu rnenyertai benda tetap dan ha! ini
a) Hubungan sangat erat dengan benda tetap, seperti
bangunan dan pohon-pohon. Menurut mereka bangunan
dan pohon-pohonan adalah tennasuk benda bergerak
yang tergantung pada benda tidak bergerak.
b) Sesuatu yang khusus disediakan untuk kepentingan benda
tetap misalnya alat untuk memb:tjak atau lembu yang
digunakan untuk bekerja.
2) Kebolehan benda bergerak itu berdasarkan atsar yang
memperbolehkan wakaf senjata, baju perang, dan
binatang-binatang yang digunakan untuk berperang.
3) Wakaf benda bergerak itu mendatangkan pengetahuan dan
merupakan sesuatu yang sudah biasa dilakukan berdasarkan
'urf misalnya mewakafkan kitab-kitab dim mushaf. 23
b. Barang yang diwakafkan itu harus tertentu ( diketahui) ketika terjadi
akad wakaf. Yang dimaksud di sini adalah bahwa benda tersebut
harus tegas dan jelas, baik kejelasan menyangkut ukuran seperti
mewakafkan I 000 m2 tanah, maupun kejelasan lokasi dan jumlah.
Jadi tidak boleh mewakafkan suatu barang yang tidak jelas, sebab
ketidakjelasan itu dapat mengarah kepada terjadinya pertikaian, yang
harus dihindari terjadinya pada benda wakaf.
23
c. Barang yang diwakafkan itu betul-betul milik penub bagi orang yang
mewakafkannya, karena wakaf itu menggugurkan hak milik dengan
cara tabarru ', maka haruslah barang yang diwakafkan itu betul-betul
sebagai hak milik orang yang berwakaf. Oleh karenanya jika
seseorang mewakafkan benda yang bukan atau belum menjadi
miliknya walaupun nantinya akan jadi mililmya, hukumnya tidak
sah, sebab pemilikan benda yang diwakafkan terjadi sebelum
te1jadinya akad wakaf.
d. Barang yang diwakafkan harus sudah dibagi, tidak lagi sebagai
barang kongsi dengan orang lain jika barang itu memang dapat
dibagi (sebab penerimaan alas barang yang diwakafkan adalah syarat
bolehnya wakaf, sedangkan harta kongsi itu menghalangi
penerimaan tersebut). Sebab pada barang atau harta kongsi tersebut
masih terkait hak orang lain pada harta itu.24
Ulama madzhab Maliki mensyaratkan agar benda yang diwakafkan harus
milik sendiri secara penuh, tidak terdapat hak orang lain pada harta tersebut. Di
samping itu barang tersebut harus tertentu dan jelas se:perti diberi batas atau
ukuran yang jelas, jumlah yang jelas, dan sebagainya. 01.eh karena itu tidak sah
hukumnya mewakafkan benda yang tidak diketahui atau tidak jelas jumlah dan
ukuran atau batasnya, misalnya mewakafkan sebagian tanah yang dimiliki,
sejwnlah buku, atau salah satu dari rumahnya, dan sebagainya. Demikian juga
tidak boleh mewakafkan barang yang sedang digadai atau disewakan. Adapun
jika seseorang bermaksud untuk mewakafkan barang itu setalah masa gadainya
atau masa sewanya berlalu, maka wakafnya sah.25
Selain itu madzhab Maliki juga mensyaratkan agar benda yang
diwakafkan itu dapat dimanfaatkan, baik berupa benda tetap maupun benda
bergerak, untuk selamanya ataujangka waktu tertentu.26
Madzhab Maliki juga menyatakan membolehkan mewakafkan manfaat
hewan untuk dipergunakan dan mewakafkan makanan, uang, dan benda tidak
bergerak lainnya, berdasarkan hadits27:
J
(.SW\ o\
3_>)
セ@
yJ
J.t.-,
Jセ|@
セ|@
:F
J.!.;)kc
.Ji\
セ@
セ|@
JU
28 (
"4--l..
011
"Nabi bersabda: 'Tahan/ah bendanya dan wakafkanla.h hasi/nya '". (HR. Al-Nasai dan Jbnu Majah)
Ulama madzhab Syafi'i dan Hanbali mensyaratkan benda yang akan
diwakafkan harus berupa benda yang jelas dan hak milik sah. Persyaratan ini
bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak bagi mustahiq
25 Ibid,
h. 187.
26
Ali Fikri, op.cit., h. 307.
27
Wahbah al-Zuhaili, op.cil., h.169.
28
untuk kemanfaatan benda wakaf tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari perselisihan dan permasalahan yang mungkin timbul di kemudian
hari setelah harta tersebut diwakafkan. Syarat ini telah disepakati oleh para
fuqaha, mereka juga mensyaratkan agar benda yang diwakafkan itu dapat
menghasilkan manfaat yang bersifat langgeng serta harus disalurkan kepada ha!
yang diperbolehkan oleh syara' .29
Mengenai wakaf benda bergerak kalangan Syafi'iyah berpendapat bahwa
barang yang diwakafkan haruslah barang yang kekal manfaatnya baik berupa
barang tidak bergerak, barang bergerak, maupun barang kongsi.30 Adapun
menurut Hanabilah barang yang dijual belikan, barang yang bermanfaat secara
mubah sedang dzat barangnya kekal sah pula untuk diwalcafkan.31
Seperti dijelaskan pada pengertian wakaf pada bagian terdahulu, sebagian
fuqal1a menekankan bahwa barang yang diwakatkan harus bersifat "kekal" atau
paling tidak dapat bertahan lama. Pandangan seperti ini merupakan konsekuensi
logis dari konsep bahwa wakaf adalah sedekah jariyah. Sebagai sedekah jariyah
yang pahalanya terus mengalir, sudah barang tentu barang yang diwakatkan
harus berupa barang yang fisiknya bersifat kekal atau bertahan lama. Namun
demikian jumhur ulama justru lebih menekankan pada aspek manfaatnya bukan
sifat fisiknya. Ulama Syafi'iyah misalnya membolehka:n wakaf barang secara
29
M. Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Turats al-Arabi, Uh), h. 277.
30 Ibid,
h. 276.
umum apakah bersifat kekal atau sementara, oleh karena itu mereka
menetapkan kebolehan dan sahnya mewakafkan binatang, perabotan, dan
sejenisnya walaupun kekekalan fisiknya tidak pasti.
Jadi pada dasarnya semua barang yang bermanfaat boleh diwakafkan,
adapun sifat fisik barang bukanlah sesuatu yang prinsipil. Memang barang yang
sifat fisiknya dapat tahan lama, apalagi bisa kekal akan lebih baik agar
pahalanya tetap kekal pula.
3. Mauquf 'alaih atau tujuan wakaf dan syarat-syaratnya
Mauquf 'alaih atau penerima wakaf ialah orang atau lembaga yang
menerima harta wakaf. Dalam hubungan dengan tujuan wakaf ini perlu
dikemukakan bahwa tujuan wakaf yang sesungguhnya adalah mengharapkan
ridla dari Allah dalam rangka beribadah kepadanya. Mauquf 'a/aih atau tujuan
haruslah untuk kebajikan yang termasuk dalam bidang qurbat kepada Allah.
Yang dimaksud kebajikan di sini adalah kebajikan yang didasarkan taat kepada
Allah, sedangkan syarat qurbat adalah men-tasharruf-kan wakafkepada mauquf
'alaih yang sesuai dengan ketentuan Allah, misalnya wakaf kepada fakir
miskin, ulama, keluarga, atau untuk kepentingan ummn lainnya seperti masjid,
tern pat min um um urn, jembatan, jalan, dan lain-lain.32
4. Shighat wakaf dan syarat-syaratnya.
Shighat wakaf adalah pernyataan wakif yang mempakan tanda, baik
ucapan, isyarat, atau tulisan dari seorang wakif untuk menyatakan kehendaknya
yaitu mewakatkan hartanya.
Para fuqaha telah menetapkan bahwa shighat, sebagaimana rukun wakaf
yang lain- juga hams memenuhi beberapa syarat. Adapaun syarat-syarat yang
berkaitan dengan shighat adalah33:
a. Shighat wakaf hams mengandung pernyataa11 yang berarti bahwa
wakaf itu bersifat kekal (al-ta 'bid). Menumt jumhur ulama wakaf
tidak sah apabila dibatasi waktunya atau hanya bersifat sementara.
Adapaun madzhab Maliki tidak mensyaratkan selamanya dalam
wakaf, boleh hanya dalam waktu tertentu, sehingga apabila habis
masanya, wakif bisa mewakafkan kembali hartanya kepada orang
lain yang membutuhkannya.
b. Shighat hams mengandung arti yang jelas dan tegas, lafal shighat
tidak boleh terkait dengan syarat tertentu atau masa yang akan
datang, karena akad wakaf mengandung ketentuan pemindahan milik
pada saat akad berlangsung, kecuali madzhab Maliki yang
membolehkan wakaf yang dikaitkan dengan syarat, penangguhan
realisasi wakaf pada masa yang telah ditetapkan oleh wakif.
c. Shighat wakaf tidak boleh dengan syarat yang membatalkan yaitu
yang bertentangan dengan tabiat wakaf itu sendiri. Namun menurut
madzhab Maliki apabila syarat itu justru memperbaiki harta wakaf,
maka syarat yang demikian dianggap sah, demikian juga wakafnya.
d. Shighat wakaf harus mengandung kepastian artinya bahwa suatu
wakaf tidak boleh diikuti oleh syarat kebebasan memilih seperti
mewakafkan sesuatu dengan syarat ia boleh rnemilikinya atau orang
lain boleh menjualnya kapan saja bila dikehendaki.
e. Ulama Syafi'iyah menambahkan, shighat wakaf harus mengandung
penjelasan tempat atau tujuan wakaf. Artinya seseorang yang
berwakaf harus menjelaskan kemana dan untuk siapa atau untuk apa
wakaf itu diberikan.34
Para ulama fiqih terutama para imam madzhab yang empat tidak
mencantumkan keharusan pencatatan sighat wakaftersebut dalam definisi dan
syarat-syaratnya. Hal ini berarti tidak adanya keharusan pencatatan dalam sighat wakaf
tersebut dalam pandangan mereka. Akan tetapi dalam keadaan sekarang ini yaitu
perselisihan dalam perwakafan, maka kita harus meninjau foman Allah SWT, yaitu:
34
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu 'amalah yang tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. "
(QS. 2 (al-Baqarah): 282).
Ayat ini menegaskan bahwa ada keharusan mencatat transaksi mu'amalah
seperti jual beli, hutang piutang, sewa menyewa dan lain sebagainya. Hal ini
bertujuan untuk menjaga harta benda dari adanya penyelewengan, persengketam1,
atau kealpaan pada kemudian hari. Adapun wakaf adalah sebagai institusi
keagan1aan yang erat hubungannya dengan masalah sosial ekonomi dan kepentingan
masyarakat banyak, maka harus dicatat pula. Walaupun secara eksplisit ayat ini tidak
menegaskan mengenai keharusan mencatat wakaf, akan tetapi jika melihat pada
kondisi sekarang ini akan kerawanan harta benda wakaf yang tidak memiliki bukti
tulis, maka ayat ini bisa dijadikan sandaran untuk pencatatan harta benda wakaf agar
terhindar dari adanya penyelewengan, persengketaan, ataupun kealpaan pada
kemudian hari.
Kemudian kalau kita mernnJau dalam qowaidul fiqhiyyah maka kita akan
menemukan beberapa kaidah yang secara tersirat mendukung untuk adanya
keharusan pencatatan sighat wakaf ini yaitu :
a.
"Kemudharatan harus dihilangkan ". 35
35
b.
"Menolak kerusakan dan menarik kemaslahatan ".36
Penyelewengan, persengketaan, ataupun kealpaan yang bisa datang di
kemudian hari yang terjadi dalam perwakafan banyak diakiba1kan oleh tidak adanya
bukti tertulis dari sighat wakaf. Hal ini adalah suatu kemudharatan atau kerusakan
karena wakaf yang seharusnya pemanfaatannya digunakan untuk umat manusia dan
hak kepemilikannya berpindah kepada Allah SWT telah hilang atau berpindah kepada
orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, pencatatan sighat wakaf
adalah untuk menolak kerusakan dan mendatangkan kemashlahatan.
c.
"Ada/ kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum ". 37
• , ,. ,
)-
', 'I
A o ' a o..Juw
Jumhur ulama mengidentikkan term 'adah dengan 'urufkeduanya mempunyai
arti yang sama. Namun sebagian fuqaha membedakannya. Al-Jurjani misalnya
mendefinisikan 'adah dengan:
"Adah adalah suatu (perbuatan) yang terus menerus dilakukan manusia, karena logis dan dilakukan secara terus menerus ".
36
Ibid, h. 143.
37
Sedangkan 'uruf adalah:
·
Unrf
adalah suatu (perbuatan) yang jiwa merasa tenang melakukannya, karena sejalan dengan aka/ sehat dan diterima oleh tabiat sejahtera ". 38Menurut pengertian di atas, maka 'adah dapat diterima jika memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan aka! sehat. Sya.rat ini
menunjukkan bahwa 'adah tidak mungkin berkenaan dengan perbuatan
maksiat.
b. Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang, boleh dikata
sudah mendarah daging pada perilaku masyarakat.
c. Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Quran maupun
as-Sunnah.
d. Tidak mendatangkan kemudharatan serta sejalan dengan jiwa dan aka!
sejahtera. 39
Dengan demikian pencatatan sighat wakaf sesuai dengan 'adah karena telah
memenuhj syarat. Pertarna, pencatatan adalah suatu perbuatan yang logis dan relevan
dengan aka! sehat. Kedua, pencatatan adalah perbuatan yang dilakukan berulang kali
38 Ibid, h. 141
39
terutama mengenai urusan mu'amalah atau perkara apapun yang kemudian hari bisa
mengakibatkan persengketaan. Ketiga, pencatatan tidak bertentangan dengan
ketentuan nash, bahkan al-Quran menganjurkannya seperti dalam surat al-Baqarah
ayat 282. Keempat, pencatatan tidak mendatangkan kemudharatan serta sejalan
dengan jiwa dan akal yang sejahtera, bahkan pencatatan ini mendatangkan
kemaslahatan.
Kemudian ada satu ayat lagi yang bisa dijadikan landasan mengenai keharusan
pencatatan sighat wakaf yaitu:
セ@
セ|@
セSQ@
:.,
J;uiy1 1#1
3:ilil
ャGNjセ「ャ@
|セ|@
PNャセャセケ@
(o'l:i/;:.WI)
"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati pula Rasul-Nya dan Ulil amri dari kamu ... "(OS. 4(an-Nisa '):59)
Dalam ayat ini Allal1 SWT membahas mengenai perintah-Nya agar orang
beriman mentaati Allah, Rasul-Nya dan Ulil amri. Sebagian 11lama mengemukakan
bahwa hubungan ayat di atas dengan ayat sebelumnya bertumpu pada hubungan
antara pemerintah dengan rakyatnya. Menurut pendapat ini, ayat pertan1a ditujukan
kepada para pejabat agar menunaikan amanat dan memerintah denga adil, sedang
dalam ayat kedua ini terdapat perintah agar rakyat mentaati Allah, Rasul-Nya dan
pemerintah. Pendapat semacam ini dikemukakan antara lain oleh al-Zamakhsyari dan
al-Qurthubi. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh al-Maraghi. Ia tidak
rakyat semata, tetapi bersifat umum. Ini berarti ayat itu tidak saja ditujukan kepada
rakyat, tetapi juga kepada pejabat pemerintah.40
Hal ini juga berarti bahwa firman Allah SWT yang dibahas tidak hanya
mengandung kewajiban taat kepada Rasul SAW dan Ulil amri, tetapi juga menjadi
dasar keberadaan kekuasaan politik yang dimiliki pemerintah dan keabsahannya.
Keabsahan ulil amri mengandung makna bahwa hukum-hukum dan
kebijaksanaan politik yang mereka putuskan, sepanjang ha! itu tidak bertentangan
dengan al-Quran dan Sunnah, mempunyai kekuatan yang mengikat seluruh rakyat.
Karena itu seluruh rakyat yang menjadi subyek hukum wajib menaatinya.
Keberadaan hukum ini, di samping hukum Tuhan, sebagai hukum positif
memperlihatkan wajah dari tata-hukum yang menjadi bagian dari sistem politik dan
pemerintahan yang dikenal dalam al-Quran41
Adapun mengenai permasalahan wakaf, pemerintah atau ulil amri sendiri telah
memberikan peraturan yang jelas dan di antara peraturan tersebut dicantumkan
adanya kewajiban untuk pencatatan sigbat wakaf. Oleh karena itu kita wajib
menaatinya karena peraturan mengenai pencatatan sighat wakaf tidaklah bertentangan
dengan al-Quran dan Sunnah. Hal ini berakibat pada tidak sahnya perwakafan jika
tidak disertai dengan catatan yang prosedurnya sesuai dengan peraturan ulil amri atau
pemerintah.
"'Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik Da/am Al-Quran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet. 3, h. 218
41
D. Macam-Macam Wakaf
Sayid Sabiq membagi wakaf dilihat dari segi pengguna atau yang menfaatkan
banda wakaf, menjadi dua macam. Ada kalanya untuk anak c1ucu atau kaum kerabat
dan kemudian sesudah mereka itu untuk orang-orang miskin. Wakaf demikian itu
disebut wakaf ahli atau wakaf dzurri (keluarga) dan kadang-!kadang pula wakaf itu
diperuntukkan bagi kebajikan semata-mata. Wakaf yang demikian dinamakan wakaf
khairi (kebajikan).42 Dengan demikian bisa dikatakan bahwa wakaf ahli adalah wakaf
yang diperuntukkan bagi kepentingan lingkungan keluarga ai:au famili dan kerabat
sendiri. Jadi yang menikmati manfaat benda wakaf ini terbatas kepada yang termasuk
golongan kerabat sesuai dengan ikrar yang dikehendaki wakif.
l. Wakaf Ahli
Wakaf secara hukum dibenarkan berdasarkan hadits Nabi tentang wakaf
keluarga yang dilakukan oleh Abu Thalhah kepada kaum kerabatnya.43
Dalam wakaf ahli, wakif boleh menyerahkan wakaf (pemanfaatan wakaf)
kepada keluarga yang menjadi tanggungannya selama mereka masih hidup. Hal
ini dilakukan untuk mencegah mereka dari kekurangan dalan1 memenuhi
hidupnya. Perbuatan demikian adalah perbuatan yang suci, dan menurut
Rasulullah memberikan kepada yang membutuhkan lebih baik dari pada
42
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Kuwait: Dar al-Bayan, 1971),jilid Ill, h. 378.
43 Suparman Usman,
memberikan (harta wakat) itu kepada fakir miskin yang bukan keluarga.44
Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya:
"Dan dari Salman bin Amir, dari Nabi saw. Bersabda: 'Sedekah kepada orang msKin berarti satu sedekah. tetapi kepada kerabat mempzmyai nilai ganda yakni sedekah dan silaturrahmi ". (HR. Ahmad, Jbnu Jv.(ajah, dan Tirmidzi). 45
Pada umumnya ulama menganggap sah kepada keluarga wakif, demikian
pula ulama Malikiyah. Adapun yang menjadi dasar hukum oleh para ulama
adalah praktek perwakafan yang dilakukan oleh para sahabat, antara lain46:
a. Umar bin Khaththab ra. Telah memberikan wakafnya kepada
orang-orang fakir, dzu al-qurba, untuk memerdekakan budak, untuk
berjuang di jalan Allah, untuk tamu, dan untuk orang yang kehabisan
bekal di jalan. Yang dimaksud dengan dzu al-qurba adalah keluarga,
baik yang kaya maupun yang miskin, ahli waris maupun bukan,
karena kata dzu al-qurba bersifat umum dan mencakup keluarga
keseluruhan.
b. Zubair bin Awwam telah mewakafkan rumahnya kepada
anak-anaknya.
44
Asaf A.A. Fyzee, Outlines of Mohammadan law, (Delhi: Oxford Unifersity Press, 1974), h.303-304.
45
Al-Syaukani, op.cit., h. 31.
46
c. Abu Thalhah telah mewakafkan hartanya untuk keluarga dan
anak-anak pamannya.
d. Ustman bin Affan mewakafkan hartanya di Khaibar kepada )fan bin
Usman.
e. Zaid bin Tsabit telah mewakafkan rumahnya kepada anak dan
keturunannya.
Pada perkembangan selanjutnya wakaf ahli dianggap kurang dapat
memberikan manfaat bagi kesejahteraan umum karena sering menimbulkan
kekaburan dalam pengelolaan dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yang
diserahi harta wakaf, lebih-lebih kalau keturunan keluarga tersebtu sudah
berlangsung sampai pada anak cucu.47 Untuk lebih kongkritnya bisa kita lihat
dalam fakta sejarah bahwa di beberapa negara yang mayoritas penduduknya
bergama Islam seperti di negara-negara Timur Tengah, wakaf ahli ini setelah
berlangsung puluhan tahun lamanya banyak menimbulkan masalah, terutama
kalau wakaf keluarga itu berupa tnah pertanian. Maksud semula sama dengan
wakaf umum yaitu umtuk berbuat baik kepada orang lain dalam rangka
pelaksanaan amal kebajikan menurut ajaran Islam untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Namun kamudian terjadilah penyalahgunaan misalnya
menjadikan wakaf keluarga itu sebagai alat untuk menghindari pembagian atau
pemecahan harta kekayaan kepada ahli waris yang berhak menerimanya setelah
47
wakif meninggal dunia. Begitu juga wakaf keluarga ini dijadikan alat untuk
mengelakkan tuntutan kreditor terhadap hutang-hutang yang dibuat oleh
seseorang, sebelum ia mewakalkan hartanya itu. Oleh karena itu di beberapa
negara karena penyalahguanan tersebut wakaf keluarga ini kemudian dibatasi
bahkan dihapuskan. Pada tahun 1952 wakaf ahli ini dihapuskan di Mesir.
Demikian juga di beberapa negara lain seperti Turki, Maroko, Aljazair. Benda
wakaf untuk keluarga telah dihapuskan karena pertimbangan dari berbagai segi,
benda wakaf yang demikian tidak produktif dan praktek-praktek penyimpangan
yang terjadi tidak sesuai dengan ajaran agama lslam.4&
2. Wakaf Khairi
Jenis wakaf yang kedua adalah wakaf khairi atau wakaf umum, yaitu
wakaf yang tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu, tetapi kepada obyek
kebajikan yang bersifat umum. Kebajikan pada dasarnya berarti taat kepada
Allah, bila kebajikan itu dijadikan sebagai syarat dalam tujuan wakaf maka
berarti wakaf ini harus ditujukan seperti kepada fakir mi skin, yatim piatu, para
ulama, atau kepada sesuatu bukan manusia seperti masjid, sekolah, panti
asuhan, rumah sakit, jalan, jembatan, dan sebagainya. Semua wakaf yang
demikian adalah semata-mata untuk laqarrub/mendekatkan diri kepada Allah.
Bahkan ulama madzhab Syafi'i mengatakan bahwa wakaf juga sah sekalipun
segi pendekatan diri kepada Allah tidak kelihatan seperti berwakaf kepada
orang kaya, kaum dzimmi, dan orang fasik.49 Dalam wakaf yang ditujukan
kepada obyek yang bersifat umum ini menurut ulama Syafi'iyah tidak
diharuskan adanya penerimaan ( qabul) secara khusus.
Jumhur ulama termasuk Imam Abu Yusuf mengatakan bahwa apabila
penerimaan wakaf tidak tertentu seperti masjid telah hancur, sekolah telah rusak
maka otomatis harta wakaf itu menjadi milik fakir miskin sekalipun di dalam
akad tidak disebutkan. Ulama madzhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali sepakat
membolehkan apabila penerima wakaf sudah tidak ada lagi maka harta wakaf
dikemba1ikan kepada keluarga terdekat wakif yang miskin dengan pembagian
yang sama antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini ulama madzhab
Syafi 'i dan Hanbali berpendapat bahwa sekalipllll harta diserahkan kepada
keluarga terdekat wakif yang miskin, namun tidak berarti bahwa fakir miskin
yang bukan kerabat wakif tidak berhak atas harta wakaf エQセイウ・「オエN@ 50
Dalam kenyataannya, wakaf khairi i