• Tidak ada hasil yang ditemukan

Independensi Jaksa Agung Dalam Penyampingan Perkara Demi Kepentingan Umum (Studi Kasus : Deponering Bambang Wijayanto)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Independensi Jaksa Agung Dalam Penyampingan Perkara Demi Kepentingan Umum (Studi Kasus : Deponering Bambang Wijayanto)"

Copied!
193
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Disusun oleh

Bagdhady Zanjani Al Misbakh NIM : 1112048000056

K O N S E N T R A S I K E L E M B A G A A N N E G A R A

P R O G R A M S T U D I ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)
(3)
(4)

ii

satu syarat memperoleh gelar Strata I (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain,maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 30 September 2016

(5)

iii

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Independensi Jaksa Agung serta kaitanya dalam penyampingan perkara demi kepentingan umum

(deponering) khususnya dalam perkara pemberian deponering Bambang

Wijayanto.

Hasil analisis ini mengungkap permasalahan independensi Jaksa Agung terletak pada ketentuan Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Ketentuan tersebut memiliki makna besarnya pengaruh eksekutif terhadap Kejaksaan RI yang menyebabkan Kejaksaan tidak Independen. Perlu adanya perubahan terhadap Undang-Undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia guna menutup celah yang memberikan peluang pada lembaga Kejaksaan untuk tidak Independen. Perubahan tersebut ditekankan poin-poin krusial pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung yang menjadi sumber utama yang menyebabkan Kejaksaan tidak independen. Pertama, pola pengangkatan Jaksa Agung haruslah diubah dengan menghindari dominasi tunggal Presiden dalam proses pengangkatanya, melainkan juga mengikutsertakan lembaga-lembaga terkait seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) guna terciptanya sistem check and balances. kedua, ketentuan pemberhentian Jaksa Agung pun jelas harus diubah, ketentuan ini adalah “tenaga” terbesar eksekutif dalam kontribusinya atas tidak independensinya Kejaksaan. Dalam pasal 22 ayat (4) dijelaskan bahwa Jaksa Agung berhenti apabila masa jabatanya berakhir, namun dalam penjelasan pasal tersebut tidak menjelaskan secara rinci tentang periode masa jabatan Jaksa Agung. Keadaan ini amat sangat berpotensi menghilangkan independensi Kejaksaan. Jaksa Agung dapat diberhentikan kapanpun tergantung pada keinginan presiden.

Dengan permasalahan Kejaksaan yang dinilai tidak independen dan tidak ada penjelasan secara limitatif apa makna dari “kepentinganumum”. Yang berarti hanya pada pandangan subjektif Jaksa Agung semata. Maka akan sangat berpotensi memberikan dampak negatif pada objektifitas pemberian deponering, pemberian deponering karena desakan pihak luar criminal justice system atau desakan politik tertentu akan memperkeruh wajah penegakan hukum di Indonesia. Berdasarkan pertimbangan tersebut penulis beranggapan bahwa penyampingan perkara demi kepentingan umum atas kasus Bambang Wijayanto tidaklah tepat. Lebih baik menyerahkan proses penegakan hukum sepenuhnya kepada criminal

justice system yang berlaku.

(6)

iv

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam atas segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “INDEPENDENSI JAKSA AGUNG DALAM PENYAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM (STUDI

KASUS: PEMBERIAN DEPONERING BAMBANG WIJAYANTO”dengan

lancar dan baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan juga bagi kita selaku pengikut setia beliau hingga akhir hayat.

Dan tidak lupa ucapan terimakasih dan cinta yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua tercinta ibunda Hj. Ufat Fatihah dan ayahanda H. Misbakh, M.Pd. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu penulis baik secara materiil maupun immaterial. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D,selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

v

menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.

4. Syafrudin Makmur, S.H., MH. Selaku dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia memberikan waktu dan arahan serta masukan kepada penulis disela-sela kesibukan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar.

5. Segenap Dosen serta staff Fakultas Syariah dan Hukum yang dengan ikhlas mendidik dan membimbing penulis dari semester 1 hingga selesai penulisan skripsi ini.

6. Orang Tua Tercinta Ayah H. Misbakh, M.Pd. dan Ibunda Hj. Ufat Fatihah yang telah mencurahkan kasih sayang kepada penulis dan tidak ada henti-hentinya memberikan nasihat serta dukungan baik moril maupun materil yang tidak terhingga, motivasi serta doa yang tidak pernah lelah dipanjatkan untuk penulis, memberikan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan studi S1 ini

7. Kakak penulis Ayyub Lownardo Austin, S.Pd., M.Pd., M.IP dan Lulu Harliani yang selalu mendukung dan memberikan arahan, doa serta motivasi penulis dalam menimba ilmu untuk menyelesaikan studi S1 ini. 8. Adik-adik dan Ponakan Tersayang Cordova Baginda Bajuri Harun,

(8)

vi

Teguh Rudiawan, Muhammad Yusuf, Khairul Atma, Sigit Ganda Prabowo, Dimas Anggri, AgieZaky, Ade Kurniawan, Said Agung Sedayu, Muhammad Ansyori, Agasti Prior, Farid Muhajir dan teman-teman lainnya terimakasih atas kebersamaan dan keceriaan kalian selama ini. 10. Keluarga besar Ilmu Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah memberikan nuansa kekeluargaan sehinnga penulis merasa nyaman berada dalam keluarga ini .

11. Dan seluruh pihak yang telah membantu penulis sejauh ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga senantiasa dalam perlindungan dan keberkahan dari Allah SWT.

Demikian penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi para pembaca padaumumnya. Wassalamu’alaikumWr. Wb.

Jakarta, 30 September 2016 Penulis

(9)

vii

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Tinjauan Kajian Terdahulu ... 8

E. Kerangka Konseptual ... 10

F. Metode Penelitian... 12

G. Sistematika Penulisan... 15

BAB II KEDUDUKAN DAN PERAN KEJAKSAAN SERTA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA A. Sejarah Lahirnya Kejaksaan Republik Indonesia ... .17

B. Kedudukan dan Peran Kejaksaan Republik Indonesia... 23

C. Susunan dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia... 27

(10)

viii

HAK DAN WEWENANG JAKSA AGUNG

A. Sejarah Oportunitas di Indonesia ... 34 B. Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia ... 49 C. Asas Oportunitas Sebagai Dasar Kewenangan Menyampingkan Perkara

oleh Jaksa Agung………....……….51

BAB IV INDEPENDENSI JAKSA AGUNG DALAM

MELAKSANAKAN TUGAS DAN WEWENANG

PENYAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN

UMUM

A. Independensi Kejaksaan dalam Kaitanya dengan Negara

Hukum ... 56 B. Kaitan Independensi Jaksa Agung dengan Penyampingan

Perkara Demi Kepentingan Umum ... 63 C. Analisis Penyampingan Perkara Bambang Wijayanto Demi

Kepentingan Umum oleh Jaksa Agung ... 74

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 79 B. Saran ... 81

(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya

(alternative desputes or conflicts resolution).1Salah satu lembaga negara yang

berperan penting dalam proses penegakkan hukum di Indonesia adalah Kejaksaan Republik Indonesia.

Kejaksaan dalam melaksanakan fungsinya dipimpin oleh seorang Jaksa Agung dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI Pasal 35 (c) yang berbunyi : “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang

mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Kemudian dalam

penjelasannya disebutkan kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa atau negara dan atau kepentingan masyarakat luas.

Penyaampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan azas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan

1 Jimly Assiddhiqqie, makalah yang berjudul “

Pembangunan Hukum dan Penegakkan Hukum Di Indonesia”. Disampaikan pada acara Seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum” dalam

(12)

kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Namun, penjelasan Pasal 35 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI ini tidak menentukan secara limitatif apa rumusan atau definisi serta batasan dari kepentingan negara, kepentingan bangsa, atau kepentingan masyarakat secara jelas.

Penyampingan perkara didasarkan pada azas oportunitas. Azas oportunitas ialah azas yang melandaskan penuntut umum mempunyai kewenangan untuk tidak menuntut suatu perkara di muka sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum2 atau hak jaksa agung yang karena jabatannya untuk mendeponer perkara-perkara pidana, walaupun bukti-bukti cukup untuk menjatuhkan hukuman, jika ia berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugian bagi kepentingan umum dengan menuntut suatu perkara daripada tidak menuntutnya. Dengan kata lain perkaranya dikesampingkan walaupun cukup bukti dan bila diteruskan di persidangan kemungkinan besar terdakwa diputus bersalah.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka bisa dikatakan tugas Kejaksaan di dalam penyelenggaraan negara kita sangatlah penting, karena selaku institusi tempat bernaungnya seluruh Jaksa, Kejaksaan mempunyai peran penting selaku penghubung antara masyarakat dengan negara dalam menjaga tegaknya hukum dan norma yang berlaku di masyarakat. Oleh karena itu dalam melaksanakan fungsinya, Kejaksaan haruslah bekerja secara merdeka dan bebas dari intervensi manapun termasuk dari pemerintah. Sangat

2

(13)

berbahaya apabila Kejaksaan bekerja dengan adanya intervensi dari pihak lain.

Independensi Jaksa hingga sekarang banyak menuai perdebatan. Hal ini tidak terlepas dari kedudukan Kejaksaan sendiri sebagai lembaga pemerintahan sedangkan fungsinya yang sebagai institusi penegak hukum menimbulkan banyak pertanyaan “mampukah Kejaksaan bisa bekerja secara merdeka dalam melakukan fungsinya, namun kedudukan Kejaksaan sendiri adalah sebagai bagian dari eksekutif”

Ketentuan Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan serta bertanggung jawab kepada Presiden memiliki makna besarnya pengaruh eksekutif terhadap lembaga Kejaksaan. Hal ini menyebabkan Kejaksaan sulit mendapatkan keindependensianya.

(14)

Dalam Black’s Law Dictionary, independent diartikan “not subject to the

control or influence of another.”3 Dari pengertian tersebut, independen berarti

tidak tunduk pada kekuasaan atau pengaruh pihak lain. Independensi di sini dapat menyangkut individu maupun lembaga dalam kaitannya dengan status atau hubungan dengan pihak lain,4 sehingga indepensi meliputi kemandirian atau kebebasan individu maupun kelembagaan terhadap pengaruh pihak eksternal.

Tidak dapat dipungkiri bahwa tugas penegakan hukum dan keadilan merupakan tugas yang sangat berat, apalagi dalam konteks Indonesia yang masih dilanda kemiskinan, ketidakadilan, serta korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah sedemikian sistemik dan menggurita hingga menyentuh semua lapisan masyarakat. Pada masa orde baru, kejaksaan yang seharusnya bertindak sebagai lembaga penegak hukum yang mewakili kepentingan hukum publik berubah menjadi lembaga penegak hukum yang mewakili kepentingan pemerintah. Berdasarkan struktur kelembagaannya saat ini, secara formal kejaksaan merupakan bagian dari pemerintah atau eksekutif, sehingga tidak akan mudah untuk menjadi lembaga penegakan hukum yang

3Bryan A. Garner, Black’s

Law Dictionary, (ST. Paul, MINN: West Group, 2009), h. 838

4David Phillip Jones, “

Recent Developments in Independence and Impartiality.”

(15)

berkiblat pada kepentingan publik atau public sense of justice5 dan independen atau terbebas dari campur tangan pihak lain terutama eksekutif.6

Contoh nyata dari sulitnya kejaksaan terbebas dari campur tangan eksekutif terlihat jelas dalam perkara yang menimpa mantan Komisioner KPK Bambang Wijayanto, Peristiwa ini berawal dari adanya dugaan tindak pidana yang telah dilakukan oleh Bambang Wijayanto. MABES POLRI menetapkan Bambang Wijayanto sebagai tersangka terkait dugaan mengarahkan saksi agar menyampaikan kesaksian palsu dalam dalam sidang sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kota Waringin Barat pada tahun 2010 di Mahkamah Konstitusi. Perkara Bambang Wijayanto dalam dugaan mengarahkan saksi agar menyampaikan kesaksian palsu dalam Pilkada Kotawaringin Barat dinyatakan sudah sampai pada tahap penuntutan.

Jaksa Agung lalu mempertimbangkan perkara itu di deponering. Jaksa agung kemudian mengirimkan surat permintaan pertimbangan deponering ke Komisi III DPR RI. Kemudian Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa memastikan komisinya menolak saran deponering perkara mantan Komisioner KPK tersebut. Alasanya, tidak ada unsur kepentingan umum yang mengharuskan perkara itu dihentikan. Sementara Presiden Joko Widodo melalui Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi, Johan Budi SP memerintahkan agar perkara-perkara yang berkaitan dengan KPK segera

5Rod Harvey. “

The Independence of The Prosecutor; a Police Perspective.” Makalah

diterbitkan dalam http://www.aic.gov.au. Diakses pada tanggal 17 agustus 2016

6

(16)

diselesaikan, tentu dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan secara hukum, dan pada tanggal 3 Maret 2016 Jaksa Agung HM Prasetyo yang berasal dari politisi Nasdem resmi menggunakan kewenangan penyampingan perkara demi kepentingan umum dalam kasus ini.

Mengeluarkan keputusan penyampingan perkara demi kepentingan umum (deponering) atas perkara mantan Komisioner KPK Bambang Wijayanto.7Instruksi Presiden melalui Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi SP menunjukan bahwa Kejaksaan yang dimpimpin oleh Jaksa Agung jelas tidak bisa lepas dari pengaruh intervensi eksekutif.

J. Remmelink mengatakan bahwa akan selalu ada bahaya jika Kejaksaan tidak menjalankan tugas dan wewenangnya dengan independen. Bahwa akan selalu ada motif-motif partai politik dalam memutuskan memerintah tugas dari Kejaksaan dalam hal, misal penyampingan suatu perkara demi kepentingan umum, ataupun untuk memerintahkan menuntutnya.8

Kewenangan institusi Kejaksaan yang dipimpin oleh Jaksa Agung menangani perkara dalam bidang penuntutan tidak terlepas dari persoalan independensi atau kemandirianya untuk dapat mengambil sikap berupa kebijakan-kebijakan (diskresi) dalam menyelesaikan permasalahan hukum. Meskipun UU No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI telah memberikan wewenang oportunitas yang hanya dimiliki oleh jaksa agung sebagai

7

http://kriminalitas.com/indo/content/view/5317/6/ (diakses Senin, 29 Maret 2016 14:30)

8

(17)

pemimpin tertinggi institusi Kejaksaan RI, namun dalam menangani perkara seringkali muncul keraguan dengan mempertanyakan independensi kejaksaan dalam memproses perkara. Kecurigaan rasional pada intinya ditujukan pada pengaruh kepentingan eksternal atas. Tidak independensinya Jaksa Agung karena posisi kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan dan Jaksa Agung adalah jabatan politis non karir yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala pemerintahan.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang akan penulis bahas tidak terlalu melebar, maka penulis hanya membatasi masalah pada Independensi Jaksa Agung serta kaitanya dengan peran dan fungsi Jaksa Agung dalam menjalankan Azas Oportunitas dalam pelaksanaan tugasnya melakukan penyampingan perkara pidana demi kepentingan umum.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembahasan masalah yang telah diuraikan, maka perumusan masalahnya akan dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana permsalahan Independensi yang dialami oleh Jaksa Agung? b. Bagaimana kaitan independensi Jaksa Agung dalam melaksanakan

(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sebagaimana latar belakang dan rumusan masalah yang penulis utarakan maka tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah:

a. Untuk mengetahui permasalahan independensi yang dialami oleh Jaksa Agung.

b. Untuk mengetahui kaitan Independensi Jaksa Agung dalam melaksanakan tugas peyampingan perkara pidana demi kepentingan umum.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan bisa menjadi rujukan bagi mahasiswa Syariah dan Hukum khususnya Ilmu Hukum dalam menganalisa kasus yang sama atau hampir sama dengan penelitian yang penulis buat. Penulis juga berharap dengan adanya penelitian ini seluruh masyarakat di Indonesia dapat memahami tentang Independensi Kejaksaan Republik Indonesia dalam Penyampingan Perkara Demi Kepentingan Umum.

D. Tinjauan Kajian Terdahulu

Nama Gery Pamungkas Fakultas/

Prodi

Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahun 2015

Judul Skripsi

(19)

Substansi Skripsi ini membahas tentang Independensi Kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara.

Pembeda Penelitian penulis dengan skripsi di atas sangat jauh berbeda. Penulis hanya menjadikan skripsi tersebut acuan dalam hal konsep. Karena penelitian di atas dengan milik penulis memiliki konsep yang sama yakni mengenai Independensi Kejaksaan RI. Namun, penelitian di atas mengenai Independensi Jaksa sebagai Pengacara Negara. Sedangkan penulis membahas Independensi Jaksa Agung dalam melakukan deponering.

Tintauan tentang pengaturan azas penyampingan perkara demi kepentingan umum (azas oportunitas) dalam KUHAP dan relevansinya dengan azas persamaan di mata hukum ( equality before the law)

Substansi Skripsi ini membahas pertanggung jawaban pengaturan azas penyampingan perkara demi kepentingan umum (azas oportunitas) dalam KUHAP dan relevansinya dengan azas persamaan di mata hukum (equality before

the law). Penulis menjadikan skripsi ini sebagai acuan

karena memiliki kesamaan konsep penerapan azas oportunitas oleh jaksa agung dalam system hukum di indonesia.

Pembeda Terdapat pembedaan mengenai sudut pandang. Dalam skripsi ini menekankan tentang pengaturan azas oportunitas sedangkan penulis Independensi Jaksa Agung dalam penerpan azas oportunitas dalam suatu perkara pidana, khususnya perkara yang mendera mantan komisioner KPK yaitu, Bambang Wijayanto.

Nama Dr. Alfitra, S.H., M.H Publisher Raih Asa Sukses

Tahun 2012

Judul Buku

Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana Substansi Buku ini merupakan salah satu kerangka pemikiran

tentang penerapan azas oportunitas oleh Jaksa Agung Pembeda Buku ini merupakan acuan dasar tentang hal-hal yang

(20)

Jaksa Agung dalam penyampingan perkara

Independensi Kejaksaan sebagai Pelaksana Kekuasaan Penuntutan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.

Substansi Jurnal ini merupakan salah satu kerangka pemikiran tentang Independensi Kejaksaan RI.

Pembeda Jurnal ini merupakan acuan dasar tentang hal-hal yang berkaitan Independensi Kejaksaan dalam Penuntutan. Sedangkan penulis akan membahas tentang Independensi Jaksa Agung dalam penyampingan perkara pidana (deponering) berdasarkan azas oportunitas

E. Kerangka Konseptual

1. Azas oportunitas adalah hak Jaksa Agung yang karena jabatannya untuk mendeponir perkara-perkara pidana, walaupun bukti bukti cukup untuk menjatuhkan hukuman, jika ia berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugian bagi kepentingan umum dengan menuntut suatu perkara daripada tidak menuntutnya.9

2. Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.10

9

Karim Nasution, Rapat Dengar Pendapat Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Masalah Hukum Acara Pidana, (Jakarta : DPR, 2004), h.36.

10

(21)

3. Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

4. Dominus litis berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik. Penuntut

umum ialah dominus litis. Pengertiannya ialah wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umm sebagai monopoli dan tidak ada badan lain yang boleh melakukan penuntutan selain penuntut umum.11

5. Penuntut umum adalah jaksa yang menuntut perkara yang disidangkan dan berwenang menyerahkan perkara seorang terdakwa kepada hakim, dengan permohonan, supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.

6. Penuntutan yang berasal dari kata tuntut yang berarti meminta dengan keras (setengah mengharuskan supaya dipenuhi); menagih, menggugat, membawa atau mengadu ke pengadilan.12

7. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini (KUHAP) untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

11

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, (Jakarta :Sinar Grafika,2004), h.48.

12

(22)

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian

Penelitian (research) berarti pencarian kembali. Pencarian yang dimaksud adalah pencarian terhadap pengetahuan yang benar (ilmiah), karena hasil dari pencarian ini akan dipakai untuk menjawab permasalahan tertentu. Dengan kata lain, penelitian (research) merupakan upaya pencarian yang amat bernilai edukatif, ia melatih kita untuk selalu sadar bahwa didunia ini banyak yang kita tidak ketahui, dan apa yang kita coba cari, temukan dan ketahui itu tetaplah bukan kebenaran mutlak, oleh sebab itu, masih perlu diuji kembali.13

Tipe penelitian yang penulis gunakan pada skripsi ini adalah kualitatif dengan pendekatan empiris yuridis.14yaitu penelitian hukum yang menitikberatkan pada kajian literatur (kepustakaan) serta data sekunder yang bertujuan untuk meneliti asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan perbandingan hukum. Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan historis

(historical approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach).

2. Sumber Data

a. Bahan Hukum Primer

13

Amirudin dan Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,(Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2012), h.5.

14

(23)

Bahan-bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan , dan putusan-putusan hakim.15

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari literatur hukum, artikel yang berasal dari Jurnal, publikasi press dalam surat kabar, internet, dan dokumen lain yang berkaitan dengan penelitian, guna memberikan penjelasan lebih lanjut dan mendalam mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

c. Bahan Non-Hukum (Tersier)

Bahan Non-Hukum dapat berupa publikasi non hukum yang memuat data-data yang masih relevan atau berkaitan dengan tema penelitian ini.

3. Tehnik Pengumpulan Data dan Bahan Hukum

Metode pengumpulan data dalam penulisan ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, serta bahan non hukum yang telah di dapatkan kemudian dipadukan dan disusun sesuai dengan hierarkinya. Adapun bahan hukum baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder atau bahkan bahan hukum tersier di uraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga dapat ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan secara deduksi yakni

15

(24)

menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum ke suatu permasalahan yang bersifat khusus atau yang lebih kongkrit.16

4. Metode Pengolahan Data dan Bahan Hukum

Pengolahan data dilakukan dengan metode kualitatif yakni memberikan gambaran mengenai permasalahan dengan menganalisis rujukan dalam setiap literatur dan bahan hukum yang disebutkan di atas17. 5. Analisis Data

Teknis analisis data dalam penelitian ini diawali dengan mengkompilasi berbagai dokumen peraturan perundang-undangan serta bahan hukum lainnya yang berhubungan dengan judul yang penulis ambil. Kemudian dari hasil tersebut, dikaji isi (content), baik terkait kata-kata (word), makna (meaning), simbol, ide, tema-tema dan berbagai pesan lainnya yang dimaksudkan dalam isi undang-undang tersebut.

Secara detail langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan analisis tersebut adalah: Pertama, semua bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui normatif disistematisir dan diklasifikasikan menurut objek bahasannya. Kedua, setelah disistematisir dan diklasifikasikan kemudian diuraikan dan dijelaskan tentang objek yang diteliti berdasarkan teori. Ketiga, bahan yang dilakukan evaluasi, yakni dinilai dengan menggunakan ukuran ketentuan hukum yang berlaku.

16

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 42.

17

(25)

6. Metode Penulisan

Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan penulis dalam skripsi ini disesuaikan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”

G. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, skripsi ini dibagi menjadi lima bab dengan sub bab, dengan uraian singkat sistem penulisan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai keseluruhan isi penelitian yang akan digali dengan tujuan untuk membuka pemahaman secara umum sisi penelitian yang terdiri atas latar belakang penelitian, alasan penelitian. Selanjutnya akan dibahas mengenai kerangka konseptual dan kerangka teoritis yang digunakan untuk menganalisa permasalahan tersebut. Selain itu juga diuraikan juga mengenai metode penelitian ini dan sistematika penulisan.

BAB II KEDUDUKAN DAN PERAN KEJAKSAAN SERTA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA

(26)

BAB III PENYAMPINGAN PERKARA SEBAGAI SALAH SATU HAK DAN WEWENANG JAKSA AGUNG

Dalam bab ini akan membahas kewenangan Kejaksaan dalam penyampingan perkara (Deponering). Pengertian dan istilah azas oportunitas, latar belakang berlakunya azas oportunitas di Indonesia. Sejarah singkat dan perkembangan azas oportunitas sebagai dasar penyampingan perkara demi kepentingan umum di Indonesia.

BAB IV INDEPENDENSI JAKSA AGUNG DALAM MELAKSANAKAN TUGAS DAN WEWENANG PENYAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM

Akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan analisis terhadap independensi Jaksa Agung dan kaitanya dengan kewenangan penyampingan perkara dengan alasan kepentingan umum. Kasus yang terkait adalah penyampingan perkara Bambang Wijayanto.

BAB V PENUTUP

(27)

17

REPUBLIK INDONESIA

A. Sejarah Lahirnya Kejaksaan Republik Indonesia

1. Sebelum Reformasi

Istilah kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa dan dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertenti di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta.

Menurut W. F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M).18 Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para adhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi. Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas

(opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter).19

18

http://.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016

19

(28)

Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang adhyaksa. Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar

Ministerie. Lembaga ini yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan

sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Juridictie Geschillen (Pengadilan Justisi) dan

Hooggerechtshof (MA) dibawah perintah langsung dari Residen/Asisten

Residen.

Hanya saja pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai perpanjangan tangan Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan pada masa penjajahan Belanda mengemban misi terselubung, antara lain :20

a. Mempertahankan segala peraturan Negara. b. Melakukan penuntutan segala tindak pidana.

c. Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang.

Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khusunya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).

Peran Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang Nomor 1/1942, yang kemudian diganti oleh

20

(29)

Osamu Seirei Nomor 3/ 1942, Nomor 2/1944 dan Nomor 49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo

Hoooin (Pengadilan Agung), Koootooo Hooin (Pengadilan Tinggi) dan

Tihooo Hooin (Pengadilan Negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan

bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk :21

a. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran. b. Menuntur Perkara.

c. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal. d. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.

Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tentang Badan-Badan dan Peraturan Pemerintah Dulu. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara Republik Indonesia membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan UUD 1945, maka segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku.

Secara yuridi formal, Kejaksaan Republik Indonesia telah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945. Sua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (selanjutnya disingkat PPKI) diputuskan

21

(30)

kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman.

Kejaksaan Republik Indonesia terus mengalami berbagai perkembangan dan diamika secara terus menerus sesuai dengan kurun waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 23 (dua puluh tiga) periode kepemimpinan Jaksa Agung. Seiring dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan, organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan Republik Indonesia, juga mengalami berbagai perubahan yag disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan.22

Menyangkut Undang-Undang Kejaksaan, perubahan mendasar pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat pemerintah mengesahkan Undanf-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indoinesia, Undang-Undang ini menegaskan Kejaksaan sebagai alat Negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum (pasal 1), penyelenggaraan tugas Departemen Kejaksaan dilakukan Menteri/Jaksa Agung (Pasal 5), dan susunan organisasi yang diatur oleh keputusan Presiden. Terkait kedudukan, tugas dan wewenang Kajaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan penempatan kejaksaan dalam struktur organisasi departemen, disahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

22

(31)

Pada masa Orde Baru ada perkembangan baru yang menyangkut Kejaksaan Republik Indonesia sesuai dengan perubahan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu juga mencakup perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang didasarkan pada adanya Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1991 tertanggal 20 November 1991.23

2. Masa Reformasi

Masa Reformasi hadir di tengah gencarnya berbagai sorotan terhadap pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada, khususnya dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Karena itulah, memasuki masa reformasi Undang-Undang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia untuk mengggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. kehadiran Undang-Undang ini disambut gembira banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, maupun pihak lainnya.24

Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahawa “Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara

23

https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016

24

(32)

dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang”. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya institusi pelaksana putusan pidana. Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaaan Republik Indonesia sebagai lembaga Negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan.25

Mengacu pada Undang-Undang tersebut, maka pelaksanaan kekuasaan Negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan secara merdeka artinya bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.

25

(33)

B. Kedudukan dan Peran Kejaksaaan Republik Indonesia

Mengenai kedudukan dan peran kejaksaan. Kejaksaan Republik Indonesia dalam sistem pemerintahan telah ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan republik Indonesia yang menyatakan bahwa kedudukan kejaksaan adalah Lembaga Pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara terutama di bidang penuntutan di lingkungan peradilan umum. Ini berarti bahwa kejaksaan sebagai perwujudan dari segala kebebasan dan keadilan, sebab kejaksaan mewakili dan mempertahankan kekuasaan Negara. Memperjuangkan kepentingan umum yang sangat membuutuhkan ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan dan diharapkan kejaksaan mampu bertindak secara netral, di dalam menangani perkara yang harus dipecahkan, khususnya di dalam penanganan perkara selama proses di pengadilan.

1. Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia

(34)

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Supremasi hukum berarti adanya jaminan konstitusional dalam proses politik yang dijalankan oleh kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif. Supremasi hukum akan selalu bertumpu pada kewenangan yang ditentukan oleh hukum.26

Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia terdapat dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu :

Pasal 2 :

1). Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.

2). Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dilaksanakan secara merdeka.

3). Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 adalah satu atau tidak terpisahkan.

Pasal 3 :

Pelaksanaan kekuasaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri.

Pasal 4 :

1) Kejaksaan Agung berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi kekuasaan negara Republik Indonesia.

26Wijatobone,“Kedudukan Kejaksaan”,

(35)

2) Kejaksaan Tinggi berkedudukan di Ibukota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.

3) Kejaksaan Negeri berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota yang daerah hukumnya meliputi daerah kabupaten/kota.

2. Peran Kejaksaan Republik Indonesia

UUD 1945 menentukan secara tegas bahwa Indonesia adalah Negara hukum (rechtsstaat). Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya menjamin kesejahteraan bagi setiap orang di hadapan hukum

(equality before the law). Oleh karena itu, setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil tersebut setidaknya tercermin dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang Kejaksaan yang baru tersebut dimaksudkan untuk lebih menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.

(36)

Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntuan secara merdeka dalam arti bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi Jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih berperan dalam menegakan supremasi hukum, perlindungan kepentingan hukum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan KKN.

Kejaksaan harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta kewajiban untuk turut menjaga dan menegakan kewajiban pemerintah dan negara serta melindungi kepernyingan masyarakat. Disinilah letak peran strategis Kajaksaan dalam pemantapan ketahanan bangsa.

(37)

dijabarkan pada Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945, yaitu:

Pasal 5 Ayat(1) Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat.

Pasal 20 Ayat (1) Tiap-tiap Undang-Undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

C. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia

Susunan organisasi terdapat dalam Pasal 4 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yaitu :

a. Jaksa Agung:

b. Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang antara lain sebagai berikut :

1). Memimpin dan mengendalikan Kejaksaan dalam melaksanakan tugas, wewenang dan fungsi serta membina aparatur Kejaksaan agar berdaya guna dan berhasil guna;

2).Menetapkan dan mengendalikan kebijaksanaan pelaksanaan penegakan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

3). Melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusi dan tindakan hukum lain berdasarkan peraturan perundang-undangan; 4). Mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan

instansi terkait meliputi penyelidikan dan penyidikan serta melaksanakan tugas-tugas yustisial lain berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Presiden;

5). Melakukan pencegahan dan pelarangan terhadap orang yang terlibat dalam suatu perkara pidana untuk masuk ke dalam atau ke luar meninggalkan wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia, peredaran barang cetakan yang dapat mengganggu ketertiban umum, penyalahgunaan dan/atau penodaan agama serta pengawasan aliran kepercayaan yang membahayakan ketertiban masyarakat dan negara berdasarkan peraturan perundang-undangan;

(38)

maupun di luar negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Presiden;

7). Menyampingkan perkara demi kepentingan umum, mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara, mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana, menyampaikan pertimbangan kepada Presiden mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati berdasarkan peraturan perundang-undangan;

8). Memberikan izin tertulis dan menetapkan persyaratan dan tata cara bagi seorang tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di dalam maupun di luar negeri peraturan perundang-undangan;

9). Memberikan perizinan sesuai dengan bidang tugasnya dan melaksanakan tugas-tugas lain peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Presiden;

10.) Membentuk Satuan Tugas di Pusat di Daerah yang terdiri dari instansi Sipil, TNI dan Polri untuk penanggulangan, pencegahan dan pemberantasan tindak pidana khusus serta tindak pidana tertentu sesuai dengan kebutuhan;

11). Membina dan melakukan kerja sama dengan departemen, lembaga pemerintah non departemen, lembaga negara, instansi dan organisasi lain untuk memecahkan permasalahan yang timbul terutama yang menjadi tanggung jawabnya.

Jaksa Agung dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang wakil Jaksa Agung.

a. Wakil Jaksa Agung

Wakil Jaksa Agung mempunyai tugas yaitu:

1). Membantu Jaksa Agung dalam membina dan mengembangkan organisasi, administrasi sehari-hari serta tugas-tugas teknis operasional lainnya agar berdaya guna dan berhasil guna;

2). Membantu Jaksa Agung dalam mengkoordinasikan pelaksanaan tugas, wewenang, dan fungsi para Jaksa Agung Muda, Pusat dan Kejaksaan di daerah;

(1).Mewakili Jaksa Agung dalam hal Jaksa Agung berhalangan; (2). Melaksanakan tugas-tugas lain sesuai dengan petunjuk Jaksa Agung.

Dalam melaksanakan tugasnya Wakil Jaksa Agung bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.

b. Jaksa Agung Muda Pembinaan;

(39)

Jaksa Agung Muda Pembinaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan pembinaan atas manajemen, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana, pengelolaan keuangan, kepegawaian, perlengkapan, organisasi dan tatalaksana, melakukan penelaahan dan turut menyusun perumusan peraturan perundang-undangan, pengelolaan atas kekayaan milik negara yang menjadi tanggung jawabnya serta memberikan dukungan pelayanan teknis dan administratif bagi seluruh satuan organisasi Kejaksaan dalam rangka memperlancar pelaksanaan tugas.

c. Jaksa Agung Muda Intelijen;

Jaksa Agung Muda Intelijen adalh unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang intelijen yustisial yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung.

Jaksa Agung Muda Intelijen mempunyai tugas dan wewenang melakukan kegiatan intelijen yustisial di bidang sosial, politik, ekonomi, keuangan, dan pertahanan keamanan untuk mendukung kebijaksanaan penegakan hukum dan keadilan baik preventif mapun represif, melaksanakan dan/atau turut menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman umum serta pengamanan pembangunan nasional dan hasil-hasilnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.

d. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum;

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang yustisial mengenai tindak pidana umum yang diatur di dalam dan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum mempunyai tugas dan wewenang melakukan prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lainnya dalam perkara tindak pidana umum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung

e. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus;

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang yustisial mengenai tindak pidana khusus yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung.

(40)

pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lain mengenai tindak pidana ekonomi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana khusus lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.

f. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara;

Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang yustisial mengenai perkara perdata dan tata usaha negara yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung.

Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara mempunyai tugas dan wewenang melakukan penegakan, bantuan, pertimbangan dan pelayanan hukum kepada instansi pemerintah dan negara di bidang perdata dan tata usaha negara untuk menyelamatkan kekayaan negara dan menegakkan kewibawaan pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.

g. Jaksa Agung Muda Pengawasan;

Jaksa Agung Muda Pengawasan adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang yustisial di bidang pengawasan yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung.

Jaksa Agung Muda Pengawasan mempunyai tugas dan wewenang melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas rutin dan pembangunan semua unsur Kejaksaan agar berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rencana dan program kerja Kejaksaan serta kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. h. Pusat

1) Di lingkungan Kejaksaan dapat dibentuk Pusat sebagai unsur penunjang kegiatan Kejaksaan.

2) Pembentukan Pusat ditetapkan oleh Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayaagunaan aparatur negara.

i. Kejaksaan di Daerah

Kejaksaan di Daerah terdiri Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri yang kedudukan dan wilayah hukumnya ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rincian tugas dan wewenang, susunan organisasi dan tata kerja Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di atur lebih lanjut oleh Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.

(41)

Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia terdapat dalam Pasal 34 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yaitu :

Semua satuan organisasi Kejaksaan dalam melaksanakan tugasnya diwajibkan menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi baik dalam lingkungan Kejaksaan sendiri maupun dalam hubungan antar departemen, lembaga pemerintah non departemen, lembaga negara, dan instansi-instansi lain untuk kesatuan gerak yang sesuai dengan tugasnya. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang serta fungsinya aparat Kejaksaan bertanggung jawab secara hirarkis kepada pimpinan satuan organisasi masing-masing. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang serta fungsinya satuan-satuan organisasi Kejaksaan berpedoman kepada asas satu kesatuan dan tidak terpisah-pisahkan

D. Syarat Menjadi Jaksa Agung

Pasal 18

(1) Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan.

(2) Jaksa Agung dibantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung dan beberapa orang Jaksa Agung Muda.

(3) Jaksa Agung dan Wakil Jaksa Agung merupakan satu kesatuan unsur pimpinan.

(4) Jaksa Agung Muda adalah unsur pembantu pimpinan. Pasal 19

(1) Jaksa Agung adalah pejabat negara.

(2) Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Pasal 20

(42)

a. warga negara Indonesia; c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

d. berijazah paling rendah sarjana hukum; f. sehat jasmani dan rohani;

g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; Pasal 21

Jaksa Agung dilarang merangkap menjadi:

a. Pejabat negara lain atau penyelenggara negara menurut peraturann perundang-undangan;

b. Advokat;

c. Wali, kurator/pengampu, dan/atau pejabat yang terakait dalam perkara yang sedang diperiksa olehnya;

d. Pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/daerah, atau badan usaha swasta;

e. Notaris, notaris pengganti, atau pejabat pembuat akta tanah; f. Arbiter, badan atau panitia penyelesaian sengketa yang dibentuk berdasarkan perturan perundang-undangan;

g. Pejabat lembaga berbentuk komisi yang dibentuk berdasarkan undang-undang; atau

h. Pejabat pada jabatan lainnya yang ditentukan berdasarkan undang-undang.

Pasal 22

(1) Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatnnya karena: a. meninggal dunia;

b. permintaan sendiri;

c. sakit jasmani atau rohani terus-menerus; d. berakhir masa jabatannya;

(43)
(44)

34

A. SEJARAH OPPORTUNITAS DI INDONESIA

1. Sebelum Zaman Kolonial

Di berbagai tulisan, pada waktu sebelum zaman pendudukan Belanda azas opportunitas tidak diketahui secara tertulis. Oleh karena di Indonesia pemerintahannya pada waktu itu masih berbentuk kerajaan, maka dapatlah dikatakan bahwa raja selalu mempunyai hak opportunitet, mengingat kekuasaannya sebagai raja atau Sultan.

2. Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda.

Mengingat kekuasaan Gubernur Jenderal yang sangat besar di wilayah jajahan, maka ia dengan mudah menjadikan pasal 179 Reglement of de

rechterlijke organisatie sebagai dasar pelaksanaan azas oportunitas, meskipun

dalam analisa Andi Hamzah27 menulis Pasal 32 C Undang Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di Indonesia. Pasal itu berbunyi : “Jaksa Agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum”. Sebelum ketentuan itu, dalam praktek telah dianut azas itu. Dalam hal ini Lemaire mengatakan bahwa pada dewasa ini asas oportunitas lazim dianggap sebagai suatu asas yang berlaku di negeri ini, sekalipun sebagai hukum tak tertulis yang berlaku. Dikatakan hukum tak tertulis karena adanya Pasal 179 Reglement of de rechterlijke

27

(45)

organisatie yang dipertentangkan itu. Ada yang mengatakan dengan pasal itu dianut asas oportunitas di Indonesia, ada yang mengatakan tidak. Yang mengatakan dianut atas legalitas karena alasan di dalam pasal 179 RO itu kepada Hooggerechtshof dahulu diberikan kewenangan untuk, bila Majelis itu, karena pengaduan pihak yang berkepentingan atau secara lain mana pun, mengetahui telah terjadi kealpaan dalam penuntutan kejahatan atau pelanggaran, memberi perintah kepada Pokrol Jenderal supaya berhubung dengan itu, melaporkan tentang kealpaan itu dengan hak memerintahkan agar dalam hal itu diadakan penuntutan jika ada alasan-alasan untuk itu.

Yang mengatakan dengan Pasal 179 Reglement of de rechterlijke

organisatie itu dianut asas oportunitas karena pada ayat pertama pasal itu

ditambah dengan kata-kata “kecuali jika penuntutan oleh Gubernur Jenderal dengan perintah tertulis telah atau akan dicegah”. Vonk mengatakan harus dibedakan antara oportunitas sebagai asas dan oportunitas sebagai kekecualian. Dalam hal tersebut diatas merupakan pengecualian. E. Bonn-Sosrodanukusumo mengatakan bahwa waktu pembuat undang-undang tahun 1948 menyusun reglemen itu teristimewa Pasal 179, tidak ingat asas oportunitas dalam bentuknya yang sekarang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa azas opportunitet tetap berlanjut pada zaman kolonial28.

28

(46)

3. Zaman Jepang

Oleh karena pendudukan Jepang di Indonesia tidak begitu lama, hanya kurang lebih 3 ½ tahun saja maka tidak ada perubahan apapun terhadap perundang-undangan, kecuali penghapusan Raad Van Justitie sebagai pengadilan untukgolongan Eropa.29

4. Zaman Kemerdekaan

Sejak Jepang meninggalkan Indonesia (1945) keadaan Hukum Acara Pidana tidak ada perubahan pemakaian azas opportinitet dalam Hukum Acara Pidana, oleh karena Pasal 179 RO tetap berlaku bahkan kemudian dengan di Undangkannya Undang-Undang Pokok Kejaksaan Undang-Undang Nomor 15/1961, dalam Pasal 8, memberi wewenang kepada Jaksa Agung untuk menseponir/ menyampingkan suatu perkara berdasar alasan “Kepentingan Umum”30

kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, dalam Pasal 32 ( c ), yang menyatakan bahwa : Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk menyampingkan perkara ; yang lebih dipertegas lagi dalam buku pedoman pelaksanaan KUHAP31, sebagai berikut : Penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa. Dengan dinyatakannya dalam penjelasan resmi Pasal 77 yaitu berupa :

29

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV Artha Jaya, 1996)h. 55

30

M. Yahya Harahap, Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP. Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000) h. 37

31

(47)

“Yang dimaksudkan dengan “penghentian penuntutan” tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung” maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP mengakui eksistensi perwujudan dari azas oportunitas, sehingga dengan demikian perwujudan dari azas oportunitas tidak perlu dipermasalahkan, mengingat dalam kenyataannya perundang-undangan posisif di negara kita, yakni dalam KUHAP penjelasan resmi Pasal 77 dan dalam Undang- Udnang Nomor 15 Tahun 1961 (Undang-Undang Pokok Kejaksaan) Pasal 8 secara tegas mengakui eksistensi dari perwujudan azas opportunitas, yaitu kepada Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tertinggi berdasarkan kepada keadaan-keadaan yang nyata untuk tidak menuntut suatu perkara pidana dimuka persidangan pengadilan pidana agar kepentingan umum tidak lebih dirugikan.

(48)

yang dikesampingkan demi kepentingan umum, penuntut umum tidak berwenang melakukan penuntutan terhadap tersangka dalam perkara tersebut di kemudian hari32.

Dalam hubungan perwujudan azas oportunitas ini mungkin yang akan menjadi permasalahannya ialah sejauh mana kriteria “demi kepentingan umum” itu yang akan digunakan. Dalam hubungan ini pertama-tama diperhatikan baik KUHAP maupun pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tidak memuat kejelasan apa yang dimaksud dengan “kepentingan umum” itu, maka sehubungan dengan itu kita harus perhatikan dalam praktek selama ini, yaitu bahwa dalam menyampingkan perkara yang menyangkut kepentingkan umum, Jaksa Agung senantiasa bermusyawarah dengan pejabat-pejabat tertinggi negara yang ada sangkut pautnya dengan perkara yang bersangkutan, antara lain seperti dengan MENHANKAM, KAPOLRI bahkan sering kali dengan Presiden. Dengan demikian kriteria “demi kepentingan umum” dalam penerapan asas oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan pribadi. Maka jelas bahwa perundang-undangan kita hingga saat ini tetap menganut azas oportunitas33.

32

Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h. 42

33

(49)

B. PERKEMBANGAN ASAS OPORTUNITAS DI INDONESIA

Sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum UUD 1945 alinea pertama Bahwa Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, di samping itu undang-undang berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis.

Jelas bahwa hukum yang berlaku di Indonesia tidak hanya hukum tertulis yang berupa peraturan perundangundangan saja melainkan juga hukum tidak tertulis yang meliputi adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan baik yang timbul dalam penyelenggaraan Negara (konvensi) maupun kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan di hayati oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat.

Dengan memperhatikan sejarah hukum yang berlaku di Indonesia sebelum penjajahan sangat dominan dengan hukum adat yang sifatnya heterogen, lain daerah lain pula adatnya. Penyelesaian masalah identik penyelesaian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga adat dengan perangkat-perangkat desa. Pada masyarakat primitif tidak membedakan antara hukum pidana dan hukum perdata, tuntutan perdata dan tuntutan pidana merupakan kesatuan termasuk lembaga-lembaganya. 34

Pandangan rakyat Indonesia waktu itu melihat alam semesta dan lingkungannya merupakan suatu totalitas yang harus dijaga keharmonisannya. Setiap pelanggaran hukum (adat) para penegak hukum harus memulihkannya

34

(50)

dengan putusan. Pelunasan/ganti rugi sesuai dengan bentuk-bentuk sanksi adat yang telah ditentukannya. Istilah Jaksa yang berasal dari bahasa Sansekerta “adhyaksa” artinya sama dengan hakim pada dunia modern sekarang ini.

Pada masa penjajahan Belanda, hukum yang berlaku di Indonesia dengan asas konkordasi, segala perubahan perundang-undangan di Negeri Belanda diberlakukan pula di Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dipandang sebagai produk nasional, merupakan penerusan pula dari asas-asas hukum acara pidana yang ada dalam HIR (Stb 1926 No. 559 jo 496). HIR sendiri merupakan perubahan dari IR yaitu dengan dibentuknya lembaga Openbaar Ministerie atau penuntut umum, yang dulu di bawah pamong praja secara bulat terpisah berdiri sendiri berada di bawah Officier

van Yustitie (untuk golongan Eropa) dan Proceireur General sekarang Jaksa

Agung untuk Bumi Putra, sehingga Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi35.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Andi Hamzah : bahwa dalam hukum acara pidana dikenal adanya suatu badan khusus yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke Pengadilan yang disebut “Penuntut Umum”. Di Indonesia penuntut umum itu disebut Jaksa36.

35

Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.58

36

(51)

Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, karena tidak ada badan lain yang boleh melakukan itu, hal ini disebut dominus litis di tangan penuntut umum atau Jaksa. Dominus berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik. Hakim tidak boleh meminta agar setiap delik pidana diajukan ke Pengadilan. Jadi hakim harap menunggu saja penuntutan yang diajukan dari penuntut umum. Dalam hubungan dengan hak penuntutan dikenal adanya 2 (dua) asas yaitu37 :

1. Asas legalitas yakni penuntut umum wajib melakukan penuntutan suatu delik (hal ini tidak dianut di Indonesia)

2. Asas Oportunitas ialah penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan tindak pidana. Jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum, jadi demi kepentingan umum seseorang yang melakukan tindak pidana tidak wajib dituntut ke pengadilan.

AZ Abidin Farid memberikan perumusan tentang asas oportunitas sebagai berikut : “Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.

Dalam penjelasan UU No.16 Tahun 2004 pasal 35 ditekankan bahwa di lingkungan Kejaksaan, Jaksa Agung RI yang mempunyai hak mengesampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum. Selanjutnya meskipun tidak ditegaskan dalam pasal ini namun dapat

37

(52)

dimengerti bahwa dalam mengesampingkan perkara yang menyangkut kepentingan umum, Jaksa Agung senantiasa bermusyawarah dengan pejabat-pejabat tinggi yang ada sangkut pautnya dalam perkara tersebut antara lain Menteri/kepala Kepolisian Negara, Menteri Keamanan Nasional bahkan juga seringkali langsung kepada Presiden.

Sebelum ada ketentuan tersebut di Indonesia dalam praktek telah dianut asas oportunitas yang lazim dianggap sebagai hukum tidak tertulis. Sebagaimana hukum yang berlaku di Indonesia mengakui kebenaran hukum dasar yang tertulis dan tidak tertulis, yang tertulis berupa produk peraturan perundang-undangan yang terbentuknya melalui Dewan Legislatif (DPR) bersama-sama dengan pemerintah tentu membutuhkan waktu panjang dan pembahasan bertele-tele serta biaya mahal sehingga keberadaannya sangat terbatas, jika dibandingkan dengan kebutuhan hukum yang mengatur perkembangan kehidupan masyarakat semakin pesat ibarat deret ukur, sedangkan jumlah peraturan perundang-undangan kurang memadai ibarat deret hitung38.

Oleh karena itu untuk mengisi kekosongan hukum di Indonesia mengalami keberadaan hukum yang tidak tertulis berupa hukum adat, hukum agama, hukum kebiasaan yang timbul dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan maupun kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat dihayati dan diakui keberadaannya oleh rakyat Indonesia.

38

(53)

Apabila diartikan bahwa asas oportunitas itu pada dasarnya ialah asas kesederhanaan yang menyangkut perkara-perkara kecil yang ancaman hukumnya dibawah 6 (enam) tahun, dan apabila kerugiannya sudah diganti, harus diselesaikan sendiri oleh Jaksa dan tidak perlu dilanjutkan ke Pengadilan, karena hak penuntutan ada ditangan Jaksa.

Meskipun aturan tertulis mengenai asas oportunitas tidak jelas, namun di Indonesia tetap memberlakukannya. Hal ini nampak diberbagai unit usaha/kelompok usaha yang memiliki karyawan lebih dari 100 (seratus) orang umpamanya, tentu memiliki satuan keamanan, pengawas bahkan konsultan hukum, apabila terjadi pelanggaran hukum/delik pidana di lingkungannya akan teratasi dengan tebusan uang damai, jika tidak dapat diselesaikan baru ke kantor polisi, meskipun di kepolisian juga diusahakan musyawarah untuk damai.

Walaupun berapa saja jumlah uang tebusan pada umumnya orang lebih suka damai dari pada melalui proses pengadilan yang berlarut-larut yang menghabiskan waktu, tenaga juga harta benda. Tidak terbayangkan jika semua perkara/delik pidana yang terjadi di masyarakat seperti Indonesia ini harus mengajukan tuntutan melalui kepolisian, kejaksaan dan pengadilan tidak akan mungkin mengingat jumlah aparat penegak hukum, polisi, jaksa, hakim sangat minim dibandingkan jumlah perkara yang masuk ke pengadilan.39

39

(54)

Ada yang mengatakan bahwa oportunitas itu harus dibedakan oportunitas sebagai asas dan oportunitas sebagai pengecualian dalam hal tersebut di atas oportunitas dianggap sebagai pengecualian. Dalam praktek sering dilakukan pengecualian tersebut sebagai hukum tidak tertulis. Sedangkan asas oportunitas dalam tuntutan pidana itu artinya Badan Penuntut Umum wewenang tidak melakukan suatu penuntutan jika dianggap tidak oportunitas yakni guna kepentingan umum40.

Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal 1 butir 6 huruf a dan b, Pasal 137 tidak mengatur secara tegas tentang asas oportunitas.

Pasal 1 butir 6

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Pasal 14 huruf h :

Penuntut umum mempunyai wewenang : h. menutup perkara demi kepentingan hukum.

Apa yang dimaksud dengan penutup perkara demi kepentingan hukum sama sekali tidak ada penjelasan, kemungkinan kurangnya alat bukti atau sudah diselesaikan malalui perdamaian/ganti rugi (Opportuun)

Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI dalam undang-undang ini ada beberapa pasal yang mengatur mengenai pelaksanaan asas

40

Gambar

Grafika.2006.
Grafika.2006.

Referensi

Dokumen terkait

Akses (masalah) terutama. Persebaran anak-anak sekolah jumlahnya terbatas. Jumlahnya sedikit-sedikit dengan jarak yang jauh-jauh. Tidak hanya itu, jumlah guru yang mengajar

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kepuasan kerja dan komitmen organisasi terhadap Organizational Citizenship behavior serta untuk mengetahui

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ekstrak etanolik daun Sambung nyawa ( Gynura procumbens (Luor) Merr) pada proliferasi sel kanker payudara tikus yang

Untuk mengikuti Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan bagi Guru Tahun 2018.. Demikian surat izin belajar ini kami buat dan dapat dipergunakan

Dengan adanya penelitian tindakan kelas ini, dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan meminimalkan jumlah siswa yang kurang memahami materi bangun ruang, sehingga

Pada objek 3D, nilai kurvatur yang dihitung pada suatu titik harus dilakukan dari segala arah kurva (Gambar 1b). Jumlah kurvatur di titik tersebut tak terhingga,

Perlakuan daun gambir untuk mendapatkan tanin meliputi pengeringan, penghalusann (blender), pengayakan, pengekstrakan dengan sokletasi sehingga diperoleh rendemen gambir.

Pendidikan karakter bagi anak usia dini memiliki makna lebih tinggi dari pendidikan moral karena tidak hanya berkaitan dengan masalah benar-salah, tetapi bagaimana