• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Dan Peranan Kejaksaan Dalam Melakukan Penyidikan Kasus Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kewenangan Dan Peranan Kejaksaan Dalam Melakukan Penyidikan Kasus Korupsi"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

BAB III

SUBYEK DAN PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA

A.

SUBYEK DELIK KORUPSI

Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, terdapat subyek delik yang dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yang jika melakukan perbuatan pidana diancam dengan sanksi. Subyek delik korupsi tersebut ialah :

1. Manusia 2. Setiap orang 3. Korporasi 4. Pegawai negeri

Berbeda dengan perundang-undangan pidana khusus yang lain seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dan perundang-undangan pidana fiskal, yang pemidanaan terhadap badan hukum atau korporasi dimungkinkan, dalam hal ini UU PTPK 1971 mengikuti hukum pidana (KUHP) yang ditetapkan dalam Pasal 59, yaitu :

“Dalam hal-hal yang hukuman ditentukan karena pelanggaran terhadap para pengurus, para anggota suatu badan pengurus atau komisaris, tiada dijatuhkan hukuman atas pengurus atau komisaris jika ternyata bahwa ia tidak turut campur tangan dalam melakukan pelanggaran itu.”

(8)

Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang-perseorangan (individu-individu), atau termasuk korporasi. Menurut Moelyatno, ungkapan tersebut berarti : “orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana)kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Tapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu dia dapat dipidana. 10

Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, yang dimaksud dengan korporasi ialah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Pada prinsipnya kata-kata setiap orang adalah orang atau mereka yang bukan pegawai negeri, sedangkan yang dikategorikan sebagai pegawai negeri ialah mereka yang termasuk dalam kelompok pasal 92 ayat (1), (2), dan ayat (3) KUHP.

Dalam Memori van Toelichting Pasal 51 Ned. W.v.S (Pasal 59 KUHP) dinyatakan :

“Suatu strafbaar feit hanya dapat diwuudkan oleh manusia dan fiksi tentang badan hukum tidak berlaku di bidang hukum pidana.”

11

Dalam UU No. 31 Tahun 1999 telah ditentukan bahwa korporasi adalah subyek delik. Artinya, selain individu yang memimpin dilakukanya kejahatan atau memberi perintah, korporasi tersebut juga dapat dipertanggungjawabkan. Dalam delik korupsi, Dalam Pasal 1 ayat (1) ini, terdapat 2 (dua) subyek yaitu ; pertama, adalah kumpulan orang yang terorganisasi baik merupakan badan hukum atau bukan badan hukum ; kedua, adalah kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

10

Moelyatno, Asas-Asas Hukuk Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 1993, hal. 155.

11

(9)

terdapat banyak kesulitan untuk menjadikan korporasi sebagai subyek karena sulit untuk membuktikan adanya kesalahan terutama dalam bentuk “sengaja” suatu korupsi.

Dalam Pasal 415, Pasal 416 KUHP, “pegawai negeri atau orang lain yang diwajibkan untuk seterusnya atau untuk sementara waktu menjalankan jabatan umum” (de ambtenaar of ander met eenigen openbaren dienst voortdurend of tijdelijk belast persoon) dan Pasal 413 KUHP mengenai “panglima tentara”. Dengan demikian pasal-pasal tersebut ditarik menjadi delik korupsi.

Menurut Pasal 2 UUPTPK Tahun 1971 (UU No. 3 Tahun 1971), yang dimaksud dengan pegawai negeri ialah yang meliputi orang-orang yan menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau menerima gaji atau upah dari suatu badan / badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.12

1. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian.

Menurut Pasal 1 sub 2 UUPTPK / UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, pegawai negeri meliputi :

2. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Pidana. 3. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.

(10)

5. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.13

Di dalam Pasal 92 KUHP, dinyatakan bahwa :

(1) Yang masuk sebutan amtenar (pegawai), yaitu sekalian orang yang dipilih menurut pilihan yang sudah diadakan menurut undang-undang umum, demikian pula sekalian orang yang bukan karena pemilihan menjadi anggota Dewan pembuat Undang-Undang Pemerintah atau perwakilan daerah yang dibentuk oleh atau atas nama pemerintah, seterusnya sekalian anggota dari Dewan-Dewan daerah dan setempat dan sekalian kepala bangsa Indonesia dan Timur Asing, yang melakukan kekuasaan yang sah.

(2) Yang termasuk sebutan amtenar dan hakim, termasuk pula ahli memutus perselisihan, yang termasuk sebutan hakim yaitu mereka yang menjalankan kekuasaan hukum administratif demikian juga ketua dan anggota dewan agama. (3) Sekalian orang yang masuk bala-tentara dipandang juga sebagai amtenar.14

Pengertian pegawai negeri menurut Pasal 92 KUHP berlaku untuk semua perundang-undangan pidanan di luar KUHP sesuai dengan adagium lex specialis derogat legi generalis yang tercantum dalam Pasal 103 KUHP. Pengertian pegawai

negeri dalam KUHP merupakan perluasan pengertian menurut Undang-Undang Pokok Kepegawaian.

Pasal 2 UU PTPK 1971 / UU No. 3 Tahun 1971 merupakan perluasan pengertian pegawai negeri menurut Pasal 92 KUHP dan Undang-Undang Pokok Kepegawaian Nomor 18 Tahun1961, karena Undang-Undang Pokok Kepegawaian tersebut telah dicabut yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

13

Lihat UU No. 31 Tahun 1999 jo. Uundang No. 20 Tahun 2001, Pasal 1 ayat (2) 14

(11)

1974 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.15

 Pegawai Negeri menurut UU No. 43 Tahun 1999

Pengertian pegawai negeri menurut UU PTPK terbagi tiga bagian, yaitu :

 Pegawai Negeri menurut Pasal 92 KUHP

 Pegawai Negeri menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001

Menurut Pasal 1 bagian 1 UU No. 43 Tahun 1999, “Pegawai Negeri adalah warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Pasal 2 ayat (1) UU No. 43 Tahun 1999, membedakan Pegawai Negeri atas 3 (tiga) kelompok :

1. Pegawai Negeri Sipil

2. Anggota Tentara Nasional Indonesia

3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

Dalam Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, terdiri dari :

1. Pegawai Negeri Sipil Pusat 2. Pegawai Negeri Daerah

15

(12)

Dalam Pasal 2 ayat (3), menyatakan “ Di samping Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai tidak tetap.

Oleh karena itu, Pasal 92 KUHP memperluas pengertian pegawai negeri dan menyebutkan dalam ayat (3) sebagai pegawai “kekuasaan bersenjata” (gewapende macht).

Perluasan pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 sub 2 UU PTPK / UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 adalah sebagai berikut :

“Pegawai Negeri meliputi pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian ; pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah ; orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah ; atau orang yang menerima gaji atau upah dri korporasi lain yang mempergunakan modal aatu fasilitas dari negara atau masyarakat.”

Pengertian pegawai negeri menurut Undang-Undang Pokok Kepegawaian dan KUHP tersebut menimbulkan suatu masalah yaitu apakah ketentuan dalam UU PTPK berlaku juga bagi perumusan-perumusan delik yang berasal dari KUHP atau tidak. Jika ketentuan tersebut tidak berlaku bagi perumusan-perumusan delik yang berasal dari KUHP, maka tidak memperluas subyek delik korupsi, tetapi jika berlaku bagi perumusan-perumusan delik yang berasal dari KUHP, maka memperluas pengertian pengawai negeri dalam perumusan-perumusan KUHP dan memperluas subyek delik korupsi.16

16

(13)

Pasal atau perumusan delik yang berasal dari UU PTPK yang memiliki unsur (bestaanddeel) “pegawai negeri”, terdapat dalam Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.

Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 ialah sebagai unsur bukan sebagai subyek karena pegawai negeri yang sebagai penerima suap saja dan pasal ini merupakan penyuapan aktif yaitu yang diancam dengan pidana atau yang menjadi subyek ialah yang memberi suap kepada pegawai negeri. Dalam Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 mengancam dengan pidana, pegawai negeri yang menerima suap (penyuapan pasif) atau pegawai negeri sebagai subyek delik.

Penyuapan pasif atau pegawai negeri sebagai penerima suap yang menjadi subyek delik hanya ada dalam pasal-pasal atau perumusan yang berasal dari KUHP yang menjadi yaitu Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP (Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c dan d UU No. 20 Tahun 2001).

Jika pengertian pegawai negeri yang telah ditentukan dalam Pasal 2 UU No. 3 Tahun 1971 tidak berlaku bagi Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 dan Pasal 12 huruf a, b, c dan d dan pasal-pasal lin yang berasal dari KUHP maka tidak memperluas subyek delik korupsi, dan hanya berlaku untuk satu pasal atau satu perumusan saja, yaitu Pasal 1 ayat (1) sub d dan tidak sebagai subyek tetapi sebagai salah satu unsur (bestanddeel) dari perumusan tersebut.

(14)

melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.”

Pendapat yang mengatakan perluasan pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1971 tidak berlaku bagi perumusan yang berasal dari KUHP yang diadopsi menjadi delik korupsi, dikemukakan oleh Sudarto yaitu :

“Suatu hal yang bisa dinyatakan ialah, apakah ketentuan itu juga berlaku terhadap pengertian “Pegawai Negeri” yang disebutkan dalam pasal-pasal KUHP yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1) sub c (tindak pidana jenis ketiga). Kami cenderung untuk mengatakan tidak berlaku “Pegawai Negeri yang dimaksud dalam undang-undang harus diartikan perkataan-perkataan pegawai negeri yang secara tegas dicantumkan dalam undang-undang ini”17

1. Adanya Pasal 1 ayat (1) sub d sebagai penyuapan pasif secara khusus di samping Pasal 209 KUHP yang ditarik melalui Pasal 1 ayat (1) sub c

Adapun alasan pendapat tersebut dikemukakan ialah bahwa perluasan pengertian pegawai negeri hanya berlaku bagi perumusan asli UU PTPK dan tidak berlaku bagi pasal-pasal atau perumusan yang berasal dari KUHP yang diadopsi menjadi delik korupsi, karena :

2. Adanya penegasan di dalam Pasal 1 ayat (1) sub d bahwa “…….pegawai negeri dimaksud dalam Pasal 2” sehingga menimbulkan keraguan dan perbedaan pendapat, karena adanya satu pasal dari UU PTPK yang berunsurkan pegawai negeri sehingga Pasal 2 tidak memiliki makna.

Dengan demikian pengertian pegawai negeri menimbulkan pendapat yang berbeda-beda sehingga dikatakan bahwa perluasan pengertian pegawai negeri menurut

17

(15)

Pasal 2 UU No. 3 Tahun 1971 berlaku untuk semua perumusan delik, baik yang dibuat oleh pembuat UU No. 3 Tahun 1971 (Pasal 1 ayat (1) sub d), maupun pasal-pasal KUHP yang ditarik menjadi delik korupsi.

Masalah pengertian pegawai negeri dalam UU PTPK / UU No. 3 Tahun 1971 bertambah rumit ketika pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP seperti Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 dan Pasal 435 KUHP dimasukkan ke dalam Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 karena dalam pasal-pasal KUHP tersebut terdapat perbedaan mengenai pengertian pegawai negeri dan pejabat.

Sebagian dari pasal-pasal tersebut seperti Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 dan Pasal 435 KUHP hanya mencantumkan pegawai negeri sebagai subyek delik. Sedangkan pasal-pasal yang lain seperti Pasal 415, Pasal 416, dan Pasal 417 menyatakan bahwa di samping pegawai negeri sebagai subyek , juga ada tambahan “orang lain yang diwajibkan untuk seterusnya atau untuk sementara waktu menjalankan jabatan umum.” Dengan demikian, subyek delik yang terdapat dalam Pasal 415, Pasal 416, dan Pasal 417 lebih luas daripada yang tercantum dalam Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 dan Pasal 435 KUHP.18

B.

PERTANGGUNGJAWABAN DELIK KORUPSI

(16)

1. Kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia (Pasal 23 ayat (1) sampai ayat (4) UU No. 3 Tahun 1971 ; Pasal 38 ayat (1), (2),(3), dan (4) UU No. 31 Tahun 1999) ;

2. Kemungkinan perampasan barang-barang yang telah disita bagi terdakwa yang telah meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi (Pasal 23 ayat (5) UU No. 3 Tahun 1971 ; Pasal 38 ayat (5) UU No. 31 Tahun 1999 ) bahkan kesempatan untuk melakukan banding tidak ada ;

3. Perumusan delik dalam UU No. 3 Tahun 1971 yang sangat luas ruang lingkupnya, terutama unsur ketiga pada Pasal 1 ayat (1) sub a dan b UU No. 3 Tahun 1971 ; Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 ;

4. Penafsiran kata “menggelapkan” pada delik penggelapan (Pasal 415 KUHP) oleh yurisprudensi baik yang berasal dari Belanda ataupun Indonesia sangat luas dan pasal ini diadopsi menjadi Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001.

Dalam Hukum pidana Indonesia, terkadang unsur kesengajaan tidak diutamakan dalam kejahatan maupun pelanggaran termasuk UU TPE di Indonesia mengenai pemidanaan orang yang tidak dikenal (onbekende overtreder).

Pemidanaan orang yang tidak dikenal dalam arti sempit tidak dikenal dalam delik korupsi, tetapi dilakukan melalui pemeriksaan sidang dan putusan dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa (putusan in absentia) sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) sampai ayat (4) UU No. 3 Tahun1971 (Pasal 38 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU No. 31 Tahun 1999).

(17)

kesempatan banding dalam putusan ini. Orang yang telah meninggal dunia tidak mungkin melakukan delik. Delik dilakukan sewaktu ia masih hidup, tetapi pertanggungjawabannya setelah meninggal dunia dan dibatasi sampai pada perampasan barang-barng yang telah disita.

Dalam perumusan Pasal 1 ayat (1) sub a dan b UU No.3 Tahun 1971, terdapat unsur “langsung dan tidak langsung merugikan keuangan negara dan / atau perekonomian negara” dan pada sub b memiliki tambahan kata “dapat” merugikan keuangan negara. Penjelasan dari Pasal 1 ayat (1) sub a dan b tersebut ialah bahwa “kerugian negara” yang timbul akibat perbuatan melawan hukum itu merupakan sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan yang pengertiannya sama dengan strict liability, karena “langsung atau tidak langsung (dapat) merigikan keuangan negara”

merupakan perumusan yang sangat luas artunya sehingga dengan mudah penuntut umum membuktikannya. Di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, kata langsung atau tidak langsung telah dihapuskan.

Strict liability merupakan suatu konsepsi yang tidak memerlukan pembuktian adanya unsur sengaja dan alpa pembuat delik, hanya untuk regulator offence dan hanya dipakai dalm hukum perdagangan (secara khusus dalam hukum perdagangan Internasional).19

1. Esensial untuk menjamin bahwa peraturan hukum yang penting tertentu demi kesejahteraan masyarakat harus ditaati.

(18)

2. Pembuktian mens area (sikap batin si pembuat) terhadap delik-delik yang sama sangat sulit.

3. Suatu tingkat tinggi “bahay sosial” dapat membenarkan penafsiran suatu delik yang menyangkut masalah strict liability.20

Dalam delik korupsi yang berbentuk penggelapan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau pejabat (dalam Pasal 415 KUHP), yang menjadi delik korupsi (dalam Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001), secara expresis verbis tercantum unsur sengaja.

Berbeda dengan delik ekonomi dan delik fiskal yang bukan hanya orang yang menjadi penanggung jawab pidana, tetapi juga badan hukum dan koperasi, delik korupsi hanya mengenal orang sebagai penanggung jawab pidana. UU No. 3 Tahun 1971 menyebut “badan” atau “badan hukum” tetapi bukan sebagai penanggung jawab pidana, melainkan sebagai pihak yang diperkaya atau diuntungkan oleh delik korupsi (berdasarkan Pasal 1 ayat (1) sub a dan sub b UU No. 3 Tahun 1971). Dan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 menjaidkan korporasi subyek delik.

UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 memperluas pengertian orang (Pasal 1 sub 3c menyebut dengan kata “setiap orang”) termasuk juga korporasi. Pasal 1 sub 1 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 memberi arti korporasi adalah sebagai berikut :

“Kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”

Dalam Pasal 1 sub 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 menyebutkan :

“Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.”

20

(19)

Dalam setiap rumusan delik korupsi UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 (Pasal 2 sampai dengan Pasal 16, Pasal 21 dan Pasal 22) menyebut pelaku delik dengan kata “setiap orang.”

Pertanggung jawaban dalam hukum pidana perlu dibahas karena pada delik korupsi dikenal alasan pembenar, uang tercantum dalam Pasal 17 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1971, yakni “Kalau dalam perbuatan itu negara tidak dirugikan atau dilakukan demi untuk kepentingan umum.”

Simons merumuskan strafbaar feit atau delik sebagai berikut :

“Suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dipandang bertanggung jawab dengan perbuatannya.”21

Pendapat yang memisahkan perbuatan dan pertanggung jawaban pidana, pertama-tama dianut oleh seorang sarjana hukum pidana Jerman, yang bernama Herman Kantorowicz.

Menurut Kantorowicz, untuk adanya penjatuhan pidana terhadap pembuat (Strafvorrassetzungen) diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya perbuatan pidana (Strafbare Handlung), serta disertai dengan pembuktian adanya Sculd atau kesalahan subjektif pembuat.

(20)

Dengan ketentuan ini terutama mengenai pemufakatan melakukan perbuatan korupsi, artinya jika sebelumnya perbuatan seperti itu bukan delik atau si pembuat tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, maka kini telah menjadi delik.

Dalam KUHP ada ketentuan mengenai pemidanaan permufakatan sama dengan delik selesai, yakni bahwa penjelasan atau penafsiran autentik tentang permufakatan yang tercantum dalam Pasal 88 KUHP tidak berlaku bagi perundang-undangan pidana khusus dan perperundang-undangan-perundang-undangan lain yang bersanksi pidana karena pasal itu termasuk bab IX Buku I, yang tidak dinyatakan berlaku oleh Pasal 103 KUHP untuk perundang-undangan lain yang bersanksi pidana. Hal yang dinyatakan berlaku hanyalah 8 (delapan) bab yang pertama Buku I KUHP yaitu yang terdiri dari bab I sampai dengan bab IV dan tidak termasuk bab IX. Namun demikian, norma tentang penafsiran autentik permufakatan ini dapat diambil sebagai pemcerminan untuk menafsirkan permufakatan melakukan perbuatan korupsi.

(21)

Korporasi sudah dinyatakan bertanggung jawab yang berarti bahwa korporasi dapat dijatuhi pidana melakukan delik korupsi dan yang dapat dijatuhi pidana adalah baik pimpinan yang memberi perintah ataupun mereka yang memimpin sendiri perbuatan korupsi itu bersama-sama dengan korporasi tersebut atau salah satunya.

Sebagaimana halnya dengan delik umum, tidak semua delik yang korporasi lakukan dapat dipertanggungjawabkan pidana. Ada delik yang memang ditujukan kepada orang secara individual.

Dalam delik korupsi, ada delik melawan hukum memperkaya diri sendiri, sulit untuk dipertanggungjawabkan kepada korporasi. Akan tetapi, yang paling umum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi dalam delik korupsi adalah perbuatan penyuapan pejabat publik.

(22)

BAB IV

WEWENANG DAN PERANAN JAKSA DALAM MELAKUKAN

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A.

WEWENANG JAKSA DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI

Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, disebutkan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah mempeoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain yang berdasarkan undang-undang. (Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia)

Sedangkan dalam Pasal 1 butir 6 UU No. 8 Tahun 1981 disebutkan bahwa : a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanankan penetapan hakim. (Undang-Undang No. 6 Tahun 1981)

(23)

Aspek kebijakan hukum pidana pidana (penal policy) tidak hanya mengatur mengenai perbuatan warga masyarakat pada umumnya, tetapi juga mengenai perbuatan (yakni dalam arti kewenangan / kekuasaan) penguasa / aparat penegak hukum.23

Barda Nawawi Arif juga mengatakan bahwa : “Dilihat dari pengertian dalam arti luas (yaitu pidana dilihat sebagai suatu proses), maka kewenangan

penyidikan pada hakikatnya merupakan bagian dari kewenangan pemidanaan.”24

1. Sejarah Kewenangan Penyidikan Korupsi

Yang berwenang melakukan penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi :

a. Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM/06/1957 Kepala Staf Angkatan

Darat selaku Penguasa Militer atas Daerah Angkatan Darat di seluruh

wilayah Indonesia

Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dilakukan oleh staf penguasa militer dan penilik pembantu harta benda yang sebagaimana diatur dalam Pasal 4, yaitu :

“Penilikan harta benda dilakukan oleh 3 (tiga) orang yang terdiri dari anggota-anggota Staf Militer dan atau orang lain yang ditunjuk oleh Penguasa Militer yang merupakan Pembantu Penguasa Militer dalam penilikan Harta Benda dan yang selanjutnya disebut Penilikan Pembantu Harta Benda.”

Hasil penilikan yang telah dilakukan oleh Penguasa Militer kemudian dilaporkan kepada kepala kejaksaan. Sehingga dengan demikian, kejaksaan

23

(24)

memiliki kewenangan untuk mengadakan pengusutan terhadap tindak pidana korupsi.

b. Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM/08/1957

Berdasarkan Peraturan Penguasa Militer Kepala Staf Angkatan Darat selaku penguasa militer atas angkatan darat di seluruh wilayah Indonesia,penilikan dilakukan sebagaimanan diatur dalam Pasal 4 PPM Prt/PM/06/1957. Dengan demikian, kejaksaan juga memiliki kewenangan dalam penyidikan tindak pidana korupsi.

Tindakan penguasa militer dalam hal harta benda, diberitahukan oleh penguasa militer kepada kepala kejaksaan untuk memperhatiakan kemungkinan-kemungkinan adanya suatu tindak pidana, sehingga kejaksaan berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.

c. Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM/011/1957

Dalam PPM Nomor Prt/PM/011/1957 tertanggal 9 April 1957 dan Prt/PM/08/1957 tertanggal 27 Mei 1957 tidak ada ketentuan untuk menyita dan merampas harta benda yang diperoleh dengan melakukan perbuatan hukum sehingga dikeluarkan ketentuan KSAD selaku penguasa militer atas daerah angkatan darat seluruh Indonesia.

Dalam Pasal 3 ditentuan bahwa :

“Dalam mengambil tindakan tersebut dalam Pasal 2, penguasa militer mendengar petunjuk / nasihat Jaksa Agung.”

(25)

“Tindakan koreksi yang dilakukan oleh Penguasa Militer pada dasarnya ialah mengembalikan kekayaan itu pada negara dan agar tindakan itu tidak disalahgunakan, selalu harus diminta petunjuk / nasihat dari Jaksa Agung. Dalam hal pengambilan untuk dimiliki, maka hak milik harus segera berpindah kepadanya.”

d. Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/Peperpu/013/1958 tentang

Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Pembuatan Korupsi Pidana

dan Penilikan Harta Benda

Peraturan-peraturan yang selama mengatur mengenai perbuatan korupsi ialah Prt. Nomor 06, 08, 011. Menurut ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Keadaan Berbahaya Nomor 74 Tahun 1957 tanggal 17 April 1958 tidak berlaku lagi dengan sendirinya menurut hukum.

Dengan demikian, dikeluarkanlah Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat tentang Pengusutan, Penunntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda Nomor Prt/PM/013/1958, dan kepala kejaksaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa :

(26)

e. Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan

Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (menjadi

undang-undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961)

Dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan :

“Aturan-aturan mengenai pengusutan dan penuntutan menurut peraturan biasa, berlaku bagi perkara korupsi, sekadar tidak ditentukan dalam peraturan lain.”

Isi dari Pasal 2 di atas menjelaskan bahwa jaksa tetap sebagai penyidik dalam kasus korupsi. Sedangkan dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 8 menjelaskan mengenai kewenangan-kewenangan yang dimiliki jaksa dalam kaitannya dengan mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk kepentingan pengusutan dan penuntutan.

f. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 kurang mampu mengakomodasi perkembangan masyarakat.

Terhadap penyidikan ditentukan dalam Pasal 3 yang berbunyi :

“Penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dijalankan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku, sekadar tidak ditentukan lain dalam undang-undang.”

(27)

Secara eksplisit dijelaskan bahwa jaksa agung sebagai pemimpin / koordinator tugas penyidik perkara pidana korupsi terdapat dalam Pasal 26, yang berbunyi :

“Jaksa Agung selaku penegak hukum dan penuntut umum tetinggi memimpin / mengkoordinir tugas kepolisian represif / yustisil dalam penyidikan perkara-perkara korupsi yang diduga atau mengandung petunjuk telah dilakukan oleh seorang yang harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer maupun oleh seorang yang harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.”

Di dalam penjelasan tersebut dijelaskan bahwa Jaksa Agung sebagai koordinator yang memimpin penyidikan korupsi, baik pelaku sipil maupun militer.

g. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

Lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini juga dilatarbelakangi pemikiran bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dianggap tidak sesuai lagi sebagaimana yang terdapat dalam konsiderans menimbang huruf c, yaitu :

“Bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi karena itu perlu diganti dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas Tindak Pidana Korupsi.”

(28)

untuk melakukan gugatan perdata terhadap ahli waris pelaku korupsi yang meninggal saat proses peradilan belum selesai, penggunaan sistem pembuktian terbalik terbatas, dimungkinkannya peran serta masyarakat dan pembentukan tim pemberantasan korupsi.

Pembentukan tim pemberantasan korupsi, dijelaskan dalam Pasal 26 yang berbunyi :

“Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.”

Dalam masalah penyidikan korupsi, tetap berlaku peraturan perundang-undangan dan KUHAP. Di dalam KUHAP, penyidikan diatur di dalam Pasal 284 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 memungkinkan penyidikan korupsi dilakukan oleh jaksa. Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilakukan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 hanya mengenai korupsi yang sulit pembuktiannya sebagaimana diatur dalam Pasal 27 yang berbunyi :

“Dalam menentukan Tim Pemberantasan Korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung.”

(29)

h. Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai perubahan atas

Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Korupsi.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ternyata tidak memberikan ketentuan-ketentuan tentang kewenangan penyidikan sehingga hal-hal yang mengatur penyidika korupsi tetap diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

2. Dasar Kewenangan Kejaksaan dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi

Istilah penyidikan merupakan padanan kata yang berasal dari bahasa Belanda yakni “opsporing”, dari bahasa Inggris yakni “investigation” atau yang berasal dari bahasa Latin “investigatio”.

Menurut Pasal 1 angka 3 KUHAP, yang dimaksud dengan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Menurut Andi Hamzah, bagian-bagian hukum acara pidana yang berkaitan dengan penyidikan adalah :

1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.

2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik. 3. Pemeriksaan di tempat kejadian.

4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa. 5. Penahanan sementara.

6. Penggeledahan.

(30)

9. Penyitaan.

10.Penyampingan perkara.

11.Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan. 25

Terhadap tindak pidana korupsi, sebelum lahirnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan oleh Kejaksaan, tetapi setelah lahirnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, penanganan terhadap tindak pidana korupsi memiliki berbagai pemahaman. Ada pandangan yang mengatakan bahwa pihak kepolisian yang berhak melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, namun ada pandangan lain yang mengatakan dengan bertitik tolak dari ide bahwa materi tindak pidana korupsi sebagai bagian dari hukum pidana khusus (ius special, ius singulare / bijzonder strafrecht), sebenarnya Kejaksaan yang berhak melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. 26

Menurut Loebby Loqman, sejak dirancangnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi desadari bahwa undang tersebut merupakan undang-undang pidana khusus, yaitu Undang-Undang Hukum Pidana yang sekaligus mengatur substansi maupun hukum acara pidana di luar KUHP dan KUHAP.27

Timbulnya berbagai pemahaman yang terjadi saat ini disebabkan karena adanya ketidakjelasan dari ketentuan Pasal 26 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang berbunyi :

25

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Indonesia, Jakarta, 1996, hal 118-hal 119

26

Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan Dalam Penyidikan Korupsi, Penerbit P.T.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 79-hal 80

27

(31)

“Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di sidang Pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.”

Pasal ini tidak menjelaskan lembaga yang berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.

Hal-hal yang mendasari bahwa kejaksaan berwenang menangani penyidikan tindak pidana korupsi yaitu :

a. Bahwa ketentuan hukum pidana dapat dikategorikan menjadi hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare, ius specile, atau bijzonder strafrecht). Ketentuan hukum pidana umum dimaksudkan berlaku

secara umum, sedangkan yang dimaksud dengan ketentuan hukum pidana khusus diartikan sebagai ketentuan hukum pidana yang mengatur kekhususan subyek dan perbuatan yang khusus (bijzonder lijk feiten). Tindak pidana korupsi sebagai bagian dari tindak pidana khusus juga memiliki kekhususan dalam hukum acara.

b. Berdasarkan Keppres Nomor 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi yang menentukan bahwa ketua timnya adalah jaksa agung, sesuai dengan Pasal 5 yang berbunyi :

“Ketua Tim Pemberantasan Korupsi adalah Jaksa Agung, yang dalam melakukan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden.”

Sedangkan tugas dan fungsinya sebagai koordinator penyidik diatur dalam Pasal 3, yang berbunyi :

(32)

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara-perkara korupsi, baik yang dilakukan oleh oknum sipil maupun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.”28

c. Berdasrkan ketentuan Pasal 284 ayat (2) yang berbunyi :

“Dalam waktu 2 tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana disebutkan pada undang-undang tertentu, sampai ada perbuatan adan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.”

Penjelasan dari Pasal 284 ini terdapat dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yang berbunyi :

“Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.”

Ketentuan yang menyatakan bahwa jaksa dapat menyidik tindak pidana tertentu, terdapat dalam Pasal 32 huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1991, yang menyatakan bahwa :

“Jaksa Agung mengoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan instansi terkait berdasarkan undang-undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh Presiden.”

d. Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983 dan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1991 yang menyatakan bahwa dalam pedoman pelaksanaan 28

(33)

pengawasan, para menteri / pemimpin lembaga pemerintah nondepertemen / pemimpin instansi lainnya setelah menerima laporan adanya suatu perbuatan tindak pidana, maka pemimpin melakukan pengaduan tindak pidana dengan menyerahkan kepada Kepala Kejaksaan Republik Indonesia dalam hal terdapat indikasi tindak pidana khusus yakni tindak pidana korupsi.

Ketentuan mengenai Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1983 dan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1991 diatur juga dalam Pasal 16 yang berbunyi :

(1) Para menteri / pemimpin lembaga pemerintah nondepartemen / pemimpin instansi lainnya yang bersangkutan, setelah menerima laporan dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a, mengambil langkah-langkah tindak lanjut untuk menyelesaikan masalah-masalah yang diidentifikasikan dalam rangka pelaksanaan pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Tindak lanjut yang dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa Tindakan Pengaduan tindak pidana dengan menyerahkan perkaranya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesiadalam hal terdapat indikasi tindak pidana umum atau kepada Kepala Kejaksaan Republik Indonesia dalam hal terdapat indikasi tindak pidana khusus seperti korupsi dan lain-lain.

e. Ketentuan Pasal 39 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa :

(34)

f. Keppres Nomor 86 Tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.

Dalam Pasal 16, menyebutkan bahwa :

“Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus dalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi kejaksaan di bidang yutisial mengenai tindak pidana khusus yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung.”

Dalam Pasal 17 yang menyebutkan bahwa :

“Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan putusan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lain mengenai tindak pidana ekonomi, tindak pidana korupsi dan tindak pidana khusus lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.”

(35)

kasi penyidikan. Di kejaksaan negeri terdapat kasi pidsus yang membawahi kasubsi penyidikan.

g. Undang-Undang Kejaksaan No. 5 Tahun 1991 jo. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004.

Di dalam UU No. 5 Tahun 1991 diatur tidak secara tegas mengenai kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Namun demikian, terdapat ketentuan yang secara tidak langsung mengakui eksistensi kejaksaan untuk menyidik tindak pidana korupsi.

Pasal 29 mengatakan bahwa di samping tugas dan wewenang melakukan penyidikan dalam Undang-Undang Kejaksaan, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain yang berkaitan dengan KUHAP Pasal 284 ayat (2), UU No. 3 Tahun 1971 jo. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan undang-undang lain.

Dalam berkembangnya Undang Kejaksaan yang baru yakni Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 diatur secara jelas mengenai penyidikan yakni dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d yang menyebutkan :

“Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdaarkan undang-undang.”

(36)

telah diubah dengan Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.29

3. Tugas dan Kewenangan Kejaksaan

Jaksa sebagai penuntut umum dalam perkara pidana harus mengetahui secara jelas pekerjaan yang dilakukan penyidik dari permulaan hingga terakhir yang seluruh pekerjaan yang dilakukan berdasarkan hukum. Jaksa akan mempertanggung jawabkan semua perlakuan terhadap terdakwa yang dimulai dari tersangka disidik, kemudian diperiksa perkaranya lalu ditahan dan yang terakhir apakah tuntutan yang dilakukan oleh jaksa telah sah dan benar atau tidak menurut hukum dan keadilan yang dirasakan oleh masyarakat dipenuhi.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dalam Pasal 30, Pasal 35 mengatur mengenai tugas dan kewenangan Jaksa dan Jaksa Agung.

Dalam Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004 menyebutkan :

(1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a. Melakukan penuntutan ;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat ;

d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang ;

29

(37)

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasi dengan penyidik.

(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan :

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat ; b. Pengamanan kebijakan penegak hukum ; c. Pengawasan peredaran barang cetakan ;

d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara ;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan / atau penodaan agama ; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Pasal 35 UU No. 16 Tahun 2004 menyebutkan :

Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang :

a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan ;

b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang ; c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum ;

(38)

e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana ;

f. Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Kejaksaan telah semakin jelas eksistensinya.

B.

PERANAN KEJAKSAAN

Berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 17 PP No. 27 Tahun 1983 jo. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 44 ayat (4) serta Pasal 50 ayat 1,2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 30 huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Kejaksaan adalah salah satu institusi penegak hukum yang masih diberi wewenang melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Disamping itu, Kepolisian Negara RI berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP jo. Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Tindak Tahun 2002 tentang KPK, bahkan KPK tidak saja diberi wewenang melakukan penyidikan, tetapi juga dapat melakukan penuntutan sendiri terhadap tindak pidana korupsi.

(39)

ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang dilaksanakan secara merdeka, artinya sesuai dengan penjelasan pasal tersebut, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.

Sebagai landasan pijak Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan kewenagannya melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi mengacu kepada Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum pidana materiil dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum pidana formil.30

1. Semua penyidikan perkara-perkara korupsi yang masih ada di seluruh Kejati dan Kejari agar dituntaskan dalam waktu 3 (tiga) bulan;

Di dalam praktik, meskipun secara fungsional kejaksaan melaksanakan tugas penegakan hukum bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun dan dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya, tetapi secara struktural kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan harus sejalan dengan politik kriminal yang digariskan oleh pemerintah, mengingat Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004.

(40)

2. Untuk perkara korupsi yang penting/menarik perhatian masyarakat (menyangkut pejabat negara, legislatif/eksekutif atau tokoh masyarakat/ bisnis) agar diutamakan penyelesaiannya, dan dalam waktu 1 (satu) bulan ini segera melaporkan perkembangannya kepada Kejaksaan Agung; dan Kajati serta Kajari bertanggung jawab terhadap keberhasilan penyidikan, penuntutan, dan eksekusi, perkara-perkara pidana khusus, antara lain pemberkasan perkara, penyusunan surat-surat dakwaan, requisitoir, memori banding, kasasi dan kontra memorinya, serta eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dalam waktu secepatnya.

3. Terhadap seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi, sesegera mungkin dilakukan pencekalan, agar tidak dapat melarikan diri ke luar negeri;

4. Untuk memberikan efek jera (deterrent effect) dan daya tangkal (prevancy effect), telah diinstruksikan kepada Kejati dan Kejari agar tidak ragu-ragu

menuntut dengan ancaman hukuman yang tinggi kepada pelaku korupsi, bahkan bila perlu secara kasuistis dituntut hukuman mati, bilamana perbuatannya memenuhi kriteria Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana dinyatakan dalam penjelesannya, bahwa “apabila tindak pidana korupsi itu dilakukan pada waktu negara dalam

keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu

terjadinya bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana

(41)

Dengan berbagai kebijakan tersebut perkara-perkara tindak pidana korupsi yang digulirkan ke pengadilan meningkat tajam. Sebagai ilustrasi, dari bulan Oktober 2004 s.d. Agustus 2005, telah diselesaikan penyidikan tindak pidana korupsi di seluruh Indonesia sebanyak lebih dari 280 perkara dengan perkiraan jumlah kerugian negara lebih dari Rp. 4.6 triliun, dibandingkan periode tahun lalu yang hanya 230 perkara.

Meskipun demikian, nampaknya upaya tersebut masih belum juga mampu menekan laju peningkatan kasus-kasus korupsi, selain itu masih ada saja tersangka atau terdakwa tindak pidana korupsi yang berhasil melarikan diri ke luar negeri.

Dalam hal menetapkan strategi yang tepat, BPKP melalui Lokakarya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia sebagaimana telah diuraikan pada bab terdahulu telah merumuskan tiga bentuk strategi pemberantasan korupsi secara nasional, yaitu(i) strategi persuasif, (ii) strategi detektif, dan (iii) strategi represif.

(42)

KENDALA DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

KORUPSI.

Penegakan hukum atas tindak pidana korupsi tidaklah dapat berjalan seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Penegakan hukum adalah suatu proses sesuai dengan sistem hukum yang berlaku. Dengan demikian harus mengikuti kaedah-kaedah hukum acara yang berlaku.

Hal ini tentu saja akan dirasakan sebagai suatu kendala apalagi dalam situasi masyarakat dalam era reformasi yang menuntut perubahan dengan cepat, maka proses hukum dapat dianggap lamban sebagai upaya penyelesaian masalah. Selain hal tersebut penanganan terhadap tindak pidana korupsi juga tidak seperti menangani tindak pidana pada umumnya. Hal tersebut terjadi demikian oleh karena pelaku tindak pidana korupsi umumnya memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, menguasai permasalahan pada sektor dimana ia melakukan korupsi, mengetahui celah-celah dari peraturan yang berkaitan dengan sasaran yang akan dikorupsi sehingga dengan cerdiknya ia memanfaatkan celah-celah dari peraturan tersebut untuk mengeluarkan dan memanfaatkan keuangan negara untuk kepentingannya sendiri dan atau untuk kepentingan teman-temannya atau orang lain. Ia telah memiliki wawasan atau pengalaman pada bidang sasaran yang dikorupsi sehingga ia telah merencanakan perbuatan yang akan dilakukan dan merencanakan dengan cara bagaimana berkelit dari jeratan hukum.

(43)

1. Kendala Teknis Yuridis

A. Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, ditentukan alat-alat menurut undang-undang yaitu :

1. Keterangan Saksi. 2. Keterangan Ahli. 3. Surat-surat. 4. Petunjuk.

5. Keterangan Terdakwa.

Dalam rangka pembuktian disidang pengadilan ditemukan kendala, yakni :

1. Saksi di depan sidang pengadilan menarik seluruhnya atau sebagian keterangan yang telah diberikan pada pemeriksaan tahap penyidikan, dan pada umumnya keterangan yang diberikan dipersidangan tersebut menguntungkan bagi terdakwa.

(44)

terbukti. Pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999 menyatakan bahwa : “Pengembalian kerugian negara tidak menghapus dipidananya pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.”

3. Surat yang diperlukan dalam rangka pembuktian diperlukan surat asli dan bukan fotocopy, namun surat asli tersebut sudah tidak ditemukan lagi, kemungkinan sengaja dihilangkan atau sengaja dimusnahkan, namun tidak diketahui siapa yang melakukannya, sehingga dengan tidak ditemukan surat asli tersebut dapat mempengaruhi pembuktian dalam perkara tersebut.

4. Untuk menyingkap hasil korupsi antar lain diperlukan keterangan dari bank yang bersangkutan. Untuk memperoleh keterangan dari bank yang bersangkutan diperlukan izin dari Gubernur BI. Praktek yang sebenarnya, izin dari Gubernur BI memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak jarang setelah izin diberikan, uang pada rekening yang diperiksa sudah dikuras oleh tersangka. Dengan keadaan yang demikian pengamanan / pemulihan kerugian negara tidak berhasil.

B. Adanya perbedaan persepsi dalam menafsirkan unsur delik.

(45)

2. Kendala Non Yuridis

Upaya penegakan hukum dalam pemberantasan ternyata mengahdapi berbagai kendala yang bersifat non Yuridis (di luar teknis hukum), yaitu :

A. Kompleksitas perkara sering memerlukan pengetahuan yang komprehensif. B. Tindak pidana korupsi pada umumnya melubatkan sekelompokorang yang

saling menikmati keuntungan dari tindak pidana itu. Adanya kekhawatiran keterlibatan sebagai tersangka maka diantara mereka dalam kelompok tersebut akan saling menutupi sehingga akhirnya menyulitkan dalam mengungkapkan pembuktian.

C. Waktu terjadinya tindak pidana korupsi pada umumnya baru terungkap setelah dalam tenggang waktu yang lama. Hal ini menyulitkan pengumpulan bukti-bukti karena ada yang telah hilang atau sengaja dimusnahkan. Disamping itu saksi atau tersangka telah pindah ketempat lain sehingga memperlambat proses. D. Dengan berbagai upaya, pelaku korupsi telah mengahabiskan uang hasil yang

diperoleh dari korupsi atau mempergunakan / mengalihkan dalam bentuklain dengan mnama orang lain yang sulit terjangkau oleh hukum. Demikian juga aset-aset terdakwa / terpidana telah dipindahkan atas nama orang lain. Dengan keadaan seperti itu maka pada tahap penyidikan ataupun penuntutan dan apada tahap eksekusi setelah putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terdapatkesulitan dalam mengeksekusi putusan hakim mengenai pembayaran uang pengganti.

(46)

F. Masih adanya keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk menangani perkara korupsi diperlukan tenaga jaksa yang profesional, memiliki wawasan dan pengalaman yang cukup, selain dari segi kualitas dan kwantitas juga mempengaruhi kecepatan dalam bertindak untuk segera menuntaskan masalah penyidikan dan penuntutan perkara korupsi.

G. Adanya keterbatasan dana dan sarana penunjang lainnya. Masalah dana memang ada alokasinya, namun jumlahnya sangat terbatas untuk penanganan suatu kasus korupsi mulai dari penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta sarana lain yang berupa kepustakaan juga kurang memadai.

Upaya Yang Dilakukan Kejaksaan Dalam Menghadapi Kendala / Hambatan

Tindak Pidana Korupsi.

Upaya yang dilakukan dengan : A.Interen

1. Peningkatan Profesionalisme 1.1. Konsepsi Jaksa Mandiri

(47)

berani menghadapi kendala, tantangan dan masalah. Integritas moral ditampilkan melalui sikap mental yang tangguh dengan penghayatan dengan kode etik para jaksa yang disebut dengan “TRI KARMA ADHYAKSA (SATYA, ADHI, WICAKSANA) dengan disertai KEIMANAN DAN KETAKWAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA.

Disiplin diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan tugas penegakan hukum yang diselesaikan secara cepat, tepat dan tuntas. Jati diri aparat kejaksaan yang demikian, dibentuk melalui jaksa yang mandiri yaitu :

A. Memiliki rasa percaya diri karena menguasai ilmu pengetahuan dan permasalahan yang dihadapi.

B. Berani mengambil keputusan dan mampu mempertanggungjawabkan. C. Berpikir antisipasif yang dilandasi pengetahuan yang komprehensif.

1.2. Skala Prioritas

Mengingat banyaknya kasus yang ditangani dengan cepat, tepat dan tuntas, sedangkan waktu yang tersedia relatif sangat singakt, maka perlu menyusun skla prioritas. Dalam menentukan skala prioritas kasus hendaknya didasarkan pada kreteria :

1. Perkara dimaksud menyangkut kasus yang strategi dalam arti mempunyai bobnot Nasional atau menarik perhatian diwilayah setempat.

(48)

3. Penyelesaian perkara dimaksud supaya dapat mendorong peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap jajaran kejaksaan.

1.3. Kepastian Hukum dan Masyarakat

Sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut dalam Negara Demokrasi dimana supremasi hukum senantiasa dikedepankan dalam kehidupan masyarakat dan bernegara, maka konsepsi dalam penanganan perkara tindak pidana adalah menggunakan azas-azas kepastian hukum dimaksudkan supaya penanganan suatu perkara tidak berlarut-larut, tanpa mengurangi rasa keadilan, penyelesaian perkara harus jelas dasar hukumnya, tidak mencari-cari kesalahan, cepat. Transparan berarti terbuka penanganannya, tidak ditutup-tutupi, siap dikritik karena yakin akan keputusan yang diambil sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

1.4. Pemberdayaan Pola Kerja Cepat, Tepat, Tuntas

Peningkatan kinerja dan produktivitas kerja jajaran kejaksaan diupayakan untuk mengacu pada pembudayaan pola kerja cepat, tepat dan tuntas.

2. Dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

(49)

mengejar dan menindak pelaku korupsi telah diadakan kerjasama antara Kejaksaan dengan PPATK.

B. Eksteren

Memanfaatkan Sarana Penunjang Berupa Undang-Undang atau Peraturan-Peraturan yang Relevan

Seperti yang telah dijelaskan, bahwa kendala yang dihadapi dalam memperoleh alat bukti antara lain karena surat dokumen yang asli sudah tidak ditemukan lagi. Sebagai antisipasi kemungkinan adanya indikasi tindak pidana korupsi dapatlah dimanfaatkan sebagai sarana penunjang antara lain ketentuan dalam Keppres Nomor 80 Tahun 2003 Pasal 48 ayat (3), yang berbunyi :

“Pengguna barang / jasa wajib menyimpan dan memelihara seluruh dokumen pelaksana pengadaan barang / jasa termasuk berita acara proses pelelangan / seleksi.”

C.

PENYIDIKAN DAN RUANG LINGKUPNYA TERHADAP PELAKU

TINDAK PIDANA KORUPSI

1. Pengertian, Taktik dan Teknik Melakukan Penyidikan

Secara etimologis istilah “penyidikan “ Merupakan padanan kata bahasa Belanda “opsporing”, dari Bahasa inggris investigation” atau dari Bahasa latin “investigatio”. Sebelum melakukan suatu penyidikan diperlikan adanya gradasi yang disebut dengan istilah penyelidikan.

(50)

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Pasal 1 Angka 5 dan Pasal 5 KUHAP merincikan fungsi dan wewenang penyelidik :

1. Dilihat dari fungsi dan wewenang penyelidik berdasarkan hukum, yaitu :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.

b. Mencari keterangan dan barang bukti.

c. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.

d. Menagdakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

2. Dilihat dari fungsi dan wewenang penyelidik berdasarkan perintah penyidik, yaitu :

a. Penangkapan, larangan, meninggalkan tempat penggeledahan dan penyitaan.

b. Pemeriksaan dan penyitaan surat.

c. Mengambil sidik jari dan memotret seorang.

d. Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.

3. Dilihat dari hasil membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan tindakan penyelidik kepada penyidik, yaitu :

(51)

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukan tindakan jabatan.

c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatnnya.

d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa.

e. Menghormati hak asasi manusia.

Pengertian penyidikan atau “opsporing” itu menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan sebagai serangkaian tindakan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindakan pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.

Menurut Andi Hamzah, bagian-bagian penyidikan yang berkaitan dengan acara pidana adalah :

1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.

2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik.

3. Pemeriksaan ditempat kejadian.

4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa.

5. Penahanan sementara.

(52)

8. Berita acara.

9. Penyitaan.

10.Pemyampingan perkara.

11.Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.32

Penyidik Pejabat Pegawai negri Sipil tertentu yang di beri wewenang khusus oleh

undang-undang mempunyai wewenang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukum masing-masing dan dalam pelaksanaannya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP.

Dalam melakukan sesuatu penyidikan diperlukan adanya taktik dan teknik sehingga apa yang terjadi ,modus operandi dari tindak pidana tersebut dapat diungkap sekaligus dengan tersangkanya.

Taktik penyidikan (opsporingstactiek) dan teknik penyidikan (opsporingstechniek) merupakan aspek yang berkorelasi erat dan merupakan bagian dari ilmu penyidikan atau opsporingsleer. 33

Pada dasarnya, bahwa taktik penyidikan (opsporingstactiek) adalah suatu pengetahuan yang mendalami serta mempelajari ruang lingkup

permasalahan-32

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 118

33

(53)

permasalahantaktis dalam bidang penyidikan suatu perkara pidana sehingga diperlukan adanya kesigapan dan kecepatan, ketentuan teknis dan tertib pemeriksaan, mempunyai persepsi tentang permasalahan yang diperkirakan timbul dan dicari solusi pemecahannya.

Menurut pandangan R.Soesilo, yang termasuk bidang taktik penyidikan itu antara lain adalah :

a. tindakan pertama di tempat kejadian perkara.

b. Ilmu jiwa kriminil, khususnya yang digunakan dalam mendengarkan keterangan saksi-saksi dan tersangka.

c. Hubungan dengan spion dan bermacam-macam informan.

d. Taktik penangkapan, menggeledah badan, menggeledah rumah, konfrontasi dan menyamar.

e. Pembunuhan.

f. Modus operandi (kebiasaan kerja para pelaku kejahatan) g. Pengumuman tentang terjadinya kejahatan-kejahatan dan pers. h. Baik buruknya memberikan hadiah dalam mencari kejahatan. i. Gunanya banyak membaca buku-buku cerita detktif.

j. Pengertian tentang bahasa sandi para pejabat, tahayul, jimat, guna-guna dan sebagainya.

(54)

a. Pemeriksaan saksi dilakukan dengan tempat dan waktu yang sesuai dan layak. Hal ini di maksudkan agar saksi dapat memberikan keterangan dengan baik, tenag dan tanpa tekanan psikologis

b. Pemeriksaan dilakukan dengan ramah sehingga menimbulkan rasa simpati dan pernyataan hendaknya dilakukan secara singkat, tegas dan sesuai materi perkara.

c. Apabila saksi tidak mempunyai pendidikan agar diusahakan dibantu mengemukakan tentang apa yang dialami, ia lihat ataupun ia dengar tentang peristiwa tersebut dengan kata-kata sederhana dan sesuai dan dapat di mengerti olehnya.

d. Hendaknya pemeriksaan terhadap saksi jangan di ajukan pertanyaan dengan sifat menjerat atau pertanyaan dengan adanya kesimpulan jawaban di dalamnya.

e. Diajukan adanya barang bukti, dapat diminta ketegasan keterangan saksi tersebut apabila berbeda jauh dengan keterangan saksi lainya dan sebagainya. Teknik penyidikan (opsporingstechniek) pada dasarnya suatu pengetahuan tentang teknik identifikasi dan sinyalemen pengetahuan tentang alat dan sarana-sarana teknis dan bekas-bekas material dengan bantuan ilmu pengetahuan lainnya sehingga mengetahui siapa pelaku dari tindak pidana.

(55)

2. Proses dan Praktik Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi

Dasar Hukum Kejaksaan dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi adalah :

1. Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 serta Pasal 39 UU No. 30 Tahun 2002.

2. Pasal 248 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981. 3. Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004

4. Pasal 17 PP No. 27 1983.

5. Pasal 44 Keppres No. 31 Tahun 1983, Keppres No. 228 Tahun1967, Inpres No. 15 Tahun 1983, Keppres 11 Tahun 2005.

6. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1604/K/Pid/1990 tanggal 10 November 1994 dan Fatwa KMA No. KMA/102/III/2005 tanggal 9 Maret 2005

Materi Tindak Pidana Korupsi merupakan bagian dari Hukum Pidana Khusus (Ius Speciale, Ius Singulare / Bijzonder Strafrecht) dan pihak yang berhak melakukan penyidikan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi adalah Pihak Kejaksaan.34

1. Bahwa sebagai bagian dari hukum pidana khusus (Ius Speciale, Ius Singulare / Bijzonder Strafrecht), modus operandi dan aspek pembuktian dari Tindak

Pidana Korupsi harus ditangani secara lebih spesifik sehingga dibutuhkan keterampilan dan profesionalisme tertentu.

Yang menjadi dasar bahwa pihak Kejaksaan berhak melakukan peyidikan perkara Tindak Pidana Korupsi didukung argumentasi adalah :

(56)

secara yuridis berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “dalam dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.” berdasarkan ketentuan Pasal 30 huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan berdasarkan ketentuan Pasal 17 “Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 yang dimungkinkan untuk Tindak Pidana Korupsi disidik dan dituntut oleh Pihak Kejaksaan.

3. Instruksi Presiden RI No. 15 Tahun 1983 dan Keppres RI No. 15 Tahun 1991 yang pada pokoknya ditentukan bahwa dalam pedoman pelaksanaan pengawasan, Para Menteri / Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Depertemen / Pimpinan Instansi lainnya yang bersangkutan setelah menerima laporan, melakukan pengaduan tindak pidana dengan menyerahkan kepada Kepala Kejaksaan Republik Indonesia dalam hal terdapat indikasi tindak pidana khusus, seperti korupsi.

(57)

Bagian Pertama Pasal 4 angka 6 adanya Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang pada Pasal 22 angka 3 Keppres 86 Tahun 1999 membawahi Direktorat Tindak Pidana Korupsi dan Keputusan Jaksa Agung RI No. KEPJA-035/J.A/3/1992 tanggal 22 Maret 1992 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, yang kemudian diubah dengan Keputusan Jaksa Agung RI No. KEPJA-115/J.A/10/1999 tanggal 20 Oktober 1999, dan diubah kembali dengan Keputusan Jaksa RI No. KEPJA-558/J.A/XII/2003 tanggal 17 Desember 2003 pada Bab XVIII Bagian Pertama Pasal 569 tentang Kejaksaan Negeri yang dalam Pasal 573 angka 6 Susunan Organisasi Kejaksaan Tinggi adalah Asisten Tindak Pidana Khusus yang terdiri dari Seksi Tindak Pidana Korupsi (Pasal 627 ayat (1) angka 2). Untuk tingkat Kejaksaan Negeri yang tergolong Tipe A Pasal 692 ayat (1) angka 5 salah satu bagian adalah Seksi Tindak Pidana Khusus dan berdasarkan Pasal 708 ayat (1) angka 2, salah satu subseksi Tindak Pidana Korupsi dan pada Kejaksaan Negeri Tipe B berdasarkan Pasal 718 ayat (1) angka 5 adalah Seksi Tindak Pidana Khusus, Perdata dan Tata Usaha Negara.

5. Ketentuan Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang menyatakan bahwa :

“Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.”

(58)

“Dalam menentukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, dapat dibentuk tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung.”

Pada ketentuan Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, yang menetukan bahwa :

“Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan besama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.”

Yang dimaksud dengan mengkoordinasikan yang terdapat dalam Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 adalah kewenangan Jaksa Agung sesuai dengan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU No. 30 Tahun 2002, yang menyatakan bahwa :

“Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang-Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa :

Di bidang pidana Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.” Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d menyebutkan :

(59)

Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”

6. Fatwa Mahkamah Agung Republik Indonesia No. KMA/102/III 2005 yang menentukan bahwa Jaksa berwenang melakukan penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi pasca berlakunya UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 dengan berdasar pada ketentuan Pasal 26, Pasal 27 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, Pasal 284 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 dan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Proses penyidikan yang dilakukan oleh Pihak Kejaksaan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi adalah bahwa Berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI No. KEP-518/ A/J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. Kep-132/ J.A/11/1994 tanggal 7 November 1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana dan kelaziman praktik penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi, modus operandi terungkapnya perkara korupsi dapat karena adanya inisiatif penyidik sendiri atau karena laporan/informasi seseorang tentang telah terjadinya Tindak Pidana Korupsi.

(60)

Tindak Pidana Korupsi, permintaan tersebut dicantumkan di dalamnya. Kemudian, dicatat pula tentang isi yang dilaporkan dan laporan itu dibuat atas dasar sumpah jabatan serta ditandatangani oleh Jaksa penerima laporan dengan administrasi turunan kepada Direktur/Kajati/Kajari/Kacabjari dan Arsip. Atas dasar hal tersebut, Kejaksaan kemudian meng-eliminir, apabila laporan itu bersifat informasi ditanganiseksi intelijen dan kalau sudah merupakan laporan terjadinya tindak pidana, langsung ditangani oleh seksi Tindak Pidana Khusus(Kejaksaan Negeri Tipe A) atau seksi Tindak Pidana khusus, Perdata dan Tata UsahaNegara (Kejaksaan Negeri Tipe B).

(61)

Dengan bertitik tolak Surat Perintah Penyelidikan tersebut, jaksa Penyelidik membuat Rencana Penyelidikan dengan bentuk P-3 dan dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dengan turunan kepada Kasubdit Penyidikan/ Ass. Pidsus/Kasi Pidsus kemudian dipergunakan sesuai dengan kebutuhan serta satu lembar turunan untuk arsip. Setelah rencana penyelidikan ini selesai dilakukan, kemudian dilakukan penyelidikan dengan meminta keterangan sesuai P-4 dibuat 3 (tiga) hari sebelum hari pertemuan yang ditentukan dalam surat permintaan keterangan, kemudian melalui bukti surat dan lain-lain. Apabila penyelidikan telah selesai, JaksPenyelidikemudiamelaporkan hasil penyelidikan tersebut dalam bentuk P-5 dengan berdasarkan pada hasil penyelidikan dan akhirnya memberikan kesimpulan/pendapat dan saran, terhadap hasil penyelidikannya. Pada tahap ini sebelum dilakukan penyelidikan, dalam praktik dikcnal adanya suatu tahap yang dikenal dengan tahap pra-ekspose/pemapamn kembali perkara, disertai pembuatan Matrik Perkara berupa P-6. Proses pra-ekspose/pemaparan perkara dilakukan oleh Jaksa Penyelidik dibuat turunan/tembusan sesuai kebutuhan dengan titik tolak peserta pemaparan dan pada saat pemaparan suatu perkara biasanya diperlukan alat bantu berupa:

a. Chart yang berupa gambar penguraian modus operandi perkara yang bersangkutan, yakni :

• Uraian tentang perbuatan-perbuatan yang seharusnya dilakukan

tersangka/terdakwa berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku;

• Uraian modus operandi/perbuatan yang dilakukan oleh

(62)

b. Matrik yang berisikan uraian tentang unsur-unsur pasal yang disangkakan diterapkan dengan uraian fakta-fakta perbuatan yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa serta dukungan alat bukti dan barang bukti lainnya.

(63)

tentang pem-beritahuan penyitaan barang bukti oleh Kejaksaan dan B-10 tentang label benda sitaan/barang bukti atau dapat pula dimohonkan izin dari Menkeu RI untuk memeriksa keuangan sesuai B-3. Selain itu pula, di dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka dapat dilakukan suatu penangkapan dan penahanan atau tidak. Apabila dilakukan suatu penangkapan, dipergunakan bentuk T-l atau kalau dilakukan penahanan/ pengalihan jenis penahanan (tingkat penyidikan) dengan bentuk T-2 atau permintaan perpanjangan penahanan dengan T-3 dan Surat Perpanjangan penahanan dengan T-4. Terhadap semua tahap tersebut di atas kemudian dibuat Berita Acara Penyidikan yang ditandatangani oleh Penyidik dan saksi/ tersangka.

Apabila tahap penyidikan telah selesai dilakukan, pemberkasan perkara kemudian dilaporkan kepada Kajari sesuai hierarki guna diteliti lebih lanjut serta dibuat juga Rencana Dakwaan (Rendak). Pada tahap ini, dikenal adanya

ekspose/pemaparan perkara ditentukan bahwa tidak terdapat cukup bukti atau

peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau ditutiip demi hukum, penuntutan terse-but dihentikan (Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP) dan dikeluarkan Surat Penetapan Penghenlian Penyidikan atau lazim disebut SP 3 dan bila dari

ekspose/pemaparan hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, dibuat Berita Acara

Pendapat atau Resume sesuai P-24, disempurnakan Rencana Dakwaan (Rendak)

(64)

3. Pemberian Bantuan Hukum Pada Tingkat Penyidikan

Mengenai pemberian bantuan hukum ini diatur dalam Bab VII Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP, Bab VII Pasal 37 sampai 40 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dan Bab VI Pasal 22 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 adanya kewajiban bagi Advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Pemberian bantuan hukum merupakan hak dari tersangka/terdakwa yang bersifat fundamental.

Hal ini ditegaskan dalam Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan menyebutkan bahwa pemberian bantuan hukum dalam proses pidana adalah suatu prinsip negara hukum yang dalam taraf pemeriksaan pendahuluan diwujudkan dengan menentukan bahwa untuk keperluan menyiapkan pembelaan, tersangka terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan berhak untuk menunjuk dan menghubungi serta meminta bantuan Penasihat Hukum. Adalah hak dari seseorang yang tersangkut suatu perkara pidana untuk dapat mengadakan persiapan bagi pembelaannya maupun untuk mendapat penyuluhan tentang jalan yang dapat ditempuhnya dalam menegakkan hak-haknya sebagai tersangka atau terdakwa.

(65)

Pejabat untuk menunjuk Penasihat Hukum bagi terdakwa yang diancam pidana mati atau ancaman pidana lima tahun atau lebih, juga bagi mereka yang tidak mampu. Apabila dalam suatu Pengadilan Negeri tidak terdapat seorang Penasihat Hukum yang berkedudukan di tempat itu, dapat ditunjuk orang lain yang ahli hukum asal bukan h

Referensi

Dokumen terkait

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memberikan kewenangan KPK antara lain melakukan supervisi terhadap Instansi

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 137, Fokus Media Bandung, 2005. Surat Jaksa Agung Muda

Secara faktual melihat kenyataan bahwa Tindak Pidana Korupsi menunjukkan peningkatan, mirisnya lagi Tindak Pidana Korupsi kini merambah sampai pada bidang pendidikan,

Secara faktual melihat kenyataan bahwa Tindak Pidana Korupsi menunjukkan peningkatan, mirisnya lagi Tindak Pidana Korupsi kini merambah sampai pada bidang pendidikan,

Kejaksaan sebagaimana amanat undang-undang hendaknya mereposisi dirinya agar dalam pelakukan penegakan tindak pidana korupsi landasan hukum yang digunakan adalah

Dengan demikian, kewenangan melakukan penuntutan pada perkara tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi menurut UU TPPU

Alasan diragukannya kewenangan jaksa sebagai penyidik dikarenakan adanya ketentuan pasal 26 UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi sebagimana juga kejaksaan, disisi lain kejaksaan juga