• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Root Zone Cooling System Untuk Perbaikan Pembentukan Umbi Bawang Merah (Allium Cepa Var Aggregatum) Di Dataran Rendah Tropika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi Root Zone Cooling System Untuk Perbaikan Pembentukan Umbi Bawang Merah (Allium Cepa Var Aggregatum) Di Dataran Rendah Tropika"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI

ROOT ZONE COOLING SYSTEM

UNTUK

PERBAIKAN PEMBENTUKAN UMBI BAWANG MERAH

(

Allium cepa

var

. aggregatum

) DI DATARAN RENDAH

TROPIKA

NURWAHYUNINGSIH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aplikasi Root Zone Cooling System untuk Perbaikan Pembentukan Umbi Bawang Merah (Allium cepa

var. aggregatum) Di Dataran Rendah Tropika adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2017

(4)

RINGKASAN

NURWAHYUNINGSIH. Aplikasi Root Zone Cooling System Untuk Perbaikan Pembentukan Umbi Bawang Merah (Allium cepa var. aggregatum) di Dataran Rendah Tropika. Dibimbing oleh HERRY SUHARDIYANTO dan SOBIR.

Bawang merah (Allium cepa var. aggregatum) merupakan komoditi sayuran yang memiliki banyak manfaat dan bernilai ekonomi tinggi. Pada dekade terakhir ini permintaan bawang merah mengalami peningkatan. Oleh karena, itu diperlukan inovasi dan usaha peningkatan produksi bawang merah agar mampu memenuhi kebutuhan dan tersedianya umbi berkualitas secara kontinyu. Salah satu teknologi maju dalam teknik budidaya adalah dengan menggunakan sistem aeroponik dengan konsep pendinginan terbatas (zone cooling). Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui pengaruh variasi suhu zona perakaran, pengaruh vernalisasi, serta menghitung kebutuhan energi pada masing-masing aeroponic chamber, pengaruh vernalisasi dan tanpa vernalisasi terhadap pertumbuhan bawang merah di dataran rendah dan pengaruh perbedaan suhu larutan nutrisi dengan beberapa set point suhu terhadap pertumbuhan bawang merah di dataran rendah.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design), yang disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan empat ulangan. Petak utama adalah perlakuan vernalisasi (tanpa vernalisasi dan dengan vernalisasi). Anak petak berupa set point suhu pendinginan larutan nutrisi 10oC, 15oC, dan tanpa pendinginan sebagai kontrol. Chamber aeroponik percobaan berukuran 1.5 m (P) x 1 m (L) x 1 m (T) dengan jarak tanam 15 cm x 15 cm. Jadi, dalam satu chamber terdapat 45 tanaman (terdapat 5 x 9 tanaman).

Hasil observasi di laboratorium greenhouse Siswadhi Soeparjo pada bulan Februari-April 2016 menunjukkan suhu harian berkisar antara 22.8°C hingga 36.10°C dengan suhu tertinggi pada pukul 12.00 WIB. Kelembaban udara berkisar mulai 65% hingga 94%. Sedangkan untuk radiasi matahari sebesar 5.5 W m-2 hingga dengan radiasi tertinggi mencapai 287 W m-2 pada pukul 12.00 WIB. Pada perlakuan vernalisasi tidak berbeda nyata terhadap jumlah anakan, berat umbi bawang merah dan berat basah akar tanaman. Perlakuan pendinginan suhu larutan nutrisi berbeda sangat nyata terhadap jumlah daun, jumlah anakan, jumlah umbi, berat umbi dan berat akar tanaman. Suhu yang cocok untuk budidaya bawang merah didataran rendah tropika basah untuk memproduksi umbi adalah dengan set point suhu 15oC, tanpa vernalisasi. Kebutuhan energi untuk pendinginan daerah perakaran dalam sistem zone cooling untuk luasan 100 m2 pada set point zone cooling suhu 10oC adalah 0.440 kWh/m2, set point zone cooling 15oC adalah 0.321 kWh/m2 dan kontrol adalah 0.127 kWh/m2. Perkiraan beban listrik satu musim panen untuk 15oC, luasan 100 m2 mencapai 1926 kWh.

(5)

SUMMARY

NURWAHYUNINGSIH. Application of Root Zone Cooling System to Improve Bulbs Formation of Shallot (Allium cepa var. aggregatum) in Tropical Lowland. Supervised by HERRY SUHARDIYANTO dan SOBIR.

Shallot (Allium cepa var. aggregatum) is one of vegetable commodities that have many benefits and economically high value. In the last decade, needs of shallots for domestic consumption and seedling demand were increase. Increasing of shallots demand must be balance with the increasing of shallots bulb production. Furthermore, it is necessary to find the innovation and practical methods to manage shallot cultivation in order to meet with the amount of bulbs production quantities. One of the advanced technologies which focused on the cultivation technique is by using the aeroponic system with the concept of limited cooling (zone cooling). From this research is expected to analysis the influence of temperature variations root zone system, to analysis the influence of vernalization and tanpa vernalization treatment, and the heat load and energy on each aeroponic chamber to the growth of the shallots.

The experimental design in this study was used split plot design, which was arranged in a randomized block design with four replications. The main plot was a vernalization treatments (tanpa vernalization and vernalization). The subplots were consist of nutrient solution set point temperatures of 10oC, 15oC, and without cooling system as control. Chamber aeroponic experiments measuring was 1.5 m (L) x 1 m (L) x 1 m (T) and spacing of planting was 15 cm x 15 cm. Thus, in one chamber with 45 plants (there are 5 x 9 plants).

The results of observations in the laboratory greenhouse Siswadhi Soeparjo in February-April 2016 was show daily temperature ranged from 22.8°C to 36.10°C with the highest temperature at 12.00 pm. Air humidity ranged from 65% to 94%. As for the solar radiation of 5.5 W m-2 to the highest radiation reaches 287 W m-2 at 12.00 pm. In vernalization treatment was not significantly different to the number of tillers, the weight of shallot and the weet weight of roots. Temperature cooling treatment nutrient solution is highly significant to the number of leaves, the number of tillers, the number of bulbs, the weight of bulbs and the weight of roots. The non-vernalization root zone cooling system with set point on 15°C demonstated the best result on bulb production, and suggested to be the suitable cultivation method for shallot production in lowland area. Electricity energy requirements for set point temperature in 10°C was 3.556 kWh/day, 15°C was 2.596 kWh/day and control was 1.024 kWh/day. Estimation of electricity energy consumption in one harvest time in 15°C system was 1926 kWh for area of 100 m2.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan

APLIKASI

ROOT ZONE COOLING SYSTEM

UNTUK

PERBAIKAN PEMBENTUKAN UMBI BAWANG MERAH

(

Allium cepa

var.

aggregatum

) DI DATARAN RENDAH

TROPIKA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2016 dengan judul Aplikasi Root Zone Cooling System Untuk Perbaikan Pembentukan Umbi Bawang Merah (Allium cepa var. aggregatum) di Dataran Rendah Tropika. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof Dr Ir Herry Suhardiyanto, MSc selaku ketua komisi pembimbing, dan kepada Prof Dr Ir Sobir, MSi selaku anggota komisi pembimbing yang banyak memberikan arahan dan masukan sepenuhnya khususnya untuk penelitian di lapang, hingga saat ini. Terima kasih pula penulis ucapkan atas dukungan dan kesempatan untuk melaksanakan penelitian di lab Teknik Lingkungan Biosistem dimana Dr Ir Rokhani Hasbulloh, MSi sebagai penanggung jawab.

Proposal rencana penelitian ini terselesaikan karena juga adanya masukan dan saran dari teman-teman sejawat di program studi pascasarjana departemen Teknik Mesin dan Biosystem hasil dari seminar kolokium yang telah dilakukan sebelumnya. Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan, sehingga saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2017

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

2

TINJAUAN PUSTAKA

3

Sistem Perakaran Bawang Merah 3

Teknologi Aeroponik dalam Budidaya Tanaman 4

Pengaruh Varietas dan Ukuran Umbi Terhadap Produktivitas Bawang

Merah 5

3

METODE

6

Waktu dan Tempat Penelitian 6

Alat dan Bahan 6

Tahapan Penelitian 6

Pengamatan 7

Beban Panas dan Energi pada Aeroponik chamber dengan aplikasi zone

cooling 8

Rancangan Percobaan 16

Analisis Data 16

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

19

Lingkungan Mikro di dalam Rumah Tanaman 19

Evaluasi Efektifitas Pendingin dan Kebutuhan Energi Listrik 23 Pengaruh Suhu dan Vernalisasi Terhadap Pertumbuhan Tanaman dan

Umbi 24

Jumlah Anakan 25

Diameter Umbi 25

Jumlah Umbi 26

Berat Umbi 27

Berat Basah Akar Tanaman 28

Produktivitas Bawang Merah 29

5

SIMPULAN DAN SARAN

30

Simpulan 30

Saran 30

(12)

LAMPIRAN

34

RIWAYAT HIDUP

79

DAFTAR TABEL

1 Hubungan empiris untuk rata-rata nilai Nusselt pada konveksi alami

melalui berbagai permukaan 11

2 Rata-rata suhu udara, radiasi dan kelembaban udara di dalam rumah

tanaman (27 Maret 2016) 19

3 Flux panas dari masing-masing aplikasi zone cooling (27 Maret 2016) 23 4 Pengaruh suhu dan vernalisasi terhadap jumlah daun (daun) bawang

merah 24

5 Pengaruh suhu dan vernalisasi terhadap jumlah anakan (tanaman)

bawang merah 25

6 Pengaruh suhu dan vernalisasi terhadap diameter umbi (cm) bawang

merah 26

7 Pengaruh suhu dan vernalisasi terhadap jumlah umbi (umbi) bawang

merah 26

8 Pengaruh suhu dan vernalisasi terhadap berat umbi (gram) bawang

merah 27

9 Pengaruh suhu dan vernalisasi terhadap berat basah akar (gram)

bawang merah 28

DAFTAR GAMBAR

1 Tahap perkembangan sistem akar bawang 4

2 Sistem Aeroponik (Hidayat 2011) 5

3 Skema set up percobaan sistem aeroponik dengan zone cooling 7

4 Metler PM-4800 8

5 Letak titik pengukuran iklim mikro di dalam aeropobik chamber 14 6 Analisis pindah panas pada sistem aeroponik (tampak samping) 15

7 Diagram alir tahapan penelitian 17

8 Diagram alir untuk menghitung suhu air di dalam pipa pendingin

pada posisi outlet prediksi dan flux panas pada zone cooling 18 9 Radiasi matahari yang diterima lantai di dalam rumah tanaman (27

Maret 2016) 20

10 Kenaikan suhu media tanam aeroponik pada percobaan yang

dilakukan (27 Maret 2016) 21

11 Kenaikan suhu larutan nutrisi pendingin yang diukur pada posisi inlet dan outlet dari sistem zone cooling hasil pengukuran perlakuan

suhu 10oC 22

12 Bawang merah perlakuan 15oC 7 HST 77

13 Bawang merah perlakuan 10oC 7 HST 77

(13)

15 Bawang merah perlakuan kontrol 7 HST 77 16 Pertumbuhan perakaran perlakuan kontrol 17 HST 77 17 Pertumbuhan perakaran perlakuan 15oC 17 HST 77

18 Pertumbuhan bawang merah 10oC 38 HST 78

19 Pertumbuhan bawang merah 15oC 38 HST 78

20 Bawang merah 10oC 60 HST 78

21 Pertumbuhan bawang merah kontrol 38 HST 78

22 Bawang merah kontrol 60 HST 78

23 Bawang merah 15oC 60 HST 78

DAFTAR LAMPIRAN

1 Gambar perakitan box chamber aeroponik 35

2 Rancangan dimensi box chamber aeroponik 36

3 Sifat fisik air dan udara 37

4 Perhitungan flux panas dari masing-masing aplikasi zone cooling 38 5 Tabel besarnya suhu pada berbagai titik pengukuran dalam sistem

zone cooling 39

6 Perhitungan flux panas dalam sistem zone cooling 40 7 Hasil analisis uji beda nyata menggunakan software PKBT STAT 2.1C 74

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bawang merah (Allium cepa var. aggregatum) merupakan komoditi sayuran yang memiliki banyak manfaat dan bernilai ekonomi tinggi. Selain itu bawang merah digunakan sebagai pelengkap bumbu masakan, pengobatan tradisional dan sebagai bahan baku industri. Bahan aktif minyak atsiri bawang merah terdiri dari sikloaliin, metilaliin, kaemferol, kuersetin, dan floroglusin (Muhlizah dan Hening S. 2000).

Pada dekade terakhir ini permintaaan bawang merah untuk konsumsi dan bibit dalam negeri mengalami peningkatan. Permintaan bawang merah yang terus meningkat perlu diimbangi dengan meningkatkan produksi bawang merah. Namun permasalahan dalam meningkatkan produksi bawang merah di Indonesia adalah umbi sulit diperoleh saat menjelang musim tanam, produksi bawang merah cenderung melimpah pada waktu-waktu tertentu (pada saat panen raya) sehingga menyebabkan bawang merah relatif murah dan sebaliknya pada waktu diluar musim panen harganya cukup tinggi. Selain itu kedala terbesar sekarang ini yaitu tingginya penggunaan pestisida dalam budidayanya. Oleh karena, itu diperlukan inovasi dan usaha peningkatan produksi bawang merah agar mampu memenuhi kebutuhan dan tersedianya umbi berkualitas. Sebagai usaha untuk meningkatkan hasil pertanian, penggunaan pupuk dan pestisida secara terus menerus masih dilakukan oleh para petani. Pestisida diperlukan agar produk pertanian yang akan dihasilkan terlindung atau terbebas dari serangan hama dan penyakit tanaman. Namun penggunaan pestisida yang terus menerus dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan. Mengingat pestisida merupakan bahan beracun, maka penggunaaan dan penanganan yang tidak sesuai anjuran dapat menimbulkan risiko terhadap kesehatan dan risiko terhadap lingkungan. Sehingga diharapkan dengan menggunakan teknologi pengendalian iklim mikro dapat meminimalisir penggunaan pestisida serta mampu memperbaiki pembentukan umbi bawang merah.

(16)

Selain itu juga dalam budidaya bawang merah memiliki kendala pengolahan tanah yang cukup rumit dan pemilikan lahan tanam yang cukup sempit, sistem budidaya petani yang masih bergantung pada kondisi cuaca dan topografi, serta keterbatasan sarana dan prasarana produksi dan pasca panen sehingga diperlukan teknologi baru dalam pengembangannya. Salah satu teknologi maju dalam teknik budidaya adalah dengan menggunakan sistem aeroponik dengan konsep pendinginan terbatas (zone cooling). Aeroponik adalah sistem bercocok tanam dalam media tanpa tanah dimana akar ditetapkan dalam media dan akar digantung serta disemprotkan larutan hara (Resh 2004). Konsep pendinginan terbatas (zone cooling) adalah mendinginkan zona terbatas daerah pertumbuhan tanaman (akar tanaman), metode pendinginan ini tidak ditujukan untuk mendinginkan seluruh volume udara dalam rumah tanaman. Sehingga energi yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan untuk mendinginkan seluruh volume udara di dalam rumah tanaman (Suhardiyanto 2009). Penggunaan evaporative cooling untuk pendinginan udara di dalam rumah tanaman tidak efektif ketika kelembaban udara sangat tinggi. Hal ini disebabkan perbedaan suhu udara bola basah dan bola kering sangat sedikit. Ketika menurunkan suhu udara dengan penguapan terjadi juga peningkatan kelembaban udara yang dapat menyebabkan peningkatan pertumbuhan jamur (Suhardianto 2009). Sistem aeroponik selama ini digunakan dalam budidaya sayuran seperti selada, kubis, dan melon, serta jarang digunakan pada tanaman selain sayuran. Sistem aeroponik populer diterapkan di Israel, Itali, dan Amerika Serikat (Harris 1994). Menurut Roberto (2003) menjelaskan pada sistem aeroponik, tanaman memiliki kesempatan mendapatkan oksigen hingga batas maksimum yang baik dalam pertumbuhan akar, sehingga dapat mengoptimalkan pertumbuhan dan produktifitas tanaman. Penelitian dengan sistem aeroponik pada bawang merah belum banyak dilakukan. Penerapan sistem aeroponik pada budidaya bawang merah belum banyak dilakukan dan memiliki peluang besar untuk meningkatkan produktifitas dan kualitas produk bawang merah. Sistem aeroponik tanpa menggunakan tanah dapat meminimalisir kerusakan akar saat pemanenan.

Menutur Sumarni et al. (2012) untuk meningkatkan produktivitas bawang merah dianjurkan suhu berkisar antara 9oC - 19oC. Sehingga pada penelitian kali ini menggunakan dua variasi suhu set point dari zone cooling system yaitu 10oC, 15oC dan kontrol (tanpa pendinginan). Mengamati tanaman paprika yang mendapatkan perlakuan temperatur yang berbeda dari larutan nutrisi dengan sistem hidroponik (Dodd et al. 2000) menyimpulkan bahwa pertumbuhan tanaman lebih cepat berkembang bila terkena suhu pendinginan 20°C, dibandingkan dengan suhu 30°C.

Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui pengaruh variasi suhu zona perakaran, kebutuhan energi pada masing-masing aeroponic chamber terhadap pertumbuhan bawang merah dalam upaya peningkatan produksi umbi bawang merah untuk pasokan umbi bawang merah nasional melalui teknik aeroponik di dataran rendah tropika basah.

Perumusan Masalah

(17)

masing-masing aeroponic chamber pada sistem aeroponik dengan aplikasi zone cooling?, (2) Apakah variasi set point suhu larutan nutrisi yang berbeda dapat memberikan pengaruh pada pertumbuhan tanaman dan pertumbuhan umbi bawang merah?, (3) Apakah perlakuan vernalisasi memberikan pengaruh pada pertumbuhan tanaman dan pertumbuhan umbi bawang merah?.

Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Menghitung kebutuhan energi pada masing-masing aeroponic chamber pada sistem aeroponik dengan aplikasi zone cooling. (2) Menganalisa pengaruh perbedaan suhu larutan nutrisi dengan beberapa set point suhu pada chiller yaitu 10oC, 15oC dan kontrol (tanpa pendinginan) terhadap pertumbuhan tanaman dan pembentukan umbi bawang merah. (3) Menganalisa perlakuan vernalisasi dapat memberikan pengaruh pada pertumbuhan tanaman dan pertumbuhan umbi bawang merah.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan khazanah ilmu pengetahuan dalam pengembangan ilmu dan teknologi pertanian di Indonesia yang memiliki daerah pertanian sangat luas. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dasar bagi para petani bawang merah dalam upaya peningkatan produksi umbi bawang merah untuk pasokan umbi bawang merah nasional melalui teknik aeroponik di dataran rendah tropika basah.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Perakaran Bawang Merah

Akar merupakan organ vegetatif utama yang memiliki dua fungsi utama yaitu secara fisik merupakan alat untuk menopang tumbuhnya tanaman dan alat untuk menyerap air dan ion-ion yang kemudian disalurkan ke seluruh bagian tanaman (Jones 2005). Air dan ion untuk dapat diserap oleh tanaman, harus berada pada permukaan akar. Permukaan akar ini air bersama ion-ion diangkut menuju pembuluh xilem (Lakitan 2008).

Akar bawang merah relatif tebal dan bercabang dibandingkan dengan tanaman sayuran yang lain. Akar bawang merah kekurangan rambut akar kecuali ketika tumbuh di udara yang lembab. Bagian akar bawang menunjukkan seri lapisan dari epidermis luar, sebuah multiseluler, korteks tebal dan endodermis yang mengelilingi pusat, yang berisi pembuluh floem dan xilem dengan sel parenkim yang terkait (De Mason 1990, Stasovski dan Peterson 1993).

(18)

detail yang tersedia pada struktur bawang merah dan juga ultrastrukture, seperti diungkapkan oleh mikroskop elektron (Ma dan Peterson 2001), dan bagaimana hal ini berhubungan dengan kedua serapan hara (Cholewa dan Peterson 2004) dan serapan air (Barrowclough et al. 2000).

(a) (b)

(c)

Gambar 1 Tahap perkembangan sistem akar bawang : (a) Akar tanaman pada umur dua bulan; (b) Akar tanaman pada umur 3 bulan; (c) Akar tanaman pada umur 4.5 bulan

Teknologi Aeroponik dalam Budidaya Tanaman

Resh (2004) menjelaskan bahwa aeroponik adalah usaha bercocok tanam dalam media tanpa tanah dimana akar ditempatkan dalam media dan akar digantung serta disemprotkan larutan hara dalam bentuk kabut. Cara budidaya seperti ini biasa dilakukan pada tanaman sayuran dan buah, seperti selada, mentimun, melon dan tomat.

(19)

ditransfer ke atas (batang dan daun), kemudian digunakan untuk pertumbuhan tanaman. Sebagai media tanam digunakan styrofoam yang diberi lubang tanam, tergatung dari konfigurasi tata letak lubang, seperti terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Sistem Aeroponik (Hidayat 2011)

Pagliarulo dan Hayden (2002) menerangkan bahwa keunggulan sistem budidaya aeroponik dibandingkan dengan budidaya konvensional adalah dalam hal pertumbuhan akar. Selain pertumbuhan akar, keunggulan aeroponik yang lain adalah: 1) aeroponik berpotensi meningkatkan produktivitas akar dan kandungan fitokimia karena ketersediaan hara dan air pada aeroponik; 2) pertumbuhan akar dapat dimanipulasi dengan pengaturan asupan hara, suhu, dan aplikasi aeroponik; 3) akar bersih dari partikel-partikel tanah, organisme tanah, atau hal-hal yang dapat mengkontaminasi tanaman; 4) aeroponik dapat meningkatkan pertumbuhan akar dan pematangan fisiologi akar.

Pengaruh Varietas dan Ukuran Umbi Terhadap Produktivitas Bawang Merah

Dalam mendukung produktivitas bawang merah yang maksimal diperlukan umbi benih bermutu tinggi. Menurut Sutono et al. (2007), umbi benih yang baik untuk ditanam tidak mengandung penyakit, tidak cacat dan tidak terlalu lama disimpan di gudang. Kebutuhan benih antara 1.3-2.6 t/ha dengan ukuran diameter umbi benih antara 1.5-1.8 cm (Sumarni dan Hidayat 2005) dengan efisiensi lahan 65%. Umbi benih yang baik ialah umbi yang telah pecah masa dormansinya, sehat, dan berukuran optimal. Berdasarkan ukurannya, umbi benih bawang merah dapat digolongkan menjadi 3 benih, yaitu umbi benih besar (Ø = > 1.8 cm atau > 10 g), umbi benih sedang (Ø = 1.5 -1.8 cm atau 5-10 g), dan umbi benih kecil (Ø = < 1.5 cm atau < 5 g) (Sumarni dan Hidayat 2005).

Umbi besar dapat menyediakan cadangan makanan yang cukup untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan di lapangan. Menurut Sutono et al. (2007), umbi benih berukuran besar tumbuh lebih baik dan menghasilkan daun-daun lebih panjang, luas daun-daun lebih besar, sehingga dihasilkan jumlah umbi per tanaman dan total hasil yang tinggi. Namun, penggunaan umbi benih yang berukuran besar berkaitan erat dengan total bobot benih yang diperlukan dan sekaligus mempengaruhi biaya produksi benih.

(20)

dapat terus membesar dan kemudian membentuk anakan ketika batas minimum panjang hari tercapai. Jumlah umbi yang berbeda dipengaruhi oleh faktor genetik masing-masing varietas. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Azmi, C. et al. (2011) dengan perlakuan tiga macam varietas bawang merah (Bima, Maja, dan Sumenep) dan ukuran umbi yang berbeda-beda diperoleh kesimpulan jumlah umbi terbanyak dihasilkan oleh varietas Bima.

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan April 2016 di instalasi rumah kaca (greenhouse) Laboratorium Lapang Siswadhi Soepardjo, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dengan ketinggian tempat 250 m dpl.

Alat dan Bahan

Peralatan yang dibutuhkan pada penelitian ini antara lain: mesin aeroponik terdiri dari tangki reservoir larutan nutrisi, pompa air listrik, timer, selang air, pipa PVC, nozzle, dan rangka alat. Selain itu juga menggunakan EC meter, PH meter, styrofoam, hybrid recorder, thermocouple, oven, destikator dan weather station.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : benih bawang merah varietas Bima dan larutan nutrisi untuk menyediakan nutrisi tanaman yang dibutuhkan tanaman.

Tahapan Penelitian

(21)

sesuai dengan perlakuan suhu zone cooling di masing-masing chamber). Nutrisi yang masuk ke dalam chiller dipompakan dengan pompa celup yang berada di dalam ember penampung nutrisi. Setelah tercapai suhu sesuai dengan setting yang diinginkan maka nutrisi tersebut akan bertahan cukup lama pada suhu rendah. Nutrisi yang telah mencapai suhu zone cooling disemprotkan ke dalam aeroponic chamber dengan pompa bertekanan tinggi. Nutrisi yang disemprotkan tersebut akan keluar melalui beberapa nozzel yang berada di dalam aeroponic chamber sehingga membasahi seluruh permukaan dalam chamber dan mencapai akar tanaman bawang merah. Skema set up percobaan sistem aeroponik dengan zone cooling dapat dilihat pada Gambar 3 sebagai berikut :

Gambar 3 Skema set up percobaan sistem aeroponik dengan zone cooling Penyiapan larutan nutrisi dilakukan dengan cara melarutkan larutan nutrisi pekat A dan larutan pekat B (ABMix). Larutan nutrisi yang digunakan adalah larutan nutrisi yang diproduksi oleh PT JORO. Larutan nutrisi ini khusus untuk budidaya tanaman bawang merah pada aeroponik. Electric Conductivity (EC) larutan nutrisi pada fase vegetatif  2100 S dan pH 5-7.

Pemeliharaan tanaman dilakukan pada penelitian ini meliputi penyemprotan larutan nutrisi. Penyemprotan larutan nutrisi dilakukan selama 35 menit, kondisi timer mati selama 10 menit dan tidak dilakukan penyiraman pada malam hari. Pemanenan dilakukan setelah tanaman berusia 60 hari setelah tanam (HST) dan diukur bobot umbi, jumlah umbi per tanaman, dan berat akar.

Pengamatan

(22)

Pertumbuhan bawang merah

Jumlah daun. Jumlah daun diamati setiap 7 hari sekali sejak benih mulai disemai hingga bawang merah berusia 60 hari. Metode pengukurannya yaitu dengan menghitung banyaknya daun muda sampai daun tua yang masih hijau dan tidak layu disetiap rumpun.

Jumlah anakan. Metode pengukurannya yaitu dengan menghitung banyaknya jumlah anakan disetiap rumpun setiap 7 hari sekali sampai panen (bawang merah berusia 60 hari).

Jumlah umbi. Metode pengukurannya yaitu dengan menghitung banyaknya jumlah umbi pada saat panen (bawang merah berusia 60 hari).

Berat umbi. Metode pengukurannya yaitu dengan menimbang bobot basah umbi bawang merah setiap rumpun pada saat panen (bawang merah berusia 60 hari) menggunakan timbangan menggunakan timbangan metler PM-4800.

Gambar 4 Metler PM-4800

Berat basah Akar. Metode pengukurannya yaitu dengan menimbang bobot basah akar bawang merah setiap rumpun pada saat panen (bawang merah berusia 60 hari) menggunakan timbangan menggunakan timbangan metler PM-4800.

Beban Panas dan Energi pada Aeroponik chamber dengan aplikasi zone cooling

Beban energi zone cooling yang diberikan pada sistem aeroponik untuk produksi benih bawang merah di dataran rendah tropika basah dihitung berdasarkan pindah panas. Peristiwa pindah panas terjadi karena perpindahan energi dari satu daerah ke daerah lainnya akibat perbedaan suhu (Kreith dan Bohn 2001). Pindah panas terjadi secara konduksi dan konveksi.

Perpindahan Panas Secara Konduksi

(23)

karena itu dinding tebal sering dipakai di bangunan tropis. Besar laju aliran panas dengan cara konduksi, dinyatakan sebagai berikut (Kreith and Bohn 2001) : Qk = - kA

(1)

Keterangan :

Qk : laju perpindahan panas (W)

K : konduktivitas termal bahan (Wm-1K-1)

A : luas penampang benda yang tegak lurus terhadap aliran panas (m2) dT : gradient temperature (K)

dx : ketebalan dinding (m)

Tanda minus dari persamaan diatas adalah akibat dari hukum kedua termodinamika, yang arah aliran panasnya berasal dari suhu tinggi ke suhu rendah.

Perpindahan Panas Secara Konveksi

Perpindahan panas secara konveksi adalah perpindahan panas karena adanya aliran udara.Arus pada pindah panas konveksi merupakan aruscairan atau gas yang menyerap kalor pada suatu tempat, kemudian bergerak ke tempat lain dan bercampur dengan bagian fluida yang lebih dingin serta memberikan kalornya. Perpindahan panas konveksi berdasarkan gerakan alirannya dibedakan menjadi dua, yaitu konveksi bebas (alami) dan konveksipaksa. Konveksi alamiah merupakan gerak fluida yang disebabkan perbedaan kerapatan yang menyertai perbedaan suhu, sedangkan konveksi paksa adalah fluida yang dipaksa bergerak oleh pompa atau kipas. Laju perpindahan panas konveksi dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Zemansky danDittman 1986) :

qc = hc A (T-Tf) (2)

Keterangan :

qc : laju perpindahan panas (W)

hc : koefisien perpindahan panas konveksi (Wm-2K-1)

A : luas penampang benda yang tegak lurus terhadap aliran panas (m2) T : suhu permukaan (K)

Tf : suhu fluida (K)

Persamaan sederhana berdasarkan hukum I Termodinamika pada aeroponic chamber dapat disampaikan sebagai berikut:

Kesetimbangan total

(24)

UAT = Qpipa + Qch atas +Qch bawah + Qch kiri + Qch kanan +Qch depan +Qch blkng +Qsty

+Qm (4)

Keterangan:

∆T : Perubahan suhu di sistem (oC)

Qpipa : Pindah panas di pipa lateral dalam chamber (W) Qsty : Pindah panas yang melalui styrofoam (W) Qm : Pindah panas yang melalui multiplek (W)

U : Koefisien perpindahan kalor menyeluruh/overall (Wm2oC-1) A : Luas permukaan sistem (m2)

Qch atas : Pindah panas dari udara luar ke udara dalam melalui dinding atas chamber (W)

Qch bawah : Pindah panas dari udara luar ke udara dalam melalui dinding sisi bawah chamber (W)

Qch kanan : Pindah panas dari udara luar ke udara dalam melalui dinding sisi kanan chamber (W)

Q ch kiri : Pindah panas udara luar ke udara dalam melalui dinding sisi kiri chamber (W)

Qch depan : Pindah panas dari udara luar ke udara dalam melalui dinding sisi depan chamber (W)

Qch belakang : Pindah panas dari udara luar ke udara dalam melalui dinding sisi belakang chamber (W)

Pindah panas pada aeroponik chamber terjadi secara konveksi dan konduksi melalui dua lapisan, yaitu multiplek dan styrofoam. Nilai pindah panas setiap sisi chamber digunakan persamaan konveksi udara greenhouse yang melalui multiplek kemudian konveksi udara dalam chamber, serta konduksi antara multiplek dan styrofoam. Koefisien konveksi antara chamber dan udara diperoleh dengan persamaan berikut :

; Nu Dh

k

h atau Nu Lc

k

h (5)

Bilangan Nusselt (Nu) diperoleh berdasarkan pada bentuk dinding (vertikal atau horizontal) dan nilai GrPr (bilangan Grashof-Prandtl) dari setiap sisi chamber. Persamaan tersebut dapat ditulis sebagai berikut (Lienhard 2008; Eckert dan Soehngen, 1951) :

Nilai Rayleigh dimana merupakan produk dari nilai Grashof-Prandtl (6) dan hubungan empiris untuk rerata nilai Nusselt pada konveksi natural ditentukan sesuai geometri permukaan pindah panas pada Tabel 1.

 

K T

1 1 

(25)

Pr . . . Pr 2 3 

T T Lc g

Gr

RaL L s

  

 (7)

Aliran fluida yang mempunyai bilangan Reynold kurang dari 2000 merupakan aliran laminer, sedangkan aliran dengan bilangan Reynold antara 2000 dan 4000 merupakan aliran transisi (peralihan dari aliran laminer ke aliran turbulen), dan aliran dengan bilangan Reynold lebih dari 4000 dikatakan sebagai aliran turbulen penuh (Nevers 2005). Bilangan Reynold digunakan sebagai kriteria untuk menunjukkan jenis aliran turbulen atau laminer. Persamaan bilangan Reynold :

  . .Dh

Re (8)

Untuk aliran dalam saluran yang panjang, panjang penting dalam bilangan Nusselt (Nu) adalah garis tengah hidroliknya (Dh) (Kreith 1986), yang berdefinisi:

       basah keliling aliran penampang luas . 4

Dh (9)

Persamaan yang digunakan dalam perpindahan panas konveksi paksa di dalam pipa dengan pipa panjang (L/D > 20), aliran turbulen (Re > 2100) sebagai berikut (Suhardiyanto, Fuadi dan Widaningrum 2007) :

Nu = 0.023 Re0.8Pr0.33 (10)

Tabel 1 Hubungan empiris untuk rata-rata nilai Nusselt pada konveksi alami melalui berbagai permukaan

Geometri Panjang karakteristik

(Lc)

Rentang nilai Ra

Nu Pers.

Plat vertical Tinggi Semua 2

27 8 16 9 6 1 ) / 492 . 0 ( 1 387 . 0 825 . 0                    pr Ra

Nu l 11

Silinder horizontal

Diameter Ra<1013

2 27 8 16 9 6 1 Pr 559 . 0 1 387 . 0 6 . 0                    

RaL

Nu 12

(26)

Laju pindah panas pada chamber (Mc Adams 1954; Lienhard 2008)

1)Laju panas secara horizontal : Sisi atas (dinding styrofoam) : Uch =

(13)

2) Laju panas secara vertikal : sisi kanan, kiri, depan, bawah, dan belakang chamber mempunyai lapisan dinding yang sama, yaitu multiplek dan styrofoam sehingga persamaan laju pindah panas secara vertikal sama dengan persamaan sebagai berikut :

Uch =

(14)

Besarnya koefisien konveksi udara yang melalui pipa dapat diperoleh menggunakan persamaan berikut :

U pipa =

(15)

Keterangan :

h : Koefisien konveksi (Wm-2oC-1) k : Konduktivitas termal (Wm-1oC-1) Lc : Luas terbasahkan (m)

Nu : Bilangan Nusselt C : Konstanta

GrPr : Bilangan Grashof-Prandtl g : Percepatan gravitasi (m-2) ß : Bilangan biot

v : Viskositas kinematik (m2s-1)

hul : Koefisien konveksi udara luar chamber (Wm-1oC-1) xsty : Tebal styrofoam (m)

ksty : Konduktifitas termal styrofoam (Wm-1oC-1)

hud : Koefisien konveksi udara dalam chamber (Wm-1oC-1) xm : Tebal multiplek (m)

km : Konduktivitas termal multiplek (Wm-1oC-1) Re : Bilangan Reynold

Dh : Diameter hidrolik (m) L : Panjang pipa (m)

(27)

Dihitung pula nilai COP (Coefficient of Performance) atau efisiensi mesin pendingin yang digunakan, dimana unit pendingin yang digunakan sebanyak dua buah, tipe portable 1 Pk, serta memiliki daya 900 Watt. Nilai COP (Coefficient of Performance) dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

COP =

(16)

Keterangan :

Qe : Kapasitas pendinginan (kW) Wq : Daya input Kompressor (kW)

Selain itu juga diambil data selama penelitian : a. Data Harian

Pengambilan data harian dilakukan pagi dan sore setiap harinya. Data yang diukur meliputi temperatur dalam greenhouse, EC (Electricity Conductivity), temperatur larutan nutrisi dan penurunan muka air di setiap tangki larutan nutrisi. Untuk penambahan larutan nutrisi, data yang diambil sama seperti data harian meliputi EC, pH, penambahan air, larutan A&B mix, temperatur larutan nutrisi, dan tinggi muka air setelah ditambahkan larutan nutrisi.

b. Data kondisi lingkungan

(28)

Gambar 5 Letak titik pengukuran iklim mikro di dalam aeropobik chamber tampak depan, ( ) titik pengukuran.

Pengukuran dilakukan terhadap suhu air pendingin yang mengalir di dalam pipa pendingin, suhu permukaan pipa pendingin, suhu larutan nutrisi dalam media tanam, suhu dinding chamber (multiplek) dan suhu udara lingkungan. Pipa pendingin yang digunakan berdiameter 2 mm dengan panjang 1.48 meter untuk menyemprotkan larutan nutrisi ke akar tanaman. Pengukuran suhu air dalam pipa pendingin dilakukan pada posisi inlet dan outlet. Suhu permukaan dinding pipa dilakukan pada titik A (Gambar 5). Suhu air nutrisi dalam media tanam (suhu media tanam) diukur pada rockwool setiap lubang dimana perakaran tanaman dimulai. Suhu dinding multiplek dan suhu udara lingkungan dalam chamber diukur pada tiap-tiap sisi (bagian kanan, kiri, depan, belakang, dan bawah).

Pengukuran iklim lingkungan mikro di dalam rumah tanaman diukur menggunakan weather station meliputi data suhu udara maksimum, suhu udara minimum, rata-rata suhu siang hari, rata-rata suhu malam hari, rata-rata kelembaban udara, rata-rata radiasi matahari. Pengukuran dilakukan pada pukul 07.00 – 17.00 WIB pada tanggal 27 Maret 2016 dimana merupakan hari tercerah pada bulannya. Analisis pindah panas dilakukan menggunakan persamaan-persamaan pindah panas. Dalam penelitian ini diambil beberapa asumsi yaitu perpindahan panas yang terjadi hanya melalui proses konveksi dan konduksi dengan batas sistem adalah dinding chamber (multiplek); media tanam dalam kondisi basah merata dengan larutan nutrisi (dipasok menggunakan sistem aeroponik) sehingga suhu media tanam diasumsikan sama dengan suhu larutan nutrisi di dalamnya; perpindahan panas yang terjadi meliputi konveksi antara air pendingin dengan dinding pipa bagian dalam, konduksi pada dinding pipa pendingin, konveksi antara dinding pipa bagian luar dengan udara di dalam chamber, konveksi antara udara di dalam chamber dengan multiplek, konduksi

T air outlet T air inlet

(29)

dinding styrofoam dengan multiplek dan konveksi styrofoam dengan udara lingkungan (Gambar 6); serta pindah panas hanya terjadi pada satu dimensi dan dalam keadaan tunak atau steady.

Gambar 6 Analisis pindah panas pada sistem aeroponik (tampak samping) Nilai konduktivitas diambil dari literatur, untuk konduktivitas pipa polyethylene (table A-3 property nonmetals) 0.33 W/m.oC, konduktivitas styrofoam (polyethylene, table A-3 properties of nonmeteals) 0.033 W/m.oC, konduktivitas multiplek (glass fiber duct liner, table A-3 properties of nonmetals) 0.166 W/m.oC(Holman 2010).

(30)

semakin lama semakin banyak dan semakin besar energinya akan mempengaruhi suhu udara lingkungan di dalam rumah tanaman. Suhu udara lingkungan ini yang kemudian mempengaruhi suhu media tanam.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design), yang disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan empat ulangan. Petak utama adalah perlakuan vernalisasi (tanpa vernalisasi dan dengan vernalisasi). Anak petak berupa set point suhu pendinginan larutan nutrisi 10oC, pendingian 15oC, dan tanpa pendinginan sebagai kontrol. Sehingga total kombinasi perlakuan sebanyak 6 kombinasi.

Adapun objek penelitian ini digunakan bawang merah varietas Bima yang umum tersedia dipasaran. Pada fase pertumbuhan yaitu dari vernalisasi hingga panen jumlah sample yang digunakan sebanyak 45 sample tiap perlakuan. Sehingga total sample bawang merah yang digunakan ada 135 tanaman. Banyaknya sample dianggap sebagai ulangan yang akan diamati karakteristik morfologi, jumlah daun, jumlah anakan, jumlah umbi, berat umbi dan berat basah akar. Selain itu juga dihitung beban panas dan energi pada masing-masing chamber aeroponik dengan root zone cooling system.

Pada penelitian ini faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman bawang merah dikondisikan homogen baik kelembaban udara, suhu ruangan dan radiasi matahari. Hal ini dimaksudkan agar pertumbuhan bawang merah hanya dipengaruhi oleh perbedaan pola dan suhu larutan nutrisi pada sample. Penelitian dilakukan di dalam greenhouse dan penggunaan chamber aeroponik yang diatasnya ditutupi oleh styrofoam diharapkan dapat mengakomodir faktor-faktor tersebut, sehingga kondisi lingkungan yang homogen dapat diwujudkan. Penggunaan box aeroponik tidak hanya berfungsi untuk menjaga homogenitas keadaan lingkungan tanaman seperti suhu, kelembaban, intensitas cahaya, dan radiasi matahari, tapi juga menjaga suhu larutan nutrisi yang dipaparkan agar tetap stabil dan tidak terkontaminasi suhu dari luar.

Analisis Data

Karakter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan, bobot umbi, bobot akar dan kadar air umbi. Data hasil pengamatan diuji dengan analisa sidik ragam menggunakan program Ms.Excel 2010 dan PKBT-STAT. Acuan dalam analisis ragam untuk dapat dilanjutkan ke uji BNJ apabila :

(31)
[image:31.595.66.537.61.778.2]

Gambar 7 Diagram alir tahapan penelitian Ya

Mulai

Umbi bawang merah (Allium cepa.)

Vernalisasi pada suhu 10oC selama 4 minggu

Pemindahan umbi ke box tanam setelah vernalisasi

selama 4 minggu

Pembesaran tanaman di box penelitian (chamber) sampai

umur tanaman 60 HSS

Parameter pengamatan : 1. Jumlah daun 2. Jumlah anakan 3. Jumlah umbi

4. Berat akar dan umbi 5. Energi pindah panas

Pengukuran berat basah umbi dan panjang total tanaman

Selesai

Penyiraman larutan nutrisi selama 35 menit dan kondisi timer mati selama 10 menit dengan berbagai taraf suhu yakni:

1. Pada suhu 10oC 2. Pada suhu 15oC 3. Kontrol

Pemanenan Bawang merah 60

HSS

(32)
[image:32.595.44.440.70.723.2]
(33)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lingkungan Mikro di dalam Rumah Tanaman

Pengendalian lingkungan mikro untuk daerah topika belum banyak dikembangkan. Hal ini disebabkan sulitnya menurunkan suhu udara di dalam rumah tanaman pada kondisi radiasi sangat besar. Hasil observasi di laboratorium greenhouse Siswadhi Soeparjo pada bulan Februari-April 2016 menunjukkan suhu harian berkisar antara 22.8°C hingga 36.10°C dengan suhu tertinggi pada pukul 12.00 WIB. Kelembaban udara berkisar mulai 65% hingga 94%. Sedangkan untuk radiasi matahari sebesar 5.5 W m-2 hingga dengan radiasi tertinggi mencapai 287 W m-2 pada pukul 12.00 WIB. Dari pengukuran tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan greenhouse relatif bersuhu cukup tinggi untuk budidaya bawang merah. Suhu yang ideal untuk tanaman bawang merah adalah suhu yang rendah 7°C-12°C dan fotoperiodisitas yang panjang (> 12 jam) untuk keperluan inisiasi pembungaan (Berson 2015). Pada penelitian ini tanaman bawang merah tidak mengalami pembungaan dikarenakan penyinaran cahaya matahari hanya didapatkan selama 6.5 jam (08.30 – 15.00 WIB) kondisi cuaca sering mendung dan hujan.

Data beberapa unsur cuaca selama percobaan berlangsung disajikan dalam Tabel 2. Data Tabel 2 menunjukkan kondisi yang kurang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman hortikultura. Kendala utama dalam pengembangan tanaman adalah suhu rumah tanaman terlalu tinggi dan kurang cahaya matahari. Faktor lingkungan lain yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman di dalam rumah tanaman adalah panas radiasi matahari yang masuk ke dalam rumah tanaman. Radiasi matahari yang masuk ke dalam rumah tanaman menunjukkan rata-rata mencapai 153.90 W/m2. Radaiasi matahari yang diterima lantai di dalam rumah tanamanselama pengukuran disajikan pada Gambar 10. Tabel 2 Rata-rata suhu udara, radiasi dan kelembaban udara di dalam rumah

tanaman (27 Maret 2016)

Iklim mikro di dalam rumah tanaman Nilai

Suhu udara maksimum (°C) 36.10

Suhu udara minimum (°C) 22.80

Rata-rata suhu udara siang (°C) 30.26

Rata-rata suhu udara malam (°C) 26.37

Rata-rata radiasi surya (W/m2) 153.90

(34)
[image:34.595.47.476.79.818.2]

Gambar 10 Radiasi matahari yang diterima lantai di dalam rumah tanaman (27 Maret 2016)

Besarnya radiasi matahari yang masuk ke dalam rumah tanaman mengakibatkan terjadinya kenaikan suhu udara dalam rumah tanaman. Semakin besar radiasi matahari yang masuk ke dalam rumah tanaman mengakibatkan semakin meningkatkan suhu udara di dalam rumah tanaman. Radiasi gelombang pendek yang dipancarkan oleh matahari diteruskan oleh plastik penutup atap rumah tanaman yang kemudian berubah menjadi gelombang panjang. Gelombang panjang inilah yang menyebabkan panas sensibel dan panas evaporasi yang tidak dapat keluar melalui plastik penutup atap rumah tanaman dan akhirnya terjebak di dalam rumah tanaman. Disamping itu, keberadaan ventilasi yang cukup pada rumah tanaman terutama ventilasi alamiah juga dapat mempengaruhi besar kecilnya kenaikan suhu di dalam rumah tanaman. Jumlah ventilasi yang kecil dan penempatannya yang tidak sesuai dapat menyebabkan berkurangnya turbulensi udara di dalam rumah tanamansehingga pertukaran massa dan energi didalamnya menjadi lambat. Hal inilah yang menyebabkan suhu udara di dalam rumah tanaman terus meningkat. Selain itu, bentuk, dimensi, dan kontruksi rumah tanaman juga berperan penting dalam mempengaruhi besar kecilnya kenaikan suhu udara di dalam rumah tanaman.

Jenis penutup atap rumah tanaman juga sangat berpengaruh terhadap tingginya suhu udara di dalam rumah tanaman, bahan penutup yang terbuat dari kaca akan menghasilkan suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan yang terbuat dari plastik. Hal ini dikarenakan kaca mempunyai koefisien transmisivitas panas yang lebih kecil daripada plastik. Semakin kecil koefisien transmisivitas panas suatu bahan, maka semakin sulit bahan tersebut melepaskan panas. Pada penelitian ini atap rumah tanaman berbahan plastik.

Relative Humidity (RH) udara berkorelasi negatif terhadap suhu udara. Semakin tinggi suhu udara menyebabkan semakin tingginya proses penguapan butir-butir air dalam udara sehingga kadar air dalam udara menjadi berkurang dan kelembaban udara semakin rendah.

0 50 100 150 200 250 300 350

R

adiasi m

ataha

ri

ya

ng

diter

ima

la

nta

i ru

ma

h

tana

man

(

W

/m

2 )

(35)
[image:35.595.143.485.90.303.2]

Gambar 11 Kenaikan suhu media tanam aeroponik pada percobaan yang dilakukan (27 Maret 2016)

Suhu media tanam (sama dengan suhu larutan nutrisi di dalamnya) dengan pemberian zone cooling menunjukkan perbedaan. Suhu media tanam set point 10oC dari chiller menunjukkan nilai maksimum 14.5oC, rata-rata mencapai 10.98oC. Suhu media tanam pada suhu set point 15oC dari chiller menunjukkan nilai maksimum 17.5oC, rata-rata mencapai 15.46oC (Gambar 11). Suhu media tanam tersebut menunjukkan kondisi yang kurang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman hortikultura khususnya bawang merah dimana batas suhu optimum pada tanaman musim dingin berkisar antara suhu 7-12oC (Berson 2015). Kenaikan suhu media tanam aeroponik tersebut dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar tanaman. Lingkungan luar yang berpengaruh, salah satunya suhu udara di dalam rumah tanaman.

Set point suhu pendinginan pada chiller yang dilakukan menyebabkan suhu media tanam berbeda sekitar 1oC. Suhu media tanam berhubungan erat dengan proses penyerapan unsur hara, air, dan respirasi. Bila suhu media tanam tinggi dan kelembaban rendah, evapotranspirasi tanaman akan cepat berlangsung. Kondisi ini akan mempengaruhi daya hisap air dan hara dari media ke tanaman. Besarnya nilai konduktivitas listrik larutan nutrisi semakin tinggi dengan meningkatnya suhu udara lingkungan. Meningkatnya suhu udara lingkungan menyebabkan larutan nutrisi terakumulasi dan kandungan ion-ion menjadi semakin tinggi. Semakin banyak ion yang terlarut, semakin tinggi nilai Electrical Conductivity (EC). Hal ini menyebabkan nilai pH semakin rendah dan media tanam tersebut semakin bersifat asam. Medai tanam yang terlalu asam mengakibatkan unsur hara tidak terserap dengan baik, sehingga ion-ion yang terdapat dalam larutan nutrisi berkumpul dan terakumulasi di tepi-tepi daun dan akhirnya menyebabkan daun berbintik kuning, serta daun berukuran kecil.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 07 .00 08 .00 08 .30 09 .00 09 .30 10 .00 10 .30 11 .00 11 .30 12 .00 12 .30 13 .00 13 .30 14 .00 14 .30 15 .00 15 .30 16 .00 16 .30 17 .00 Suhu ( ° C )

Waktu pengukuran (WIB)

(36)
[image:36.595.35.476.78.819.2]

Gambar 12 Kenaikan suhu larutan nutrisi pendingin yang diukur pada posisi inlet dan outlet dari sistem zone cooling hasil pengukuran perlakuan suhu 10oC

Zone cooling dilakukan dengan cara memompa larutan nutrisi yang telah didinginkan oleh chiller sehingga mengalir melalui pipa pendingin yang terangkai dalam chamber aeroponik. Suhu larutan nutrisi tersebut akan naik selama air tersebut terus mengalir. Kenaikan suhu larutan nutrisi di sepanjang pipa pendingin terjadi sebagai akibat proses pindah panas dari media tanam ke pipa pendingin dan air pendingin. Perbedaan kenaikan suhu air pendingin pada aeroponik sistem ini disebabkan oleh perbedaan laju pindah panas melalui konveksi maupun konduksi pada chamber aeroponik. Selanjutnya, hal ini mempengaruhi suhu larutan nutrisi yang keluar pada posisi outlet. Suhu larutan nutrisi pada posisi inlet pada pada perlakuan pendinginan set point suhu dari chiller 10oC, 15oC dan kontrol dalam sistem zone cooling tercatat 0 - 3.1oC lebih rendah dibandingkan dengan suhu larutan nutrisi pada posisi outlet. Grafik kenaikan suhu larutan nutrisi yang diukur pada posisi inlet dan outlet dari sistem zone cooling hasil pengukuran disajikan dalam Gambar 12.

Kenaikan suhu larutan nutrisi tersebut disebabkan oleh : (1) faktor media tanam meliputi kelembaban dan efektivitas pendinginan; (2) faktor lingkungan meliputi suhu udara, kelembaban udara serta radiasi matahari. Apabila metode pendinginan yang dikembangkan dalam penelitian ini akan diterapkan untuk pendinginan daerah perakaran pada sistem aeroponik maka kinerja pendinginan akan lebih baik apabila faktor pertama diatasi yaitu dengan penggunaan paranet untuk mengurangi radiasi matahari langsung mencapai permukaan media tanam. Faktor kedua dapat ditekan dengan penggunaan bahan paranet yang bening sehingga tanaman masih mampu menerima intensitas cahaya matahari yang panjang. Intensitas cahaya yang kurang optimal, khususnya pada awal pertumbuhan akan menyebabkan tanaman mengalami proses etiolasi (pertumbuhan daun yang tidak sempurna dikarenakan kekurangan intensitas cahaya). 0 5 10 15 20 25 7: 00: 0 0 7: 30: 0 0 8: 00: 0 0 8: 30: 0 0 9: 00: 0 0 9: 30: 0 0 10 :0 0: 00 10 :3 0: 00 11 :0 0: 00 11 :3 0: 00 12 :0 0: 00 12 :3 0: 00 13 :0 0: 00 13 :3 0: 00 14 :0 0: 00 14 :30 :00 15 :0 0: 00 15 :3 0: 00 16 :0 0: 00 16 :3 0: 00 17 :0 0: 00 S uhu a ir pe nding in( ° C)

Waktu pengukuran (WIB)

(37)

Evaluasi Efektifitas Pendingin dan Kebutuhan Energi Listrik

Hasil perhitungan laju pindah panas per satuan luas perpindahan panas (flux panas) pada set point suhu pendinginan dari chiller 10oC, 15oC dan kontrol ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa bagian chamber yang memberikan laju pindah panas terbesar adalah bagian sisi atas pada perlakuan pendidingan pada set point suhu 10oC. Hal tersebut terjadi karena pada sisi bagian atas terdapat perbedaan suhu yang cukup tinggi antara suhu udara di dalam chamber dengan suhu udara di luar chamber bagian atas. Pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa laju pindah panas pada perlakuan pendinginan suhu larutan nutrisi memiliki nilai lebih besar dibandingkan dengan kontrol. Hal ini dikarenakan perlakuan pendinginan menyebabkan perbedaan suhu yang lebih besar sehingga proses pindah panas yang terjadi lebih besar dibanding kontrol. Perhitungan flux panas dari masing-masing aplikasi zone cooling disajikan pada Lampiran 6.

Tabel 3 Flux panas dari masing-masing aplikasi zone cooling (27 Maret 2016)

Wadah media tanam

Flux panas (W/m2)

09:00 AM 13:00 PM 16:00 PM 10 °C 15 °C Kontrol 10 °C 15°C Kontrol 10 °C 15 °C Kontrol Pipa

pendingin 1.893 0.381 0.146 2.900 2.048 2.433 1.988 0.113 2.976 Sisi depan 1.870 1.608 0.381 2.605 2.350 0.418 1.981 1.626 0.122 Sisi

belakang 3.234 2.405 0.545 4.594 3.634 0.579 2.982 2.356 0.035 Sisi kanan 2.827 2.465 0.570 3.989 2.375 2.268 2.827 2.286 0.178 Sisi kiri 3.390 2.445 0.568 4.633 3.893 0.602 3.246 2.505 0.036 Sisi atas 7.118 5.571 1.025 7.118 7.377 7.377 6.757 0.689 0.750 Sisi bawah 2.044 2.676 0.017 2.923 2.676 0.087 2.486 2.108 0.017 Total

energi 22.376 17.551 3.253 28.762 24.354 13.764 22.266 11.683 4.114

(38)

Sedangkan besar efisiensi mesin pendingin yang digunakan, dengan unit pendingin yang digunakan sebanyak dua buah, tipe portable 1 Pk, serta memiliki daya 900 Watt. Dimana 1 pk sama dengan 0.746 kW. Maka nilai COP (Coefficient of Performance) untuk setiap mesin pendinginnya masing-masing sebesar 1.21 (Lampiran 6). Hal ini menunjukkan nilai efisiensi mesin masih tergolong rendah. Fazri A. et al. (2016) melakukan penelitian untuk membandingkan nilai COP pada unit water chiller dengan menambahkan katup ekspansi termostatik (TXV) suhu keluaran air hingga 10oC menunjukkan nilai COP ketika beroperasi mempunyai nilai sebesar 3.86 hingga 4.01.

Pengaruh Suhu dan Vernalisasi Terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Umbi

Jumlah Daun

Perhitungan jumlah daun merupakan salah satu parameter morfologi yang umum digunakan untuk menentukan baik tidaknya pertumbuhan suatu tanaman. Perhitungan dimulai pada 23 HST saat daun telah tumbuh sempurna. Pada Tabel 4 terlihat bahwa pendinginan suhu memberikan pertambahan jumlah daun lebih banyak dibandingkan dengan kontrol. Hal ini membuktikan bahwa pendinginan zona perakaran mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Margiwiyatno (2011) yang menunjukkan bahwa pendinginan suhu zona perakaran dengan suhu pendinginan 18oC, 21oC, dan 24oC mampu meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah daun pada tanaman bawang merah di dataran tinggi dengan variasi jenis media tanam. Hasil sidik ragam menunjukkan beda nyata antara suhu pendinginan terhadap jumlah daun pada umur tanaman (Tabel 4). Selain itu pada suhu dingin proses respirasi tanaman menurun dan proses fotosintesis mengalami peningkatan. Sehingga pertumbuhan tanaman berlangsung secara optimal.

Tabel 4 Pengaruh suhu dan vernalisasi terhadap jumlah daun (daun) bawang merah

Suhu pendinginan

(oC)

Hari Ke- (Hari Setelah tanam)

Rata-Rata 23HST 29 HST 36 HST 44 HST 50 HST 60 HST

10 18.75a 20.00a 21.00 19.50ab 15.63a 11.13a 17.67a 15 18.38a 20.63b 18.00 21.88a 17.00a 4.88b 16.80a Kontrol 13.38b 13.38b 18.50 14.50b 12.00b 5.13b 12.82b

Perlakuan Hari Ke- (Hari Setelah tanam) Rata-Rata 23HST 29 HST 36 HST 44 HST 50 HST 60 HST

Vernalisasi 18.00a 18.67 19.17 18.17 14.00 5.92b 15.66 Tanpa

Vernalisasi 15.67

b

17.33 19.17 18.92 15.75 8.17a 15.84

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji BNJ pada taraf P<0,05; HST=Hari Setelah Tanam

(39)

membuktikan bahwa perlakuan vernalisasi hanya perpengaruh pada fase awal pertumbuhan (vegetatif) namun tidak mempengaruhi hasil terhadap jumlah daun bawang merah.

Jumlah Anakan

Perhitungan jumlah anakan merupakan salah satu parameter morfologi yang umum digunakan untuk menentukan baik tidaknya pertumbuhan suatu tanaman. Dari hasil uji taraf P < 0.05 (Tabel 5) menunjukkan bahwa perlakuan pendinginan suhu zona perakaran menghasilkan jumlah anakan bawang merah lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan pendinginan berbeda nyata terhadap jumlah anakan. Hal ini diduga pendinginan zona perakaran meningkatkan aktivitas pembelahan sel. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa perlakuan pendinginan pada set point suhu 15oC memiliki jumlah tanaman tertinggi dibandingkan set point suhu 10oC dan kontrol. Hal ini membuktikan bahwa pendinginan zona perakaran mampu meningkatkan jumlah anakan bawang merah di dataran rendah tropika basah.

Tabel 5 Pengaruh suhu dan vernalisasi terhadap jumlah anakan (tanaman) bawang merah

Perlakuan Suhu (

o C)

Rerata 10oC 15oC Kontrol

Vernalisasi 4.25a 4.75a 2.00b 3.67b

Tanpa Vernalisasi 4.75a 4.50a 4.75a 4.67a

Rerata 4.50a 4.63a 3.38b

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji BNJ pada taraf P<0,05

Pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa perlakuan nilai rerata tanpa vernalisasi menghasilkan nilai jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan vernalisasi. Perlakuan vernalisasi dan tanpa vernalisasi berbeda sangat nyata terhadap jumlah anakan. Terjadi interaksi antara vernalisasi dan pendinginan suhu larutan nutrisi terhadap jumlah anakan. Begitu pula pada jumlah anakan hal ini diduga dikarenakan pada umbi yang mendapat perlakuan vernalisasi menghabiskan energi pada umbi untuk pertunasan selama masa penyimpanan sehingga pada pertumbuhan fase vegetatif kurang maksimal. Sedangkan pada umbi tanpa perlakuan vernalisasi (tanpa vernalisasi) yang masih menyimpan banyak energi sehingga pertumbuhannya lebih baik dan optimal.

Diameter Umbi

(40)

aktivitas pembelahan sel dan pembentukan akar. Tanaman bawang merah akan berproduksi dengan baik apabila memperoleh unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dengan baik terutama saat pembentukan umbi (Darma 2015). Perakaran yang baik akan meningkatkan penyerapan unsur hara sehingga pembentukan umbi terbentuk dengan baik. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa perlakuan pendinginan pada set point suhu 10oC memiliki diameter umbi tertinggi dibandingkan perlakuan set point suhu 15oC dan kontrol. Hal ini membuktikan bahwa pendinginan zona perakaran mampu meningkatkan diameter umbi bawang merah di dataran rendah tropika basah.

Tabel 6 Pengaruh suhu dan vernalisasi terhadap diameter umbi (cm) bawang merah

Perlakuan Suhu (

oC)

Rerata 10oC 15oC Kontrol

Vernalisasi 2.01 1.91 0.59 1.50

Tanpa Vernalisasi 1.68 1.56 1.27 1.50

Rerata 1.85a 1.73a 0.93b

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji BNJ pada taraf P<0,05

Pada Tabel 6 dapat diketahui bahwa perlakuan nilai rerata tanpa vernalisasi dan vernalisasi bernilai sama. Perlakuan vernalisasi dan tanpa vernalisasi tidak berbeda nyata terhadap diameter umbi bawang merah. Tidak terjadi interaksi antara vernalisasi dan pendinginan suhu larutan nutrisi terhadap diameter umbi bawang merah. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan vernalisasi berpengaruh pada awal pertumbuhan namun tidak mempengaruhi hasil jumlah anakan.

Jumlah Umbi

Berdasarkan sidik ragam terlihat bahwa vernalisasi dan pendinginan suhu larutan nutrisi berbeda nyata terhadap jumlah umbi per plot (umbi). Pada Tabel 7 terlihat bahwa perlakuan tanpa vernalisasi lebih banyak dibandingkan dengan perlakukan vernalisasi. Pada perlakuan pendinginan suhu larutan nutrisi 10oC, tanpa vernalisasi menghasilkan jumlah umbi terbanyak dibandingkan perlakuan yang lainya.

Tabel 7 Pengaruh suhu dan vernalisasi terhadap jumlah umbi (umbi) bawang merah

Perlakuan Suhu (

o C)

Rerata 10oC 15oC Kontrol

Vernalisasi 2.25 2.50 0.25 1.67b

Tanpa Vernalisasi 5.00 4.50 1.50 3.67a

Rerata 3.63a 3.50a 0.88b

[image:40.595.45.481.64.815.2]
(41)

Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa bawang merah yang dibentuk pada masing-masing perlakuan pendinginan suhu larutan nutrisi sistem aeroponik. Umbi terbanyak dibentuk pada penanaman dengan pendinginan set point suhu 10oC dan diikuti pendinginan suhu set point suhu 15oC dan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pendinginan pada zona perakaran mampu memproduksi umbi yang banyak di dataran rendah. Selain itu dengan pendinginkan suhu larutan nutrisi mampu menggantikan perlakuan vernalisasi pada budidaya bawang merah di dataran rendah tropika. Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa perlakuan tanpa vernalisasi jauh lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan vernalisasi. Hal ini diduga dikarenakan pada perlakuan vernalisasi menghabiskan energi pada umbi untuk pertunasan selama masa penyimpanan sehingga pada pertumbuhan fase vegetatif kurang maksimal dibandingkan dengan umbi tanpa perlakuan tanpa vernalisasi. Jumlah umbi pada perlakuan suhu pendinginan lebih banyak. Hal ini diduga pendinginan suhu larutan nutrisi mampu meningkatkan aktivitas pembelahan sel pada tanaman sehingga mampu meningkatkan produktivitas tanaman khususnya jumlah umbi. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Margiwiyatno (2007) yang menunjukkan bahwa pendinginan suhu zona perakaran pada suhu 18oC, 21oC, 24oC mampu meningkatkan bobot umbi bawang merah dan diameter umbi pada tanaman bawang merah di dataran tinggi dengan variasi jenis media tanam.

Berat Umbi

Berdasarkan sidik ragam terlihat bahwa perlakuan vernalisasi berbeda nyata. Menurut Sumarni dan Sumiati (2001) menyatakan bahwa vernalisasi pada umumnya lebih diarahkan pada pertumbuhan generatifnya daripada pertumbuhan vegetatifnya. Interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap berat umbi per tanaman. Pada Tabel 8 terlihat bahwa perlakuan tanpa vernalisasi, pendinginan set point suhu larutan nutrisi dari chiller 10oC tertinggi yaitu 15.75 gram.

Tabel 8 Pengaruh suhu dan vernalisasi terhadap berat umbi (gram) bawang merah

Perlakuan Suhu (

o C)

Rerata 10oC 15oC Kontrol

Vernalisasi 10.50 10.75 1.50 7.58

Tanpa

Vernalisasi 15.75 12.75 3.00 10.50

Rerata 13.13a 11.75a 2.25b

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji BNJ pada taraf P<0,05

(42)

pendinginan pada zona perakaran mampu memproduksi umbi yang besar di dataran rendah tropika. Selain itu dengan pendinginkan suhu larutan nutrisi mampu menggantikan perlakuan vernalisasi pada budidaya bawang merah di dataran rendah tropika basah. Berdasarkan Tabel 7 dan Tabel 8 menunjukkan bahwa pada bawang merah yang mempunyai jumlah umbi yang sedikit per tanamannya akan memiliki berat umbi yang sedikit per tanamannya dan demikian sebaliknya. Pada set point suhu pendinginan 10oC, 15oC menunjukkan hasil tidak berbeda nyata dan pada set point suhu 15oC memerlukan energi listrik yang lebih rendah, sehingga suhu yang cocok untuk budidaya bawang merah didataran rendah tropika basah untuk memproduksi umbi adalah dengan pendinginan suhu 15oC, tanpa vernalisasi. Jasmi et al. (2013) melakukan penelitian dengan lama vernalisasi 4 minggu menghasilkan berat segar umbi varietas Bima sebesar 16.48 gram. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pemberian perlakuan pendinginan suhu larutan nutrisi pada set point suhu 10oC pada chiller tanpa vernalisasi menghasilkan berat umbi per tanaman sebesar 15.75 gram hanya selisih 0.73 gram. Sehingga dengan menggunakan pendinginan suhu larutan nutrisi ini mampu menggantikan proses vernalisasi sekaligus menghilangkan penggunaan energi listrik, waktu maupun energi dalam umbi bawang merah selama vernaliasi.

Berat Basah Akar Tanaman

Berdasarkan sidik ragam terlihat bahwa perlakuan pendinginan suhu larutan nutrisi berbeda sangat nyata terhadap bobot akar. Namun, interaksi perlakuan vernalisasi dan pendinginan suhu larutan nutrisi tidak berpengaruh nyata terhadap bobot umbi per plot. Pada Tabel 9 terlihat bahwa perlakuan vernalisasi, pendinginan suhu larutan nutrisi 10oC tertinggi yaitu 5.00 gram.

Tabel 9 Pengaruh suhu dan vernalisasi terhadap berat basah akar (gram) bawang merah

Perlakuan Suhu (

oC)

Rerata 10oC 15oC Kontrol

Vernalisasi 5.00 4.50 1.75 3.75

Tanpa Vernalisasi 4.25 3.50 1.00 2.92

Rerata 4.63a 4.00a 1.38b

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji BNJ pada taraf P<0,05

(43)

pembelahan sel terutama auksin yang mampu meningkatkan pertumbuhan akar. Pada penelitian ini penggunaan pendinginan terbatas zona perakaran (root zone cooling system) menunjukkan tanaman ini mampu beradaptasi pada dataran rendah daerah tropis yang cukup tinggi dibanding daerah asalnya meskipun dengan tingginya suhu ruangan rumah tanaman.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmi et al. (2007) pertumbuhan akar yang optimal mampu meningkatkan serapan unsur hara oleh tanaman kemudian dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman dan menghasilkan tongkol yang lebih besar dan lebih berat pada tanaman jagung manis. Kastono (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman terjadi karena adanya proses-proses pembelahan sel dan pemanjangan sel dimana proses-proses-proses-proses tersebut memerlukan karbohidrat dalam jumlah besar. Menurut Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa pertumbuhan dan produksi suatu tanaman dipengaruhi oleh keadaan lingkungan tumbuhnya. Salah satu faktor lingkungan tumbuh yang penting bagi pertumbuhan tanaman adalah ketersediaan unsur hara dan pengendalian organisme pengganggu tanaman.

Produktivitas Bawang Merah

Besarnya energi listrik yang digunakan merupakan salah aspek penting untuk dipertimbangkan dalam penggunaan metode atau teknologi baru. Pada Tabel 10 dapat diketahui hubungan besar energi listrik terhadap produktivitas bawang merah.

Tabel 10 Kebutuhan Energi listrik terhadap Produktivitas Bawang Merah Perlakuan Energi Listrik

(kWh/m2)

Berat Umbi (gram)

10°C 0.44 13.13a

15°C 0.32 11.75a

Kontrol 0.12 2.25b

[image:43.595.64.516.56.826.2]
(44)

5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Konsep pendinginan terbatas (zone cooling) zona perakaran sistem aeroponik mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman bawang merah di dataran rendah. Pada Kebutuhan energi untuk pendinginan daerah perakaran dalam sistem zone cooling untuk luasan 100 m2 pada zone cooling suhu 10oC adalah 0.440 kWh/m2, zone cooling 15oC adalah 0.321 kWh/m2 dan kontrol adalah 0.127 kWh/m2. Pada perlakuan vernalisasi tidak berbeda nyata terhadap jumlah anakan, berat umbi bawang merah dan berat basah akar tanaman. Perlakuan pendinginan suhu larutan nutrisi berbeda sangat nyata terhadap jumlah daun, jumlah anakan, jumlah umbi, berat umbi dan berat akar tanaman. Suhu yang sesuai untuk produksi umbi bawang merah dalam greenhouse di dataran rendah tropika basah untuk memproduksi umbi adalah dengan pendinginan suhu 15oC, tanpa vernalisasi. Perkiraan beban listrik satu musim panen untuk 15oC, luasan 100 m2 mencapai 1926 kWh.

Saran

1. Perlu dilakukan simulasi computational fluid dynamic untuk sebaran larutan nutrisi di dalam chamber untuk mengetahui karakteristik aliran air dan udara yang diakibatkan dari semprotan pompa tersebut.

2. Perlu dilakukan pengujian dengan sistem pendinginan selain aeroponik.

3. Perlu dilakukan ditempat terbuka bukan dalam rumah tanaman sehingga memperoleh cahaya matahari secara langsung dan lebih banyak.

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Azmi, C. I. M. Hidayat, dan G. Wiguna. 2011. Pengaruh Varietas dan Ukuran Umbi Terhadap Produktivitas Bawang Merah. Journal Horticultura. Vol. 21 No. 3.

Barrowclough D.E., Peterson, C.A. and Steudle, E. 2000. Radial hydraulic conductivity along developing onion roots. Journal of Experimental Botany 51, 547-557.doi: 10.1093/jexbot/51.344.547

Basuki, R.S. 2009. Analisis Kelayakan Teknis dan Ekonomis Teknologi Budidaya Bawang Merah dengan Biji Botani dan Benih Umbi Tradisional. Journal Horticultura. 19 (2): 214-227.

Berson, Mariati, Rosita. 2015. Produksi Biji Bawang Merah Samosir Aksesi Simanindo Terhadap Kosentrasi GA3 dan Lama Perendaman di Dataran Tinggi Samosir. Jurnal online Agroekoteknologi vol. 3, No. 3 : 1

Gambar

Gambar 1 Tahap perkembangan sistem akar bawang : (a) Akar tanaman pada
Gambar 3 Skema set up percobaan sistem aeroponik dengan zone cooling
Gambar 5 Letak titik pengukuran iklim mikro di dalam aeropobik chamber
Gambar 6 Analisis pindah panas pada sistem aeroponik (tampak samping)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti mengharapkan agar peneliti-peneliti yang selanjutnya lebih mengembangkan penelitian tentang preposisi karena ternyata walaupun penelitian tentang preposisi

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan ridho-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH

ide tentang cara menemukan jawaban melaui eksperimen yang akhirnya siswa mampu mengembangkan ide, serta mampu menghubungkan hasil eksperimen dan aplikasinya. Dengan

Penelitian yang dilakukan oleh Ariani 2017 menunjukkan bahwa DPR berpengaruh secara signifikan terhadap return saham dikarenakan suatu perusahaan yang mempunyai nilai DPR tinggi,

Ada pun yang menjadi upaya yang dilakukan kepala sekolah antara lain (1) melakukan diskusi dan komunikasi dengan pengawas sekolah mengenai cara melakukan peningkatan

Dari pengujian beta dapat dilihat bahwa user dapat memahami aplikasi TOBi dengan baik, hal ini sesuai dengan hasil kuesioner yakni 56% responden dapat mengerti tampilan

Faktanya pendirian rumah ibadah di Pamekasan belum sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik, Kondisi di lapangan termasuk Pamekasan Tak sedikit rumah ibadah di

Wacana keagamaan, dalam konteks sekarang ini, kalau tidak menumpulkan kesadaran kritis masyarakat (umatnya) sebaliknya terjebak pada pertarungan gagasan yang melangit,