• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN PENAL DALAM PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEBIJAKAN PENAL DALAM PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 2012"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

Wahyu Indri Yanti

ABSTRAK

KEBIJAKAN PENAL DALAM

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 Oleh

Wahyu Indri Yanti

Tindak pidana ringan (tipiring) memang sangat berbeda dengan tindak pidana lain apalagi ditinjau dari kerugian yang ditimbulkan oleh pelakunya. Seringkali tipiring dilakukan oleh pelaku dikarenakan suatu kondisi yang terpaksa misalnya karena lapar dan dalam keadaan miskin. Penyelesaian perkara tipiring akhir-akhir ini juga menyita perhatian publik. Fenomena kasus nenek Minah yang mencuri biji kakao menarik perhatian masyarakat, karena menyentuh inti kemanusiaan dan melukai keadilan rakyat. Munculnya berbagai opini di masyarakat mengenai nilai keadilan dalam kasus tersebut, serta munculnya reaksi-reaksi masyarakat tentang perbandingan penegakan hukum kasus tindak pidana ringan dengan kejahatan lain membuat Ketua Mahkamah Agung yang saat itu diketuai oleh Haripin Tumpa, mengambil suatu kebijakan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP. Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah Bagaimanakah kebijakan penal dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP. Serta Apakah latar belakang adanya kebijakan penal dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

Penulisan skripsi ini dengan menggunakan metode yuridis normatif. Penelitian ini didukung oleh data sekunder diantaranya bahan hukum primer yaitu KUHP dan KUHAP, bahan hukum sekunder diantaranya buku-buku pendukung tentang teori-teori hukum dan bahan hukum tersier yaitu pendapat-pendapat dari para ahli. Selain itu penelitian ini di dukung dengan pendapat dari narasumber (informan) yang merupakan praktisi serta aparat penegak hukum yang langsung berkaitan dengan pelaksanaan Perma ini. Informasi yang didapatkan dari narasumber dilakukan dengan teknik wawancara langsung di lapangan.

(2)

Wahyu Indri Yanti

hukum formil dalam hukum pidana. Perma juga memunculkan restorative justice sebagai salah satu usaha untuk mencari penyelesaian perkara secara damai. Adanya asas persamaan di mata hukum yang dalam penyelesaian perkara tindak pidana ringan maka, Perma ini menggunakan kebijakan bahwa: (a) terhadap tersangka atau terdakwa perkara tindak pidana ringan tidak dapat dikenakan penahanan; (b)acara pemeriksaan yang digunakan adalah Acara Pemeriksaan Cepat; (c)penggunaan alternatif hukuman sesuai dengan KUHP; (d)Perkara-perkara tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum Kasasi. Perma ini memiliki latar belakang bahwa banyaknya perkara-perkara pencurian dengan nilai barang yang kecil kini yang diadili di pengadilan telah membebani pengadilan baik dari segi anggaran maupun dari segi persepsi publik terhadap pengadilan. Banyaknya perkara-perkara pencurian ringan sangatlah tidak tepat di dakwa dengan menggunakan Pasal 362 KUHP yang ancaman pidananya paling lama 5 (lima) tahun. Perkara-perkara pencurian ringan ringan seharusnya masuk dalam kategori tindak pidana ringan (lichte misdrijven) yang mana seharusnya lebih tepat didakwa dengan Pasal 364 KUHP. Pelaksanaan Perma ini juga untuk mengefektifkan kembali pidana denda serta mengurangi beban Lembaga Pemasyarakatan yang saat ini telah banyak yang melampaui kapasitasnya yang telah menimbulkan persoalan baru, sejauh mungkin para hakim mempertimbangkan sanksi denda sebagai pilihan pemidanaan yang akan dijatuhkan, dengan tetap mempertimbangkan berat ringannya perbuatan serta rasa keadilan masyarakat.

Penulis memberi saran bahwa Kebijakan penal dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP merupakan suatu terobosan baru dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Namun karena kebijakan penal ini di dalam Peraturan Mahkamah Agung maka kekuatannya hanya berlaku di dalam instansi peradilan saja. Sehingga sebaiknya substansi dalam Perma ini dinaikkan menjadi peraturan perundang-undangan lain yang lebih mencakup lembaga peradilan yang lebih luas dan lebih menyeluruh misalnya sebagai Perpu. Adanya Perma ini membuktikan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia sudah waktunya untuk dapat diperbaharui baik seluruh maupun sebagian dan substansinya disesuaikan dengan kondisi yang terjadi di masyarakat, sehingga substansi KUHP baru dapat menyelesaikan perkara-perkara pidana yang muncul di masyarakat Indonesia sesuai kondisi yang terjadi sekarang.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan zaman tidak hanya merupakan perkembangan di bidang teknologi semata melainkan juga diikuti dengan berkembangnya permasalahan yang muncul di masyarakat. Perkembangan ini juga diikuti dengan perkembangan jenis-jenis kejahatan. Menurut Saparinah Sadli, kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat, tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan.1

Dewasa ini, masyarakat selain dihadapkan dengan kejahatan-kejahatan seperti tindak pidana korupsi dan tindak pidana terorisme juga dihadapkan dengan tindak pidana ringan yang seringkali terjadi di masyarakat. Tindak pidana ringan memang sangat berbeda dengan tindak pidana lain apalagi ditinjau dari kerugian yang ditimbulkan oleh pelakunya. Seringkali tindak pidana ringan dilakukan oleh pelaku dikarenakan suatu kondisi yang terpaksa misalnya karena lapar dan dalam keadaan miskin. Penyelesaian perkara tindak pidana ringan akhir-akhir ini juga menyita perhatian publik.

Munculnya beberapa kasus tindak pidana ringan seperti yang dilakukan oleh Nenek Minah dari Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas ini harus menghadapi masalah hukum hanya karena mencuri tiga biji kakao yang nilainya Rp 2000,-. Akibat perbuatannya itu Nenek Minah diancam dengan Pasal 362 KUHP dengan ancaman penjara paling lama 5 tahun. Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa

1

(4)

hukuman penjara selama 15 hari dengan masa percobaan 30 hari. Meski dalam amar putusannya hakim majelis menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian. Namun hakim berpendapat bahwa perkara pencurian yang dilakukan oleh Nenek Minah ini karena terdorong oleh kemiskinan. Hal tersebut merupakan gejala yang tidak diberdayakannya masyarakat setempat disekitar PT RSA IV sehingga menimbulkan ketimpangan dan kecemburuan sosial.

Fenomena kasus nenek Minah ini menarik perhatian masyarakat, karena menyentuh inti kemanusiaan, melukai keadilan rakyat. Seharusnya perkara ini tidak perlu dimejahijaukan karena cukup dilakukan dengan musyawarah. Lagi pula tiga biji benih kakao untuk ditanam kembali tidak sampai merugikan PT RSA. Apalagi Minah telah lanjut usia, terdakwa merupakan petani kakao yang tidak punya apa-apa. Tiga butir buah kakao sangat berarti bagi petani untuk dijadikan bibit dan bagi perusahaan jumlah tersebut tak berarti. Kasus tersebut cukup melukai rasa keadilan di masyarakat,sebab dibandingkan dengan kasus korupsi rasanya sangat bertolak belakang pertanggungjawabannya. Bahkan,dalam prosesnya seringkali pelaku tindak pidana korupsi dapat lolos dari tuduhan. Munculnya berbagai opini di masyarakat mengenai nilai keadilan dalam kasus tersebut, serta munculnya reaksi-reaksi masyarakat tentang perbandingan penegakan hukum kasus tindak pidana ringan dengan kejahatan lain membuat Ketua Mahkamah Agung yang saat itu diketuai oleh Haripin Tumpa, mengambil suatu kebijakan.

(5)

semua pemeran untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai bentuk tindakan pidana dengan tujuan-tujuan tertentu, yaitu untuk mencapai kesejahteraan dan melindungi masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, hal ini berefek pada pembentukan atau pengkoreksian terhadap undang-undang, di mana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yaitu berupa pidana. Kebijakan tersebut dituangkan melalui perundang-undangan yaitu dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kebijakan penal tersebut dituangkan dalam suatu Perma agar kebijakan tersebut dapat mencapai tujuannya yaitu untuk menegakkan norma-norma sentral yang ada di masyarakat selain itu hal ini dikarenakan Negara Indonesia adalah negara yang sangat menjunjung tinggi hukum, oleh karena itu segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara diatur dalam suatu sistem perundang-undangan. Dalam alenia ke empat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengandung konsep tujuan negara baik secara khusus maupun umum.

Secara khusus, tujuan negara adalah untuk melindungi segenap bangsa, seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sedangkan secara umum adalah untuk ikut melaksanakan ketertiban yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

(6)

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pilar utama dalam mewujudkan prinsip negara hukum adalah pembentukan peraturan perundang-undangan dan penataan kelembagaan negara.

Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan. Hukum sendiri dapat dibedakan antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis atau hukum undang-undang dan hukum kebiasaan. Secara kronologis, harus lebih dahulu disebut hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan, kemudian baru hukum tertulis dan hukum perundang-undangan. Hukum tidak tertulis adalah ketentuan yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan atau dinamika masyarakat. Contohnya adalah hukum adat, ketentuan tentang norma sopan santun dalam masyarakat, dan lain-lain.

(7)

Dapat disimpulkan untuk membedakan antara undang-undang dalam arti materil dan formil tidak lain adalah menyangkut organ pembentuk dan isinya. Jika organ yang membentuk itu adalah pejabat yang berwenang dan isi berlaku dan mengikat umum maka disebut sebagai undang-undang dalam arti materiil. Hal ini berarti jika ada ketentuan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang namun isinya tidak bersifat dan mengikat umum maka ketentuan tersebut tidak dapat disebut sebagai undang-undang dalam arti materil atau perundang-undangan.

Peraturan tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan yang sekarang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-undang ini merupakan aturan formal yang yang secara garis besar memuat tiga bagian besar yaitu Tata Urutan Perundang-undangan & Materi Muatan Perundangan, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Teknis Perundang-undangan.Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7, yang dirumuskan sebagai berikut :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi;

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(8)

undangan yang lebih tinggi, tanpa menempatkan di dalam hierarki perundang-undangan sebagaimana terdapat di dalam Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang aquo. Kondisi ini merupakan problematika lain yang patut menjadi perhatian.

Pengakuan yang tidak dibarengi oleh tindakan menempatkan Perma di dalam hierarki perundang-undangan akan menjadikannya sebagai peraturan yang sulit dikontrol. Padahal, jika ditinjau secara substantif beberapa Perma memiliki karakteristik sebagai suatu perundang-undangan yang mengikat kepada publik. Karenanya, perlu dilakukan revisi terhadap Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 untuk mengatur secara tegas tentang pemisahan antara jenis peraturan mana yang dapat dikategorikan sebagai perundang-undangan dan peraturan mana yang tidak.

Sebagai peraturan yang diterbitkan dengan tujuan memperlancar jalannya peradilan, Perma telah menujukkan berbagai peranannya di dalam memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan, khususnya di bidang peradilan. Hal ini dapat terlihat dari beberapa putusan hakim yang ternyata mempergunakan Perma sebagai dasar di dalam bagian pertimbangan hukumnya saat adanya kekosongan ataupun kekurangan aturan di dalam undang-undang hukum acara. Kesemuanya itu dilakukan MA sebagai sarana penemuan hukum dan dalam rangka melakukan penegakan hukum di Indonesia.

(9)

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka penulis akan melaksanakan penelitian dalam

rangka penyusunan skripsi dengan judul: “Kebijakan Penal Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Adapun yang menjadi permasalahan penulisan skripsi ini adalah:

a. Bagaimanakah kebijakan penal dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP? b. Apakah latar belakang adanya kebijakan penal dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2

Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP?

2. Ruang Lingkup

Skripsi ini termasuk ke dalam kajian Hukum Pidana tentang kebijakan penal serta latar belakang kebijakan penal tersebut dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP.

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

(10)

a. Untuk mengetahui tentang bagaimana kebijakan penal yang terkandung di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

b. Untuk mengetahui tentang latar belakang adanya kebijakan penal yang terkandung dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP

2. Kegunaan Penetilian a. Kegunaan Teoritis

Penulisan skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya serta perkembangan hukum pidana khususnya mengenai kebijakan penal serta latar belakang adanya kebijakan penal yang terkandung dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 mengenai Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

b. Kegunaan Praktis

(11)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Setiap penelitian akan ada kerangka teoritis yang menjadi kerangka acuan dan bertujuan untuk mengidentifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.2

Untuk menjawab permasalahan ini, teori yang digunakan adalah teori kebijakan kriminal. Menurut Hoefnagels teori ini mengemukakan tentang kebijakan kriminal yang merupakan bagian dari kebijakan yang lebih luas yaitu kebijakan sosial. Dengan lebih luas kebijakan kriminal merupakan subsistem penegakan hukum (law enforcement) dan sistem penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan sosial3. Selain itu dalam kebijakan penal selalu berkaitan dengan tiga hal pokok, di antaranya: pertama, keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. Kedua, keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. Ketiga, keseluruhan kebijakan, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Ini berarti bahwa kebijakan kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.Tahap –tahap penalisasi sebagai berikut yaitu; tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi.

Selain teori kebijakan kriminal teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori gabungan dalam teori tujuan pemidanaan. Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan

2

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,UI Press,Jakarta,1986 hlm 125

3

(12)

mewujudkan ketertiban. Teori ini menggunakan gabungan dari dua teori sebelumnya yaitu teori absolut dan teori relatif sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu :4

a. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus Negara yang melaksanakan.

b. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukuman berat; kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat; dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.

Walaupun terdapat perbedaan pendapat di kalangan sarjana mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang tidak dapat dibantah, yaitu bahwa pidana itu merupakan salah satu sarana untuk mencegah kejahatan serta memperbaiki narapidana. Demikian juga halnya dengan pidana penjara merupakan sarana untuk memperbaiki narapidana agar menjadi manusia yang berguna di masyarakat. Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Disamping itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.5

4

Koeswadji,Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana,Cetakan I, Bandung,Citra Aditya Bhakti,1995 hlm 11-12

5

(13)

Teori gabungan pada hakekatnya lahir dari ketidakpuasan terhadap gagasan teori pembalasan maupun unsur-unsur yang positif dari kedua teori tersebut yang kemudian dijadikan titik tolak dari teori gabungan. Teori ini berusaha untuk menciptakan keseimbangan antara unsur pembalasan dengan tujuan memperbaiki pelaku kejahatan. Meskipun dimulai dengan menekan kekurangan dari teori pembalasan.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggunakan hubungan antara konsep-konsep khusus yang menjadi arti dan berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti.6Di dalam penulisan ini penulis akan menjelaskan pengertian-pengertian pokok yang akan digunakan dalam penulisan dan penelitian ini sehingga mempunyai batasan-batasan yang tepat tentang istilah-istilah dan maksudnya mempunyai tujuan untuk menghindari kesalahpahaman dalam penulisan ini. Adapun pengertian-pengertian yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini adalah:

1. Kebijakan Penal adalah upaya penanggulangan kejahatan yang pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat(social welfare)melalui sarana penal (hukum pidana).7

2. Peraturan Mahkamah Agung merupakan suatu peraturan yang memang kedudukannya belum masuk ke dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan tetapi telah diakui sebagai peraturan perundang-undangan di luar hierarki berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

6

Soerjono Soekanto,1986,Op.cit hlm 132

7

(14)

3. Tindak Pidana Ringan adalah yang dijelaskan dalam Bab I Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung (Perma)No 2 Tahun 2012 yakni tindak pidana yang terdapat dalam Pasal 364 KUHP (pencurian ringan), Pasal 373 KUHP (penggelapan ringan), Pasal 379 KUHP (penipuan ringan), Pasal 384 KUHP (perbuatan curang), Pasal 407 KUHP (pengerusakkan ringan) dan Pasal 482 KUHP (penadahan ringan).

4. Pidana denda adalah jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat (1) dan (2), dilipatgandakan menjadi 10.000 (sepuluh ribu ) kali. 5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah buku tentang peraturan hidup (norma)

yang ditetapkan oleh instansi kenegaraan yang berhak membuatnya, norma yang ditambah dengan ancaman hukuman yang merupakan penderitaan (sanksi) terhadap barang siapa yang melanggarnya8.

E. Sistematika Penulisan

I. Pendahuluan.

Bab ini berisi tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan yang juga diuraikan pada bab ini.

II. Tinjauan Pustaka

8

(15)

Bab ini membahas mengenai pengertian tindak pidana ,pengertian tindak pidana ringan, jenis-jenis tindak pidana ringan, pengertian kebijakan penal dan pengertian penegakan hukum yang berbasis hukum progresif.

III. Metode Penelitian

Merupakan bab yang menguraikan tentang langkah-langkah dalam pendekatan masalah, sumber dan jenis data, sumber informasi, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab ini berisikan tentang hasil dari berbagai hal yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini, antara lain meliputi kebijakan penal serta latar belakang adanya kebijakan penal yang terkandung dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP.

V. Penutup

(16)
(17)

A. Pengertian Kebijakan Penal

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan kriminal. Menurut Marc Ancel, kebijakan kriminal adalah suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.1 Pengertian kebijakan kriminal juga

dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels yaitu bahwa, ”criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime”.2 Definisi lainnya yang dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels adalah:

1. Criminal policy is the science of responses;

2. Criminal policy is the science of crime prevention;

3. Criminal policy is a policy of designating human behaviour as crime; 4. Criminal policy is a rational total of the response of crime.3

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan kriminal. Penanggulangan kejahatan tersebut adalah dalam rangka untuk mencapai tujuan akhir dari kebijakan kriminal itu sendiri,yaitu memberikan perlindungan masyarakat dalam rangka untuk mencapai kesejahteraan bagi masyarakat. Salah satu usaha untuk mencegah dan menanggulangi masalah kejahatan adalah dengan menggunakan hukum pidana (penal policy). Masalah kebijakan hukum pidana tidak hanya sebatas membuat atau menciptakan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur hal-hal tertentu. Lebih dari itu, kebijakan hukum pidana memerlukan pendekatan yang menyeluruh yang melibatkan berbagai disiplin ilmu hukum

Ba✁✂a ✄a☎a☎✆A✂✆ ✝✞, ✟ ✠ ✠✡,☛☞. ✌ ✍ ✎,✏✑✒✡ ✓

G. Peter Hoefnagels dalam Badra Nawawi Arief,✔ ✕✍✖.,hlm 2

3

(18)

selain ilmu hukum pidana serta kenyataan di dalam masyarakat sehingga kebijakan hukum pidana yang digunakan tidak keluar dari konsep yang lebih luas yaitu kebijakan sosial dan rencana pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Sudarto, arti mengenai kebijakan penal yaitu :

a. Dalam arti sempit ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.

b. Dalam arti luas ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.

Dalam arti paling luas ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Sedangkan Menurut Ealau Dah Priwitt, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik yang membantunya maupun yang mentaatinya atau yang terkena kebijakan itu.4

Kebijakan penal bisa diartikan sebagai suatu prilaku dari semua pemeran untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai bentuk tindakan pidana dengan tujuan-tujuan tertentu, yaitu untuk mencapai kesejahteraan dan melindungi masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, hal ini berefek pada pembentukan atau pengkoreksian terhadap undang-undang, di mana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yaitu berupa pidana. Berdasarkan tujuan di atas, menunjukkan bahwa kebijakan penal itu sangat berkaitan erat dengan kebijakan sosial, bahkan

kebijakan-4

(19)

kebijakannya termasuk dalam kebijakan sosial. Konsekuensi sebagai kebijakan, pidana bukan merupakan suatu keharusan.

Kebijakan penal selalu berkaitan dengan tiga hal pokok, di antaranya: pertama, keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. Kedua, keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. Ketiga, keseluruhan kebijakan, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Ini berarti bahwa kebijakan kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Tahap – tahap penalisasi sebagai berikut yaitu:

1. Formulasi (kebijakan legislatif) yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat Undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut sebagi tahap kebijakan legislatif. 2. Aplikasi (kebijakan yudikatif) yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat

hukum mulai dari Kepolisian sampai pengadilan. Tahap kedua ini dapat pula dusebut dengan tahap kebijakan yudikatif.

3. Eksekusi (kebijakan eksekutif) yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara kongkrit oleh aparat-aparat pelaksanaan pidana. Tahap ini dapat disebut dengan tahap kebijakan eksekutif.

(20)

kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.5

Sebagai suatu proses yang sistemik, maka penegakan hukum pidana menampakan diri sebagai penerapan hukum pidana (kriminal law application) yang melibatkan berbagai sub-sistem struktural berupa aparat kepolisian, kejaksaan, dan pemasyarakatan. Termasuk di dalamnya tentu saja lembaga penasihat hukum. Dalam hal ini penerapan hukum pidana dipandang dari tiga dimensi, yaitu :

1. Dimensi pertama, penerapan hukum pidana dipandang sebagai sistem normatif yakni penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang didukung oleh sanksi pidana.

2. Dimensi kedua, penerapan hukum pidana dipandang sebagai sistem administratif yang mencangkup interaksi antar aparatur penegak hukum yang merupakan sub-sistem peradilan diatas.

3. Dimensi ketiga, penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan berabagai prefektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat.

Sehubungan dengan berbagai dimensi diatas dapat dikatakan bahwa sebenarnya hasil penerapan hukum pidana harus menggambarkan keseluruhan hasil interaksi antara aturan hukum, praktek administratif dan perilaku sosial. Sudarto menyatakan bahwa melaksaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna, dengan maksud lain yaitu usaha

5

(21)

mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situsai pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.6

Pendekatan yang digunakan dalam rangka upaya melakukan penanggulangan kejahatan melalui sarana pendekatan kriminal dapat menggunakan sarana penal dan non penal. Kebijakan dengan sarana penal adalah upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana pidana. Dalam hal ini telah terjadi semacam perumusan pidana dan pemidanaan yang telah dilegalkan melalui perundnag-undangan. Sehingga, telah ada kepastian hukum dalam melakukan penanggulangan maupun pemecahan terhadap pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku kajahatan. Kebijakan kriminal dengan sarana penal ini bersifat represif. Maka dari itu, fungsionalisasi hukum pidana sangatlah terlihat dalam pelaksanaan kebijakan kriminal ini.

Kebijakan kriminal dengan sarana non penal artinya upaya penanggulangan kejahatan dengan tidak melakukan hukum pidana. Upaya non penal dapat juga disrtikan sebgai upaya yang bersifat preventif, misalnya memperbaiki kondisi-kondisi tertentu dalam masyarakat atau melakukan pengwasan tertantu sebgai upaya prevensi terhadap kejahatan. Selain itu, dapat juga berbentuk sosialisasi terhadap suatu perundang-undangan yang baru, yang didalamnya mencangkup suatu kriminalisasi perbuatan tertentu yang menjadi gejala sosial dalam masyarakat modern.7

B. Pengertian Peraturan Mahkamah Agung

Sebagai salah satu penyelenggaraan kekuasaan kehakiman Indonesia, Mahkamah Agung (MA) diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menerbitkan suatu “peraturan” yang berfungsi

6

✗✘ ✙✚. Hlm 25.

7

(22)

sebagai pengisi kekosongan ataupun pelengkap kekurangan aturan terhadap hukum acara, demi memperlancar penyelenggaraan pengadilan.

Sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 1954, peraturan yang diperoleh berdasarkan delegasi kewenangan itu dinamakan Peraturan Mahkamah Agung (Perma). Terkait dengan eksistensi Perma , paling tidak terdapat tiga hal yang patut dicermati, yakni kewenangan MA sebagai lembaga yudikatif di dalam mengeluarkan sebuah peraturan yang terkadang memiliki karakteristik sebagai suatu undangan, kedudukan Perma di dalam sistem perundang-undangan Indonesia, tentang peranan peraturan itu di dalam memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan, khususnya di bidang peradilan.

Selaras prinsip separation of power, kewenangan membuat suatu peraturan yang bersifat mengikat dan membatasi kebebasan setiap warga Negara bukanlah merupakan kewenangan MA sebagai lembaga yudikatif, tetapi menjadi ranah dari lembaga legislatif. Selain itu, sesuai prinsip judge made law di dalam sistem hukum Eropa Kontinental dalam bentuk rechtsheeping, seharusnya MA menciptakan hukum melalui putusan-putusan hakim. Utamanya, jika belum tersedianya aturan perundang-undangan yang dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat.

(23)

Pengakuan yang tidak dibarengi oleh tindakan menempatkan Perma di dalam hierarki perundang-undangan akan menjadikannya sebagai peraturan yang sulit dikontrol. Padahal, jika ditinjau secara substantif, beberapa Perma memiliki karakteristik sebagai suatu perundang-undangan yang mengikat kepada public. Karenanya, perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 untuk mengatur secara tegas tentang pemisahan antara jenis peraturan mana yang dapat dikategorikan sebagai perundang-undangan dan peraturan mana yang tidak.

Sebagai peraturan yang diterbitkan dengan tujuan memperlancar jalannya peradilan, Perma telah menujukkan berbagai peranannya di dalam memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan, khususnya di bidang peradilan. Hal ini dapat terlihat dari beberapa putusan hakim yang ternyata mempergunakan Perma sebagai dasar di dalam bagian pertimbangan hukumnya saat adanya kekosongan ataupun kekurangan aturan di dalam undnag-undang hukum acara.

Kesemuanya itu dilakukan MA sebagai sarana penemuan hukum dan dalam rangka melakukan penegakan hukum di Indonesia. Sudah selayaknya, sosialisasi terhadap keberadaan Perma dapat lebih ditingkatkan, ungtuk mengoptimalkan peranannya di dalam membantu penyelenggaraan pemerintahan, khususnya di bidang peradilan.

C. Pengertian Tindak Pidana

(24)

larangan ditunjukkan kepada perbuataan, (yaitu suatu keadaan atau kejadiaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditunjukkan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu.

Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu; maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.

Ada juga istilah lainyang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”. Istilah ini, karena

timbulnya dari pihak kementerian kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undanagan.

Meskipun kata “tindak” lebih pendek dari ”perbuatan” tapi “tindak “ tidak menunjukkan pada

suatu yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan perbuatan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang . Oleh karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasal sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata perbuatan.

Tindak pidana atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan

merupakan “subjek” tindak pidana8. Sedangkan dalam buku Pelajaran Hukum Pidana karya Adami Chazawi, menyatakan bahwa istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal

8

(25)

dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit“, tetapi tidak ada penjelasan tentang apa yang

dimaksud denganstrafbaar feititu. Karena itu para ahli hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keragaman pendapat9. Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dari berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilahstrafbaar feitadalah10:

a. Tindak pidana, berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita dan hampir seluruh peraturan perundang-undangan kita menggunakan istilah ini.

b. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya,R. Tresna dalam

bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana.Dan para ahli hukum lainnya.

c. Delik, berasal dari bahasa latin “delictum” digunakan untuk menggambarkan apa yang

dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai di beberapa literatur, misalnya E. Utrect

d. Pelanggaran Pidana, dijumpai dibeberapa buku pokok-pokok hukum pidana yang ditulis oleh M.H Tirtaamidjaja.

e. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Karni dalam

bukunya”Ringkasan tentang Hukum Pidana”.

f. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan dalam pembentukan undang-undang dalam UUDrt No. 12/Drt/1951 tentang senjata api dan bahan peledak (baca Pasal 3).

g. Perbuatan Pidana, digunakan oleh Moeljatnom dalam beberapa tulisan beliau.

D. Pengertian Tindak Pidana Ringan

9

Adami Chazawi,✛ ✜✢✣ ✤✣ ✥✣✦✧★ ✩★ ✪✛ ✫ ✬✣✦✣Bagian,PT. RAJA Grafindo Persada,Jakarta,2002, hlm 67

10

(26)

Berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), dibedakan antara tiga macam acara pemeriksaan, yaitu :

1. Acara Pemeriksaan Biasa;

2. Acara Pemeriksaan Singkat; dan

3. Acara Pemeriksaan Cepat, yang terdiri dari :

a. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan; dan

b. Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan

Mengenai tindak pidana ringan, dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP, dikatakan bahwa yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 7.500,-.

KUHAP hanya melanjutkan pembagian perkara/ pemeriksaan yang sudah dikenal sebelumnya dalam HIR. Ini tampak pula dari sudut penempatannya, yaitu tindak pidana ringan dimasukkan ke dalam acara pemeriksaan cepat, bersama-sama dengan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Hal ini dapat dimengerti karena Tindak Pidana Ringan pada umumnya adalah tindak pidana (delik) pelanggaran yang dalam KUHP ditempatkan pada Buku III.

(27)

merupakan salah satu dari kelompok tindak pidana yang dinamakan kejahatan-kejahatan ringan (lichte misdrijven) terdapat dalam Buku II KUHP.

E. Jenis-jenis Tindak Pidana Ringan

Dilihat dari sistematika KUHP tindak pidana hanya terdiri dari kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen) saja. Tetapi dengan mempelajari pasal-pasal dalam KUHP ternyata dalam Buku II tentang kejahatan itu terdapat juga sejumlah tindak pidana yang dapat dikelompokkan sebagai kejahatan-kejahatan ringan (lichte misdrijven). Kejahatan-kejahatan ringan ini tidak ditempatkan dalam satu bab tersendiri melainkan letaknya tersebar pada berbagai bab dalam Buku II KUHP. Pasal-pasal yang merupakan kejahatan ringan yang juga disinggung dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 adalah sebagai berikut :

1. Pencurian Ringan (Pasal 364 KUHP)

Pasal 364 KUHP ditentukan perbuatan yang diterapkan dalam Pasal 362 KUHP dan Pasal 363 Ayat (4) KUHP, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 Ayat (5) KUHP, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tetutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.

2. Penggelapan Ringan (Pasal 373 KUHP)

(28)

ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.

3. Penipuan Ringan (Pasal 379 KUHP)

Pasal 379 KUHP, perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 378, jika barang yang diserahkan itu bukan ternak dan harga daripada barang, hutang atau piutang itu tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah diancam sebagai penipuan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.

4. Penipuan Ringan oleh Penjual (Pasal 384 KUHP)

Pasal 384 KUHP ditentukan bahwa perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 384 diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah jika jumlah keuntungan yang diperoleh tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah.

Pasal 383 KUHP sendiri menyatakan diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli:

a. Karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli

b. Mengenai jenis, keadaan atau jumlah barang yang diserahkan dengan menggunakan tipu muslihat.

5. Perusakan Ringan (Pasal 407 KUHP)

(29)

Pasal ini menunjuk pada pasal 406 KUHP yang rumusannya mengancam pidana terhadap perbuatan merusakkan barang orang lain. Pasal 407 KUHP tidak menyebut nama dari tindak

pidana, tetapi dengan melihat pada adanya rumusan ”harga kerugian tidak lebih dari dua ratus

lima puluh rupiah”, yang juga terdapat pada Pasal 364, Pasal 373 dan Pasal 379 KUHP, maka dapat dipahami bahwa pasal 407 Ayat (1) KUHP dimaksudkan sebagai perusakan ringan.

6. Penadahan Ringan (Pasal 482 KUHP)

Pasal 482 KUHP ditentukan bahwa perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 480 KUHP, diancam karena penadahan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah, jika kejahatan dari mana benda tersebut diperoleh adalah salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 364, Pasal 373 dan Pasal 379 KUHP.

F. Pengertian Penegakan Hukum Berbasis Hukum Progresif

(30)

bukan sekedar membicarakan sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang nyata ada dalam masyarakat.

Gagasan selalu berkembang lebih cepat daripada kenyataan yang terjadi. Hal yang demikian berlaku pula bagi hukum progresif sebagai sebuah gagasan yang merespon fenomena hukum yang terjadi di Indonesia. Ketika hukum sebagai satu kenyataan yang dianggap powerless, tak berdaya mengantisipasi kejahatan, maka muncullah semangat baru untuk mengatasi kebekuan tersebut yakni berupa hukum progresif.

Kendati gagasan tentang hukum progresif baru dikumandangkan namun tanggapan cukup meluas di kalangan masyarakat ilmiah, bahkan masyarakat awam. Sebagian besar masyarakat Indonesia menaruh ekspektasi yang besar dengan hukum progresif sebagai perangkat hukum yang kuat untuk mengatasi kejahatan kekuasaan yang terjadi secara bersinergi, sistemik, dan berpayung dengan hukum modern.

Penting untuk diingat bahwa, munculnya hukum progresif ke permukaan kajian ilmiah hukum, untuk menegaskan bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya, hukum itu bukan hanya bangunan peraturan belaka, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita. Hampir disetiap karya Satjipto Raharjo dikatakan bahwa “Tujuan Hukum adalah Membahagiakan Manusia”.

(31)

linear, mekanistik, deterministik, terutama untuk kepentingan profesi, hingga saat ini, cara berpikir hukumnya masih dikuasai warisan berpikir abad ke-19 yang positifistis-dogmatis. Hemat penulis ada 2 (dua) macam tipe penegakan hukum progresif yaitu:

a. Dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakan hukum progresif. Idealnya, mereka terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki visi dan filsafat yang mendasari penegakan hukum progresif;

b. Kebutuhan akan semacam kebangunan di kalangan akademisi, intelektual dan ilmuan serta teoritis hukum Indonesia.

Karenanya hukum progresif memiliki bentuk yang berbeda dengan positifistik, maka untuk lebih jelasnya, hukum progresif ini dapat dijelaskan melalui runtutan pengidentifikasian yang terdiri atas asumsi, tujuan, spirit, progresivitas,dan karakter dari hukum progresif, sebagai berikut:

a. Asumsi

1. Hukum untuk manusia, bukan sebaliknya. Maka kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan di dalam hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum.

2. Hukum bukan merupakan institusi yang mutlak serta final, karena hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making). b. Tujuan

(32)

c. Spirit

1. Pembebasan terhadap tipe, cara berfikir, asas, dan teori yang selama ini dipakai.

2. Pembebasan terhadap kultur penegakan hukum (administration of justice) yang selama ini berkuasa dan dirasa menghambat usaha hukum untuk menyelesaikan persoalan.

d. Progresifitas

1. Bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dan karenanya memandang hukum selalu dalam proses untuk menjadi (law in the making).

2. Peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, baik lokal, nasional, maupun global.

3. Menolakstatus-quomanakala menimbulkan dekandensi, suasana korup dan sangat merugikan kepentingan rakyat, sehingga menimbulkan perlawanan dan pemberontakan yang berujung pada penafsiran progresif terhadap hukum.

e. Karakter

1. Kajian hukum progresif berusaha mengalihkan titik berat kajian hukum yang semula menggunakan optik hukum menuju ke perilaku.

2. Hukum progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat, meminjam istilah Nonet & Selznick, bertipe responsif.

(33)

4. Hukum progresif memiliki kedekatan dengansociological jurisprudencedari Roscoe Pound yang mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan tetapi keluar dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum.

5. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan teori hukum alam, karena peduli terhadap hal-hal yang meta-juridical.

(34)

I. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yakni dilakukan untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum1. Pendekatan ini juga merupakan pendekatan yang dilakukan dalam bentuk usaha untuk mencari kebenaran dengan melihat asas-asas yang tertera dalam peraturan perundang-undangan terutama yang berhubungan langsung dengan permasalahan yang diteliti.

Peneliti mengadakan pendekatan Yuridis Normatif, untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas dan benar terhadap permasalahan yang akan dibahas. Tipe penelitian ini adalah deskriptif analisis yaitu penelitian diarahkan untuk menggambarkan fakta dengan pendapat yang tepat. Penelitian dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Tujuan penelitian deksriptif adalah untuk membuat penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta.

B. Sumber dan Jenis Data

(35)

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data Sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum tetap mengikat, yaitu meliputi:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana)

2. Kitab Undang-Undang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang bersifat memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer antara lain Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP.

c. Bahan Hukum Tersier

(36)

C. Sumber Informasi

Pengumpulan informasi yang diperlukan dalam penelitian dan pembahasan ini menggunakan informan biasa, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan kebijakan penal dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP yang terdiri atas :

1. Penyidik pada Polresta Bandar Lampung : 1 Orang 2. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 Orang Jumlah : 2 Orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

a. Studi Pustaka

Studi pustaka adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan

(37)

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis yang telah ddiperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data, selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini. b. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan

merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

(38)
(39)

I. PENUTUP

A. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab terdahulu maka dapat ditarik simpulan oleh penulis, yaitu:

1. Kebijakan Penal yang terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP menjaga ketertiban masyarakat lewat teori gabungan. Kebijakan penal dalam Perma tersebut juga menyinggung hukum materiil dan hukum formil dalam hukum pidana. Peraturan Mahkamah Agung ini juga memunculkan restorative justice sebagai salah satu usaha untuk mencari penyelesaian perkara secara damai. Adanya asas persamaan di mata hukum yang dalam penyelesaian perkara tindak pidana ringan maka, Peraturan Mahkamah Agung ini menggunakan kebijakan bahwa:

a. Terhadap tersangka atau terdakwa perkara tindak pidana ringan tidak dapat dikenakan penahanan.

b. Acara pemeriksaan yang digunakan adalah Acara Pemeriksaan Cepat c. Penggunaan alternatif hukuman sesuai dengan KUHP

d. Perkara-perkara tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum Kasasi. 2. Perma ini memiliki latar belakang bahwa banyaknya perkara-perkara

(40)

telah membebani pengadilan baik dari segi anggaran maupun dari segi persepsi publik terhadap pengadilan. Banyaknya perkara-perkara pencurian ringan sangatlah tidak tepat di dakwa dengan menggunakan Pasal 362 KUHP yang ancaman pidananya paling lama 5 (lima) tahun. Perkara-perkara pencurian ringan ringan seharusnya masuk dalam kategori tindak pidana ringan (lichte misdrijven) yang mana seharusnya lebih tepat didakwa dengan Pasal 364 KUHP. Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung ini juga untuk mengefektifkan kembali pidana denda serta mengurangi beban Lembaga Pemasyarakatan yang saat ini telah banyak yang melampaui kapasitasnya yang telah menimbulkan persoalan baru, sejauh mungkin para hakim mempertimbangkan sanksi denda sebagai pilihan pemidanaan yang akan dijatuhkan, dengan tetap mempertimbangkan berat ringannya perbuatan serta rasa keadilan masyarakat.

B. SARAN

(41)

lembaga peradilan yang lebih luas dan lebih menyeluruh misalnya sebagai Perpu.

(42)

KEBIJAKAN PENAL DALAM

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 (Skripsi)

Oleh

WAHYU INDRI YANTI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(43)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN………...... 1

A. Latar Belakang………...1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup………8

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian………. 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual………. 10

E. Sistematika Penulisan………. 14

II.TINJAUAN PUSTAKA………16

A. PengertianKebijakan Penal ……… 16

B. Peraturan Mahkamah Agung……….. 21

C. Pengertian Tindak Pidana………... 23

D. Pengertian Tindak Pidana Ringan………26

E. Jenis-jenis Tindak Pidana Ringan………... 27

F. Pengertian Penegakan Hukum Berbasis Hukum Progresif……… 30

III. METODE PENELITIAN……….. 35

A. Pendekatan Masalah……… 35

B. Sumber dan Jenis Data……… 36

C. Sumber Informasi ………... 37

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data………. 37

(44)

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………40

A. Karakteristik Narasumber………. 40

B. Kebijakan Penal Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP………. 41

C. Latar Belakang Adanya Kebijakan Penal dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP……….. 52

V.PENUTUP………57

A. SIMPULAN………... 57

B. SARAN……….. 58

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Andrisman, Tri. 2009. Hukum Pidana.Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Arief, Barda Nawawi. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.

--- .1991. Kebijakan Sanksi Pidana Dalam Menanggulangi Kejahatan. Semarang : Fakultas Hukum Undip.

Aziz, Noor M.. 2010. Pengkajian Hukum Tentang Eksistensi Peraturan Perundang-undangan Di luar Hierarki.Jakarta. Pusat Penenlitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM

Chazawi,Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Kansil, C.S.T. 2002. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jakarta. Balai Pustaka .

Koeswadji, 1995, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana,Cetakan I, Bandung,Citra Aditya Bhakti

Lamintang, P. A. F. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Moleong ,Lexi J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung :PT. Remaja Rosdakarya.

(46)

Muladi dan Barda Nawawi A. 1992.Teori-Teori Dan kebijakan Pidana. Bandung: Alumni.

Prakoso dan Nurwachid, 1984,Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini,Jakarta, Ghalia Indonesia

Prodjodikoro,Wirjono. 2008. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refika Aditama

Soekanto,Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia (UI) Press.

---. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta : Rajawali Pers

Soetopo, HB. 2002. Pengantar kualitatif (Dasar-dasar Teoritis dan Praktis). Surakarta : Pusat Penelitian.

Sudarto. 1990.Hukum Pidana I. Semarang : Yayasan Sudarto.

Suharto, Edi. 2005.Analisis Kebijakan Publik.Bandung: Alfa Beta

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961

(47)

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Referensi

Dokumen terkait

a) For process chaining the same constraints should apply for input and output parameters. b) Currently collections of complex output types must be wrapped into a list-like complex

GDQ HIHNWLI XQWXN SHUKLWXQJDQ SDGD VLVWHP GLVWULEXVL UDGLDO $OLUDQ GD\D SDGD VLVWHP GLVWULEXVL OHELK NRPSOHNV DGDQ\D

Gazda (Prayitno, 1995) mengemukakan bahwa konseling kelompok juga dapat digunakan untuk membantu individu dalam menyelesaikan tugas – tugas perkembangan dalam

Pengamatan lebih mendalam terhadap karakter pola ikatan pembuluh terkait dengan perannya sebagai bahan baku pulp dan kertas terlihat bahwa bambu pada pola 1 mempunyai ciri

Perubahan leksikal ini turut membawa kepada perubahan makna dalam peribahasa yang telah mengubah maksud peribahasa asal kepada dua golongan sedang

Analisis paling komprehensif mengenai kepuasaan komunikasi dilakukan oleh Downs dan Hazen (dalam Muhammad, 2015: 88-89) sebagai bagian dari usaha mereka untuk mengembangkan

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah membimbing saya selaku peneliti telah menyelesaikan proposal penelitian dengan judul “Analisis Perbedaan Kepuasan Mahasiswa

Akan tetapi dengan kecenderungan harga yang terus meningkat disertai konsumsi dunia yang meningkat juga, mengakibatkan cut off grade (COG) cenderung menurun, oleh